PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
A. Definisi
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah
yang berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel
leukosit immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel
yang abnormal. Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi
secara tidak teratur dan menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal
sehingga mengganggu fungsi sel normal lain (Permono, 2010).
B. Etiologi
Menurut Permono,2010 penyebab leukemia akut belum diketahui, akan
tetapi factor - faktor berikut ini penting dalam patogenesis leukemia:
1. Radiasi ionisasi.
2. Bahan - bahan kimia (misalnya, benzena pada Leukemia Myeloid Akut
(LMA)
3. Obat - obatan (misalnya, penggunaan alkylating agen baik sendiri atau
dalam kombinasi dengan terapi radiasi meningkatkan risiko LMA).
4. Pertimbangan Genetik:
Kembar identik:
Jika salah satu kembar mengalami leukemia pada usia dibawah 5 tahun,
risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20%.
5. Kejadian leukemia pada saudara kandung dari pasien leukemia adalah
empat kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum.
C. Patofisologi
Leukemia adalah jenis gangguan pada system hemapoetik yang fatal
dan terkait dengan sumsum tulang dan pembuluh limfe ditandai dengan tidak
terkendalinya proliferasi dari leukosit. Jumlah besar dari sel pertama-tama
menggumpal pada tempat asalnya (granulosit dalam sumsum tulang, limfosit
di dalam limfe node) dan menyebar ke organ hematopoetik dan berlanjut ke
organ yang lebih besar sehingga mengakibatkan hematomegali dan
splenomegali. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan
jaringa perifer serta mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya,
hematopoesis normal terhambat, mengakibatkan penurunan jumlah leukosit,
eritrosit, dan trobosit. Eritrosit dan trombosit jumla hanya dapat rendah atau
tinggi tetapi selalu terdapat sel imatur. Proliferasi dari satu jenis sel sering
mengganggu produksi normal sel hematopoetik lainnya dan mengarah ke
pembelahan sel yang cepat dan sitopenia atau penurunan jumlah. Pembelahan
dari sel darah putih meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi karena
penurunan imun. Trombositopeni mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan
oleh ptekie dan ekimosis atau perdarahan dalam kulit, epistaksis atau
perdarahan hidung, hematoma dalam membrane mukosa, serta perdarahan
saluran cerna dan saluran kemih. Tulang mungkin sakit dan lunak yang
disebabkan oleh infark tulang. (Hidayat, 2008)
D. Manifestasi Klinis
E. Klasifikasi
Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO
(2008) berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok BLLA
(LLA sel B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe
dengan translokasit (9; 22) atau t (12; 21), tata ulang gen (gene
rearrangement) atau perubahan jumlah kromosom (diploidi). Subtipe
merupakan petunjuk penting untuk protokol pengobatan optimal dan
prognosis. Pada TLLA (LLA sel T) kariotipe abnormal ditemukan pada 50% -
70% kasus (Hoffbrand, 2013). Sedangkan secara morfologik, menurut FAB
(French, British and America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
1. L1: LLA dengan sel limfoblas kecil - kecil dan merupakan 84% dari LLA.
2. L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen
dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari LLA.
3. L3: LLA mirip dengan limfoma Burkit, yaitu sitoplasma basofil dengan
banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA (Bakta,2006)
F. Pemeriksaan diagnostic
Hitung darah lengkap complete blood cell (CBC). Anak dengan CBC
kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosis memiliki memiliki prognosis paling
baik; jumlah lekosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang
baik pada anak sembarang umur.
1. Pungsi lumbal untuk mengkaji keterlibatan susunan saraf pusat
2. Foto toraks untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum.
3. Aspirasi sumsum tulang. Ditemukannya 25% sel blas memperkuat
diagnosis.
4. Pemindaian tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan
tulang.
5. Pemindaian ginjal, hati, limpa untuk mengkaji infiltrat leukemik.
6. Jumlah trombosit menunjukkan kapasitas pembekuan.(Betz, Cecily L.
2009).
G. Penatalaksanaan
1. Transfusi darah
Diberikan jika kadar Hb kurang dari 6 gr%. Pada trombositopenia
yang berat dan perdarahan yang massif dapat diberikan transfuse
trombosit.
2. Kortikostiroid seperti prednisone, kortison, deksametason dan sebagainya.
Setelah dicapai remisi (sel kanker sudah tidak ada lagi dalam tubuh dan
gejala klinik membaik ), dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya
dihentikan.
3. Sitostatika bentuk terapi utama adalah kemoterapi dengan kombinasi :
vinkristine, asparaginase, prednisone, untuk terapi awal dan dilanjutkan
dengan kombinasi mercaptopurine, metotrexate, vincristine, dan
prednisone untuk pemeliharaan. Radiasi untuk daerah kraniospinal dan
injeksi intratekal obat kemoterapi dapat membantu mencegah kekambuhan
pada system saraf pusat. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin
penderita diisolasi dalam kamar yang bebas hama).
4. Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang baru. Setelah tercapai
remisi dan jumlah sel leukemia yang cukup rendah (105-106), imuno
terapi diberikan. Pengobatan yang spesifik dilakukan dengan pemberian
imunisasi BCG atau dengan Crynae bacterium dan dimaksutkan agar
terbentuk antibody yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan
spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi.
5. Transplantasi sumsum tulang.(Betz, Cecily L. 2009)..
H. Efek kemotrapi(Fianza,2009).
1. Sulit tidur.
2. Mimisan.
3. Rambut rontok.
4. Mual dan muntah.
5. Gampang memar.
6. Gusi berdarah.
7. Konstipasi atau diare.
8. Kehilangan nafsu makan.
9. Kulit kering dan terasa perih
10. Rasa lelah dan lemah sepanjang hari.
11. Sesak napas dan detak jantung tidak biasa akibat anemia