Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AL-ISLAM dan KEMUHAMMADIYAHAN

“Gerakan Islamisasi Nusantara”

Kelompok 1

Tiara Alyati Nindi 20171113001

Aris Ahmad Ismail 20171113004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sejak awal masehi kawasan Asia Tenggara telah berfungsi sebagai jalur lintas
perdagangan bagi kawasan sekitarnya, Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan Asia
Selatan, hubungan pelayaran antarbenua terus berlanjut ke Barat sebelum akhirnya mencapai
Eropa. Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia tenggara pada abad-abad berikutnya,
terutama pada abad ke-5 M menjadi lebih ramai dengan hadirnya para pedagang dan pelaut
yang melintasi wilayah tersebut. Maka tak heran apabila waktu itu beberapa bandar di Asia
Tenggara seperti Lamuri di Aceh dan Perlak di Aceh Timur, Kedah di Malaysia, Martavan
dan Pegu di Myanmar, Ayuthia di Thailand dan Pandurangga di Vietnam, berubah fungsi
menjadi bandar regional. Dampak dari komunikasi internasional ini adalah masuknya
pengaruh tradisi besar ke kawasan Asia Tenggara, seperti Hindu-Budha (abad 1-5 M), Islam
(abad ke-7-13 M), dan Eropa (abad 17 M) sejalan dengan kolonialisme di Indonesia dan Asia
Tenggara umumnya (Ambary, 1998:53).
Khusus untuk Islam, perkenalannya dengan kawasan Asia Tenggara -meskipun dalam
frekuensi yang tidak terlalu besar- dimulai sejak abad 1H/7M. Ini terjadi ketika para
pedagang Muslim yang berlayar di kawasan ini singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan
Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, berlangsung
beberapa abad kemudian. Bukti tertua peninggalan arkeologi Islam di Asia Tenggara adalah
dua makam Muslim yang berangka tahun sekitar akhir abad ke-5 H/11M di dua tempat yang
sebenarnya tidak berjauhan, di Padurangga (sekarang Panrang di Vietnam) dan Leran (Gresik
Jawa Timur). Dilihat dari segi bahan yang dibuat, tampak makam ini bukan buatan lokal.
Bahan dan tulisannya yang bergaya kufi memberi kesan kuat bahwa kedua batu nisan itu
dibuat di Gujarat, India. Sejak saat itu Islam terus merasuk di kepulauan Nusantara. Dari
Malaka, proses Islamisasi masuk ke daerah pesisir utara pulau Jawa. Di tahun 1478, kerajaan
Majapahit dikalahkan oleh koalisi kerajaan-kerajaan Islam di bawah pimpinan Demak. Para
penyebar agama Islam yang berasal dari Demak kemudian mengislamkan Banjarmasin di
Kalimantan Selatan. Maluku menjadi wilayah Islam di tahun 1498. Orang-orang Makasar
yang baru saja memeluk Islam, pada gilirannya kemudian mengislamkan Bugis serta
penduduk pulau Sumbawa dan Lombok. Bugis, setelah menerima Islam kemudian
menyebarkannya ke Flores. Secara bertahap seluruh Jawa kemudian menerima Islam
(Muzani, 1993:24-25).
1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimana tahap-tahap perkembangan Islam di Nusantara?


 Bagaimana proses-proses Islamisasi di Nusantara?

1.3 Tujuan
 Mengetahui tahap-tahap perkembangan Islam di Nusantara
 Mengetahui proses Islamisasi di Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Masuknya Islam ke Nusantara


Kepastian kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada
kejelasan. Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu: Teori
Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia.
1. Teori Gujarat
Teori ini merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di
Nusantara. Dinamakan Teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-13
M, dan pelakunya adalah pedagang India Muslim. Ada dugaan bahwa peletak dasar
teori ini adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L' Arabie et les Indes
Neerlandaises atau Revue de l'Histoire des Religious. Snouck Hurgronje lebih
menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan pada: Pertama, kurangnya
fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang India-Indonesia yang telah lama terjalin.
Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan
gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Sarjana lain yang mendukung teori ini adalah W.F. Stutterheim. Dalam
bukunya De Islam en Zijn Komst In de Archipel, ia menyakini bahwa Islam masuk
ke Nusantara pada abad ke-13 dengan daerah asal Gujarat di dasarkan pada: pertama,
bukti batu nisan Sultan pertama Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik al-Shaleh
yang wafat pada 1297. Sutterheim menjelaskan bahwa relif nisan tersebut bersifat
Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kedua,
adanya kenyataan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara
Indonesia-Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-Eropa.

2. Teori Makkah
Teori ini dicetuskan oleh Hamka dalam pidatonya pada Dies Natalis PTAIN
ke-8 di Yogyakarta (1958), sebagai antitesis -untuk tidak mengatakan sebagai
koreksi- teori sebelumnya, yakni teori Gujarat. Di sini Hamka menolak pandangan
yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari
Gujarat. Selanjutnya Hamka dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di
Indonesia (1963) lebih menguatkan teorinya dengan mendasarkan pandangannya pada
peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, kemudian diikuti
oleh orang Persia dan Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan
Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.
Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam baru masuk pada
abad 13, karena kenyataanya di Nusantara pada abad itu telah berdiri suatu kekuatan
politik Islam, maka sudah tentu Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7
Masehi atau pada abad pertama Hijriyah.
Argumentasi Hamka ini tidak lepas dari kritik, diantaranya ialah adanya
kesulitan dalam membedakan antara ajaran Syi'ah dengan madzhab Syafi'i. Juga
adanya kenyataan peninggalan upacara Syi'ah dalam masyarakat Indonesia seperti,
peringatan 10 Muharram atau Asyura dan Tabut Hasan Husain. Cara membaca al-
Qur`an pun mempunyai kesamaan dengan Persia dari pada Arab.
Menanggapi kritikan di atas, Hamka mengingatkan kembali tentang sikap
umat Islam Indonesia yang menyukai sejarah Hasan Husain, dan juga menampakkan
kecintaan yang dalam terhadap keluarga Nabi Muhammad, tetapi hal itu tidak berarti
menganut paham Syi'ah. Selain itu, Hamka juga mengakui adanya peninggalan ajaran
Syi'ah di Indonesia, tetapi ia menolak dengan keras usaha sementara sarjana -terutama
para orientalis- yang mencoba memberikan informasi sejarah yang bertujuan
memisahkan Islam Indonesia dengan Makkah dan Arab dengan bahasa Arabnya.

3. Teori Persia
Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat
bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat,
sedangkan waktunya sekitar abad ke-13. Nampaknya fokus Pandangan teori ini
berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah
Gujaratnya, serta Madzhab Syafi'i-nya. Teori yang terakhir ini lebih menitikberatkan
tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia
yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia (Morgan, 1963:139-140). Di
antaranya adalah:
Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringayan
Syi'ah atas syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah
sebelah barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein
untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi
Iran alHallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya
berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh Siti Jenar
yang hidup pada abad ke16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab,
untuk tandatanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur`an tingkat awal. Keempat,
nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik
dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan muthlak
dengan teori Gujarat.
Kritikan untuk teori Persia ini dilontarkan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Ia
menyatakan sukar untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara
berasal dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke
Nusantara pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah
Umayyah. Saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan
berada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah,
Madinah, Damaskus dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki
kepemimpinan dunia Islam (Zuhri, 1979:188).

B. Tahap-tahap Perkembangan Islam di Nusantara

1. Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Indonesia

Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran
agama dan kebudayaan Islam. Letak yang strategis menyebabkan timbulnya Bandar-
bandar pedagang yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Disamping itu
cara lain yang trurt berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara ialah melalui
dakwah yang dilakukan oleh para mubaligh.

2. Penyebaran Islam Melalui Peranan Kaum Pedagang

Proses islamisasi di nusantara berawal dari datangnya para pedagang, karena jiwa
yang dimiliki umat islam khususnya bangsa arab sejak zaman sebelum islam dan
didukung semangat menyebarkan islam merupakan jihad yang mendorong umat islam
terlibat dalam dunia perdagangan. Sambil berdagang mereka memiliki kewajiban
menyebarkan ajaran islam yang dibawa oleh Muhammad SAW.

Nusantara yang merupakan jalur perdagangan Internasional sejak abad pertama


masehi membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, India) turut ambil bagian
dalam perdagangan. Mereka mendatangi pusat-pusat perniagaan di daerah pesisir. Mereka
tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama untuk berdagang sambal
memperkenalkan budaya, adat istiadat bahkan agama. Bukan hanya dengan perdagangan
tapi juga dengan asimilasi dan perkawinan. Setelah itu penduduk setempat yang telah
memeluk islam memperkenalkan ke familinya, Dan akhirnya islam mulai berkembang di
masyarakat.

3. Penyebaran Islam Melalui Peranan Bandar-Bandar di Indonesia


Bandar merupakan tempat berlabuh atau bersinggahnya kapal-kapal pedagang,
bahkan juga sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Di Bandar inilah para
pedagang yang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada masyarakat sekitar.
Dalam perkembangannya, Bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota
bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudera Pasai, Palembang, Banten,
Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Tidore, dan
Ternate.
4. Penyebaran Islam Melalui Perkawinan
Para pedagang selain melakukan kegiatan perniagaan dengan warga pribumi mereka
juga melakukan perkawinan karena perdagangan internasional membutuhkan waktu yang
lama, sebagai manusia normal tentu membutuhkan teman hidup. Puteri-putri bangsawan
banyak yang tertarik untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu.
Sebelum menikah mereka wajib diislamkan dahulu karena itu merupakan hal yang
wajib bagi para warga pribumi jika ingin diperisteri oleh pedagang islam. Setelah
perkawinan mereka memiliki keturunan, maka lingkunganpun semakin meluas, Akhirnya
dalam waktu yang lama terbentuklah perkampungan, daerah-daerah dan pada akhirnya
terbentuklah kerajaan-kerajaan islam.
5. Penyebaran Islam Melalui peran Para Wali dan Ulama
Salah satu cara penyebaran islam yaitu melalui jalur dakwah. Disamping sebagai
pedagang, para pedagang muslim juga berperan sebagi mubaligh. Para mubaligh
mendatangi masyarakat sebagai objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan social
budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggubakan budaya setempat dengan
disisipi ajaran islam didalamnya.
Di pualu Jawa sendiri penyebaran agama islam dilakukan oleh para walisongo.Peran
wali Sanga dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya tidak
dapat di sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan tanah Jawa telah
menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran masyarakat Islam Jawa. Ada yang
menganggap “Walisongo”-lah perintis awal gerakan dakwah Islam di Indonesia. Karena
jika dilihat pada fase sebelumnya, islamisasi di Nusantara lebih dilaksanakan oleh orang
perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam kasus Walisanga ini, aspek
manajemen keorganisasian telah mereka fungsikan. Yakni, mereka dengan sengaja
menempatkan diri dalam satu kesatuan organisasi dakwah yang diatur secara rasional,
sistematis, harmonis, tertentu dan kontinue serta menggunakan strategi, methode dan
fasilitas dakwah yang betul-betul efektif.
6. Penyebaran Islam melalui Pondok Pesantren
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat
Islam. Pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Setiap ada kesempatan mereka
memberikan pendidikan dan pengajaran tentan islam, dengan perbuatan berupa contoh
dan suri tauladan sehingga masyarakat menghormati dan tertarik dengan islam.
Langgar atau Surau menjadi tempat islamisasi dengan mengenal dan membaca Al-
Quran yang diajarkan oleh guru ngaji tanpa dibayar dan dipungut biaya. Pondok
Pesantren bermula dari rumah kecil yang terletak disekitar masjid, lalu berkembang
menjadi suatu sistim pendidikan yang memiliki beberapa elemen, yaitu Pondok, Mesjid,
Pengajaran Kitab Klasik, Santri dan Kiyai.
7. Penyebaran Agama Islam melalui Tasawuf
Penyebaran islam melalui tasawuf merupakan cara yang sangat efektif unuk menarik
pribumi masuk ke dalam agama islam, para sufi atau pengajar-pengajar tasawuf
mengajarkan Teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah lama dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam hal-hal magis dan mempunyai kekuatan
untuk menyembuhkan. Di antara mereka juga mengawini putri-putri bangsawan setempat.
Dengan tasawuf “bentuk” islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai
kesamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara para ahli tasawuf yang
memiliki ajaran yang memiliki ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran
Indonesia Pra-Islam adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan
Panggung di Jawa.
8. Penyebaran Islam melalui Kesenian
Para ulama kyai maupun para sunan berusaha agar islam mudah diterima dengan
berbagai metode, di antaranya adalah melalui kesenian, karena merupakan hiburan bagi
masyarakat pada zamannya sehingga kesenian ini memiliki daya Tarik yang sangat besar
bagi kaum pribumi yang fungsinya adalah menghibur sekaligus mengajak orang-orang
yang menganut agama lama untuk memeluk agama islam.
Karena perbedaan yang mencolok antara islam dengan Hindu dan Budha yang
dianggap diskriminatif, islam dating dengan memberi rahmat bagi penduduk pribumi.
Salah satu kesenian yang digunakan dalam penyebaran islam di Indonesia yaitu wayang,
oleh Sunan Kali Jaga.
9. Penyebaran Islam melalui Kekuasaan (Politik)
Kekuasaan politik pada suatu masyarakat sangat menentukan perkembangan agama
islam karena dengan kekuasaan inila perkembangan islam mendapat dukungan dari para
penguasa tanpa adanya hambatan bahkan justru mendapat angina segar dalam
penyebarannya dan merupakan factor yang sangat penting dalam proses islamisasi dalam
masyarakat.

C. Corak Islam Di Indonesia

Corak Awal Islam Nusantara Sampai Abad 17. Islam datang ke Nusantara diperkirakan
sekitar abad ke-7, kemudian mengalami perkembangan dan mengislamisasi diperkirakan
pada abad ke-13. Awal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang antara pedagang-
pedagang Arab dari Timur Tengah atau dari wilayah sekitar India, dengan kerjaan-kerajaan di
Nusantara. Perkembangannya pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan
banyaknya pemukiman muslim baik di Sumatera maupun di Jawa seperti di pesisir-pesisir
pantai.

Pada awal penyebarannya Islam tampak berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak
banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, seperti Aceh, Minangkabau, Banten,
Makassar, Maluku, serta wilayah-wilayah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses
langsung kepada peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika
itu. Menurut penulis pendapat ini kurang kuat karena bertolak belakang dengan pendapat
yang menyatakan bahwa Nusantara sebelum kedatangan Islam dipengaruhi oleh budaya
Hindu Budha. Selain itu, pendapat ini tidak memiliki bukti yang cukup kuat.

Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan transformasi


kebudayaan (peradaban) lokal. Tranformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena
Islam selain menekankan keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan
pengamalan yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.

Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem
keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi
berbarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami
peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan
berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini
mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan dan
kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada
masa-masa sebelumnya.

Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab sebagai berikut:

1. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem
kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak
siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-
mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka berada, mereka
temukan di dalam Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan
berinteraksi dengan pedagang Muslim yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan
ekonominya, mereka bisa memainkan peran penting dalam bidang politik entitas lokal
dan bidang diplomatik.
3. Kejayaan militer. Orang Muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh
kaum Muslim.
4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah
Asia Tenggara (Nusantara) yang sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian
sudah mengenal tulisan sanskerta. Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.
5. Mengajarkan penghapalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral. Ajaran
Islam yang mengandung kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk yang mudah
dipahami dan dihafalkan oleh penganut baru. Karena itulah, hafalan menjadi sangat
penting bagi para penganut baru yang semakin banyak jumlahnya.
6. Kepandaian dalam penyembuhan. Karena penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-
sebab spiritual, maka agama dipandang mempunyai jawaban terhadap berbagai
penyakit dan ini menjadi jalan untuk pengembang sebuah agama yang baru (Islam).
Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh
seorang ulama dari Pasai.
7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan
jahat. Ini terangkum dalam moral dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang taat
akan dilindungi Tuhan dari segala kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surga di
akhirat.
Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua
daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”.

Adapun corak awal Islam dipengaruhi oleh tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai
aspek berikut:

a). Aspek Politik

Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural
masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Ditambah lagi
kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian
menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih
kafir. Menurut penulis, pengambil alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini
merupakan konflik yang terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah
memeluk agama Islam, menginginkan kehidupan yang adil di bawah pimpinan yang adil
pula. Maka dalam hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin didapatkan apabila
pemimpin sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya.
Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat
kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam
Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut
menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam
Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai
penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-
kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang,
Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya.

Menurut penulis, banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak terlepas
dari adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian, terjadi kontak
antara Raja dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja kemudian diikuti oleh
rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun akan membantu penyebaran dan
pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya
kerajaan Islam yang berdiri.

b). Aspek Hukum

Adanya sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya


kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat akan diatur.

Sebelum masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu
dan tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan
kedua hukum tersebut.

Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil
menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam
masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat
masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan
dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya.

Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang
menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab
karya ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab
undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah sebagai bagian integral dalam
pembinaan tradisi politik di kawasan ini.

Sebagai contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan
kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab Syafi’i.
Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara hukum
Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan
berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian
perkara hukum didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum
kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat,
hukum dagang dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima,
hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.

Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan


hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan mempertahankan
ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

c). Aspek Bahasa

Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak
diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan, khususnya pada
masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah Persia dan Turki yang
melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara pada umumnya berlangsung damai.

Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara
(Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu
tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol
dalam perjalanan Islam di kawasan ini.

Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan
sosial keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi
peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan
kebutuhan lidah lokal.
Dari aspek tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah
signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan.
Selanjutnya, hal tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan akasara Arab Melayu atau
aksara Arab Jawi.

Ketiga aspek tersebut yang dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam yang
terus berkembang hingga abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama Islam sangat
terasa pada masa tersebut.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berbagai teori mengenai masuknya Islam ke Nusantara dikemukakan dengan keunggulan
dan kelemahan masing-masing. Teori terkuat sampai saat ini ada 3 yaitu Teori Gujarat,
Teori Makkah, dan Teori Persia.
2. Perkembangan Islam di Nusantara mengalami tahap-tahap secara berkala dengan
pedagang memegang peranan penting dalam masuknya Islam ke Nusantara dikarenakan
letak Nusantara sebagai jalur perdagangan.
3. Tahap-tahap perkembangan Islam di Nusantara mengalami kemajuan dengan berbagai
pihak yang setia menyebarkannya antara lain Wali Songo dengan dakwahnya yang
bervariasi dan menerapkan akulturasi budaya sebagai jalan dakwanya.
4. Seiring berkembangnya modernisasi, Islam juga mengalami pergeseran menuju era
modern ditandai dengan munculnya variasi-variasi gerakan maupun kelompok
kepentingan yang mengatas namakan Islam yang sering kali mengalami pergesekan demi
kepentingan pribadi maupun kelompok.
5. Gerakan Islamisasi di Nusantara masih berlanjut sampai sekarang untuk memurnikan
ajaran Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah dengan dahwah Amar Ma’ruf Nahi
Munkar dengan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber utama dan pertama yang
menjadi rujukan Agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Amien, Saiful. 2012. Al-Islam Kemuhammadiyahan. Malang: UMM Press.

https://rirarini.wordpress.com/2014/11/04/gerakan-islamisasi-nusantara/

(Diakses pada tanggal 27 Februari 2019)

Anda mungkin juga menyukai