Seminaris :
Pembimbing :
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2018
1
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………….…………………………... i
BAB I PENDAHULUAN………………………….………………………….... 1
2.1.3 Anamnesis………………………………………..……………………….. .5
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….… 58
BAB I
3
PENDAHULUAN
Penilaian dan pengelolaan pra bedah telah berkembang sebagai bagian dari
bahwa 3,1% dari kejadian perioperatif yang tidak diharapkan, serta angka
kematian 6 kali lipat lebih tinggi diakibatkan karena persiapan dan penilaian
menurunkan morbiditas pasca bedah. Kecemasan, nyeri pasca bedah, dan lamanya
Evaluasi pra bedah haruslah efisien, baik dari sudut pandang pasien
maupun petugas kesehatan. Hal ini akan lebih cost-effective, menurunkan kejadian
4
5
anestesi sebelumnya
2. Melakukan pemeriksaan fisik
3. Meninjau data diagnostik dan pemeriksaan penunjang (laboratorium, EKG,
radiologi, dll)
4. Menilai dan menentukan status fisik ASA
5. Merumuskan dan mendiskusikan rencana anestesi kepada pasien atau
pendampingnya.
Penilaian risiko yang paling umum digunakan yaitu status fisik ASA, seperti
seperti gagal ginjal, dalam terapi hemodialisis, atau gagal jantung derajat 2.
mekanik.
ASA V Pasien hampir meninggal yang mungkin akan meninggal dalam 24 jam dengan
emergensi
Disadur dari American Society of Anesthesiologists. ASA physical status
dengan tindakan anestesi dan operasi, yang juga berhubungan dengan morbiditas
Fisik ASA dengan perawatan intensif pascabedah, perawatan yang lebih lama
Tidak ada korelasi antara status fisik ASA dengan pembatalan, perawatan pasca
dalam melakukan pemeriksaan klinis berasal dari pengenalan pola yang dipelajari
2.1.3 ANAMNESIS
Anamnesis tidak hanya proses tanya jawab, tetapi juga menginterpretasi dan
tidak hanya mempermudah perencanaan anestesi yang tepat dan aman, tetapi juga
Beberapa hal yang perlu diperoleh dari anamnesis adalah sebagai berikut:
yang akan dilakukan operasi saat ini, berbagai pemeriksaan penunjang yang
bedah. Hal ini perlu dievaluasi dalam suatu pendekatan sistem organ yang
terapi ini selama masa pra bedah bergantung pada derajat keparahan
Data tindakan anestesi yang lalu perlu ditinjau untuk memperoleh informasi
berupa:
- Respons terhadap premedikasi sedasi/analgetik dan obat anestesi
- Tindakan ventilasi, laringoskopi, akses vaskular, monitoring invasif serta
maligna perawatan intensif pasca bedah dan lama bangun dan ekstubasi
6. Riwayat keluarga
Riwayat kejadian atau komplikasi perioperatif perlu ditanyakan pada keluarga,
penunjang.
f. Ginjal
Pasien dengan disfungsi ginjal memiliki banyak komorbid, umumnya
perioperatif.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi kelainan yang tidak jelas pada
bedah dan prediksi dampak serta komplikasi perioperatif. Alat ukur yang dapat
digunakan antara lain The Duke Activity Status Index, serta pengukuran aktivitas
Aktivitas Poin
Berjalan di sekitar rumah 1,75
Pekerjaan ringan: membersihkan debu, mencuci piring 2,7
Perawatan diri: memakai baju, makan, mandi, ke toilet 2,75
Berjalan 1 atau 2 blok 2,75
Pekerjaan menegah: menyapu, mengepel 3,5
Pekerjaan di taman: menyiangi rumput, memotong rumput 4,5
Aktivitas seksual 5,25
Menaiki tangga penerbangan 5,5
Bermain golf, bowling, tenis ganda, menari 6
Berenang, bermain basket, tenis tunggal, ski 7,5
Berlari dalam jarak pendek 8
11
Poin Total
Kapasitas baik >7
Kapasitas menengah 4-7
Kapasitas buruk <4
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
dari II)
Bentuk palatum Sangat melengkung atau sangat sempit
Compliance dari ruang mandibula Kaku, keras, terdapat massa
Jarak thyromental Kurang dari lebar 3 jari tangan
Panjang leher Pendek
Kekakuan leher Kaku
Pergerakan kepala dan leher Ujung dagu tidak dapat menyentuh dada
ataupun keseluruhan komponen jalan nafas yang tertera pada tabel di atas
bergantung pada konteks klinis dan keputusan pemeriksa itu sendiri. Tabel
tersebut tidak bermaksud untuk membuat daftar yang panjang dan membuat rumit
pemeriksaan jalan nafas. Urutan dari tabel ini mengikuti urutan pemeriksaan yang
Tekanan darah bila memungkinkan perlu diperiksa pada kedua lengan dan
Pemeriksaan nadi pada saat istirahat perlu diperhatikan ritme, kecukupan isi nadi
menyebabkan nadi menjadi lebih lambat. Nadi yang lebih cepat dapat terjadi pada
keadaan demam, regurgitasi aorta, ataupun sepsis. Pada dehidrasi, selain nadi
Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk penilaian jalan napas, seperti telah
dibahas sebelumnya. Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu adanya gigi yang
goyang atau tanggal, gigi tiruan, alat orthodonti, dan lain-lain. Deviasi trakhea,
massa servikal, dan distensi vena jugularis, perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut.
Pemeriksaan Toraks
pericardial rub. Adanya murmur, perlu diperhatikan penyebab lain selain jantung,
seperti anemia, penyakit tiroid, serta kehamilan. Pada pemeriksaan paru perlu
Pemeriksaan Ekstremitas
penyakit tertentu. Tes diagnostik dapat membantu dalam penilaian risiko anestesi
dan operasi, menuntun intervensi medis dalam menurunkan risiko, serta sebagai
utama: pemilihan tes apa yang dilakukan dalam pra bedah, dan apa yang harus
waktu untuk konsultasi dan tindak lanjut, serta penundaan jadwal operasi,
kecemasan dan bahkan terapi yang tidak tepat. Oleh karena itu, pemeriksaan
laboratorium pra bedah yang dilakukan adalah yang akan menimbulkan risiko
15
perioperatif bila hasil tes tersebut abnormal dan akan menurunkan risiko
tahun
Tes Fungsi Hati Hepatitis, ikterus, sirosis, penyakit bilier, kelainan
perdarahan, malnutrisi
Tes Fungsi Ginjal Diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dehidrasi,
tahun
Urinalisis Infeksi saluran kemih
Analisis Gas Darah Hipoksia (pulse oximetry < 91%), penyakit paru
tahun
Elektrokardiogram Penyakit jantung koroner, gangguan keseimbangan
pemberian digoxin
Tes Fungsi Paru Penyakit paru berat,operasi reseksi paru
komunikasi yang baik antara ahli anestesiologi, ahli bedah, dan konsultan lain
sangatlah penting. Selain itu juga diperlukan suatu sistem yang seragam dan
Penatalaksanaan anestesi pra bedah dimulai dengan persiapan psikologis dan, bila
aspirasi, dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu dinilai adanya penyakit
pada pasien sehat berdasarkan jenis makanan seperti tertera dalam tabel berikut.
Tabel 6 Pedoman Puasa Sebelum Operasi Elektif
Pedoman tersebut dapat diterapkan pada semua umur pasien sehat dan bukan
wanita hamil. Pedoman ini tidak menjamin pengosongan gaster yang sempurna.
Medikasi pra bedah yang rutin berupa obat-obatan yang memblokade sekresi
asam lambung, antasida, antiemetik pada orang yang tidak mempunyai risiko
Instruksi Medikasi
Obat antikejang
Obat asma
Pil kontrasepsi
Analgetik opioid
Tetes mata
COX-2 inhibitor
Obat-obatan yang dihentikan 7 hari sebelum operasi
Warfarin, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak tanpa blokade
bulbar
Obat-obatan yang dihentikan 48 jam sebelum operasi
Insulin regular
Suplemen besi
Obat topical
Vitamin
Premedikasi
Perlu dipahami bahwa tidak ada obat ataupun kombinasi obat yang ideal untuk
persiapan pra bedah. Dalam memilih obat yang tepat untuk premedikasi, perlu
dipertimbangkan kondisi fisik dan psikis dari pasien, status fisik, dan umur.
faktor penting (Crenshaw et al, 2008). Ahli anestesiologi harus mengetahui berat
badan, respons sebelumnya terhadap obat depresan, termasuk efek samping dan
1. Meringankan kecemasan
2. Sedasi
20
3. Amnesia
4. Analgesia
5. Mengurangi sekresi jalan napas
6. Mencegah respons refleks otonom
7. Menurunkan volume cairan lambung dan meningkatkan pH
8. Antiemetik
9. Menurunkan kebutuhan obat anestesi
10. Melancarkan induksi anestesi
11. Profilaksis dalam mengatasi reaksi alergi
Tujuan premedikasi tersebut bisa multipel dan harus disesuaikan dengan
dapat diterapkan pada hampir setiap pasien, sementara profilaksis alergi hanya
ataupun perawatan medis yang rentan terhadap infeksi maupun komplikasi serius
(Marsh & Martin, 1999). Pasien medically compromised adalah seseorang yang
mengidap satu ataupun lebih penyakit dan sedang menjalani satu atau lebih
yang perlu diperhatikan adalah efek obat anestesi terhadap kondisi tersebut, potesi
problem pada populasi dewasa yang akan menjalani pembedahan mayor non-
jantung. Setiap stres operasi akan menimbulkan respon tubuh (Pimenta et al,
hipertensi, takikardia, retensi garam dan air, hilangnya kalium (Marsh, 1999).
aktivasi dan agregasi platelet, serta penurunan fibrinolisis) dan peningkatan risiko
trombosis koroner. Hal-hal ini dapat mencetuskan iskemik miokard dan gagal
dievaluasi :
• Jenis operasi : emergensi atau non emergensi (urgensi atau elektif)
• Operasi non emergensi → evaluasi preoperatif :
Pemeriksaan fisik perlu diperhatikan :
• Penyakit Paru:
operasi (op)
• DM : kendalikan Gula Darah dgn insulin continous i.v. dan evaluasi GD ketat
• Gangguan Hematologi:
Infective Endocarditis
Infective Endocarditis (IE) adalah infeksi mikrobial pada permukaan endotelial
dari jantung atau katup jantung yang terjadi paling sering pada pasien dengan
kelainan jantung kongenital.Istilah IE digunakan karena pada dasaranya dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti halnya fungi dan bakteri.
Beberapa sumber lain menyebut penyakit ini dengan istilah bacterial endocarditis
(BE) karena paling sering disebabkan oleh bakteri (Lwarence, 2012). Penyebab
dominan IE disebabkan oleh bakteri streptococci , khususnya jenis viridans
streptococci serta staphylococci dengan tingkat dominansi 30-40%.2djuMeskipun
IE dapat terjadi pada jaringan endotel normal, namun frekuensi terjadinya IE lebih
tinggi pada permukaan yang abnormal atau pada bagian artifisial. Permukaan
abnormal tersebut merupakan habitat baik bagi perlekatan bakteri (Cawson,
2008).
Normalnya, ketika bakteri memasuki aliran darah, secara cepat akan dibasmi oleh
sirkulasi leukosit. Namun, jika terdapat defek kardiak yang bisa terkolonisasi, IE
24
bisa berkembang. Adapun sumber bakteremia dapat berasal dari operasi jantung,
katerisasi intravena dan adiksi intravena (Cawson, 2008).
IE telah diklasifikasikan berdasarkan berbagai term. Berdasarkan kecepatan onset
dan durasi simtom untuk penegakan diagnosis, IE dibagi menjadi akut dan kronis.
Berdasarkan mikroorganisme penyebab, IE dibedakan menjadi streptococcal
endocarditis, staphilococcal endocarditis, dan candidal endocarditis. Berdasarkan
tipe katup yang terinfeksi, IE diklasifikasikan menjadi native valve endocarditis
(NTE) dan prosthetic valve endocarditis (PVE). Sedangkan berdasarkan sumber
infeksi, IE dibedakan menjadi community acquired endocarditis, hospital
acquired endocarditis, dan intravenous drug user (Carpenito et al, 2009).
Keadaan umum pada bacterial endocarditis adalah demam, anemia, kultur bakteri
(+), dan murmur pada jantung (Carpenito et al, 2009). Gejala dari penyakit ini
berupa lemah, berat badan turun, lelah, demam yang meningkat pada sore dan
malam hari, meriang, berkeringat pada malam hari, anoreksia, dan arthalgia (nyeri
pada sendi). Petechiae muncul pada kulit dan jaringan mukosa (Kerawala, 2009).
Untuk penegakan diagnosa, tanda-tanda klinis ini dibagi menjadi tanda mayordan
tanda minor. Kultur darah positif dan keterlibatan endocardial (seperti
technocardiografi dan regurgitasi kutup) merupakan tanda mayor sedangkan
demam, fenomena vaskular, fenomena imunologi, bukti keterlibatan mikrobial
(selain kultur darah positif) merupakan tanda minor. Pasien akan didiagnosa IE
jika memiliki dua tanda mayor, atau satu tanda mayor dan tiga tanda minor, atau
kelima tanda minor (Carpenito et al, 2009).
Pasien dengan kelainan jantung, baik kongenital, demam reumatik, dll sebaiknya
dirujuk terlebih dahulu pada dokter spesialis penyakit jantung. Dan nantinya
mendapatkan antibiotik profilaksis sebelum dilakukannya prosedur bedah. Berikut
merupakan protokol antibiotik untuk pencegahan endokarditis:
- Anestesi umum ( tanpa risiko khusus)
Amoxicilin 1 g secara intravena ketika memulai prosedur, kemudian
amoxicilin 500 mg enam jam setelah prosedur dental. Alternatif lainnya adalah
oral amoxicilin 3 g empat jam sebelum memulai prosedur, dan oral amoxicilin 3 g
25
segera setelah prosedur atau oral amoxicilin 3 g dan oral proberecid empat jam
sebelum prosedur.
- Anestesi umum (dengan anestesi khusus)
Pasien dengan katup buatan atau positif terdiagnosis IE dengan risiko
tinggi, berikan amoxicilin 1 g dan gentamycin 120 mg yang keduanya diberikan
secara intravena ketika memulai prosedur, kemudian berikan oral amoxilin 500
mg enam jam setelah prosedur.
- Anestesi umum (pada kondisi tidak cocok dengan penicilin)
Pasien-pasien yang tidak cocok dengan penicilin membutuhkan antibitik
dari golongan yang berbeda. Alternatif yang dapat digunakan diantaranya
vancomycin 1 g secara intravena minimal 100 menit sebelum, gentamycin 120 mg
yang diberikan secara intravena pada saat prosedur atau 15 menit sebelumnya.
Atau teicoplanin 400 mg dan gentamycin 120 mg yang keduanya diberikan secara
intravena pada saat prosedur atau 15 menit sebelumnya. Atau clindamycin 300 mg
yang diberikan secara intravena minimal sepuluh menit saat prosedur atau 15
menit sebelumnya, yang dilanjutkan dengan intravena clindamycin 150 mg enam
jam setelah prosedur dental (Holmes et al, 2007).
Angina pectoris biasanya dideskripsikan sebagai tekanan yang sakit, berat, dan
sesak di region dada bagian tengah. Rasa sakit ini dapat menyebar ke lengan kiri
maupun kanan yang dapat menjalar ke leher, atau rahang bawah yang juga hadir
pada pasien MI.1 Durasi sakitnya bertahan 5-15 menit yang dapat dihentikan atau
dipersingkat durasinya dengan menggunakan nitroglycerin. Mual dengan
frekuensi yang sering, bahkan terkadang shock atau hilang kesadaran ditambah
gejala-gejala diatas merupakan gejala klinis dari MI. Rata-rata mortalitas pasien
angina sekitar 4% per tahun, prognosis tergantung pada derajat penyempitan
pembuluh darah koroner (Waitzberg et al, 2011).
Angina pectoris, yang merupakan tanda simtomatik dari miocardial infarction
(MI), terklasifikasi menjadi stable angina dan unstable angina. Stable
anginadidefinisikan sebagai rasa sakit yang dapat diprediksi kemunculan
kembalinya, dan konsisten dalam selang waktu tertentu, sedangkan un stable
26
anginadidefinisikan sebagai rasa sakit dengan onset baru, yang meningkat dalam
frekuensi tertentu, yang lebih intens dari sebelumnya, yang lebih mudah dipicu
dibanding sebelumnya atau bahkan muncul di saat beristirahat. Stable angina
dapat dipicu oleh aktifitas fisik seperti berjalan,dll, makan, atau stress yang
kemudian mereda jika faktor pemicunya dihilangkan dan beristirahat total.
Sedangkan unstable angina bahkan tidak mereda dengan nitrogliceryn dan sering
berkembang menjadi MI dalam waktu yang singkat (Lawrence, 2012).
Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara persisten yang dapat menjadi
berbahaya jika terus meningkat dan tidak dirawat. Pada umumnya, tekanan darah
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Tekanan diastole yang lebih dari 90
mmHg dan sistole yang lebih dari 140 mmHg merupakan keadaan yang tidak
normal (Mutaqin, 2009).
- Klasifikasi Hipertensi
General Management
Emosi, ketakutan, dan kecemasan dapat meningkatkan output katekolamin dan
tekanan darah. Terapi Antihipertensi diindikasikan bila tekanan sistol 200 mmHg
keatas dan diastole 110 mmHg keatas. Terapi tersebut bisa diberikan pada kondisi
dibawah itu jika ada komplikasi seperti diabetes atau penyakit ginjal. Tujuan
pemberian obat antihipertensi adalah dapat digunakan pada dosis minimum,
27
tekanan darah mencapai <140/80 mmHg, dan dengan efek samping minimal
(Lawrence, 2012).
Obat antihipertensi kadang dapat menyebabkan efek samping seperti xerostomia,
pembengkakan kelenjar saliva, lichenoid reaction, erithema multiforme,
angioedema, pembengkakan gingiva, atau parastesia (Rahajoe, 2012).
Obat Antihipertensi
GRUP MACAM EFEK
Alpha-adrenergic Doxazosin Trombositopenia
blocker Terazosin
Penatalaksanaan
Hal yang perlu diperhatikan pada pasien hipertensi sebelum melakukan perawatan
:
Merujuk pasien pada dokter spesialis penyakit dalam
Minimalisasi stress/kecemasan
Premedikasi dengan sedative
Penggunaan oksigen/nitrous oxide selama prosedur
Penggunaan local anastesi yang memadai, epinephrine dapat
digunakan dalam jumlah yang tidak besar
Tunda tindakan pada pasien dengan tekanan darah lebih dari 180/110
Pasien dengan penyakit arteri koroner yang berat dapat mengurangi risiko operasi
yang sudah ada sangan direkomendasikan sebelum operasi karena 20% angka
Umumnya semua pasien dengan penyakit jantung harus terus menggunakan obat-
bagi ektopi ventrikel dengan menggunakan lidokain, yang diberikan pada pasien
ini juga kurang dapat mentoleransi penurunan volume intravaskular dan aritmia
mencegah emboli diindikasikan pada pasien ini. Pasien stenosis mitral dan irama
kelainan katup alamiah, dan dengan derajat gangguan jantung yang sama,
buatan yang akan mengalami operasi, untuk mencegah bakteremia. Anjuran dari
30
sebelum operasi dan dalam dua dosis pascabedah (8-12 jam dan 16-24 jam pasca
1. Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe ini disebabkan oleh adanya kerusakan sel pankreas
insulin.
3. Diabetes Tipe Lain
Jenis diabetes ini disebabkan penyebab yang bervariasi, seperti
Diabetes ini merupakan kondisi diabetes sementara yang dialami pada masa
kehamilan akibat tingginya konsumsi gula, makan yang tidak seimbang, juga
kehadiran resistensi insulin pada beberapa kasus. Pada umumnya, keadaan pasien
c. Diagnosis
Telah dijabarkan sebelumnya bahwa hampir sekitar 50% kasus diperkirakan
belum terdiagnosa. Salah satu peran dokter gigi di bidang ini adalah sebagai
jabaran mengenai cara mendiagnosa diabetes mellitus, baik pada pasien yang telah
1. Gejala diabetes dan kadar gula darah sewaktu 200 g/dL atau lebih
2. Kadar glukosa puasa 126 mg/dL atau lebih
3. Kadar glukosa 2 jam 200 mg/dL atau lebih (tes ini tidak direkomendasikan
hiperglikemi akibat reaksi psikologis tubuh terhadap stres dan trauma operasi.
Respon terhadap stres ini adalah pengeluaran senyawa yang dirancang untuk
bersama infus insulin kontinu dan sering memantau kadar glukosa dan elektrolit
darah untuk mendapatkan keadaan kontrol yang adekuat. Bila diabetes sudah
glukosa darah, 150-250mg per 100ml. Pedoman paling berharga untuk terapi
insulin pada tindakan operasi di pagi hari dengan memulai infus intravena larutan
dekstrosa 5% dalam Ringer Laktat sebesar 75-100 ml per jam sebelum pemberian
insulin. Untuk diabetes tipe I yang menjalani tindakan terencana, setengah dari
dosis insulin pagi hari harus diberikan sebagai dosis insulin subkutis rutin pada
Penyakit Pernafasan
1. Asma
a. Definisi
33
menghasilkan episode rekuren sesak nafas, batuk, dan wheezing (Little, 2007).
Adapun alergen yang sering kali memicu asma adalah infeksi pada saluran
pernapasan atas, adanya aktivitas fisik yang berlebihan, udara dingin, medikasi
kimia, asap, dan status emosional yang tinggi seperti panik, gugup, dan stress
(Little, 2007).
b. Etiologi
Pada dasarnya penyebab pasti asma tidak sepenuhnya dimengerti, namun asma
yang dihirup seperti serbuk sari, debu, serangga, dll. Jenis alergi ini
memiliki prevalensi sebesar 35%, dan banyak terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda. Pada jenis alergi ini, ditemukan skintest yang positif pada
alergen yang bervariasi, sensitisasi yang dimediasi oleh IgE ketika terpajan
oleh alergen, dan ada hubungan dengan hadirnya riwayat alergi pada
keluarga penderita.
2. Intrinsic Asthma
Jenis alergi ini terjadi sekitar 30% dari kasus alergi yang muncul dan
stroberi, dll.
4. Exercise Induced Asthma
Pada dasarnya, patogenesis dari penyakit ini belum jelas diketahui, namun
inhalasi udara yang cenderung lebih dingin dari suhu di dalam tubuh yang
Jenis alergi ini banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa muda karena
(Little, 2012).
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekuensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-
obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. Bila
baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan
maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas
jalan napas.
2. Pemeriksaan Fisik
36
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang
terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takikardi. Perkusi hipersonor, auscultasi wheezing, ronchi.
Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau
tidak ada wheezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan wheezing
menurun).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga
untuk membedakan asma dengan bronchitis kronis. Pada pemeriksaan sputum
selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden,
spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya
dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya
komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis,
pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena
hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran
udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus
puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk
laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus
puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa
muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150
L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan
meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%
menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter
menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering
37
terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang
baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak
mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan
ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang
sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem
respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru
postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan
(Bronkodilator).
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :
7. Fisioterapi dada
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi
fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan
fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau
abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat
lemah.
Pengelolaan preoperatif
38
Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan
juga neurotransmiter kolinergik.
1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2
puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap
4-6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam
atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan
terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme
bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.
2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-
obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada
pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan,
dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik.
Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan
peningkatan tekanan darah sistemik.
b. Parasimpatolitik
39
Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek bronkonstriksi
terhadap iritasi jalan nafas.
a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif (Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma
yang dipicu oleh emosional.
b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara
teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau
kortikosteroid inhaler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Methilprednisolon 40-80 mg)
1-2 jam sebelum induksi anestesi. Bronkodilator harus diberikan sampai
proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama
glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi
adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama
1-3 hari post operasi.
f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
41
Kehamilan (Pregnancy)
Perubahan Fisiologis
Meskipun tidak termasuk dalam jenis keadaaan medically compromised, namun
pasien hamil memiliki konsiderasi manajemen tersendiri bagi tenaga medis.
Dokter harus mampu menjaga kesehatan pasien hamil tanpa membahayakan janin
yang sedang berkembang di dalamnya, mengingat praktik tenaga medis
melibatkan elemen-elemen yang berbahaya seperti radiasi dan administrasi obat.
Berikut merupakan keadaaan fisiologis yang normal terjadi selama kehamilan
(Little, 2007) :
- Endocrine changes, merupakan hasil dari peningkatan produksi
hormon maternal dan placental, serta dari aktivitas modifikasi organ
target.
- Selama masa trimester pertama, cenderung terjadi fatigue yang dapat
berdampak ke sisi psikologis, serta kemungkinan sincope dan
hipertensi meningkat.
- Selama masa trimester kedua, pasien akan merasa sense of well
being, namun tekanan darah cenderung rendah, yakni 100/70 mmHg
atau lebih rendah.
- Selama masa trimester ketiga, kecenderungan fatigue meningkat
kembali, memiliki rasa ketidaknyamanan (discomfort), mild
deppression, terjadi perubahan kardiovaskular, tekanan darah
meningkat hingga 40%, cardiac output meningkat hingga 30-40%,
RBC volume meningkat hingga 15-20%.
- Pada masa late pregnancy, pasien biasanya mengalami
fenomenasupine hypotension syndrome, dengan gejala berupa
penurunan tekanan darah, bradycardia, berkeringat, nausea, lemah,
sesak napas ketika berada dalam posisi supin, bahkan hilang
kesadaran. Simtom ini disebabkan kurangnya arus balik vena ke
jantung akibat kompresi vena cafa inferior dari gravid uterus.
Penanganan pasien ini dilakukan dengan memposisikan pasien ke
42
arah kiri yang akan menjauhkan uterus dari vena caca inferior.
Ketika pasien sudah diposisikan ke posisi ini, biasanya tekanan
darah pasien cepat kembali ke normal. Untuk menghindari sindrom
ini, sebaiknya dental treatment dilakukan dalam posisi duduk.
- Selain perubahan endokrin, pada pasien hamil biasanyaterjadi
perubahan darah, diantara anemia akibat peningkatan volume darah
yang lebih cepat dari massa sel darah merah, penurunan nilai
hematokrit, penurunan nilai hemoglobin, sehingga perlu
penambahan folat dan zat besi. Selain itu, terjadi juga terjadi
peningkatan jumlah sel darah putih karena terdapat peningkatan
jumlah neutrofil. Oleh karenanya, perlu berhati-hati ketika membaca
interpretasi blood count ketika terjadi proses infeksi.
- Selama proses kehamilan, dominansi sistem imun berganti dari sel T
helper 1 ke sel T helper 2 yang mengakibatkan kondisi
imunosupresan.
- Pada sistem pernapasan, terjadi penurunan volume pernapasan yang
diakibatkan oleh pembengkakan uterus dan peningkatan kebutuhan
paru akan oksigen
Pada pasien dengan kehamilan, agen sedasi yang digunakan harus merupakan
agen yang paling aman, yang banyak digunakan adalah nitrogen oksida. Lebih
lanjut, sedatif konvensional dan opioid dapat digunakan pada saat sedasi dan
menyebabkan malformasi pada fetal, tapi hal ini sekarang tidak dapat dipercaya
sepenuhnya.
Meskipun sedatif, opioid, dan anestesi lokal larut dalam air dan memasuki
sirkulasi fetal, tapi tidak ada dari obat tersebut yang menyebabkan gangguan pada
fetal jika penggunaannya dalam jangka pendek. Dalam pemilihan agen, harus
dipilih agen yang memiliki waktu paruh paling pendek (Velde and Buck,2002).
43
Obat anti-inflamasi non steroid harus dihindari selama trimester ketiga, karena
merupakan pilihan obat opioid oleh kebanyakan ahli obstetrik. Hampir semua
Buck,2002).
meletakkan bantal di sebelah kanan pasien. Hal ini akan menyebabkan pasien
agak miring ke kiri, sehingga akan mengurangi kompresi vena cava. Komplikasi
kehamilan yang mungkin terjadi harus didiskusikan dengan ahli obstetric (Little.
2007)
Penyakit Gastrointestinal
1) Hepatitis
Hepatitis merupakan inflamasi pada organ hati yang merupakan akibat dari
berbagai \hal seperti obat, racun, dan berbagai infeksi. Banyak virus penyebab
(1) Hepatitis A
pada kondisi sosioekonomi dan lingkungan miskin. Penyakit ini biasa menyerang
pada usia anak-anak dan terdapat pada daerah endemik, penyebaran penyakit ini
44
melalui faeco-oral dengan konsumsi air atau makanan yang sudah terkontaminasi
dan ikan mentah. Gejala klinis dari penyakit ini sama seperti hepatitis tipe lainnya
yaitu sakit pada otot, arthalgia, lelah, mual, muntah, sakit pada abdomen,
2009).
(2) Hepatitis B
serius. Penyakit ini menginfeksi seumur hidup, mengakibatkan sirosis hati, kanker
hati, gagal hati. Hepatitis B menginfeksi secara endemik terutama pada kondisi
pemberian obat melalui intravena, tato), seksual, dan perinatal. Hepatitis B dapat
menular antara pasien dan petugas kesehatan/ dental. Kontrol infeksi dan
imunisasi dapat mencegah infeksi pada petugas kesehatan dan dokter gigi
(Kerawala, 2009).
Tampilan Klinis
Periode inkubasi virus hepatitis B sekitar 2-6 bulan. Pada periode prodromal (1-2
terlihat jelas secara klinis, tinja terlihat pucat, dan urin menjadi gelap karena
bilirubinuria. Selain itu pasien juga mengalami nyeri otot, arthalgia, demam, dan
ruam. Komplikasi dari hepatitis B berupa carrier state, infeksi kronis, sirosis,
B:
Pasien (hemophilia, talasemia) yang menerima transfusi darah
Pasien yang menerima hemodialisis pada penyakit ginjal
45
transplantasi)
Orang dengan pekerjaan yang mengenai darah manusia (petugas
hepatitis B.
Pasien dengan kelainan tertentu seperti sindrom down, polyarteitis nodosa
Istri/suami pasien hepatitis
Pasien dengan penyakit liver kronik
Kontak dengan alat-alat non steril pasien hepatitis B
Bayi yang ibunya terinfeksi virus hepatitis B
(3) Hepatitis C
Orang dapat beresiko tinggi terkena virus hepatitis C yaitu dengan menerima
sebelum tahun 1992, renal dialysis jangka panjang, atau memiliki penyakit hati.3
ahli anestesiologi, ahli bedah, dan tim operasi harus waspada akan bahaya
46
penularan hepatitis. Pasien yang menderita hepatitis persisten kronis juga tidak
ini merupakan keadaan peradangan menahun ringan yang fungsi hatinya tidak
membahayakan. Namun pasien bentuk hepatitis aktif kronika lebih agresif dan
sirosis pasca nekrotik memiliki peningkatan risiko gagal hati akibat penyakitnya.
Pasien dengan gangguan fungsional hati yang jelas merupakan calon bedah yang
kolestasis yang sudah ada sejak beberapa minggu atau karena cedera sel hati yang
lebih ringan akibat agen hepatitis. Pada keadaan ini, dosis 10mg vitamin K
Penyakit Immunologi
HIV AIDS
HIV AIDS adalah suatu penyakit yang menyerang kkebalan tubuh penderita
karena infeksi dari suatu retrovirus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency
Evaluasi Perioperatif
infeksi oportunis
4) Bila jumlah CD4 :
47
Penyakit Hematologi
Etiologi
infeksi, kimiawi, dan alergi. Penyebab lain adalahgangguan fungsi platelet akibat
Patofisiologi
Proses perdarahan terjadi melalui tiga fase yaitu vaskuler, platelet, dan koagulasi.
Vaskuler dan platelet merupakan fase primer sedangkan koagulasi merupakan fase
sekunder. Fase koagulasi akan diikuti oleh fase fibrinolitik . Fase vaskuler terjadi
sesaat setelah terjadi trauma sehingga melibatkan vasokonstriksi arteri dan vena,
Proses ini terjadi beberapa detik setelah fase vaskuler terjadi. Pada fase koagulasi
darah akan keluar ke daerah sekitar dan akanmembatasi daerah yang terjadi
Waktu yang dibutuhkan pada fase ini lebih lambat dibandingkan fase sebelumnya.
Fase lanjutan adalah fase fibrinolitik yang ditandai dengan adanya pelepasan
(Munoz,2016).
Waktu yang dibutuhkan pada fase ini lebih lambat dibandingkan fase
Gambaran Klinis
49
Penderita dengan gangguan pembekuan darah akan jelas terlihat pada kulit
danmembran mukosa sesaat setelah terjadi trauma ataupun tindakan invasif lain.
50% penderita liver akan mengalami penurunan jumlah platelet oleh karena
PEMERIKSAAN LABORATORIS
(PT), platelet count,ivy bleeding time, platelet function analyzer 100 (PFA-100),
Penatalaksanaan
50
Sebaiknya dokter atau dokter gigi merujuk pasien terlebih dahulu pada dokter
bangkitan epieptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang
Klasifikasi
Berdasarkan tanda klinis, kejang dibagi menjadi :
penderita mengalami sentakan tiba-tiba. Tetapi hal ini bias terjadi pada
pasien normal
d. Atonic Seizure
Jenis ini jarang terjadi dimana pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan
Pemeriksaan Penunjang
- Elektro-Ensefalografi (EEG)
- MRI
Penatalaksanaan
10-15 mg/kg BB secara IV, dan 5 mg/kg BB per oral untuk anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
Bricker SL, P Langlais, and C S Miller. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and
Treatment Plannin. Malvern: Lea & Febiger. 1994; 46-67
Cascarini Luke. 2012. Bedah Mulut & Maksilofacial. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kerawala, Cyrus, and Carrie Newlands. 2009. Oral and Maxillofacial Surgery.
UK: OUP Oxford.
Little, J. P., 2007. Risk, values, and Decision Making Surounding Pregnancy.
109(4): 979-984.
Probasco, J., Sahin, B. and Tan, T., 2013. The Pre-operative Neurological
Evaluation, 3(4):209-220.
Waitzberg DL, Ravacci GR, Raslan M. Hospital hyponutrition. Nutr Hosp. 2011;
26(2): 254-64.
Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum, Jakarta, Dian
Rakyat, 2008, hal 112-115.
Smeltzer, SC dan Bare, BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. 100-110.
Veld, M and Buck, E., 2002. Anesthesia for Non-Obstetric Surgery in the Pregnant
Patient., 73(4):235-240.