Anda di halaman 1dari 55

SEMINAR BEDAH UMUM

PRINSIP-PRINSIP PERSIAPAN PRABEDAH

DENGAN PASIEN MEDICALLY COMPROMISED

Seminaris :

Lulu Luthfiah (160112160524)

Karina Agustin (160112170045)

Yosia Christi (160112170091)

Dhea Ferrani (160112170067)

Pembimbing :

Dr. drg. Endang Syamsudin . Sp.BM(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJAJARAN

BANDUNG

2018

1
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………….…………………………... i

BAB I PENDAHULUAN………………………….………………………….... 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………. 1


1.2 Tujuan Penulisan…………………………………………………………….. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……..………………………………………….2.

2.1 Persiapan Pra Bedah………………………………………………………..... 2

2.1.1 Penilaian dan Strafikasi Risiko………………………………………….. 3

2.1.2 Visite Pra bedah……………………………..……………………………. .4

2.1.3 Anamnesis………………………………………..……………………….. .5

2.1.4 Pemeriksaan Fisik……………………………………..…………………… 9

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang………………………………………..…………. 13

2.1.6 Manajemen Pra Bedah dan Premedikasi……………………..………….... 16

2.2 Pasien Medically Compromised………………………………...……….…. 21

2.2.1 Klasifikasi Pasien Medically Compromised……………………..…….… 21

BAB III KESIMPULAN………………………………………………….……57

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….… 58

BAB I
3

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemeriksaan objektif secara lengkap, termasuk pencatatan riwayat fisik pasien


baik secara lokal maupun sistemik selayaknya dilakukan dengan cermat oleh para
tenaga medis. Pencatatan riwayat medik secara lengkap ini bermanfaat sebagai
data dasar kondisi umum pasien yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
apakah terdapat masalah spesifik yang nantinya akan menghambat perawatan atau
bahkan dapat menjadi komplikasi saat dilakukan perawatan medis. Mengingat
pentingnya pengetahuan akan penanganan pasien kompromis medis, dalam
makalah ini akan dijabarkan penjelasan mengenai persiapan pra bedah pasien
kompromis medis.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bagian dari pemenuhan tugas akademis Seminar Bedah
Umum
2. Sebagai salah satu syarat dalam pendidikan profesi dokter gigi
3. Sebagai ilmu pengetahuan bagi para mahasiswa Kedokteran Gigi FKG
Unpad mengenai persiapan pra bedah pasien kompromis medis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERSIAPAN PRA BEDAH

Penilaian dan pengelolaan pra bedah telah berkembang sebagai bagian dari

peranan dokter di luar kamar operasi. Di bawah ini merupakan tujuan

utama evaluasi dan persiapan pra bedah, antara lain:

1. Dokumentasi kondisi yang dibutuhkan saat pembedahan

2. Penilaian status kesehatan pasien secara umum

3. Menentukan resiko perioperatif

4. Mengoptimalkan kondisi medis pasien dengan tujuan mengurangi

kesakitan dan kematian perioperatif

Data dari Australian Incident Monitoring Study (AIMS) menunjukkan

bahwa 3,1% dari kejadian perioperatif yang tidak diharapkan, serta angka

kematian 6 kali lipat lebih tinggi diakibatkan karena persiapan dan penilaian

prabedah yang tidak adekuat.

Persiapan dan edukasi pra bedah dapat memudahkan pemulihan dan

menurunkan morbiditas pasca bedah. Kecemasan, nyeri pasca bedah, dan lamanya

perawatan sangat dipengaruhi oleh penanganan pra bedah.

Evaluasi pra bedah haruslah efisien, baik dari sudut pandang pasien

maupun petugas kesehatan. Hal ini akan lebih cost-effective, menurunkan kejadian

pembatalan operasi, lama perawatan, dan komplikasi pasca bedah.

4
5

Berdasarkan pedoman dari American Society of Anesthesiologists (ASA), visite

pra bedah mencakup:

1. Anamnesis untuk melihat meninjau kondisi medis, riwayat pengobatan dan

anestesi sebelumnya
2. Melakukan pemeriksaan fisik
3. Meninjau data diagnostik dan pemeriksaan penunjang (laboratorium, EKG,

radiologi, dll)
4. Menilai dan menentukan status fisik ASA
5. Merumuskan dan mendiskusikan rencana anestesi kepada pasien atau

pendampingnya.

2.1.1 PENILAIAN DAN STRATIFIKASI RISIKO

Penilaian risiko yang paling umum digunakan yaitu status fisik ASA, seperti

tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 1 Klasifikasi Status Fisik ASA (American Society of Anesthesiologists)


ASA I Pasien sehat tanpa penyakit organik, biokimia ataupun psikiatrik
ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan, seperti asma ringan atau hipertensi

terkontrol. Tidak ada pengaruh yang bermakna pada aktivitas sehari-hari.

Tidak mempengaruhi tindakan anestesi dan operasi


ASA III Penyakit sistemik berat atau secara bermakna membatasi aktivitas sehari-hari,

seperti gagal ginjal, dalam terapi hemodialisis, atau gagal jantung derajat 2.

Cukup mempengaruhi tindakan anestesi dan operasi


ASA IV Penyakit berat yang mengancam nyawa atau membutuhkan terapi intensif,

seperti infark miokardial akut, gagal nafas yang membutuhkan ventilasi

mekanik.

Sangat mempengaruhi tindakan anestesi dan operasi


6

ASA V Pasien hampir meninggal yang mungkin akan meninggal dalam 24 jam dengan

atau tanpa tindakan operasi


ASA VI Donor organ pada mati otak
“E” ditambahkan pada status di atas (ASA I-ASA VI) menunjukkan operasi

emergensi
Disadur dari American Society of Anesthesiologists. ASA physical status

classification system. www.asahq.org

Sistem klasifikasi ini diterapkan dalam mengukur risiko yang berhubungan

dengan tindakan anestesi dan operasi, yang juga berhubungan dengan morbiditas

dan mortalitas. Beberapa studi memperlihatkan adanya hubungan antara Status

Fisik ASA dengan perawatan intensif pascabedah, perawatan yang lebih lama

pada beberapa tindakan operasi, serta dampak kardiopulmonal yang merugikan.

Tidak ada korelasi antara status fisik ASA dengan pembatalan, perawatan pasca

bedah yang tidak direncanakan pada pasien rawat jalan.

2.1.2 VISITE PRA BEDAH

Anamnesis dan pemeriksaan klinis, yang menunjuk pada pemeriksaan klinis,

dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis banding. Sebuah studi

menunjukkan bahwa 56% dari diagnosis yang tepat dibuat berdasarkan

anamnesis, dan meningkat menjadi 73% dengan pemeriksaan fisik. Kemampuan

dalam melakukan pemeriksaan klinis berasal dari pengenalan pola yang dipelajari

dengan melihat pasien dan mendengarkan riwayat penyakitnya. Identitas pasien

pun perlu dicatat dengan lengkap.


7

2.1.3 ANAMNESIS

Anamnesis tidak hanya proses tanya jawab, tetapi juga menginterpretasi dan

mendokumentasikan dengan hati-hati jawaban dari pasien. Anamnesis yang baik

tidak hanya mempermudah perencanaan anestesi yang tepat dan aman, tetapi juga

dapat menegakkan diagnosis yang lebih akurat dan cost-effective daripada

melakukan skrining tes laboratorium.

Beberapa hal yang perlu diperoleh dari anamnesis adalah sebagai berikut:

1. Riwayat penyakit yang akan dioperasi saat ini


Ahli anestesiologi harus mempelajari gejala yang dikeluhkan akibat penyakit

yang akan dilakukan operasi saat ini, berbagai pemeriksaan penunjang yang

telah dilakukan, diagnosis, terapi berikut responsnya.


2. Penyakit penyerta
Penyakit penyerta ini dapat menjadi penyulit dalam tindakan anestesi dan

bedah. Hal ini perlu dievaluasi dalam suatu pendekatan sistem organ yang

sistematis dengan penekanan pada perubahan-perubahan terkini dari gejala,

tanda dan terapinya.


3. Riwayat pengobatan
Adanya terapi pada penyakit penyerta ataupun penyakit operasi saat ini perlu

diketahui macam obat, dosis dan jadwalnya. Keputusan dalam melanjutkan

terapi ini selama masa pra bedah bergantung pada derajat keparahan

penyakitnya, konsekuensi yang mungkin terjadi dari penghentian terapi, waktu

paruh obat, dan interaksinya dengan obat anestesi.


4. Reaksi obat dan alergi
Sangat penting untuk mendapatkan informasi obat yang mengakibatkan alergi,

serta gambaran reaksi alergi yang dialami pasien.


5. Riwayat anestesi
8

Data tindakan anestesi yang lalu perlu ditinjau untuk memperoleh informasi

berupa:
- Respons terhadap premedikasi sedasi/analgetik dan obat anestesi
- Tindakan ventilasi, laringoskopi, akses vaskular, monitoring invasif serta

tindakan lainnya beserta kesulitan yang terjadi


- Komplikasi periopertif seperti cedera gigi, mual dan muntah,

ketidakstabilan kardiopulmonal, kejadian infark miokardial, hipertermia

maligna perawatan intensif pasca bedah dan lama bangun dan ekstubasi
6. Riwayat keluarga
Riwayat kejadian atau komplikasi perioperatif perlu ditanyakan pada keluarga,

terutama dengan hipertermia maligna


7. Tinjauan berdasarkan sistem organ
a. Kardiovaskular
Komplikasi kardiovaskular merupakan penyebab tersering kejadian

morbiditas selama periode perioperatif. Perlu ditanyakan adanya nyeri

dada (intensitas, durasi, faktor presipitasi, gejala yang berhubungan, faktor

yang mengurangi nyeri). Selain itu perlu ditanyakan tentang dispnea

d’effort yang berhubungan dengan gagal jantung


b. Sistem pernapasan
Pada asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), atau penyakit saluran

napas lainnya perlu ditanyakan tentang sesak, eksaserbasi terkini, terapi,

dan penggunaan steroid atau oksigen, perawatan dan intubasi.


c. Hematologi
Perlu ditentukan riwayat dan penyebab anemia, gejala yang berhubungan,

serta terapi (terutama transfusi), serta riwayat pasien ataupun keluarga

pasien dengan kelainan perdarahan atau hiperkoagulasi. Operasi yang luas

perlu dipertimbangkan perdarahan yang banyak dan kondisi komorbid

pasien akan berdampak pada oksigenasi, seperti penyakit pulmonal,

serebrovaskular dan kardiovaskular.


d. Sistem saraf
9

Pada pasien dengan penyakit neurologis (seperti stroke, kelainan kejang,

multipel sklerosis), riwayat detail perlu difokuskan pada kejadian terkini,

eksaserbasi, defisit neurologis, dan kontrol terapi.


e. Hati
Pasien dengan penyakit hati yang berat akan meningkatkan morbiditas dan

mortalitas perioperatif. Adanya ensefalopati, koagulaopati, asites, volume

overload perlu diketahui dan perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan

penunjang.
f. Ginjal
Pasien dengan disfungsi ginjal memiliki banyak komorbid, umumnya

berhubungan dengan vaskulopati, seperti hipertensi, penyakit

kardiovaskular, dan gangguan elektrolit. Perlu ditanyakan tentang riwayat

terapi hipertensi, dialisis berikut kontrol terapinya.


g. Muskuloskeletal
Deformitas dapat menimbulkan masalah jalan napas dan manajemen

anestesi regional. Inflamasi kronis perlu diperhatikan pada pasien artritis

rematoid, systemic lupus erythematosus (SLE), scleroderma, di mana

sering menimbulkan disfungsi multiorgan.


h. Endokrin
Diabetes dan penyakit tiroid merupakan endokrinopati yang tersering.

Diabetes dengan neuropati otonom dapat menimbulkan silent iskemia

intraoperatif. Selain terapi berikut kontrolnya, perlu ditanyakan pada

pasien diabetes tentang disfungsi multiorgan yang terjadi: insufisiensi

renal, stroke, neuropati perifer, dan penyakit kardiovaskular.


8. Kebiasaan sehari-hari
Perlu diketahui kebiasaan merokok ataupun konsumsi alkohol dan obat

terlarang. Anjuran berhenti merokok dalam 2 – 4 minggu sebelum operasi


10

elektif dapat menurunkan hipereaktivitas jalan nafas dan komplikasi pulmonal

perioperatif.

2.1.4 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi kelainan yang tidak jelas pada

anamnesis. Pemeriksaan fisik pada pasien asimptomatis setidaknya meliputi tanda

vital, pemeriksaan jalan nafas, kardiopulmonal dan sistem muskuloskeletal

menggunakan teknik standar inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi.

Penentuan fungsi kapasitas kardiopulmonal sangat berguna dalam evaluasi pra

bedah dan prediksi dampak serta komplikasi perioperatif. Alat ukur yang dapat

digunakan antara lain The Duke Activity Status Index, serta pengukuran aktivitas

fisik dengan Metabolic equivalent (MET) yang menunjukkan volume oksigen

yang dikonsumsi selama aktivitas tertentu. Beberapa studi membuktikan bahwa

ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas fisik menengah (4-5 METS)

menunjukkan adanya komplikasi perioperatif.

Tabel 2 Metabolic Equivalents (METS) dari kapasitas fungsional

Aktivitas Poin
Berjalan di sekitar rumah 1,75
Pekerjaan ringan: membersihkan debu, mencuci piring 2,7
Perawatan diri: memakai baju, makan, mandi, ke toilet 2,75
Berjalan 1 atau 2 blok 2,75
Pekerjaan menegah: menyapu, mengepel 3,5
Pekerjaan di taman: menyiangi rumput, memotong rumput 4,5
Aktivitas seksual 5,25
Menaiki tangga penerbangan 5,5
Bermain golf, bowling, tenis ganda, menari 6
Berenang, bermain basket, tenis tunggal, ski 7,5
Berlari dalam jarak pendek 8
11

Poin Total
Kapasitas baik >7
Kapasitas menengah 4-7
Kapasitas buruk <4

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan

berkembangnya penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, dan diabetes,

dan dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB (kg) / TB2 (m2)

BB: berat badan

TB: tinggi badan

Tabel 3 Interpretasi Nilai IMT

Nilai IMT Status Berat Badan


< 18,5 Underweight
18,5 – 24,9 Normal
25,0 – 29,9 Overweight
 30 Obese

Pemeriksaan Jalan Napas

Di bawah ini beberapa komponen pemeriksaan jalan nafas.

Tabel 4 Komponen Pemeriksaan Jalan Nafas Preoperatif

Pemeriksaan Hasil yang mungkin menyulitkan

Panjang gigi insisi atas Relatif panjang


Hubungan gigi insisif maksila dan Deepbite
12

mandibula waktu mulut terkatup


Hubungan gigi insisif maksila dan Overjet yang besar

mandibula waktu mulut terbuka


Penglihatan uvula Tidak terlihat ketika lidah dikeluarkan

pada posisi duduk (Malampati score lebih

dari II)
Bentuk palatum Sangat melengkung atau sangat sempit
Compliance dari ruang mandibula Kaku, keras, terdapat massa
Jarak thyromental Kurang dari lebar 3 jari tangan
Panjang leher Pendek
Kekakuan leher Kaku
Pergerakan kepala dan leher Ujung dagu tidak dapat menyentuh dada

serta leher tidak dapat diekstensikan

Tabel di atas memperlihatkan hasil pemeriksaan dari jalan nafas yang

memperkirakan adanya kesulitan intubasi. Keputusan dalam memeriksa beberapa

ataupun keseluruhan komponen jalan nafas yang tertera pada tabel di atas

bergantung pada konteks klinis dan keputusan pemeriksa itu sendiri. Tabel

tersebut tidak bermaksud untuk membuat daftar yang panjang dan membuat rumit

pemeriksaan jalan nafas. Urutan dari tabel ini mengikuti urutan pemeriksaan yang

biasa dilakukan dalam tindakan laringoskopi.

Pemeriksaan Tanda Vital

Tekanan darah bila memungkinkan perlu diperiksa pada kedua lengan dan

perbedaan antara keduanya dicatat (perbedaan bermakna secara tidak langsung


13

memperlihatkan adanya penyakit pada aorta torakal atau cabang-cabang

besarnya). Hipotensi ortostatik perlu dicurigai adanya hipovolemia.

Pemeriksaan nadi pada saat istirahat perlu diperhatikan ritme, kecukupan isi nadi

(menunjukkan perfusi) dan frekuensi. Pemberian obat -blocker dapat

menyebabkan nadi menjadi lebih lambat. Nadi yang lebih cepat dapat terjadi pada

keadaan demam, regurgitasi aorta, ataupun sepsis. Pada dehidrasi, selain nadi

lebih cepat, juga disertai nadi yang lemah.

Pernapasan perlu dinilai frekuensi, pola dan kedalaman napas.

Pemeriksaan Kepala dan Leher

Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk penilaian jalan napas, seperti telah

dibahas sebelumnya. Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu adanya gigi yang

goyang atau tanggal, gigi tiruan, alat orthodonti, dan lain-lain. Deviasi trakhea,

massa servikal, dan distensi vena jugularis, perlu dilakukan pemeriksaan lebih

lanjut.

Pemeriksaan Toraks

Auskultasi jantung dapat ditemukan adanya murmur, irama gallop, ataupun

pericardial rub. Adanya murmur, perlu diperhatikan penyebab lain selain jantung,

seperti anemia, penyakit tiroid, serta kehamilan. Pada pemeriksaan paru perlu

diperhatikan adanya kerja napas, penggunaan otot respirasi asesorius, wheezing,

ronkhi, rales, dan menurunnya bunyi napas.


14

Pemeriksaan Abdomen dan Punggung

Adanya massa, distensi dan asites perlu dipikirkan pengaruhnya terhadap

pernapasan, serta risiko regurgitasi. Pada punggung perlu diperhatikan adanya

deformitas dan tanda infeksi.

Pemeriksaan Ekstremitas

Diperhatikan adanya clubbing, sianosis, infeksi kutan, terutama bila tempat

tersebut direncanakan untuk kanulasi vaskular ataupun blokade saraf regional.

2.1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menilai kondisi medis dan

mendiagnosis kondisi asimptomatik yang telah diketahui sebagai faktor risiko

penyakit tertentu. Tes diagnostik dapat membantu dalam penilaian risiko anestesi

dan operasi, menuntun intervensi medis dalam menurunkan risiko, serta sebagai

nilai dasar dalam mengambil keputusan intra maupun pasca operasi.


Penggunaan pemeriksaan penunjang ini berkembang pada 2 masalah

utama: pemilihan tes apa yang dilakukan dalam pra bedah, dan apa yang harus

dilakukan bila tidak terduga hasil tes tersebut abnormal. Pemeriksaan

laboratorium yang berlebihan tersebut akan meningkatkan biaya, menambah

waktu untuk konsultasi dan tindak lanjut, serta penundaan jadwal operasi,

kecemasan dan bahkan terapi yang tidak tepat. Oleh karena itu, pemeriksaan

laboratorium pra bedah yang dilakukan adalah yang akan menimbulkan risiko
15

perioperatif bila hasil tes tersebut abnormal dan akan menurunkan risiko

perioperatif bila hasil abnormal tersebut dikoreksi.


Menurut ASA, pemeriksaan penunjang pra operasi sebaiknya tidak

dilakukan secara rutin. Pemeriksaan itu haruslah diminta, dibutuhkan, dan

dilakukan pada kondisi selektif untuk optimalisasi manajemen perioperatif. Pada

tabel berikut disebutkan jenis pemeriksaan atas indikasi.

Tabel 5 Pemeriksaan Penunjang Preoperatif atas Indikasi

Jenis Pemeriksaan Indikasi

Hematologi lengkap Kelainan hematologi, koagulopati, neonatus, stroke,

(Complete Blood keganasan, kemoterapi, penyakit malabsorbsi/nutrisi

Count) buruk, operasi dengan perdarahan banyak, trauma,

riwayat terapi steroid dan antikoagulan


Koagulasi (PT, APTT, Koagulopati, riwayat terapi antikoagulan, penyakit

INR) hati, alkoholik, malnutrisi


Elektrolit (Na, K, Ca, Penyakit ginjal, kelainan endokrin, kelainan

Cl, Mg) serebrovaskular, malnutrisi, pemberian digoksin,

diuretika, atau steroid, operasi risiko tinggi


Glukosa darah Diabetes, morbid obese, penyakit serebrovaskuler,

penyakit endokrin, pemberian steroid, umur  75

tahun
Tes Fungsi Hati Hepatitis, ikterus, sirosis, penyakit bilier, kelainan

perdarahan, malnutrisi
Tes Fungsi Ginjal Diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dehidrasi,

gagal jantung, edema perifer, asites, gangguan


16

berkemih, riwayat transplantasi ginjal, umur  75

tahun
Urinalisis Infeksi saluran kemih
Analisis Gas Darah Hipoksia (pulse oximetry < 91%), penyakit paru

(AGD) berat, gagal jantung, kelainan musculoskeletal yang

berdampak pada ventilasi


Foto toraks Kelainan kardiovaskular dan pulmonal, massa

mediastinum, deviasi trakhea, riwayat infeksi

pernapasan, perokok berat, keganasan, umur  75

tahun
Elektrokardiogram Penyakit jantung koroner, gangguan keseimbangan

(EKG) elektrolit, gagal jantung, penyakit serebrovaskular,

pemberian digoxin
Tes Fungsi Paru Penyakit paru berat,operasi reseksi paru

2.1.6 MANAJEMEN PRA BEDAH DAN PREMEDIKASI


Manajemen kondisi komorbid dan intervensi dalam menurunkan risiko

sama pentingnya dengan identifikasi dan menegakkan diagnosis. Koordinasi dan

komunikasi yang baik antara ahli anestesiologi, ahli bedah, dan konsultan lain

sangatlah penting. Selain itu juga diperlukan suatu sistem yang seragam dan

metode yang konsisten dalam penilaian dan manajemen pra bedah.

Penatalaksanaan anestesi pra bedah dimulai dengan persiapan psikologis dan, bila

diperlukan, premedikasi (Arwani, 2013).


Puasa Pra Bedah
17

Puasa pra bedah dimaksudkan untuk menekan risiko regurgitasi dan

aspirasi, dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu dinilai adanya penyakit

refluks gastrointestinal, gejala disfagia, kelainan motilitas gastrointestinal, potensi

kesulitan manajemen jalan napas, serta kelainan metabolik yang dapat

meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi paru (Majid, 2013).


American Society of Anesthesiologists merekomendasikan puasa pra bedah

pada pasien sehat berdasarkan jenis makanan seperti tertera dalam tabel berikut.
Tabel 6 Pedoman Puasa Sebelum Operasi Elektif

Jenis Asupan Makanan Periode puasa minimum


Cairan jernih* 2 jam
ASI 4 jam
Susu formula 6 jam
Susu non-ASI 6 jam
Makanan ringan 6 jam
*contoh cairan jernih termasuk air minum, jus tanpa ampas, minuman berkarbonasi, teh
jernih, dan kopi hitam

Pedoman tersebut dapat diterapkan pada semua umur pasien sehat dan bukan

wanita hamil. Pedoman ini tidak menjamin pengosongan gaster yang sempurna.

Medikasi pra bedah yang rutin berupa obat-obatan yang memblokade sekresi

asam lambung, antasida, antiemetik pada orang yang tidak mempunyai risiko

aspirasi, tidak direkomendasikan. Pemberian antikolinergik dalam menurunkan

risiko aspirasi tidak direkomendasikan (Cascarini, 2012).

Instruksi Medikasi

Beberapa pengobatan sebaiknya terus dilanjutkan pada hari operasi karena

mempunyai efek yang menguntungkan, sementara yang lainnya malah

membahayakan atau menjadi kontraindikasi (Purwaningsih, 2012). Seperti tertera

pada tabel di bawah ini menurut ASA :


18

Tabel 7 Pedoman Instruksi Medikasi Pra Bedah


Obat-obatan yang dilanjutkan pada hari operasi

Antidepresan, antianxietas, obat-obatan psikiatrik

Obat antihipertensi selain ACE-Inhibitor, Angiotensin antagonis

Obat antikejang

Obat asma

Pil kontrasepsi

Obat-obatan kardiak (seperti digoxin)

Diuretik, hanya triamteren dan hidroklorotiazid (HCT)

Obat-obatan refluks dan heartburn

Insulin – semua intermediate, kombinasi, dan

Analgetik opioid

Tetes mata

Obat golongan statin

Steroid oral ataupun inhalasi

Obat terapi tiroid

COX-2 inhibitor
Obat-obatan yang dihentikan 7 hari sebelum operasi

Aspirin, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak

Clopidogrel, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak

Obat herbal dan suplemen non vitamin

Terapi pengganti hormone


Obat-obatan yang dihentikan 4 hari sebelum operasi
19

Warfarin, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak tanpa blokade

bulbar
Obat-obatan yang dihentikan 48 jam sebelum operasi

Obat antiinflamasi non- steroid (NSAID)


Obat-obatan yang dihentikan 24 jam sebelum operasi

Obat disfungsi ereksi


Obat yang dihentikan pada hari operasi

Diuretik selain triamteren dan hidroklorotiazid (HCT)

Insulin regular

Suplemen besi

Obat antidiabetik oral

Obat topical

Vitamin

Premedikasi

Perlu dipahami bahwa tidak ada obat ataupun kombinasi obat yang ideal untuk

persiapan pra bedah. Dalam memilih obat yang tepat untuk premedikasi, perlu

dipertimbangkan kondisi fisik dan psikis dari pasien, status fisik, dan umur.

Prosedur operasi, durasinya, operasi elektif ataupun emergensi, juga merupakan

faktor penting (Crenshaw et al, 2008). Ahli anestesiologi harus mengetahui berat

badan, respons sebelumnya terhadap obat depresan, termasuk efek samping dan

alergi (Sidharta, 2008).

Tujuan premedikasi antara lain:

1. Meringankan kecemasan
2. Sedasi
20

3. Amnesia
4. Analgesia
5. Mengurangi sekresi jalan napas
6. Mencegah respons refleks otonom
7. Menurunkan volume cairan lambung dan meningkatkan pH
8. Antiemetik
9. Menurunkan kebutuhan obat anestesi
10. Melancarkan induksi anestesi
11. Profilaksis dalam mengatasi reaksi alergi
Tujuan premedikasi tersebut bisa multipel dan harus disesuaikan dengan

kebutuhan pasien. Beberapa sasaran, seperti meringankan kecemasan dan sedasi,

dapat diterapkan pada hampir setiap pasien, sementara profilaksis alergi hanya

dibutuhkan pada beberapa kasus saja.


Waktu dan rute pemberian premedikasi juga penting. Sebagai aturan

umum, obat per oral diberikan 60 – 90 menit sebelum kedatangan di kamar

operasi. Obat intravena mempunyai efek yang cepat, sementara obat

intramuskular seharusnya diberikan minimal 20 menit sebelum pasien tiba di

kamar operasi (Bricker, 1994).


Tabel 8 Obat-obatan Premedikasi yang umum digunakan

Nama Obat Rute pemberian Dosis


Lorazepam Oral, IV 0,5–4 mg
Midazolam IV 1,0–2,5 mg, titrasi
Fentanyl IV 25–100 µg, titrasi
Morphine IV 1.0–2,5 mg, titrasi
Meperidine IV 10–25 mg, titrasi
Cimetidine Oral, IV 150–300 mg
Ranitidine Oral 50–200 mg
Metoclopramide IV 5–10 mg
Atropine IV 0,3–0,4 mg
Glycopyrrolate IV 0,1–0,2 mg
Scopolamine IV 0,1–0,4 mg

2.2 PASIEN MEDICALLY COMPROMISED


21

Pasien dengan medically compromised adalah seseorang dengan kondisi medis

ataupun perawatan medis yang rentan terhadap infeksi maupun komplikasi serius

(Marsh & Martin, 1999). Pasien medically compromised adalah seseorang yang

mengidap satu ataupun lebih penyakit dan sedang menjalani satu atau lebih

medikasi sebagai perawatan penyakitnya tersebut (Ganda, 2008). Aspek khusus

yang perlu diperhatikan adalah efek obat anestesi terhadap kondisi tersebut, potesi

interaksi obat, serta kegawatdaruratan medis (Coulthard, et al., 2003).

2.2.1 KLASIFIKASI PASIEN MEDICALLY COMPROMISED


Menurut Little (2012), kondisi medically compromised terbagi kedalam

- Cardiovascular disease, misalnya infective endocarditis dan hipertensi


- Pulmonary disease, misalnya asma
- Gastrointestinal disease, misalnya hepatitis
- Endokrin dan metabolic disease, misalnya diabetes melitus dan kehamilan
- Immunologic Disease, misalnya HIV AIDS

Cardiovascular Disease (Penyakit Jantung)


Morbiditas dan mortalitas perioperasi pada pasien jantung terutama merupakan

problem pada populasi dewasa yang akan menjalani pembedahan mayor non-

jantung. Setiap stres operasi akan menimbulkan respon tubuh (Pimenta et al,

2013). Trauma jaringan akan memunculkan berbagai faktor neuroendokrin

akibatnya akan terjadi aktivasi sistem simpatoadorenergik (adrenalin &

noradrenalin), sistem ReninAngiotensin-Aldosteron, korteks adrenal (kortisol),

hipofise (adrenokortikotropik, Growth Hormon, vasopresin, Anti Diuretic

Hormon) dan endothel (endothelin), yang akan menyebabkan vasokonstriksi,

hipertensi, takikardia, retensi garam dan air, hilangnya kalium (Marsh, 1999).

Perpindahan cairan yang terjadi selama prosedur pembedahan juga turut

menambah beban tubuh terhadap stres operasi, semua ini meningkatkan


22

kebutuhan oksigen tubuh. Pembedahan juga menyebabkan perubahan

keseimbangan faktor-faktor fibrinolitik dan protrombotik, akibatnya terjadi

hiperkoagulabilitas (kenaikan fibrinogen dan faktor-faktor koagulasi, peningkatan

aktivasi dan agregasi platelet, serta penurunan fibrinolisis) dan peningkatan risiko

trombosis koroner. Hal-hal ini dapat mencetuskan iskemik miokard dan gagal

jantung (Smeltzer, 2002).


Pasien yang dicurigai atau terbukti memiliki kelainan kardiovaskular (KV) perlu

dievaluasi :
• Jenis operasi : emergensi atau non emergensi (urgensi atau elektif)
• Operasi non emergensi → evaluasi preoperatif :
Pemeriksaan fisik perlu diperhatikan :

1) Keadaan Umum (KU) pasien, kulit sianosis, pucat, sesak saat

percakapan atau aktifitas minimal, pernafasan Cheyne-Stokes, nutrisi

jelek atau obesitas, deformitas skletal, ansietas.


2) Tanda Vital, termasuk tekanan darah kedua lengan (Kontra Indikasi

utk pembedahan elektif Sistolik> 180mmHg, Diastolik> 110mmHg),

bradikardi, takikardi, irregularitas.


3) Pulsasi arteri karotis & auskultasi ada tidaknya bruits (bising karotis)
4) Tekanan & pulsasi vena jugularis
5) Palpasi & auskultasi prekordial (murmur, gallop)
6) Auskultasi paru (ronki, wheezing)
7) Palpasi & auskultasi abdomen (asites, hepatosplenomegali)
8) Ekstremitas : edem, sianosis, akral dingin, integritas vaskular

Ada tidaknya penyakit penyerta (komorbid) juga perlu mendapat perhatian

• Penyakit Paru:

- Penyakit paru obstruksi atau retriksi→meningkatnya komplikasi perioperatif

- Infeksi paru: antibiotik


23

- Steroid dan bronkodilator → mudah aritmia - indikasi Ronsen thoraks pre

operasi (op)

• DM : kendalikan Gula Darah dgn insulin continous i.v. dan evaluasi GD ketat

• Gangguan Ginjal : Creatinin clearence yg rendah atau Kreatinin ≥ 2 mg/dL →

meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas.

• Gangguan Hematologi:

- Anemia menaikkan stress sistem kardiovaskular

- Hct < 28% → meningkatkan komplikasi iskemi perioperatif. Pertimbangkan

transfusi preoperasi pada PJK dan GJ lanjut

- Polisitemia, trombosis dan kondisi hiperviskositas/ hiperkoagulabilitas darah

akan meningkatkan tromboemboli

Infective Endocarditis
Infective Endocarditis (IE) adalah infeksi mikrobial pada permukaan endotelial
dari jantung atau katup jantung yang terjadi paling sering pada pasien dengan
kelainan jantung kongenital.Istilah IE digunakan karena pada dasaranya dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti halnya fungi dan bakteri.
Beberapa sumber lain menyebut penyakit ini dengan istilah bacterial endocarditis
(BE) karena paling sering disebabkan oleh bakteri (Lwarence, 2012). Penyebab
dominan IE disebabkan oleh bakteri streptococci , khususnya jenis viridans
streptococci serta staphylococci dengan tingkat dominansi 30-40%.2djuMeskipun
IE dapat terjadi pada jaringan endotel normal, namun frekuensi terjadinya IE lebih
tinggi pada permukaan yang abnormal atau pada bagian artifisial. Permukaan
abnormal tersebut merupakan habitat baik bagi perlekatan bakteri (Cawson,
2008).
Normalnya, ketika bakteri memasuki aliran darah, secara cepat akan dibasmi oleh
sirkulasi leukosit. Namun, jika terdapat defek kardiak yang bisa terkolonisasi, IE
24

bisa berkembang. Adapun sumber bakteremia dapat berasal dari operasi jantung,
katerisasi intravena dan adiksi intravena (Cawson, 2008).
IE telah diklasifikasikan berdasarkan berbagai term. Berdasarkan kecepatan onset
dan durasi simtom untuk penegakan diagnosis, IE dibagi menjadi akut dan kronis.
Berdasarkan mikroorganisme penyebab, IE dibedakan menjadi streptococcal
endocarditis, staphilococcal endocarditis, dan candidal endocarditis. Berdasarkan
tipe katup yang terinfeksi, IE diklasifikasikan menjadi native valve endocarditis
(NTE) dan prosthetic valve endocarditis (PVE). Sedangkan berdasarkan sumber
infeksi, IE dibedakan menjadi community acquired endocarditis, hospital
acquired endocarditis, dan intravenous drug user (Carpenito et al, 2009).
Keadaan umum pada bacterial endocarditis adalah demam, anemia, kultur bakteri
(+), dan murmur pada jantung (Carpenito et al, 2009). Gejala dari penyakit ini
berupa lemah, berat badan turun, lelah, demam yang meningkat pada sore dan
malam hari, meriang, berkeringat pada malam hari, anoreksia, dan arthalgia (nyeri
pada sendi). Petechiae muncul pada kulit dan jaringan mukosa (Kerawala, 2009).
Untuk penegakan diagnosa, tanda-tanda klinis ini dibagi menjadi tanda mayordan
tanda minor. Kultur darah positif dan keterlibatan endocardial (seperti
technocardiografi dan regurgitasi kutup) merupakan tanda mayor sedangkan
demam, fenomena vaskular, fenomena imunologi, bukti keterlibatan mikrobial
(selain kultur darah positif) merupakan tanda minor. Pasien akan didiagnosa IE
jika memiliki dua tanda mayor, atau satu tanda mayor dan tiga tanda minor, atau
kelima tanda minor (Carpenito et al, 2009).
Pasien dengan kelainan jantung, baik kongenital, demam reumatik, dll sebaiknya
dirujuk terlebih dahulu pada dokter spesialis penyakit jantung. Dan nantinya
mendapatkan antibiotik profilaksis sebelum dilakukannya prosedur bedah. Berikut
merupakan protokol antibiotik untuk pencegahan endokarditis:
- Anestesi umum ( tanpa risiko khusus)
Amoxicilin 1 g secara intravena ketika memulai prosedur, kemudian
amoxicilin 500 mg enam jam setelah prosedur dental. Alternatif lainnya adalah
oral amoxicilin 3 g empat jam sebelum memulai prosedur, dan oral amoxicilin 3 g
25

segera setelah prosedur atau oral amoxicilin 3 g dan oral proberecid empat jam
sebelum prosedur.
- Anestesi umum (dengan anestesi khusus)
Pasien dengan katup buatan atau positif terdiagnosis IE dengan risiko
tinggi, berikan amoxicilin 1 g dan gentamycin 120 mg yang keduanya diberikan
secara intravena ketika memulai prosedur, kemudian berikan oral amoxilin 500
mg enam jam setelah prosedur.
- Anestesi umum (pada kondisi tidak cocok dengan penicilin)
Pasien-pasien yang tidak cocok dengan penicilin membutuhkan antibitik
dari golongan yang berbeda. Alternatif yang dapat digunakan diantaranya
vancomycin 1 g secara intravena minimal 100 menit sebelum, gentamycin 120 mg
yang diberikan secara intravena pada saat prosedur atau 15 menit sebelumnya.
Atau teicoplanin 400 mg dan gentamycin 120 mg yang keduanya diberikan secara
intravena pada saat prosedur atau 15 menit sebelumnya. Atau clindamycin 300 mg
yang diberikan secara intravena minimal sepuluh menit saat prosedur atau 15
menit sebelumnya, yang dilanjutkan dengan intravena clindamycin 150 mg enam
jam setelah prosedur dental (Holmes et al, 2007).

Angina Pectoris dan Myocardial Infarction

Angina pectoris biasanya dideskripsikan sebagai tekanan yang sakit, berat, dan
sesak di region dada bagian tengah. Rasa sakit ini dapat menyebar ke lengan kiri
maupun kanan yang dapat menjalar ke leher, atau rahang bawah yang juga hadir
pada pasien MI.1 Durasi sakitnya bertahan 5-15 menit yang dapat dihentikan atau
dipersingkat durasinya dengan menggunakan nitroglycerin. Mual dengan
frekuensi yang sering, bahkan terkadang shock atau hilang kesadaran ditambah
gejala-gejala diatas merupakan gejala klinis dari MI. Rata-rata mortalitas pasien
angina sekitar 4% per tahun, prognosis tergantung pada derajat penyempitan
pembuluh darah koroner (Waitzberg et al, 2011).
Angina pectoris, yang merupakan tanda simtomatik dari miocardial infarction
(MI), terklasifikasi menjadi stable angina dan unstable angina. Stable
anginadidefinisikan sebagai rasa sakit yang dapat diprediksi kemunculan
kembalinya, dan konsisten dalam selang waktu tertentu, sedangkan un stable
26

anginadidefinisikan sebagai rasa sakit dengan onset baru, yang meningkat dalam
frekuensi tertentu, yang lebih intens dari sebelumnya, yang lebih mudah dipicu
dibanding sebelumnya atau bahkan muncul di saat beristirahat. Stable angina
dapat dipicu oleh aktifitas fisik seperti berjalan,dll, makan, atau stress yang
kemudian mereda jika faktor pemicunya dihilangkan dan beristirahat total.
Sedangkan unstable angina bahkan tidak mereda dengan nitrogliceryn dan sering
berkembang menjadi MI dalam waktu yang singkat (Lawrence, 2012).

Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara persisten yang dapat menjadi
berbahaya jika terus meningkat dan tidak dirawat. Pada umumnya, tekanan darah
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Tekanan diastole yang lebih dari 90
mmHg dan sistole yang lebih dari 140 mmHg merupakan keadaan yang tidak
normal (Mutaqin, 2009).
- Klasifikasi Hipertensi

General Management
Emosi, ketakutan, dan kecemasan dapat meningkatkan output katekolamin dan
tekanan darah. Terapi Antihipertensi diindikasikan bila tekanan sistol 200 mmHg
keatas dan diastole 110 mmHg keatas. Terapi tersebut bisa diberikan pada kondisi
dibawah itu jika ada komplikasi seperti diabetes atau penyakit ginjal. Tujuan
pemberian obat antihipertensi adalah dapat digunakan pada dosis minimum,
27

tekanan darah mencapai <140/80 mmHg, dan dengan efek samping minimal
(Lawrence, 2012).
Obat antihipertensi kadang dapat menyebabkan efek samping seperti xerostomia,
pembengkakan kelenjar saliva, lichenoid reaction, erithema multiforme,
angioedema, pembengkakan gingiva, atau parastesia (Rahajoe, 2012).

Obat Antihipertensi
GRUP MACAM EFEK
Alpha-adrenergic Doxazosin Trombositopenia
blocker Terazosin

Angiotensin- Captopril Dosis awal dpt


convrting enzyme Enalapril menyebabkan
inhibitors Perindopril penurunan tekanan
darah yang drastis.
Merusak fngsi
ginjal, terutama jika
NSAIDs juga
diberikan
Angiodema
Angiotensin II Candesartan
receptor blokers Losartan

Beta- Atenolol Dapat menyebabkan


adrenorecepor Propranolol bronkoplasma
blockers Kontraindikasi pada
astma
Dihindari pada gagal
jantung
Otot lemah
Gangguan tidur

Calsium-channel Amlodipine Sakit kepala


blockers Diltiazem Pembengkakan kaki
Nifedipine
verapamil
28

Centrally acting Clonidine Cass effects


antihypertensives Guanabenz Halmolysis
Guanfacine hepatitis
Methydopa
Potassium- Nicorandil Nyeri kepala
channel blockers

diuretics Bendroflumethiazi Hipovolaemia


ade Electrolyte changes
Indapamide
Furosemide
Amiloride
spironolactane

Penatalaksanaan
Hal yang perlu diperhatikan pada pasien hipertensi sebelum melakukan perawatan
:
 Merujuk pasien pada dokter spesialis penyakit dalam
 Minimalisasi stress/kecemasan
 Premedikasi dengan sedative
 Penggunaan oksigen/nitrous oxide selama prosedur
 Penggunaan local anastesi yang memadai, epinephrine dapat
digunakan dalam jumlah yang tidak besar
 Tunda tindakan pada pasien dengan tekanan darah lebih dari 180/110

Pasien dengan penyakit arteri koroner yang berat dapat mengurangi risiko operasi

dengan menjalani revaskularisasi miokardium. Koreksi gagal jantung kongestif

yang sudah ada sangan direkomendasikan sebelum operasi karena 20% angka

kematian jantung berhubungan dengan gagal jantung yang tidak terkontrol.

Umumnya semua pasien dengan penyakit jantung harus terus menggunakan obat-

obatan, termasuk obat antihipertensi, diuretik, propanolol, dan obat antiaritmia

sampai saat operasi.


Aritmia jantung prabedah berhubungan dengan risiko kematian jantung prabedah.

Keparahan aritmia berhubungan dengan derajat iskemia miokardium dengan


29

disfungsi. Umumnya dianjurkan untuk melakukan tindakan profilaksis prabedah

bagi ektopi ventrikel dengan menggunakan lidokain, yang diberikan pada pasien

48 jam sebelum operasi.


Pada pasien dengan stenosis aorta, kemampuan untuk menambah aliran darah

melalui katup stenotik berkurang, sedangkan vasodilatasi kurang dapat ditoleransi

karena jantung tudak cukup untuk menaikkan curahnya untuk mengimbangi

kurangnya tahanan vaskular. Akibatnya anestesi spinal yang meningkatkan

vasodilatasi, biasanya merupakan kontraindikasi bagi pasien stenosis aorta. Pasien

ini juga kurang dapat mentoleransi penurunan volume intravaskular dan aritmia

atrium. Stenosis aorta yang berat membutuhkan perbaikan operasi sebelum

dilakukan tindakan terencana lainnya.


Pada pasien stenosis mitral, volume beban yang berlebihan kurang dapat

ditoleransi. Fibrilasi atrium kronika sering terjadi dan antikoagulan untuk

mencegah emboli diindikasikan pada pasien ini. Pasien stenosis mitral dan irama

sinus normal akan memperoleh manfaat dari terapi digitalis profilaksis.

Regurgitasi aorta dan mitral dapat menyebabkan masalah hemodinamik bila

fungsi ventrikel kiri terganggu. Karena itu ekokardiogram atau pemeriksaan

radionuklida prabedah bagi fungsi ventrikel kiri merupakan keharusan.


Pasien dengan katup jantung buatan mungkin tidak memiliki risiko setinggi pasien

kelainan katup alamiah, dan dengan derajat gangguan jantung yang sama,

terhadap komplikasi jantung peribedah. Namun, terapi antikoagulan dan

komplikasi yang mungkin terjadi perlu dipertimbangkan pada pasien ini.

Antibiotik profilaksis selalu diindikasikan bagi pasien dengan katup jantung

buatan yang akan mengalami operasi, untuk mencegah bakteremia. Anjuran dari
30

American Heart Association yang terbaru meliputi pemberian penisillin G

berbentuk larutan (atau ampisilin) ditambah gentamisin (atau streptomisin), 1 jam

sebelum operasi dan dalam dua dosis pascabedah (8-12 jam dan 16-24 jam pasca

bedah). Vankomisin dapat digunakan pada pasien alergi terhadap penisilin.

Penyakit Endokrin dan Metabolisis


1) Diabetes Mellitus
a. Definisi
Diabetes mellitus adalah penyakit kompleks metabolik dan komponen vaskular

yang dikarakteristikkan oleh hiperglikemi dan komplikasi meliputi penyakit

mikrovaskular ginjal dan mata serta variasi neuropati klinis. PERKENI

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) menggunakan klasifikasi diabetes

menurut American Diabetes Association (ADA) pada tahun 1997 yang

mengklasifikasikan diabetes berdasarkan penyebabnya (Kerawala, 2009)

1. Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe ini disebabkan oleh adanya kerusakan sel pankreas

(sel penghasil insulin) pada pankreas. Umumnya menjurus pada

kekurangan insulin absolut/mutlak. Hal ini disebabkan oleh mediasi

imun dan idiopatik. Jika disebabkan mediasi imun, akan ditemukan

kehadiran antibodi insulin atau islet cells yang mengidentifikasi

proses autoimun yang mengarah ke destruksi sel � pankreas. Jika

tidak ditemukan kehadiran islet cells tersebut (tidak ada bukti

keterlibatan autoimun) maka tergolong dalam penyebab idiopatik.


2. Diabetes Tipe 2
Diabetes tipe ini disebabkan penyebab yang bervariasi, terutama

resistensi insulin (jumlah insulin banyak namun tidak dapat


31

berfungsi), kekurangan insulin relatif, atau gangguan sekresi

insulin.
3. Diabetes Tipe Lain
Jenis diabetes ini disebabkan penyebab yang bervariasi, seperti

penyakit pankreas atau endokrinopati, defek genetik kerja insulin,

malnutrisi, atau dicetuskan oleh zat kimia atau obat-obatan.


4. Diabetes Gestasional

Diabetes ini merupakan kondisi diabetes sementara yang dialami pada masa

kehamilan akibat tingginya konsumsi gula, makan yang tidak seimbang, juga

kehadiran resistensi insulin pada beberapa kasus. Pada umumnya, keadaan pasien

kembali normal pasca melahirkan.


b. Tanda dan gejala

c. Diagnosis
Telah dijabarkan sebelumnya bahwa hampir sekitar 50% kasus diperkirakan

belum terdiagnosa. Salah satu peran dokter gigi di bidang ini adalah sebagai

frontliner dalam mendeteksi riwayat diabetes melitus pasien. Berikut adalah

jabaran mengenai cara mendiagnosa diabetes mellitus, baik pada pasien yang telah

terkonfirmasi maupun pada pasien yang belum terdiagnosa diabetes melitus.


Kriteria diagnosa diabetes melitus :

1. Gejala diabetes dan kadar gula darah sewaktu 200 g/dL atau lebih
2. Kadar glukosa puasa 126 mg/dL atau lebih
3. Kadar glukosa 2 jam 200 mg/dL atau lebih (tes ini tidak direkomendasikan

untuk digunakan secara rutin dalam klinik)


32

d. Persiapan pra bedah pasien dengan diabetes mellitus


Pemeriksaan kebutuhan insulin pasien sehari-hari harus dilakukan sebelum

operasi. Stres akibat tindakan operasi dapat mencetuskan keadaan relatif

hiperglikemi akibat reaksi psikologis tubuh terhadap stres dan trauma operasi.

Respon terhadap stres ini adalah pengeluaran senyawa yang dirancang untuk

meningkatkan katabolisme dan penyediaan glukosa serta menghambat

pengeluaran insulin. Diabetes tipe II membutuhkan hanya sedikit atau tidak

membutuhkan insulin pada periode peribedah, terutama apabila penyakit tersebut

sudah terkontrol dengan baik dengan obat hipoglikemia oral.


Pasien diabetes tipe I, bila menderita ketoasidosis tidak terkontrol prabedah, maka

membutuhkan masa rehidrasi dan penggantian volume intravaskular intensif

bersama infus insulin kontinu dan sering memantau kadar glukosa dan elektrolit

darah untuk mendapatkan keadaan kontrol yang adekuat. Bila diabetes sudah

terkontrol, maka terapi insulin selanjutnya harus diberikan untuk mempertahankan

glukosa darah, 150-250mg per 100ml. Pedoman paling berharga untuk terapi

insulin pada tindakan operasi di pagi hari dengan memulai infus intravena larutan

dekstrosa 5% dalam Ringer Laktat sebesar 75-100 ml per jam sebelum pemberian

insulin. Untuk diabetes tipe I yang menjalani tindakan terencana, setengah dari

dosis insulin pagi hari harus diberikan sebagai dosis insulin subkutis rutin pada

saat pasien dibawa ke ruang operasi.

Penyakit Pernafasan
1. Asma

a. Definisi
33

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada sistem pernafasan yang

berkaitan dengan peningkatan hiperresponsifitas pada jalur nafas yang

menghasilkan episode rekuren sesak nafas, batuk, dan wheezing (Little, 2007).

Adapun alergen yang sering kali memicu asma adalah infeksi pada saluran

pernapasan atas, adanya aktivitas fisik yang berlebihan, udara dingin, medikasi

(salisilat, NSAIDs, Cholenergic drugs, beta-adrenergic blocking drugs), zat-zat

kimia, asap, dan status emosional yang tinggi seperti panik, gugup, dan stress

(Little, 2007).

b. Etiologi
Pada dasarnya penyebab pasti asma tidak sepenuhnya dimengerti, namun asma

terjadi karena banyak faktor pemicu. Berdasarkan faktor-faktor pemicunya, asma

terbagi menjadi beberapa, yakni:

1. Allergic Asthma (Ekstrinsik)


Merupakan respon inflamasi berlebihan yang dipicu oleh alergen musiman

yang dihirup seperti serbuk sari, debu, serangga, dll. Jenis alergi ini

memiliki prevalensi sebesar 35%, dan banyak terjadi pada anak-anak dan

dewasa muda. Pada jenis alergi ini, ditemukan skintest yang positif pada

alergen yang bervariasi, sensitisasi yang dimediasi oleh IgE ketika terpajan

oleh alergen, dan ada hubungan dengan hadirnya riwayat alergi pada

keluarga penderita.
2. Intrinsic Asthma
Jenis alergi ini terjadi sekitar 30% dari kasus alergi yang muncul dan

cenderung terjadi pada middle aged adults. Penyebabnya bisa berupa

peningkatan status emosional, peningkatan asam gastroesophageal, dll.

Biasanya ditemukan level IgE normal dan nonresponsif terhadap skintest.


34

3. Asma karena penggunaan obat-obatan dan zat makanan berupa kacang,

stroberi, dll.
4. Exercise Induced Asthma
Pada dasarnya, patogenesis dari penyakit ini belum jelas diketahui, namun

beberapa ahli meyakini disebabkan karena adanya perubahan termal selama

inhalasi udara yang cenderung lebih dingin dari suhu di dalam tubuh yang

mengiritasi mukosa dan menimbulkan reaksi hiperactivity pada jalur napas.

Jenis alergi ini banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa muda karena

tingginya level aktivitas fisik mereka.


5. Infectious Asthma
Jenis alergi ini terjadi karena adanya peningkatan konstriksi bronkial dan

peningkatan resistensi jalur napas karena respon inflamasi bronkus terhadap

infeksi. Causative agents yang dapat menyebabkan infectious asthma

biasanya berupa virus, bakteri, dermatologic fungi (Trychophytan).

c. Tanda dan Gejala Klinis

- Respon berlebihan pada jalur napas yang episodik. Biasanya

semakin parah pada malam hari atau bergantung pada terpaparnya

causative agents pada penderita


- Sulit bernafas yang bersifat episodik reversibel (dyspnea)
- Wheezing
- Batuk parah di malam hari
- Sesak napas
- Onset terjadi tiba-tiba, dengan puncaknya sekitar 10-15 menit

(Little, 2012).

d. Klasifikasi Asma berdasarkan Onsetnya beserta Medikasinya


35

e. Persiapan pra bedah pada pasien dengan penyakit asma


Evaluasi Preoperatif
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting
untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif
maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas
darah, foto rontgen thoraks.

1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekuensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-
obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. Bila
baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan
maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas
jalan napas.

2. Pemeriksaan Fisik
36

Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang
terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takikardi. Perkusi hipersonor, auscultasi wheezing, ronchi.
Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau
tidak ada wheezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan wheezing
menurun).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga
untuk membedakan asma dengan bronchitis kronis. Pada pemeriksaan sputum
selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden,
spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya
dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya
komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis,
pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena
hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran
udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus
puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk
laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus
puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa
muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150
L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan
meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%
menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter
menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering
37

terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang
baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak
mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan
ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang
sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem
respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru
postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan
(Bronkodilator).
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :

Keadaan Klinik % FEV/FVC


Normal 80-100
Asma Ringan 75-79
Asma Sedang 50-74
Asma Berat 35-49
Status Asmatikus <35

6. Pemeriksaan Analisa gas darah


Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan
asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi
paru-paru.

7. Fisioterapi dada
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi
fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan
fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau
abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat
lemah.

Pengelolaan preoperatif
38

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang


menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses
obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses
inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator
misalnya adalah empisema, tumor.
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan
kortikosteroid. Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit
perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.

Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan
juga neurotransmiter kolinergik.
1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2
puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap
4-6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam
atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan
terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme
bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.
2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-
obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada
pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan,
dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik.
Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan
peningkatan tekanan darah sistemik.
b. Parasimpatolitik
39

Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin pada


second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada pasien
PPOK bila diberikan secara inhalasi.
 Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan
inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
 Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.
c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim yang
bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih komplek
termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan stimulasi
diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien dengan gejala
nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang sempit, level
terapi dalam darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah mungkin efektif.
Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara intravena.
d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap
bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran
mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya
membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi.
Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8
jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkiale dan dosis
lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan
efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah
reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.
e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada
asma. Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan
pelesan akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut
bronkospasme.
f. Mukolitik
 Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas
mucus dengan memecahkan ikatan disulfide pada mukoprotein.
40

Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek bronkonstriksi
terhadap iritasi jalan nafas.
a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif (Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma
yang dipicu oleh emosional.
b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara
teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau
kortikosteroid inhaler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Methilprednisolon 40-80 mg)
1-2 jam sebelum induksi anestesi. Bronkodilator harus diberikan sampai
proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama
glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi
adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama
1-3 hari post operasi.
f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
41

Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium


dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.

Kehamilan (Pregnancy)
Perubahan Fisiologis
Meskipun tidak termasuk dalam jenis keadaaan medically compromised, namun
pasien hamil memiliki konsiderasi manajemen tersendiri bagi tenaga medis.
Dokter harus mampu menjaga kesehatan pasien hamil tanpa membahayakan janin
yang sedang berkembang di dalamnya, mengingat praktik tenaga medis
melibatkan elemen-elemen yang berbahaya seperti radiasi dan administrasi obat.
Berikut merupakan keadaaan fisiologis yang normal terjadi selama kehamilan
(Little, 2007) :
- Endocrine changes, merupakan hasil dari peningkatan produksi
hormon maternal dan placental, serta dari aktivitas modifikasi organ
target.
- Selama masa trimester pertama, cenderung terjadi fatigue yang dapat
berdampak ke sisi psikologis, serta kemungkinan sincope dan
hipertensi meningkat.
- Selama masa trimester kedua, pasien akan merasa sense of well
being, namun tekanan darah cenderung rendah, yakni 100/70 mmHg
atau lebih rendah.
- Selama masa trimester ketiga, kecenderungan fatigue meningkat
kembali, memiliki rasa ketidaknyamanan (discomfort), mild
deppression, terjadi perubahan kardiovaskular, tekanan darah
meningkat hingga 40%, cardiac output meningkat hingga 30-40%,
RBC volume meningkat hingga 15-20%.
- Pada masa late pregnancy, pasien biasanya mengalami
fenomenasupine hypotension syndrome, dengan gejala berupa
penurunan tekanan darah, bradycardia, berkeringat, nausea, lemah,
sesak napas ketika berada dalam posisi supin, bahkan hilang
kesadaran. Simtom ini disebabkan kurangnya arus balik vena ke
jantung akibat kompresi vena cafa inferior dari gravid uterus.
Penanganan pasien ini dilakukan dengan memposisikan pasien ke
42

arah kiri yang akan menjauhkan uterus dari vena caca inferior.
Ketika pasien sudah diposisikan ke posisi ini, biasanya tekanan
darah pasien cepat kembali ke normal. Untuk menghindari sindrom
ini, sebaiknya dental treatment dilakukan dalam posisi duduk.
- Selain perubahan endokrin, pada pasien hamil biasanyaterjadi
perubahan darah, diantara anemia akibat peningkatan volume darah
yang lebih cepat dari massa sel darah merah, penurunan nilai
hematokrit, penurunan nilai hemoglobin, sehingga perlu
penambahan folat dan zat besi. Selain itu, terjadi juga terjadi
peningkatan jumlah sel darah putih karena terdapat peningkatan
jumlah neutrofil. Oleh karenanya, perlu berhati-hati ketika membaca
interpretasi blood count ketika terjadi proses infeksi.
- Selama proses kehamilan, dominansi sistem imun berganti dari sel T
helper 1 ke sel T helper 2 yang mengakibatkan kondisi
imunosupresan.
- Pada sistem pernapasan, terjadi penurunan volume pernapasan yang
diakibatkan oleh pembengkakan uterus dan peningkatan kebutuhan
paru akan oksigen
Pada pasien dengan kehamilan, agen sedasi yang digunakan harus merupakan

agen yang paling aman, yang banyak digunakan adalah nitrogen oksida. Lebih

lanjut, sedatif konvensional dan opioid dapat digunakan pada saat sedasi dan

anestesi umum. Meskipun benzodiazepin sebelumnya dipercaya akan

menyebabkan malformasi pada fetal, tapi hal ini sekarang tidak dapat dipercaya

sepenuhnya.

Meskipun sedatif, opioid, dan anestesi lokal larut dalam air dan memasuki

sirkulasi fetal, tapi tidak ada dari obat tersebut yang menyebabkan gangguan pada

fetal jika penggunaannya dalam jangka pendek. Dalam pemilihan agen, harus

dipilih agen yang memiliki waktu paruh paling pendek (Velde and Buck,2002).
43

Obat anti-inflamasi non steroid harus dihindari selama trimester ketiga, karena

akan menghambat pembentukan prostanoid yang normalnya menutup duktus

arteriosus. Asetaminofen adalah pilihan obat nonopioid dan hidrokodon

merupakan pilihan obat opioid oleh kebanyakan ahli obstetrik. Hampir semua

antibiotic konvensional dapat digunakan kecuali tetrasiklin (Velde and

Buck,2002).

Pada pasien hamil, penting untuk mencegah terjadinya hiperventilasi. Hipokarbia

dan alkalosis menyebabkan konstriksi arteri umbilical, mengurasi perfusi fetal.

Selama trimester kedua dan ketiga, perubahan uterin diperlukan dengan

meletakkan bantal di sebelah kanan pasien. Hal ini akan menyebabkan pasien

agak miring ke kiri, sehingga akan mengurangi kompresi vena cava. Komplikasi

kehamilan yang mungkin terjadi harus didiskusikan dengan ahli obstetric (Little.

2007)

Penyakit Gastrointestinal
1) Hepatitis
Hepatitis merupakan inflamasi pada organ hati yang merupakan akibat dari

berbagai \hal seperti obat, racun, dan berbagai infeksi. Banyak virus penyebab

hepatitis seperti virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G, akan tetapi hepatitis B dan C

lebih berhubungan dengan pelayanan kesehatan (Cawson,2008).

(1) Hepatitis A

Hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis A, biasanya penyakit ini ditemukan

pada kondisi sosioekonomi dan lingkungan miskin. Penyakit ini biasa menyerang

pada usia anak-anak dan terdapat pada daerah endemik, penyebaran penyakit ini
44

melalui faeco-oral dengan konsumsi air atau makanan yang sudah terkontaminasi

dan ikan mentah. Gejala klinis dari penyakit ini sama seperti hepatitis tipe lainnya

yaitu sakit pada otot, arthalgia, lelah, mual, muntah, sakit pada abdomen,

kehilangan nafsu makan, demam, jaundice (kuning), dan gatal-gatal (Kerawala,

2009).

(2) Hepatitis B

Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B dan merupakan penyakit yang

serius. Penyakit ini menginfeksi seumur hidup, mengakibatkan sirosis hati, kanker

hati, gagal hati. Hepatitis B menginfeksi secara endemik terutama pada kondisi

sosioekonomi lemah.Penyebaran hepatitis B melalui parenteral (melalui darah,

pemberian obat melalui intravena, tato), seksual, dan perinatal. Hepatitis B dapat

menular antara pasien dan petugas kesehatan/ dental. Kontrol infeksi dan

imunisasi dapat mencegah infeksi pada petugas kesehatan dan dokter gigi

(Kerawala, 2009).
Tampilan Klinis
Periode inkubasi virus hepatitis B sekitar 2-6 bulan. Pada periode prodromal (1-2

minggu) dikarakteristikan dengan adanya anoreksia, malaise, dan mual. Jaundice

terlihat jelas secara klinis, tinja terlihat pucat, dan urin menjadi gelap karena

bilirubinuria. Selain itu pasien juga mengalami nyeri otot, arthalgia, demam, dan

ruam. Komplikasi dari hepatitis B berupa carrier state, infeksi kronis, sirosis,

kanker hati, polyarteritis nodosa, atau kematian.Kelompok resiko tinggi Hepatitis

B:
 Pasien (hemophilia, talasemia) yang menerima transfusi darah
 Pasien yang menerima hemodialisis pada penyakit ginjal
45

 Pasien imunosupresan atau imunosufisien (terinfeksi HIV, post

transplantasi)
 Orang dengan pekerjaan yang mengenai darah manusia (petugas

pelayanan kesehatan, petugas laboratorium, dokter bedah)


 Pengguna obat-obatan intravena
 Individu dengan aktivitas seksual bergantii pasangan tanpa pengaman
 Pasien dari benua afrika atau asia
 Menggunakan tato dan akupuntur
 Individu yang baru melakukan perjalan dari daerah terinfeksi virus

hepatitis B.
 Pasien dengan kelainan tertentu seperti sindrom down, polyarteitis nodosa
 Istri/suami pasien hepatitis
 Pasien dengan penyakit liver kronik
 Kontak dengan alat-alat non steril pasien hepatitis B
 Bayi yang ibunya terinfeksi virus hepatitis B

(3) Hepatitis C

Virus hepatitis C diidentifikasi melalui post transfuse non A non B hepatitis.

Orang dapat beresiko tinggi terkena virus hepatitis C yaitu dengan menerima

donor darah yang pendonor yang kemudian positif terserang hepatitis C,

diinjekksi obat-obatan terlarang, menerima donor darah atau transplantasi organ

sebelum tahun 1992, renal dialysis jangka panjang, atau memiliki penyakit hati.3

Perbedaan antara hepatitis B dan C (Scully, 2010).


 Tidak menyebar luas
 Sedikit yang tertular melalui jarum suntik
 Rentan terhadap antiseptik
 Mild hepatitis
 Belum ada vaksin hepatitis C
 Infeksi bertahan 80%
 Infeksi menjadi kronis aktif hepatitis
 Beresiko tinggi terkena sirosis dan kanker hati.
Pasien dengan hepatitis menahun tidak memiliki risiko operasi yang tinggi, tetapi

ahli anestesiologi, ahli bedah, dan tim operasi harus waspada akan bahaya
46

penularan hepatitis. Pasien yang menderita hepatitis persisten kronis juga tidak

memiliki mortalitas berlebihan bermakna akibat tindakan elektif, karena keadaan

ini merupakan keadaan peradangan menahun ringan yang fungsi hatinya tidak

membahayakan. Namun pasien bentuk hepatitis aktif kronika lebih agresif dan

sirosis pasca nekrotik memiliki peningkatan risiko gagal hati akibat penyakitnya.

Pasien dengan gangguan fungsional hati yang jelas merupakan calon bedah yang

buruk. Rangkaian kortikosteroid dapat menyebabkan remisi pada hepatitis aktif

kronik dan ini harus direncanakan bila tindakan ini diindikasikan.


Hati mensintesis faktor pembekuan darah II, V, VII, dan X, pasien penyakit hati

membutuhkan pemeriksaan waktu protrombin (PT) prabedah. Kerusakan sel hati

menyebabkan PT yang lama. Pemanjangan PT yang reversible dapat terjadi akibat

kolestasis yang sudah ada sejak beberapa minggu atau karena cedera sel hati yang

lebih ringan akibat agen hepatitis. Pada keadaan ini, dosis 10mg vitamin K

intramuskular prabedah biasanya dapat memperbaiki PT.

Penyakit Immunologi
HIV AIDS
HIV AIDS adalah suatu penyakit yang menyerang kkebalan tubuh penderita

karena infeksi dari suatu retrovirus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency

Virus) (Cawson, 2008),

Evaluasi Perioperatif

1) Merujuk pasien pada dokter spesialis atau rumah sakit


2) Hitung darah lengkap
3) Subset limfosit dapat digunakan untuk menilai suseptibilitas terhadap

infeksi oportunis
4) Bila jumlah CD4 :
47

- < 200 sel/mm3, diberikan trimethoprim-sulfametoksazole untuk

profilaksis Pneumocystis carinii


- <100 sel/mm3, suseptibilitas infeksi toksoplasmosis sangat meningkat.

Diberikan trimetoprim, tidak perlu antibiotic profilaksis tambahan.


- 50 sel/mm3, resiko tinggi infeksi mycobacterium avium complex diberikan

clarithromycin atau azithromycin

Penyakit Hematologi

Gangguan perdarahan merupakan keadaan perdarahan yang disebabkan oleh

kemampuan pembuluh darah, platelet, dan faktor koagulasi pada sistem

hemostatis. Gangguan perdarahan dapat bersifat genetik maupun dapatan.

Penyakit gangguan perdarahan dapatan yang sangat sering adalah von

Willebrand’sdisease (vWD). Penduduk Amerika yang menderita penyakit ini kira-

kira sebesar 1%,diturunkan melalui autosomal dominan (Munoz,2016).

Etiologi

Klasifikasi gangguan perdarahan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah

plateletnormal (nontrombositopeni purpura), penurunan jumlah platelet

(trombositopeni purpura),dan gangguan koagulasi. Nontrombositopeni purpura

dapat disebabkan oleh perubahan padadinding pembuluh darah akibat sumbatan,

infeksi, kimiawi, dan alergi. Penyebab lain adalahgangguan fungsi platelet akibat

defek genetik (Bernard-Soulier disease), obat-obatan (aspirin,NSAIDs, alkohol,

antibiotik beta laktam, penisilin, dan cephalosporin), alergi, penyakitautoimun,

von Willebrand’s disease, dan uremiaologi (Patel,2009).


48

Patofisiologi

Proses perdarahan terjadi melalui tiga fase yaitu vaskuler, platelet, dan koagulasi.

Vaskuler dan platelet merupakan fase primer sedangkan koagulasi merupakan fase

sekunder. Fase koagulasi akan diikuti oleh fase fibrinolitik . Fase vaskuler terjadi

sesaat setelah terjadi trauma sehingga melibatkan vasokonstriksi arteri dan vena,

restriksi arteri, dan tekananekstravaskuler. Fase platelet dimulai dengan terjadinya

kekakuan platelet dan pembuluhdarah, kemudian pembuluh darah akan tersumbat.

Proses ini terjadi beberapa detik setelah fase vaskuler terjadi. Pada fase koagulasi

darah akan keluar ke daerah sekitar dan akanmembatasi daerah yang terjadi

perdarahan dengan adanya bantuan faktor ekstrinsik danintrinsik (Munoz,2016).

Waktu yang dibutuhkan pada fase ini lebih lambat dibandingkan fase sebelumnya.

Fase lanjutan adalah fase fibrinolitik yang ditandai dengan adanya pelepasan

antithromboticagent dan penghancuran limfa serta hati oleh anthrombotic agent

(Munoz,2016).

Waktu yang dibutuhkan pada fase ini lebih lambat dibandingkan fase

sebelumnya.Fase lanjutan adalah fase fibrinolitik yang ditandai dengan adanya

pelepasan antithromboticagent dan penghancuran limfa serta hati oleh

anthrombotic agent (Patel,2009).

Gambaran Klinis
49

Penderita dengan gangguan pembekuan darah akan jelas terlihat pada kulit

danmembran mukosa sesaat setelah terjadi trauma ataupun tindakan invasif lain.

Terlihat adanyajaundice, ptechiae spider angiomas, ecchymosis, dan sedikit

tremor saat memegang sesuatu akandidapatkan pada penderita liver. Kira-kira

50% penderita liver akan mengalami penurunan jumlah platelet oleh karena

terjadi hipersplenisme akibat efek hipertensi portal sehingga didapatkan adanya

ptechiae pada kulit dan mukosa.

PEMERIKSAAN LABORATORIS

Beberapa pemeriksaan laboratoris yang dilakukan bagi penderita dengan

gangguanperdarahan adalah partial thromboplastin time (PTT), prothrombin time

(PT), platelet count,ivy bleeding time, platelet function analyzer 100 (PFA-100),

dan thrombin time.

Penatalaksanaan
50

Sebaiknya dokter atau dokter gigi merujuk pasien terlebih dahulu pada dokter

spesialis hematologi atau ke rumah sakit sebelum melakukan tindakan.


51

Kelainan Neurologik (Epilepsi)


Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya

seranganyang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat berupa gangguan

sensorik, motorik, kognitif, maupun psikis (Probasco,2013).


Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai dengan adanya

bangkitan epieptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang

terjadi karena lepasnya muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal

akibat berbagai etiologi (Lieb,2008).

Klasifikasi
Berdasarkan tanda klinis, kejang dibagi menjadi :

- Kejang Umum (Generalize Seizure)


Adalah kejang yang terjadi pada kedua hemisphere otak secara bersama-

sama. Terbagi atas :


a. Tonic-Clonic Convulsion / Grand Mal
52

Merupakan bentuk yang paling banyak terjadi. Penderita tiba-tiba

jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur, mengompol, atau

menggigit lidah dalam beberapa menit, kemudian diikuti lemah,

kebingungan, dan sakit kepala.


b. Absence Attact / Petit Mal
Merupakan jenis yang jarang terjadi. Biasanya hanya terjadi pada masa

anak-anak atau awal masa remaja. Penderita tiba-tiba molotot atau

matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai.


c. Myoclonic Seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setalah penderita bangun dimana

penderita mengalami sentakan tiba-tiba. Tetapi hal ini bias terjadi pada

pasien normal
d. Atonic Seizure
Jenis ini jarang terjadi dimana pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan

otot, jatuh tetapi bias segera pulih.

- Kejang parsial / focal


Merupakan kejang yang dimulai dari daerah tertentu di otak. Terbagi atas :
a. Simple Partial Seizures
Pasien tidak kehilangan kesadaran, namun terjadi sentakan-sentakan

pada bagian tertentu dari tubuh.


b. Complex Partial Seizures
Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali, seperti menangis

atau mengunyah tanpa disadari.

Pemeriksaan Penunjang

- Elektro-Ensefalografi (EEG)
- MRI

Penatalaksanaan

- Pasien dirujuk terlebih dahulu pada dokter spesialis neurologi.


- Memperbaiki jalan nafas dan oksigenasi
53

- Pengukuran tekanan nadi dan suhu


- Pemberian Dilantin 100 mg per oral sebelum tindakan untuk dewasa atau

10-15 mg/kg BB secara IV, dan 5 mg/kg BB per oral untuk anak-anak.

Atau dilakukan pemberian diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5


mg/menit IV.
54

DAFTAR PUSTAKA

Arwani, Sriningsih dan Hartono (2013).Pengaruh Pemberian Aromaterapi


Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Operasi dengan Anastesi Spinal di
RS Tugu Semarang.Jurnal Keperawatan Jiwa vol 1 no 2 November 2013; 129-
134

Bricker SL, P Langlais, and C S Miller. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and
Treatment Plannin. Malvern: Lea & Febiger. 1994; 46-67

Cascarini Luke. 2012. Bedah Mulut & Maksilofacial. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek


Klinis. Edisi IX. Alih Bahasa: Kusrini Semarwati Kadar. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC

Coulthard P, K Horner, P Sloan, and E Theaker. Master Dentistry, Vol 1. Edinburg:


Churchill Livingstone. 2003; 234-245

Dhanuthai K, K Sappayatosok, P Bijaphala, S Kulvit. Prevalence of medically


compromised conditions in dental patients. Med Oral Patol Cir Bucal. 2009 1;14
(6): 287-91

Ganda KM. Dentist Guide to Medical Conditions and Complications. Ames:


Wiley-Blackwell. 2008; 367

Holmes S. The effects of under nutrition in hospitalised patients. Nurs Stand.


2007; 22(12):35-8

Kerawala, Cyrus, and Carrie Newlands. 2009. Oral and Maxillofacial Surgery.
UK: OUP Oxford.

Llieb, K., andSelim,M., 2008. Preoperative Evaluation og Patienes with


Neurological Disease, 28(1): 603-610.

Little, J. P., 2007. Risk, values, and Decision Making Surounding Pregnancy.
109(4): 979-984.

Majid, Abdul, Muhammad Judha & Umi Istinah. (2011). Keperawatan


Perioperatif. Yogyakarta : Gosyen Publishing
55

Marsh P, MV Martin. Oral Microbiology, 4th edition. London: Wright. 1999;122-


145

Munoz, M., Gòmez-Ramírez, s. and Kozek-Langeneker, S., 2016. Pre-operative


Haematological Assessment in Patients for Major Surgery.,,35(1): 509-523.

Patel, M. S., 2009., Anemia in the Pre-Operative Patient., 27: 751-755

Purwaningsih (2012) Derajat Kecemasan Pasien dengan Tindakan Operatif


Dapat Diminimalisir dengan Persiapan yang Matang. Jakarta : EGC

Probasco, J., Sahin, B. and Tan, T., 2013. The Pre-operative Neurological
Evaluation, 3(4):209-220.

Waitzberg DL, Ravacci GR, Raslan M. Hospital hyponutrition. Nutr Hosp. 2011;
26(2): 254-64.

Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum, Jakarta, Dian
Rakyat, 2008, hal 112-115.

Smeltzer, SC dan Bare, BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. 100-110.

Veld, M and Buck, E., 2002. Anesthesia for Non-Obstetric Surgery in the Pregnant
Patient., 73(4):235-240.

Anda mungkin juga menyukai

  • Revisi 5
    Revisi 5
    Dokumen1 halaman
    Revisi 5
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Mini Cex Odon
    Mini Cex Odon
    Dokumen6 halaman
    Mini Cex Odon
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Abses Antibiotic Metronidazole Untuk Bakteri Anaerob
    Abses Antibiotic Metronidazole Untuk Bakteri Anaerob
    Dokumen1 halaman
    Abses Antibiotic Metronidazole Untuk Bakteri Anaerob
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi 5
    Revisi 5
    Dokumen1 halaman
    Revisi 5
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi 5
    Revisi 5
    Dokumen1 halaman
    Revisi 5
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Fase Perawatan Periodontal
    Fase Perawatan Periodontal
    Dokumen2 halaman
    Fase Perawatan Periodontal
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • KISTA PERIODONTAL
    KISTA PERIODONTAL
    Dokumen42 halaman
    KISTA PERIODONTAL
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Revisi Hap
    Revisi Hap
    Dokumen1 halaman
    Revisi Hap
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Fase Perawatan Periodontal
    Fase Perawatan Periodontal
    Dokumen2 halaman
    Fase Perawatan Periodontal
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Tugas TF
    Tugas TF
    Dokumen2 halaman
    Tugas TF
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Tugas TF
    Tugas TF
    Dokumen2 halaman
    Tugas TF
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Prinsip, Teknik Dan Metode Pembedahan BU
    Prinsip, Teknik Dan Metode Pembedahan BU
    Dokumen38 halaman
    Prinsip, Teknik Dan Metode Pembedahan BU
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Microsurgery
    Microsurgery
    Dokumen1 halaman
    Microsurgery
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • 3 Maya BAB II Tinjauan Pustaka
    3 Maya BAB II Tinjauan Pustaka
    Dokumen27 halaman
    3 Maya BAB II Tinjauan Pustaka
    Ikhdin Saadhi
    Belum ada peringkat
  • Materi Hiposalivasi
    Materi Hiposalivasi
    Dokumen3 halaman
    Materi Hiposalivasi
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Tugas TF
    Tugas TF
    Dokumen2 halaman
    Tugas TF
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Alergi
    Alergi
    Dokumen2 halaman
    Alergi
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Persiapan Area Pembedahan
    Persiapan Area Pembedahan
    Dokumen3 halaman
    Persiapan Area Pembedahan
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Alat Ekstraksi Gigi RA RB Fix
    Alat Ekstraksi Gigi RA RB Fix
    Dokumen15 halaman
    Alat Ekstraksi Gigi RA RB Fix
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Luka Memar
    Luka Memar
    Dokumen4 halaman
    Luka Memar
    Putri Bella Kharisma
    100% (1)
  • Makalah Cover Dsp3 C 5
    Makalah Cover Dsp3 C 5
    Dokumen1 halaman
    Makalah Cover Dsp3 C 5
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat
  • Makalah Fix Bangettt
    Makalah Fix Bangettt
    Dokumen55 halaman
    Makalah Fix Bangettt
    Putri Bella Kharisma
    Belum ada peringkat