Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ruang intensive merupakan salah satu unit pelayanan rumah sakit dimana pasien
yang di rawat disini adalah pasien-pasien yang berpenyakit kritis dan membutuhkan
pelayanan kesehatan secara intensif. Perawat merupakan tenaga yang berhubungan
langsung dengan pasien selama 24 jam, harus dapat mengaktualisasikan diri secara fisik.
Perawat memiliki peran dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan hak dan
kewajibannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, pembuat keputusan klinis, pelindung
dan advokat klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator,
penyuluh dan pendidik, serta kolaborator (Perry & Potter, 2010).
Dalam memberikan asuhan keperawatan, khususnya asuhan keperawatan kritis
perawat membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan situasi kritis dengan kecepatan
dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada situasi keperawatan lain. Dalam asuhan
keperawatan tersebut, mencakup perubahan kesehatan fisik, psikis dan sosial, termasuk
intervensi dimana perawat mampu berinisiatif secara mandiri untuk mencegah,
mengurangi, atau mengatasi masalah. Salah satu intervensi yang dilakukan oleh perawat di
ruang intensif dalam keadaan kritis adalah pelaksanaan hisap lendir saluran pernafasan
(suction) terutama pada pasien yang terpasang alat bantu nafas atau ventilator (Hudak &
Gallo, 2012).
Suction merupakan prosedur pengisapan sekret yang dilakukan dengan cara
memasukan selang kateter suction melalui hidung, mulut, atau selang ETT. Suction
endotrakeal merupakan prosedur penting dan sering dilakukan untuk pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanik. Pada tindakan suction yang dilakukan melalui selang ini
lebih membutuhkan keterampilan dan ketepatan tinggi karena ada beberapa prinsip penting
dalam tindakan penghisapan lendir ini diantaranya hiperoksigenisasi 100% selama 30 detik
– 3 menit yang diberikan kepada pasien sebelum dilakukan tindakan suction endotracheal.
Apabila prinsip penting ini tidak diperhatikan akan dapat mengakibatkan terjadinya
hipoksemia. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah untuk mempertahankan patensi jalan
napas, memudahkan penghilangan sekret jalan napas, dan merangsang batuk dalam
(Smeltzer & Bare, 2013).
Tindakan suction endotracheal adalah salah satu prosedur yang paling umum
dilakukan oleh perawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) dalam rangka membangun dan
mempertahankan pertukaran gas, oksigenasi yang memadai dan ventilasi alveolar pada
pasien dengan ventilasi mekanik yang kritis (Association of Respiratory Care (AARC),
2010; Negro, 2014). Secara fisiologis, ada beberapa mekanisme yang memungkinkan
penghapusan mikroorganisme berbahaya dari sistem pernapasan; sel ciliate, sistem imun
lokal dan refleks batuk. Namun demikian, pada pasien dengan ventilasi mekanik
menghambat proses fisiologis ini, yang dimana membuat pengisapan tidak dapat dihindari
untuk mengurangi sekresi endotrakeal dan untuk mencegah atelektrik dan kolapsnya
alveolar. Prosedur ini dikaitkan dengan komplikasi dan risiko: perdarahan, lesi trakea
mukosa, infeksi, atelektasis, hipoksemia, dan peningkatan tekanan intrakranial (Pedersen
dkk, 2009). Selain itu dianggap sebagai salah satu pengalaman paling menyakitkan di
antara pasien ICU (Negro, 2014).
Menurut Yudhiana (2010) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ada pengaruh
tindakan suction terhadap keefektifan dalam pembersihan jalan napas, yaitu sebanyak
52,5% menjadi efektif jalan nafasnya setelah dilakukan suction. Penghisapan
lendir/suction harus dilakukan dengan prosedur yang tepat untuk mencegah terjadinya
infeksi nosokomial, pneumonia akibat akumulasi sekret, serta mempertahankan jalan nafas
yang paten (Metersky, 2018).
Selain itu tujuan dari tindakan suction ini juga untuk mencegah terjadinya
pneumonia (Smeltzer & Bare, 2013). Pneumonia yang terjadi pada pasien di rumah sakit
disebut dengan pneumonia nosokomial. Pneumonia nosokomial ini terjadi akibat adanya
infeksi nosokomial selama perawatan di rumah sakit akibat pemasangan ventilator.
Pneumonia yang terjadi akibat pemasangan ventilator ini dikenal dengan istilah Ventilation
Associated Pneumonia (VAP) (Metersky, 2018). VAP merupakan infeksi nosokomial yang
sering terjadi di ICU, yang mana sampai sekarang masih menjadi masalah perawatan
kesehatan di rumah sakit seluruh dunia. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya
VAP, diantaranya adalah tindakan suction yang dilakukan dengan tidak benar serta
kurangnya kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan (Melsen, 2013).
Menurut Melsen (2013) pneumonia nosokomial menjadi penyebab kematian
tertinggi mencapai 30 % angka mortalitasnya. Sedangkan Kollef (2012) mengungkapkan
pasien dengan terpasang ventilator mekanik mempunyai resiko 6-21 kali lebih tinggi untuk
terjadi pneumonia nosokomial dari pada pasien yang tidak terpasang ventilator. Meskipun
belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan
kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP cukup tinggi yaitu dari
penelitian beberapa kasus di Amerika oleh Souccan dkk (2018) dilaporkan kejadian VAP
mencapai 9%-28% pada pasien dengan ventilator mekanik, dan angka kematian akibat
VAP sebanyak 24%-50%. Angka kematian dapat meningkat mencapai 76% pada infeksi
yang disebabkan pseudomonas atau acinobacter. Disamping itu, kejadian VAP dapat
memperpanjang waktu perawatan di ICU dan meningkatkan biaya perawatan (Metersky,
2018).
Salah satu upaya untuk menjaga keselamatan pasien adalah dengan menerapkan
Standard Operational Procedure (SPO) dalam setiap tindakan perawat (Arma, 2012).
Keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan pelayanan menghindari tuntutan
malpraktik. Standard Operational Prosedure (SPO) adalah standar yang harus di jadikan
acuan dalam memberikan setiap pelayanan. Standar kinerja ini sekaligus dapat digunakan
untuk menilai terhadap kinerja instansi pemerintah secara internal maupun kepatuhan
perawat dalam pelaksanaan SPO asuhan eksternal (Atmoko, 2008). Setiap sistem
manajemen kualitas yang baik selalu didasari oleh SPO kemudian disosialisasikan kepada
seluruh pihak yang berkompeten untuk melaksanakannya. Meskipun demikian sebagian
besar perawat dalam melaksanaan praktek keperawatan, sesuai dengan SPO yang
ditetapkan oleh rumah sakit. Sebuah SPO adalah suatu set instruksi yang memiliki
kekuatan sebagai suatu petunjuk atau direktif. Hal ini mencakup proses pelayanan yang
memiliki prosedur pasti atau terstandarisasi, tanpa kehilangan keefektifannya (Rusna,
2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurmiati, (2013) di Yogyakarta
didapatkan data bahwa hanya 44 % perawat yang taat dalam pelaksaan tindakan suction,
selebihnya tindakan suction perawat belum sesuai dengan SOP. Kondisi ini dapat
menimbulkan komplikasi akibat tindakan suction yang tidak sesuai SOP, karena pada
proses dilakukan suction tidak hanya lendir yang terhisap, suplai oksigen yang masuk ke
saluran pernafasan juga ikut terhisap, sehingga memungkinkan untuk terjadi hipoksemia
sesaat yang ditandai dengan penurunan saturasi oksigen (SpO2) (Superdana & Sumara,
2015).
Penelitian yang dilakukan Jumaini, (2013) di ICU RSUD Arifin Achmad tentang
perawatan pasien dengan ventilator dan sikap perawat terhadap tindakan suction, diketahui
bahwa rata-rata pengetahuan responden adalah cukup (57,1%) dan rata-rata sikap
responden adalah positif (57,1%). Pengetahuan perawat yang memadai belumlah cukup
untuk mengatasi masalah yang dialami oleh pasien dengan ventilator bila tidak diikuti
dengan sikap positif dari perawat yang bekerja di ruangan, sikap positif kecenderungan
tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek sesuatu. Perilaku yang
didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
Hasil penelitian Alessandra dkk (2014) menyebutkan bahwa perawat sering
mengabaikan pedoman pelaksanaan tindakan penghisapan lendir dalam melakukan
tindakan tersebut. Selain itu mereka juga menemukan bahwa ada perbedaan yang cukup
besar antara pedoman pelaksanaan dengan aplikasi perawat secara nyata, atau dengan kata
lain perawat tidak melakukan tindakan penghisapan lendir ini sesuai dengan pedoman
prosedur yang telah ditetapkan.
Kualifikasi tenaga keperawatan yang bekerja di ICU harus mempunyai
pengetahuan yang memadai, mempunyai ketrampilan yang sesuai dan mempunyai
komitmen terhadap waktu (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Pengetahuan perawat tentang suction atau hisap lendir ini sangat penting untuk
pelaksanaan tindakan penghisapan lendir pada situasi kritis sehingga dapat meningkatkan
keberhasilan perawat dalam penanganan pasien dalam mempertahankan keefektifan jalan
nafasnya. Pengetahuan dan keterampilan ini menentukan keberhasilan tindakan
penghisapan lendir atau suctioning. Pengetahuan tentang hisap lendir ini di dapat melalui
pendidikan, pelatihan, dan pengalaman selama bekerja (Paryanti, 2010).
Menurut penelitian Prayitno (2009) menjelaskan bahwa ada hubungan antara
tingkat pengetahuan perawat dengan perilaku perawat dalam melakukan tindakan hisap
lendir sesuai dengan prosedur. Hal tersebut tidak terlepas dari upaya rumah sakit dalam
memberikan pelatihan ICU kepada perawat untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan perawat yang diwujudkan dalam melaksanakan prosedur tetap yang telah
ditetapkan oleh pihak rumah sakit.
Akan tetapi, pengetahuan perawat yang memadai belumlah cukup untuk mengatasi
masalah yang dialami oleh pasien dengan ventilator bila tidak diikuti dengan sikap positif
dari perawat yang bekerja di ruangan ICU, sikap positif kecendrungan tindakan adalah
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek sesuatu (Dewi & Wawan 2011).
Mengingat komplitnya perawatan pasien terpasang ventilator dan dituntutnya
perawatan yang maksimal untuk menangani pasien tersebut, maka idealnya perawat yang
dinas di ICU harus memilki kriteria yang sesuai. Tetapi lain halnya yang terjadi saat ini
diruangan ICU, dilihat dari segi tenaga masih banyak perawat yang belum mendapatkan
pelatihan khusus ICU, dan sikap yang ditunjukan perawat yang menangani pasein dengan
ventilator masih belum maksimal, hal ini terlihat dengan kenaikan angka kejadian infeksi
nosokomial terutama pada pasien yang terpasang ventilator yang disebut ventilation
associated pneumonia (VAP), hal ini diakibatkan oleh ketidakpatuhan perawat ICU dalam
melaksanakan SPO diantaranya SPO tindakan suction, cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan, kesadaran yang belum maksimal dalam menjaga keseterilan dalam
suatu tindakan kepada pasien terpasang ventilator (Nurmiati, 2012).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang didapatkan bahwa
masih ada perawat yang tidak melakukan tindakan suction endotracheal sesuai dengan
prosedur sehingga beresiko timbul infeksi lainnya. Sedangkan perawat tahu bagaimana
prosedur yang seharusnya perawat jalani dan sebagian dari perawat juga tahu resiko apa
yang akan terjadi apabila tidak melakukan tindakan suction endotrachel sesuai prosedur
yang telah ditetapkan, maka peneliti merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu
kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO tindakan suction endotracheal pada pasien
yang terpasang ventilator di ruang ICU.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui kepatuhan perawat dalam melaksanakan tindakan suction endotracheal
berdasarkan SPO pada pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran sikap perawat dalam melaksanakan tindakan suction
endotracheal berdasarkan SPO pada pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU.
2. Mengetahui gambaran perawat dalam melakukan persiapan alat dalam
melaksanakan tindakan suction endotracheal berdasarkan SPO pada pasien yang
terpasang ventilator di ruang ICU.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Suction
1. Definisi
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan
nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara
mengeluarkan sekret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri (Timby,
2016). Tindakan suction merupakan suatu prosedur penghisapan lendir, yang dilakukan
dengan memasukkan selang catheter suction melalui selang endotracheal (Syafni, 2012).
Dapat disimpulkan hisap lendir merupakan tindakan untuk mempertahankan kepatenan
jalan nafas dengan mengeluarkan sekret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya
sendiri dengan memasukkan catheter suction ke endotracheal tube atau saluran pernapasan
sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat.
Menurut Smeltzer & Bare (2017), indikasi penghisapan lendir lewat endotrakeal
adalah untuk:
a. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance), apabila:
1) Pasien tidak mampu batuk efektif.
2) Diduga aspirasi
b. Membersihkan jalan napas (bronchial toilet), apabila ditemukan:

1) Pada auskultasi terdengar suara napas yang kasar atau ada suara napas tambahan.

2) Diduga ada sekresi mucus pada saluran pernapasan.

3) Apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan beban kerja sistem pernafasan.

c. Pengambilan specimen untuk pemeriksaan laboratorium.


d. Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi.
e. Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal.
2. Jenis Suction
Terdapat dua jenis teknik suction yaitu Closed Suction System (CSS) dan Open
Suction System (OSS). Metode OSS merupakan suatu metode yang mengharuskan pasien
untuk melepaskan ventilator sehingga pasien tidak mampu menerima oksigenasi
selama suction (Jung, 2008). Sedangkan CSS digunakan untuk mencegah kontaminasi
udara luar, kontaminasi personil dan pasien, mencegah penurunan saturasi oksigen
selama dan setelah suction, serta mempertahankan tekanan ventilasi tekanan positif
atau PEEP, terutama pasien yang sensitif saat terlepas dari ventilator.
3. Kontra Indikasi
Wiyoto (2010) mengatakan, bila suction tidak segera dilakukan pada pasien dengan
gangguan bersihan jalan nafas maka dapat menyebabkan pasien tersebut mengalami
kekurangan suplai O2 (hipoksemia), yang dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen bila tidak terpenuhi O2 selama 4 menit. Cara untuk mengecek hipoksemia
adalah dengan memantau kadar saturasi oksigen (SpO2) yang dapat menggambarkan
prosentase O2 yang mampu dibawa oleh hemoglobin. Menurut Wijaya (2015) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa setelah dilakukan suction pasien yang terpasang ETT
saturasi oksigennya dapat mengalami penurunan antara 4 –10%. Namun, dampak dari
tindakan suction diantaranya selain desaturasi oksigen, perubahan hemodinamik,
suction juga dapat menjadi stressor bagi pasien, sehingga hemodinamik adalah hal
yang perlu dipantau dari pasien (Jevon, 2009), menyatakan bahwa perubahan
hemodinamik adalah komponen utama dalam perawatan intensif. Hemodinamik
merupakan sebuah pemeriksaan pada aspek sirkulasi darah, fungsi jantung serta
karakteristik fisiologis vaskular perifer. Hemodinamik pasien dapat berubah dengan
mudah sesuai keadaan pasien pada saat itu. Dalam penelitian Maggiore (2013) terdapat
46,8% responden yang mengalami penurunan kadar saturasi oksigen saat dilakukan
suction.
4. Prosedur

Prosedur hisap lendir ini dalam pelaksanaannya diharapkan sesuai dengan standar
prosedur yang telah ditetapkan agar pasien terhindar dari komplikasi dengan selalu
menjaga kesterilan dan kebersihan. Prosedur hisap lender menurut Kozier, (2012) adalah:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan, mengapa perlu, dan bagaimana pasien
dapat menerima dan bekerjasama karena biasanya tindakan ini menyebabkan batuk dan
hal ini diperlukan untuk membantu dalam mengeluarkan sekret.
b. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan.
c. Menjaga privasi pasien.
d. Atur posisi pasien sesuai kebutuhan. Jika tidak ada kontraindikasi posisikan pasien
semiflower agar pasien dapat bernapas dalam, paru dapat berkembang dengan baik
sehingga mencegah desaturasi dan dapat mengeluarkan sekret saat batuk. Jika perlu,
berikan analgesia sebelum penghisapan, karena penghisapan akan merangsang refleks
batuk, hal ini dapat menyebabkan rasa sakit terutama pada pasien yang telah menjalani
operasi toraks atau perut atau yang memiliki pengalaman traumatis sehingga dapat
meningkatkan kenyamanan pasien selama prosedur penghisapan
e. Siapkan peralatan
1. Pasang alat resusitasi ke oksigen dengan aliran oksigen 100%.
2. Catheter suction steril sesuai ukuran
3. Pasang pengalas bila perlu.
4. Atur tekanan sesuai penghisap dengan tekanan sekitar 100-120 mmHg untuk orang
dewasa, dan 50-95 untuk bayi dan anak
5. Pakai alat pelindung diri, kaca mata, masker, dan gaun bila perlu.
6. Memakai sarung tangan steril pada tangan dominan dan sarung tangan tidak steril
di tangan nondominan untuk melindungi perawat
7. Pegang suction catether di tangan dominan, pasang catether ke pipa penghisap.

f. Suction catether tersebut diberi pelumas.


1. Menggunakan tangan dominan, basahi ujung catether dengan larutan garam steril.
2. Menggunakan ibu jari dari tangan yang tidak dominan, tutup suction catheter untuk
menghisap sejumlah kecil larutan steril melalui catether.Hal ini untuk mengecek
bahwa peralatan hisap bekerja dengan benar dan sekaligus melumasi lumen
catether untuk memudahkan penghisapan dan mengurangi trauma jaringan selama
penghisapan, selain itu juga membantu mencegah sekret menempel ke bagian
dalam suction catether.
g. Jika klien memiliki sekret yang berlebihan, lakukan pemompaan dengan ambubag
sebelum penyedotan.
1) Panggil asisten untuk prosedur ini
2) Menggunakan tangan nondominan, nyalakan oksigen ke 12-15 l/min
3) Jika pasien terpasang trakeostomi atau ETT, sambungkan ambubag ke
tracheascanul atau ETT
4) Pompa dengan Ambubag 3-5 kali, sebagai inhalasi, hal ini sebaiknya dilakukan
oleh orang kedua yang bisa menggunakan kedua tangan untuk memompa, dengan
demikian volume udara yang masuk lebih maksimal.
5) Amati respon pasien untuk mengetahui kecukupan ventilasi pasien.
6) Bereskan alat dan cuci tangan.
5. Komplikasi
Dalam melakukan tindakan hisap lendir, perawat harus memperhatikan komplikasi
yang mungkin dapat ditimbulkan, antara lain yaitu (Kozier, 2012):
a. Hipoksemia
b. Trauma jalan nafas
c. Infeksi nosocomial
d. Respiratory arrest
e. Bronkospasme
f. Perdarahan pulmonal
g. Disritmia jantung
h. Hipertensi/hipotensi
i. Nyeri Kecemasan

B. KEPATUHAN

1. Definisi
Kepatuhan (compliance) menurut Pranoto (2007) adalah sikap suka,menurut
perintah, taat pada perintah. Secara sederhana kepatuhan adalah perilaku sesuai
aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti
disiplin dan taat. Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan
(Slamet,2007).
Kepatuhan adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku
sesuai dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya. Dalam hal ini
kepatuhan pelaksanaan prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu memenuhi petunjuk
atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di tempat perawat tersebut
bekerja. Kepatuhan adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan,
perintah, prosedur dan disiplin. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai
seorang yang profesional terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus
dilakukan atau ditaati (Ega Lestari & Rosyidah, 2011).
2. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Notoatmojo, (2010) menjabarkan bahwa perilaku kepatuhan seseorang
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.
Ketiga faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi (Predisposing Factors) Faktor predisposisi merupakan faktor
anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi perilaku. Faktor
predisposisi dalam arti umum juga dapat dimaksud sebagai prefelensi pribadi
yang dibawa seseorang atau kelompok kedalam suatu pengalaman belajar. Prefelensi ini
mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat. Faktor predisposisi melingkupi
sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu
atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan. Selain itu status sosial-ekonomi, umur,
dan jenis kelamin juga merupakan faktor predisposisi. Demikian juga tingkat
pendidikan dan tingkat pengetahuan, termasuk kedalam faktor ini.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor ini merupakan faktor
antedesendenterhadap perilaku yang memungkinkan aspirasi terlaksana. Termasuk
didalamnya adalah kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu perilaku. Faktor-faktor pemungkin ini melingkupi pelayanan kesehatan (termasuk
didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan dan keterampilan
petugas).
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors) Faktor penguat merupakan faktor yang datang
sesudah perilaku dalam memberikan ganjaran atau hukuman atas perilaku dan
berperan dalam menetapkan dan atau lenyapnya perilaku tersebut. Termasuk dalam faktor
ini adalah manfaat sosial dan manfaat fisik serta ganjaran nyata atau tidak nyata yang
pernah diterima oleh pihak lain. Sumber dari faktor penguat dapat berasal dari
tenaga kesehatan, kawan, keluarga, atau pimpinan. Faktor penguat bisa positif dan
negatif tergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Menurut Niven (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
adalah:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya. Tingginya
pendidikan seorang perawat dapat meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan
kewajibannya, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
2. Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
3. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial. Hal ini berarti membangun dukungan sosial
dari pimpinan Rumah Sakit, kepala perawat, perawat itu sendiri dan teman-teman
sejawat.Lingkungan berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan
keperawatan yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan
membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat, kebalikannya lingkungan
negatif akan membawa dampak buruk pada proses pemberian pelayanan asuhan
Keperawatan.
4. Perubahan Model Prosedur Program pelaksanan prosedur asuhan keperawatan dapat
dibuat sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam mengaplikasikan prosedur
tersebut. Keteraturan perawat melakukan asuhan keperawatan sesuai standar prosedur
dipengaruhi oleh kebiasaan perawat menerapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.
5. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan Meningkatkan interaksi profesional
kesehatan antara sesama perawat (khususnya antara kepala ruangan dengan perawat
pelaksana) adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada perawat.
Suatu penjelasan tetang prosedur tetap dan bagaimana cara menerapkannya dapat
meningkatkan kepatuhan. Semakin baik pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan,
maka semakin mempercepat proses penyembuhan penyakit klien.
6. Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun.
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berpikir dan bekerja, dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa
akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya.
Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa
seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan patuh dalam pemberian asuhan
keperawatan (Notoatmodjo, 2010).

Anda mungkin juga menyukai

  • LENGKAP
    LENGKAP
    Dokumen32 halaman
    LENGKAP
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Sucction PDF
    Sucction PDF
    Dokumen119 halaman
    Sucction PDF
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Suction 1
    Suction 1
    Dokumen13 halaman
    Suction 1
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Melitus
    Diabetes Melitus
    Dokumen3 halaman
    Diabetes Melitus
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Askep Kelompok Print
    Askep Kelompok Print
    Dokumen85 halaman
    Askep Kelompok Print
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen4 halaman
    Bab Iv
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • 1.1.1 Sop Pendaftaran Rawat Jalan Regis
    1.1.1 Sop Pendaftaran Rawat Jalan Regis
    Dokumen39 halaman
    1.1.1 Sop Pendaftaran Rawat Jalan Regis
    Indah Shofiyah
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pendaftaran Ners
    Lembar Pendaftaran Ners
    Dokumen1 halaman
    Lembar Pendaftaran Ners
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Teori Motivasi
    Teori Motivasi
    Dokumen3 halaman
    Teori Motivasi
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Nyeri
    Nyeri
    Dokumen2 halaman
    Nyeri
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Pengetahuan
    Kuesioner Pengetahuan
    Dokumen2 halaman
    Kuesioner Pengetahuan
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Asam Basa
    Asam Basa
    Dokumen23 halaman
    Asam Basa
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Metode Dan Media
    Metode Dan Media
    Dokumen11 halaman
    Metode Dan Media
    galihsatriow
    Belum ada peringkat
  • Askep Kasus
    Askep Kasus
    Dokumen66 halaman
    Askep Kasus
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Askep Kasus
    Askep Kasus
    Dokumen66 halaman
    Askep Kasus
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Pathway CKD
    Pathway CKD
    Dokumen2 halaman
    Pathway CKD
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen28 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen28 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Askep CKD
    Askep CKD
    Dokumen15 halaman
    Askep CKD
    mandamufa
    33% (3)
  • Hipertensi
    Hipertensi
    Dokumen1 halaman
    Hipertensi
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Bab I Keseimbangan Asam Dan Basa
    Bab I Keseimbangan Asam Dan Basa
    Dokumen24 halaman
    Bab I Keseimbangan Asam Dan Basa
    Deby Rizkika Putri
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Melitus
    Diabetes Melitus
    Dokumen3 halaman
    Diabetes Melitus
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Bagian Sel Hewan Yang Tidak Ditemukan Pada Sel Tumbuhan
    Bagian Sel Hewan Yang Tidak Ditemukan Pada Sel Tumbuhan
    Dokumen3 halaman
    Bagian Sel Hewan Yang Tidak Ditemukan Pada Sel Tumbuhan
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Mata Risma Fix
    Jurnal Mata Risma Fix
    Dokumen11 halaman
    Jurnal Mata Risma Fix
    Nurfarahin Mustafa
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Melitus
    Diabetes Melitus
    Dokumen3 halaman
    Diabetes Melitus
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Melitus
    Diabetes Melitus
    Dokumen3 halaman
    Diabetes Melitus
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat
  • Ikhaa
    Ikhaa
    Dokumen5 halaman
    Ikhaa
    Anonymous NhoVQxEEc9
    Belum ada peringkat