Anda di halaman 1dari 14

BAB 1.

PENDAHULUAN
BAB II. TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi HIV/AIDS


HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah Virus yang menyerang atau
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia.AIDS atau Acquired Immune Deiciency Syndrome adalah sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh
HIV.Akibat menurunnya kekebalan tubuhorang yang terserang dengan mudah terkena
berbagai penyakit infeksi (infeksi opurtunistik) yang sering berakibat fatal (Infodatin,
2016).

HIV merupakan suatu virus yang apabila masuk dalam tubuh manusia dapat
melemahkan bahkan dapat mematika sel darah putih, dimana sel darah putih berfungsi
sebagai pertahan tubuh manusia dalam melawan virus dan bakteri yang dapat
menyebabkan penyakit.Selain itu, virus HIV dapat memperbanyak diri yang lama-
lama dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Apabila tubuh manusia
terinfeksi HIV dalam kurun waktu 5-10 tahun dan tidak mengkonsumsi ARV maka
kemungkinan akan mengalami gejala infeksi oportunistik yang disebut dengan AIDS
(Kemenkes RI, 2018).

2.2 ODHA
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) didefinisikan sebagai seseorang yang telah
terinfeksi oleh virus HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala
AIDS. Rentang waktu dari seseorang terinfeksi sampai muncul gejala klinis bisa
sangat bervariasi antara 8 sampai 10 tahun, yang disebut sebagai masa inkubasi, yang
dalam terminologi penyakit HIV/AIDS biasa disebut juga sebagai window period
(Klatt, 2006).
Waktu munculnya gejala bisa saja terjadi lebih cepat (kurang dari 2 tahun)
atau lebih lama (lebih dari 10 tahun). Klatt (2006) mengatakan bahwa sekitar 10%
orang yang terinfeksi virus HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu 2
sampai 3 tahun, dan sekitar 10% pengidap HIV tidak akan berkembang menjadi AIDS
bahkan setelah 10 tahun.
Untuk membuktikan bahwa seseorang telah terinfeksi HIV, harus dilakukan
pemeriksaan atau tes HIV, yang biasa dilakukan menggunakan metode pengujian
Western Bolt yang bisa mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut,
darah kering, maupun urine pasien. Sebelum dan setelah melakukan tes HIV,
seseorang harus mendapatkan penyuluhan (konseling).Tes HIV tidak boleh dilakukan
tanpa adanya persetujuan dan berdasarkan informasi lengkap (informed consent) dari
yang bersangkutan (Klatt, 2006).

2.3 Definisi Stigma

Stigma adalah bentuk prasangka(prejudice) yang mendiskreditkan


ataumenolak seseorang atau kelompok karenamereka dianggap berbeda dengan diri
kitaatau kebanyakan orang (Ardhiyanti, 2015).Stigma terkait AIDS adalah
segalaperasangka, penghinaan dan diskriminasiyang ditujukan kepada ODHA
sertaindividu, kelompok atau komunitas yangberhubungan dengan ODHA
tersebut.Stigma pada ODHA menghambat prosessosialisasi bahkan pengobatannya
karena hal itu membuat mereka merasa terkucilkan bahkan dianggap sebagai
orangyang terhina dengan statusnya sebagaiODHA. Stigma yang ada
dimasyarakatmengenai HIV dan AIDS merupakan suatumasalah dalam
mengantisipasi penularanpenyakit ini secara meluas (Kemenkes,2015). Stigma
menyebabkan ODHA tidakingin untuk berkonsultasi, menolakmendapatkan
pelayanan kesehatan sertatakut untuk membuka status (Eka, 2012).
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Stigma dan Diskriminasi Pada ODHA


Banyaknya kasus HIV/AIDS di masyarakat Indonesia, menimbulkan
pandangan yang berujung munculnya stigma negatif yang melekat kuat pada ODHA.
Pandangan terhdap masa depan orang yang mengidap penyakit ini mengakibatkan
keputusasaan, ketidakberdayaan, harapan yang pesimistik, dan persepsi tidak jelas
yang akan membuat interpretasi salah terhadap fakta yang ada dengan cara negatif.
Kebanyakan masyarakat menganggap ODHA sebagai manusia pendosa, hukuman
atas perbuatan penderitanya yang telah dilakukan. Interpretasi yang salah ini
memunculkan stigma-stigma yang negatif dan diskriminatif terhadap ODHA. Stigma
negatif yang ditujuka kepada ODHA menyebabkan penanganan penyakit menjadi
terbengkalai, terlebih lagi jika stigma dan diskriminasi muncul dari petugas kesehatan
(Wilandika, 2019).
Stigma yang muncul atau keyakinan diri yang timbul dapat berwujud
prasangka yang menimbulkan diskriminasi.Kehadiran stigma ini dapat dipengaruhi
oleh interaksi sosial, sebagai hasil dari pengalaman pribadi maupun persepsi terhadap
sikap sosial (Berger, Ferrans, & Lashley, 2014). Berger et al(2014)mengungkapkan
terdapat empat perilaku sosial yang dapat membentuk terjadinya stigma yaitu
labelling, stereotyping¸ outpgrouping, dan discrimination.Stigma terjadi
dipersimpangan budaya, kekuasaan, dan perbedaan yang merupakan prekursor
stereotif dan prasangka, dan mewujudkan bentuk-bentuk stigma serta diskriminasi.

3.2 Bentuk-bentuk Stigma dan Diskriminasi pada ODHA


Beberapa bentuk stigma eksternal dan diskriminasi menurut Kristi et al dalam
Stringer(2016) antara lain :
1. Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan yang
sama.
2. Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA.
3. Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan
menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
4. Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya keluarga dan
teman dekatnya.
5. Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi.
6. Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti ditolak bekerja,
penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda pada
ODHA oleh petugas kesehatan.
7. Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik.
8. Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak yang orang
tuanya meninggal karena AIDS.
9. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembukaan status HIV seseorang pada
orang lain tanpa seijin penderita, dan melakukan tes HIV tanpa adanya informed
consent (Diaz et al, 2011).

3.3 Stigma dan Diskriminasi Petugas Kesehatan Terhadap ODHA


Berdasarkan sebuah penelitian oleh Kristi et al dalam Stringer(2016) ODHA
menyatakan bahwa masih mengalami stigma terkait HIV dari penyedia layanan
kesehatan maupun dalam kehidupan sehari-hari mereka di AS.Lebih dari 25% pasien
US melaporkan perasaan stigmatisasi dalam pengaturan kesehatan, termasuk
pengalaman penghindaran pasien. Contoh yang paling ekstrim dari stigma terkait HIV
dalam pengaturan kesehatan AS termasuk laporan dari dokter yang menolak untuk
menyentuh pasien atau melakukan pemeriksaan fisik.,kurangnya perhatian bagi
pasien, penolakan layanan atau penolakan pengobatan.
Berdasarkan hasil dari penelitian Kristi et al (2016)beberapa responden
sepakat bahwa HIV adalah hukuman untuk perilaku buruk (2,3%), ODHA harus malu
(1,5%), atau bahwa ODHA tidak peduli jika mereka menginfeksi orang lain (9,1%).
Terdapat 18,9% dari responden setuju atau sangat setuju dengan pernyataan
''Kebanyakan orang yang hidup dengan HIV telah memiliki banyak pasangan
seksual.'' Sekitar sepertiga dari peserta setuju dengan pernyataan ''Orang yang hidup
dengan HIV bisa dihindari HIV jika mereka ingin, '' dan lebih dari 35,3% persen
setuju bahwa “Orang terinfeksi HIV karena mereka terlibat dalam perilaku yang tidak
bertanggung jawab.'' Sementara 98,5% responden melaporkan bahwa ODHA tidak
perlu merasa malu, 40,7% melaporkan jika mereka sendiri terinfeksi HIV mereka
akan merasamalu, dan 17,2% akan malu jika seseorang dalam tes living with HIV. Mc
Nemar family were tobe mereka mengungkapkan bahwa perbedaan antara dua
tanggapan '' ODHA harus merasa malu'' dan ''saya akan malu jika saya terinfeksi
HIV.'' Berdasarkan penelitian diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perilaku dan
stigma serta diskriminasi terhadap ODHA oleh tenaga kesehatan.
Stigma dan diskriminatif yang muncul dari petugas kesehatan terhadap ODHA
dapat bersumber dari keyakinan yang kurang tepat dari diri sendiri, sehingga
memunculkan sikap diskriminatif ketika berhadapan dengan ODHA. Stigma yang
muncul ini menurunkan interaksi sosial dan kualitas hidup dari ODHA. Penelitian
Hoffart et al. (2015) menunjukkan bahwa terdapat penurunan sikap profesional untuk
merawat pasien dengan infeksi HIV diantara tenaga kesehatan. Stigma yang terjadi
pada lingkungan pelayanan kesehatan merupakan suatu permasalahan yang serius
pada sistem layanan kesehatan. Apabila terdapat pasien terinfeksi HIV dan merasa
terstigma oleh petugas kesehatan, dapat mempengaruhi kualitas perawatan, kualitas
hidup pasien, dan keterlibatan dalam proses perawatan.
Di sisi lain, akibat stigma yang melekat pada penyakitnya, orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) merasa tidak dapat mendiskusikan kondisi mereka dengan
keluarga dan teman-temannya. ODHA tidak semua mampu terbuka tentang status
positif HIV mereka. Ketika ODHA tersebut harus dirawat di rumah sakit karena
penyakitnya, kebutuhan akan perawatan yang berkualitas tetap harus dipenuhi oleh
para petugas kesehatan. Terutama perawat, yang merupakan tenaga kesehatan yang
paling sering berinteraksi dengan pasien.
Namun, petugas kesehatan yang sering berinteraksi dengan perawatan pasien
terinfeksi HIV, menjadikan petugas kesehatan sebagai profesi yang berisiko tinggi
tertular HIV.Risiko tertular HIV dari pasien HIV/AIDS dapat terjadi melalui paparan
yang berulang pada darah dan cairan tubuh pasien yang terkontaminasi virus (Van
Dyk, 2008).Terdapat banyak kasus penularan HIV/AIDS pada perawat ditemukan
berasal dari rangkaian kecelakaan yang terjadi akibat paparan cairan tubuh pasien
ketika melakukan perawatan.Sebagai contohnya yaitu kecelakaan akibat luka tusukan
jarum suntik yang mengandung darah terinfeksi HIV atau luka dari benda tajam
lainnya yang terkontaminasi dengan darah pasien positif HIV (De Villiers & Ndou,
2008).
3.4 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Stigma dan Diskriminasi kepada
ODHA oleh Petugas Kesehatan
Berdasarkan penelitian Kristi et al dalam Stringer (2016) menjelaskan
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi kepada
ODHA oleh petugas kesehatan:
1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana individu tersebut
akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS (Bradley, 2009). Stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA muncul berkaitan dengan ketidaktahuan tentang
mekanisme penularan HIV, perkiraan risiko tertular yang berlebihan melalui kontak
biasa dan sikap negatif terhadap kelompok sosial yang tidak proporsional yang
dipengaruhi oleh epidemi HIV/AIDS ini.Salah satu penyebab terjadinya stigma adalah
misinformasi mengenai bagaimana HIV ditransmimisikan.
2. Persepsi tentang ODHA
Herek, dkk pada tahun 2002 mengungkapkan hasil penelitiannya di Amerika Serikat
bahwa sekitar 40 sampai 50% masyarakat percaya bahwa HIV dapat ditularkan
melalui percikan bersin atau batuk, minum dari gelas yang sama, dan pemakaian toilet
umum, sedangkan 20% percaya bahwa ciuman pipi bisa menularkan HIV. Persepsi
terhadap pengidap HIV atau penderita AIDS akan sangat mempengaruhi bagaimana
orang tersebut akan bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. Persepsi terhadap
ODHA berkaitan dengan nilai-nilai seperti rasa malu, sikap menyalahkan dan
menghakimi yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut.Stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA berhubungan dengan persepsi tentang rasa malu
(shame) dan menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut.
3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA.Mahendra pada tahun 2006 menyatakan bahwa
jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi
skor stigma dan diskriminasi terhadap ODHA (Mahendra et al, 2006).
4. Lama Bekerja
Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk melakukan jenis
pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu dalam melaksanakan tugas
tersebut. Perilaku dan sikap tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan
perilaku pelayanan kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat
menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi.
5. Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku
seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses terbentuknya
motivasi sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja dan
perilaku seseorang.
6. Pelatihan
Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi menghasilkan
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas
untuk memberikan pelayanan kesehatan.Pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang
HIV/AIDS menghasilkan tidak hanya peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS
tetapi juga peningkatan sikap yang lebih baik terhadap ODHA.
7. Dukungan Institusi
Faktor kelembagaan atau institusi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
puskesmas dan klinik mempengaruhi adanya stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA, antara lain hal-hal yang terkait penetapan kebijakan, SOP (Standart
Operational Procedure), penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan
diri dalam penanganan pasien HIV/AIDS.Studi tentang pengaruh faktor lembaga atau
institusi memang masih jarang dilakukan padahal sebenarnya hal ini sangat penting
untuk mengintervensi secara legal terhadap adanya stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA oleh petugas kesehatan (Li li et al, 2007). Sesuai dengan protokol UNAIDS
untuk Identification of Discrimination against People Living with HIV dan hasil
beberapa studi di Asia Pasifik mengungkapkan bahwa masalah stigma dan
diskriminasi lebih banyak nampak dalam praktek-praktek yang tidak mempunyai
kebijakan atau peraturan tertulis dalam penangan pasien HIV/AIDS.
8. Kepatuhan terhadap agama
Agama mempunyai peran dalam membentuk konsep seseorang tentang sehat dan
sakit.Konsep ini sangat dipengaruhi oleh keyakinannya tentang peran Tuhan dalam
menentukan nasib seseorang, termasuk didalamnya adalah dalam hal sehat dan
sakit.Peran agama dalam semua aspek kehidupan manusia sudah ada sejak berabad-
abad yang lalu.Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para
pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan penularan
HIV. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diaz di Puerto Rico tahun 2011
menyatakan adanya peran agama dalam membentuk konsep tentang sehat dan sakit
serta terkait dengan adanya stigma terhadap penderita HIV/AIDS. Penelitian lain juga
menunjukkan hasil yang sama yang dilakukan oleh Aisha Andrewin tahun 2008
bahwa kepatuhan petugas kesehatan berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi
kepada penderita HIV/AIDS.

3.5 Dampak Stigma Petugas Kesehatan Terhadap ODHA


Stigma yang muncul dapat menurunkan interaksi sosial dan kualitas hidup dari
ODHA. Penelitian Hoffart et al. (2015) menunjukkan bahwa terdapat penurunan
sikap profesional untuk merawat pasien dengan infeksi HIV diantara tenaga
kesehatan. Stigma yang terjadi pada lingkungan pelayanan kesehatan merupakan
suatu permasalahan yang serius pada sistem layanan kesehatan. Apabila terdapat
pasien terinfeksi HIV dan merasa terstigma oleh petugas kesehatan, dapat
mempengaruhi kualitas perawatan, kualitas hidup pasien, dan keterlibatan dalam
proses perawatan. Di sisi lain, akibat stigma yang melekat pada penyakitnya, orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) merasa tidak dapat mendiskusikan kondisi mereka
dengan keluarga dan teman-temannya. ODHA tidak semua mampu terbuka tentang
status positif HIV mereka. Ketika ODHA tersebut harus dirawat di rumah sakit
karena penyakitnya, kebutuhan akan perawatan yang berkualitas tetap harus dipenuhi
oleh para petugas kesehatan. Terutama perawat, yang merupakan tenaga kesehatan
yang paling sering berinteraksi dengan pasien.

3.6 Strategi Menanggulangi Stigma dan Diskriminasi pada ODHA


Stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan pada dasarnya
disebabkan karena masih rendahnya pengetahuan komprehensif tentang HIV dan
AIDS dan masih tingginya anggapan di masyarakat bahwa HIV berkaitan dengan
perilaku yang amoral atau tidak patut.Stigma sendiri lebih banyak dihubungkan
dengan sikap yang tidak menyenangkan terhadap seseorang atau sesuatu tertentu,
sementara diskriminasi lebih pada tingkah laku terhadap baik individu maupun
kelompok yang berdasarkan prasangka.Berikut adalah hal yang harus di perhatikan
atau focus intervensi dalam menanggulangi stigma dan diskriminasi pada ODHA di
pelayanan kesehatan:
Menurut Nyblande, et al. 2009 :

1. Tingkat individu: meningkatkan kesadaran akan stigma dan diskriminasi pada tingkat
individu khususnya pada petugas kesehatan melalui peningkatan pengetahuan yang
komprehensif.
2. Tingkat lingkungan: pelaksanaan program perlu memastikan bahwa petugas
kesehatan memiliki informasi yang mudah diakses, kelengkapan peralatan yang
dibutuhkan untuk pencegahan umum (universal precaution/UP) dan pencegahan
penularan HIV melalui kerja.
3. Tingkat kebijakan: perlu dikembangkan kebijakan yang melindungi keselamatan dan
kesehatan pasien, serta petugas kesehatan sendiri untuk menghindari terjadinya
diskriminasi terhadap ODHA.

Menurut UNAIDS, 2016 – agenda zero-discrimination:

1. Dampak politik: dengan meningkatkan komitmen politik melalui mobilisasi seluruh


konstituensi kunci, untuk mengamankan agenda ini sebagai prioritas di seluruh
tingkatan.
2. Akuntabilitas: melalui pelaksanaan kerangka dan mekanisme monitoring dan evaluasi
untuk membangun bukti, memantau perkembangan dan memastikan akuntabilitas.
3. Implemetasi/pelaksanaan: dengan mendorong peningkatan implementasi dari aksi
yang efektif untuk mencapai layanan kesehatan yang bebas diskriminasi
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Stigma merupakan bentuk prasangka yang mendiskreditkan atau menolak
seseorang atau kelompok karen amereka dianggap berbeda dengan diri kita atau
kebanyakan orang. Stigma dan diskriminasi HIV/AIDS pada fasilitas kesehatan
menjadi hambatan dalam kemajuan upaya pencegahan epidemi HIV dan bahkan dapat
menurunkan intervensi untuk mereduksi penyebaran infeksi HIV. Karena stigma pada
ODHA akan menyebabkan ODHA enggan untuk berkonsultasi, menolak
mendapatkan pelayanan kesehatan serta takut untuk membuka status. Stigma dan
diskriminasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan pada dasarnya disebabkan karena
masih rendahnya pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS dan masih
tingginya anggapan di masyarakat bahwa HIV berkaitan dengan perilaku yang amoral
atau tidak patut. Oleh karena itu, pengukuran stigma terkait HIV di antara petugas
kesehatan menjadi hal yang sangat penting, sehingga pemegang kebijakan dan
pimpinan fasilitas kesehatan dapat membuat pertimbangan khusus dalam perumusan
strategi untuk mengatasi sikap petugas kesehatan.

4.2 Saran
Stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan pada ODHA dapat
memunculkan dampak yang negatif pada kualitas hidup mereka, setiap pelayanan
kesehatan perlu merumuskan strategi pelatihan seperti apa yang efektif untuk
merubah stigma tinggi yang terjadi pada ODHA di kalangan petugas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Infodantin.2016. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI Situasi Penyakit HIV
AIDS di
Indonesia.www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin%20AI
DS.pdf. [Diakses pada tanggal 10 April 2019]

Kemenkes RI. 2018. Hari AIDS sedunia, Momen STOP Penularan HIV : Saya Berani, Saya
Sehat. http://www.depkes.go.id/article/view/18120300001/hari-aids-sedunia-momen-
stop-penularan-hiv-saya-berani-saya-sehat-.html. [Diakses pada tanggal 10 April 2019].

Klatt EC.2006. Pathology of AIDS. Florida State University College of Medicine

Ardhiyanti, yulrina., Lusiana, Novita., Megasari, Kiki. 2015. Bahan Ajar AIDS Pada Asuhan
Kebidanan. Yogyakarta. CV. Budi Utama

Eka, dkk .2012. Stigma dan Diskriminasi Terhadap ODHA di Kota Bandung. Bandung :
UNPAD

Kementrian Kesehatan RI. 2015. Laporan Perkembangan HIV/AIDSTriwulan 1 Tahun 2015.


Jakarta : Ditjen PP dan PL Kemenkes RI

Berger, B. E., Ferrans, C. E., & Lashley, F. R. (2014).Measuring stigma in people with HIV:
psychometric assessment of the HIV stigma scale.Research in nursing & health, 24(6),
518-529.

Hoffart, S., Ibrahim, G. M., Lam, R. A., Minty, E. P., Theam, M., & Schaefer, J. P. (2015).
Medical students’ attitudes towards treating patients with HIV: a 12-year follow-up
study. Medical teacher, 34(3), 254-254.
Van Dyk, A. C. (2008). HIVAIDS Care & Counselling, 4th edition: Pearson Education South
Africa.

De Villiers, L., & Ndou, N. (2008).South African professional nurses' experiences of caring
for HIV/AIDS patients.Africa Journal of Nursing and Midwifery, 10(1), 5-21.

Mahendra VS, et al. 2006. Reducing stigma and discriminationin hospital : positive findings
from India. Horizons Research Summary.

Li Li PD, Zunyou Wu, Ph.D., Sheng Wu, M.S., Yu Zhaoc, Ph.D., Manhong Jia, M.D.,, and
Zhihua Yan MS. 2007. HIV-Related Stigma in Health Care Settings: A Survey of
Service Providers in China. NIH Public Access Author Manuscript. 21(10): 753– 762.
doi:10.1089.

Kristi L,dkk. HIV-Related Stigma among Healthcare Providers in the Deep South.
doi:10.1007/s10461-015-1256-y.

Stringer, K.L., Bulent, T., Lisa, M.C., Modupeoluwa, D., Laura, N., Mirjam, C.K.,
Bronwen, L., Janet, M.T. 2016.HIV-Related Stigma among Healthcare
Providers in the Deep South.AIDS Behavioural. 20 (1): 115-125

Wilandika A. 2019. Penilaian Stigma Petugas Kesehatan Pada Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) Pada Salah Satu Puskesmas Di Bandung. Volume 10 (1)

Perwira, I. 2016. Bagaimana Menciptakan Layanan Kesehatan Yang Bebas Stigma Dan
Diskriminasi. http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/artikel/artikel-tematik/1473-
bagaimana-menciptakan-layanan-kesehatan-yang-bebas-stigma-dan-diskriminasi
[Diakses pada 9 April 2019]

Anda mungkin juga menyukai