Anda di halaman 1dari 3

Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian

integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Praktik Keperawatan adalah
pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan (Undang-undang
Keperawatan No. 38 tahun 2014).

Pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien dapat mempengaruhi kualitas mutu
pelayanan keperawatan karena perawat merupakan profesi dengan jumlah terbanyak dan terdekat
dalam pemberian pelayanan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2013), menetapkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 49 Tahun 2013 bahwa tenaga keperawatan
di rumah sakit merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar (jumlahnya 50-60%), memiliki jam kerja 24
jam dalam pemberian layanan keperawatan. Tenaga perawat merupakan salah satu jenis tenaga yang
dibutuhkan rumah sakit. Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan menuntut seorang
perawat memberi layanan keperawatan yang sesuai dengan hak pasien, yaitu layanan yang bermutu dan
berkualitas. Pasien akan mengeluh jika layanan keperawatan yang diberikan tidak memberikan nilai
kepuasan bagi pasien (Nursalam, 2014). Tenaga perawat sangat berperan penting dalam pemberian
pelayanan yang aman dan bermutu, yang berdampak pada kenyamanan, kesembuhan, dan kepuasan
pasien (Depkes 2004). Namun demikian, beban kerja tenaga perawat juga perlu diperhatikan.

Beban kerja dapat mempengaruhi kinerja tenaga perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang
perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Marquis dan Houston, 2000). Beban kerja
yang tinggi akan menimbulkan kelelahan dan stres kerja. Kelelahan perawat dalam bekerja dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan kerja yang akan menyebabkan kemunduran penampilan kerja.
Kelelahan kerja perawat juga dapat memberi dampak pada asuhan pelayanan yang diberikan tidak akan
optimal. Ilyas (2004) mengatakan tingginya beban kerja dapat berefek pada penurunan kinerja personel
rumah sakit.

Ruang rawat inap merupakan salah satu pelayanan rumah sakit yang melaksanakan asuhan dan
pelayanan keperawatan dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam (Kemenkes RI,
2012). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, pemberi pelayanan di ruang rawat inap yaitu dokter dan tenaga
perawat yang kompeten (minimal D3). Beban kerja adalah suatu kondisi yang membebani tenaga kerja,
baik secara fisik maupun non fisik dalam menyelesaikan pekerjaan. Kondisi tersebut dapat diperberat
oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung secara fisik atau non fisik (Depkes RI, 2007).

Burnout syndrome adalah keadaan lelah atau frustasi yang disebabkan oleh terhalangnya
pencapaian harapan (Freundenberger, 1974). Pines dan Aronson melihat bahwa burnout syndrome
merupakan kelelahan secara fisik, emosi dan mental karena berada dalam situasi yang menuntut
emosional mengemukakan bahwa burnout syndrome sebagai suau perubahan sikap dan perilaku dalam
bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan. Selama dekade terakhir, beberapa istilah telah
diusulkan dalam upaya untuk menjelaskan burnout syndrome, dan definisi yang paling dapat diterima
adalah yang ditulis oleh Maslach, di mana burnout syndrome ditandai dengan tiga dimensi yaitu kelelahan
emosional, depersonalisasi dan menurunnya prestasi diri (Pouncet, 2007).

Penelitian telah menunjukan bahwa perawat yang bekerja di rumah sakit berada pada risiko
tertinggi kelelahan. Beberapa alasan menjadi poin utama dalam perkembangan sindrom ini, seperti
tuntutan pasien, kemungkinan bahaya dalam asuhan keperawatan, beban kerja yang berat atau tekanan
saat harus memberikan banyak perawatan bagi banyak pasien saat shift kerja, kurangnya rasa hormat dari
pasien, ketidaksukaan dan dominasi dokter dalam sistem pelayanan kesehatan, kurangnya kejelasan
peran, serta kurangnya dukungan dari lingkungan kerja. Faktor lain yang sangat terkait dengan
pengembangan burnout syndrome adalah jenis kepribadian yang mencerminkan kapasitas individu untuk
tetap bertahan pada pekerjaannya (Felton, 1998; Poncet, 2008; Bakker, 2000).

Individu yang mengalami burnout syndrome akan kehilangan makna dari pekerjaan yang
dikerjakannya karena respons yang berkepanjangan dari kelelahan emosional, fisik dan mental yang
mereka alami. Akibatnya, mereka tidak dapat memenuhi tuntutan pekerjaan dan akhirnya memutuskan
untuk tidak hadir, menggunakan banyak cuti sakit atau bahkan meninggalkan pekerjaan nya (Felton, 1998;
Maslach, 2001; Poncet, 2008). Burnout syndrome lebih sering terjadi pada kategori profesi tertentu yang
menuntut interaksi dengan orang lain seperti guru, profesi dibidang kesehatan, pekerja sosial, polisi dan
hakim. Selain bekerja dengan masyarakat, individu yang bekerja dalam lingkungan lain yang melibatkan
tanggung jawab berbahaya, presisi pada kinerja tugas, konsekuensi berat, shift kerja atau tugas dan
tanggung jawab yang tidak disukai, berada pada risiko yang berbeda untuk berkembangnya kelelahan
(Felton, 1998; Poncet, 2008; Bakker, 2000).

Anda mungkin juga menyukai