Anda di halaman 1dari 15

MODEL PROGRAM KOTAKU (KOTA TANPA KUMUH) DALAM PENANGANAN

PEMUKIMAN KUMUH DI KOTA SEMARANG JAWA TENGAH

1. DESKRIPSI PROGRAM
Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) adalah program yang dilaksanakan secara
nasional di 271 kabupaten/kota di 34 Propinsi yang menjadi “platform kolaborasi” atau basis
penanganan permukiman kumuh yang mengintegrasikan berbagai sumber daya dan sumber
pendanaan, termasuk dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, donor, swasta,
masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. KOTAKU bermaksud untuk membangun
sistem yang terpadu untuk penanganan permukiman kumuh, dimana pemerintah daerah
memimpin dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dalam perencanaan
maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi masyarakat. KOTAKU
diharapkan menjadi “platform kolaborasi” yang mendukung penanganan permukiman kumuh
seluas 35.291 Ha yang dilakukan secara bertahap di seluruh Indonesia melalui pengembangan
kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, penguatan kelembagaan, perencanaan,
perbaikan infrastruktur dan pelayanan dasar di tingkat kota maupun masyarakat, serta
pendampingan teknis untuk mendukung tercapainya sasaran RPJMN 2015-2019 yaitu kota
tanpa kumuh.
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019 mengamanatkan pembangunan dan pengembangan
kawasan perkotaan melalui penanganan kualitas lingkungan permukiman yaitu peningkatan
kualitas permukiman kumuh, pencegahan tumbuh kembangnya permukiman kumuh baru,
dan penghidupan yang berkelanjutan.
Pada tahun 2016 masih terdapat 35.291 Ha permukiman kumuh perkotaan yang
tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia sesuai hasil perhitungan pengurangan luasan
permukiman kumuh perkotaan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Kondisi tersebut diperkirakan akan terus mengalami penambahan apabila tidak ada bentuk
penanganan yang inovatif, menyeluruh, dan tepat sasaran.
Permukiman kumuh masih menjadi tantangan bagi pemerintah kabupaten/kota,
karena selain merupakan masalah, di sisi lain ternyata merupakan salah satu pilar penyangga
perekonomian kota. Mengingat sifat pekerjaan dan skala pencapaiannya yang sangat
kompleks, diperlukan kolaborasi beberapa pihak antara pemerintah mulai tingkat pusat
sampai dengan tingkat kelurahan/desa, pihak swasta, masyarakat, dan pihak terkait lainnya.
Pelibatan beberapa pihak secara kolaboratif diharapkan memberikan berbagai dampak positif,
antara lain meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam pencapaian kota layak huni,
meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat dalam memanfaatkan dan
memelihara hasil pembangunan, menjamin keberlanjutan, dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat dan swasta terhadap Pemerintah.
Oleh karena itu, sebagai salah satu langkah mewujudkan sasaran RPJMN 2015-2019
yaitu kota tanpa permukiman kumuh di tahun 2019, Direktorat Jenderal Cipta Karya
menginisiasi pembangunan platform kolaborasi melalui Program Kota Tanpa Kumuh
(KOTAKU). Program KOTAKU mendukung Pemerintah Daerah sebagai pelaku utama
penanganan permukiman kumuh dalam mewujudkan permukiman layak huni diantaranya
melalui revitalisasi peran Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).
Rancangan program ini berpijak pada pengembangan dari program nasional
sebelumnya. Program tersebut telah memberikan berbagai pembelajaran penting untuk
pengembangan Program KOTAKU dan investasi berharga berupa terbangunnya kelembagaan
tingkat masyarakat, kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah, sistem monitoring
dan kapasitas tim pendamping. Berdasarkan pembelajaran tersebut, Program KOTAKU
dirancang bersama dengan Pemerintah Daerah sebagai nakhoda dalam mewujudkan
permukiman layak huni di wilayahnya, yang mencakup: (1) pengembangan kapasitas dalam
perencanaan dan pelaksanaan penanganan permukiman kumuh tingkat kabupaten/kota karena
peran pemda menjadi sangat penting dalam penyediaan infrastruktur dan pelayanan di tingkat
kabupaten/kota; (2) penyusunan rencana penanganan permukiman kumuh tingkat kota
termasuk rencana investasi dengan pembiayaan dari berbagai sumber (pusat, provinsi,
kabupaten/kota, masyarakat, swasta, dll); (3) perbaikan serta pengoperasian dan pemeliharaan
infrastruktur tingkat kota (primer atau sekunder) yang terkait langsung dengan penyelesaian
permasalahan di permukiman kumuh; (4) penyediaan bantuan teknis untuk memperkuat
sistem informasi dan monitoring penanganan permukiman kumuh, mengkaji pilihan-pilihan
untuk penyelesaian masalah tanah/lahan, dan sebagainya.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
dijelaskan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan
serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, sedangkan Perumahan Kumuh adalah
perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian. Dari
pengertian tersebut dapat dirumuskan karakteristik perumahan kumuh dan permukiman
kumuh dari aspek fisik sebagai berikut:
1) Merupakan satuan entitas perumahan dan permukiman;
2) Kondisi bangunan tidak memenuhi syarat, tidak teratur dan memiliki kepadatan
tinggi;
3) Kondisi sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat. Khusus untuk bidang
keciptakaryaan, batasan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut:
a. Jalan Lingkungan;
b. Drainase Lingkungan,
c. Penyediaan Air Bersih/Minum;
d. Pengelolaan Persampahan;
e. Pengelolaan Air Limbah;
f. Pengamanan Kebakaran; dan
g. Ruang Terbuka Publik.
Karakteristik fisik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator
dari gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi perumahan kumuh dan permukiman
kumuh. Selain karakteristik fisik, karakteristik non fisik pun perlu diidentifikasi guna
melengkapi penyebab kumuh dari aspek non fisik seperti perilaku masyarakat, kepastian
bermukim, kepastian berusaha, dsb.

2. LATAR BELAKANG
2.1 KONDISI UMUM
Permukiman kumuh masih menjadi tantangan bagi pemerintah kabupaten/kota, karena
selain merupakan masalah, di sisi lain ternyata merupakan salah satu pilar penyangga
perekonomian kota. Mengingat sifat pekerjaan dan skala pencapaiannya yang sangat
kompleks, diperlukan kolaborasi beberapa pihak antara pemerintah mulai tingkat pusat
sampai dengan tingkat kelurahan/desa, pihak swasta, masyarakat, dan pihak terkait lainnya.
Pelibatan beberapa pihak secara kolaboratif diharapkan memberikan berbagai dampak positif,
antara lain meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam pencapaian kota layak huni,
meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat dalam memanfaatkan dan
memelihara hasil pembangunan, menjamin keberlanjutan, dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat dan swasta terhadap Pemerintah. Oleh karena itu, sebagai salah satu langkah
mewujudkan sasaran RPJMN 2015-2019 yaitu kota tanpa permukiman kumuh di tahun 2019,
Direktorat Jenderal Cipta Karya menginisiasi pembangunan platform kolaborasi melalui
Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU).
Program KOTAKU mendukung Pemerintah Daerah sebagai pelaku utama penanganan
permukiman kumuh dalam mewujudkan permukiman layak huni diantaranya melalui
revitalisasi peran Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Rancangan program ini berpijak
pada pengembangan dari program nasional sebelumnya. Program tersebut telah memberikan
berbagai pembelajaran penting untuk pengembangan Program KOTAKU dan investasi
berharga berupa terbangunnya kelembagaan tingkat masyarakat, kerja sama antara
masyarakat dan pemerintah daerah, sistem monitoring dan kapasitas tim pendamping.
Berdasarkan pembelajaran tersebut, Program KOTAKU dirancang bersama dengan
Pemerintah Daerah sebagai nakhoda dalam mewujudkan permukiman layak huni di
wilayahnya, yang mencakup: (1) pengembangan kapasitas dalam perencanaan dan
pelaksanaan penanganan permukiman kumuh tingkat kabupaten/kota karena peran pemda
menjadi sangat penting dalam penyediaan infrastruktur dan pelayanan di tingkat
kabupaten/kota; (2) penyusunan rencana penanganan permukiman kumuh tingkat kota
termasuk rencana investasi dengan pembiayaan dari berbagai sumber (pusat, provinsi,
kabupaten/kota, masyarakat, swasta, dll); (3) perbaikan serta pengoperasian dan pemeliharaan
infrastruktur tingkat kota (primer atau sekunder) yang terkait langsung dengan penyelesaian
permasalahan di permukiman kumuh; (4) penyediaan bantuan teknis untuk memperkuat
sistem informasi dan monitoring penanganan permukiman kumuh, mengkaji pilihan-pilihan
untuk penyelesaian masalah tanah/lahan, dan sebagainya

2.2 KONDISI SAAT INI (EXISTING CONDITION)


Kawasan permukiman kumuh merupakan kawasan permukiman yang mengalami
penurunan (degradasi) lingkungan huniannya. Kawasan permukiman ini memiliki berbagai
macam permasalahan, yang terkait dengan berbagai aspek, baik, aspek fisik yaitu
menyangkut kualitas fisik bangunan, tata letak bangunan dan lokasi, aspek ekonomi terkait
dengan pendapatan masyarakat yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat miskin dan
berpenghasilan rendah, serta mata pencaharian masyarakat yang menghuni kawasan
permukiman kumuh. Serta aspek lingkungan terkait dengan ketersediaan sarana dan
prasarana. Perkembangan kawasan kumuh Kota Semarang sebagian besar tersebar di wilayah
Semarang Bawah dengan tipologi kumuh nelayan, kumuh pusat kota, kumuh pinggir sungai,
dan sebagian berada di wilayah Semarang Atas dengan tipologi kumuh perkotaan
Berdasarkan SK Walikota Nomor 050/801/ 2014 Kota Semarang tentang penetapan
lokasi lingkungan perumahan dan permukiman kumuh kota Semarang, tahun 2015 masih
terdapat sekitar 415,83 Hektar (Ha) wilayah di kota Semarang yang masuk dalam kategori
kumuh. Perkembangan lingkungan permukiman kumuh dan padat yang biasanya terjadi di
daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk kota itu sendiri
maupun karena faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama
ini disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah pedesaan,
sehingga memunculkan adanya daya tarik kota yang dianggap mampu memberikan masa
depan yang lebih baik bagi masyarakat pedesaan atau luar kota, sementara latar belakang
kapasitas dan kemampuan para pendatang sangat marjinal seiring dengan pertumbuhan
penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan akan penyediaan sarana dan prasarana
permukiman juga akan meningkat, baik melalui peningkatan lahan maupun pembangunan
baru. Berikut lokasi permukiman kumuh di Kota Semarang.
Tabel 1. Lokasi Permukiman Kumuh Kota Semarang

Sumber: Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 050/801/ 2014


Gambar 1. Peta Sebaran Pemukiman Kumuh Kota Semarang

2.3 KONDISI YANG DIHARAPKAN (EXPECTED CONDITION)


Perumahan dan kawasan permukiman tersebut memerlukan penanganan-penanganan
dalam upaya meningkatkan keamanan, kenyamanan dan keindahan dalam kawasan tersebut.
Penanganan untuk kawasan permukiman kumuh yang squater harus di relokasi/resetlement
untuk keamanan dan kenyamanan bagi penghuni dan untuk pemerintah daerah harus
menyiapkan lahan pengganti bagi penduduk yang direlokasi. Untuk kawasan permukiman
slum, peningkatan kualitas lingkungannya harus disesuaikan dengan kondisi fisik bangunan
dan sarana prasarana kawasan tersebut. Berdasarkan tujuan program KOTAKU, kondisi yang
di harapkan untuk permukiman kumuh di Kota Semarang adalah:
 Menurunnya luas kawasan permukiman kumuh Kota Semarang menjadi 0 Ha;
 Terbentuknya Pokja PKP Kota Semarang dalam penanganan kumuh yang
berfungsi dengan baik;
 Tersusunnya rencana penanganan kumuh Kota Semarang dan Kelurahan yang
terlembagakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD);
 Meningkatnya penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
melalui penyediaan infrastruktur dan kegiatan peningkatan penghidupan
masyarakat untuk mendukung pencegahan dan peningkatan kualitas kawasan
permukiman kumuh; dan
 Terlaksananya aturan bersama sebagai upaya perubahan perilaku hidup bersih
dan sehat masyarakat dan pencegahan kumuh.
2.4 PEMETAAN MASALAH
Pemetaan masalah dilaksanakaan dalam rangka mengidentifikasi beberapa
permasalahan yang menjadi penyebab belum optimalnya penanganan permukiman kumuh di
Kota Semarang. Berdasarkan hasil dari identifikasi masalah maka permasalahan
permasalahan yang timbul diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Model peningkatan permukiman kumuh
1) Belum optimalnya pelibatan masyarakat dalam peningkatan kualitas permukiman
kumuh di Kota Semarang
2) Belum optimalnya konsep kolaborasi antar stakeholder dalam percepatan peningkatan
permukiman kumuh
b. Leadership
1) Lemahnya pengawasan dalam upaya menjaga kondisi lingkungan permukiman
2) Kurangnya ketegasan dalam mengatur perilaku masyarakat dalam menjaga kondisi
lingkungan permukiman
3) Kurangnya kinerja aparatur peningkatan permukiman kumuh dalam manajemen
penataan kawasan permukiman
c. SDM Masyarakat
1) Rendahnya SDM masyarakat disekitar permukiman kumuh
2) Belum berfungsinya dengan baik kelompok swadaya masyarakat (BKM) di
lingkungan permukiman kumuh
3) Rendahnya tingkat perekonomian masyarakat permukiman kumuh
4) Kurangnya akses informasi, sarana dan prasarana serta infrastruktur di sekitar
permukiman kumuh
d. Lintas Sektoral
1) Belum terkoordinasinya kegiatan peningkatan permukiman kumuh
2) Kurangnya peran stakeholders dalam penyelesaian permasalahan kumuh dalam upaya
peningkatan permukiman kumuh
3) Belum optimalnya program bersama yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan
dalam upaya peningkatan permukiman kumuh
e. Status kawasan
1) Beberapa lokasi permukiman kumuh status tanahnya belum bersertifikat atau masih
ilegal
Dari pemetaan masalah yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Masalah Utama
Belum optimalnya konsep kolaborasi antar stakeholder dalam percepatan
peningkatan permukiman kumuh di Kota Semarang
b. Masalah Pokok
Masalah pokok yang didapatkan adalah dari unsur : Model Peningkatan Permukiman
Kumuh, Leadership, Masyarakat, Lintas Sektoral, Status Kawasan
c. Prioritas Masalah
Urutan prioritas masalah menggunakan metodhe Rachel Porter and Adam Mansky
(2010) yaitu ditentukan berdasarkan 3 Parameter yaitu
1) Urgency adalah tingkat kekritisan suatu masalah dengan tiga indikator yaitu
regulasi, kepentingan dan dampak.
2) Pertumbuhan yaitu peningkatan lingkup masalah dan skala kebijakan dengan
indikator daya ungkit.
3) Relevansi yaitu kesesuaian masalah dengan tupoksi dengan indikator tingkat
sesesuaian/relevansi terhadap tupoksi.
Ketiga parameter ini digunakan sebagai bahan untuk skoring permasalahan mana yang
harus diutamakan pemecahannya (prioritas) Deskripsi dari ketiga parameter tersebut
(Urgency, pertumbuhan dan relevansi) beserta indikator dan skoringnya dapat disajikan pada
tabel berikut:

Tabel 3. Deskripsi Indikator Masalah Pokok


Paramete Definisi Definisi Operasional
r Konsep Indikator 1 2 3
Urgensi Tingkat Regulasi Belum ada Ada Peraturan Ada Peraturan
Kekritisan peraturan namun belum dan Juklaknya
Juklaknya
Kepentinga Terkait hanya Terkait dengan Terkait dengan
n dengan lebih dari 1 kepentingan
kepentingan 1 kelompok semua
suatu kelompok masyarakat kelompok
masalah masy masy
Dampak Di terima pada Diterima pada Di terima pada
jangka pendek jangka jangka panjang
menengah
Peningkatan Daya Tidak dapat Dapat Dapat
Pertumbuh lingkup dan Ungkit mendorong mendorong mendorong
an skala (leverage) pertumbuhan pertumbuhan pertumbuhan >
kebijakan sektor lain sektor lain dari 1 sektor
Tingkat Relevan Relevan dengan Relevan
Kesesuaian
kesesuaian dengan satu lebih satu dengan semua
Relevansi dengan
dengan bidang bidang Tupoksi bidang Tupoksi
tupoksi
Tupoksi Tupoksi
Sumber : Rachel Porter, Michael Raempel and Adam Mansky 2010 dielaborasi oleh heru
cahya 2016

Kekuatan masalah pada proyek Model Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) Dalam
Penanganan Pemukiman Kumuh Di Kota Semarang Jawa Tengah dipetakan sebagaimana
tabel berikut

Tabel 4. Matriks Kekuatan Masalah


Unsur Urgensi
No Pertumb Relevan Total
Masalah Regul Kepent
. Dampak uhan si skor
Pokok asi ingan
1 Leadership 1 2 2 2 2 9
Model
2 2 3 3 3 3 14
Pengelolaan
3 Masyarakat 2 2 2 2 2 10
Lintas
4 2 3 2 2 2 11
sektoral
Status
5 1 2 1 1 1 6
Kawasan
Sumber data awal curah pendapat
Strata prioritas pemecahan masalah ditentukan berdasarkan metode sebagai berikut:
Nilai Tertinggi = ∑ Indikator x Bobot Tertinggi = 5 x 3 =14
Nilai Terendah = ∑ Indikator x 1 = 6 x 1 = 6
Rentang = Nilai Tertinggi – Nilai Terendah = 14 – 6 = 8

Interval =

Strata Prioritas :
Priritas III : 6 – 8,7
Prioritas II : 8,8 – 11,5
Prioritas I : 11,6 – 14,3
Berdasarkan Strata Prioritas tersebut, maka masalah model pengelolaan menempati prioritas
I dengan skor 14. Dengan demikian permasalahan ini harus diselesaikan terlebih dahulu.

3. METODE ANALISIS
3.1 ANALISIS KELEMBAGAN
Analisis kelembagaan dalam rangka pengembangan kawasan kumuh digunakan untuk
menjawab permasalahan pokok yang harus diselesaikan sebagai prioritas pertama berupa
permasalahan dalam model pengelolaan yang diakibatkan dari belum tepatnya model
penanganan masalah pengelolaan kawasan kumuh, serta belum optimalnya pelibatan
sumberdaya masyarakat dan para stakeholder dalam pengelolaan kawasan kumuh daerah dan
belum sinerginya pola pengembangan masyarakat dalam pengembangan kawasan kumuh di
setiap daerah. Untuk membangun kapasitas, peran dan kontribusi Pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan pembangunan kota dalam peyelenggaraan
kolaborasi; menyepakati penyebab utama kekumuhan dan menggalang komitmen kumuh
menjadi musuh bersama yang harus ditangani.
Masalah utama yang dihadapi organisasi yang akan melakukan perubahan adalah
“bagaimana mempertahankan kesesuaian atau kecocokan di antara berbagai komponen
sistem organisasi pada saat melaksanakan perubahan?”. Berdasarkan hal itu, perlu dilakukan
analisis kelembagaan organisasi agar perubahan yang dilakukan dapat mengatasi masalah
serta memberikan manfaat yang diharapkan. Masalah yang sering menjadi persoalan yang
terkait dengan penyebab utama kekumuhan misalkan terkait soal ekonomi, fisik, sosial
budaya, perencanaan, lahan dan kebijakan. Didalam pengelolaan sebuah kawasan kumuh
terdapat beberapa tujuan utama yang senantiasa harus dipegang teguh dalam pelaksanaanya
yaitu Pertama, Penjelasan mengenai pentingnya membangun Permukiman; Kedua,
Identifikasi dan mengingat terhadap Visi permukiman Kota yang sudah ada atau; Ketiga, bila
diperlukan Identifikasi Visi permukiman Kab/Kota yang baru; dan Terakhir, Menyepakati
Visi Permukiman Kota sebagai dasar pelaksanaan kegiatan Penanganan Kumuh. Bagaimana
pengelolaan kawasan kumuh harus senantiasa berorientasi pada kelestarian sumber manusia
dan dan hasil-hasilnya mampu mensejahterakan masyarakat disekitarnya sehingga basis
pengelolaan dan penanganan sumberdaya manusia yang selalu bertumpu pada pro poor, pro
job, pro growth, pro environment.

3.2 TOOL DIAGNOSTIC READING

4. POSISI ORGANISASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN


No. Faktor-Faktor Internal Bobot Rate Skor
Strategis
(Internal Strategic Factors)
A Kekuatan (Strength)
Komitmen pimpinan DPU
1 dalam percepatan penanganan 0,23 4 0,92
kawasan kumuh
Adanya apartur petugas
lapangan dan petugas teknis
2 0,14 2 0,28
yang memahami bidang
tugasnya
Sarpras yang memadai untuk
3 percepatan penanganan 0,13 1 0,13
kawasan kumuh
B Kelemahan (Weakness)
Luas kawasan kumuh yang
1 0,12 2 0,24
harus ditangani
Kuantitas dan kualitas petugas
2 0,19 4 0,76
aparatur pengelola
Lemahnya pendampingan dan
3 0,19 2 0,38
pemberdayan
Jumlah Kekuatan + Kelemahan 1.00 2,71

No. Faktor-Faktor Eksternal Strategis Bobot Rate Skor


(External Strategic Factors)
A Peluang (Opportunity)
1 Adanya regulasi yang jelas tentang
0,16 3 0,48
penanganan kawasan pemukiman kumuh
2 Kepedulian masyarakat terhadap
peningkatan kualitas lingkngan 0,11 4 0,44
pemukiman kumuh
3 Potensi pengembangan budaya lokal 0,10 2 0,20
Adanya lembaga donor lewat CSR yang
4 ikut berperan dalam pengelolaan 0,13 2 0,26
kawasan kumuh

B Ancaman (Threat)
Akses sanitasi dan pengelolaan sampah 0,10 3 0,30
1 yang belum terpelihara secara maksimal
2 Minimnya ruang terbuka hijau 0,07 1 0,07
Tingkat perekonomian masyarakat yang
3 0,15 3 0,45
tinggal masih rendah
4 Kurangnya koordinasi antar stake holder 0,09 4 0,36
5 Kepadatan penduduk dan bangunan yang 0,09 2 0,18
tinggi
Jumlah Peluang +ancaman 1,00 2,74

ANALISA Matriks IFAS/EFAS

(2,71 2,74)

Berdasarkan hasil pemetaan diatas, diketahui bahwa organisasi atau divisi masuk ke
kolom V dan dapat dikategorikan sebagai Hold and Maintain, mempertahankan dan
memelihara apa yang sudah ada, karena kekuatan faktor internal dan/atau eksternal adalah
kuat-menengah-lemah-rendah. Strategi pengembangan program merupakan strategi yang
cocok untuk divisi atau organisasi dalam kategori ini. Strategi dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. peningkatan efektivitas kinerja melalui reposisi dan restrukturisasi organisasi
Peningkatan kinerja melalui reposisi dan restrukturisasi organisaasi mungkin tidak
perlu dilakukan karena sudah cukup efektif sesuai dengan posisi dan jabatan masing
masing.
2. Peningkatan efisiensi anggaran, waktu, dll
Perlunya effisiensi anggaran, karena terdapat alokasi dana yang belum merata.
Misalnya di Kelurahan Rejomulyo mendapat anggaran yang besar namun dengan
permasalahan yang sedikit dibandingkan dengan Kelurahan Jatibarang yang
mempunyai permasalahan yang besar namun mendapat anggaran yang sedikit.
Effisiensi waktu yang harus dimaksimalkan, karena selama ini waktu yang tersedia
kadang kurang sesuai dengan tersedianya waktu warga. Seperti warga mempunyai
waktu dimalam hari namun tidak semua pendamping bisa melakukan pendampingan
dimalam hari. Sehingga diperlukan sosialisasi dengan adanya acara kegiatan yang
menarik yang membuat warga bisa menyempatkan waktunya di siang hari seperti
quiz berhadiah.
3. Peningkatan partisipasi publik
Pada kenyataannya di lapangan, terdapat perbedaan pengalokasian dana yang belum
merata. Misalnya di Kelurahan Rejomulyo mendapat anggaran yang besar namun
dengan permasalahan yang sedikit dibandingkan dengan Kelurahan Jatibarang yang
mempunyai permasalahan yang besar namun mendapat anggaran yang sedikit.
Contohnya : Pelatihan peningkatan kepedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan
seperti pelatihan daur ulang sampah. Sosialisasi dampak lingkungan akibat kurangnya
kepedulian lingkungan seperti membuang sampah sembarangan yang pada akhirnya
mencemari sungai.

No. Faktor penentu keberhasilan Bobot Rate Skor

1
Kolaborasi antar stakeholder 0,26 4 0,64
2 Tersedianya tenaga ahli di setiap bidang
insfrastruktur ( jalan, drainase, air bersih, 0,39 4 0,44
sanitasi, sampah)
3 Partisipasi masyarakat 0,10 3 0,30

Tujuan Antara:
• Menurunnya luas permukiman kumuh;
• Terbentuknya Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) di
tingkat kabupaten/kota dalam penanganan permukiman kumuh yang berfungsi dengan
baik;
• Tersusunnya rencana penanganan permukiman kumuh tingkat kabupaten/kota dan
tingkat masyarakat yang terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD);
• Meningkatnya penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui
penyediaan infrastruktur dan kegiatan peningkatan penghidupan masyarakat untuk
mendukung pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh; dan
• Terlaksananya aturan bersama sebagai upaya perubahan perilaku hidup bersih dan
sehat masyarakat dan pencegahan kumuh.
Tujuan Akhir: Meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di
permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang
layak huni, produktif dan berkelanjutan

Manfaat: terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan yang ditandai
dengan terpenuhinya kebutuhan hunian serta prasarana dan sarana pendukungnya bagi
seluruh masyarakat, untuk mewujudkan kota tanpa pemukiman kumuh

Program KOTAKU terdiri dari komponen-komponen dalam rangka Kunci keberhasilan


proyek, diantaranya:
1) Pengembangan kelembagaan, strategi dan kebijakan;
2) Pengembangan kapasitas untuk pemerintah daerah dan masyarakat termasuk
dukungan untuk perencanaan penanganan permukiman kumuh yang terintegrasi;
3) Pendanaan Investasi untuk infrastruktur dan pelayanan perkotaan,
yang terdiri dari:
a. Infrastruktur skala kawasan dan skala kab/kota, termasuk
dukungan pusat pengembangan usaha di kabupaten/kota terpilih.
b. Pembangunan Kawasan Permukiman Baru untuk Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR)
c. Infrastruktur skala lingkungan, termasuk dukungan pengembangan
penghidupan berkelanjutan.
4) Dukungan pelaksanaan dan bantuan teknis; dan
5) Dukungan program/kegiatan lainnya, termasuk dukungan untuk kondisi darurat
bencana.

Anda mungkin juga menyukai