PENDAHULUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Cedera
2.1.1 Definisi
Secara ilmiah, tidak ada perbedaan yang mendasar antara cedera dan penyakit, karena
cedera merupakan konsekuensi dari aktivis manusia dalam lingkungan yang berisiko
dan dapat diprediksi atau dapat diperkirakan risikonya, oleh karena itu tidak dapat
dianggap sebagai kecelakaan. (Yusherman, 2008)
2.1.2 Epidemiologi cedera
Menurut riskesdas tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.748
orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera 84.774
orang dan tidak cedera 942.984 orang. Responden yang mengalami cedera akibat
kecelakaan transportasi sepeda motor sebanyak 34.409 orang. Khusus untuk analisis
pemakian helm diseleksi hanya pada kelompok umur 1 tahun keatas yang jumlahnya
sekitar 34.398 orang.
2.1.3 Cedera pada Kecelakaan Lalu Lintas
Pola cedera akibat kecelakaan lalu lintas memiliki perbedaan dengan pola cedera
akibat kekerasan lain. Informasi mengenai pola cedera ini dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu acuan dalam tata laksana medis kasus kecelakaan lalu lintas. Walau
dinamika gaya fisika yang terlibat pada suatu cedera akibat gaya mekanik telah
dijelaskan secara terperinci oleh DeHaven untuk memberi konsep dasar dalam
menjelaskan dan memperkirakan jejas yang diasosiasikan dengan trauma dan
mekanisme yang mendasarinya, tetap diperlukan suatu studi mengenai pola cedera
yang diharapkan dapat melengkapi manfaatnya untuk kepentingan praktis
1. Macam-macam cedera yang sering pada kecelakaan lantas
a. Cedera Pada Kepala dan Leher
Cedera kepala adalah cedera yang paling sering terjadi pada pengendara
sepeda motor. Perhatian perlu diberikan pada standard helm yang diwajibkan oleh
kepolisian dan penegakkannya. Juga menjadi perhatian dokter saat mengekplorasi
luka pada kepala akibat kecelakaan lalu lintas.
Pada cedera kepala, yang paling ditakuti adalah terjadinya pembengkakan
pada otak setelah terkena trauma. Perdarahan di bawah selaput otak yang sering
terjadi pada beberapa kasus mungkin tidak menyebabkan kematian, namun
pembengkakan otak yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
rongga kepala sehingga mencederai otak. Kondisi ini ditemukan pada salah satu kasus
pada studi ini.
Gambaran kerusakan pada tulang tengkorak sedikit banyak juga dapat
memberikan petunjuk mengenai dampak kekerasan yang terjadi terhadap organ otak,
besaran daya yang digunakan, arah datangnya kekerasan dan lain-lain. Secara
konvensional, kerusakan tulang terbagi menjadi dua kategori yakni kerusakan akibat
kekerasan tumpul dan akibat kekerasan tajam, didasari atas ada tidaknya gambaran
terpotong pada permukaan tulang. Kerusakan akibat kekerasan tumpul menghasilkan
tanda-tanda benturan, patah tulang hingga serpihan tulang. Dapat pula ditentukan
besaran daya yang dihantarkan untuk menghasilkan kekerasan tersebut, dilihat dari
jumlah fragmen tulang yang terbentuk dan perubahan bentuk kelenturan tulang. Baik
kekerasan tumpul maupun tajam, tanda-tanda bekas benturan, patah tulang atau tanda
terpotong dapat mengindikasikan diantaranya bentuk obyek yang mengenai tulang
saat benturan dan tipe cedera.
b. Cedera Pada Dada
Pada studi ini penulis melihat adanya kemungkinan dimana cedera pada dada
sebagai penyebab kematian tidak terdeteksi. Pada keadaan dimana terjadi benturan
kuat pada dada, dapat timbul memar pada jantung. Memar ini dapat membuat
terbentuknya gumpalan darah (trombosis) yang menyumbat pembuluh nadi jantung,
jalur suplai makanan dan oksigen pada jantung (arteri coronaria), hingga terjadi
kematian mendadak. Karena kondisi ini, pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan
cedera pada dada, seyogyanya dilakukan pemeriksaan patologi anatomi pada otot
jantung yang akan dapat membantu memberi gambaran adanya kerusakan pada otot
jantung. Pengamatan seksama pada otot jantung saat autopsi dapat membantu deteksi
kerusakan otot jantung, walau tidak memiliki sensitifitas yang sama dengan
pemeriksaan patologi anatomis.
Demikian juga pada kondisi dimana terjadi tekanan atau himpitan yang kuat
pada dada korban, pernafasan dapat terhenti karena dinding dada tidak dapat
mengembang. Pada autopsi kondisi ini harus diperhatikan dengan seksama,
mengingat, di daerah dada kadang hanya terdapat memar, informasi tambahan pada
tahap persiapan autopsi harus dimaksimalkan untuk dapat mendeteksi dengan baik
asfiksia mekanik ini.
c. Cedera Pada Perut
Pada beberapa kasus dalam studi ini, cedera perut dan organ dalamnya akan
sukar dideteksi bila hanya dilakukan pemeriksaan luar dan atau inspeksi saja, karena
kerusakan sering tidak nampak dari luar. Bagian perut yang elastis secara fisika
menyebabkan sering tidak tampaknya lecet, luka terbuka atau luka lain yang
berbahaya bagi pengendara yang mengalami kecelakaan. Dengan kata lain presentasi
luar daerah abdomen tidak dapat dijadikan petunjuk mengenai ada tidaknya kelainan
yang terjadi pada organ dalam. Bagian depan perut yang paling sering mengalami
benturan pada saat kecelakaan sering menimbulkan kerusakan pada hati. Kematian
tidak terjadi segera, namun terjadi beberapa jam setelah kejadian karena penumpukan
darah (hematoma hepatik) di bawah selaput pembungkus hati (kapsula) yang akhirnya
memecahkan kapsula.
d. Cedera Pada Panggul
Patahnya tulang atau cerai sendi yang merobek pembuluh nadi besar di daerah
panggul seperti arteri iliaca dapat menyebabkan kematian, namun pada kasus-kasus
dalam studi ini tidak ditemukan.
e. Cedera Pada Ekstremitas
Dislokasi sendi maupun patahnya tulang pada ekstremitas pada studi ini
memang tidak ada yang menyumbangkan angka sebab kematian, namun deteksinya
penting dalam pemahaman mekanisme cedera dan pengobatannya. Pada beberapa
kasus, pemeriksaan radiologis akan amat membantu dalam deteksi cedera.
2.1.4 Prevalensi Cedera dan Penyebabnya
Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab disengaja (intentional injury),
penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa
ditentukan (undertermind intent) (WHO, 2004).
Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak, penyerangan, tindakan
kekerasan/ pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain:
terbakar/tersiram air panas /bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang
binatang, kecelakan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka
karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi,
terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated
intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok
penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Prevalensi cedera secara nasional
adalah 8,2 %, prevalensi tertinggi ditemukan di sulawesi selatan (12,8%) dan terendah
di jambi (4,5%). Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan
sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda
tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%).
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu
(56.4%) dan terendah di Papua (19,4%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi
tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan (10,1%) dan terendah ditemukan di Papua
(2,5%). Proporsi jatuh tertinggi di NTT (55,5%) dan terendah di bengkulu (26,6%).
Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Papua (29%) dan terendah di
DI Yogyakarta (4,7%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi
di papua (2%) dan terendah (tanpa kasus) di kalimantan Timur. Untuk cedera karena
gigitan hewan tertinggi di DI Yogyakarta (2,6%), terendah terjadi di 3 provinsi yaitu
Lampung, Banten, dan Kalimantan Selatan (0,1%). Proporsi kejatuhan tertinggi
ditemukan di papua (10,1%) dan terendah di Sumatera Selatan (1,3%). Keracunan
sebagian besar tidak ditemukan kasusnya, proporsi tertinggi di Jambi (0,1%).
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karateristik responden yaitu pada
kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), pendidikan tanat SMP/MTs (9,1%), yang tidak
bekerja atau bekerja sebagai pegawai (8,4%), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%)
pada kuintil indeks kepemilikkan menengah atas (8,7%).
Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena
jatuh (91,3%) pada kelompok umur <1 tahun, perempuan (49,3%), tidak sekolah
(61,6%), tidak bekerja (39,9%), tinggi di perdesaan (42,3%) dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah (50,8%). Selain itu penyebab cedera karena kecelakaan sepeda
motor menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu (67,4%) pada
kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (44,6%), tingkat pendidikan tamat SMA/MA
(63,9%), bekerja sebagai pegawai (65,3%), tinggal diperkotaan (42,8%), dan kuintil
indeks kepemilikkan teratas (46,9%). Sedangkan penyebab cedera transportasi darat
lain proporsi tertinggi terjadi pada umur 5-14 tahun (14,7%), laki laki (7,3%), tidak
tamat SD (12,7), tidak bekerja (7,5%), serta bertempat tinggal di perrkotaan dan
kuintil indeks epemilikkan teratas masing-masing 7,8%.
Prevalensi cedera dikumpulkan pada Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013
dengan pertanyaan yang sama. Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan
sedikit kenaikan dari 7,5% (RKD 2007) menjadi 8,2% (RKD 2013). Penyebab cedera
yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat (transportasi sepeda motor dan darat lainnya), jatuh dan terkena
benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera akibat transportasi darat tampak
ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9% menjadi 47,7%.
Sedangkan untuk penyebab cedera yang menunjukkan penurunan proporsi
terlihat pada jatuh yaitu dari 58% menjadi 40,9% dan terkena benda tajam/tumpul dari
20,6% menjadi hanya 7,3%.
2.1.5 Tempat Terjadinya Cedera
Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau
kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP
(Tempat Kejadian Perkara).
Secara nasional, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,8%
selanjutnya di rumah yaitu 36,5%, area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%). Provinsi
yang memiliki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitarnya tertinggi adalah
lampung (44%) dan terendah di Bengkulu (23%). Adapun untuk proporsi tempat
cedera di sekolah tertinggi di Kalimantan Tengah (8,2%) dan terendah di Sulawesi
Barat (2,7%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi
dibandingkan dengan tempat yang lain. Provinsi yanng mempunyai proporsi tempat
kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka nasional sebanyak 21 Provinsi.
Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Bengkulu (56%) dan
terendah di Papua (21,5%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya
tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian
menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka nasional yaitu 30,4% terjadi
di Papua dan terendah di DKI Jakarta (0,3%).
Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan angka proporsi
yang tinggi terjadinya cedera pada kelompok umur balita dan lansia. Adapun tempat
kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun,
demikian juga dengan tempat kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya
merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan
tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 66,7%. Tempat umum, industri dan
area pertanian menunjukkan pola sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur
produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur 65-74 tahun (21%).
Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun
berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi
pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah, sekolah dan pertanian.
Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat kejadian cdera di
area olahraga, jalan raya dan tempat umum.
Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja,
demikian juga pada sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya, tepat umum
dan industri memperlihatkan proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk
area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status pekerjaan sebagai buruh/petani
(21,4%).
Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera yang
menunjukkan leih tinggi pada perkotaan dibandingkan pedesaan kecuali pada area
pertanian.
Menurut kuintil indeks kepemilikkan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi
semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di rumah
dan area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat
ekonominya kejadian cedera di kedua tempat tersebut semakin rendah.
2.2 KECELAKAAN LALU LINTAS
2.2.1 Definisi
Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali,
ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi menyebabkan cedera atau
kemungkinan cedera (Heinrich, 1980). Menurut D.A. Colling (1990) yang dikutip
oleh Bhaswata (2009) kecelakaan dapat diartikan sebagai tiap kejadian yang tidak
direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia, situasi, faktor
lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu
proses kerja dan dapat menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian,
kerusakaan property ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan
yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta
benda. Kecelakaan lalu lintas adalah kejadian pada lalu lintas jalan yang sedikitnya
melibatkan satu kendaraan yang menyebabkan cedera atau kerusakan atau kerugian
pada pemiliknya (korban) (WHO, 1984). Menurut F.D. Hobbs (1995) yang dikutip
Kartika (2009) mengungkapkan kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit
diprediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya trauma, cedera, ataupun
kecacatan tetapi juga kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung
meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.
Dari beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan
lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak diduga dan tidak
diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya, sedikitnya melibatkan satu
kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang menyebabkan cedera, trauma,
kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban).
2.2.2 Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas
Penggolongan Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 229, karakteristik kecelakaan
lalu lintas dapat dibagi kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1) Kecelakaan Lalu Lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
kendaraan dan/atau barang.
2) Kecelakaan Lalu Lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan
dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
3) Kecelakaan Lalu Lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat.
Kartika (2009) dapat dibagi menjadi beberapa jenis tabrakan, yaitu: Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana Jalan Raya dan Lalu
Lintas, dampak kecelakaan lalu lintas dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi korban
1) Angle (Ra), tabrakan antara kendaraan yang bergerak pada arah yang berbeda,
namun bukan dari arah berlawanan.
2) Rear-End (Re), kendaran menabrak dari belakang kendaraan lain yang
bergerak searah.
3) Sideswape (Ss), kendaraan yang bergerak menabrak kendaraan lain dari
samping ketika berjalan pada arah yang sama, atau pada arah yang
berlawanan.
4) Head-On (Ho), tabrakan antara yang berjalanan pada arah yang berlawanan
(tidak sideswape).
5) Backing, tabrakan secara mundur.
2.2.4 Penyebab
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya kecelakaan, pertama adalah
faktor manusia, kedua adalah faktor kendaraan dan yang terakhir adalah faktor jalan.
Kombinasi dari ketiga faktor itu bisa saja terjadi, antara manusia dengan kendaraan
misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah
yang mengakibatkan kendaraan mengalami kecelakaan. Disamping itu masih ada
faktor lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap kecelakaan (Anonim,
2010).
1. Faktor manusia
Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir
semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalulintas.
Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti
aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula
pura-pura tidak tahu.Selain itu manusia sebagai pengguna jalan raya sering sekali lalai
bahkan ugal ugalan dalam mengendarai kendaraan, tidak sedikit angka kecelakaan
lalulintas diakibatkan karena membawa kendaraan dalam keadaan mabuk, mengantuk,
dan mudah terpancing oleh ulah pengguna jalan lainnya yang mungkin dapat
memancing gairah untuk balapan.
2. Faktor kendaraan
Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi
sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan
patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya.
Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan technologi yang digunakan,
perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan.
Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan,
disamping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor
secara reguler.
3. Faktor jalan
Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman
di daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi
permukaan jalan.Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan
terutama bagi pemakai sepeda motor.
4. Faktor Cuaca
Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman
menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena
penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan
jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak
pandang, terutama di daerah pegunungan.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124160-S-5458-Penerapan%20injury-Literatur.pdf
https://www.google.com/url?url=https://media.neliti.com/media/publications/99488-ID-
faktor-yang-berhubungan-dengan-kejadian.pdf
Sumber: Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta