Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Cedera
2.1.1 Definisi
Secara ilmiah, tidak ada perbedaan yang mendasar antara cedera dan penyakit, karena
cedera merupakan konsekuensi dari aktivis manusia dalam lingkungan yang berisiko
dan dapat diprediksi atau dapat diperkirakan risikonya, oleh karena itu tidak dapat
dianggap sebagai kecelakaan. (Yusherman, 2008)
2.1.2 Epidemiologi cedera
Menurut riskesdas tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.748
orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera 84.774
orang dan tidak cedera 942.984 orang. Responden yang mengalami cedera akibat
kecelakaan transportasi sepeda motor sebanyak 34.409 orang. Khusus untuk analisis
pemakian helm diseleksi hanya pada kelompok umur 1 tahun keatas yang jumlahnya
sekitar 34.398 orang.
2.1.3 Cedera pada Kecelakaan Lalu Lintas
Pola cedera akibat kecelakaan lalu lintas memiliki perbedaan dengan pola cedera
akibat kekerasan lain. Informasi mengenai pola cedera ini dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu acuan dalam tata laksana medis kasus kecelakaan lalu lintas. Walau
dinamika gaya fisika yang terlibat pada suatu cedera akibat gaya mekanik telah
dijelaskan secara terperinci oleh DeHaven untuk memberi konsep dasar dalam
menjelaskan dan memperkirakan jejas yang diasosiasikan dengan trauma dan
mekanisme yang mendasarinya, tetap diperlukan suatu studi mengenai pola cedera
yang diharapkan dapat melengkapi manfaatnya untuk kepentingan praktis
1. Macam-macam cedera yang sering pada kecelakaan lantas
a. Cedera Pada Kepala dan Leher
Cedera kepala adalah cedera yang paling sering terjadi pada pengendara
sepeda motor. Perhatian perlu diberikan pada standard helm yang diwajibkan oleh
kepolisian dan penegakkannya. Juga menjadi perhatian dokter saat mengekplorasi
luka pada kepala akibat kecelakaan lalu lintas.
Pada cedera kepala, yang paling ditakuti adalah terjadinya pembengkakan
pada otak setelah terkena trauma. Perdarahan di bawah selaput otak yang sering
terjadi pada beberapa kasus mungkin tidak menyebabkan kematian, namun
pembengkakan otak yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
rongga kepala sehingga mencederai otak. Kondisi ini ditemukan pada salah satu kasus
pada studi ini.
Gambaran kerusakan pada tulang tengkorak sedikit banyak juga dapat
memberikan petunjuk mengenai dampak kekerasan yang terjadi terhadap organ otak,
besaran daya yang digunakan, arah datangnya kekerasan dan lain-lain. Secara
konvensional, kerusakan tulang terbagi menjadi dua kategori yakni kerusakan akibat
kekerasan tumpul dan akibat kekerasan tajam, didasari atas ada tidaknya gambaran
terpotong pada permukaan tulang. Kerusakan akibat kekerasan tumpul menghasilkan
tanda-tanda benturan, patah tulang hingga serpihan tulang. Dapat pula ditentukan
besaran daya yang dihantarkan untuk menghasilkan kekerasan tersebut, dilihat dari
jumlah fragmen tulang yang terbentuk dan perubahan bentuk kelenturan tulang. Baik
kekerasan tumpul maupun tajam, tanda-tanda bekas benturan, patah tulang atau tanda
terpotong dapat mengindikasikan diantaranya bentuk obyek yang mengenai tulang
saat benturan dan tipe cedera.
b. Cedera Pada Dada
Pada studi ini penulis melihat adanya kemungkinan dimana cedera pada dada
sebagai penyebab kematian tidak terdeteksi. Pada keadaan dimana terjadi benturan
kuat pada dada, dapat timbul memar pada jantung. Memar ini dapat membuat
terbentuknya gumpalan darah (trombosis) yang menyumbat pembuluh nadi jantung,
jalur suplai makanan dan oksigen pada jantung (arteri coronaria), hingga terjadi
kematian mendadak. Karena kondisi ini, pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan
cedera pada dada, seyogyanya dilakukan pemeriksaan patologi anatomi pada otot
jantung yang akan dapat membantu memberi gambaran adanya kerusakan pada otot
jantung. Pengamatan seksama pada otot jantung saat autopsi dapat membantu deteksi
kerusakan otot jantung, walau tidak memiliki sensitifitas yang sama dengan
pemeriksaan patologi anatomis.
Demikian juga pada kondisi dimana terjadi tekanan atau himpitan yang kuat
pada dada korban, pernafasan dapat terhenti karena dinding dada tidak dapat
mengembang. Pada autopsi kondisi ini harus diperhatikan dengan seksama,
mengingat, di daerah dada kadang hanya terdapat memar, informasi tambahan pada
tahap persiapan autopsi harus dimaksimalkan untuk dapat mendeteksi dengan baik
asfiksia mekanik ini.
c. Cedera Pada Perut
Pada beberapa kasus dalam studi ini, cedera perut dan organ dalamnya akan
sukar dideteksi bila hanya dilakukan pemeriksaan luar dan atau inspeksi saja, karena
kerusakan sering tidak nampak dari luar. Bagian perut yang elastis secara fisika
menyebabkan sering tidak tampaknya lecet, luka terbuka atau luka lain yang
berbahaya bagi pengendara yang mengalami kecelakaan. Dengan kata lain presentasi
luar daerah abdomen tidak dapat dijadikan petunjuk mengenai ada tidaknya kelainan
yang terjadi pada organ dalam. Bagian depan perut yang paling sering mengalami
benturan pada saat kecelakaan sering menimbulkan kerusakan pada hati. Kematian
tidak terjadi segera, namun terjadi beberapa jam setelah kejadian karena penumpukan
darah (hematoma hepatik) di bawah selaput pembungkus hati (kapsula) yang akhirnya
memecahkan kapsula.
d. Cedera Pada Panggul
Patahnya tulang atau cerai sendi yang merobek pembuluh nadi besar di daerah
panggul seperti arteri iliaca dapat menyebabkan kematian, namun pada kasus-kasus
dalam studi ini tidak ditemukan.
e. Cedera Pada Ekstremitas
Dislokasi sendi maupun patahnya tulang pada ekstremitas pada studi ini
memang tidak ada yang menyumbangkan angka sebab kematian, namun deteksinya
penting dalam pemahaman mekanisme cedera dan pengobatannya. Pada beberapa
kasus, pemeriksaan radiologis akan amat membantu dalam deteksi cedera.
2.1.4 Prevalensi Cedera dan Penyebabnya
Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab disengaja (intentional injury),
penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa
ditentukan (undertermind intent) (WHO, 2004).
Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak, penyerangan, tindakan
kekerasan/ pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain:
terbakar/tersiram air panas /bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang
binatang, kecelakan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka
karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi,
terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated
intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok
penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Prevalensi cedera secara nasional
adalah 8,2 %, prevalensi tertinggi ditemukan di sulawesi selatan (12,8%) dan terendah
di jambi (4,5%). Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan
sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda
tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%).
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu
(56.4%) dan terendah di Papua (19,4%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi
tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan (10,1%) dan terendah ditemukan di Papua
(2,5%). Proporsi jatuh tertinggi di NTT (55,5%) dan terendah di bengkulu (26,6%).
Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Papua (29%) dan terendah di
DI Yogyakarta (4,7%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi
di papua (2%) dan terendah (tanpa kasus) di kalimantan Timur. Untuk cedera karena
gigitan hewan tertinggi di DI Yogyakarta (2,6%), terendah terjadi di 3 provinsi yaitu
Lampung, Banten, dan Kalimantan Selatan (0,1%). Proporsi kejatuhan tertinggi
ditemukan di papua (10,1%) dan terendah di Sumatera Selatan (1,3%). Keracunan
sebagian besar tidak ditemukan kasusnya, proporsi tertinggi di Jambi (0,1%).
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karateristik responden yaitu pada
kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), pendidikan tanat SMP/MTs (9,1%), yang tidak
bekerja atau bekerja sebagai pegawai (8,4%), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%)
pada kuintil indeks kepemilikkan menengah atas (8,7%).
Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena
jatuh (91,3%) pada kelompok umur <1 tahun, perempuan (49,3%), tidak sekolah
(61,6%), tidak bekerja (39,9%), tinggi di perdesaan (42,3%) dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah (50,8%). Selain itu penyebab cedera karena kecelakaan sepeda
motor menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu (67,4%) pada
kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (44,6%), tingkat pendidikan tamat SMA/MA
(63,9%), bekerja sebagai pegawai (65,3%), tinggal diperkotaan (42,8%), dan kuintil
indeks kepemilikkan teratas (46,9%). Sedangkan penyebab cedera transportasi darat
lain proporsi tertinggi terjadi pada umur 5-14 tahun (14,7%), laki laki (7,3%), tidak
tamat SD (12,7), tidak bekerja (7,5%), serta bertempat tinggal di perrkotaan dan
kuintil indeks epemilikkan teratas masing-masing 7,8%.
Prevalensi cedera dikumpulkan pada Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013
dengan pertanyaan yang sama. Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan
sedikit kenaikan dari 7,5% (RKD 2007) menjadi 8,2% (RKD 2013). Penyebab cedera
yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat (transportasi sepeda motor dan darat lainnya), jatuh dan terkena
benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera akibat transportasi darat tampak
ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9% menjadi 47,7%.
Sedangkan untuk penyebab cedera yang menunjukkan penurunan proporsi
terlihat pada jatuh yaitu dari 58% menjadi 40,9% dan terkena benda tajam/tumpul dari
20,6% menjadi hanya 7,3%.
2.1.5 Tempat Terjadinya Cedera
Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau
kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP
(Tempat Kejadian Perkara).
Secara nasional, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,8%
selanjutnya di rumah yaitu 36,5%, area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%). Provinsi
yang memiliki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitarnya tertinggi adalah
lampung (44%) dan terendah di Bengkulu (23%). Adapun untuk proporsi tempat
cedera di sekolah tertinggi di Kalimantan Tengah (8,2%) dan terendah di Sulawesi
Barat (2,7%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi
dibandingkan dengan tempat yang lain. Provinsi yanng mempunyai proporsi tempat
kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka nasional sebanyak 21 Provinsi.
Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Bengkulu (56%) dan
terendah di Papua (21,5%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya
tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian
menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka nasional yaitu 30,4% terjadi
di Papua dan terendah di DKI Jakarta (0,3%).
Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan angka proporsi
yang tinggi terjadinya cedera pada kelompok umur balita dan lansia. Adapun tempat
kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun,
demikian juga dengan tempat kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya
merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan
tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 66,7%. Tempat umum, industri dan
area pertanian menunjukkan pola sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur
produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur 65-74 tahun (21%).
Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun
berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi
pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah, sekolah dan pertanian.
Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat kejadian cdera di
area olahraga, jalan raya dan tempat umum.
Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja,
demikian juga pada sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya, tepat umum
dan industri memperlihatkan proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk
area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status pekerjaan sebagai buruh/petani
(21,4%).
Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera yang
menunjukkan leih tinggi pada perkotaan dibandingkan pedesaan kecuali pada area
pertanian.
Menurut kuintil indeks kepemilikkan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi
semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di rumah
dan area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat
ekonominya kejadian cedera di kedua tempat tersebut semakin rendah.
2.2 KECELAKAAN LALU LINTAS
2.2.1 Definisi
Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali,
ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi menyebabkan cedera atau
kemungkinan cedera (Heinrich, 1980). Menurut D.A. Colling (1990) yang dikutip
oleh Bhaswata (2009) kecelakaan dapat diartikan sebagai tiap kejadian yang tidak
direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia, situasi, faktor
lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu
proses kerja dan dapat menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian,
kerusakaan property ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan
yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta
benda. Kecelakaan lalu lintas adalah kejadian pada lalu lintas jalan yang sedikitnya
melibatkan satu kendaraan yang menyebabkan cedera atau kerusakan atau kerugian
pada pemiliknya (korban) (WHO, 1984). Menurut F.D. Hobbs (1995) yang dikutip
Kartika (2009) mengungkapkan kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit
diprediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya trauma, cedera, ataupun
kecacatan tetapi juga kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung
meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.
Dari beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan
lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak diduga dan tidak
diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya, sedikitnya melibatkan satu
kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang menyebabkan cedera, trauma,
kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban).
2.2.2 Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas
Penggolongan Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 229, karakteristik kecelakaan
lalu lintas dapat dibagi kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1) Kecelakaan Lalu Lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
kendaraan dan/atau barang.
2) Kecelakaan Lalu Lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan
dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
3) Kecelakaan Lalu Lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat.

2.2.3 Jenis Kecelakaan Lalu Lintas


Karakteristik kecelakaan lalu lintas menurut Dephub RI (2006) yang dikutip oleh

Kartika (2009) dapat dibagi menjadi beberapa jenis tabrakan, yaitu: Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana Jalan Raya dan Lalu

Lintas, dampak kecelakaan lalu lintas dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi korban

menjadi tiga, yaitu:

1) Angle (Ra), tabrakan antara kendaraan yang bergerak pada arah yang berbeda,
namun bukan dari arah berlawanan.
2) Rear-End (Re), kendaran menabrak dari belakang kendaraan lain yang
bergerak searah.
3) Sideswape (Ss), kendaraan yang bergerak menabrak kendaraan lain dari
samping ketika berjalan pada arah yang sama, atau pada arah yang
berlawanan.
4) Head-On (Ho), tabrakan antara yang berjalanan pada arah yang berlawanan
(tidak sideswape).
5) Backing, tabrakan secara mundur.

2.2.4 Penyebab
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya kecelakaan, pertama adalah
faktor manusia, kedua adalah faktor kendaraan dan yang terakhir adalah faktor jalan.
Kombinasi dari ketiga faktor itu bisa saja terjadi, antara manusia dengan kendaraan
misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah
yang mengakibatkan kendaraan mengalami kecelakaan. Disamping itu masih ada
faktor lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap kecelakaan (Anonim,
2010).
1. Faktor manusia
Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir
semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalulintas.
Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti
aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula
pura-pura tidak tahu.Selain itu manusia sebagai pengguna jalan raya sering sekali lalai
bahkan ugal ugalan dalam mengendarai kendaraan, tidak sedikit angka kecelakaan
lalulintas diakibatkan karena membawa kendaraan dalam keadaan mabuk, mengantuk,
dan mudah terpancing oleh ulah pengguna jalan lainnya yang mungkin dapat
memancing gairah untuk balapan.
2. Faktor kendaraan
Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi
sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan
patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya.
Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan technologi yang digunakan,
perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan.
Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan,
disamping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor
secara reguler.
3. Faktor jalan
Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman
di daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi
permukaan jalan.Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan
terutama bagi pemakai sepeda motor.
4. Faktor Cuaca
Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman
menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena
penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan
jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak
pandang, terutama di daerah pegunungan.

Ada banyak faktor resiko yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalulintas,


diantaranya jenis kelamin, tujuan berkendara, jarak, pengetahuan berkendara, jumlah
kendaraan yang dimiliki (Indriastuti, 2010).
1. Jenis kelamin
Laki-laki lebih beresiko mengalami kecelakaan dalam berkendara karena laki-laki lebih
cenderung tidak bisa mengontrol emosinya. Contohnya ketika seorang laki-laki sedang
berkendara dan didahului oleh pengendara lain dia akan langsung menarik gasnya lebih
kencang untuk mengejar pembalap yang tadi mendahului karena laki-laki tidak bisa
mengontrol emosinya dan tidak mau dianggap kalah oleh pengendara yang lain.
Pengendara laki-laki juga lebih berani mengambil resiko dengan berjalan dibelakang
pengendara lain dengan jarak yang terlalu dekat dan mengambil jalan yang sempit
untuk mendahului tanpa memperhatikan keselamatan dirinya dan orang lain. Selain itu
sebagian pengendara adalah laki-laki dan berumur 17 sampai 22 tahun yang pada masa
ini mereka masih mempunyai emosi yang belum stabil.
2. Jumlah kendaraan yang dimilki
Jumlah kendaraan yang dimiliki berengaruh pada kecelakaan yang terjadi pada
pemiliknya karena dengan jumlah kendaraan yang banyak menyebabkan pemilik
kendadraan mempunyai waktu yang lebih banyak dalam menggunakan kendaraannya
walaupun hanya untuk perjalanan yang dekat sekalipun, hal ini menambah pemilik
kendaraan beresiko lebih tinggi terjadi kecelakaan lalulintas.
3. Tujuan perjalanan
Perjalanan yang untuk kepentingan yang rutin seperti untuk bekerja dan sekolah
mempertinggi resiko terjadinya kecelakaan lalulintas, karena mereka harus mengjar
waktu untuk mencapai tempat tujuan dengan tepat waktu. Sementara itu perjalanan
untuk kepentingan yang bersifat sosil yang tidak dikejar oleh waktu mengurangi
kemungkinan terjadinya kecelakaan.
4. Jarak
Semakin jauh jarak yang ditempuh oleh pengendara maka semakin besar pula resiko
terjadinya kecelakaan lalulintas, hal ini dikarenakan pengendara membutuhkan
konsenterasi, tenaga dan juga pengendalian emosi yang lebih lama yang disebabkan
oleh jarak tempuh yang lebih jauh.
5. Pengetahuan berkendara
Ketidaktahuan dalam berkendara meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan. Hal ini
dikarenakan pengendara tidak tahu mengenai peraturan lalulintas dan melanggar
peraturan tersebut sehingga membahayakan bagi dirnya dan orang lain.
2.2.5 Dampak kecelakaan
a. Meninggal dunia adalah korban kecelakaan yang dipastikan meninggal dunia
sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 hari
setelah kecelakaan tersebut
b. Luka berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita cacat
tetap atau harus dirawat inap di rumah sakit dalam jangka waktu lebih dari 30 hari
sejak terjadi kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan sebagai cacat tetap jika sesuatu
anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat sembuh
atau pulih untuk selama-lamanya.
c. Luka ringan adalah korban kecelakaan yang mengalami luka-luka yang tidak
memerlukan rawat inap atau harus dirawat inap di rumah sakit dari 30 hari.
2.2.6 Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) melaporkan jumlah kematian tahunan
akibat kecelakaan lalu lintas tetap tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Menurut
badan PBB itu, jumlah tersebut tidak akan turun, karena sedikit negara yang memiliki
undang-undang keselamatan jalan yang menyeluruh yang bisa mencegah dan
mengurangi korban jiwa maupun luka-luka.
Tanpa tindakan untuk mengatasi masalah akibat perbuatan manusia ini, WHO
memperkirakan, sekitar 1,9 juta orang akan meninggal di jalan setiap tahun menjelang
tahun 2020. Kajian itu juga mendapati hanya 28 negara, hanya tujuh persen dari
penduduk dunia, memiliki undang-undang yang mencakup kelima faktor risiko besar.
Ini termasuk mengemudi dalam keadaan mabuk, ngebut, tidak mengenakan sabuk
pengaman dan helm sepeda motor, serta tidak adanya sarana pengaman bagi anak-
anak. Sekitar separuh dari semua kematian lalu lintas jalan melibatkan pejalan,
pengendara sepeda, dan pengendara sepeda motor.
Sedangkan di Indonesia menurut data Kepolisian RI seperti yang dikutip
dalam harian tribunnews.com pada tahun 2011 usia 5 – 29 tahun menduduki peringkat
pertama korban kecelakaan dengan jumlah kejadian kecelakaan sebanyak 108.696
kejadian yang mengakibatkan 31.195 orang meninggal dunia.
Angka tersebut meningkat cukup signifikan karena pada tahun sebelumnya
(2010) jumlah kecelakaan hanya berjumlah 66.488 kejadian dengan 19.873 korban
meninggal (sumber : bps.go.id). Angka ini semakin besar jika diakumulasi dalam
waktu lima tahun. Jumlahnya mendekati jumlah korban tsunami di Aceh tahun 2004,
yaitu sebanyak 230.000 jiwa melayang. Indonesia rupanya tidak perlu susah payah
dan menunggu terjadinya tsunami untuk mengurangi jumlah penduduknya, tiap lima
tahun ¼ juta penduduk akan berkurang dengan sendirinya.
Angka kecelakaan lalu lintas secara nasional dalam bulan September 2009
masih cukup tinggi. Direktorat Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian RI mencatat
sejak 13 sampai 22 September jumlah kecelakaan mencapai 893 kasus. Korban
meninggal mencapai 312 jiwa. Sedangkan luka berat 405 orang dan luka ringan 839
orang. Jumlah korban yang tewas masih cukup tinggi dibandingkan data kecelakaan
pada Operasi Ketupat Jaya pada 2008. Saat itu jumlah kecelakaan mencapai 1.368
kasus. Korban meninggal 633 jiwa dan luka berat 797 orang serta luka ringan 1.379
orang
Sementara Data Dinas Kesehatan Jawa Timur, sepanjang tahun 2006, di
Surabaya tercatat 208 jumlah kejadian kecelakaan dengan korban 116 orang tewas, 59
luka berat, dan 50 lainnya luka ringan (profil kesehatan 2006).
Dari data tersebut, kita perlu melakukan refleksi sembari beriktiar untuk
mengurangi terjadinya angka kecelakaan lalu lintas. Bila merujuk pada faktor
terjadinya kecelakaan lalu lintas terjadi, umumnya kita bisa mengkategorikan dalam 2
faktor utama, yaitu dari faktor pengguna jalan raya (tidak mematuhi peraturan lalu
lintas, kurangnya konsentrasi, tidak memakai alat pelindung, dll) maupun faktor
fasilitas jalan raya (jalan bergelombang dan lubang, kurangnya rambu-rambu lantas,
penerangan jalan, jalan leher botol, dll).
Berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) pada
tahun 2007. Proporsi kematian akibat kecelakaan lalu lintas dapat dibedakan menurut
umur, tipe daerah, dan jenis kelamin. Proporsi kematian akibat kecelakaan lalu lintas
pada kelompok umur 5-14 tahun menurut tipe daerah di perkotaan adalah 4,3%,
proporsi di daerah pedesaan sebanyak 9,4% dari seluruh proporsi kematian akibat
berbagai penyebab.
Pada masyarakat kelompok umur 45-54 tahun, proporsi kecelakaan lalu lintas
menurut tipe daerah di perkotaan sebanyak 5,2%. Untuk kelompok masyarakat yang
berdomisili di pedesaan, kecelakaan lalu lintas tidak termasuk ke dalam penyebab
kematian tertinggi.
Menurut jenis kelamin, proporsi kematian pada kelompok umur 45-54 tahun,
sebanyak 4,3% laki-laki pada tahun 2007 meninggal akibat kecelakaan lalu lintas,
sedangkan untuk wanita proporsi kematian akibat kecelakaan lalu lintas tidak
termasuk ke dalam penyebab kematian yang tinggi.
2.2.7 Pendekatan Pencegahan
 Pendekatan Promotif
Kegiatan ini untuk memajukan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Salah
satunya dengan cara kampanye safety riding dan responsible riding bagi para
pengguna jalan raya. Kampanye seperti ini sekarang lagi marak di beberapa kota
seperti di Surabaya. Tujuan dari kampanye ini adalah meningkatkan kesadaran
pengguna jalan raya untuk lebih memahami dan mematuhi peraturan lalu lintas.
Pelaksana kampanye ini tentu saja dipelopori oleh pihak kepolisian dengan
dukungan dari kalangan swasta dan masyarakat, yang turut membantu sebagai
penyandang dana. Kampanye ini terbukti cukup efektif untuk mengurangi angka
kecelakaan sebagaimana sudah dibuktikan dibeberapa jalan di Surabaya.
Pelaksanaan kampanye dilakukan secara lebih berkesinambungan dengan
mengangkat tema-tema yang variatif, atraktif dan komunikatif agar menggugah
perhatian para pengguna jalan raya. Sebagai ilustrasi kampanye sejenis di Surabaya,
sepanjang jalan dipasang informasi berupa spanduk dan tulisan yang menggugah
kesadaran pengguna jalan, ada kuis undian buat pengguna jalan yang diundi tiap
minggunya, pemberian souvenir yang menarik, dll. Tentu saja, kampanye semacam
ini ditindaklanjuti dengan penegakan aturan lalu lintas bagi para pengguna jalan
raya yang melanggar dan tidak dilakukan secara sporadis saja.
Selain kedua hal tersebut, dapat dilakukan cuga pencegahan sebagai berikut:
1) Pembinaan pengemudi
Penyuluhan kepada pengemudi angkutan umum, pemilihan awak kendaraan
umum teladan yang dilaksanakan tiap tahun tetap dilanjutkan. Namun prioritas
pembinaan sekarang mulai diarahkan kepada pengemudi kendaraan pribadi dan
sepeda motor, dibarengi dengan seleksi pemberian SIM yang ketat.
2) Pendidikan dan pengawasan kepada sekolah mengemudi.
Banyaknya sekolah mengemudi ternyata belum mencerminkan tingkat
kesadaran pengemudi untuk mematuhi aturan lalulintas. Permasalahannya
adalah sekolah mengemudi tersebut hanya mengajarkan cara menyetir
kendaraan dan tidak memberikan pendidikan tentang dampak dan kerugian yang
ditimbulkan karena pengemudi yang tidak disiplin. Bahkan seringkali sekolah
mengemudi memberikan kemudahan untuk membuat SIM, yang pada akhirnya
ini seringkali dimanfaatkan oleh calon pengemudi untuk mendapat kemudahan
tersebut tanpa mempertimbangkan kemampuan mengemudinya. Demi
terciptanya lalulintas yang lancar dan bertanggung jawab, ekses-ekses negatif ini
sebaiknya segera ditertibkan.
3) Peningkatan prasarana dan fasilitas lalu lintas jalan
Data dari Dinas Bina Marga menunjukan bahwa tidak ada penambahan
panjang jalan dalam tiga tahun terakhir. Hal ini sangat memprihatinkan karena
jumlah pendududk dan kendaraan meningkat sangat pesat. Dengan segala
keterbatasan dana yang ada, Pemerintah Daerah harus tetap mencari akal untuk
menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan cara bekerja sama dengan
pengusaha pusat perbelanjaan untuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan.
Karena pada akhirnya upaya peningkatan kelancaran dan keselamatan lalu lintas
tersebeut dapat meningkatkan kemajuan usaha mereka.
Hal lain yang perlu dilakukan dengan pendekatan partisipasi masyarakat.
Pihak yang pertama mengetahui terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah para
masyarakat sekitar tersebut, karena itu pendekatan kepada mereka juga perlu
dilakukan. Salah satunya dengan penyuluhan kepada masyarakat sekitar jalan
raya dan mereka yang senantiasa berkecimpung di sekitar jalan raya (tukang
ojek, tukang becak, sopir angkot, dll) tentang bagaimana menangani korban
kecelakaan lalu lintas.
Menurut undang-undang lalu lintas no.22 tahun 2009 bagian kesatu pasal 226,
kecelakaan lalu lintas dapat dicegah dengan:
a) Partsipasi dari para pemangku kepentingan
b) Pemberdayaan masyarakat
c) Penegakan hukum
d) Kemitraan global
 Pendekatan Kuratif
Pemberian pertolongan dan pengobatan baik langsung maupun tidak langsung
pada korban kecelakaan lalu lintas. Salah satunya dengan ketersediaan pelayanan
kesehatan yang layak dan mampu memberi pelayanan dengan cepat terhadap para
korban kecelakaan lalu lintas. Keberadaan layanan IRD 24 jam yang dilengkapi
dengan tenaga dokter jaga dan perawat, diperkuat dengan layanan penunjang seperti
instalasi ambulance, laboratorium dan radiologi yang stand by 24 jam. Kebutuhan
layanan penunjang yang lengkap sangat menunjang/membantu penangangan korban
kecelakaan dengan cepat.
Selain itu, keberadaan kamar operasi yang mendukung layanan lebih lanjut
dari IRD juga sangat diperlukan. Dan tak kalah pentingnya adalah jalur rujukan antar
instansi pelayanan kesehatan yang ada berjalan dengan baik. Masing-masing instansi
pelayanan kesehatan memahami kemampuan layanan mereka, sehingga korban dapat
dirujuk ke tempat layanan kesehatan yang lebih mampu dengan fasilitas sarana dan
tenaga lebih lengkap.
 Pendekatan Rehabilitatif
Adalah kegiatan pemberian pelayanan untuk mengurangi kecacatan akibat
kecelakaan lalu lintas. Selama ini pendekatan ini belum banyak tersentuh. Di RS ada
layanan rehabilitasi medis guna pemulihan dan minimalisasi kecacatan pasien
Dari semua langkah-langkah diatas, memerlukan dukungan kerjasama yang
sinergis antara masyarakat, pihak aparat maupun dri institusi kesehatan. Dan pada
intinya kembali kepada kesadaran setiap individu pengguna jalan raya untuk lebih
waspada dan berhati-hati selama perjalanan. Percuma saja langkah-langkah diatas
dioptimalkan tapi kelakuan pengguna jalan raya sembrono dan ugal-ugalan. Kita mesti
ingat, bila kita ingin merubah suatu keadaan –salah satunya meminimalkan kasus
kecelakaan– adalah diawali dari masing-masing individu sebagai subyek pelaku.
Sebagai bentuk ikhtiar tidak ada salahnya kita lebih berhati-hati, mematuhi
aturan lalu lintas dan selalu ingat keluarga di rumah menanti agar kita kembali dengan
selamat. Semoga dengan langkah-langkah sebagaimana disampaikan diatas, kita dapat
meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.

2.2.8 Kecelakaan lalu lintas di Indonesia


Data Kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan, sepanjang tahun itu terjadi
sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya, dalam setiap 9,1 menit
sekali terjadi satu kasus kecelakaan.(Departemen Perhubungan, 2010). Jika dihitung
dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia tahun itu, kerugian ekonominya
mencapai lebih dari Rp 81 triliun. Jumlah tersebut meliputi perhitungan potensi
kehilangan pendapatan para korban kecelakaan, perbaikan fasilitas infrastruktur yang
rusak akibat kecelakaan, rusaknya sarana transportasi yang terlibat kecelakaan, serta
unsur lainnya. (Departemen Perhubungan, 2010)
Badan kesehatan dunia WHO mencatat, hingga saat ini lebih dari 1,2 juta
nyawa hilang di jalan raya dalam setahun, dan sebanyak 50 juta orang lainnya
menderita luka berat. Dari seluruh kasus kecelakaan yang ada, 90% di antaranya
terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kerugian materiil yang
ditimbulkan mencapai sekitar 3 % dari PDB tiap-tiap negara. (Departemen
Perhubungan, 2010.)
Kondisi inilah yang memicu PBB untuk mengeluarkan resolusi dengan
membentuk Global Road Safety Partnership (GRSP) di bawah pengawasan WHO
pada tahun 2006, dengan tujuan utama menekan angka kecelakaan dan tingkat
fatalitas yang ditimbulkan terhadap korban-korbannya. PBB meminta negara-negara
anggotanya untuk membuat kebijakan-kebijakan strategis baik jangka pendek maupun
jangka panjang untuk meminimalisasi jumlah maupun akibat yang ditimbulkan dari
kecelakaan jalan raya. (Departemen Perhubungan, 2010).
Kemudian di Indonesia diterjemahkan dengan membentuk suatu kelompok
partnership yang namanya juga Global Road Safety Partnership (GRSP) Indonesia
atau dengan falsafahnya yang dikenal sebagai Gotong Royong Selamatkan Pengguna
Jalan. (Departemen Perhubungan, 2010), (Departemen Komunikasi dan Informatika,
2008).
Sebagai gambaran, angka korban tewas akibat peristiwa kecelakaan lalu-lintas di Jawa
Barat setahun terakhir ini mencapai 15.965 orang, luka berat sebanyak 43.458 orang,
dan yang mengalami luka ringan tercatat sebanyak 24.355 orang.(Nanang Sutisna,
2010).
Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi kapan saja. Namun terdapat saat-saat
dimana jumlah dapat meningkat seperti pada saat menjelang Idul fitri dimana terjadi
arus mudik besar-besaran. Seperti yang disebutkan Posko Mudik Lebaran Departemen
Perhubungan pada seluruh akses jalan tol di Pulau Jawa Tahun 2009, mencatat jumlah
kecelakaan yang meningkat 54% dari rentang waktu yang sama pada tahun
lalu.(Kompas, 2009).
Sekitar 70% kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di jalan raya di Indonesia
disebabkan oleh para pengendara sepeda motor, kata pakar transportasi, Djoko
Setyowarno.(Antara News, 2008).

2.2.9 Peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas


Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya merupakan produk hukum yang menjadi acuan utama yang mengatur aspek-aspek
mengenai lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia. Undang-undang ini merupakan
penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 14 tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang sudah sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan lalu
lintas dan angkutan jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang
baru. Setelah undang-undang mengenai lalu lintas dan angkutan jalan yang lama
diterbitkan kemudian diterbitkan 4 (empat) Peraturan Pemerintah (PP), yaitu: PP No.
41/1993 tentang Transportasi Jalan Raya, PP No. 42/1993 tentang Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor, PP No. 43/1993 tentang Prasarana Jalan Raya dan Lalu Lintas, PP
No. 44/1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi.
Lalu dibuatlah pedoman teknis untuk mendukung penerapan Peraturan
Pemerintah (PP) diatas yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri (KepMen).
Beberapa contohnya KepMen tersebut, yaitu: KepMen No. 60/1993 tentang Marka Jalan,
KepMen No. 61/1993 tentang Rambu-rambu Jalan, KepMen No. 62/1993 tentang Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas, KepMen No. 65/1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Kemenhub RI, 2011).
2.2.10 Upaya keselematan lalu lintas
Usaha dalam rangka mewujudkan keselamatan jalan raya merupakan tanggung
jawab bersama antara pengguna jalan dan aparatur negara yang berkompeten terhadap
penanganan jalan raya baik yang bertanggung jawab terhadap pengadaan dan
pemeliharaan infra dan supra struktur, sarana dan prasarana jalan maupun pengaturan
dan penegakkan hukumnya. untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan beberapa
perumusan dalam bentuk 5 (lima) strategi penanganannya, berupa :
1. Engineering
Wujud strategi yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan pengamatan,
penelitian dan penyelidikan terhadap faktor penyebab gangguan/hambatan
keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta memberikan
saran-saran berupa langkah-langkah perbaikan dan penanggulangan serta
pengembangannya kepada instansi-instansi yang berhubungan dengan
permasalahan lalu lintas.
2. Education Segala kegiatan yang meliputi segala sesuatu untuk menumbuhkan
pengertian, dukungan dan pengikutsertaan masyarakat secara aktif dalam usaha
menciptakan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas dengan
sasaran masyarakat terorganisir dan masyarakat tidak terorganisir sehingga
menimbulkan kesadaran secara personal tanpa harus diawasi oleh petugas.
3. Enforcement
Merupakan segala bentuk kegiatan dan tindakan dari polri dibidang lalu lintas agar
undang-undang atau ketentuan perundang-undangan lalu lintas lainnya ditaati oleh
semua para pemakai jalan dalam usaha menciptakan kenyaman dan keselamatan
berlalu lintas.
a. Preventif
Segala usaha dan kegiatan untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda, masyarakat termasuk
memberikan perlindungan dan pertolongan khususnya mencegah terjadinya
pelanggaran yang meliputi pengaturan lalu lintas, penjagaan lalu lintas,
pengawalan lalu lintas dan patroli lalu lintas.
b. Represif
Merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan
sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana yang meliputi penindakan
pelanggaran lalu lintas dan penyidikan kecelakaan lalu lintas.
4. Encouragement
Encouragement dapat diartikan sebagai desakan atau pengobar semangat. Bahwa
untuk mewujudkan kenyamanan dan keselamatan berlalu lintas juga dipengaruhi
oleh faktor individu setiap pemakai jalan, dimana kecerdasan intelektual individu /
kemampuan memotivasi dalam diri guna menumbuhkan kesadaran dalam dirinya
untuk beretika dalam berlalu lintas dengan benar sangat dibutuhkan untuk
mewujudkan hal tersebut.
Menumbuhkan motivasi dalam diri bisa dipengaruhi oleh faktor internal
(kesadaran diri seseorang) maupun eksternal (lingkungan sekitarnya). Selain dari
pada itu desakan semangat untuk menciptakan situasi lau lintas harus dimiliki oleh
semua stake holder yang berada pada struktur pemerintahan maupun non
pemerintah yang berkompeten dalam bidang lalu lintas sehingga semua komponen
yang berkepentingan serta pengguna jalan secara bersama memiliki motivasi dan
harapan yang sama dengan mengaplikasikannya didalam aksi nyata pada
kehidupan berlalu lintas di jalan raya.
5. Emergency Preparedness and response
Kesiapan dalam tanggap darurat dalam menghadapi suatu permasalahan lalu lintas
harus menjadi prioritas utama dalam upaya penanganannya, kesiapan seluruh
komponen stake holder bidang lalu lintas senantiasa mempersiapkan diri baik
sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta hal lainnya dalam menghadapi
situasi yang mungkin terjadi pemberdayaan kemajuan informasi dan teknologi
sangat bermanfaat sebagai pemantau lalu lintas jalan raya disamping keberadaan
petugas dilapangan, dalam mewujudkan Emergency Preparedness and response ini
perlu adanya konsistensi yang jelas di seluruh stake holder dan dalam pelaksanaannya
harus dapat bekerja sama secara terpadu sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan
bersama.
Sumber:

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124160-S-5458-Penerapan%20injury-Literatur.pdf

https://www.google.com/url?url=https://media.neliti.com/media/publications/99488-ID-

faktor-yang-berhubungan-dengan-kejadian.pdf

Sumber: Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai