TINJAUAN PUSTAKA
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding
lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.
Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus
kegawatan bedah.
I. Anatomi Gaster
Merupakan bagian dan saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama
di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri berhubungan dengan
esofagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah diafragma di.depan pankreas dan
limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.
Bagian lambung terdiri dari:
a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum
kardium dan biasanyanya penuh berisi gas.
b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardiun, suatu lekukan pada bagian bawah
kurvatura minor.
c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang tebal
membentuk spinter pilorus.
d. Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum kardiak
sampai ke pilorus.
e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi kiri
osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai ke pilorus
inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas kurvatura mayor
sampai ke limpa.
V. Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam.Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis).Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis.
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari
jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis.Ia membentuk kantong tertutup
dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai
peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis
Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai
1,7m2.Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan
partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas ± 1m2.
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang
mengandung protein 3 g/dl.Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah
33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil,
dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah
PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3.
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma
sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk
bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan
lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan
mendorong limfe ke mediastinum.
Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik
agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung.
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah
terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata.
Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran
dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri
perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii.
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga
peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia.Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas
memperbesar pergeseran cairan ini.
VII. Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum.Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis
hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendix, perforasi gaster
dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat
divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan
operasi sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)
dan localized (abses intra abdomen).
VIII. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Gambar 3. Skema Peritonitis
Gejala
· Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.Nyeri
biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi
nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada
henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan.Nyeri biasanya
lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas
dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis.
· Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates.Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi
dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal.Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut
di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan
yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.
· Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal.Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram
negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme
dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari
endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip
seperti gambaran yang terlihat pada manusia.
Tanda
· Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang
timbul pada peritonitis.Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi
pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan ke keadaan normal.Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan
tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik.Hal-hal
seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan
dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih
buruk.
· Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari
abdomen.Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen.Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi
akibat ileus paralitik.
· Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian.Suara usus dapat
bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak
terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus.Adanya
suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara
perut yang tenang.Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi.
· Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa.Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal
ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal
yang mengalami perforasi.Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan
pekak hepar yang menghilang.
· Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini.Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat
nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan.Ini
terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri
membuat semua pemeriksaan tidak berguna.Kelompok orang dengan kelemahan dinding
abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang
sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding
abdomen.Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih
dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya
didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah
dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum
oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi
local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas
dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme
secara involunter sebagai mekanisme pertahanan.Pada peritonitis, reflek spasme otot
menjadi sangat berat seperti papan.
X. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik.Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah
dan urinalisis.Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3,
kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan
tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak
menunjukkan peningkatan yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan
ginjal dapat dilakukan.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak
PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses
pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan
foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya
udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling
tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau
keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas.Gas harus dievaluasi dengan
memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.
Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan
cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat
diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat
anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red
Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti
cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,
tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah
adekuat dan urin telah diprodukasi.
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.
Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering
adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam
terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika
penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel
darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan
hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar
kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada
tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik
harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam
plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram
negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai
didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif
terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan
terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan
dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan
sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya
infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat
kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat
ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus.Pemasangan kateter
untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.Tanda vital (temperature,
tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.Evaluasi biokimia
preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan
urinalisis.
Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus,
reseksi usus dengan anastomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik
tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan
dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat
irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau
nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit
primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan
dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki
kavum peritoneum.
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan
material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau
antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi
(misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai
level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus
diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda
asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan
yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering
dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna
pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.
Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital.,
dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan
selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai
dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan
keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.
XII. Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula
biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema
generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator
adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-
Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel
yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.
XIII. Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi
prognosis, antara lain:
a. jenis infeksinya/penyakit primer
b. durasi/lama sakit sebelum infeksi
c. keganasan
d. gagal organ sebelum terapi
e. gangguan imunologis
f. usia dan keadaan umum penderita
Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada
usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis
lebih awal.
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%.
Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian.Peritonitis yang berlanjut,
abses abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan
prognosis yang jelek.
Patogenesis sepsis
Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel luar yang khas terdiri dari
lipopolisakarida yang dikenal sebagai endotoksin karena dapat memacu respons toksin. Toksin
akan direspons oleh sitokin yang akan mengaktivasi respons immun. Pada fase awal tumor
necrosis factor (TNF) α , IL-1, IL-6, IL-8 dan platelet agregating factor (PAF) berperan dalam
proses terjadinya respons immun sistemik yang terjadi pada jam ke 2. Sitokin ini juga
menyebabkan depresi miokard, menghambat oksigen radikal spesies pada sel endotel dan
menyebabkan dilatasi otot polos vaskuler. Interleukin –6 dan granulosite colony stimulating
factor (G-CSF) mulai berperan dalam memproduksi immunoglobulin sel B aktif, differensisis sel
T, sintesis protein fase akut (CRP). G-CSF berperan dalam peningkatan aktivasi neutrofil,
memperlambat apoptosis neutrofil dan meningkatkan produksinya dari sumsum tulang. Juga
terjadi peningkatan degranulasi neutrofil, perlekatan pada endotel dan daya oksidasi neutrofil.
Terjadi aktivasi kaskade koagulasi dan sistem komplemen. Proses metabolisme asam
arakhidonat menghasilkan leukotrien, tromboksan A2, dan prostaglandin (PGE2 dan PGI2). IL-1
dan IL-6 akan mengaktivasi sel T untuk menghasilkan interferon γ, IL-2, IL-4 dan GM-CSF.
Interaksi tersebut akan meningkatkan respons inang terhadap infeksi. Interferon gamma dan TNF
akan meningkatkan aktivitas fagosit neutrofil.
Lipopolysaccharide
Lipoteichoic acid
Activation of macrophages, neutrophils, platelets, and
Cellular
Peptidoglycan endothelium releases various cytokines and other
mediators
mediators
Superantigens
Endotoxin
Adhesion molecules
Selectins Enhance neutrophil-endothelial cell interaction,
Hipotensi terjadi akibat aktivasi faktor XII, prekalikrein, kalikrein, kininogen, bradikinin
yang bersifat vasodilator kuat. Proses selanjutnya akan terjadi penurunan deformitas eritrosit
yang menyebebkan gangguan homeostasis mikrosirkulasi. Peningkatan permeabilitas
mikrovaskuler pada sistem vaskuler sistemik dan paru menyebabkan edema jaringan terutama di
paru, ginjal, kulit, otot, jantung dan otak. Pooling intravasculer dapat terjadi di intestinal akibat
relaksasi arteriolae dan konstriksi venulae. Darah yang terperangkap ini menyebabkan volume
kapiler menurun, aliran balik vena dan curah jantung menurun. Kongesti darah dapat terjadi di
paru dan kelenjar adrenal yang bisa berlanjut menjadi perdarahan. Respons adrenergik dalam
mikrosirkulasi akan dipengaruhi oleh endotoksin dan terjadi gangguan sensitivitas terhadap
noradrenalin. Peningkatan viskositas darah dan resistensi post kapiler. Redistribusi aliran darah
organ, terbukanya arteriovenous shunt, reaksi multiple endotelium 4.
Faktor risiko sepsis pada anak menurut Zimmerman dan Bone adalah :
1. Faktor pejamu :
Malnutrisi, immunodefisiensi, penyakit kronis, trauma/ luka bakar, penyakit berat.
2. Faktor pengobatan :
Tindakan operasi, prosedur invasif, antibiotika, terapi immunosupresif, lama perawatan,
lingkungan rumah sakit.
Gambaran Klinis
Sepsis ditandai dengan gejala SIRS dan ditemukannya kuman penyebab infeksi. Gejala
tambahan berupa gangguan perfusi organ :
Infeksi merupakan istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk
ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan
disebut penyakit infeksi yang terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar
proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi
tubuh. Inflamasi akut dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya
inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas.
Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian
yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan
pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi
berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama.
Sepsis merupakan SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Meskipun SIRS, sepsis dan syok septic
biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Bakteriemia
adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah, bersifat sepintas, dijumpai
setelah jejas berada dipermukaan mukosa primer (tanpa fokus infeksi intravaskuler atau
ekstravaskuler). Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi atau hipotensi.
Selain criteria SIRS, saat ini ada criteria ntuk menetapkan keadaan sepsis yang disebut
SOFA atau Sepsis-related Organ Failure Assessment Score / Sequential Organ Failure
Assessment Score. Penilaian ini didasarkan kepada 6 variabel yang berbeda, masing-masing
untuk respirasi, kardiovaskular, sistem hepatic, koagulasi, sistem ginjal, dan sistem neurologis.
Pada setiap variabel memiliki skor masing-masing untuk setiap hasil pemeriksaan seperti yang
tertera pada tabel 3.
Namun karena skor SOFA ini membutuhkan pemeriksaan yang cukup memakan waktu,
dibuatlah skor quick SOFA (qSOFA) sebagai standard diagnose yang lebih sederhana. Skor
qSOFA terdiri dari 3 variabel :
Skor qSOFA biasa dipakai saat pasien masih berada di IGD. Setelah hasil pemeriksaan
yang lain telah keluar, maka dapat dilakukan penghitungan skor SOFA.
Diagnosa Klinis
Mengenali sepsis dimulai dengan mendefinisikan pasien berisiko. Manifestasi klinis sepsis
biasanya akan menjadi jelas dan meminta inisiasi perawatan sebelum konfirmasi bakteriologik
organisme atau sumber organisme diidentifikasi. Selain demam, takikardia, dan takipnoe, tanda-
tanda hipoperfusi seperti kebingungan, malaise, oliguria, atau hipotensi mungkin ditemukan.
Karena hal-hal ini maka kita harus agresif mencari adanya kemungkinan infeksi termasuk
melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh, inspeksi dari semua luka, evaluasi kateter infus atau
badan-badan asing lainnya, mendapatkan kultur sesuai, dan terapi ajuvan sebagaimana
diperlukan.
Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan
1. Mencari dan memberantas kuman penyebab infeksi dengan memberi antibiotik adekuat
menghilangkan fokal infeksi dengan tindakan bedah. Pemberian antimikroba harus
diberikan secepatnya setelah darah dan specimen lainnya dikultur. Apabila hasilnya
belum dapat ditentukan dapat diberikan pengobatan secara empirik yang efektif melawan
bakteri gram positif dan gram negatif. Pemilihan antimikroba dapat merupakan hal yang
kompleks, maka harus memperhatikan riwayat pasien, komorbiditas, sindroma klinis,
data pewarnaan gram, dan pola resistensi lokal. Dosis maksimal antimikroba yang
dianjurkan dapat diberikan secara intrvena, dengan penyesuaian pada gangguan renal jika
dibutuhkan. Apabila hasil kultur telah didapatkan, maka regimen dapat lebih
disederhanakan, karena seringkali antimikroba tunggal dapat adekuat untuk pengobatan
pathogen yang diketahui.
Komplikasi
Komplikasi yang akan terjadi pada penderita septik bila tidak segera ditangani sebagai
berikut:
Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan
Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian infeksi,
melakukan teknik aseptik yang cermat, melakukan debridemen luka untuk membuang jaringan
nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan dengan
benar.
BAB I
PENDAHULUAN
Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering bersamaan dengan
kondisi bakteremia dan sindroma sepsis. Peritonitis didefenisikan suatu proses inflamasi
membran serosa yang membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya.
Peritonitis dapat bersifatlokal maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi. Peradangan
peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda
asing.Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian
tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%.Peritonitis difus sekunder yang
merupakan 90% penderita peritonitis dalampraktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu
perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran.
Suatu perforasi dapat terjadi akibat trauma dan non trauma. Non trauma misalnya akibat
volvulus, spontan pada bayi baru lahir, ingesti obat-obatan, tukak,malignansi, dan benda asing.
Sedangkan trauma dapat berupa trauma tajam maupun trauma tumpul, misalnya iatrogenik akibat
pemasangan pipa nasogastrik. Sementara itu beberapa contoh lokasi kebocoran atau perforasi
gastrointestinal yang menyebabkan peritonitis sekunder adalah kebocoran pada lambung maupun
kebocoran pada usus (duodenum, jejenum, ileum, colon, maupun appendik).
Kebocoran lambung atau disebut dengan istilah perforasi gaster dapat disebabkan oleh
ulkus gaster atau yang biasanya disebut tukak lambung. Tukak lambung umumnya terjadi pada
pria, orang tua,dan kelompok dengan tingkat sosioekonomi rendah.Perforasi lambung
berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung
kedalam rongga perut.Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan
suatu kasus kegawatan bedah.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
1. Nama : Tn. S
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Umur : 66 th
4. Alamat : Jambangan, Besuk, Probolinggo
5. Masuk RS : 27Juni 2018, pukul 21.50
6. No. RM : 328180
B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama :
Nyeri perut
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a) Keadaan umum : Tampak Kesakitan
b) Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
c) Vital sign :
Suhu : 37,3oC
Nadi : 90 x/mnt
TD : 110/70 mmHg
RR : 24 x/mnt
Kepala
- Bentuk : Mesocephal, Simetris
- Rambut : Panjang, Warna hitam bercampur putih
Mata
Leher
Paru
Ekstremitas
- Akral : Hangat
- Sianosis : Tidak ditemukan
- Edema : Tidak ditemukan
Rectal Toucher
- Tidak dilakukan
D. Resume
Keluhan utama nyeri seluruh lapangan perut sejak 3 hari, semakin parah sehingga
tidak bias beraktifitas selama 1 hari ini. Pasien juga merasa mual, dan muntah
setiap makan dan minum sejak 1 hari SMRS. BAK pasien sedikit dan saat ini
BAB hanya sedikit, namun hari sebelumnya masih normal. Pasien mengaku masih
bisa buang angin.
Riwayat penyakit dahulu: Riwayat perut sering kembung dan terasa sebah, pasien
memiliki riwayat maag berulang, pasien memiliki riwayat mengkonsumsi obat-
obatan anti nyeri yang dibeli sendiri di apotek untuk mengobati nyeri badan.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah dan kesakitan; vital
sign didapatkan febris, dan takipneu; pemeriksaan abdomen didapatkan distended,
defans muskuler, nyeri tekan seluruh lapang perut, dan perkusi hipertimpani.
E. DIAGNOSIS BANDING
Abdominal pain e/c peritonitis
Abdominal pain e/c appendicitis perforasi
Abdominal pain e/c gastritis erosiva
Abdominal pain e/c gastroenteritis akut
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi (29-04-2011)
Hb : 16,5 gr/dl (14,0 - 18,0)
Eritrosit : 4,96 103 µl (4,5 - 5,9)
Hematokrit : 45,7 % (40 - 48)
Indek eritrosit
MCV : 92,1 fL (88 - 96)
MCH : 33,2 pg (27,5 – 33,2)
MCHC : 36,0 g/dl (32 - 36)
Trombosit : 204 103 uL (150 - 450)
Leukosit : 24,8 103 uL (5,0 - 10,0)
H. PENATALAKSANAAN
1. Rencana terapi
II. Tindakan resusitasi Airway, Breathing, Circulation
III. Restorasi cairan infuse RL maintanance
IV. Pencegahan infeksi Ceftriaxone 1g/12 jam iv (skin test)
V. Terapi simptomatik Ranitidin 2 x 1 ampul iv
Ondancentron 3 x 4mg iv
VI. Pasang NGT dan Dauer Catheter Balans cairan
2. Rencana diagnostic
a) Informed Consent
b) Konsul Spesialis Bedah
c) Pro Laparatomi Eksplorasi