Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar belakang masalah


Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi,
subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan tandai dengan kompresi
pada medula spinalis daerah servikal (Muttaqin, 2011). Trauma
medula spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan
kecacatan permanen dan mengancam nyawa. Trauma medula spinalis
(TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung
atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya,
seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan reflekx, baik komplit
ataupun inkomplet (Gondowadarja and puwarta, 2014).

Trauma medula spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan yang


serius di berbagai belahan dunia. Menurut Centers for Disease Control
and prevention di Amerika terdapat dari 12.000 sampai 20.000 kasus
trauma medula spinalis setiap tahunnya, dan sekarang melebihi
200.000 warga amerika yang hidup dengan trauma medula spinalis
adalah kecelakaan kendaraan, jatuh, dan cedera saat berolahraga.
Untuk orang yang umumnya di bawah 65 tahun, penyebabnya adalah
kecelakaan kendaraan. Untuk orang diatas 65 tahun, trauma medula
spinalis kebanyakan karena jatuh (Wang and Pearse, 2015)

Bahrudin (2016) menyatakan bahwa trauma medula spinalis


prevalensinya di USA kurang lebih 200.000 pasien, kira-kira 10.000
orang meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan medula
spinalis. Trauma medula spinalis sering pada usia sekitar 15-30 tahun,
25% trauma medula spinalis terjadi pada anak-anak. Cedera kolumna

1
2

Vertebralis (CKV) menyebabkan cedera saraf atau medula spinalis kira


kira 15%, dan 55% dari CKV ialah cedera di servikalis.

Kolumna vertebralis atau tulang belakang dapat menahan tekanan yang


berat dan mempertahankan integritasnya tanpa mengalami kerusakan
medulla spinalis. Akan tetapi, beberapa mekanisme trauma tertentu
dapat merusak sistem pertahanan dan mengakibatkan kerusakan pada
kolumna vertebralis dan medula spinalis. Trauma servikal dapat
ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi, dan
subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen servikal yang dapat
menekan spinal dan menyebabkan kompresi radiks (price, 2009).

Cedera pada sumsum tulang belakang mengakibatkan tekanan,


bengkok, patah atau penarikan sum sum tulang belakang. Kerusakan
pada sumsum dapat melibatkan keseluruhan ketebalan sumsum tulang
belakang (tidak sempurna). Penyebab paling umum cedera sumsum
tulang belakang adalah trauma. Hilangnya sensasi, kendali motorik,
atau reflek dapat terjadi di bawah tingkat cedera atau di dalam 1
sampai 2 saraf tulang belakang atau saraf sumsum di atas tingkat
cedera. Kerusakan pada ruas tulang belakang dapat terjadi pada waktu
yang sama ketika sumsum tulang belakang cedera (DiGlullo, 2014)

Masalah yang dihadapi pasien cedera medula spinalis misalnya:


hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperatur,
tekanan dan propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan
hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom, selain itu pasien juga
beresiko mengalami perubahan refleks, terjadinya spasme otot, terjadi
spinal shock yaitu gejala seperti paralisis, hilangnya sensasi, tidak
stabilnya tekanan darah, inkontinensia urin, dan retensi feses,
bradikardia, hipotensi, dan gangguan fungsi seksual.
3

Pasien yang mengalami cedera medulla spinalis membutuhkan


perhatian lebih dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis sehari-hari serta
mobilisasi. Pasien beresiko mengalami komplikasi berupa syok spinal,
shock neurogenik, hipoksia, infeksi saluran kemih, kontraktur otot,
dekubitus, inkontinensia urine, serta konstipasi. Jadi peran perawat
sangat perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien cedera medulla spinalis seperti membantu
dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari (makan, minum, toileting, dsb)
karena keadaan pasien cedera medula spinalis yang mengalami
immobilisasi, peran perawat sebagai edukator yaitu memberikan
informasi kepada klien dan keluarga klien tentang apa saja hal yang
perlu dilakukan guna membantu dalam proses keperawatan. Misalnya
pada klien yang mengalami konstipasi maka peran perawat yaitu
memberikan informasi kepada klien untuk memperbanyak konsumsi
sayur serta buah-buahan) hal ini juga berkesinambungan dengan peran
perawat sebagai kolaborator yaitu peran perawat dalam bekerjasama
dengan tim kesehatan lainnya seperti dokter, ahli gizi, dan fisioterapis
yang berhubungan dengan pasien dengan cedera medulla spinalis
untuk menentukan rencana tindakan selanjutnya.

b. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum:
Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan Tn. J yang
mengalami Spinal Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
Tujuan Khusus:
1). Menggambarkan proses dan hasil:
a). Pengkajian keperawatan pada Tn. J yang mengalami Spinal
Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
b). Penetapan diagnosis keperawatan pada Tn. J yang mengalami
Spinal Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
4

c). Perencanaan keperawatan untuk memecahkan masalah yang


ditemukan pada Tn. J yang mengalami Spinal Cord Injury di
RSUP Fatmawati Jakarta.
d). Implementasi keperawatan pada Tn. J yang mengalami Spinal
Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
e). Evaluasi keperawatan pada Tn. J yang mengalami Spinal Cord
Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
2). Membahas kesenjangan antara teori dan kasus Ny. A yang
mengalami Fraktur Colum Femur di RSUP Fatmawati Jakarta.

c. Manfaat
a. Bagi penulis, sebagai sarana berlatih menambah pengetahuan dan
mengembangkan ilmu keperawatan dengan mengumpulkan
informasi ilmiah untuk kemudian dikaji, dianalisis, dan disusun
dalam satu karya tulis yang ilmiah, informatif, bermanfaat, serta
menambah kekayaan intelektual.
b. Bagi institusi pendidikan dan para akademisi, dapat menambah
ilmu pengetahuan kesehatan dibidang ilmu keperawatan,
khususnya keperawatan dewasa/keperawatan medikal bedah untuk
dapat dimanfaatkan sebagai sumber atau bahan kajian dalam
menambah ilmu pengetahuan di bidang keperawatan.
c. Bagi wahana praktik, dapat dijadikan referensi dalam
mengembangkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan cedera medula spinalis (Cervikal) atau cedera tulang
belakang yang belum dikaji dalam penelitian ini.

d. Sistematika Penulisan
Laporan kasus ini disusun berdasarkan sumber yang diperoleh
melalui buku dan jurnal ilmiah. Referensi yang penulis ambil
berasal dari Perpustakaan serta internet. Penulis membutuhkan
5

waktu 1 bulan untuk menyelesaikan laporan ini dimulai tanggal 8


April 2019 sampai dengan 14 April 2019. Adapun unsur masing-
masing bagian dan penjelasannya secara detail serta pengertian
lengkap diuraikan sebagai berikut:
1. Bagian awal terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut:
a. Lembar judul adalah identitas yang memberikan gambaran
tentang isi dari laporan
b. Kata pengantar berisikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun
laporan
c. Daftar isi adalah daftar yang memuat gambaran tentang isi
laporan
2. Bagian isi sistematika penulisan terdiri dari beberapa unsur
sebagai berikut:
a. Bab I pendahuluan
Latar belakang yang berisi gambaran definisi tentang
cedera medulla spinalis, prevalensi kejadian cedera medulla
spinalis, gambaran patofisiologi, masalah yang dihadapi
pasien cedera medulla spinalis, serta peran perawat dalam
menghadapi pasien dengan cedera medulla spinalis, tujuan
umum dan tujuan khusus, manfaat penulisan, serta
sistematika penulisan.
b. Bab II Tinjauan teori:
Adalah kumpulan teori yang digunakan dalam pembuatan
laporan, meliputi definisi, anatomi dan fisiologi, etiologi
dan faktor resiko, patofisiologi, tanda dan gejala,
penatalaksanaan medis, serta asuhan keperawatan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis.
c. Bab III Tinjauan kasus
6

Berisi gambaran kasus tentang pasien dengan cedera


medulla spinalis yang terdiri dari pengkajian, analisa,
intervensi, implementasi, sampai evaluasi.
d. Bab IV Pembahasan
Adalah penjelasan mengenai permasalahan kasus yang
diangkat oleh kelompok, permasalahan disini berupa pasien
dengan cedera medulla spinalis.
e. Bab V penutup yang terdiri dari bebrapa unsur sebagai
berikut:
a. Kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan kasus.
b. Saran merupakan tindak lanjut dari kesimpulan.
3. Bagian akhir dari laporan ini terdiri dari beberapa unsur sebagai
berikut: Daftar pustaka sebagai pendokumentasian sumber
bacaan ilmiah yang digunakan untuk penulisan laporan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Cedera medula spinalis


Cedera medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula
spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik
dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan pada
medula spinalis tergantung dari keadaan komplit atau inkomplit (Tarwoto,
2013). Spinal Cord Injury (SCI) di definisikan sebagai lesi traumatik akut
elemen saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sum-sum tulang
belakang dan Cauda equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik,
atau disfungsi kandung kemih sementara atau permanen (Oteir et al, 2014)

Sedangkan menurut Genoveva dan kharunnisa dalam jurnal “Diagnosis


dan tatalaksana medula spinalis” (2017) Trauma medula spinalis adalah
cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Gejala-
gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan
medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-
gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana
pasien mengalami gangguan fungsi total.

B. Anatomi dan Fisiologi Medula Spinalis

7
8

(yustika.wordpress.com)

Sebanyak 31 pasang saraf spinal berasal dari segmen yang berbeda dari
spinal cord, yang terdiri dari 8 pasang dari servikal, 12 pasang bagian
torakal, 5 pasang lumbal, 5 pasang sakral dan 1 pasang bagian kogsigeal.
Setiap nervus spinalis terbentuk dari penggabungan radiks dorsalis dan
radiks ventralis yang berhubungan pada segmen medulla spinalis. Pada
radiks ventralis pada segmen medulla spinalis. Pada radiks ventralis terdiri
atas serat-serat eferen somatik dan viseral sedangkan radiks dorsalis terdiri
atas serat-serat aferen somatik dan viseral. Inversi saraf-saraf aferen spinal
yang berasal dari satu radiks dorsalis beserta ganglionnya disebut
dermatoma. Dermatoma menggambarkan area permukaan kulit yang
9

dipersarafi oleh nervus tertentu. (Tarwoto 2013). Medula spinalis


merupakan bagian lanjutan dari medula oblongata yang menjulur ke arah
kaudal melalui foramen magnum lalu berakhir di antara vertebra lumbal
pertama dan kedua. Fungsi medula spinalis yaitu mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks (Brunner dan
Suddarth, 2011)

C. Patofisiologi Cedera medula spinalis


Trauma pada daerah leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur
kolumna vertebra, kompresi diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan
kompresi medula spinalis pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal
dan bermanifestasi pada kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai
segmen dari tulang belakang servikal. Trauma pada servikal bisa
menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak stabil. Tarwoto (2013).

Kolumna vertebralis normal dapat menahan tekanan yang berat dan


mempertahankan integritasnya tanpa mengalami kerusakan pada medulla
spinalis. Akan tetapi beberapa mekanisme trauma tertentu dapat merusak
sistem pertahanan ini dan mengakibatkan kerusakan pada kolumna
vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah kolumna servikal,
kemungkinan terjadinya medula spinalis adalah 40%. Trauma servikal
dapat ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi,
dan subluksasi). Kompresi diskus, robeknya ligamen servikal, dan
kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang
servikal (Price, 2009). Sedangkan menurut (Muttaqin, 2011) pada cedera
hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa
kepala kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus
dapat rusak. Pada cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebra
yang paling sering ditemukan. Jika ligamen posterior robek, cedera,
bersifat tidak stabil dan badan vertebra bagian atas dapat miring kedepan
diatas badan vertebra di bawahnya. Trauma servikal dapat menyebabkan
10

cedera yang komponen vertebranya tidak akan tergeser oleh gerakan


normal sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko biasanya lebih
rendah.

Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran
lebih jauh dan perubahan struktur oseoligamentosa posterior (pedikulis,
sendi permukaan, arkus tulsng posterior, ligamen interspinosa, dan
supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian posterior badan
vertebra, bagian posterior diskus invertebra, dan ligamen longitudinal
posterior), dan koluna anterior (dua pertiga bagian anterior diskus
invertebra dan ligamen longitudinal anterior). (Muttaqin, 2011)

D. Etiologi

Cedera Medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang


mengenai tulang belakang dimana tulang tersebut melampaui kemampuan
tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut
Emma (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa:

- Kecelakaan lalu lintas


- Kecelakaan olahraga
- Kecelakaan Industri
- Jatuh dari pohon / bangunan
- Luka tusuk
- Luka tembak
- Kejatuhan benda keras.

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi Cedera medulla spinalis


1. Usia : Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria dibandingkan
pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor
11

2. Jenis kelamin : Belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria


karena faktor osteoporosis yang diasosiasikan dengan perubahan
hormonal (Menopause).

F. Pathway (Fransisca B. Batticaca, 2008)

A. Statuspada
Trauma nu servikalis Trauma pada
Fraktur, subluksasi,
tipe ekstensi servikalis tipe fleksi
dislokasi, kompresi
diskus, robeknya
ligamentum, dan
kompresi akar syaraf.

Cedera spinal tidak stabil Cedera spinal stabil

Kompresi Risti injuri Spasme otot Fraktur Kompresi baji


korda ligamen tubuh

Aktual/Risiko: Nyeri
Tindakan pola nafas Spasme otot
dekompresi tidak efektif.
dan Curah jantung Kompresi diskus
stabilisasi menurun Hambatan
dan kompresi
akar saraf mobilitas
disisinya sisinya
Fase asuhan
F Prognosis
perioperatif
penyakit

Respons Kecemasan
Paralisis
psikologis
ekstremitas atas
12

G. Klasifikasi Cedera Medula Spinalis


Cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan:
1. Komusio medula spinalis adalah suatu kedaan dimana fungsi medula
spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara
sempurna. Kerusakan pada komosio medula spinalis dapat berupa
edema, perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan infark pada sekitar
pembuluh darah.
2. Kompresi medula spinalis berhubungan dengan cedera vertebra,
akibat dari tekanan pada medula spinalis.
3. Kontusio, adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebra,
ligamen dengan terjadinya perdarahan, edema, perubahan neuron dan
reaksi peradangan.
4. Laserasio Medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena
terjadi kerusakan medula spinalis. Biasanya disebabkan karena
dislokasi, luka tembak hilangnya fungsi medula spinalis umumnya
bersifat permanen. (Tarwoto, 2013).

H. Tanda dan Gejala:


1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Tanda dan gejala medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan
dan lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya
hilangnya gerakan volunteer, hilangnya sensasi nyeri, temperatur,
tekanan dan propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan
hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom.
2. Perubahan refleks
Setelah cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis sehingga
stimulus reflek juga terganggu misalnya refleks pada bladder, aktivitas
viseral, refleks ejakulasi.
3. Spasme otot : Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma
komplit transversal, dimana pasien terjadi ketidakmampuan
melakukan pergerakan.
13

4. Spinal shock : Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis
dibawah garis kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks
spinal, hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak
stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat dibawah garis
kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi feses.
5. Autonomic dysreflexia : Autonomic dysreflexia terjadi pada cedera
thorakal 6 keatas, dimana pasien mengalami gangguan refleks
autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksimal, distensi
bladder.
6. Gangguan fungsi seksual : Banyak kasus memperlihatkan pada laki-
laki adanya impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi.
Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.

Batas cedera medula spinalis, tanda dan gejala


Batas Cedera Fungsi yang hilang Fungsi yang
diharapkan
Cervikal (C1-  Hilangnya  Ketergantunga
C4) fungsi
n total
motorik dan
sensorik dari
leher ke
bawah

Quadriplegia  Paralisis
 Perlu bantuan
pernafasan
ventilator
 Tidak
 Memerlukan
terkontrolnya
bantuan
bowel dan
seluruhnya.
bladder.
 Berakibat
fatal
Cervikal 5  Hilangnya
(C5) fungsi
motorik dari
atas ke
bawah.
 Hilangnya  Memerlukan
Quadriplegia sensasi di bantuan
14

bawah seluruh
klavikula. aktivitas
 Tidak perawatan diri.
terkontrolnya
bowel dan
bladder.
 Hilangnya
Cervikal 6 fungsi
(C6) motorik di
bawah batas
bahu dan
lengan.

 Sensasi lebih  Meningkatnya


Quadriplegia banyak pada kemampuan
lengan dan untuk aktivitas
jempol hidup sehari-
hari.

 Fungsi  Masih perlu


Cervikal 7 Motorik yang bantuan
(C7) kurang  Ambulasi
sempurna dengan kursi
pada bahu, roda
siku,
pergelangan
dan bagian
dari lengan

 Sensasi lebih
Quadriplegia banyak pada
lengan dan
tangan
dibandingkan
pada C6.
Yang lain  Mampu
mengalami menggunakan
kursi roda
 fungsi yang
sama dengan
C5
15

 mampu
Cervikal 8 mengontrol  Meningkatnya
(C8) lengan tetapi kemandirian
beberapa hari dalam
lengan aktivitas
mengalami hidup.
kelemahan

 Hilangnya
Quadriplegia sensasi di
bawah dada

 Hilangnya  Dapat mandiri


kemampuan dalam
motorik dan perawatan diri
sensasi di
bawah dada
tengah

 Kemungkina  Dapat bekerja


Thorakal (T1- n beberapa dengan
T6) otot menggunakan
interkosta kursi roda
mengalami
kerusakan

 Hilangnya  Sama seperti


Paraplegia kontrol pada T1-T6
bowel dan tetapi ada
bladder. peningkatan
keseimbangan
duduk

 Fungsi
Thorakal (T6- pernafasan
T12) sempurna
tetapi
hilangnya
fungsi bowel
dan bladder.
Paraplegia 
 Hilangnya Kemandirian
fungsi dengan kursi
motorik dari roda
pelvis dan
tungkai
16

 Hilangnya
Lumbal (L1- sensasi dari
L3) abdomen
bagian bawah
dan tungkai,
tidak
terkontrol
bowel dan
bladder.

 Hilangnya  Ambulasi
Paraplegia beberapa dengan
fungsi brankas.
motorik pada
pangkal
paha, lutut
dan kaki.

 Tidak
Lumbosacral terkontrol
(L4-S1) bladder dan
bowel

 Hilangnya  Ambulasi
Paraplegia fungsi normal.
motorik
ankle plantar
fleksor.

 Hilangnya
sensasi pada
Sakral (S2-S4) bagian
tungkai dan
perineum.

 Pada keadaan
awal terjadi
Paraplegia gangguan
bladder dan
bowel.
17

I. Tanda-tanda dan gejala


1. Kehilangan kontrol motorik karena kerusakan pada bagian depan
sumsum tulang belakang.
2. Kehilangan refleks karena kerusakan sumsum tulang belakang, titik
transmisi siaptik dari denyut sensori pada respons motorik
3. Kelumpuhan ringan
4. Kurangnya kendali usus dan kandung kemih
5. Rasa yang berubah (geli-paresthesia; berkurang-hypoesthesia;
bertambah-hyperesthesia)
6. Bradycardia, hipotensi, hipotermia karena masalah dengan sistem
saraf spontan. (DiGlullo, dkk 2014).

J. Komplikasi:
Menurut Emma, (2011) komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
trauma servikal adalah:
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik
yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan
kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis
pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
viseral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah
dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat
setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal
mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh
bagian rusak.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan
hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah
servikal bawah atau torakal atas.
18

4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak,
kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.

K. Penatalaksanaan medis
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada pasien dengan trauma medulla spinalis yaitu:
a. Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis,
segera pasang collar fiksasi leher, jangan gerakan kepala atau leher.
b. Jika ada fraktur kolumna vertebra torakalis, angkut pasien dalam
keadaan telungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)
c. Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal.
d. Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh
darah menurun karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik,
akibatnya tekanan darah turun beri infus bila mungkin plasma atau
darah, dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan
cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu
berikan adrenalin 0,2 mg boleh diulang 1 jam kemudian. Bila
denyut nadi < 44 kali/menit, beri sulfas atropin 0,25 mg IV
(intravena).
e. Gangguan pernafasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator
atau cara lain dan jaga jalan nafas tetap lapang.
f. Jika lesi diatas C-8; termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi
hiperhidrosis usahakan suhu badan tetep normal.
g. Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau dauer kateter
dan jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma
h. Tindakan operasi dilakukan bila:
1). Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis
2). Gambaran neurologis progresif memburuk.
19

L. Farmakoterapi
Menurut Bahrudin (2016) terapi farmakologi yang dapat diberikan yaitu:
a. Berikan metilprenidsolon 30 mg/KgBB, IV perlahan-lahan sampai
15 menit, 45 menit kemudian per infuse 5 mg/Kg BB selama 24
jam. Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan
sekunder asam arakidonat.
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan:
1. Diazepam 3 x 5-10 mg/ hari
2. Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg per hari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan:
1. Analgetika
2. Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
3. Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi >
180/100 mmHg) pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi).

M. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan adalah:
1. Segera dilakukan immobilisasi
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servikal, atau dengan menggunakan bantalan
pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medulla spinalis misalnya
dengan pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi pengobatan:
 Kortikosteroid seperti deksametason untuk mengontrol
edema.
 Antihipertensi seperti diazoxide untuk mengontrol tekanan
darah akibat autonomik hyperrefleksia akut.
 Kolinergik seperti bethanechol chlorida untuk menurunkan
aktivitas bladder.
20

 Antidepresan seperti imipramine hydrochlorida untuk


meningkatkan tonus leher bladder.
 Antihistamin untuk menstimulus beta-reseptor dari bladder
dan uretra.
 Agen antiulcer sepeti ranitidine
 Pelunak feses seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, dilakukan dengan indikasi tertentu seperti
adanya fraktur servikal dengan fragmen yang menekan lengkung
saraf.
6. Rehabilitasi dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi
cacat dan mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.

N. Pemeriksaan Diagnostik:
1. X-Ray Kepala : X-Ray kepala dapat melihat keadaan tulang
tengkorak, misal sinus dan beberapa kelainan serebral karena
pengkapuran. Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini
adalah mengidentifikasi fraktur tengkorak, kelainan vaskuler,
perubahan degeneratif. Prosedur pemeriksaan X-Ray kepala, pasien
ditempatkan pada papan/ meja dengan posisi kepala tidak
hiperekstensi atau termanipulasi. Lama pemeriksaan ini hanya
beberapa menit.
Indikasi
 Pasien dengan fraktur kepala
 Tumor otak
 Abnormal vaskuler
 Perubahan degenerative
Kontraindikasi : Tidak ada
Perawatan dan pendidikan kesehatan : Jelaskan tentang tujuan dari
prosedur ini, katakan bahwa prosedur ini tidak nyeri.
2. X-Ray spina : X-Ray spinal dapat melihat daerah cervical, thorakal,
lumbal, dan sakral dari spinalis. X-Ray spinal memberi informasi
21

data tentang dislokasi, fraktur vertebra, erosi tulang, pengapuran,


kollap vertebra, spondilosis.
Indikasi
 Trauma vertebra
 Fraktur dan dislokasi
 Nyeri
 Gangguan motorik dan sensorik
Kontraindikasi : Tidak ada
Perawatan dan pendidikan kesehatan : Menjelaskan tujuan prosedur
dan mengatakan bahwa tindakan ini tidak sakit. Selama
pemeriksaan posisi tulang belakang dipertahankan dalam keadaan
stabil untuk mencegah kerusakan spinal cord.
3. Computed Tomografi (CT) : Computed Tomography Scanning
merupakan kombinasi teknologi dari radiologi Imaging dan
komputer analisis. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran
secara mendetail bagian-bagian dari otak. Misalnya dapat
menentukan bentuk, ukuran dan posisi ventrikel, mendeteksi
adanya perdarahan, tumor, kista, edema. Untuk melihat bagian
vaskuler otak dilakukan dengan menggunakan bahan kontras.
Dalam pemeriksaan ini, pasien ditempatkan pada meja X-ray
dengan posisi terlentang dan kepala ditempatkan pada area scanner.
Indikasi:
 Trauma kepala
 Kerusakan serebrovaskuler
 Identifikasi adanya tumor otak
 Abses otak
 Perdarahan intraserebral
 Hidrosephalus
 Perkembangan abnormal otak
Kontraindikasi : Reaksi anafilaktik jika menggunakan kontras
22

Perawatan dan pendidikan kesehatan : Jelaskan pada pasien untuk


tidak terlalu cemas, karena tindakan ini tidak membahayakan dan
tidak terasa nyeri. Jika akan menggunakan kontras anjurkan pasien
untuk puasa selama 4 jam sebelum pemeriksaan. Tanyakan pada
pasien apakah ada alergi terhadap kontras. Jika kontras diberikan,
maka setelah pemeriksaan perlu diobservasi kemungkinan adanya
anafilaktik seperti adanya mual, muntah, takhikardia,
meningkatnya pernafasan. Pasien dianjurkan untuk minum yang
cukup banyak karena kontras bersifat hipertonik sehingga
menimbulkan diuresisi. Monitor ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
4. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Magnetik Resonance Imaging disebut juga Nuclear Magnetic
Resonance (NMR) imaging, merupakan teknologi tomografi yang
berbasis pada interaksi inti/nukleus hidrogen (proton). Dalam
jaringan tubuh dengan menggunakan medan magnet dan sinyal-
sinyal frekuensi radio. Perubahan – perubahan energi yang
dihasilkan pada bagian tubuh ini diukur dan digunakan komputer
MRI untuk menghasilkan gambar/bayangan. Gambar ini akan
nampak sebagai potongan-potongan dua dimensi melalui organ-
organ dan jaringan.
Teknik ini sekarang menggantikan pemeriksaan otak dengan CT
scan, karena beberapa keuntungan diantaranya:
 Pemberian kontras dianjurkan pada jaringan lunak,
sehingga memperlihatkan perbedaan yang jelas antara
jaringan yang sehat, benigna dan malegna juga gambaran
arteri dan vena yang jelas.
 Mencegah resiko-resiko minor yang berhubungan dengan
terkena X-ray.
 Tidak ada efek yang membahayakan dari tingkat
gelombang magnet dan gelombang radio yang digunakan.
23

 Memberikan gambaran dan banyak bagian-bagiannya,


meliputi gambaran koronal dan digital langsung dari area
mana pada pengamatan X-ray dan CT scan, tulang-tulang
menghambat pengamatan, misalnya tulang-tulang di
daerah pelvis.
 MRI tidak invasif standar, scan MRI tidak memerlukan
kontras iodine, sehingga menghindarkan/mencegah resiko
reaksi-reaksi alergi.

Keterbatasan dari pemeriksaan ini, memerlukan waktu yang


cukup lama yaitu sekitar 1 jam sedangkan pada CT scan otak
sekitar 10 menit.

Indikasi
 Maligna sistem saraf pusat
 Kelainan sistem saraf pusat
 Trauma kepala
 Lesi dan edema serebral
 Infark serebral
 Perdarahan serebral
 Kelainan kongenital.

Kontraindikasi
 Pemasangan alat-alat logam tubuh seperti pacemakers,
pemasangan alat logam pada ortopedik.
 Pasien yang hamil.
Perawatan dan Pendidikan Kesehatan : Informasikan pada
pasien bahwa pemeriksaan ini tidak nyeri dan tidak beresiko,
jelaskan tentang tujuan dan prosedur pemeriksaan.

5. Angiografi Cerebral : Angiografi cerebral adalah pengamatan


melalui radiografi terhadap arteri-arteri yang mendarahi kepala,
24

leher, wajah setelah pemasukan kontras radio-opaque. Pemeriksaan


ini sangat penting dalam memberikan informasi tentang kepatenan,
ukuran, obstruksi obstruksi pada pembuluh darah cerebral. Teknik
pemeriksaan ini dengan memasukan kawat penuntun dan kateter
pada area arteri femoralis atau karotis atau reguler dengan cairan
garam yang mengandung heparin untuk mencegah pembentukan
bekuan darah pada ujung kateter dan mengurangi resiko emboli dan
stroke. Dilakukan injeksi kontras dan dilakukan sejumlah
pemotretan meliputi fase-fase arteri, kapiler, dan vena.
Indikasi
 Kelainan vaskuler cerebral
 Aneurisma
 Malformasi arteriovaskuler
 Melihat arteri dan vena cerebral.

Kontraindikasi
 Alergi terhadap bahan radiopaque
 Terapi antikoagulan
 Penyakit liver, Thypoid dan ginjal.

Komplikasi : Reaksi anafilaktik, kejang, stroke, emboli paru,


perdarahan dari tempat pemasangan.
Perawatan dan pendidikan kesehatan : Kaji riwayat alergi terhadap
iodine dan penggunaan antikoagulan. Pasien dipuasakan setengah
malam sebelum pemeriksaan. Catat tanda vital dan status neurologi
sebelum test. Setelah tindakan pasien diistirahatkan selama 12-24
jam. Kaji tanda vital dan status neurologi setiap 15 menit pada satu
jam pertama, kemudian setiap 30 menit pada jam kedua,
selanjutnya satu jam sekali, empat jam sekali. Pada tempat
pemasukan kateter dikaji apakah ada perdarahan, hematom atau
edema. Pasien juga dianjurkan minum yang cukup. Sebelum
25

tindakan pasien perlu disampaikan tujuan pemeriksaan dan apa


yang harus dilakukan pada saat dan setelah tindakan.

6. Elektroencephalography (EEG)
Electroencephalography (EEG) adalah catatan grafik dari
gelombang aktivitas listrik otak. Pemeriksaan ini penting untuk
mengetahui normal atau tidaknya aktivitas listrik dalam otak.
Sedikitnya ada 17- 21 elektroda yang dipasang di kepala pasien ,
misalnya pada prefrontal, frontal, temporal, oksipital.
Indikasi
 Untuk mendiagnosa epilepsi, kematian otak
 Ensefalitis
 Keadaan demensia
 Evaluasi pengobatan intoksikasi

Kontraindikasi : Tidak ada

Perawatan dan pendidikan kesehatan : Sebelum tindakan jelaskan


tujuan dan prosedur tindakan, misalnya akan dipasang elektroda
dalam mata dan kepala ditutup selama pemeriksaan. Pada malam
hari sebelum dilakukan pemeriksaan pasien dikeramas rambutnya
menggunakan sampo. Anjurkan pasien untuk tidak minum kopi,
teh, dan minuman berkarbonasi 8 jam sebelum pemeriksaan. Stelah
tindakan rambut pasien di keramas kembali.

7. Elektromyografi (EMG)
Electromyography merupakan pemeriksaan untuk mengukur dan
mencatat elektrik otot skletal dan konduksi saraf. Saat pemeriksaan
pasien dimasukkan jarum besar kedalam otot.
Indikasi
 Mendiagnosa adanya kelainan otot
 Gangguan konduksi neuromuskuler.
26

Kontraindikasi : Pasien tidak kooperatif, Terapi antikoagulasi atau


penyakit karena perdarahan

Perawatan dan pendidikan kesehatan : Terangkan pada pasien


tentang tujuan dan prosedur tindakan, jelaskan bahwa tindakan
kurang lebih 20 menit dan mungkin pasien merasa tidak nyaman.

8. Lumbal Pungsi (LP)


Lumbal pungsi adalah prosedur memasukan alat/jarum ke dalam
rongga arachnoid melalui lumbal. Lumbal pungsi bertujuan untuk
mengambil sampel cairan serebrospinal dan mengukur tekanan
likuor. Dari hasil pemeriksaan LP dapat diketahui apakah ada
darah, jernih, keruh pada cairan serebrospinalis..
Selama prosedur pasien diposisikan lateral recumbent (miring dan
menekuk) dengan dahu menempel pada lutut. Posisi ini
menyebabkan ruang interspinosum menjadi lebih lebar, sehingga
memudahkan pungsi lumbal. Lokasi penusukan biasanya dibawah
L2, atau rongga antara L3-L4, atau L4-L5. Daerah yang akan
dilakukan pungsi dibersihkan dengan sabun, dibilas kemudian
dilakukan desinfektan alkohol 70%. Tempat pungsi ditutup dengan
kain duk bolong steril. Pasien disuntikkan anestesi lokal prokain-
hidroklorida 1-2% dengan jarum halus pada area sekitar pungsi.
Jarum pungsi disuntikkan sampai jarum halus pada area sekitar
pungsi. Jarum pungsi disuntikkan sampai ke dalam subarachnoid,
jarum yang masuk kurang lebih 7 cm. setelah cairan telah keluar
secara spontan, jarum segera disambung dengan manometer kaca
untuk membaca tekanan cairan. Pada saat pengukuran pasien tidak
boleh mengedan, batuk, dan harus dalam keadaan tenang.pada
keadaan normal, tekanan permukaan cairan tidak lebih dari 180
mm, bila tekanan lebih dari 300 mm merupakan indikasi terjadi
peningkatan tekanan intrakranial dan jarum pungsi harus dicabut
(Jtjuadi dalam Harsono, 2003).
27

Bekas tempat pungsi ditekan dengan kasa steril, kemudian


diberikan tinktur yodium, tutup dengan kasa steril dan diplester.
Indikasi
 Pengambilan sampel cairan serebrospinalis
 Pengukuran tekanan cairan serebrospinalis
 Pemberian anestesi.

Kontraindikasi

 Peningkatan tekanan intrakranial


 Pasien tidak kooperatif
 Kelainan koagulasi

Komplikasi

 Meningitis
 Herniasi otak
 Parestesia pada ekstrimitas bawah.

Perawatan dan pendidikan kesehatan : Terangkan pada pasien tentang


tujuan dan prosedur tindakan untuk mengurangi kecemasan .
sampaikan bahwa tindakan ini terasa nyeri. Setelah tindakan posisi
pasien tidur terlentang selama 4-6 jam untuk mencegah nyeri kepala .
observasi tempat penusukan apakah ada cairan yang keluar.perdarahan
atau edema. Pantau keadaan pasien misalnya adanya nyeri kepala,
perubahan neurologi, kaku kuduk dan demam.
28

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS

Pengkajian

1. Sistem Pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan
2. Sistem kardiovaskuler
Bradikardia, hipotensi, disritmia, orthostatik hipertensi
3. Status neurologi
Nilai GCS karena 20% pasien cedera medula spinalis disertai cedera
kepala
4. Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis
kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia.
5. Refleks tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya refleks di bawah garis kerusakan,
post spinal shock seperti adanya hiperefleksia (pada gangguan uper motor
neuron/UMN dan flacid pada gangguan lower motor neuron/LMN.
6. Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
7. Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoregulator.
8. Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 keatas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung
tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas, dan gangguan
penglihatan.
9. Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus,
stres ulcer, feses keras atau inkontinensia.
10. Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia.
11. Sistem muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
12. Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang tertekan (tanda awal dekubitus)
13. Fungsi seksual
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur.
14. Psikososial
29

Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan


masyarakat.

Diagnosa dan Intervensi keperawatan

1. Konstipasi berhubungan dengan perubahan tingkat aktivitas


Kriteria Hasil:
- mengungkapkan perilaku/teknik untuk program usus individual.
- Menciptakan kembali kepuasan pola eliminasi usus.

Intervensi Rasional
Mandiri:
a. Auskultasi bising usus, catat a. Bising usus mungkin tidak ada
lokasi dan karakteristiknya. selama syok spinal , hilangnya
b. Catat adanya keluhann mual, bising menandakan adanya
ingin muntah, periksa muntahan paralitik ileus.
atau sekresi gaster (Jika b. Hilangnya peristaltik (Karena
terpasang NGT) dan feses untuk gangguan saraf) melumpuhkan
bekuan darah. usus, membuat distensi ilues dan
c. Catat frekuensi, karakterisktik usus. Catatan: distensi usus
dan jumlah feses. berlebihan menyokong
d. Kenali tanda-tanda/periksa terbentuknya disrefleksia otonom
adanya sumbatan, seperti segera setelah syok spinal
tidakadanya feses yang terbentuk sembuh.
selama beberapa hari, feses semi c. Perdarahan gastrointestinal dapat
cair, kegelisahan, perasaan penuh terjadi sebagai efek samping dari
di perut/abdomen. terapi tertentu (steroid atau
e. Lakukan latihan defekasi secara antikoagulan).
teratur d. Mengidentifikasi derajat
f. Anjurkan pasien untuk makan gangguan/disfungsi dan
makanan yang sehat dan yang kemungkinan bantuan yang
termasuk makanan berserat dan diperlukan.
pemasukan cairan yang lebih e. Intervensi dini perlu untuk
banyak (minimal 2000 ml/hari, mengatasi konstipasi secara
termasuk juice/sari buah. efektif/feses yang tertahan dan
g. Observasi adanya inkontinensia mengurangi risiko terjadinya
dan bantu pasien komplikasi.
menghubungkan inkontinensia f. Program untuk seumur hidup ini
dengan perubahan diet perlu untuk secara rutin
(makanan) atau rutinitas sehari- mengeluarkan feses dan biasanya
sehari termasuk stimulasi manual,
h. Berikan perawatan kulit dengan minum jus dan/atau cairan hangat
cermat dan menggunakan pelunak
feses/supositoria pada interval
Kolaborasi tertentu. Kemampuan
30

i. Masukkan/pertahankan selang mengontrol pengeluaran feses


NGT dan hubungkan dengan yang penting untuk kemandirian
penghisap jika diperlukan. fisik pasien dan penerimaan
j. Konsultasikan dengan ahli sosial.
gizi/tim dari nutrisi. g. Meningkatkan konsistensi feses
k. Masukkan selang rektal jika untuk dapat melewati usus
diperlukan. dengan mudah.
l. Berikan obat sesuai indikasi: h. Hilangnya kontrol sfingter ani
Pelunak feses, laksatif, dan saraf didaerah tertentu
suppositoria, enema, beresiko tinggi untuk
m. antasida, simtidin (Tagamet), iritasi/kerusakan kulit.
ranitidin (Zantac). i. Digunakan untuk mengurangi
retensi gaster (lambung) dan
mencegah muntah (mengurangi)
risiko aspirasi).
j. Membantu merencanakan
makanan yang disesuaikan
dengan kebutuhan individu dan
fungsi pencernaan/eliminasinya.
k. Mengurangi distensi usus yang
meningkatkan respons autonom.
l. Menstimulasi peristaltik dan
pengeluaran feses secara rutin.
m. Mengurangi atau menetralisir
asam lambung untuk mencegah
iritasi lambung atau resiko tinggi
terjadinya perdarahan.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma


servikal)
Kriteria Hasil:
- Melaporkan penurunan rasa nyeri/ketidaknyamanan
- Mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi nyeri
- Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
hiburan sesuai kebutuhan individu.

Intervensi Rasional
a. Kaji terhadap adanya nyeri. a. Pasien biasanya melaporkan
Bantu pasien mengidentifikasi nyeri diatas tingkat cedera. Mis.,
dan menghitung nyeri, mis., dada/punggung atau
lokasi, tipe nyeri, intensitas, kemungkinan sakit kepala dari
31

skala 0-10. alat stabiliser. Setlah fase syok


b. Evaluasi peningkatan iritabilitas, spinal, pasien melaporkan
tegangan otot, gelisah, spasme otot dan nyeri fantom di
perubahan tanda vital yang tak bawah tingkat cedera.
dapat dijelaskan. b. Petunjuk nonverbal dari
c. Bantu pasien dalam nyeri/ketidaknyamanan
mengidentifikasi faktor memerlukan intervensi
pencetus. c. Nyeri terbakar dan spasme otot
d. Baerikan tindakan kenyamanan, dicetuskan/diperberat oleh
mis., perubahan posisi, massase, banyak faktor, mis., ansietas,
kompres hangat/dingin, sesuai tegangan, suhu eksternal
indikasi. ekstrem, duduk lama, distensi
e. Dorong penggunaan teknik kandung kemih.
relaksasi, mis., pedoman d. Tindakan alternatif mengontrol
imajinasi, visualisasi, latihan nyeri digunakan untuk ketungan
nafas dalam, berikan aktivitas emosional, selain menurunkan
hiburan, mis., televisi, radio, kebutuhan obat nyeri/efek tak
telepon, kunjungan tak terbatas. diinginkan pada fungsi
f. Berikan obat sesuai indikasi; pernafasan.
relaksasi otot, mis., dantren e. Memfokuskan kembali perhatian,
(Dantrium); analgesik; meningkatkan rasa kontrol, dan
antiansietas, mis., diazepam dapat meningkatkan kemampuan
(valium). koping.
f. Dibutuhkan untuk
menghilangkan spasme/nyeri
otot atau untuk menghilangkan
ansietas dan meningkatkn
istirahat

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan


neuromuskuler
Kriteria Hasil:
- Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop.
- Meningkatkan kekuatan bagi tubuh yang sakit/kompensasi
- Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan
kembali aktivitas.

Intervensi Rasional
a. Kaji secara teratur fungsi a. Mengevaluasi keadaan secara
motorik (jika timbul suatu khusus (gangguan sensori-motorik
keadaan syok spinal/edema dapat bermacam-macam dan atau
yang berubah). Dengan tak jelas. Pada beberapa lokasi
menginstruksikan pasien untuk trauma mempengaruhitipe dan
melakukan gerakan seperti pemilihan intervensi.
32

mengangkat bahu, b. Meningkatkan sirkulasi,


meregangkan jari-jari, mempertahankan tonus otot dan
menggenggam tangan mobilitas sendi, meningkatkan
memeriksa atau melepas mobilisasi sendi dan mencegah
genggaman pemeriksa. kontraktur dan atrofi otot.
b. Bantu/lakukan latihan rom c. Mencegah kontraktur pada daerah
pada semua ekstremitas dan bahu.
sendi, pakailah gerakan d. Hilangnya tonus pembuluh darah
perlahan dan lembut. Lakukan dan gerakan otot mengakibatkan
hiperekstensi pada paha secara bendungan darah dan vena akan
teratur (periodik). menjadi statis di bagian bawah
c. Letakan tangan dalam posisi abdomen, ekstremitas bawah,
(melipat) kedalam menuju meningkatnya resiko terjadinya
pusaran 90 derajat dengan hipotensi dan pembentukan
teratur trombus.
d. Tinggikan ekstremitas bawah e. Mencegah kelelahan,
beberapa saat sewaktu duduk memberimkan kesempatan untuk
atau angkat kaki/bagian bawah berperan serta/melakukan upaya
tempat tidur jika diinginkan yang maksimal.
pada keadaan tertentu. Kaji f. Hipotensi ortostatik dapat terjadi
adanya edema pada sebagai akibat dari bendungan
kaki/pergelangan tangan. vena (sekunder akibat hilangnya
e. Buat rencana aktivitas untuk tonus otot vaskuler).
pasien sehingga pasien dapat Memiringkan/meninggikan kepala
beristirahat tanpa terganggu. dapat menyebabkan hipotensi dan
f. Ukur/pantau tekanan darah bahkan pingsan.
sebelum dan sesudah g. Mengurangi tekanan pada salah
melakukan aktivitas dalam fas satu area dan meningkatkan
akut atau sampai keadaan sirkulasi perifer.
pasien stabil. Ganti posisi h. Mengurangi ketegangan
dengan perlahan. otot/kelelahan dapat membantu
g. Gantilah posisi secara periodik mengurangi nyeri, spasme otot,
walaupun dalam keadaan spasitas/kejang.
duduk. Ajarkan pasien untuk i. Gangguan sirkulasi, hilangnya
menggunakan teknik sensasi atau kelumpuhan
memindahkan berat badan. merupakan resiko tinggi terjadinya
h. Anjurkan pasien untuk luka karena tekanan. Pertimbangan
menggunakan teknik relaksasi. untuk seumur hidup (lihat pada
i. Inspeksi kulit setiap hari. DK: Integritas kulit, kerusakan,
Observasi adanya daerah yang resiko tinggi terhadap, hal.355).
tertekaan dan lakukan j. Banyak sekali pasien dengan
perawatan kulit dengan benar. trauma saraf servikal mengalami
Ajarkan pasien untuk pembentukan trombus karena
menginspeksi keadaan gangguan sirkulasi perifer,
kulitnya dan gunakan cermin immobilisasi dan kelumpuhan
untuk melihat bagian yang flaksid.
33

sulit dilihat. k. Perkembangan emboli paru terjadi


j. Kaji rasa nyeri, kemerahan, perlahan karena persepsi nyeri
bengkak, ketegangan otot jari terganggu dan trombus vena
k. Amati adanya dispnea tiba- bagian dalam tidak diketahui.
tiba, sianosis dari tanda-tanda l. Membatasi bendungan darah pada
lain dari distress pernafasan. ekstremitas bawah atau abdomen,
l. Gunakan kaos kaki/stoking selanjutnya meningkatkan tonus
antiembolik, alat SCD vasomotor dan mengurangi
(sequential compression pembentukan trombus dan emboli
device) pada kaki. paru.
m. Konsultasi dengan ahli terapi m. Membantu dalam merencanakan
fisik/terapi kerja dari tim dan melaksanakan latihan secara
rehabilitasi. individual dan
n. Berikan relaksan otot sesuai mengidentifikasi/mengembangkan
kebutuhan dan diazepam alat-alat bantu untuk
(Valium), baklofen (Lioresal); mempertahankan fungsi,
Kantrolen (Dantrium). mobilisasi dan kemandirian pasien.
n. Berguna untuk membatasi untuk
membatasi dan mengurangi nyeri
yang berhubungan dengan spasitas
(kejang).

4. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas


Kriteria Hasil:
- Mengidentifikasi faktor resiko individual
- Mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan tindakan
- Berpartisipasi pada tingkat kemampuan untuk mencegah kerusakan
kulit.

Intervensi Rasional
a. Inspeksi seluruh area kulit, catat a. Kulit biasanya cenderung rusak
pengisian kapiler, adanya karena perubahan sirkulasi
kemerahan, pembengkakan, perifer, ketidakmampuan untuk
berikan perhatian khusus pada merasakan tekanan, immobilisasi,
daerah belakang kepala, kulit gangguan pengaturan suhu.
didaerah kaus kaki atau pada b. Meningkatkan sirkulasi dan
lekukan dimana kulit sering melindungi permukaan kulit,
tersentuh/tertekan. mengurangi terjadinya ulserasi.
b. Lakukan massase dan lubrikasi Pasien-pasien dengan
pada kulit dengan quadriplegia dan paraparese
losion/minyak . lindungi sendi memerlukan perlindungan
dengan menggunakan bantalan seumur hidupnya terhadap
busa, wool, matras egg crate kemungkinan terjadinya
pada daerah tumit/sikut, dekubitus yang dapat
34

gunakan pengeras kulit khusus. menyebabkan nekrosis dan sepsis


jaringan yang terus berkembang.
c. Meningkatkan sirkulasi pada
kulit dan mengurangi tekanan
c. Lakukan perubahan posisi pada daerah tulang yang
sesering mungkin di tempat menonjol.
tidur ataupun sewaktu duduk. d. Kulit yang bersih dan kering
d. Bersihkan dan keringkan kulit cenderung tidak akan cenderung
khususnya daerah-daerah mengalami ekskorasi/kerusakan.
dengan kelembaban tinggi e. Mengurangi/mencegah adanya
seperti perineum. Rawat atau iritasi pada kulit.
hindari daerah-daerah garis f. Menstimulasi sirkulasi,
ujung brace meningkatkan nutrisi sel atau
e. Jagalah alat tenun tetap kering oksigenasi sel dan untuk
dan bebas dari lipatan-lipatan meningkatkan kesehatan
dan kotoran. jaringan.
f. Anjurkan pasien untuk terus g. Untuk meningkstksn arus balik
melakukan program latihan vena , mengurangi pembentukan
g. Tinggikan ekstremitas bawah edema
secara periodik h. Mengurangi sirkulasi dan sensasi
h. Hindari/batasi injeksi di bawah meningkatkan resiko terjadinya
lokasi trauma. absorpsi, reaksi lokal , dan
nekrosis jaringan.

5. Pola Nafas , Tak efektif, resiko tinggi terhadap (kerusakan persarafan


dari diafragma, kehilangan komplet atau campuran dari fungsi otot
interkostal, refleks spasme abdominal; distensi gastrik.

Intervensi Rasional
a. Pertahankan jalan nafas; posisi a. Pasien dengan trauma servikal
kepala dalam posisi netral, bagian atas dan gangguan
tinggikan sedikit kepala tempat muntah/batuk akan membutuhkan
tidur jika dapat ditoleransi pasien; bantuan untuk mencegah
gunakan tambahan/beri jalan nafas aspirasi/mempertahankan jalan
buatan jika ada indikasi. nafas
b. Lakukan penghisapan bila perlu. b. Jika batuk tidak efektif,
Catat jumlah, jenis, dan penghisapan dibutuhkan untuk
karakteristik sekresi mengeluarkan sekret,
c. Kaji fungsi pernafasan dengan meningkatkan distribusi udara, dan
menginstruksikan pasien untuk mengurangi resiko infeksi
melakukan nafas dalam. Catat pernafasan.
adanya/tidak ada pernafasan c. Trauma pada C1-C2 menyebabkan
spontan, contoh pernafasan hilangnya fungsi pernafasan secara
labored, menggunakan otot menyeluruh. Trauma C4-5
aksesori. mengakibatkan hilangnya fungsi
35

d. Auskultasi suara nafas. Catat pernafasan yang bervariasi


bagian-bagian paru yang bunyinya tergantung pada terkenanya saraf
menurun atau tidak ada atau frenikus dan fungsi diafragma
adanya suara nafas adventisius tetapi biasanya menurunkan
(ronki, mengi, krekels). kapasitas vital dan selalu
e. Catat kemampuan (kekuatan) dan/ melakukan upaya ekstra untuk
atau keefektifan dari fungsi batuk. bernafas.
f. Bantu pasien untuk batuk (jika d. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
diperlukan) dengan meletakkan menyebabkan
tangan dibawah diafragma dan akumulasi/atelektasis atau
mendorong keatas sewaktu pasien pneumonia (komplikasi yang
melakukan ekspirasi. sering terjadi).
g. Observasi warna kulit; adanya e. Letak trauma menentukan fungsi
sianosis, keabu-abuan. otot-otot interkostal, atau
h. Kaji adanya distensi abdomen dan kemampuan untuk batuk
spasme otot. spontan/mengeluarkan sekret.
i. Ubah posisi/balik secara teratur, f. “Quad coughing” dilakukan untuk
hindari/batasi posisi teluyngkup menambah volume batuk atau
jika diperlukan. untuk memfasilitasi pengenceran
j. Anjurkan pasien untuk minum sekret agar sekret tersebut mengalir
(minimal 2000ml/hari). keatas sehingga mudah dihisap.
k. Pantau/batasi pengunjung jika g. Menggambarkan akan terjadinya
diperlukan. gagal nafas yang memerlukan
l. Analisa gas darah arteri dan/atau evaluasi dan intervensi medis
nadi oksimetri. dengan segera.
m. Berikan oksigen dengan cara yang h. Perasaan penuh pada abdomen
tepat seperti dengan kanul dapat menggambarkan adanya
oksigeb, masker, intubasi, dan kelainan pada diafragma,
sebagainya. penurunan ekspansi paru, dan
n. Bantu dengan fisioterapi dada penurunan ekspansi paru lebih
(seperti perkusi dada) dan lanjut.
gunakan alat-alat bantu pernafasan i. Meningkatkan ventilasi semua
(seperti spirometri, botol tiup, dan bagian paru, mobilisasi sekret,
sebagainya). mengurangi resiko komplikasi,
contoh atelektasis dan pneumonia.
j. Membantu mengencerkans sekret,
meningkatkan mobilisasi
sekret/sebagai ekspektoran.
k. Kelemahan secara umum dan
gangguan pernafasan membuat
resiko tinggi bagi pasien
mendapatkan infeksi saluran
pernafasan atas.
l. Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigenasi. Mengidentifikasi
masalah pernafasan, contoh:
36

hiperventilasi (PaO2
rendah/PaCO2 meningkat).
m. Metode yang akan dipilih
tergantung dari lokasi trauma,
keadaan insufisiensi pernafasan,
dan banyaknya fungsi otot
pernafasan yang sembuh setelah
fase syok spinal.
n. Mencegah sekret tertahan dan perlu
untuk memaksimalkan disfusi
udara dan mengurangi resiko
terjadinya pneumonia.

6. Eliminasi Urinarius: Perubahan Pola

Kriteria Hasil:
- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi
- Mempertahankan keseimbangan masukan/haluaran dengan urine
jernih, bebas bau
- Mengungkapkan/mendemonstrasikan perilaku dan teknik untuk
mencegah retensi/infeksi urinarius.

Intervensi Rasional
a. Kaji pola berkemih, seperti a. Mengidentifikasi fungsi kandung
frekuensi dan jumlahnya. kemih (mis; pengosongan
Bandingkan haluaran urine dan kandung kemih, fungsi ginjal
masukan cairan. dan keseimbangan cairan.
b. Palpasi adanya distensi kandung b. Disfungsi kandung kemih
kemih dan observasi bervariasi, ketidakmampuan
pengeluaran urine. berhubungan dengan hilangnya
c. Anjurkan pasien untuk kontraksi kandung kemih untuk
minum/masukan cairan (2-4 merilekskan sfingter urinarius
l/hari) (retensi/refluks).
d. Mulailah latihan kandung kemih c. Membantu mempertahankan
jika diperlukan, contoh dengan fungsi ginjal, mencegah infeksi
pemberian cairan diantara dan pembentukan batu. Catatan:
beberapa jam, lakukan stimulasi cairan dibatasi hanya untuk
digital pada bagian tubuh yang beberapa saat selama fase awal
sensitif, kontraksi otot abdomen, kateterisasi intermitten.
manuver Crede. d. Waktu dan jenis latihan kandung
e. Observasi adanya urine seperti kemih tergantung pada tipe
awan atau berdarah, bau yangg trauma (UMN atau LMN).
tidak enak. Catatan: manuver crede harus
f. Bersihkan daerah perineum dan digunakan dengan hati-hati
37

jaga agar tetap kering, lakukan karena dapat menyebabkan


perawatan kateter jika perlu. disrefleksia autonomik.
g. Jangan biarkan kandung kemih e. Tanda-tanda infeksi saluran
penuh. Jika awalnya memakai perkemihan atau ginjal dapat
kateter mulai melakukan menyebabkan sepsis.
program kateterisasi secara f. Menurunkan resiko terjadinya
intermitten jika diperlukan. iritasi kulit/kerusakan kulit atau
(kolaborasi) infeksi keatas menuju ginjal.
h. Pantau BUN, Kreatinin, SDP g. Kateter folley digunakan selama
i. Berikan pengobatan sesuai fase akut untuk mencegah retensi
indikasi, seperti vitamin dan atau urine dan untuk memantau
antiseptik urinarius, contohnya haluaran. Kateter intermitten
methenamin mendelate digunakan untuk mengurangi
(Mandelamine) komplikasi yang biasanya
berhubungan dengan
penggunaan kateter yang lama,
kateter suprapubik dapat
digunakan untuk jangka waktu
yang lama
h. Menggambarkan fungsi ginjal,
dan mengidentifikasi komplikasi
i. Mempertahankan lingkungan
asam dan menghambat
pertumbuhan bakteri (kuman).
BAB III

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini penulis akan menguraikan pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada
Tn.J yang mengalami Spinal Cord Injury (CHF) di gedung Teratai Lantai 6
Selatan RSUP Fatmawati. Asuhan keperawatan dilakukan selama 3 hari, mulai
tanggal 9-11 april 2019, yang disusun berdasarkan tahapan proses keperawatan
meliputi: pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan
keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.

a. Pengkajian (Assessment)
1). Proses Asuhan Keperawatan dimulai dari pengkajian yang
dilakukan pada tanggal 8 April 2019. Ditahap pengkajian, penulis
mengumpulkan data melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, hasil
pemeriksaan penunjang, dan dari rekam medis klien. Klien berinisial
Tn. J, laki-laki usia 52 tahun, beragama Islam, masuk RSUP
Fatmawati tanggal 6 April 2019 pukul 11.31 WIB dengan diagnosa
medis utama Spinal Cord Injury. Pada tanggal 22 maret 2019 klien
mengalami kecelakaan lalu lintas dengan menabrak angkutan umum
yang berhenti mendadak di depannya, pasien lalu dirujuk ke RS
POLRI dan di rawat selama 6 hari pasien dilakukan pemasangan neck
collar dan dilakukan pemeriksaan CT scan dan Rontgen Thorak,
seminggu kemudian pasien datang ke poli syaraf RS.Fatmawati untuk
kontrol karena pasien mengatakan obatnya sudah habis dan badannya
terasa nyeri. Namun, pihak poli syaraf merujuk Tn.J untuk
mendapatkan perawatan di ruang teratai Lantai 6 Selatan No. 226
untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Pasien mengatakan obat
yang diberikan dari RS POLRI sudah habis dan pasien tidak mengingat
nama obat-obat yang diberikan.

38
39

Keluhan utama pasien saat ini klien mengatakan nyeri disertai


kesemutan mulai dari area puting susu sampai dengan ujung jari kaki,
nyeri juga dirasakan di jari-jari tangan. Pasien terkadang merasakan
sensasi mati rasa mulai dari pinggang hingga ke ujung jari kaki. Klien
mengatakan badan terasa lemas dan panas di area punggung. Klien
mengatakan tidak ada riwayat penyakit apapun seperti Diabetes,
Hipertensi, asam urat , dll.

Keadaan umum pasien nampak lemas dengan kesadaran compos


mentis, kesadaran umum klien sedang , pasien terpasang neck collar
dan sekarang mengalami immobilisasi, pasien tidak mengalami sesak,
tidak ada retraksi pada dinding dada, dan tidak ada batuk. pasien
terpasang infus NaCl 0,9% di tangan sebelah kiri, terpasang kateter
urin produksi urin berwarna kuning, pasien mengalami penurunan
kekuatan otot, kekuatan motorik:
3333 3333
4444 4444

Pemeriksaan fisik umum klien didapatkan tanda-tanda vital yaitu: TD:


100/70 mmHg, N: 84x/mnt dengan irama reguler dan teraba lemah,
RR: 22x/mnt dengan kedalaman dangkal, S: 36,70C , konjungtiva
pasien berwarna merah muda, kornea mata yang berwarna keruh,
turgor kulit di ekstremitas bawah tidak elastis, akral teraba hangat,
tidak ada edema di kedua ekstremitas, Capillary refill time: 2 detik, di
jari tangan, tidak ada sianosis, bising usus 7x/mnt suara (menurun),
klien mengalami kesulitan dalam pergerakan karena terpasang neck
collar, abdomen teraba kembung, klien terdapat luka dekubitus grade II
di bagian punggung, tidak ada bunyi suara jantung tambahan, suara
nafas vesikuler di semua lapang paru.
40

Gambaran Sistem saraf pusat yaitu klien terkadang mengeluh sakit


kepala, tingkat kesadaran klien compos mentis, nilai GCS : 15, tidak
ada tanda-tanda peningkatan TIK, klien sering mengalami kesemutan
mulai dari area putting susu hingga ke ujung jari kaki, terkadang klien
merasakan sensasi mati rasa mulai dari pinggang hingga ke ujung jari
kaki. Klien merasa nyeri di jari-jari tangan dan kadang nyeri menyebar
hingga ke pergelangan tangan skala nyeri: 3 , refleks patologis yang
didapatkan yaitu: 1. Kaku kuduk : klien terpasang neck collar , 2.
Tanda laseque : (-), 3. Babinski : (-) , 4. Tanda kernig: (-). Reflek
menelan baik, klien tidak dapat buang air besar selama 3 hari, klien
tidak mengalami gangguan pada sistem penglihatan, pendengaran,
penciuman, dan pengecap, mengalami penurunan kekuatan otot di
ekstremitas atas dan bawah,

Pada sistem integemun klien, diperoleh suhu 36,70C, klien terdapat


luka dekubitus grade II yang ditandai dengan adanya luka kemerahan
dan seperti melepuh. klien terpasang IVFD di tangan sebelah kiri, tidak
ada tanda-tanda flebitis di area yang terpasang infus. Klien mendapat
terapi cairan NaCl 0,9%/12 jam. Berdasarkan skor morse klien Tn. J
beresiko tinggi jatuh dimana skor yang didapatkan berjumlah 65
(resiko tinggi). klien mengalami riwayat jatuh dalam waktu 3 bulan
sebab apapun (25),klien memiliki penyakit penyerta atau diagnosa
sekunder (0), alat bantu berjalan (0), klien terpasang infuse/pemberian
anticoagulant (heparin). Obat lain yang mempunyai efek jatuh (20),
kondisi untuk melakukan gerakan berpindah/mobilisasi: ada
keterbatasan jalan (20), kondisi status mental: menyadari
kelemahannya (0).

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 06 April 2019, dengan


hasil Hemoglobin 12,2 g/dl, Hematokrit 36 %, leukosit 14,1 ribu/ul,
41

Trombosit 278 ribu/ul, Eritrosit 4,22 juta/ul, VER 85,0 Fi, HER 39,0
Pg, KHER 34,1 g/dl, RDW 13,3 %, APTT 34,1 detik, PT 13,8 detik,
Kontrol PT 13,6 detik, INR 1,02, SGOT 22 u/l, SGPT 30 u/l, Albumin
3,30 g/dl. Dilakukan pemeriksaan diagnostik yaitu: CT-Scan servical
dengan kesan: spondilosis cervicalis VC5-6 , CT-Scan dengan kesan:
gambaran spondyloarthrosis dan spondylo vaco servivalis setinggi VC
4,5,6 kanan-kaki. dan pemeriksaan MRI dengan hasil: Retrolisthesis
minimal C4-5 dan C5-6 grade 1, Bulging asimetris discus invertebralis
C3-4, C7-Th.1, Protusio sentral discus invertebralis C6-7.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian kepada Tn. J yang dilakukan pada
tanggal 08 april 2019, penulis merumuskan 4 diagnosa keperawatan
utama dari 7 diagnosa yang ditemukan, yaitu:
Diagnosa pertama: nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisik: trauma servikalis : Diagnosa tersebut didukung Data Subjektif:
Klien mengatakan merasa nyeri di daerah pinggang saat bergerak,
merasa kesemutan mulai dari area putting susu sampai ke jari-jari
kaki, dan merasa nyeri di jari-jari tangan, klien juga mengeluh sulit
tidur di malam hari. Data Objektif: Kesadaran Compos Mentis,
keadaan umum: sakit sedang tanda-tanda vital: TD: 110/70 mmHg, N:
84x/mnt, RR: 22x/mnt, S: 36,70C, klien tampak mengernyitkan dahi
pada saat melakukan pergerakan, frekuensi nadi meningkat setelah
melakukan aktivitas. Sebelumnya 84x/mnt menjadi 87x/mnt, skala
nyeri 3, nyeri seperti terasa ditekan, nyeri hilang timbul, biasanya 15-
20 menit, Hasil CT-scan : gambaran spondyloarthrosis dan spondylo
unco cervivalis setinggi 4,5,6 kanan-kiri, hasil CT-scan Servical
didapatkan gambaran: spondilosis cervicalis VC 5-6, klien mendapat
terapi obat: 1. Paracetamol 500 mg, Gabapentin 300 mg, Amitriptilin
25 mg.
42

Diagnosa kedua yaitu Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan


gangguan neuromuskuler. Diagnosa tersebut didukung Data Subjektif:
klien mengatakan sulit menggerakan badan, dan nyeri pada saat
melakukan pergerakan, klien mengalami kebas dan kesemutan mulai
dari area putting susu sampai ke ujung jari kaki. Data Objektif: klien
mengalami penurunan kekuatan otot di bagian ekstremitas atas dan
bawah, setelah menggerakan tangan, klien merasa nyeri. Hasil CT-
sacn didapatkan kesan: Gambaran spondyloarthrosis dan pondylo
vaco servivalis VC 4,5,6 kanan-kaki, Hasil MRI didapatkan Kesan:
Retrolisthesis minimal C4-5 dan C5-6 grade 1, bulging asimetris
discus invertebralis C3-4, C7-Th.1, protusio sentral discus
invertebralis C6-7.

Diagnosa ketiga yaitu Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan


penurunan mobilitas Diagnosa tersebut didukung Data Subjektif:
Tidak ada. Data Objektif: klien mengalami luka dekubitus grade 2
ditandai luka seperti melepuh dan berwarna kemerahan, klien
mendapat perawatan pergantian verban setiap 1x/2 hari, klien
mengalami kecelakaan 2 minggu lalu, terpasang neck collar,
mengalami kesemutan pada area puting susu sampai jari-jari kaki, dan
mengalami penurunan kekuatan otot di ekstremitas atas dan bawah.

Diagnosa Keempat yaitu Konstipasi berhubungan dengan Diagnosa


tersebut didukung Data Subjektif: klien mengatakan belum bisa BAB
selama 3 hari, klien mengatakan perut terasa penuh dan kembung,
klien makan habis ½ porsi, minum dalam sehari sebanyak 1200 ml.
Data Objektif : Bising usus klien 7x/mnt (menurun), klien mengalami
immobilisasi karena mengalami kecelakaan 2 minggu lalu klien
sekarang terpasang neck collar dan mengalami penurunan kekuatan
otot:
43

3333 3333

4444 4444

C. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan perumusan prioritas diagnosa keperawatan yang telah
dilakukan pada tanggal 9 April 2019 penulis kemudian menyusun
rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut, antara lain:

Diagnosa perama: nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera


fisik (trauma servikalis). Tujuan setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri yang dialami klien
dapat berkurang dengan kriteria hasil: Klien melaporkan penurunan
rasa nyeri/ketidaknyamanan, mengidentifikasi cara-cara untuk
mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan
relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai kebutuhan individu, klien tidak
mengalami kesulitan tidur. Intervensi mandiri: .Kaji terhadap adanya
nyeri, Bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya:
lokasi, tipe nyeri, intensitas, dan skala nyeri dari 0-10, memberikan
edukasi kepada klien dan keluarga klien tentang manajemen nyeri
seperti teknik relaksasi nafas dalam dan teknik pengalihan perhatian
seperti dengan mengobrol dan mendengarkan aktivitas. Intervensi
Kolaborasi: pemberian terapi obat paracetamol 3x500 mg, gabapentin
3x 300 mg, dan amitriptiline 3x25 mg.

Diagnosa kedua : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan


gangguan neuromuskuler. Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, masalah keperawatan gangguan
mobilitas fisik dapat berkurang.
44

Kriteria Hasil: Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tidak


adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagia tubuh
yang sakit/kompensasi, mendemonstrasikan teknik/perilaku yang
memungkinkan melakukan kembali aktivitas. Intervensi mandiri: Kaji
secara teratur fungsi motorik (jika timbul suatu keadaan syok
spinal/edema yang berubah) dengan menginstruksikan pasien untuk
melakukan gerakan seperti ,meregangkan jari-jari, menggenggam
tangan atau melepaskan genggaman. Intervensi kolaborasi: tindakan
kolaboratif dengan dokter tentang pemberian farmakologi serta
tindakan kolaboratif dengan fisioterapis tentang pemberian latihan
fisik yang sesuai dengan kondisi pasien.

Diagnosa medis ketiga: gangguan integritas kulit berhubungan dengan


gangguan mobilitas. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit klien tidak
bertambah luas dan parah dengan kriteria hasil: klien dapat
mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan tindakan,
Berpartisipasi pada tingkat kemampuan untuk mencegah kerusakan
kulit, luka dekubitus tidak semakin meluas, klien tidak mengeluh
merasa panas di bagian punggung.

Diagnosa medis keempat: Diagnosa kedua :Konstipasi berhubungan


dengan immobilisasi. Tujuan: setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah konstipasi dapat
teratasi dengan kriteria hasil: mengungkapkan perilaku/teknik untuk
program usus individual, menciptakan kembali kepuasan pola
eliminasi usus, bising usus 8x/mnt, klien dapat BAB 1x/hari, abdomen
teraba lunak.Intervensi mandiri: auskultasi bising usus , catat lokasi
dan karakteristiknya, catat adanya keluhan mual dan muntah, berikan
edukasi tentang asupan makanan tinggi serat untuk memperlancar
45

pengeluaran feses.Kolaborasi: pemberian makanan tinggi serat seperti


sayur dan buah-buahan serta pemberian obat laksatif.

D. Implementasi Keperawatan
Setelah menyusun rencana tindakan penulisan lalu
mengimplementasikannya mulai tanggal 9 sampai 11 april 2019. Pada
tanggal 9 April 2019 dinas pagi implementasi yang telah dilakukan
oleh penulis adalah:

Implementasi diagnosa pertama Nyeri akut berhubungan dengan agen


pencedera fisik (trauma servikalis), yaitu: memonitor tanda-tanda vital
(TD, HR, RR, S) skala nyeri secara berkala, memberikan edukasi
kepada klien tentang manajemen nyeri yang baik seperti pengalihan
nyeri dan teknik relaksasi nafas dalam, memberikan terapi obat
Paracetamol KAPL 3x 500 mg, Gabapentin tab 3x300 mg,
amitriptiline tab 3x25 mg, mengkaji lokasi nyeri, frekuensi, dan
karakteristik nyeri.

Pada diagnosa kedua yaitu Gangguan mobilitas fisik, implementasi


yang telah dilakukan adalah mengkaji kekuatan otot klien, kondisi
kulit di bagian ekstremitas, mengkaji adanya atropi atau kontraktur
pada otot, membantu klien melakukan aktivitas yang sesuai dengan
kondisi klien yaitu melakukan fleksi dan ekstensi di masing- masing
ekstremitas atas dan bawah sebanyak 15 kali setiap hari selama 15
menit. Klien mandapat terapi obat Mecobalamin 500 mg/IV.

Diagnosa Ketiga yaitu gangguan integritas kulit, implementasi yang


telah dilakukan adalah mengkaji kondisi kulit klien, mengkaji keluhan
klien, melakukan pergantian verban setiap dua hari sekali, melatih
klien untuk melakukan aktivitas miring kanan, miring kiri, dan
terlentang, memberikan massase pada bagian punggung belakang
46

pasien dan memberikan minyak pada punggung belakang klien,


mengganti linen klien jika terlihat kotor dan terlipat, memberikan
terapi obat mecobalamin 500 mg/IV.

Diagnosa keempat yaitu konstipasi berhubungan dengan immobilisasi


dan gangguan neuromuskuler, implementasi yang telah dilakukan
ialah mengkaji auskultasi bising usus, melakukan palpasi abdomen,
mengkaji pola makan, pola minum,memberikan edukasi kepada
pasien dan keluarga pasien tentang diet tinggi serat bagi pasien yang
mengalami sulit buang air besar, memberikan anjuran kepada klien
uuntuk banyak mengkonsumsi air putih.

E. Evaluasi Keperawatan
Setelah mengimplementasikan rencana tindakan penulis melakukan
evaluasi, untuk evaluasi terakhir dilakukan pada tanggal 11 april 2019,
sebagai berikut:

Evaluasi akhir diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen


pencedera fisik (trauma servikalis). Data subjektif: klien mengatakan
nyeri masih hilang timbul, nyeri disertai kesemutan, klien masih
mengatakan sulit tidur, nyeri masih dirasakan di jari-jari tangan, nyeri
seperti ditekan, terkadang nyeri menjalar ke pergelangan tangan, klien
juga mengatakan nyeri mulai dari area puting susu hingga ke ujung
jari kaki disertai kesemutan. Data objektif: skala nyeri klien 3, tanda
tanda vital: TD: 100/70 mmHg, N: 84x/mnt, RR: 22x/mnt, S: 36,70C,
klien terlihat kesakitan bila diberikan instruksi untuk menggerakan
jari-jari tangan.Analisa: masalah keperawatan nyeri belum teratasi.
Planning: monitor tanda-tanda vital klien, kaji skala nyeri klien,
kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat, evaluasi
manajemen nyeri klien.
47

Evaluasi akhir diagnosa kedua yaitu gangguan mobilitas fisik


berhubungan dengan gangguan neuromuskuler. Data subjektif: klien
masih mengatakan sulit untuk melakukan pergerakan, masih sakit jika
melakukan gerakan dan terkadang masih suka merasa nyeri dan
kesemutan di area ekstremitas bawah.Data Objektif: pergerakan klien
masih terlihat lemah, jari-jari tangan klien masih sulit untuk
menggenggam maupun melepas genggaman, turgor kulit di area
ekstremitas atas juga kurang elastis. Kekuatan otot:

4444 4444

3333 3333

Analisa: masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi, planning:


lakukan aktivitas sesuai jadwal, kolaborasi pemberian obat, kolaborasi
dengan fisioterapis tentang aktivitas yang sesuai dengan kondisi klien,
mobitor tanda-tanda vital klien.

Evaluasi akhir diagnosa ketiga yaitu Gangguan integritas kulit


berhubungan dengan gangguan mobilitas. Data subjektif: klien
mengatakan terkadang punggungnya terasa panas, dan pinggang terasa
pegal. Data objektif: klien terdapat luka dekubitus grade 1 yang
ditandai dengan luka kemerahan dan seperti melepuh, klien
merupakan pasien yang mengalami imobilisasi pasca kecelakaan 2
minggu lalu. Klien terpasang neck collar. Analisa: masalah gangguan
integritas kulit belum teratasi. Planning: kaji kondisi kulit klien, jaga
linen tetap bersih dan tidak terlipat, massase daerah punggung klien,
kolaborasi pemberian obat, dan ganti verban 1x/2 hari

Evaluasi terakhir diagnosa keempat yaitu konstipasi berhubungan


dengan immobilisasi dan gangguan neuromuskuler. Data Subjektif:
klien mengatakan masih belum bisa BAB, klien mengatakan makan
selalu habis ½ porsi, makan selingan selalu habis, dan minum air putih
1200 ml/hari. Data Objektif: bising usus klien 7x/mnt (menurun),
48

BAB klien terlihat coklat dengan konsistensi lunak dan cair. Analisa:
masalah keperawatan belum teratasi. Planning: kaji pola makan klien,
anjurkan klien minum 2000 ml/hari, latih pola defekasi mandiri setiap
hari.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan bahasan mengenai “Asuhan Keperawatan
pada Tn. J yang Mengalami Spinal Cord Injury di IRNA Teratai Lantai 6 Selatan
RSUP Fatmawati”, yang telah dilaksanakan selama 3 hari pada tanggal 9 April
2019 - 11 April 2019. Pembahasan ini bertujuan untuk menganalisa kesenjangan
antara teori dengan kasus. Uraian pembahasan berikut disesuaikan berdasarkan
tahapan proses keperawatan yang meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.

a. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dalam proses keperawatan. Pengkajian
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dan
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien. Tujuan untuk mengumpulkan informasi adalah membuat
data dasar sebagai dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan individu (Wong, dkk, 2009). Pengkajian terdiri
dari pengumpulan data subjektif dan objektif, sumber data didapatkan dari
klien, keluarga dan orang terdekat, anggota tim perawatan kesehatan,
catatan medis, dll (Potter dan Perry, 2009).

Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan pada tanggal 9 Maret 2019


didapatkan data Tn. J berusia 50 tahun lahir pada tanggal 06 september
1969 masuk ke IRNA teratai Lantai 6 selatan RSUP fatmawati hari ke- 3
karena mengalami spinal cord injury klien mengalami paraprase dan
kelemahan di ekstremitas atas dan bawah. Menurut terori Campbell (2004)
tanda dan gejala yang sering dialami oleh pasien dengan cedera medula
spinalis diantaranya sebagai berikut: Kelemahan otot, Adanya deformitas

49
50

tulang belakang, Adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak,


Terjadinya perubahan bentuk tulang belakang servikal akibat cedera,
Kehilangan kontrol akibat eliminasi urin dari feses, Terjadinya gangguan
pada ereksi penis (priapism) analisa: berdasarkan teori campbell dengan
kondisi pasien terdapat kesinambungan yaitu pasien mengalami kelemahan
otot di ekstremitas atas dan bawah, klien mengalami nyeri ketika tulang
belakang bergerak, serta mengalami perubahan bentuk tulang belakang
servikal karena cedera berdasarkan hasil MRI didapatkan kesan
Retrolisthesis minimal C4-5 dan C5-6 grade 1, Bulging asimetris discus
invertebralis C3-4, C7-Th-1, Protusio sentral discus invertebralis C6-7.

Menurut Tarwoto (2013) tanda dan gejala yang timbul pada pasien dengan
cedera medula spinalis yaitu: Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan,
dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan volunter,
hilangnya sensasi nyeri, temperatur, tekanan dan propriosepsi, hilangnya
fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan refleks
autonom, perubahan refleks, setelah cedera medula spinalis sehingga
stimulus refleks juga terganggu misalnya refleks pada bladder, aktivitas
viseral, refleks ejakulasi, Spasme otot gangguan spasme otot terutama
terjadi pada trauma komplit transversal, dimana pasien terjadi
ketidakmampuan melakukan pergerakan, Spinal shock tanda dan gejala
spinal shock meliputi flacid paralisis. Analisa: Tn. J mengalami trauma
medula spinalis inkomplit, jadi tanda dan gejala yang timbul pada klien
yaitu gangguan eliminasi bowel dimana klien mengalami konstipasi
karena retensi feses dan harus dilakukan rangsangan dengan melakukan
teknik memasukan jari ke dalam anus atau istilah colok dubur. Jadi pasien
masih dapat melakukan pergerakan namun masih lemah dan pasien tidak
mengalami spasme otot, karena spasme otot hanya terjadi pada pasien
dengan cedera medula spinalis komplit. Menurut World Health
Organization berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering
muncul ialah: a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang
51

syaraf yang terkena b. paraplegia c. paralisis sensorik motorik total d.


kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi kandung kemih)
(Chin, 2016) analisa: pada Tn. J tidak terjadi paraplegia dan paralisis
sensorik motorik total, klien mengalami paraprase jadi klien masih dapat
melakukan pergerakan meskipun lemah. Namun klien menunjukan
keluhan nyeri yang dirasakan di belakang leher, dan jari-jari tangannya.

Menurut middendorp et all, 2011, Tingkat dan keparahan dari SCI (Spinal
Cord Injury) dapat ditentukan berdasarkan skala yang paling umum
digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan cedera yaitu Asia
Impairment Scale . tentukan tingkat sensorik dan motorik untuk sisi kanan
dan kiri tentukan tingkat neurologis cedera dan tentukan apakah cedera
tersebut lengkap atau tidak lengkap analisa: berdasarkan teori middendorp
dapat diklasifikasikan bahwa Tn. J berada pada skala D yaitu fungsi
motorik terganggu di bawah level, kekuatan otot-otot motorik utama> 3
karena kekuatan otot klien = 4, jadi termasuk dalam klasifikasi inkomplit.

Menurut Chin (2016) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:


Radiografi polos- radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan
akhir gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi harus memadai
menggambarkan semua vertebra, Computed Tomography (CT) scanning-
dicadangkan untuk menggambarkan kelainan tulang atau fraktur; dapat
digunakan ketika radiografi polos tidak memadai atau gagal untuk
memvisualisasikan segmen kerangka aksial, Magnetic Resonance Imaging
(MRI) – digunakan untuk mencurigai lesi medula spinalis, cedera ligamen,
dan cedera jaringan lunak lain atau patologi , dengan pemeriksaan
laboratorium darah perifer lengkap, gula darah sewaktu, ureum, dan
kreatinin. Analisa: terdapat kesinambungan antara teori (Chin, 2016)
dengan pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh Tn. J yaitu
dilakukannya CT scan dan didapatkan kesan: spondyloarthrosis dan
spondylo vaco servivalis VC 4,5,6 kanan- kaki, dilakukan pemeriksaan
52

MRI pula dengan kesan: Retrolisthesis minimal C4-5 dan C5-6 grade 1,
Bulging asimetris discus invertebralis C3-4, C7-Th-1, serta Protusio
sentral discus invertebralis C6-7. Dan terakhir dilakukan pemeriksaan
laboratorium hemoglobin: 12,2 g/dl, Hematokrit: 36%, leukosit: 14,1
ribu/ul, Trombosit: 278 ribu/ul, eritrosit: 4,22 juta/ul. Ureum darah: 32
mg/dl, kreatinin: 0,5 mg/dl, dan gula darah sewaktu: 55 mg/dl dan semua
hasil tersebut masih dalam batas normal. Menurut Baharudin (2016:448-
449) terapi farmakologi yang dapat diberikan yaitu: a. berikan
metilprednisolon 30 mg/kg BB, IV perlahan-lahan sampai 15 menit, 45
menit kemudian per infuse 5 mg/Kg BB selama 24 jam kortikosteroid
mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam arakidonat b.
bila terjadi spasitas otot, berikan: diazepam 3x 5-10 mg/ hari dan bakloven
3x5 mg atau 3x 20 mg/hari c. Bila ada nyeri dapat diberikan antara lain:
Analgetika, Antidepresan: amitriptilin 3x10 mg/ hari, Antikolvusan:
gabapentin 3x300 mg/ hari d. bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf
otonom (tensi> 180/100 mmHg) pertimbangkan pemberian obat anti
hipertensi ( Bahrudin, 2016). Analisa: berdasarkan teori (Baharudin,2016)
terdapat kesinambungan antara teori tersebut dengan terapi obat yang
didapatkan Tn. J yaitu klien mendapat obat untuk nyeri berupa obat
racikan yang berupa: amitriptiline 2 x 25 mg, Gabapentin 2x300 mg, serta
paracetamol 2x500 mg maka antara teori baharudin dengan kondisi klien
terdapat kesinambungan.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh perawat
profesional yang memberikan gambaran tentang masalah atau stautus
kesehatan klien baik aktual, potensial, yang ditetapkan berdasarkan
analisis dan interpretasi data hasil pengkajian (Asmadi, 2014). Diagnosis
keperawatan terdiri atas tiga komponen yaitu masalah, etiologi, dan tanda
gejala (Wong, dkk, 2009).
53

Diagnosa pada Tn. J diangkat sessuai data yang ada pada pasien. Mengacu
kepada SDKI (2016) , panulis mengangkat 4 diagnosa, antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma
servikalis)
Menurut SDKI (2016) nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau
emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Pengambilan
diagnosa ini didukung adanya data yang ditemukan pada klien berupa
Data subjektif: klien mengatakan merasa nyeri disertai kesemutan mulai
dari putting susu hingga ke jari-jari kaki, nyeri juga dirasakan di jari-jari
tangan hingga ke pergelangan tangan Data Objektif: skala nyeri:3, klien
terlihat mengernyitkan dahi pada saat melakukan pergerakan, frekuensi
nadi klien meningkat setelah melakukan aktivitas, sebelum melakukan
aktivitas yaitu 84x/mnt setelah melakukan aktivitas menjadi 87x/mnt,
klien juga mendapat obat antidepresan berupa amitriptilin 25 mg dan obat
antikonvulsan gabapentin 300 mg. Analisa: saat mengalami
degenerasi,diskus mulai menipis karena kemampuannya menyerap air
berkurang sehingga terjadi penurunan kandungan air dan matriks dalam
diskus menurun. Degenerasi yang terjadi pada diskus menyebabkan
fungsi diskus sebagai shock absorber menghilang, kemudian akan timbul
osteofit yang menyebabkan penekanan pada radiks, medulla spinalis dan
ligamen yang pada akhirnya timbul nyeri dan penurunan mobilitas/
jaringan terhadap suatu regangan yang diterima menurun sehingga
tekanan selanjutnya akan diterima oleh facet joint. hal ini akan
menyebabkan terjadinya kompresi/penekanan pada isi foramen
invertevral ketika gerakan ekstensi sehingga timbul nyeri yang pada
akhirnya akan menyebabkan penurunan mobilitas/toleransi jaringan
terhadap suatu regangan yang diterima menurun (Irfan,2012). Klien
sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas 2 minngu lalu. Penulis
54

mengangkat diagnosa nyeri akut sebagai diagnosa yang utama karena


nyeri merupakan keluhan yang selalu dirasakan oleh klien dan menjadi
hal pertama yang selalu dikatakan klien sehingga nyeri yang dirasakan
mengganggu mobilisasi klien, tindakan kolaborasi dengan pemberian obat
pun sebagian besar digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yaitu
pemberian anti depresan dan antikonvulsan. Diagnosa yang terdapat pada
Tn. J berkesinambungan dengan diagnosa yang terdapat pada SDKI 2016.

2. Gangguan Mobilitas berhubungan dengan gangguan neuromuskuler


Menurut SDKI (2016) gangguan mobilitas fisik merupakan keterbatasan
dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.
Pengambilan diagnosa ini sesuai dengan data yang ada pada klien. Data
subjektif: klien mengeluh sulit menggerakan jari-jari tangannya dan
mengatakan nyeri saat melakukan genggaman atau melepaskan
genggaman pada jari tangannya, klien juga mengeluh nyeri pada saat
menggerakan badannya. Data Objektif: pergerakan klien terlihat lemah
dan kaku, turgor kulit di ekstremitas tidak elastis, kekuatan otot menurun,
berdasarkan hasil CT scan didapatkan kesan: gambaran spondyloartrosis
dan spondylovaco servivalis VC 4,5,6 kanan-kaki. Serta hasil MRI:
Retrolisthesis minimal C4-5 dan C5-6 grade 1, Bulging asimetris discus
invertebralis C3-4, C7-Th-1, serta Protusio sentral discus invertebralis
C6-7. Degenerasi yang terjadi pada diskus menyebabkan fungsi diskus
sebagai shock absorber menghilang, kemudian akan timbul osteofit yang
menyebabkan penekanan pada radiks, medulla spinalis dan ligamen yang
pada akhirnya timbul nyeri dan penurunan mobilitas/ jaringan terhadap
suatu regangan yang diterima menurun (Irfan, 2012). Penulis mengangkat
diagnosa gangguan mobilitas fisik sebagai diagnosa kedua karena nyeri
yang dialami klien mengganggu proses mobilitas klien, klien merasa nyeri
ketika menggerakan badannya sehingga klien butuh bantuan dalam
melaksanakan aktivitasnya. Terdapat kesinambungan antara diagnosa
55

yang terdapat pada SDKI (2016) dengan data-data yang terdapat pada
Tn.J

3. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan penurunan


mobilitas
Menurut SDKI (2016) gangguan integritas kulit/jaringan merupakan
kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran
mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi
dan/atau ligamen). Pengambilan diagnosa ini sesuai dengan gejala yang
ada pada pasien meliputi Data subjektif: tidak ada data objektif: klien
terdapat luka dekubitus grade 1 dimana luka tersebut berwarna kemerahan
dan melepuh. Berdasarkan data tersebut maka penulis mengangkat
gangguan Integritas kulit menjadi diagnosa ketiga karena memiliki
kesinambungan dengan diagnosa kedua. Analisa: menurut National
Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014 dekubitus grade II
ditunjukan dengan hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis dan
dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna
dasar luka merah-pink , abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang
dangkal. Derajat I dan II bersifat refersibel. Ketika pasien mengalami
imobilisasi atau tirah baring yang lama akan membuat sirkulasi di area
yang tertekan menjadi tidak lancar , tulang belakang yang menonjol
mengalami gesekan dengan linen yang terlipat sehingga mengakibatkan
luka dan iritasi jika tidak dilakukan aktivitas miring kanan atau miring
kiri, sehingga perlu dilakukan intervensi lebih lanjut. Berdasarkan data
tersebut maka penulis mengangkat gangguan Integritas kulit menjadi
diagnosa ketiga karena memiliki kesinambungan dengan diagnosa kedua
yaitu gangguan mobilitas, karena perlu dikaji secara berkala, dan
dilakukan intervensi lainnya sehubungan dengan kondisi klien yang masih
harus immobilisasi. Penulis menemukan kesamaan data-data pada klien
dengan diagnosa yang terdapat pada SDKI (2016).
4. Konstipasi berhubungan dengan immobilisasi
56

Menurut SDKI (2016) Konstipasi adalah penurunan defekasi normal yang


disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering dan
banyak. Pengambilan diagnosa ini sesuai dengan data yang terdapat pada
klien meliputi: Data subjektif: klien mengatakan sudah 3 hari tidak bisa
BAB, klien juga mengatakan pengeluaran feses lama dan sulit. Data
Objektif: didapatkan auskultasi bising usus 7x/mnt (menurun), klien
mengalami kelemahan dalam pergerakan , klien mengalami penurunan
kekuatan otot 4444 4444 di semua ekstremitas. Berdasarkan diagnosa
tersebut maka penulis mengangkat diagnosa konstipasi sebagai diagnosa
keempat karena pasien masih mengeluh belum puas BAB hingga hari ke-
4 di rawat, terganggunya pola BAB yaitu retensi feses dapat
mempengaruhi pola nutrisi klien. Klien menemukan kesinambungan
antara data-data yang terdapat pada klien dengan diagnosa yang ada
dalam SDKI (2016).

c. Intervensi keperawatan
Rencana keperawatan memberikan kesempatan kepada perawat , klien dan
keluarga untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah yang dialami oleh klien sesuai dengan kebutuhannya
berdasarkan pada diagnosa keperawatan (Asmadi, 2014). Perencanaan
merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Tahap pertama
dilakukannya perencanaan adalah penentuan prioritas masalah, perumusan
tujuan keperawatan dengan kriteria hasil yang ditargetkan atau diharapkan,
dan terakhir penetapan rencana keperawatan yang akan dilakukan (Potter
dan Perry, 2009).

Intevensi keperawatan disusun untuk mengatasi masalah yang ditemukan


pada klien. Penulis berpedoman pada teori intervensi yang ada pada
Doenges (2012) serta disesuaikan dengan kondisi Tn. J
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma
servikalis)
57

Menurut doenges (2012) intervensi nyeri akut meliputi intervensi


mandiri dan kolaborasi. Mandiri yang terdiri dari: 1.Kaji terhadap
adanya nyeri. Bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri,
misalnya: lokasi, tipe nyeri, intensitas, dan skala nyeri dari 0-10,
Evaluasi peningkatan iritabilitas, tegangan otot, gelisah, perubahan
tanda vital, yang tak dapat dijelaskan, Bantu pasien dalam
mengidentifikasi faktor pencetus, memberikan tindakan kenyamanan.
Misalkan: pemberian massase, perubahan posisi, sesuai indikasi.
Kolaborasi: berikan obat sesuai indikasi, dorong penggunaan teknik
relaksasi mis: pedoman imajinasi, visualisasi, latihan nafas dalam.
Berikan aktivitas hiburan , mis: televisi, radio, telepon, kunjungan
keluarga. Pada kasus Tn. J intervensi yang telah disusun ialah, Kaji
terhadap adanya nyeri. Bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung
nyeri misalnya: lokasi, tipe nyeri, intensitas, dan skala nyeri dari 0-10,
Bantu pasien dalam mengidentifikasi faktor pencetus, memberikan
tindakan kenyamanan. Misalkan: pemberian massase, perubahan
posisi, sesuai indikasi, Kolaborasi: berikan obat sesuai indikasi:
Paracetamol, amitriptilin, dan gabapentin untuk menghilangkan rasa
nyeri serta obat mecobalamin untuk mengurangi rasa kesemutan dan
sensasi mati rasa. Analisa: terdapat kesinambungan antara intervensi
pada teori dengan intervensi yang dilakukan pada Tn. J

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan


neuromuskuler

Menurut Doenges (2012), Intervensi gangguan mobilitas fisik meliputi


intervensi mandiri yang terdiri dari observasi, terapeutik, serta edukasi
dan intervensi kolaborasi dengan fisioterapis. Intervensi mandiri: Kaji
secara teratur fungsi motorik (jika timbul suatu keadaan syok
spinal/edema yang berubah) dengan menginstruksikan pasien untuk
melakukan gerakan seperti mengangkat bahu, meregangkan jari-jari,
menggenggam tangan atau melepaskan genggaman 2.Bantu/lakukan
58

latihan ROM pada semua ekstremitas dan sendi. Pakailah gerakan


perlahan dan lembut. Lakukan hiperekstensi pada paha secara teratur
(periodik) 3.Tinggikan ekstremitas bawah beberapa saat atau angkat
kaki/bagian bawah tempat tidur jika diinginkan pada keadaan tertentu.
Kaji adanya edema pada kaki/pergelangan tangan 4.letakkan tangan
dalam posisi (melipat) kedalam menuju pusaran 90 derajat dengan
teratur 5. buat rencana aktivitas untuk pasien sehingga pasien dapat
beristirahat tanpa terganggu. Anjurkan pasien untuk berperan serta
dalam aktivitas sesuai dengan kemampuan/toleransi 6.Ukur/pantau
tekanan darah sebelum dan sesudah aktivitas dalam fase akut atau
sampai keadaan pasien stabil. Ganti posisi dengan perlahan
7.Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, 8.Inspeksi
kulit setiap hari. Observasi adanya daerah yang tertekan dan lakukan
perawatan kulit dengan benar. Ajarkan pasien untuk menginspeksi
keadaan kulitnya dan gunakan cermin untuk melihat bagian yang sulit
dilihat 9.Bantu untuk melakukan “bersihan paru” misalnya: nafas
dalam, batuk efektif, 10. kaji rasa nyeri, kemerahan, bengkak,
ketegangan otot jari 11. Letakan tangan dalam posisi (melipat)
kedalam menuju pusaran 90 derajat dengan teratur 12.Pertahankan
sendi pada 90 derajat terhadap papan kaki, sepatu dengan hak yang
tinggi dan sebaginya, gunakan rol trokhanter di bawah bokong selama
berbaring di tempat tidur 13. Ukur/pantau tekanan darah sebelum dan
sesudah melakukan aktivitas dalam fase akut atau sampai keadaan
pasien stabil. Ganti posisi dengan perlahan. Gunakan “tempat tidur
kardiak” atau meja atau tempat tidur sirkoelektrik (dapat berputar) jika
ingin meningkatkan pola aktivitas 14. Persiapakan pasien pada saat
akan melakukan aktivitas membebani tubuh, misalnya gunakan “meja
pengangkat” untuk posisi tegak lurus, latihan unttuk
menguatkan/untuk mengkondisikan bagian tubuh yang normal.
Intervensi yang sudah disusun ialah: Kaji secara teratur fungsi motorik
(jika timbul suatu keadaan syok spinal/edema yang berubah) dengan
59

menginstruksikan pasien untuk melakukan gerakan seperti


mengangkat bahu, meregangkan jari-jari, menggenggam tangan atau
melepaskan genggaman 2.Bantu/lakukan latihan ROM pada semua
ekstremitas dan sendi. Pakailah gerakan perlahan dan lembut.
Lakukan hiperekstensi pada paha secara teratur (periodik) 3.Tinggikan
ekstremitas bawah beberapa saat atau angkat kaki/bagian bawah
tempat tidur jika diinginkan pada keadaan tertentu. Kaji adanya edema
pada kaki/pergelangan tangan 4.letakkan tangan dalam posisi
(melipat) kedalam menuju pusaran 90 derajat dengan teratur 5. buat
rencana aktivitas untuk pasien sehingga pasien dapat beristirahat tanpa
terganggu. Anjurkan pasien untuk berperan serta dalam aktivitas
sesuai dengan kemampuan/toleransi 6.Ukur/pantau tekanan darah
sebelum dan sesudah aktivitas dalam fase akut atau sampai keadaan
pasien stabil. Ganti posisi dengan perlahan 7.Anjurkan pasien untuk
menggunakan teknik relaksasi 8.Inspeksi kulit setiap hari. Observasi
adanya daerah yang tertekan dan lakukan perawatan kulit dengan
benar. Ajarkan pasien untuk menginspeksi keadaan kulitnya dan
gunakan cermin untuk melihat bagian yang sulit dilihat 9.Bantu untuk
melakukan “bersihan paru” misalnya: nafas dalam, batuk efektif 10.
kaji rasa nyeri, kemerahan, bengkak, ketegangan otot jari. Rasional:
Meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot dan mobilisasi
sendi, dan mencegah kontraktur dan atrofi otot. Analisa: terdapat
kesinambungan antara intervensi pada teori dengan intervensi yang
dilakukan pada Tn. J.

3. Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan penurunan


mobilitas

Menurut Doenges (2012) Intervensi gangguan integritas kulit meliputi


intervensi mandiri dan kolaboratif, intervensi mandiri: Inspeksi
seluruh area kulit, catat pengisian kapiler, adanya kemerahan,
pembengkakan. Berikan perhatian khusus pada daerah belakang
60

kepala, kulit di daerah kaus kaki atau pada lekukan dimana kulit
sering tersentuh/tertekan, Lakukan massase dan lubrikasi pada kulit
dengan lotion/minyak. Lindugi sendi dengan menggunakan bantalan
busa pada daerah tumit/siku, Lakukan perubahan posisi sesering
mungkin di tempat tidur, Bersihkan dan keringkankulit khusunya
daerah-daerah dengan kelembaban tinggi seperti perineum, Jagalah
alat tenun tetap kering dan bebas dari lipatan-lipatan dan kotoran,
Anjurkan pasien untuk terus melakukan program latihan 7.Tinggikan
ekstremitas bawah secara periodik 8. Hindari atau batasi injeksi
dibawah lokasi trauma. Intervensi yang sudah disusun ialah: Inspeksi
seluruh area kulit, catat pengisian kapiler, adanya kemerahan,
pembengkakan. Berikan perhatian khusus pada daerah belakang
kepala, kulit di daerah kaus kaki atau pada lekukan dimana kulit
sering tersentuh/tertekan, Lakukan massase dan lubrikasi pada kulit
dengan lotion/minyak. Lindugi sendi dengan menggunakan bantalan
busa pada daerah tumit/siku, Lakukan perubahan posisi sesering
mungkin di tempat tidur, Bersihkan dan keringkankulit khusunya
daerah-daerah dengan kelembaban tinggi seperti perineum, Jagalah
alat tenun tetap kering dan bebas dari lipatan-lipatan dan kotoran,
Anjurkan pasien untuk terus melakukan program latihan, Tinggikan
ekstremitas bawah secara periodik. Rasional: Meningkatkan sirkulasi
dan melindungi permukaan kulit, mengurangi terjadinya ulserasi.
Pasien-pasien quadriplegia dan paraparese memerlukan parlindungan
seumur hidupnya terhadap kemungkinan terjadinya dekubitus yang
dapat menyebabkan nekrosis dan sepsis jaringan yang terus
berkembang. Analisa: terdapat kesinambungan antara intervensi pada
teori dengan intervensi yang dilakukan kepada Tn. J.

4. Konstipasi berhubungan dengan perubahan tingkat aktivitas

Menurut Doenges (2016), Intervensi Konstipasi meliputi intervensi


mandiri dan kolaboratif. Intervensi mandiri diantaranya: auskultasi
61

bising usus, catat lokasi, dan karakteristiknya, Observasi adanya


distensi abdomen jika bising usus tidak ada atau berkurang, Catat
adanya keluhan mual, ingin muntah. Periksa muntahan atau sekresi
gaster (jika terpasang NGT) dan feses untuk bekuan darah, Catat
frekuensi, karakteristik dan jumlah feses, Kenali tanda-tanda/periksa
adanya sumbatan, seperti tidak adanya feses yang terbentuk selama
beberapa hari, feses semi cair, kegelisahan, perasaan penuh
diperut/abdomen, Lakukan latihan defekasi secara teratur, anjurkan
pasien untuk makan makanan yang sehat dan yang termasuk makanan
berserat dan padat/kasar dan pemasukan cairan yang lebih banyak
(minimal 2000ml/hari), termasuk juice/sari buah, Observasi adanya
inkontinensia dan bantu pasien menghubungkan inkontinensia dengan
perubahan diet (makanan) atau rutinitas, Kenali tanda-tanda atau
periksa adanya sumbatan, seperti tidak adanya feses terbentuk selama
beberapa hari, fses semi cair, kegelisahan, perasaan penuh di
perut/abdomen, Observasi adanya inkontinensia dan bantu pasien
menghubungkan inkontinensia dengan perubahan diet (makanan) atau
rutinitas sehari-hari, masukan selang rektal jika diperlukan Tindakan
kolaborasi: Berikan obat sesuai indikasi yaitu pelunak feses, laksatif,
supositoria, enema, antasida, simitidin, ranitidin. Intervensi yang telah
disusun ialah: auskultasi bising usus, catat lokasi, dan
karakteristiknya, Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus
tidak ada atau berkurang, Catat adanya keluhan mual, ingin muntah.
Periksa muntahan atau sekresi gaster (jika terpasang NGT) dan feses
untuk bekuan darah, Catat frekuensi, karakteristik dan jumlah feses,
Kenali tanda-tanda/periksa adanya sumbatan, seperti tidak adanya
feses yang terbentuk selama beberapa hari, feses semi cair,
kegelisahan, perasaan penuh diperut/abdomen, Lakukan latihan
defekasi secara teratur, anjurkan pasien untuk makan makanan yang
sehat dan yang termasuk makanan berserat dan padat/kasar dan
pemasukan cairan yang lebih banyak (minimal 2000 ml/hari),
62

termasuk juice/sari buah, Observasi adanya inkontinensia dan bantu


pasien menghubungkan inkontinensia dengan perubahan diet
(makanan) atau rutinitas sehari-hari. Rasional:Hilangnya peristaltik
(karena gangguan syaraf) melumpuhkan usus, membuat distensi ileus
dan usus. Analisa: terdapat kesinambungan antara intervensi pada
teori dengan intervensi yang dilakukan kepada Tn. J.

d. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus dari
intervensi antara lain mempertahankan daya tahan tubuh, mencegah
komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, menetap hubungan
klien dengan lingkungan, implementasi tindakan kolaborasi (setiadi,
2012). Implementasi keperawatan merupakan rangkaian keperawatan
dari hari ke hari yang harus dilakukan dan didokumentasikan setiap
tindakan yang telah dilakukan (Dinarti, dkk, 2013).

Implementasi yang telah dilakukan kepada Tn. J selama 2x24 jam pada
tanggal 9 April 2019 - 12 April 2019 sesuai dengan intervensi yang
telah disusun yaitu:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma
servikalis)
Implementasi keperawatan yang telah dilakukan meliputi
implementasi keperawatan mandiri yaitu mengkaji skala nyeri,
intensitas, lokasi, serta karakteristik nyeri, memonitor tanda-tanda
vital klien, mengedukasi kepada klien tentang bagaimana
pelaksanaan manajemen nyeri untuk mengurangi rasa nyeri,
melakukan tindakan kolaboratif yaitu pemberian obat untuk
mengurangi nyeri yaitu paracetamol 500 mg, obat antidepresan
amitriptilin 25 mg, serta obat antikonvulsan gabapentin 300 mg.
63

Implementasi yang telah dilakukan pada Tn. J sesuai dengan


masalah yang ada pada Tn. J

2. Gangguan Mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan


neuromuskuler
Implementasi keperawatan yang telah dilakukan meliputi tindakan
mandiri diantaranya: mengkaji kekuatan otot, apakah terdapat
kontraktur atau atrofi pada otot. Tindakan kolaborasi: yaitu
bersama dengan fisioterapis menentukan aktivitas yang cocok dan
sesuai untuk klien yaitu melakukan fleksi dan ekstensi di masing-
masing ekstremitas atas dan bawah sebanyak 15 kali selama 15
menit setiap hari dengan dibantu dan dipantau oleh keluarga
selama dilakukannya aktivitas tersebut, mengkaji tanda-tanda vital
sebelum dilakukan aktivitas dan setelah dilakukan aktivitas.
Analisa: Tindakan yang dilakukan telah sesuai dengan masalah
yang ada pada Tn. J

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan


mobilitas
Implementasi yang telah dilakukan yaitu mengkaji keadaan kulit
klien, melakukan pergantian verban setiap 2 hari untuk mencegah
infeksi serta pergantian linen jika terlihat kotor dan terlipat untuk
meminimalisir terjadinya pergesekan antara linen dengan kulit
klien yang akan memperparah luka dekubitus, memberikan klien
lotion atau minyak untuk mencegah kulit klien kering dan
melakukan aktivitas miring kanan miring kiri setiap 4 jam sekali
yang berfungsi untuk melancarkan sirkulasi di area yang tertekan,
tindakan kolaboratif: memberikan terapi obat mecobalamin 500 mg
IV untuk mencegah kesemutan dan resiko perfusi tidak efektif.
Analisa: Implementasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan Tn. J
64

4. Konstipasi berhubungan dengan perubahan tingkat aktivitas


Implementasi yang telah dilakukan yaitu: mengauskultasi bising
usus klien setiap hari, melakukan palpasi pada abdomen klien,
memonitor pola makan klien , dan menghitung jumlah cairan yang
masuk setiap harinya, memberikan edukasi kepada keluarga klien
tentang pentingnya memperbanyak konsumsi buah dan sayuran
hijau untuk membantu pengeluaran feses lebih baik, serta minum
banyak air putih. Hambatan dalam melakukan implementasi: klien
tidak mendapat terapi laksatif untuk membantu pengeluaran feses,
ini tidak berkesinambungan dengan intervensi yang telah dibuat.
Klien hanya melakukan teknik colok dubur setiap hari jika akan
melakukan defekasi.

e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah langkah terakhir dalam proses pembuatan
keputusan. Perawat mengumpulkan, menyortir, dan menganalisis
data untuk menetapkan apakah tujuan telah tercapai, rencana
memerlukan modifikasi atau alternatif baru yang harus
dipertimbangkan (Wong, dkk, 2009). Evaluasi keperawatan
membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati)
dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan (Nikmatur dan Saiful, 2012). Evaluasi untuk setiap
diagnosa meliputi data subjektif (S), data objektif (O), analisa
permasalahan (A), berdasarkan data subjektif dan objektif serta
perencanaan ulang (P) (Dinarti, dkk, 2013).

Dari evaluasi hari terakhir yang dilakukan pada tanggal 12 april


2019 4 diagnosa aktual belum dapat teratasi. Hasil evaluasi
keperawatan yang telah penulis peroleh dari tindakan keperawatan
yang telah penulis lakukan dalam setiap diagnosa adalah sebagai
berikut:
65

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik


(trauma servikalis)
Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis,
sampai terjadinya inkontinensia bergantung pada letak
kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula spinalis dapat
dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang
tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana
pasien mengalami gangguan fungsi total menurut Genoveva
dan kharunnisa dalam jurnal “Diagnosis dan tatalaksana
medula spinalis” (2017). Subjektif: klien mengatakan nyeri
masih hilang timbul, nyeri disertai kesemutan, klien
mengatakan sulit tidur, nyeri masih dirasakan di jari-jari
tangan, nyeri seperti ditekan, terkadang nyeri menjalar hingga
ke pergelangan tangan, klien juga mengatakan masih
kesemutan mulai dari area puting susu hingga ke ujung jari
kaki Objektif: skala nyeri 3, pada saat diinstruksikan untuk
meregangkan jari-jari tangan klien mengeluh nyeri . Analisa:
masalah keperawatan nyeri akut belum teratasi Planning: -
kaji keluhan nyeri klien lebih lanjut, kolaborasi dengan dokter
tentang pemberian obat.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan


neuromuskuler.
Menurut Mansjoer, Arief, et al (2000) tanda dan gejala pasien
dengan cedera tulang belakang: Hilangnya sensasi, kontrol
motorik dan refleks. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi
dengan klien yaitu klien mengalami nyeri disertai kesemutan
terkadang juga hilangnya sensasi mulai dari pinggang hingga ke
ujung jari kaki, serta klien juga mengalami paraparese yaitu
berkurangnya kekuatan otot pada ekstremitas. subjektif: klien
mengatakan masih merasa kesemutan dan nyeri di area yang
66

sama. objektif: pergerakan klien terlihat lemah, kaki klien


teraba kaku dan kulit di ekstremitas bawah tidak elastis.
Kekuatan motorik:

4444 4444

4444 4444

analisa: gangguan mobilitas fisik belum teratasi. planning:


kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat, membantu
pasien dalam melakukan latihan fleksi ekstensi di ekstremitas
atas dan bawah secara rutin setiap hari, selama 15 menit.

3. Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan penurunan


mobilitas
Subjektif: klien mengatakan terkadang punggungnya terasa
panas, dan pinggang terasa pegal Objektif: luka dekubitus
grade 1 ditandai dengan luka memerah dan terlihat seperti luka
melepuh a:nalisa masalah keperawatan gangguan integritas
kulit belum teratasi planning: lakukan aktivitas rutin miring
kanan, miring kiri, dan terlentang sesuai dengan jadwal untuk
melancarkan sirkulasi dan mengurangi resiko dekubitus lebih
parah, lakukan massase di area punggung dan berikan lotion
atau minyak, ganti linen jika terlipat dan kotor.

4. Konstipasi berhubungan dengan perubahan tingkat


aktivitas

Menurut Tarwoto (2013) Tanda dan gejala medula spinalis


tergantung dari tingkat kerusakan dan lokasi kerusakan.
Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan
volunteer, hilangnya sensasi nyeri, temperatur, tekanan dan
propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan
hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom. Hal ini
67

berkesinambungan dengan kondisi klien yang kehilangan


reflek Buang air besar, klien mengalami konstipasi karena
sudah 3 hari belum bisa buang air besar. subjektif: klien
mengatakan masih belum bisa BAB, klien mengatakan di area
abdomen terasa penuh, klien selalu habis ½ porsi setiap makan,
minum sehari sebanyak 1200ml objektif: bising usus klien
7x/mnt (menurun), BAB terlihat coklat dengan konsistensi
lunak hingga cair analisa: masalah keperawatan konstipasi
belum teratasi planning: kaji bising usus klien secara rutin,
bantu klien untuk melakukan latihan defekasi secara rutin
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari keseluruhan gambaran pelasanaan asuhan keperawatan pada
Tn. J yang mengalami Spinal Cord Injury dari pengkajian,
merumuskan diagnosa, menyusun intervensi, melakukan intervensi
dan mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah diberikan,
penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Pengkajian telah dilakukan pengumpulan data dengan cara


wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, sumber dari perawat
ruangan dan status rekam medis. Didapatkan data bahwa
klienmasuk rumah sakit dengan riwayat Spinal Cord Injury
dan didukung dengan adanya hasil CT- Scan dan MRI
pengkajian pada pasien didapatkan data bahwa pasien masuk ke
RS Fatmawati dengan riwayat Kecelakaan dan adanya trauma
pada tulang belakang (servikalis) dan didukung dengan adanya
hasil CT- Scan serta CT- Scan servikal. Pada proses pengkajian
didapatkan data: klien terpasang neck collar dan sekarang
dalam keadaan immobilisasi, klien mengeluh nyeri di jari-jari
tangan kanan dan kiri, klien merasa nyeri daan kesemutan
mulai dari putting susu hingga ke ujung kaki . klien mengalami
kelemahan di bagaian ekstremitas terutama ektremitas atas,
serta sering mengalami baal di ekstremitas bawah (kaki).

2. Pada teori Doenges (2012) tentang asuhan keperawatan klien


dengan cedera medulla spinalis, terdapat 6 diagnosa yang
mungkin muncul Penulis mengangkat 4 diagnosa keperawatan
sesuai kebutuhan dan keadaan klien. Terdapat 4 diagnosa yang

68
69

penulis angkat yang sesuai dengan teori yaitu diagnosa pertama


Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Trauma
servikalis), diagnosa kedua yaitu Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, diagnosa ketiga
yaitu gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
mobilitas, dan diagnosa keempat yaitu konstipasi berhubungan
dengan perubahan tingkat aktivitas (immobilisasi)

3. Pada teori Doenges (2012) tentang intervensi bagi pasien


dengan cedera medulla spinalis, perencanaan yang disusun
untuk seluruh diagnosa keperawatan diantaranya: Diagnosa
pertama nyeri akut maka intervensi yang dibuat yaitu kaji
adanya nyeri dan bantu pasien mengidentifikasi nyeri misal:
lokasi, karakteristik, intensitas dan skala nyeri, memberi
edukasi tentang tindakan non-farmakologis, serta melakukan
tindakan kolaboratif tentang pemberian obat nyeri. Diagnosa
kedua yaitu gangguan mobilitas maka intervensi yang disusun
yaitu membantu menentukan aktivitas yang cocok untuk klien,
melakukan pengkajian kekuatan otot , serta membantu kegiatan
yang telah dijalankan, kolaborasi dengan dokter tentang
pemberian obat serta kolaborasi dengan fisioterapis tentang
latihan yang sesuai dengan kondisi pasien. Diagnosa ketiga
yaitu gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
mobilitas, intervensi yang disusun yaitu: melakukan pengkajian
kondisi kulit klien, rencana pergantian verban, serta latihan
miring kanan dan miring kiri untuk mencegah luka dekubitus
yang semakin meluas. Diagnosa keempat yaitu konstipasi
berhubungan dengan perubahan tingkat aktivitas
(immobilisasi), intervensi yang telah disusun ialah
menauskultasi bising usus, melakukan edukasi serta tindakan
kolaboratif.
70

4. Implementasi yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang


telah disusun. Implementasi yang tidak dilakukan penulis dan
tidak dilakukan oleh perawat ialah melakukan latihan defekasi
dini pada pasien dengan memasukan jari ke dalam anus untuk
merangsang defekasi dikarenakan kegiatan tersebut dilakukan
secara mandiri oleh klien dan disaat diluar jam dinas
mahasiswa jadi mahasiswa dapat mengkaji konsistensi dan
warna dengan melakukan wawancara dengan keluarga klien.
Klien mengatakan kesemutan juga sudah berkurang dengan
adanya pemberian terapi mecobalamin 500 mg/ IV .

5. Evaluasi akhir didapatkan bahwa 4 diagnosa aktual yang belum


teratasi yaitu: nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisik (trauma servikalis), diagnosa kedua yaitu gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,
diagnosa ketiga yaitu gangguan integritas kulit berhubungan
dengan penurunan mobilitas dan diagnosa keempat yaitu
konstipasi berhubungan dengan perubahan tingkat aktivitas
(immobilisasi), intervensi dilanjutkan disesuaikan dengan
masing- masing diagnosa keperawatan.

B. Saran
1. Institusi pendidikan
Diharapkan agar menyediakan sumber kepustakaan terbaru dan
terlengkap seperti buku, maupun jurnal-jurnal kesehatan sehingga
memudahkan mahasiswa dalam mencari referensi untuk menerapkan
asuhan keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada klien dengan
cedera medulla spinalis.
2. Mahasiswa
71

Sebelum melakukan asuhan keperawatan diharapkan mahasiswa


mampu menguasai tentang konsep dasar cedera medulla spinalis serta
konsep asuhan keperawatan pada klien dengan cedera medulla spinalis.
Selain itu juga, mampu melaksanakan seluruh intervensi yang telah
dibuat.
3. Wahana praktik
dapat dijadikan sumber referensi sebagai perbandingan dengan tujuan
untuk meningkatkan hasil dan dijadikan bahan acuan bagi perawat
untuk dapat memberikan layanan asuhan keperawatan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis dengan lebih baik dan komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai