Anda di halaman 1dari 26

PRODI DIII JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA I


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
JUNI 2018

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. I YANG MENGALAMI


STROKE ISKEMIK DI RUANG TERATAI LANTAI VI
SELATAN RSUP FATMAWATI JAKARTA SELATAN

Niken Arinanda Kusumawardani


P17120015060
Latar Belakang
Pasien yang mengalami penyumbatan pembuluh darah otak
akan mengakibatkan terganggunya aliran darah ke otak
sehingga menyebabkan hipoksia otak kemudian menjadi
iskemia yang berakhir menjadi infark (Black, 2009).
Aterosklerosis sering kali merupakan faktor untuk otak,
trombus berasal dari plak aterosklerosis, atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, tempat aliran darah akan lambat atau
terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh
darah dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus
mengakibatkan iskemia jaringan otak pada area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan (Mutaqqin, 2008)

pasien dengan penyumbatan di pembuluh darah otak mengakibatkan


pasien akan mengalami penurunan tekanan darah yang mendadak,
takikardi, pucat dan pernapasan yang tidak teratur (Batticaca, 2008).

pasien dengan perdarahan di pembuluh darah otak dan perembesan darah ke


dalam parenkim otak akan menyebabkan penekanan jaringan otak sehingga
terjadi infark pada otak, edema, dan herniasi. Infark pada otak, edema, dan
herniasi dapat mengakibatkan risiko peningkatan TIK dengan tanda gejala
nyeri kepala, muntah proyektil, papil edema (Mutaqqin, 2008).
Pravalensi
Stroke merupakan 10% penyebab kematian di seluruh dunia dan
penyebab keenam dari kecacatan (disability) (Arofah, A.N. 2011).
Sebanyak 33,5% penderita stroke pada umur 65 tahun dan
umumnya angka kejadian pada laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan (Pinzon R. Asanti L, 2010).

Diperkirakan setiap tahun 500.000 penduduk Indonesia terkena


serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan
sisanya cacat ringan maupun berat (Yayasan Stroke Indonesia,
2012).

Prevalensi stroke periode 24 September 2016 – 01 Januari 2018


di RSUP Fatmawati Jakarta Selatan terdapat data pasien yang
mengalami stroke sebanyak 554 dengan penderita stroke
hemoragik sebanyak 210 atau 37,9%, penderita stroke iskemik
334 atau 60,2%.
Masalah dan Peran Perawat
Pasien yang mengalami stroke akan menyebabkan gangguan khusus diantaranya
hemiparesis (kelemahan), afasia (penurunan kemampuan berkomunikasi), disatria
(kesulitan dalam berbicara), disfagia (kesulitan menelan) serta penurunan sensorik (Black,
2009).
Masalah keperawatan yang sering muncul diantaranya gangguan perfusi jaringan
serebral, gangguan mobilitas fisik, gangguan komunikasi verbal/nonverbal, gangguan
persepsi, gangguan perawatan diri, gangguan eliminasi urine, dan gangguan eliminasi
bowel (Black & Hawks, 2014).

kolaborator

Edukator
Peran perawat sebagai

Advokator

Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan atau care provider harus
dilaksanakan secara komprehensif atau menyeluruh, dan tidak hanya berfokus pada
tindakan promotif tetapi juga pada tindakan preventif kuratif sampai rehabilitasi
(Mulyaningsih, 2016)
Konsep Dasar Stroke
Definisi Etiologi Menurut
Menurut World Health Black&Hawks (2014)
Organization (WHO) stroke
didefinisikan sebagai penyakit
yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah di otak yang
terjadi secara mendadak dengan
tanda dan gejala klinik baik lokal Emboli
maupun global yang berlangsung Thrombosis Hemoragik
selama 24 jam atau lebih yang serebri
serebri (perdarahan)
dapat menyebabkan kematian
(Muttaqin, 2011).

Stroke non hemoragik merupakan terhentinya


sebagaian atau keseluruhan aliran darah ke otak
akibat tersumbatnya pembuluh darah otak
(Wiwit, 2010).
Klasifikasi
Stroke Hemoragik merupakan perdarahan yang
terjadi karena pecahnya pembuluh darah pada
daerah otak tertentu (Wiwit, 2010).
Faktor Resiko Manifestasi Klinik
1. Tekanan darah tinggi atau
hipertensi 1. Penurunan kesadaran
2. Penyakit jantung (konfusi, delirium, letargi,
3. Diabetes melitus stupor, atau koma)
4. Hiperkolesterol dan lemak 2. Afasia (kesulitan dalam
5. Obesitas atau kurang aktivitas bicara)
6. Usia 3. Disatria (bicara cadel atau
7. Ras dan keturunan pelo)
8. Jenis kelamin 4. Gangguan penglihatan,
9. Polisitemia diplopia
10. Perokok 5. Disfagia
11. Alkohol 6. Vertigo, mual, muntah, dan
12. Kontrasepsi oral dan terapi nyeri kepala, terjadi karena
estrogen peningkatan tekanan
13. Riwayat transient ishemic intrakranial, edema serebri
attacks (TIA) 7. Hemiplegia, pralisis
14. Penyempitan pembuluh darah
karotis 8. Kesulitan dalam pemahaman
Pathway
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi Laboratorium

1. Computerized Tomografi Scanning (CT-Scan) 1. Pemeriksaan darah lengkap


2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) seperti Hb, Leukosit, Trombosit,
3. Elektro Encephalografi (EEG) Eritrosit, LED.
4. Angiografi Serebral 2. Pemeriksaan gula darah sewaktu
5. Sinar X Tengkorak 3. Kolesterol, Lipid
6. Pungsi Lumbal 4. Asam urat
7. Elektro Kardiogram 5. Elektrolit
6. Masa pembekuan dan masa
perdarahan (Tarwoto, 2013).
pedoman 5B farmakoterapi
• Breathing • Diuretika
• Brain • Anti koagulan Penatalaksanaan Medis
• Blood • Kortikosteroid
• Bowel
• Bladder
Komplikasi

Hipoksia serebral Penurunan aliran darah serebral Embolisme serebral

Pencegahan
• Kurangi atau hentikan merokok, rokok merupakan sumber
nikotin yang dapat menimbulkan plak pada pembuluh
darah sehingga dapat menghambat aliran darah
• Mengurangi kadar kolestrol, seperti halnya rokok, kolestrol
juga dapat menghambat aliran darah, menimbulkan
tekanan darah tinggi serta penyakit jantung koroner
• Hindari penggunan obat tertentu seperti aspirin dan obat
antiplatelet (Tarwoto, 2013).
• Menjalankan pola hidup sehat, seperti pola makan sehat
• Olahraga teratur
• Menjaga berat badan
• Mengendalikan stress (Wiadnyana, 2010)
Konsep Asuhan Keperawatan Stroke
Pengkajian Diagnosa keperawatan
menurut Mutaqqin Menurut SDKI (2017) diagnosa keperawatan pada stroke
yaitu:
(2008): 1. Resiko perfusi serebral tidak efektif ditandai dengan
1. Identitas klien adanya infark lakunar, hiperkolestrolemia.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
2. Keluhan utama gangguan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot,
gangguan sensori persepsi.
3. Riwayat 3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
penyakit penurunan sirkulasi serebral, gangguan
sekarang neuromuskuler.
4. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan
4. Riwayat hipoksia serebral.
penyakit dahulu 5. Gangguan perawatan diri: ADL berhubungan dengan
defisit neuromuskuler, kelemahan.
5. Riwayat 6. Gangguan eliminasi urin: inkotinensia fungsional
penyakit berhungan dengan menurunnya sensasi, disfungsi
kognitif, kerusakan komunikasi.
keluarga 7. Gangguan eliminasi bowel: konstipasi, diare
berhubungan dengan menurunnya kontrol volunter,
6. Pemeriksaan kerusakan komunikasi, perubahan peristaltik,
fisik immobilisasi.
Intervensi keperawatan
Resiko perfusi serebral tidak efektif ditandai dengan adanya infark lakunar, hiperkolestrolemia.
Tujuan: dalam waktu 3x24jam masalah risiko perfusi serebral tidak efektif tidak terjadi.
Kriteria hasil: pasien dapat mempertahanakan tingkat kesadaran, fungsi kognitif, sensorik dan
motorik, tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 110-130/70-90 mmHg, Nadi 60-
100x/menit, RR 16-20x/menit, S 36,5-37,5ºC), peningkatan TIK tidak ada (tidak ada keluhan
nyeri kepala, mual, kejang), GCS 15.
Intervensi:
• Observasi status neurologik setiap jam
• Observasi tingkat kesadaran dengan GCS
• Observasi pupil, ukuran, respon terhadap cahaya, gerakan mata.
• Observasi refleks kornea
• Observasi tanda-tanda vital
• Pertahankan pasien bedrest, berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, atur waktu
istirahat dan aktivitas.
• Pertahankan kepala tempat tidur 30-45º dengan posisi leher tidak menekuk/fleksi.
• Monitor AGD, antara 35-45 mmHg dan >80 mmHg.
• Berikan terapi sesuai instruksi dokter seperti steroid, antibiotik, aminofel
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot,
gangguan sensori persepsi.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil: mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena atau kompensasi.
Mempertahankan keutuhan tubuh secara optimal seperti tidak adanya kontraktur, footdrop.
Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas. Mempertahankan
integritas kulit.
Intervensi:
•Observasi kemampuan motorik.
•Ajarkan klien untuk melalukan ROM
•Observasi daerah yang tertekan, termasuk warna, edema, atau tanda lain gangguan sirkulasi.
•Ubah posisi minal 2 jam (telentang, miring).

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi serebral, gangguan


neuromuskuler
Tujuan: dalam waktu 3x24jam klien mampu komunikasi verbal sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil: mampu menggunakan metode komunikasi yang efektif baik verbal maupun non verbal,
terhindar dari tanda-tanda frustasi, mampu mengkomunikasikan kebutuhan dasar, mampu
mengekspresikan diri dan memahami orang lain.
Intervensi:
•Observasi kemampuan komunikasi adanya gangguan bahasa atau bicara.
•Pertahankan kontak mata dengan pasien saat berkomunikasi.
•Ciptakan lingkungan penerimaan dan privasi.
•Gunakan kata-kata sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh.
Pembahasan
PENGKAJIAN
KASUS TEORI

• Hasil wawancara dengan keluarga klien didapatkan • Pada penelitian yang dilakukan ASEAN Neurological Association
Tn.I berumur 45 tahun. (ASNA) faktor umur mempengaruhi terjadinya stroke dimana
bertambahnya usia membuat resiko terjadinya stroke akan semakin
tinggi dikarenakan elastisitas pembuluh darah yang menurun
(Indrawati, 2009). Selain faktor umur, faktor jenis kelamin juga
mempengaruhi terjadinya stroke dimana pada laki-laki hormon
testosteron meningkatkan jumlah Low Density Lipoprotein (LDL)
(Gofir, 2009).

• Hasil wawancara selanjutnya dengan keluarga klien • Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya
didapatkan klien memiliki riwayat hipertensi sejak ± pembuluh darah otak, sedangkan penyempitan pembuluh darah
3 tahun yang lalu dengan riwayat pemakaian obat dapat mengurangi suplai darah otak dan menyebabkan kematian sel-
Captopril untuk menurunkan tekanan darah tinggi. sel otak. Hipertensi mempercepat pengerasan dinding pembuluh
Hasil pengkajian pada Tn. I didapatkan tekanan darah arteri dan mengakibatkan penghancuran lemak pada sel otot
darah 160/100 mmHg. Dari data tersebut faktor polos sehingga mempercepat proses arterosklerosis, melalui efek
resiko pada Tn. I yaitu hipertensi penekanan pada sel endotel atau lapisan dalam dinding arteri yang
berakibat pembentukan plak pada pembuluh darah semakin cepat
(Junaidi, 2011).

• Hasil pemeriksaan laboratorium pada Tn. I tanggal • Menurut Junaidi (2011) kolestrol merupakan zat di dalam aliran darah
09 April 2018 jam 15.02 kadar Kolestrol LDL Direk di mana semakin tinggi kolestrol semakin besar kolestrol tertimbun
klien 143 mg/dl normalnya <130 mg/dl. pada dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan saluran
pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga mengganggu suplai
darah ke otak. Hiperkolestrol akan meningkatkanya LDL (lemak jahat)
yang akan mengakibatkan terbentuknya arterosklerosis yang
kemudian diikuti dengan penurunan elastisitas pembuluh darah yang
akan menghambat aliran darah.
KASUS TEORI

• Sebelum masuk RS keluarga mengatakan • hal ini sesuai dengan literature Muttaqin (2008) yang
bahwa klien tidak mengalami penurunan menyatakan bahwa pasien stroke non hemoragik biasanya
kesadaran terjadi setelah lama istirahat, tidak terjadi perdarahan
namun terjadi iskemia, kesadaran umumnya baik.

• Menurut Batticaca (2008) gejala klinis pada pasien stroke


• Keluhan lain yaitu kelemahan pada sisi kanan yaitu kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya
ekstermitas atas dan bawah dan tidak hemiparesis) yang timbul mendadak, gangguan sensibilitas
berbicara sejak 2 jam sebelum masuk Rumah pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik),
Sakit. perubahan mendadak pada status mental (konfusi,
delirium, letargi, stupor atau koma), afasia (tidak lancar
atau tidak dapat bicara), disatria (bicara cadel atau pelo),
ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada
sasaran), vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).
Namun yang ditemukan pada klien yang sesuai dengan
literatur yaitu adanya hemiparese di ekstermitas kanan atas
dan bawah dan klien mengalami afasia

• Hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 09 April • Serangan awal stroke biasanya ditandai dengan adanya
2018, didapatkan hasil adanya hemiparese serangan neurologis berupa kelemahan atau kelumpuhan
pada ekstermitas kanan atas dan bawah, lengan, tungkai atau salah satu sisi tubuh (Irianto, 2014).
tidak ada gangguan saraf kranial dari I-XII, Hemiparase atau kelemahan dari satu bagian tubuh bisa
tidak adanya gangguan sensorik dan klien terjadi setelah stroke yang disebabkan oleh stroke arteri
mengalami gangguan sistem wicara: aphasia serebral anterior atau media yang mengakibatkan infark
motorik. pada bagian otak yang mengontrol gerakan saraf motoric
dari korteks bagian depan (Black & Hawks, 2009). Afasia
motorik atau ekspresif terjadi jika area pada area Broca
yang terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini
pasien dapat memahami lawan bicara tetapi pasien tidak
KASUS TEORI

• Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien • Infark lacunar merupakan infark kecil dengan gangguan klinis murni
adalah CT Scan pada tanggal 06 April 2018 motorik atau sensorik tanpa disertai gangguan fungsi luhur (gangguan
didapatkan hasil Infark lakunar pada basal ganglia bahasa, artikulasi atau disatria, gangguan kesadaran) (Dewanto,
kiri dan sentrum semiovale kiri. Area hipoden pada 2009). Menurut Black & Hawks (2014) bangsal ganglia berfungsi
white matter lobus frontalis bilateral, DD/ sebagai pusat koordinasi yang penting, terutama untuk mengontrol
leukodystrophy. gerakan-gerakan yang ada kaitannya dengan gerakan otomatis. Lobus
frontal berfungsi sebagai aktifitas motorik, fungsi intektual, emosi,
dan fungsi fisik. Pada bagian frontal bagian kiri terdapat area Broca.
Yang berfungsi sebagai pusat motorik bahasa. Kerusakan area broca
dapat mengakibatkan afasia motorik yang ditandai dengan
ketidakmampuan pasien untuk mengungkapkan pikiran-pikiran yang
dapat dimengerti dalam bentuk bicara (Tarwoto, 2013).

• Klien mendapatkan terapi IVFD Nacl 0,9% 500 cc/12 • Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pasien stroke
jam: 14 tpm. Terapi obat Oral Captopril 25 mg/12 dalam pemberian terapi cairan penting karena untuk
jam, Clopidogrel 75 mg/24 jam, Asam Folat 1 tab/24 mempertahankan sirkulasi darah dan tekanan darah. Pemberian
jam, terapi obat Parental Citicolin 500 mg/12 jam. terapi obat untuk menghambat dan mencegah pembekuan darah
serta dapat mengendalikan tekanan darah sehingga tidak terjadi
peningkatan TIK oleh karena edema serebri (Setyopranoto, 2011).

• Klien medapatkan terapi Diet rendah garam 1700 • Menurut Martuti (2009) dalam penelitiannya menunjukan bahwa
kkal pasien stroke perlu membatasi asupan garam karena kandungan
mineral natrium (sodium) didalamnya memegang peranan penting
terhadap timbulnya hipertensi.

• Faktor pendukung: dalam pengkajian keperawatan ini yaitu terbinanya hubungan saling
percaya antara perawat, klien dan keluarga. Selain itu keluarga sangat kooperatif dan
pendokumentasian RS yang cukup lengkap sehingga membantu penulis dalam melengkapi data
pengkajian.
• Faktor penghambat: penulis tidak mengalami hambatan dalam melakukan pengkajian.
Diagnosa
KASUS TEORI

Risiko perfusi jaringan serebral tidak menurut SDKI (2017), 3 masalah utama untuk
efektif yang ditandai dengan infark pasien stroke adalah resiko perfusi serebral
lakunar tidak efektif, gangguan mobilitas fisik,
gangguan komunikasi verbal. Diagnosa yang
Gangguan mobilitas fisik ditemukan pada klien sesuai dengan
berhubungan dengan gangguan literature. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
neuromuskuler penetapan diagnosa utama pada pasien
stroke ditentukan berdasarkan kondisi pasien
Gangguan komunikasi verbal saat ditemukan yaitu risiko perfusi jaringan
berhubungan dengan gangguan serebral tidak efektif, gangguan mobilitas
fungsi bicara fisik, gangguan komunikasi verbal

• Faktor pendukung: dalam proses menegakkan diagnosa keperawatan tersedia beberapa sumber-
sumber atau literature yang memadai dan mudah didapatkan, baik dari anamnesa, observasi,
adanya pengkajian fisik lengkap maupun hasil pendokumentasian dari medical record klien dan
data pendukung seperti hasil lab, CT Scan, Rontgen Thorx dan EKG sehingga memudahkan penulis
dalam menegakkan diagnosa serta kooperatifnya klien dan keluarga dengan perawat ruangan dan
penulis.
• Faktor penghambat: penulis tidak mengalami hambatan dalam penentuan diagnosa
Intervensi
KASUS TEORI

• Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif yang • Intervensi keperawatan adalah tindakan yang disusun untuk
ditandai dengan infark lakunar salah satu intervensi membantu klien dalam mencapai hasil yang diharapkan (Doengoes,
yang direncanakan untuk mengatasi diagnosa 2012). Langkah-langkah dalam menentukan perencanaan
pertama adalah pertahankan kepala tempat tidur keperawatan yaitu: menentukan prioritas masalah, menentukan
30-450 dengan posisi leher tidak menekuk atau tujuan keperawatan, menetapkan kriteria hasil, dan merusmuskan
fleksi, posisi ini dapat meningkatkan aliran darah ke intervensi dan aktivitas keperaatan. Penulis menyusun asuhan
serebral dan memaksimalkan oksigen ke jaringan keperaatan berdasarkan kondisi klien saat itu. Intervensi yang disusun
sehingga meningkatkan perfusi jaringan serebral sesuai dengan SMART (Spesifik, Measurable, Achievable, Realistic,
(Sunarto, 2015). dan Time).

• Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan


gangguan neuromuskuler salah satu intervensi yang
direncanakan untuk mengatasi diagnosa kedua
adalah ajarkan klien dan keluarga melakukan ROM Faktor pendukung: dalam proses
aktif atau pasif pada ekstermitas atas dan bawah, intervensi keperawatan tersedia beberapa
latihan ROM dapat meningkatkan massa tonus,
kekuatan otot, meningkatkan sirkulasi (Muttaqin, sumber-sumber atau literature yang
2008) memadai dan mudah didapatkan seperti
• Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan buku-buku dan hasil pendokumentasian
gangguan fungsi bicara salah satu intervensi yang dari medical record klien.
direncanakan untuk mengatasi diagnosa ketiga
adalah ajarkan teknik untuk memperbaiki bicara.
Instruksikan klien untuk bicara lambat dan dalam
kalimat pendek. Pada awal pertanyaan gunakan
dengan jawaban ya atau tidak, dengan membaiknya
bicara percaya diri akan meningkatkan motivasi
untuk memperbaiki bicara (Tarwoto, 2013)
Implementasi
• Pada diagnosa Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif yang ditandai dengan infark lacunar Pada
diagnosa ini intervensi yang diimplementasikan terhadap klien yaitu 6 intervensi dengan literature
Muttaqin (2008) yaitu ukur tanda-tanda vital klien, monitor status neurologis, pertahankan kepala
tempat tidur 30-450, monitor fungsi wicara, anjurkan klien untuk menghindari mengejan saat defekasi,
kolaborasi dalam pemberian terapi obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi, mengurangi
kerusakan jaringan otak dan untuk menurunkan resiko pembentukan trombosis lebih lanjut yaitu obat
Oral Captopril 25 mg/12 jam, Clopidogrel 75 mg/24 jam, Asam Folat 1 tab/24 jam, Klien mendapatkan
terapi obat Parental Citicolin 500 mg/12 jam. Pada tanggal 09 April 2018 jam 20.00 ketika dokter visit
dokter memberikan obat tambahan kepada klien yaitu Valsartan 80 mg, Simvastatin 10 mg dan
menghentikan obat injeksi citicolin 1x500 mg via IV. Intervensi ini muncul karena bertujuan
menurunkan dosis pada klien dari citicolin 1x500 mg via IV ke Valsartan 80 mg dikarenakan obat
antihipertensi dapat mengendalikan tekanan darah sehingga tidak terjadi peningkatan TIK oleh karena
edema serebri dan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 09 April 2018 15:02:26 kadar Kolestrol LDL
Direk klien 143 mg/dl normalnya <130 mg/dl sehingga dokter menambahkan obat Simvastatin 10 mg.
Tetapi klien tidak diberikan obat pelunak feses karena menurut dokter penanggung jawab klien, klien
hanya mengalami infark lacunar kecil di bangsal ganglia kiri dan tidak membutuhkan obat tersebut. Hal
ini sesuai dengan Dewanto (2009) bahwa infark lacunar merupakan infark kecil dengan gangguan klinis
murni motorik atau sensorik tanpa disertai gangguan fungsi luhur (gangguan bahasa, artikulasi atau
disatria, gangguan kesadaran).
• Faktor pendukung: adanya bed manual yang dapat meninggikan kepala klien setinggi 30-45º sehingga
memudahkan penulis untuk melakukan intervensi. Pemberian obat diberikan secara 6 benar yaitu
benar pasien, benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu, dan benar dokumentasi.
• Faktor penghambat: penulis tidak mengalami hambatan dalam melakukan implementasi kepada klien.
• Pada diagnosa Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan neuromuskuler Pada diagnosa ini intervensi yang
diimplementasikan terhadap klien hanya 6 dari 7 intervensi dengan
literature Muttaqin (2008) yaitu monitor kemampuan otot klien,
ubah posisi minimal setiap 2 jam, ajarkan klien dan keluarga
melakukan ROM aktif atau pasif pada ekstermitas atas dan bawah,
observasi daerah yang tertekan, termasuk warna kulit, edema atau
tanda lain gangguan sirkulasi, melatih klien mobilisasi, awasi
seluruh upaya mobilitas dan bantu klien jika diperlukan, kolaborasi
dengan fisioterapi.
• Faktor pendukung: dalam melakukan implementasi ini tersedianya
beberapa sumber-sumber atau literature yang memadai dan mudah
didapatkan untuk membuat SAP mengenai ROM aktif dan pasif
serta keluarga sangat kooperatif saat diberikan informasi mengenai
ROM aktif dan pasif.
• Faktor penghambat: Tetapi satu intervensi yaitu kolaborasi dengan
fisioterapi telah diinstruksikan oleh dokter namun petugas
fisioterapi tidak datang untuk melakukan fisioterapi pada klien.
• Solusi: penulis memberikan informasi dan melatih ROM aktif atau
pasif kepada keluarga dan klien yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan otot.
• Pada diagnosa Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
gangguan fungsi bicara Pada diagnosa ini intervensi yang
diimplementasikan terhadap klien yaitu 4 intervensi dengan literature
Tarwoto (2013) yaitu pertahankan kontak mata dengan klien saat
berkomunikasi. Ciptakan lingkungan penerimaan dan privasi (jangan
terburu-buru, bicara dengan perlahan dan intonasi yang normal, kurangi
bising lingkungan, jangan paksa klien untuk berkomunikasi). Gunakan kata-
kata sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh. Ajarkan teknik
untuk memperbaiki bicara. Instruksikan klien untuk bicara lambat dan
dalam kalimat pendek. Pada awal pertanyaan gunakan dengan jawaban ya
atau tidak.
• Faktor pendukung: dalam melakukan implementasi ini keluarga sangat
berpartisipasi untuk berkomunikasi dengan klien.
• Faktor penghambat: Tetapi untuk intervensi pada diagnosa prioritas ketiga
ini penulis mengalami kesulitan saat melakukan intervensi karena
keterbatasan penulis untuk melatih klien dengan aphasia. Pengunjung
yang datang tidak dibatasi saat akan menjenguk klien sehingga terjadi
bising pada ruangan klien.
• Solusi: untuk institusi seharusnya lebih meningkatkan kemampuan
mahasiswa secara optimal untuk melatih klien yang mengalami aphasia.
Memberikan saran kepada pihak rumah sakit mengenai tata tertib dalam
pembatasan pengunjung yang datang untuk menjenguk.
Evaluasi
• Evaluasi pada diagnosa pertama Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif yang ditandai
dengan infark lakunar tidak menjadi aktual dengan tercapainya tujuan perfusi jaringan otak
dapat tercapai secara optimal selama waktu rawat dimana klien yang sudah melewati masa
akutnya. Kesadaran klien compos mentis dengan GCS E4M6V4 menunjukkan perubahan
perfusi serebral yang membaik. Tekanan darah: 130/90 mmHg, nadi: 90 x/menit kuat teratur,
pernapasan: 20 x/menit teratur dan dalam, suhu: 36,4˚C menunjukkan TTV dalam batas
normal dan tidak menunjukkan adanya peningkatan TIK. Klien mengatakan nyaman saat
posisi dirubah 450 dan kepala tidak terasa pusing menujukkan peningkatan aliran darah vena
dan tidak menunjukkan adanya peningkatan TIK. Keluarga Tn. I mengatakan hari ini klien
sudah BAB dan BABnya lunak, klien mengatakan daerah pemasangan infus tidak terasa sakit,
keluarga Tn. I mengatakan bahwa klien tidak ada alergi obat dan klien mengatakan tidak nyeri
dada, nafas tidak sesak, tidak pusing, tidak nyeri otot dan nyeri perut, klien kooperatif saat
diberikan obat oral, tidak ada tanda-tanda alergi, bengkak, tidak ada muntah, diare tidak
terjadi, cairan infus sudah diganti, aliran tetesan infus lancar, tidak ada bengkak dan infeksi
pada daerah pemasangan infus menujukkan bahwa klien tidak mengalami komplikasi dari
terapi cairan dan obat yang diberikan. Keluarga Tn. I mengatakan klien hanya bisa menjawab
ya, tidak, sudah dan belum, klien terlihat masih bingung, tetapi klien dapat menjawab apa
yang dikatakan perawat walaupun klien kurang memahami dari hal terserbut bahwa klien
belum menunjukkan peningkatan isi kognitif dan bicara.
• Discharge planning yang diberikan kepada keluarga yaitu memberikan posisi kepala agak
ditinggikan supaya mengurangi tekanan intrakranial pada klien, ingatkan klien untuk tidak
mengejan saat defekasi atau BAB, ingatkan keluarga memberikan terapi obat sesuai ajuran
Dokter yaitu Captopril 2x25 mg via PO, Clopidogrel 1x75 mg via PO, Asam Folat 1x1 tab,
Valsartan 1x80 mg, Simvastatin 1x10 mg via PO.
• Evaluasi pada diagnosa kedua Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler sudah teratasi dengan tercapainya
tujuan klien menunjukkan mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai
dengan kemampuannya dimana keluarga Tn.I mengatakan klien miring
kanan miring kiri, duduk, berdiri dan aktivitas masih dibantu keluarga atau
perawat dan klien mengatakan badannya sudah tidak lemas, keluarga
mengatakan mengerti dan sudah mengikuti anjuran mengubah posisi klien
setiap 2 jam sekali kepada klien dengan miring kanan, kiri dan membantu
klien duduk dan berdiri. Keluarga klien mengatakan mengerti melakukan
ROM aktif pada ekstermitas yang tidak lemah dan ROM pasif pada
ekstermitas yang lemah, tekanan darah: 130/90 mmHg, nadi: 90 x/menit,
pernapasan: 20 x/menit, suhu: 36,4˚C, klien terlihat dapat berjalan sambil
berpegangan, duduk, berbaring dengan baik, tidak ada luka tekan, tidak
ada edema, klien dapat melakukan ROM aktif dengan baik pada
ekstermitas kanan dan kiri, Kekuatan otot

menunjukkan bahwa adanya peningkatkan massa tonus, kekuatan otot,


peningkatkan sirkulasi dan mempertahankan integritas kulit baik serta
klien dan keluarga mampu mendemonstrasikan latihan ROM.
• Discharge planning yang diberikan kepada keluarga yaitu tetap melakukan
ROM aktif atau pasif pada ekstermitas atas dan bawah pada klien di
rumah, keluarga dianjurkan tetap melatih klien mobilisasi bertahap duduk
berjungkit lalu berdiri lalu berjalan, anjurkan keluarga untuk selalu awasi
seluruh upaya mobilitas dan bantu klien jika diperlukan.
• Evaluasi pada diagnosa ketiga Gangguan komunikasi verbal
berhubungan dengan gangguan fungsi bicara belum teratasi
dikarenakan Keluarga Tn. I mengatakan klien hanya bisa menjawab
ya, tidak, sudah dan belum, tekanan darah: 130/90 mmHg, nadi: 90
x/menit, pernapasan: 20 x/menit, suhu: 36,4˚C, lingkungan tidak
terlalu bising, privasi klien tetap terjaga, kontak mata klien sudah
memberi umpan balik, klien terlihat masih bingung, tetapi klien
dapat menjawab apa yang dikatakan perawat, klien sudah mengerti
dengan kata-kata sederhana dan bahasa tubuh yang digunakan
perawat hal ini klien belum menunjukkan komunikasi yang efektif
baik verbal maupun nonverbal.
• Discharge planning yang diberikan kepada keluarga yaitu anjurkan
keluarga pertahankan kontak mata dengan klien saat
berkomunikasi, anjurkan keluarga ciptakan lingkungan penerimaan
dan privasi (jangan terburu-buru, bicara dengan perlahan dan
intonasi yang normal, kurangi bising lingkungan, jangan paksa klien
untuk berkomunikasi), anjurkan keluarga gunakan kata-kata
sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh.
Kesimpulan
• Tanda dan gejala pada klien beserta hasil pemeriksaan fisik dan diagnostic sesuai
dengan teori yang ada seperti adanya hemiparese pada ekstermitas kanan atas dan
bawah, klien mengalami aphasia motorik dan hasil CT Scan yaitu Infark lakunar pada
basal ganglia kiri.
• Berdasarkan hasil pengkajian yang didapatkan maka penulis merumuskan diagnosa
keperawatan dengan membandingkan sesuai referensi yang didapatkan. Diagnosa
keperawatan yang dirumuskan berdasarkan data yang aktual dan prioritas masalah
yang ada yaitu : risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif yang ditandai dengan
infark lakunar, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler, gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
fungsi bicara.
• Penyusunan rencana keperawatan mengacu pada intervensi yang disesuaikan dengan
kebutuhan klien.
• Pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah dilakukan sudah disesuaikan dengan
rencana keperawatan yang telah penulis buat.
• Evaluasi pada keenam diagnosa keperawatan ada 2 diagnosa yang belum teratasi yaitu
Gangguan komunikasi verbal, Defisit perawatan diri: ADL dan masih memerlukan
pemantauan agar tidak ada masalah klien sampai seluruhnya teratasi dan 4 diagnosa
yang sudah teratasi yaitu Risiko perfusi jaringan serebral, Gangguan mobilitas fisik,
Risiko jatuh, dan Kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan.
saran
• Untuk institusi Poltekkes Kemenkes Jakarta 1 sebaiknya
lebih meningkatkan kemampuan mahasiswa secara optimal
untuk melatih klien yang mengalami aphasia dan lebih
diperbanyak lagi buku referensi yang terbaru agar
secepatnya bisa dipakai oleh mahasiswa.
• Untuk Rumah Sakit (RSUP Fatmawati) sebaiknya memiliki
tata tertib dalam pembatasan pengunjung yang datang
untuk menjenguk.
• Untuk mahasiswa sebaiknya menerapkan peran dan fungsi
perawat ketika melakukan asuhan keperawatan terutama
pada pasien kelolaan. Dalam melakukan asuhan
keperawatan diharapkan menerapkan ilmu dan baca
kembali teori yang sudah dipelajari selama di institusi
sebelum praktik di RS.

Anda mungkin juga menyukai