Anda di halaman 1dari 47

1

SMF Bagian Kebidanan dan Kandungan Laporan Kasus


RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Maret 2019
Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

Mioma Uteri dengan Infertilitas

Disusun Oleh
Maria I. E. Ndiwa, S. Ked
(1408010060)

Pembimbing :
dr. I Ketut Agus Sunatha, Sp.OG (K) FER

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini diajukan oleh :


Nama : Maria Irene Ekaputri Ndiwa, S.Ked
NIM : 1408010060
Bagian : Ilmu Kebidanan & Kandungan RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang

Laporan kasus ini disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif di Bagian Ilmu
Kebidanan dan Kandungan RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

PembimbingKlinik

dr. I Ketut Agus Sunatha, Sp.OG (K) FER 1. ............................................

Ditetapkan di : Kupang
Waktu : Maret 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Kasus dengan judul “Mioma Uteri dengan Infertil” sebagai salah satu
tugas di SMF / Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Nusa Cendana, RSUD Prof. Dr. W. Z Johannes Kupang. Ucapan terimakasih
penulis sampaikan kepada dr. I Ketut Agus Sunatha, SpOG (K) FER selaku
pembimbing klinik dan teman-teman yang telah membantu memberikan
masukkan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis sangat mengharapkan masukan dan saran demi kesempurnaan penulisan
ini. Besar harapan penulis agar Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Maria Irene Ekaputri Ndiwa, S.Ked


BAB 1

PENDAHULUAN

Infertilitas adalah sebuah permasalahan sistem reproduksi yang

digambarkan dengan kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan

atau lebih melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali seminggu secara teratur

tanpa menggunakan alat kontrasepsi. World Health Organization (WHO) secara

global memperkirakan adanya kasus infertil pada 48.5 juta pasangan.. Sedangkan

di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan rumah tangga tahun 1996,

diperkirakan ada3,5 Juta pasangan (7 juta orang) yang infertil. Mereka disebut

infertil karena belum hamilsetelah setahun menikah. Kini,para ahli memastikan

angka infertilitas telah meningkatmencapai 15-20 persen dari sekitar 50 juta

pasangan diIndonesia.

Infertilitas dapat disebabkan oleh pihak istri maupun suami. Kondisi yang

menyebabkan infertilitas dari faktor istri 65%, faktor suami 20%, kondisi lain-lain

dan tidak diketahui 15%. Penyebab infertilitas pada wanita dapat diklasifikasikan

menjadi 3 kelompok, yaitu gangguan ovulasi, gangguan tuba dan pelvis dan

gangguan uterus, termasuk mioma submukosum, polip endometrium, leiomyomas

dan sindrom asherman.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Oktarina di Klinik Fertilitas

Endokrinologi Reproduksi RSMH Palembang permasalahan yang paling banyak

terjadi pada wanita infertil adalah masalah pada uterus. Miome uteri menempati

uruan kedua setelah endometriosis. Menurut tempatnya di uterus dan menurut

arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 3 jenis antara lain, mioma

1
submukosa, mioma intramural dan mioma subserosa. Pengaruh Mioma pada

Kehamilan dan Persalinan antara lain mengurangi kemungkinan perempuan

menjadi hamil, terutama pada mioma uteri submukosum, kemungkinan abortus

bertambah, serta kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang

besar dan letak subrosum, menghalangi lahirnya bayi, terutama pada mioma

yang letaknya di serviks, inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma

yang letaknya di dalam dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma dan

mempersulit lepasnya plasenta, terutama pada mioma yang submukosum dan

intramural.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mioma Uteri

2.1.1. Definisi

Mioma Uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan

jaringan ikat yang menumpangnya. Oleh karena itu, dalam kepustakaan dikenal

juga istilah fibromioma, leimioma, ataupun fibroid.(1) Mioma uteri berbatas tegas,

tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous sehingga mioma uteri

dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi

lunak jika otot rahimnya yang dominan.(2) Matthew Baille adalah orang pertama

yang mendeskripsikan mioma pada 1793. Mioma terutama terdiri dari sel otot

polos dan mengandung jumlah jaringan fibrosa yang berbeda. Selama

pertumbuhannya, mioma menekan struktur di sekitarnya (miometrium dan

jaringan ikat), serta menyebabkan pembentukan progresif sejenis pseudokapsul,

kaya akan serat kolagen, serat saraf, dan pembuluh darah. Kadang-kadang,

permukaan kontinyu pseudocapsule terganggu oleh jembatan serat kolagen dan

pembuluh darah yang menopang mioma ke miometrium. Hal ini menyebabkan

pembentukan bidang atau jarak yang jelas antara mioma dan pseudokapsul, dan

antara pseudokapsul dan miometrium sekitarnya. Pseudocapsule ini menyebabkan

perubahan (yang tidak merusak) pada miometrium; Namun, integritas dan

kontraktilitas struktur uterus dipertahankan.(5) walaupun mioma tidak mempunyai

kapsul yang sesungguhnya tetapi jaringannya dengan mudah dibebaskan dari

miometrium sekitarnya sehingga mudah dikupas (enukleasi). Mioma berwarna

3
lebih pucat, relatif bulat, kenyal, berdinding licin, dan apabila dibelah bagian

dalamnya akan menonjol keluar sehingga mengesankan bahwa permukaan

luarnya adalah kapsul.(3)

2.1.2. Epidemiologi

Mioma uteri merupakan tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot

polos rahim. Mioma uteri terjadi pada 20%-25% perempuan di usia reproduktif,

tetapi oleh faktor yang tidak diketahui secara pasti.(3) Mioma uteri belum pernah

dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah menopause hanya kira-

kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Di Indonesia mioma uteri ditemukan

2,39-11,7% pada semua penderita ginekologik yang dirawat. Selain itu dilaporkan

juga ditemukan pada kurang lebih 20-25% wanita usia reproduksi dan meningkat

40% pada usia lebih dari 35 tahun.(4) Insidensinya 3-9 kali lebih banyak dari ras

kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Selama 5 dekade terakhir,

ditemukan 50% kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit berwarna. (3)

Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui secara pasti. Mioma jarang

sekali ditemukan pada usia pubertas, sangat dipengaruhi oleh hormon reproduksi

dan hanya bermanifestasi selama usia reproduktif. Umumnya mioma terjadi di

beberapa tempat. Pertumbuhan mikroskopik menjadi masalah utama dalam

penanganan mioma karena hanya tumor soliter dan tampak secara makroskopik

yang memungkinkan untuk ditangani dengan cara enukleasi. Ukuran rerata tumor

ini adalah 15 cm, tetapi cukup banyak yang melaporkan kasus mioma uteri

dengan berat mencapai 45 kg (100lbs)(3)

4
2.1.3. Klasifikasi

Mioma Uteri berasal dari miometrium dan Klasifikasinya dibuat

berdasarkan lokasinya.

Mioma Uteri Submukosa

Terletak dibawah endometrium. Dapat pula bertangkai maupun tidak. Mioma

bertangkai panjang dapat menonjol keluar melalui kanalis servikalis menjadi

polip, dan pada keadaan ini mudah terjadi torsi serta nekrosis sehingga resiko

infeksi sangatlah tinggi. Tumor ini memperluas permukaan kavum uteri.

Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium menyebabkan

terjadinya perdarahan irregular. Dari sudut klinik mioma uteri submukosa

mempunyai arti yang lebih penting dibandingkan dengan jenis yang lain. Pada

mioma uteri subserosa ataupun intramural walaupun ditemukan cukup besar tetapi

sering kali memberikan keluhan yang tidak berarti. Sebaliknya pada jenis

submukosa walaupun hanya kecil selalu memberi keluhan perdarahan melalui

vagina. Perdarahan sulit berhenti sehingga sebagai terapinya dilakukan

histerektomi.

Mioma Uteri Intramural atau interstisiel

Mioma yang terdapat pada dinding uterus diantara serabut miometrium. Sering

tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya

massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Apabila masih kecil, tidak merubah

bentuk uterus, tapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus

bertambah besar dan berubah bentuknya. Kadang kala tumor tumbuh sebagai

mioma subserosa dan kadang – kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot

5
rahim dapat besar (jaringan ikat dominan), dapat lunak (jaringan otot rahim

dominan).

Mioma Uteri Subserosa

Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat

pula sebagai satu masa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.

Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut

sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga

peritonial sebagai suatu massa. Perlengketan dengan usus, omentum atau

mensenterium disekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari

tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga

mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga

peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik.

Menurut perkiraan frekuensi mioma uteri dalam kehamilan dan persalinan

berkisar sekitar 1% banyak mioma kecil tidak dikenal. Dalam banyak kasus

kombinasi mioma uteri dan kehamilan tidak mempunyai arti apa-apa. Dipihak lain

kombinasi itu dapat menyebabkan komplikasi obstetrik yang besar artinya. Hal itu

bergantung pada besar dan lokasinya.

2.1.4. Faktor Predisposisi

a. Umur

Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu

mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun.
(11)
Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan . Pada usia

6
sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi,

serta akan turun pada usia menopause.(12). Pada wanita menopause mioma uteri

ditemukan sebesar 10% .(13)

b. Riwayat Keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma

uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan

dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. (14)

c. Obesitas

Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin

berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim

aromatase di jaringan lemak.(10) Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen

tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan

prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.(14)

d. Paritas

Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk

terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil

atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada

wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil satu kali.(14)

e. Kehamilan

Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah

dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat

mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan

bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat

7
mempercepat pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko

mioma karena pada kehamilan hormon progesteron lebih dominan.(15)

2.1.5. Etiologi

Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan

tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma

uteri, serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter dan faktor hormon

pertumbuhan dan Human Placental Lactogen. Para ilmuwan telah

mengidentifikasi kromosom yang membawa 145 gen yang diperkirakan

berpengaruh pada pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli mengatakan bahwa mioma

uteri diwariskan dari gen sisi paternal. Mioma biasanya membesar pada saat

kehamilan dan mengecil pada saat menopause, sehingga diperkirakan dipengaruhi

juga oleh hormon-hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Selain itu

juga jarang ditemukan sebelum menarke, dapat tumbuh dengan cepat selama

kehamilan dan kadang mengecil setelah menopause.(7)

Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri atau

memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan

banyak sekali mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor,

insulin growth factor-1, (IGF-1), connexin-43-Gapjunction protein dan marker

proliferasi.

Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari

sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik

secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23-50%

8
dari mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada

kromosom 7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32).

Hal yang mendasari tentang penyebab mioma uteri belum diketahui secara

pasti, diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa mioma

merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari

sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot polos miometrium. Sel-

sel mioma mempunyai abnormalitas kromosom. Faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan mioma, disamping faktor predisposisi genetik,

adalah beberapa hormon seperti estrogen, progesteron, dan human growth

hormon.(8) Dengan adanya stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi

di uterus , sehingga menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis

endometrium, sehingga terjadilah pertumbuhan mioma.

Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah menghasilkan

penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri memiliki abnormalitas

kromosom non random. Abnormalitas ini dapat dibagi menjadi 6 subgrup

sitogenik yang utama termasuk translokasi antara kromosom 12 dan 14, trisomi

12, penyusunan kembali lengan pendek kromosom 6 dan lengan panjang

kromosom 10 dan delesi kromosom 3 dan 7. Penting untuk diketahui mayoritas

mioma uteri memiliki kromosom yang normal.(9)

Pengaruh-pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan

mioma:

a. Estrogen

9
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan

tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri

akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri

banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan

sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah

reseptor estrogen di miometrium normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen

dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut

tertekan selama kehamilan.

b. Progesteron

Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus

menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari

estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan dua cara yaitu:

Mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor

estrogen pada mioma.

c. Hormon Pertumbuhan

Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon

yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, terlihat pada periode ini

memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari mioma selama kehamilan

mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara hormon pertumbuhan dan

estrogen.(10)

2.1.6. Patogenesis

Terjadinya Mioma uteri diduga karena adanya sel – sel yang belum matang

dan pengaruh estrogen yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah, sehingga

10
terjadi kontraksi otot uterus yang menyebabkan perdarahan pervaginan lama dan

banyak. Dengan adanya perdarahan pervaginan lama dan banyak akan terjadi

resiko kekurangan volume cairan dan gangguan peredaran darah ditandai dengan

adanya nekrosa dan perlengketan sehingga timbul rasa nyeri.(6)

Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri sampai saat ini belum diketahui.

Stimulasi estrogen diduga sangat berperan untuk terjadinya mioma uteri.

Hipotesis ini didukung oleh adanya mioma uteri yang banyak ditemukan pada

usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia menopause. Ichimura

mengatakan bahwa hormon ovarium dipercaya menstimulasi pertumbuhan mioma

karena adanya peningkatan insidensi setelah menarke. Pada kehamilan

pertumbuhan tumor ini makin besar, tetapi menurun setelah menopause.

Perempuan nulipara memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya mioma uteri

sedangkan perempuan multipara memiliki resiko relatif menurun untuk terjadinya

mioma uteri. Pukka dan kawan- kawan melaporkan bahwa jaringan mioma uteri

lebih banyak mengandung reseptor estrogen jika dibandingkan dengan

miometrium normal. Pertumbuhan mioma uteri bervariasi pada setiap individu,

bahkan diantara nodul mioma pada uterus yang sama. Perbedaan ini berkaitan

dengan jumlah reseptor estrogen dan reseptor progesteron. Meyer dan De Snoo

mengemukakan patogenesis mioma uteri dengan teori cell nest atau genitoblas.

Pendapat ini lebih lanjut diperkuat oleh hasil penelitian Miller dan Lipschutz yang

mengatakan bahwa terjadinya mioma uteri bergantung pada sel-sel otot imatur

yang terdapat pada cell nest yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh

estrogen.(1)

11
2.1.7. Gambaran Klinis

Gejala klinis hanya terjadi pada 35-50% penderita mioma. Hampir sebagian

besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat kelainan di dalam uterusnya,

terutama sekali pada penderita dengan obesitas. Keluhan penderita sangat

tergantung pula dari lokasi atau jenis mioma yang diderita. Berbagai keluhan

penderita dapat berupa:

a. Massa di Perut Bawah

Penderita mengeluhkan merasakan adanya massa atau benjolan di perut

bagian bawah.

b. Perdarahan abnormal Uterus

Perdarahan menjadi manifestasi klinik utama pada mioma dan hal ini terjadi

pada 30% penderita. Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia

defisiensi zat besi dan bila berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka

sulit untuk dikoreksi dengan suplemen zat besi. Perdarahan pada mioma

submukosa seringkali diakibatkan oleh hambatan pasokan darah endometrium,

tekanan dan bendungan pembuluh darah di area tumor (terutama vena) atau

ulserasi endometrium diatas tumor. Tumor bertangkai seringkali menyebabkan

trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan dan infeksi (vagina dan

kavum uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium serviks). Dismenorea

dapat disebabkan oleh efek tekanan, kompresi, termasuk hipoksia lokal

miometrium.

12
c. Nyeri

Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila

kemudian terjadi gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proes

degenerasi akibat oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau

kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum

uteri. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya

infark atau degenerasi merah yang mengiritasi selaput peritonium (seperti

peritonitis). Mioma yang besar dapat menekan rektum sehingga menimbulkan

sensasi untuk mengedan. Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang

menekan persyarafan yang berjalan di atas permukaan tungkai pelvis.

d. Efek Penekanan

Walaupun mioma dihubungkan dengan adanya desakan tekanan, tetapi

tidaklah mudah untuk menghubungkan adanya penekanan organ dengan mioma.

Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan organ sekitar. Parasitik

mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna perlekatannya dengan

omentum menyebabkan strangulasi usus. Mioma serviks dapat menyebabkan

sekret serosanguinea vaginal, perdarahan, dispareunia, dan infertilitas.Bila ukuran

tumor lebih besar lagi, akan terjadi penekanan ureter, kandung kemih dan rektum.

e. Penurunan Kesuburan dan Abortus

Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab penurunan kesuburan

masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27-40% wanita dengan mioma uteri

mengalami infertilitas. Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang mioma

menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa

13
dapat memudahkan terjadinya abortus karena distorsi rongga uterus. Perubahan

bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi

reproduksi. Gangguan implasntasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma

akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi

massa tumor. Apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma

merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk

dilakukan miomektomi.(16)

2.1.8. Diagnosis

a. Anamnesis

Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,

faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa

menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang serta adanya

riwayat pervaginam terutama pada wanita usia 40-an. Kadang juga dikeluhkan

perdarahan kontak.(7)

b. Pemeriksaan Fisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus.

Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh

satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa

massa seperti ini adalah bagian dari uterus.

c. Pemeriksaan penunjang

1. Temuan Laboratorium

14
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan

perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang

mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan

polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga

akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan

balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.

2. Imaging

- Pemeriksaan dengan USG ( Ultrasonografi ) transabdominal dan

transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri.

Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil.

Uterus atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi

transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran

ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun

pembesaran uterus.

- Histeroskopi merupakan gold standard untuk mioma uteri. Histeroskopi

memberitahukan lokasi akurat mioma submukosa dan batas yang jelas dari

mioma bertangkai dan polip. Pemeriksaan ini juga dapat melihat distorsi

endometrium akibat mioma intramural. Manfaat pemeriksaan ini meliputi

visualisasi langsung, tindakan terapi yang terus menerus dan komplikasi

minimal. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.

- MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) sangat akurat dalam menggambarkan

jumlah, ukuran, dan likasi mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI,

mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari

15
miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat

dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma(17).

2.1.9. Tatalaksana

a. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan

pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar

dari kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada

tangkai, perlu diambil tindakan operasi.

b. Medikamentosa

Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan

mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa

masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif.

Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog

GnRHa (Gonadotropin Realising Hormon Agonis), progesteron, danazol,

gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain seperti

gossypol dan amantadine

c. Operatif

Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan embolisasi

arteri uterus.

- Miomektomi, adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan

uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosa

pada mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.

16
- Histerektomi, adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan

terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah

akan timbulnya karsinoma servisis uteri.

- Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE), adalah

injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang

nantinya akan menghambat aliran darah ke mioma dan menyebabkan

nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih ringan daripada setelah pembedahan

mioma dan pada UAE tidak dilakukan insisi serta waktu penyembuhannya

yang cepat

2.1.10. Komplikasi

a. Degenerasi ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan ditemukan hanya

0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma

uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus

yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat

membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.

b. Torsi (putaran tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan

sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom

abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Torsi

tangkai mioma biasanya terjadi pada Mioma uteri subserosa dan Mioma uteri

submukosa

17
c. Pengaruh timbal balik mioma dan kahamilan:

Pengaruh mioma terhadap kehamilan: Infertilitas, Abortus, Persalinan

prematuritas dan kelainan letak , Inersia uteri, Gangguan jalan partum, perdarahan

post partum, dan Retensi plasenta. Pengaruh kehamilan terhadap mioma uteri:

Mioma cepat membesar karena rangsangan estrogen, dan Kemungkinan torsi

mioma uteri bertangkai.(1)

2.1.11. Prognosis

Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif.

Myomectomi yang extensif dan secara significant melibatkan miometrium atau

menembus endometrium, maka diharusken SC (Sectio caesaria) pada persalinan

berikutnya. Myoma yang kambuh kembali (rekurens) setelah myomectomi terjadi

pada 15-40% pasien dan 2/3nya memerlukan tindakan lebih lanjut.

18
2.3. Infertilitas

2.3.1. Definisi

Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan

kehamilan sekurangkurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur

tanpa kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer (18). Infertilitas

sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau

mempertahankan kehamilannya. Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan

pengobatan dapat dilakukan setelah 6 bulan pernikahan(18). Infertilitas idiopatik

mengacu pada pasangan infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar

meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen dengan hasil normal.

2.3.2. Prevalensi

Menurut WHO 2012, perkiraan jumlah pasangan yang mengalami kejadian

infertilitas mencapai 48,5 juta pasangan, 21,5 juta diantaranya merupakan kasus

infertilitas primer dan sisanya adalah infertilitas sekunder(18). Di Indonesia,

menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, sekitar kejadian infertilitas

primer terjadi pada 5.5-5.9% wanita yang sudah menikah dengan umur lebih dari

40 tahun. Angka ini menjadi lebih tinggi pada wanita yang sudah menikah pada

umur 20-39 tahun, dengan prevalensi tertinggi mencapai 21,9%(19).

19
2.3.3. Etiologi

Penyebab infertilitas secara umum dapat dibagi sebagai berikut(2):

 Faktor perempuan,

penyebab infertilitas pada wanita dapat diklasifikasikan menjadi 3

kelompok, yaitu:

o Gangguan ovulasi: seperti SOPK, gangguan pada siklus haid, insufiensi

ovarium primer. Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat

diklasifikasikan berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer atau

sekunder. Namun tidak semua pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi

memiliki gejala klinis amenorea, beberapa diantaranya menunjukkan gejala

oligomenorea. Amenorea primer dapat disebabkan oleh kondisi di bawah

ini .

o Gangguan tuba dan pelvis, kerusakan tuba dapat disebabkan oleh infeksi

(Chlamidia, Gonorrhoea, TBC) maupun endometriosis. Endometriosis

merupakan penyakit kronik yang umum dijumpai. Gejala yang sering

ditemukan pada pasien dengan endometriosis adalah nyeri panggul,

infertilitas dan ditemukan pembesaran pada adneksa. Dari studi yang telah

dilakukan, endometriosis terdapat pada 25%-50% perempuan, dan 30%

sampai 50% mengalami infertilitas. Hipotesis yang menjelaskan

endometriosis dapat menyebabkan infertilitas atau penurunan fekunditas

masih belum jelas, namun ada beberapa mekanisme pada endometriosis

seperti terjadinya perlekatan dan distrorsi anatomi panggul yang dapat

mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan. Perlekatan pelvis pada

20
endometriosis dapat mengganggu pelepasan oosit dari ovarium serta

menghambat penangkapan maupun transportasi oosit.

o Gangguan uterus, termasuk mioma submukosum, polip endometrium,

leiomyomas, sindroma asherman.

 Faktor laki-laki

Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan setidaknya

sebesar 30-40% dari infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga

pemeriksaan pada laki-laki penting dilakukan sebagai bagian dari

pemeriksaan infertilitas. Fertilitas laki-laki dapat menurun akibat dari:

o Kelainan urogenital kongenital atau didapat

o Infeksi saluran urogenital

o Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)

o Kelainan endokrin

o Kelainan genetik

o Faktor imunologi

2.3.4. Faktor Risiko

Kejadian infertil juga ditingkatkan dengan beberapa faktor risiko, antara

lain(20):

a) Gaya hidup : merokok, konsumsi alkohol, konsumsi kafein, BB, olahraga,

stress, suplementasi vitamin, obat-obatan, obat-obat herbal

b) Pekerjaan: Terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan paparan bahan

berbahaya bagi kesuburan seorang perempuan maupun laki-laki. Setidaknya

21
terdapat 104.000 bahan fisik dan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan

yang telah teridentifikasi, bahan yang telah teridentifikasi dapat

mempengaruhi kesuburan diantaranya panas, radiasi sinar-X, logam dan

pestisida.

2.3.5. Diagnosis

Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan

menyumbang sekitar 40% infertilitas pada perempuan. Penegakkan diagnosis

infertilitas yang dapat dilakukan diantaranya(20):

 Anamnesis

Pada awal pertemuan penting sekali untuk memperoleh data apakah

pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau minum,

minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah pasutri atau salah satunya

menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid dan sitostatika.

Siklus haid merupakan variabel yang sangat penting. Dapat dikatakan siklus haid

yang normal jika berada dalam kisaran antara 21-35 hari. Sebagian besar

perempuan dengan siklus haid yang normal akan menunjukkan siklus haid yang

berovulasi untuk mendapatkan rerata siklus haid perlu diperoleh informasi haid

dalam kurun 3-4 bulan terakhir. Perlu juga diperoleh informasi apakah keluhan

nyeri haid setiap bulannya dan perlu dikaitkan dengan adanya penurunan aktivitas

fisik saat haid akibat nyeri atau terdapat penggunaan obat penghilang nyeri saat

haid terjadi. Perlu dilakukan anamnesis terkait dengan frekuensi senggama yang

dilakukan selama ini. Akibat sulitnya menentukan saat ovulasi secara tepat, maka

22
dianjurkan bagi pasutri untuk melakukan senggama secara teratur dengan

frekuensi 2-3 kali per minggu.

 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasutri dengan masalah

infertilitas adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan

pengukuran lingkar pinggang. Penentuan indeks massa tubuh perlu dilakukan

dengan menggunakan formula berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2).

Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25kg/m2 termasuk dalam

kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki kaitan erat dengan sindrom

metabolik. IMT yang kurang dari 19kg/m2 seringkali dikaitkan dengan

penampilan pasien yang terlalu kurus dan perlu dipikirkan adanya penyakit kronis

seperti infeksi tuberkulosis (TBC), kanker, atau masalah kesehatan jiwa seperti

anoreksia nervosa atau bulimia nervosa. 2,10,11 Adanya pertumbuhan rambut

abnormal seperti kumis, jenggot, jambang, bulu dada yang lebat, bulu kaki

yang lebat dan sebagainya (hirsutisme) atau pertumbuhan jerawat yang banyak

dan tidak normal pada perempuan, seringkali terkait dengan kondisi

hiperandrogenisme, baik klinis maupun biokimiawi.

 Pemeriksaan Penunjang

o Pemeriksaan ovulasi :

 Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada

seorang perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan

frekuensi haid yang teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami

ovulasi

23
 Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami

infertilitas selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi

terjadinya ovulasi dengan cara mengukur kadar progesteron serum

fase luteal madya (hari ke 21-28)

 Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada

perempuan yang memiliki siklus haid panjang (oligomenorea).

Pemeriksaan dilakukan pada akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat

diulang tiap minggu sampai siklus haid berikutnya terjadi.

 Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk

mengkonfirmasi terjadinya ovulasi

 Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk

melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon

gonadotropin (FSH dan LH).

 Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat

apakah ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis

 Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak

direkomendasikan

 Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya

dilakukan jika pasien memiliki gejala.

 Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai

bagian dari pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena

tidak terdapat bukti bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan

kehamilan.

24
o Pemeriksaan Chlamydia trachomatis

 Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk

Chlamydia trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang

sensitif

 Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan

seksualnya sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan

 Antibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum

melakukan periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia

trachomatis belum dilakukan

o Penilaian kelainan uterus

 Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat

indikasi, karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan

uterus untuk meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan.

Tabel 1. Beberapa metode yang daoat digunakan dalam penilaian uterus

HSG USG-TV SIS Histeroskopi

Sensitivitas dan Dapat mendeteksi PPV dan NPV Metode definitif

PPV rendah untuk ptologi tinggu, untuk invasif

mendeteksi endometrium dan mendeteksi

patologi myometrium patologi intra

intrakavum uteri kavum uteri

25
o Penilaian lendir serviks pasca senggama

 Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan infertilitas

dibawah 3 tahun.

 Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah

fertilitas tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya

kehamilan.

o Penilaian kelainan tuba

 Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul

(PID), kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk

melakukan histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi

tuba. Pemeriksaan ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan

laparaskopi.

 Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi

dapat dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif.

 Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba,

dianjurkan untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki

riwayat penyakit radang panggul.

Tabel 2. Beberapa teknik pemeriksaan tuba yang dapat dilakukan

Teknik Keuntungan Kelemahan

HSG Visualisasi seluruh panjang Paparan radiasi

tuba dapat menggambarkan Reaksi terhadap kontras

patologi seperti hidrosalping Peralatan dan staf khusus

dan SIN efek terapeutik Kurang dapat

26
menggambarkan adhesi

pelvis

Saline Infusion Visualisasi ovarium, uterus Pelatihan khusus

sonography dan tuba Efek terapeutik belum

terbukti

Laparaskopi Visualisasi langsung seluruh Invasif

organ reproduksi interna Biaya tinggi

Memungkinkan dilakukan

terapi sekaligus

 Pemeriksaan kasus Infertilitas Idiopatik

Dalam tatalaksana infertilitas perbandingan antara biaya yang dikeluarkan

dan efektifitas pemeriksaan sangat penting dipertimbangkan dalam pengambilan

keputusan klinik. National Institute for Health and Clinical Excellence in the UK

and the American Society of Reproductive Medicine merekomendasikan

pemeriksaan yang penting sebagai berikut : analisis semen, penilaian ovulasi dan

evaluasi patensi tuba dengan histerosalpingografi atau laparoskopi. Peran HSG

atau laparoskopi terus menjadi perdebatan, laparoskopi perlu dipertimbangkan

pada kecurigaan adanya endometriosis berat, perlekatan organ pelvis atau kondisi

penyakit pada tuba.

o Histeroskopi

Histeroskopi meruapakan baku emas dalam pemeriksaan yang

mengevaluasi kavum uteri. Meskipun Fayez melaporkan pemeriksaan

27
HSG sama akuratnya dengan histeroskopi dalam hal diagnosis. Peran

histeroskopi dalam pemeriksaan infertilitas adalah untuk mendeteksi

kelaianan kavum uteri yang dapat mengganggu proses implantasi dan

kehamilan serta untuk mengevaluasi manfaat modalitas terapi dalam

memperbaiki endometrium. Penanganan yang tepat akan meningkatkan

kehamilan secara bermakna pada pasien dengan kelainan uterus yang

ditemukan saat histeroskopi. Histeroskopi memiliki keunggulan dalam

mendiagnosis kelainan intra uterin yang sangat kecil dibandingkan

pemeriksaan HSG dan USG transvaginal. Banyak studi membuktikan

bahwa uterus dan endometrium perlu dinilai sejak awal pada pasien

infertilitas atau pasien yang akan menjalani FIV.

o Laparoskopi

Tindakan laparoskopi diagnostik dapat dilakukan pada pasien infertilitas

idiopatik yang dicurigai mengalami patologi pelvis yang menghambat

kehamilan. Tindakan ini dilakukan untuk mengevaluasi rongga

abdomino-pelvis sekaligus memutuskan langkah penanganan

selanjutnya. Studi menunjukkan bila hasil HSG normal, tindakan

laparoskopi tidak perlu dilakukan Laparoskopi diagnostik dapat

dipertimbangkan bila hingga beberapa siklus stimulasi ovariumdan

inseminasi intra uterin pasien tidak mendapatkan kehamilan. Mengacu

pada American Society of Reproductive Medicine (ASRM), laparoskopi

diagnostik hanya dilakukan bila dijumpai bukti atau kecurigaan kuat

adanya endometriosis pelvis, perlengketan genitalia interna atau oklusi

28
tuba. Tindakan laparoskopi diagnostik pada pasien infertilitas idiopatik

tidak dianjurkan bila tidak dijumpai faktor risiko patologi pelvis yang

berhubungan dengan infertilitas. Kebanyakan pasien akan hamil setelah

menjalani beberapa siklus stimulasi ovarium dan atau siklus FIV.

2.3.6. Tatalaksana

2.3.6.1.Tatalaksana pada gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu(20):

WHO kelas I

Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan peningkatan berat badan

menjadi normal akan membantu mengembalikan ovulasi dan kesuburan.

Pengobatan yang disarankan untuk kelainan anovulasi pada kelompok ini adalah

kombinasi rekombinan FSH (rFSH)- rekombinan LH (rLH), hMG atau hCG.

WHO kelas II

Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat dilakukan dengan cara

pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti estrogen (klomifen sitrat), tindakan

drilling ovarium, atau penyuntikan gonadotropin. Pengobatan lain yang dapat

digunakan adalah dengan menggunakan insulin sensitizer seperti metformin.

Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan untuk

mengkonsumsi klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6

bulan. Efek samping klomifen sitrat diantaranya adalah sindrom hiperstilmulasi,

rasa tidak nyaman di perut, serta kehamilan ganda. Pada pasien SOPK dengan

IMT > 25, kasus resisten klomifen sitrat dapat dikombinasi dengan metformin

karena diketahui dapat meningkatkan laju ovulasi dan kehamilan. Tindakan

29
drilling ovarium per-laparaskopi dengan tujuan menurunkan kadar LH dan

androgen adalah suatu tindakan bedah untuk memicu ovulasi perempuan SOPK

yang resisten terhadap klomifen sitrat.

WHO kelas III

Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi ovarium

(WHO kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang cukup kuat terhadap

pilihan tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang baik perlu dilakukan pada

pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO kelas III sampai kemungkinan

tindakan adopsi anak.

WHO kelas IV

Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat pasien

hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga gangguan ovulasi dapat

teratasi.

2.3.6.2.Tatalaksana gangguan tuba

Review sistematik lima penelitian acak (n=588) melaporkan tidak ada

peningkatan laju kehamilan pada tindakan hidrotubasi pasca operasi (OR 1.12;

95% CI 0.57 to 2.21), hidrotubasi dengan steroid (OR 1.10; 95% CI 0.74 to 1.64),

atau hidrotubasi dengan antibiotik (OR 0.67; 95% CI 0.30 to 1.47). Tindakan

bedah mikro atau laparoskopi pada kasus infertilitas tuba derajat ringan dapat

dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan.

2.3.6.3.Tatalaksana Endometriosis

Meskipun terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa

nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat

30
meningkatkan fertilitas. Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan

progestin dan agonis GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien

endometriosis derajat ringan sampai sedang. Penelitian acak yang dilakukan pada

71 pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang melaporkan laju kehamilan

dalam 1-2 tahun sama dengan laju kehamilan bila diberikan agonis GnRH selama

6 bulan. Review sistematik dan meta analisis 16 penelitian acak yang dilakukan

pada kelompok yang menggunakan obat-obatan penekan ovulasi dibandingkan

dengan kelompok tanpa pengobatan atau danazol, melaporkan bahwa pengobatan

obat-obatan penekan ovulasi (medroksiprogesteron, gestrinone, pil kombinasi

oral, dan agonis GnRH) pada perempuan infertilitas yang mengalami

endometriosis tidak meningkatkan kehamilan dibandingkan kelompok tanpa

pengobatan (OR 0.74; 95% CI 0.48 to 1.15) atau dengan danazol (OR 1.3; 95% CI

0.97 to 1.76).

2.3.6.4.Tatalaksana Infertilitas Idiopatik

a) Manajemen Ekspektatif

Kemungkinan hamil spontan yang relatif tinggi pada pasangan infertilitas

idiopatik mendukung strategi penanganan secara ekspektatif. Pasangan

dapat diberi pengertian tentang masa subur, dan disarankan untuk

melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Data yang mendukung

strategi ini diperkuat oleh berbagai sumber. Studi RCT di Skotlandia

melaporkan 17% perempuan berumur rata-rata 32 tahun yang memiliki lama

infertilitas 30 bulan, mendapatkan kehamilan spontan serta kelahiran hidup

6 bulan pasca manajemen ekspektatif.

31
b) Klomifen Sitrat

Klomifen sitrat dapat mengatasi kasus infertilitas idiopatik dengan cara

memperbaiki disfungsi ovulasi ringan dan merangsang pertumbuhan folikel

multipel. Pasien dianjurkan untuk memulai terapi inisial 50 mg sehari mulai

pada hari ke-2-6 siklus haid. Pemantauan folikel dengan USG transvaginal

dilakukan pada hari ke 12 untuk menurunkan kemungkinanterjadinya

kehamilan ganda. Pasangan disarankan untuk melakukan hubungan seksual

terjadwal dari hari ke-12 siklus haid. Pada kejadian di mana dicurigai

adanya respon ovarium yang berlebihan, siklus dibatalkan dan pasangan

diminta tidak melakukan hubungan seksual sampai siklus haid berikutnya.

Penggunaan klomifen telah dikenal oleh semua pasangan infertilitas karena

murah, non-invasif, dan tidak membutuhkan pemantauan klinis yang

banyak. Kejadian kehamilan ganda dan risiko terjadinya kanker ovarium

dijadikan dasar dalam pertimbangan risiko dan manfaat. Studi RCT yang

membandingkan klomifen dengan manajemen ekspektatif melaporkan

bahwa kelahiran hidup pada kedua grup tidak jauh berbeda (OR 0.79, 95%

CI 0.45 dan 1.38). Hal ini menunjukkan tidak ada manfaat yang diperoleh

dari penggunaan klomifen sitrat pada kelompok infertilitas idiopatik..

Review Cochrane oleh Hughes dkk tidak menunjukkan adanya perbedaan

angka kehamilan antara kelompok klomifen sitrat dibandingkan manajemen

ekspektatif (OR 1.03,95% CI 0.64 to 1.66). Data dua studi yang

menganalisis penggunaan klomifen sitrat bersamaan hCG sebagai pemicu

32
ovulasi juga tidak menunjukkan adanya manfaat (OR 1.55, 95% CI 0.58 to

4.60).

c) Inseminasi Intrauterin

Inseminasi intrauterin dengan atau tanpa stimulasi merupakan pilihan pada

tatalaksana infertilitas idiopatik. Peningkatan jumlah spermatozoa yang

motil dalam uterus dan menempatkan sperma dalam jarak yang dekat

terhadap 1 atau lebih oosit berpotensi meningkatkan kemungkinan

terjadinya kehamilan. Inseminasi dapat dilakukan dengan atau tanpa

prosedur stimulasi ovarium

2.3. Hubungan Mioma Uteri dengan Terjadinya Infertilitas

Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri

yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama

teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum berhasil memperoleh

kehamilan. Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya

pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu,

dikatakan sebagai infertilitas sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk

mengalami kehamilan setelah satu tahun pascapersalinan atau pascaabortus, tanpa

menggunakan kontrasepsi apapun.

33
Infertilitas dapat disebabkan oleh faktor non organik maupun faktor organik.

Dibawah ini adalah faktor penyebab infertilitas :

Faktor Non Organik Faktor Organik


Masalah Vagina Masalah Uterus Masalah Masalah
Tuba Ovarium

Usia Dispareunia Faktor Serviks : Sumbatan Sindrom


- Servisitis Tuba Ovarium
- Trauma pada Polikistik
serviks
Pola hidup : Vaginismus Faktor Kavum uteri
- Alkohol - Kelainan
- Merokok anatomi
- Berat badan - Faktor
endometriosis
Frekuensi senggama Vaginitis Faktor Miometrium
- Mioma Uteri
- Adenomiosis

Salah satu faktor organik yang dapat menyebabkan infertilitas adalah

masalah pada uterus, apabila terdapat kelainan pada serviks, kavum uteri, maupun

miometrium. Mioma uteri merupakan salah satu kelainan pada miometrium.

Mioma uteri merupakan tumor jinak uterus yang berasal dari peningkatan

aktivitas proliferasi sel-sel miometrium. Pengaruh mioma uteri terhadap kejadian

infertilitas hanyalah berkisar antara 30%-50%. Mioma uteri mempengaruhi

fertilitas kemungkinan terkait dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada kanalis

servikalis atau mempengaruhi implantasi.

34
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Ny. CA

Umur : 36 tahun

Pekerjaan : PNS

Agama : Kristen Katolik

Status : Menikah

Alamat : Penfui

Tgl MRS : 3 Maret 2019

Tgl KRS : 8 maret 2019

No. RM : 508424

3.2 Anamnesis

Keluhan utama

Nyeri perut bagian bawah

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut bawah yang dirasakan terutama saat

datang bulan. gejala sudah dirasakan sejak lama namun pasien merasa keluhan ini

merupakan hal yang normal. Pasien juga mengeluhkan sulit memperoleh

keturunan padahal sudah 4 tahun menikah. Pasien kemudian direncanakan untuk

dilakukan operasi laparaskopi diagnostik pada tanggal 4 Maret 2019. Setelah

dilakukan laparaskopi didapatkan teradapat mioma subserosa dan kista ovarium

pada ovarium kiri dan kanan serta perlengktan dengan omentum dan usus besar

35
sehingga operasi dilanjutkan dengan laparatomi kistektomi bilateral, miomektomi

dan adhesiolisis. Setelah operasi pasien dirawat di Bangsal Edelweis II RSUD

Prof. Dr. W.Z. Johannes selama 4 hari. Selama masa perawatan post-op, tidak

keluhan istimewa yang dikeluhkan pasien. Pasien hanya mengeluh nyeri pada

luka bekas operasi.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien juga di diagnosa dengan infertil primer karena setelah menikah dengan

suami selama 4 tahun, pasien belum pernah memiliki anak walaupun pasien tidak

pernah menggunakan kontrasepsi, dan secara rutin melakukan hubungan intim,

pasien juga tidak merokok, dan tidak minum minuman beralkohol.

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi : Belum ada bacaan

Setelah Operasi ditemukan multiple mioma : Mioma Uteri Subserosa dengan

Ukuran 10cm x10 cm, kista ovarium Sinistra dengan uk 10 cmx5cm dan kista

ovarium dextra dengan uk 10cmx10 cm, perlengketan dengan omentum dan usus

besar

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat mioma uteri pada saudara/I kandung (-), riwayat infertil pada saudara/I

kandung (-)

Riwayat Obstetri:

Haid Terakhir : 28/2/2018

Menarche : usia 13 tahun, Siklus haid: teratur, selama 28 hari, Keluhan saat

haid: Nyeri perut bagian bawah, haid berlangsung selama 4-5 hari

36
Menikah sebanyak 1 kali, menikah sejak usia 32 tahun (4 tahun lalu).

Riwayat Pemakaian Kontrasepsi : -

3.3 Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sehat

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

BB : 48 kg

TB : 157 cm

IMT : 19,4 kg/m2

Suhu : 36,50C

Mata : Konjungtiva anemis -|-, Sklera ikterik -|-

Leher : Masa (-), tiroid tak teraba

Jantung : S1S2 tunggal regular, Murmur (-) Gallop (-)

Paru : Vesikuler (+|+), Rhonki (-|-), Wheezing (-|-)

Abdomen :

- Auskultasi : Bising Usus (+) kesan normal,

- Inspeksi : Tampak datar, BU (+), Supel (+)

- Palpasi : Supel, nyeri tekan minimal, masa (-)

- Perkusi : Timpani seluruh lap abdomen

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-|-)

37
3.4 Pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan PA belum diambil.

3.5 Diagnosis

Dx Prabedah : Myoma Uteri + Infertil 4 tahun

Dx Post Bedah: Myoma Sub Serosa + Kista Ovari Bilateral

38
BAB 4

PEMBAHASAN

Pasien merupakan pasien rawat inap di RSUD Prof. DR.WZ.Johannes

Kupang. Pasien sudah menikah 4 tahun dan belum memiliki anak. Pasien datang

ke RS dengan rencana operasi laparoskopi diagnostik. Pasien sebelumnya

mengeluh nyeri perut bawah yang dirasakan terutama saat datang bulan, mual (-),

pusing (-). Pada tanggal 4 Maret Desember dilakukan operasi laparoskopi

diagnostik, setelah dievaluasi ternyata didapatkan adanya myoma subserosa

dengan ukuran 10 x 10cm, kita ovari bilateral dengan uk ±10x10 cm serta terdapat

perlengketan dengan omentum dan usus besar. Pasien dirawat selama 4 hari

setelah post-op. Gejala yang dikeluhkan selama perawatan post-op ialah nyeri

luka bekas operasi.

Gejala klinis hanya terjadi pada 35-50% penderita mioma. Berbagai keluhan

penderita dapat berupa benjolan di perut bagian bawah, pada 30% penderita yang

bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi zat besi dan bila

berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk dikoreksi

dengan suplemen zat besi, nyeri terkait dengan proes degenerasi akibat oklusi

pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya

untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri, penekanan organ sekitar,

sekret serosanguinea vaginal, dispareunia, dan penurunan kesuburan.

Temuan klinis mioma uteri yang beragam ataupun asimtomatis

menyebabkan mioma uteri sulit ditegakkan diagnosisnya hanya berdasarkan

39
gejala klinis saja karena gejala klinis yang dimiliki oleh mioma uteri juga dimiliki

oleh penyakit lain. Histeroskopi merupakan gold standard untuk mioma uteri.

Histeroskopi memberitahukan lokasi akurat mioma submukosa dan batas yang

jelas dari mioma bertangkai dan polip. Pemeriksaan ini juga dapat melihat distorsi

endometrium akibat mioma intramural. Manfaat pemeriksaan ini meliputi

visualisasi langsung, tindakan terapi yang terus menerus dan komplikasi minimal.

Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.

Penatalaksanaan mioma uteri ada tiga yaitu terapi konservatif, medika

mentosa dan bedah. Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan

embolisasi arteri uterus. Miomektomi, adalah pengambilan sarang mioma saja

tanpa pengangkatan uterus. Histerektomi, adalah pengangkatan uterus, yang

umumnya tindakan terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan

mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri. Embolisasi arteri uterus

(Uterin Artery Embolization / UAE), adalah injeksi arteri uterina dengan butiran

polyvinyl alkohol melalui kateter yang nantinya akan menghambat aliran darah ke

mioma dan menyebabkan nekrosis.

Komplikasi yang dapat disebabkan oleh mioma uteri adalah Degenerasi

ganas, Torsi tangkai mioma, dan efek terhadap kehamilan yaitu Infertilitas,

Abortus, Persalinan prematuritas dan kelainan letak , Inersia uteri, Gangguan jalan

partum, perdarahan post partum, dan Retensi plasenta. Myoma yang kambuh

kembali (rekurens) setelah myomectomi terjadi pada 15-40% pasien dan 2/3nya

memerlukan tindakan lebih lanjut.

40
BAB 5

KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien Ny. CA umur 36 tahun dengan MRS dengan

keluhan pasien nyeri perut bawah serta rencana op laparaksopi diagnostik .Pasien

sudah menikah 4 tahun menikah dan tidak memiliki anak, dilakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Setelah dilakukan laparoskopi

diagnostik ditemukan adanya myoma subserosa, kita ovarium bilateral serta

perlengketan dengan omentum dan usus besar sehingga operasi dilanjutkan

dengan miomektomi, kestektomi bilateral dan adhesiolisis. Pasien dirawat selam 4

hari setelah post-op.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono.2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo

2. Jones. Derek Llewellyn.2001. Dasar-dasar obstetric dan

ginekologi.Jakarta.Hipokrates

3. Sarwono.2009. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo

4. Rayburn, W. F., Christopher C. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Widya

Medika. Jakarta.

5. Baradero, Mary, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem

Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC

6. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.

7. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid kedua .

Media Aesculapius : Jakarta

8. Thomason,Philip (2008) Leiomyoma Uterus.http: // Emedicine. Medscape/

Com/ Artikel/ 405676- overview.

9. Genetics and the development of fibroids. KL Gross, CC Morton - Clinical

obstetrics and gynecology, 2001.

10. Djuwantono, T. (2005) Terapi GnRH Agonis Sebelum Histerektomi atau

Miomektomi. Farmacia. Riau: Digillib FK Riau.

11. Wiknjosastro, H. (2005). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

42
12. Ganong, Williams F (2008) Buku Ajar Fisiologi Kedokteranedisi 2. Jakarta

: EGC.

13. Joedosapoetro, MS. (2005) Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan

Bina Pustaka. Pp: 38-41.

14. Parker, W. H. (2007) Etiology, Symptomatology and Diagnosis of Uterine

Myomas”.American Society for Reproduktif Medicine

15. Scott JR, Disala PJ, Hammond CB. 2002. Danforth Buku Saku Obstetric

dan ginekologi. Jakarta: Widya Medika

16. Uterine fibroids. Stewart EA. Lancet. 2001.Center for Uterine Fibroids,

Department of Obstetrics, Gynecology and Reproductive Biology, Brigham

and Women's Hospital, Harvard Medical School, Boston, Massachusetts

17. DeCherney AH, Nathan L. Goodwin TM, Laufer N. Current .Diagnosis and

Treatements in Obstetrics and Gynecology : Benign Disorders of the

Uterine Corpus. 10th Ed. McGraw-Hill. 2007

18. Datta J, Palmer MJ, Tanton C, Gibson LJ, Jones KG, Macdowall W, et al.

Prevalence of Infertility and Help seeking among 15 000 women and men.

2016;31(9):2108–18.

19. Fidel M, Siregar G. When Myoma Causes Infertility. J Nat Res.

2013;3(4):95–106

20. HIFERI, PERFITRI, IAUI, POGI. Konsensus Penanganan Infertilitas.

Jakarta; 2015

43

Anda mungkin juga menyukai