Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

HUBUNGAN OBSRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS)


TERHADAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Penyusun :
NGAKAN MADE ARI MAHARDIKA (11-2016-326)
ABDUL SIDDIQ BIN RAHANI (11-2017-116)
RAYMOND FERDINAND NOELNONI (11-2017-022)

Dokter Pembimbing :
Dr. RIZA RIZALDI, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD TARAKAN JAKARTA PUSAT
PERIODE 23 APRIL 2018 – 26 MEI 2018
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

NAMA : Ngakan Made Ari Mahardika(11-2016-326)


Abdul Siddiq Bin Rahani (11-2017-116)
Raymond Ferdinand Noelnoni (11-2017-022)

PERIODE : 23 April – 26 Mei 2018

: Hubungan Obsructibe Sleep Apnea Syndrome


JUDUL
(OSAS) Terhadap Penyakit Kardiovaskular

TANGGAL PRESENTASI : 21 Mei 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : Dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

Jakarta, 25 Mei 2018


Yang Mengesahkan,

(Dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL)

2
DAFTAR ISI

halaman
BAB I
Pendahuluan……………………………………………………. 4

BAB II
Tinjauan Pustaka……………………………………………….. 5

BAB III
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) dan Penyakit 13
Kardiovaskuler

BAB IV
Penutup ……………………………………………………….. 27

BAB V
Daftar Pustaka ………………………………………………… 30

3
BAB 1
PENDAHULUAN

Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis, hampir sepertiga masa
hidup kita dihabiskan dengan kondisi ini.1 Akan tetapi, kondisi fisiologis ini dapat terganggu
dengan adanya Obstructive Sleep Apnea (OSA), yang bermanifestasi pada penyakit
kardiovaskuler (Cardiovascular disease, CVD).2 Beberapa tahun terakhir banyak penelitian
yang mempelajari fisiologi tidur dan gangguan-gangguan tidur, seperti Obstructive Sleep Apnea
(OSA). Ternyata 95% gangguan napas saat tidur adalah obstruksi saluran napas atas dan 5%
adalah gangguan sistem saraf pusat. Gangguan pernapasan saat tidur dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.3
OSA memicu efek fisiologis, baik akut maupun kronik, pada sistem kardiovaskuler.
Terdapat bukti nyata yang menunjukkan bahwa OSA secara independen berhubungan klinis
dengan CVD.4 Makalah ini akan membahas mengenai OSA, hubungannya terhadap sistem
kardiovaskuler, cara mendiagnosisnya dan cara mengatasinya.
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom obstruksi total atau
parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologi yang bermakna dengan dampak klinis
yang bervariasi. Beberapa keadaan dapat merupakan faktor risiko OSAS seperti hipertrofi
adenoid dan atau tonsil, obesitas, disproporsi sefalometri, kelainan daerah hidung. Diagnosis
OSAS secara definif menggunakan polisomnografi yaitu adanya indeks apena atau hipopnea
lebih dari 5. Sebagai alternatif diagnosis adalah menggunakan kuesioner Brouillete dkk,
observasi dengan video, atau menggunakan pulse oksimetri.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
OSA juga dikenali dengan obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) dimana adanya
gangguan pernafasan sewaktu tidur yang dikarakteristikkan dengan obstruksi jalan nafas partial
yang lama (prolonged partial airway obstruction) dan/atau obstruksi total yang intermittent
yang mengganggu ventilasi yang normal sewaktu tidur dan menganggu pola tidur yang normal.5
Gangguan henti nafas ini biasanya terjadi karena adanya obstruksi jalan nafas.6 Obstructive
sleep apnea ialah terhentinya aliran udara di hidung dan mulut pada saat tidur dan lamanya
lebih dari lebih dari 10 detik, terjadi berulang kali, dapat mencapai 20-60 kali per jam, dan
disertai dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%.7
OSA juga didefinisikan sebagai keadaan hilangnya tonus muskulus dilator faring pada
saat tidur, yang menyebabkan kolaps faring rekuren dan henti napas sementara (apnea).
Obstructive apnea merupakan suatu ketidakadaan aliran udara selama paling tidak 10
detik dengan usaha ventilasi yang aktif (ditandai dengan pergerakan torakoabdominal).
Obstructive hyponea adalah penurunan lebih dari 50% pergerakan torakoabdominal
selama paling sedikit 10 detik, dihubungkan dengan penurunan 4% saturasi oksigen.
AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah rerata kejadian apnea dan hypopnea selama satu
jam tidur, hal ini menjadi salah satu acuan tingkat keparahan OSA. Seseorang dikatakan terkena
OSA, jika skor AHI 5 atau lebih, dan tingkat yang parah jika skor AHI 30 atau lebih. 5,6,7,8

Etiologi
Pada anak, penyebab OSAS paling sering adalah pembesaran tonsil dan adenoid.
Sewaktu tidur dikatakan ada penurunan tonus otot dimana akan memberi kesan terhadap jalan
nafas dan pernafasan. Ramai di antara anak-anak tersebut mengalami kesulitan untuk bernafas
sewaktu bangun dari tidur namun, dengan penurunan tonus otot sewaktu tidur, jalan nafas
menjadi lebih sempit, tonsil dan adenoid akan menghalangi jalan nafas, menyebabkan aliran
udara terhambat dan kerja untuk bernafas bertambah.5
Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa obesitas merupakan
penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai penyebab utama.
Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian
atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas,
maupun kompresi eksternal leher dan rahang.7

5
Penyebab yang jarang tetapi bisa menyebabkan OSAS termasuk tumor di saluran nafas,
kelainan kongenital seperti Down syndrome, Pierre-Robin syndrome yang menyebabkan
terjadinya pembesaran pada struktur lidah dan rahang.7

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, prevalensi OSAS (Apnea-AHI ≥ 5) pada orang dewasa kulit putih
dengan usia 30 – 60 tahun sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar
9% laki-laki dan 4% perempuan. Di Eropa, usia 30 - 70 tahun dengan AHI ≥ 5 didapatkan 26%
laki-laki dan 28% perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan.
Di Hong Kong, prevalensi usia 30 - 60 tahun dengan AHI ≥ 5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI ≥
15 sebesar 5% dan 3%.8-10

Patofisiologi
Kebanyakan pasien dengan OSAS mendemonstrasikan obstruksi jalan nafas pada batas
palatum mole (nasofaring) atau pada batas lidah (orofaring). Penelitian menyatakan bahwa
adanya faktor anatomi dan neuromaskular. Faktor anatomi seperti hipertrofi adenotonsiler,
obesitas, dan kelainan kraniofasial, memberikan kontribusi terhadap penyempitan saluran napas
atas, biasanya merupakan penyebab utama OSA pada anak-anak. Hingga 20% anak-anak tidak
mengalami perbaikan gejala atau perbaikan pernapasan setelah adenotonsilektomi.11,12
Faktor anatomi (contohnya tonsil yang membesar; volume lidah; jaringan lunak, atau
dinding lateral faringeal; panjang palatum mole; posisi abnormal maksila dan mandibular)
setiapnya berkontribusi kepada pengurangan area potongan kros-seksional saluran pernafasan
atas dan/atau meningkatkan tekanan disekitar jalan nafas, keduanya yang merupakan
predisposisi kolapsnya jalan nafas.11,12
Aktivitas neuromuscular dalam saluran nafas atas, termasuk aktivitas refleks,
berkurang pada waktu tidur, dan pengurangan ini bisa menjadi lebih pada pasien dengan OSA.
Pengurangan output motor ventilator pada otot-otot pernafasan atas dipercaya menjadi faktor
kritikal menginisiasi obstruksi jalan nafas; efek ini terlihat jelas pada pasien dengan jalan nafas
atas yang kolaps dengan predisposisi faktor anatomi.11,12

6
Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan nafas yaitu:11,12

1. Teori balance of forces : ukuran lumen farings tergantung pada keseimbangan antara
tekanan negatif intrafaringeal yang timbul selama inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot
jalan nafas atas. Tekanan transmural pada saluran nafas atas yang mengalami kolaps
disebut closing pressure. Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan nafas atas akan
mempertahankan tekanan transmural di atas closing pressure sehingga jalan nafas atas
tetap paten. Pada saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen farings
mengecil sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi.
2. Teori starling resistor : jalan nafas atas berperan sebagai starling resistor yaitu
perubahan tekanan yang memungkinkan farings untuk mengalami kolaps yang
menentukan aliran udara melalui saluran nafas atas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraluminal maupun fungsi otot saluran nafas atas
yang mempermudah terjadinya kolaps jalan nafas selama tidur telah diketahui. Manifestasi
OSAS timbul jika faktor yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas bergabung
dengan kelainan kontrol susunan saraf pusat terhadap fungsi otot-otot saluran nafas atas.
Kemungkinan kombinasi faktor-faktor ini dapat menerangkan mengapa beberapa anak dengan
kelainan struktur mengalami OSAS sementara yang lainnya dengan derajat penyempitan
saluran nafas yang sama menunjukkan pernafasan yang normal selama tidur. Gambaran klinis
gangguan napas saat tidur pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Ini disebabkan oleh
karena perubahan kardiovaskuler pada anak-anak muncul akibat sekunder terhadap stimulasi
abnormal sistem saraf autonom yang sesuai dengan lamanya gangguan napas saat tidur. Tidur
yang terputus dan hiperkapnea dan hipoksemia menyebabkan perubahan kualitas dan lama
tidur.11,12

Diagnosis
Diagnosis OSAS ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Gabungan data
yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan kepada
indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSAS. Hal-hal yang harus dinilai pada
pemeriksaan fisik adalah IMT, ukuran lingkar leher, keadaan rongga hidung (deviasi septum,
hipertrofi konka, polip, adenoid), perasat Mueller (untuk menilai penyempitan velo-orofaring),
penilaian Friedman tounge position (modifikasi Mallampati), bentuk palatum mole, bentuk

7
uvula, palatal flutter, palatal floppy, ukuran tonsil dan penyempitan peritonsil lateral. Populasi
dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki prevalensi OSAS >50%.13-5

Untuk memudahkan penilaian saluran napas atas, Friedman membuat standar


pemeriksaan daerah naso-velo-orofaring. Ada empat derajat Friedman tounge position. Pasien
membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, dilakukan observasi:
 derajat I, seluruh uvula tervisualisasi;
 derajat II, uvula tervisualisasi tetapi tonsil tidak terlihat;
 derajat III, palatum mole tervisualisasi, tetapi uvula tidak terlihat;
 derajat IV, hanya palatum durum yang tervisualisasi.

Semakin tinggi derajatnya, semakin besar kemungkinan obstruksi orofaringeal, dan semakin
besar risiko obstruksi persisten setelah tonsilektomi dan adenoidektomi.16
Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat mencerminkan
keadaan mendengkur pasien OSAS saat tidur dan dapat digunakan untuk memprediksi
keberhasilan dari operasi uvulopalatopharyngealplasty (UPPP). Caranya adalah dalam posisi
duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien diinstruksikan untuk melakukan inspirasi kuat
sambil menutup hidung dan mulut. Pada pemeriksaan ini dilakukan penilaian luas saluran napas
atas pada ruang retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi
anteroposterior, laterolateral atau konsentrik.16-7

Pemeriksaan sefalometri dan foto polos saluran napas atas dapat digunakan untuk
mengevaluasi kelainan anatomi kraniofasial. Komputer tomografi dan magnetic resonance
imaging (MRI) juga dapat memfasilitasi untuk memahami hubungan antara kelainan anatomi
kraniofasial dengan gangguan pernapasan.16-7

Pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan


polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis OSAS. Pada anak, tanda dan gejala obstructive sleep apnea lebih ringan
dari pada orang dewasa; karena itu diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas dengan
polisomnografi. Polysomnography terdiri dari pemeriksaan kontinu selama tidur dengan
rekaman EEG, okulogram, elektromiogram submental dan tibial, EKG, nasooral air flow,
saturasi oksigen perifer serta pergerakan dinding torakoabdominal dan abdomen. Alat ini dapat

8
menyediakan informasi komprehensif mengenai efisiensi tidur, arsitektur tidur, arousal dan
penyebabnya, kejadian gangguan nafas, perubahan saturasi oksigen, serta aritmia jantung
selama periode tidur. Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan
pernafasan selama tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai
beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi keadaannya
setelah operasi.18-21

Gambar 1. Rekaman polysomnography terdiri elektrookulogram (EOG), elektroensefalogram


(EEG), elektromiogram (EMG), elektrokardiogram (EKG), sympathetic nervous system activity
(SNA), respirasi (RESP) dan tekanan darah (BP) selama tidur periode REM pada pasien OSA.
BP meningkat pada akhir periode apnea, mencapai puncak selama arousal (sebagai indikaso
adanya peningkatan tonus muskulus; lihat tanda panah).
(Intern Med J 2004;34:420-426)

Namun mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan
belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain sebagai uji tapis.
Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner. Brouillette dkk
menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal dapat diprediksi dengan suatu
questionnare score yang disebut Skor OSAS.

9
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan


OSAS berdasarkan nilai:
Skor < -1 : bukan OSAS
Skor -1 sampai 3,5 : mungkin OSAS/ mungkin bukan OSAS
Skor > 3,5 : sangat mungkin OSAS

Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS meskipun tetap
memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor >3,5 untuk diagnosis pasti
tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti dapat menerima penggunaan skor
tersebut, tetapi banyak pula yang tidak menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai
sensitivitas 73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.18

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur yang
biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas terjadi, mendengkur
merupakan gejala yang mula-mula timbul. Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus
menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya
anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan
terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun Sebagian
kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan
nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya retraksi.
Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk
mempertahankan patensi jalan nafas.18
Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut, adenoidal facies,
midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial lainnya, obesitas, gagal
tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic shiners atau lipatan horizontal hidung. Patensi pasase
hidung harus dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran lidah,
integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan ukuran

10
uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan
auskultasi.18

Penatalaksanaan OSAS
Penatalaksanaan OSAS terdiri dari terapi non-bedah dan terapi bedah. Penggunaan
continuous positive pressure (CPAP) adalah terapi non-bedah OSAS yang dianggap paling
efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-hipopnea dan daytime hypersomnolence.
The American College of Chest Physicians merekomendasikan CPAP pada pasien dengan AHI
>30 dan juga pasien dengan AHI 5–30 yang disertai gejala. Kelemahan CPAP adalah adanya
rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis,
iritasi wajah dan hidung serta aerofagia.3,4,14-16
Dengan menurunkan berat badan, penderita OSAS dengan obesitas dapat meningkatkan
volume dan fungsi saluran napas atas. Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat
penenang, nikotin dan kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas
dan mekanisme pernapasan sentral. Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek jangka
panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada saluran napas atas.3,4,14,16
Tujuan terapi bedah pada OSAS adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk salura
napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi pembedahan OSAS
adalah AHI ≥20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya
gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan
terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak
ada satu teknik yang benar-benar baik untuk OSAS .6,14,17
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi dengan
melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan tonsil. Menurut
penelitian meta-analisis yang pernah dilakukan, dinyatakan UPPP secara signifikan dapat
menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen. UPPP kurang efektif pada pasien usia
lanjut dan IMT yang tinggi. Genioglosus advancement dapat memperbaiki obstruksi
retroglosal. Teknik ini dilakukan pada pasien dengan AHI >30 yang disebabkan oleh obstruksi
pada dasar lidah. Keberhasilan teknik ini dalam memperbaiki AHI dan saturasi oksigen
mencapai angka 66-85%.3,4,16
Teknik maksila-mandibular osteotomi dapat dilakukan pada pasien yang tidak mengalami
kemajuan pasca-UPPP dan genioglosus advancement setelah dievaluasi selama enam bulan
dengan PSG. Teknik ini mempunyai angka keberhasilan 97-100% dalam menurunkan AHI dan
meningkatkan saturasi oksigen darah.3,4,16

11
Laser-assisted uvuloplasty (LAUP) adalah teknik yang mirip seperti UPPP, namun
menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini dapat dilakukan dengan anastesi lokal dalam 1-3
sesi rawat jalan. LAUP tidak direkomendasikan pada pasien yang memiliki obstruksi pada
daerah tonsil, penebalan mukosa faring, hipertrofi tonsil dan AHI >30. LAUP sudah sekarang
jarang dikerjakan.3,4,16
Teknik operasi lain adalah radiofrequency ablation (RA) palatum. Indikasinya untuk
pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI <15. Angka keberhasilan RA palatum dalam
mengeliminasi keluhan mendengkur dan memperbaiki nilai ESS mencapai 75%, namun tidak
mengubah nilai AHI. Madani melaporkan nasal radioablation pada hipertrofi konka mampu
mereduksi obstruksi jalan napas atas. Penggantian palatum dengan implan dapat dilakukan pada
OSAS sedang dan berat. Teknik ini dapat menurunkan AHI <10 sampai 63%.3,4

12
BAB III

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSA) dan Penyakit Kardiovaskuler

OSAS dan Penyakit kardiovaskuler57-61


Penyakit kardiovaskuler atau cardiovascular disease (CVD) adalah istilah yang digunakan
untuk gangguan fungsi pada jantung dan pembuluh darah. Terdapat tiga bentuk penyakit
kardiovaskuler, yaitu penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit vaskuler
perifer. Banyak faktor predisposisi dan faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya CVD,
seperti umur, obesitas, jenis kelamin, ras, pola hidup, rokok, dan makanan. Penyakit diabetes
melitus dan OSA, dianggap sebagai faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya CVD.
Faktor risiko yang sama-sama ada pada OSAS maupun CVD diduga sebagai faktor penghubung
antara keduanya.22
Selama tidur fase NREM (Non Rapid Eye Movement), laju metabolisme, aktivitas saraf
simpatis, tekanan darah dan heart rate semuanya menurun, sedangkan tonus vagal kardiak
meningkat. OSAS mengganggu aktivitas jantung selama tidur, dengan cara memacu suatu jalur
hemodinamik, fungsi autonom, efek kimiawi, inflamasi dan metabolik yang (jika berlangsung
kronik) dapat berisiko kardiovaskuler . (Gambar 2)

Gambar 2. Patofisiologi OSA terhadap CVD. PNA = Parasympathetic Nervous System


Activity. PO 2 = Partial Pressure of Oxygen. PCO 2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA
= Sympathetic Nervous System Activity. HR = Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left
Ventricular. (Lancet 2009; 373: 82–93).

13
Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida akibat OSAS akan menimbulkan efek
terhadap parasimpatis dan simpatis kardiak sehingga ber pengaruh terhadap heart rate. Ketika
parasimpatis dominan, heart rate menjadi lambat. Sebaliknya jika simpatis dominan, heart rate
akan meningkat.
Gejala hipoksia akibat apnea dan retensi karbondioksida yang berulang selama tidur,
mengakibatkan usaha bernafas menjadi tidak efektif dan terbentuk tekanan intrathorakal
negatif. Hal tersebut menyebabkan peningkatan perbedaan tekanan intrakardiak dengan
ekstrakardiak, meningkatkan tekanan transmural ventrikel kiri.
Tekanan intrathorakal yang negatif mengakibatkan aliran balik ke thorak meningkat,
preload ventrikel kanan juga meningkat, sedang hipoksia akibat apnea menyebabkan
vasokonstriksi pulmoner dan peningkatan afterload ventrikel kanan. Keadaan ini menghasilkan
distensi ventrikel kanan, dengan hasil akhir gangguan pengisian ventrikel kiri dan penurunan
stroke volume.
Hipoksia yang terjadi selama OSAS secara langsung mengakibatkan gangguan
kontraktilitas kardiak dan relaksasi diastolik. Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida
tersebut berpengaruh terhadap saraf simpatis, terjadilah vasokonstriksi perifer, meningkatkan
afterload dan peningkatan tekanan darah.
Ketika terminasi apnea, asfiksia memicu terjadinya usaha bangun dari tidur (arousal)
yang meningkatkan aktivitas simpatis dan menekan tonus vagal (meningkatkan tekanan darah
dan heart rate). Efek akut ini dipertahankan selama keadaan bangun penuh, dengan peningkatan
tekanan darah dan gangguan vagal (variabilitas heart rate).
Lekosit yang teraktivasi memiliki peran penting pada respon inflamasi endotel vaskuler
terhadap kerusakan seluler akibat hipoksia atau reoksi genasi. Hal ini, mungkin akan mengubah
reaktivitas endotel dan menyebabkan proses aterogenesis. Namun, belum terdapat bukti yang
nyata OSAS menyebabkan aterosklerosis secara langsung.
Pasien OSA juga menunjukkan peningkatan stres oksidatif (reactive oxygen spesies
pada monosit 23 dan neutrofil 24). Peningkatan stres oksidatif dihubungkan dengan
peningkatan molekul adhesi, seperti ICAM-1 (Intracellular Adhesion Molecule-1), VCAM-1
(Vascular Cell Adhesion Molecule-1) dan E-selectin. Mediator inflamasi seperti CRP (C-
Reactive Protein), begitu juga dengan stres oksidatif mempunyai peran penting dalam proses
aterogenesis dan pembentukan trombus arteri.
Hipoksia intermiten dapat memicu produksi radikal bebas oksigen, aktivasi jalur
inflamasi yang menggangu fungsi endotel vaskuler dan peningkatan tekanan darah secara tidak
langsung akibat aktivitas simpatis tersebut.

14
Pasien dengan OSAS memiliki konsentrasi plasma nitrit yang rendah, menunjukkan
bioavaibilitas nitric oxide yang rendah juga. Didapatkan peningkatan ekspresi molekul adhesi
monosit CD15 dan CD11c, serta monosit pasien OSAS memiliki adhesi yang lebih tinggi
disbandingkan orang normal.
OSAS juga mengakibatkan oksidasi lipoprotein,peningkatan ekspresi molekul adhesi,
perlekatan monosit pada endotel vaskuler dan proliferasi otot polos vaskuler. Efek-efek ini,
ditambah dengan aktivitas vasokonstriksi simpatis dan inflamasi, dapat mengakibatkan
hipertensi dan aterosklerosis.
Mekanisme fisiologi akut maupun kronis yang terjadi selama OSAS berupa aktivasi
simpatis, peningkatan stres dinding ventrikel kiri, peningkatan afterload, disfungsi diastolik
akut, left atrial stretch, pembesaran atrium kiri, resistensi insulin, hiperleptinemia,
hiperkoagulabilitas, inflamasi sistemik, stres oksidatif maupun disfungsi endotel dapat
berkaitan dengan risiko beberapa penyakit kardiovaskuler; di antaranya, hipertensi, disfungsi
diastolik dan sistolik, sinus pause atau arrest, AV block, atrial fibrillation, ventricular ectopic,
nocturnal angina, CAD (coronary artery disease), penyakit serebrovaskuler, maupun sudden
cardiac death.
Kondisi sleep apnea yang merupakan gabungan dari stress hipoksemia, apnea (henti
napas), dan gangguan tidur akan mengaktifkan beberapa mekanisme potensial sebagai
konsekuensinya. Henti napas yang berulang pada malam hari akan mengakibatkan gangguan
homeostasis yang berat pada sistem kardiovaskular. Hipoksemia, hiperkapnea, asidosis,
peningkatan sistem adrenergik, peningkatan afterload, dan fluktuasi yang cepat pada dinding
jantung akan berakibat pada sistem konduksi jantung yang bermanifestasi sebagai kondisi
aritmia dengan berbagai jenisnya.
OSAS ditandai oleh kolaps berulang saluran napas atas saat tidur, yang menyebabkan
upaya napas tidak efektif dan apnea. Kejadian ini biasanya diikuti dengan suatu periode
‘recovery’ atau pemulihan napas yang disebut sebagai hiperpnea. Central sleep apnea (CSA)
berbeda dari OSAS dikarenakan tidak adanya usaha napas yang merupakan akibat dari
ketidakstabilan dalam kontrol kemorefleks pernapasan dan bukan kolapsnya saluran napas.
Pernapasan Cheyne-Stokes adalah salah satu bentuk CSA dimana fase apnea bergantian dengan
periode ventilasi (fase hiperpnea) dan mempunyai pola volume tidal yang crescendo-
decrescendo. Meskipun kurang umum bila dibandingkan OSAS, CSA sering didapatkan pada
pasien dengan gagal jantung, 2 studi serial besar melaporkan sampai dengan 30-40%.
OSA dapat mencetuskan kejadian hipoksemia intermiten dan retensi CO, penurunan
saturasi oksigen hingga 60% mengakibatkan gangguan tidur. Henti napas saat tidur

15
mengakibatkan gangguan kemorefleks sehingga meningkatkan aktifitas simpatis pembuluh
darah yang akhirnya mencetuskan vasokonstriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah saat tidur ini
akan meningkatkan tekanan darah yang mendasari berbagai kelainan kardiovaskular lainnya
seperti yang digambarkan di gambar 3.

Gambar 3 . Skema patofisiologi OSA menyebabkan Penyakit Kardiovaskualr serta hubugan


diantaranya.

OSA dan hipertensi 57-61


Sebuah penelitian melaporkan bahwa pasien dengan OSAS memiliki rata-rata tekanan
darah lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Ada beberapa mekanisme pada OSAS
yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan darah. Pada saat terjadinya fase
apnea, tidak ada aliran udara ke paru, kadar oksigen darah akan turun dan kadar CO2 darah naik.
Pada awal periode ini, tekanan darah akan turun untuk selanjutnya naik secara signifikan
sebagai akibat dari mekanisme refleks simpatis dan usaha melawan keadaan obstruksi jalan
napas.
Penderita OSAS mengalami peningkatan aktivitas saraf simpatik sampai dua kali normal
pada fase apnea-hipopnea. Repetisi dari hipoksemia dan arousal yang terjadi secara terus-
menerus pada OSAS diduga menjadi kunci peningkatan tekanan darah. Patofisiologi OSAS
juga dihubungkan dengan patogenesis kerusakan endotel dan gangguan kemampuan
vasodilatasi pembuluhdaran16,19,20
Penelitian Wisconsin Sleep Cohort Study mendapatkan hubungan independen antara OSA
dan peningkatan tekanan darah pada siang hari. Penelitian tersebut menyatakan bahwa orang

16
dewasa dengan AHI ≥15 memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk menjadi hipertensi dalam
empat tahun ke depan.22-24
Penggunaan terapi CPAP pada pasien OSAS dilaporkan dapat menurunkan aktivitas
refleks saraf simpatik dan tekanan darah malam hari. Penelitian lain melaporkan penggunaan
CPAP pada pasien OSA dan hipertensi, menyimpulkan bahwa terapi CPAP mampu
menurunkan tekanan darah pada pasien OSA terutama yang memiliki keluhan klinis, tetapi
kurang efektif pada pasien OSA yang memiliki gejala klinis minimal atau yang non-
simtomatis.22-24
Berdasarkan data Global Burden of Disease (GDB) tahun 2000,50% dari penyakit
kardiovaskuler di sebabkan oleh hipertensi. Data dari The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000 insiden hipertensi
pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta penderita hipertensi
di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES tahun 1988-1991. Penyakit
kardiovaskuler menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 dan 1995 merupakan
penyebab kematian terbesar di Indonesia. Hipertensi di Asia diperkirakan sudah mencapai 8-
18% pada tahun 1997. Hipertensi dijumpai pada 4.400 per 10.000 penduduk . Hipertensi
esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-
faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah
tersebut adalah: Asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok, genetis, sistem saraf simpatis,
keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi, pengaruh sistem otokrin
setempat yang berperan pada system renin, angiotensin dan aldosteron.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di poli saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
pada bulan September – Oktober 2015 maka hasil penelitian dari jumlah pasien Obstructive
Sleep Apnea (OSA) yang mengalami hipertensi adalah sebanyak 17 orang (79%) dan yang tidak
mengalami hipertensi sebanyak 6 orang ( 21% ). Sedangkan jumlah pasien yang Non
Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang mengalami hipertensi adalah sebanyak 6 orang (32 %)
dan yang tidak mengalami hipertensi sebanyak 14 orang ( 68 % ). Dari data di atas dapat
diketahui bahwa persentase kejadian hipertensi sesuai dengan pasien yang mengalami
Obstructive Sleep Apnea (OSA).
Setelah dilakukan uji Chi Square dengan α = 0, 05 didapatkan hasil X2 hitung = 9, 482.
Angka yang didapatkan ini lebih besar dari harga kritis untuk taraf signifikasi α = 0, 05 yaitu
sebesar X2 = 3, 751; disebut juga X2 tabel. Dari pembandingan ini dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan kejadian
hipertensi. Sedangkan dari hasil perhitungan didapatkan Odds Ratio =6, 879 yang berarti bahwa

17
penderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) memiliki resiko mengalami hipertensi sebesar 6, 879
kali lebih besar daripada yang tidak Obstructive Sleep Apnea (OSA). Dan dari perhitungan
koefisien kontingensi didapatkan nilai C (koefisienkontingensi ) sebesar 0,404 sehingga dapat
disimpulkan bahwa kekuatan hubungan antara Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan kejadian
hipertensi adalah kuat. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa secara
statistik terdapat hubungan yang bermakna antara Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan
kejadian hipertensi,dan nilai kekuatan hubungannya adalah kuat.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa pasien dengan OSA memiliki rata-rata tekanan darah
lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Ada beberapa mekanisme pada OSA yang
memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan darah. Pada saat terjadinya fase apnea,
tidak ada aliran udara ke paru, kadar oksigen darah akan turun dan kadar CO2 darah naik. Pada
awal periode ini, tekanan darah akan turun untuk selanjutnya naik secara signifikan sebagai
akibat dari mekanisme refleks simpatis dan usaha melawan keadaan obstruksi jalan napas.
Penderita OSAS mengalami peningkatan aktivitas saraf simpatik sampai dua kali normal
pada fase apnea- hipopnea. Repetisi dari hipoksemia dan arousal yang terjadi secara terus-
menerus pada OSA diduga menjadi kunci peningkatan tekanan darah. Patofisiologi OSAS juga
dihubungkan dengan patogenesis kerusakan endotel dan gangguan kemampuan vasodilatasi
pembuluh darah.
Hubungan OSAS dengan hipertensi bersifat kompleks. Obstructive sleep apnea dengan
berbagai mekanisme neurohumoral memiliki patofisiologi yang sama dengan hipertensi,
sehingga bila OSA ditemukan bersamaan dengan hipertensi akan memperberat risiko kejadian
penyakit kardiovaskuler.

Mekanisme hubungan antara OSAS dan hipertensi bisa akut ataupun kronik.35

A. Modifikasi Akut Peningkatan Tekanan Darah pada OSAS


Episode apnea berulang akan menyebabkan respons kardiovaskuler akibat integrasi
empat stimulus, yaitu hipoksemia, hiperkapnia, perubahan volume paru atau tekanan intra-
torakal, dan micro-arousals.34 Mekanisme di atas saling berhubungan akan menyebabkan
vasokonstriksi perifer dan peningkatan tekanan darah saat tidur.32 Sampai saat ini stimulus
utama pada mekanisme tersebut masih belum jelas.31

18
B. Modifikasi Kronik Peningkatan Tekanan Darah pada OSAS
OSAS berulang akan menyebabkan tingginya aktivitas kemoreseptor, sehingga
menyebabkan hipertensi sistemik diurnal, namun mekanisme perubahan tekanan darah
nokturnal rekuren menjadi hipertensi sistemik diurnal masih kontroversial.31 Peran hipoksia
intermiten yang menyebabkan hipertensi melalui perangsangan aktivitas simpatis terlihat pada
gambar 2.

Gambar 4. Peran hipoksia intermiten yang menyebabkan hipertensi.

Obstructive sleep apnea secara langsung mempengaruhi endotel vaskuler,


menyebabkan inflamasi dan stres oksidatif.35 Hipoksia intermiten akan menyebabkan inflamasi
vaskuler dan berperan dalam progresi aterosklerosis.35 Aktivasi inflamasi sistemik yang
berhubungan dengan OSAS ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP).
Peningkatan kadar CRP berkontribusi terhadap risiko aterosklerosis dan juga disfungsi
endotel.33 Peningkatan kadar CRP berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi melalui
induksi kerusakan endotel. Stres oksidatif meningkat pada pasien OSA akibat fenomena
hipoksemia dan reoksigenasi.34 Fenomena ini menyebabkan pembentukan radikal bebas yang
sangat reaktif; OSAS yang tidak tertangani juga akan meningkatkan risiko pembentukan radikal
bebas.36 Stres oksidatif dapat menyebabkan vasokonstriksi melalui banyak mekanisme
termasuk aktivasi reseptor angiotensin II dan tromboksan, blokade sintesis nitric oxide (NO)

19
dan peningkatan pembentukan ET-1.34 Mekanisme hipoksia intermiten menyebabkan disfungsi
endotel, inflamasi, dan aterosklerosis terlihat pada gambar 5.

Gambar 5. Mekanisme hipoksia intermiten menyebabkan disfungsi endotel, inflamasi, dan


aterosklerosis.

Prevalensi OSAS pada penderita hipertensi sering dijumpai, kebanyakan memiliki


keduanya dan diperkirakan 30% penyandang hipertensi memiliki OSAS dan biasanya tak
terdiagnosis. Penelitian secara cross-sectional oleh The Sleep Heart Health Study dengan
polysomnografi pada 6132 subyek menyimpulkan bahwa ada hubungan antara OSAS dan
hipertensi, prevalens hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan Apnea Hypopnea Index
(AHI). Penelitian lain yaitu Wisconsin Sleep Cohort Study pada 1069 subyek terjadi
peningkatan tekanan darah yang meningkat sesuai peningkatan AHI. Mekanisme OSA dan
terjadinya hipertensi diperkirakan karena hipoksia dan aktivasi SNA. Peningkatan SNA pada
OSA terlihat terus menerus dan diperankan oleh sensitifitas kemoreflek dan baroreflek yang
meningkatkan tonus simpati vasokonstriktor. Hal ini dibuktikan pada pasien OSA yang
diberikan Continous Positive Airway Pressure (CPAP) terjadi penurunan aktifitas simpatis
vasokonstriktor selama terbangun dan berhubungan dengan penurunan tekanan darah. Fletcher

20
dkk pada penelitiannya menunjukkan bahwa tikus yang terekpos hipoksia 8-35 hari terjadi
peningkatan hipertensi arterial. Penelitian ini mengindikasikan bahwa episode hipoksia yang
lama berefek pada peningkatan tekanan darah melalui stimulasi kemoreseptor perifer yang
berpotensi pada pengeluaran simpatis vasokonstriktor otak. Penelitian lain menambahkan pada
tikus yang terekspos hipoksia terjadi peningkatan aktifiti glandula adrenal, renal sympathetic
nerve dan renin angiotensin yang kesemuanya ini meningkatkan tekanan darah. Penelitian lain
melaporkan bahwa hipertensi pada pasien OSAs lebih sulit dikontrol dengan terapi secara
konvensional dibandingkan pasien hipertensi tanpa OSAS.

OSA dan gagal jantung 57-61


Dari hasil penelitian yang dilakukan, OSAS ditemukan pada 37% dari 450 pasien
dengan gagal jantung dari disfungsi sistolik, namun hanya sebagian kecil pasien yang
mengeluhkan terasa nya rasa ngantuk berlebihan pada pagi hingga siang hari. Prevalensi OSAS
pada penyakit jantung lebih banyak terjadi pada laki laki. Pada laki laki, factor resiko OSAS
adalah obesitas, dan pada wanita adalah usia yang tua.37
Mekanisme langsung dari OSAS yang dapat menyebabkan gagal jantung adalah
menyebabkan terjadinya gisfungsi sistolik ventrikel kiri akibat terjadinya hipertensi. Hipertensi
adalah factor resiko paling umum dari hypertrofi ventrikel dan kegagalan jantung. Penurunan
saturasi oksigen pada malam hari saat tidur adalah predictor terjadinya gangguan relaksasi
ventrikel selama fase diastole. Pada penelitian yang dilakukan oleh Framingham, peningkatan
IMT, yang merupakan factor predisposisi terjadinya OSAS, memiliki hubungan erat juga
dengan terjadinya gagal jantung.38,39,40
Dianggap bahwa hipertrofi ventrikel kiri lebih dipengaruhi oleh hipertensi yang terjadi
selama tidur dibanding dengan yang terjadi selama pasien terjaga. Sehingga, pasien dengan
OSAS dan hipertensi memiliki resiko yang jauh lebih tinggi untuk mengalami hipertrofi
ventrikel kiri dan gagal jantung. OSAS dapat memperparah keadaan gagal jantung yang telah
ada melalui beberapa mekanisme, yaitu :41
1. Meningkatkan afterload dari ventrikel kiri secara akut maupun kronik
2. Memicu terjadinya hipoksia
3. Meningkatkan resiko terjadinya myocardial infark

Pasien dengan gagal jantung yang juga mengalami OSAS, mengalami peningkatan tekanan
darah yang lebih tinggi lagi saat bangun. Sehingga hal ini menyebabkan hypoxia terhadap otot
jantung. Hal ini bila dibiarkan, akan semakin meningkatkan resiko miokaridal infark, semakin

21
meruska fungsi ventrikel, menimbulkan aritmia, dan dapat menyebabkan kematian.42,43,44
Penderita gagal jantung kongesti biasanya memiliki faktor sentral sleep apnea atau
obstructive sleep apnea. Krieger dan Caples mengutip dari Sin, menyatakan dari 450 penderita
gagal jantung kongesti (CHF), 32% memiliki OSAS. Menurut Chan seperti yang dikutip oleh
Cramer et al. menyatakan 50% penderita gagal jantung diastolik memiliki nilai AHI yang
abnormal. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa OSA merupakan predisposisi gagal
jantung yang mungkin disebabkan oleh mekanisme edema pada saluran napas atas. Gaziano et
al. mengutip dari Mansfield menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung dan OSA, menemukan bahwa penggunaan CPAP pada malam hari selama
tiga bulan, secara signifikan berhasil meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri.

Penelitian lain yang dilakukan Hanly dan kawan-kawan seperti yang dikutip oleh
Krieger dan Caples, menyatakan pasien dengan OSA tanpa gejala koroner mengalami
perubahan segmen ST pada echocardiography selama kejadian gangguan pernapasan saat tidur
malam hari.
Pelepasan vasoaktif dan kerusakan fungsi endotelial yang disebabkan oleh OSA
mengakibatkan terjadinya proses arteriosklerosis pada pembuluh darah besar termasuk
pembuluh darah koroner. Hal ini diduga dapat menjelaskan hubungan antara OSA dan penyakit
kardiovaskuler. Arteriosklerosis secara independen diduga menjadi faktor risiko yang dapat
meningkatkan tekanan darah dan mencetuskan terjadinya berbagai bentuk penyakit
kardiovaskuler.

Gambar 6. Ilustrasi skema hubugan OSA dengan penyakit kardiovaskuler.

Hipoksia menurunkan hantaran oksigen yang akan meyebabkan iskemia miokard.


Hipoksia juga mengganggu diastolik dan kontraksi jantung. Kombinasi hipoksia dengan usaha

22
inspirasi dan retensi CO2 memicu fase arousal OSAS yang akan menstimulasi aktifitas
simpatik. Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan terjadi kardiomiopati hipertrofik,
hipertensi dan gagal jantung. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menyatakan
pasien dengan gejala kardiomiopati hipertrofik dan OSAS mengalami perbaikan setelah
menjalani terapi OSA dengan baik. Penelitian mendapatkan nilai abnormal nokturnal oksimetri
(71%) pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofik yang berkaitan dengan OSAS. Penelitian
lain juga melaporkan bahwa pasien dengan kardiomiopati hipertrofik mengalami penurunan
gejala dan obstruksi jalan napas setelah OSA yang ada diterapi dengan CPAP.
Peningkatan aktivitas simpatis yang juga terjadi pada OSA dapat mengakibatkan
gangguan hemostasis seperti takikardi, kerusakan kardiovaskuler, disfungsi endotel, dan
inflamsi sistemik. Pada penderita OSA, gangguan hemostasis ini terus terjadi walaupun pasien
sedang terjaga dan belum terdeteksi sebagai penderita penyakit kardiovaskuler.

Aritmia jantung
Aritmia jantung sering dilaporkan pada pasien dengan OSAS, terutama yang mengalami
peningkatan episode apnea selama tidur. Aritmia nocturnal terjadi pada sekitar 50% dari pasien
OSAS. Aritmia yang sering terjadi selama tidur pada pasien OSAS adalah takikardia ventrikel,
sinus arrest, atrioventricular conduction block derajat 2. Trakeostomy dapat digunakan untuk
mengurangi keluhan aritmia ini. Masih kontroversi apakah OSA adalah etiologi utama dari
terjadinya aritmia nocturnal karena tingginya insidens komorbiditas kardiovaskular pada pasien
OSAS. 45-49

Iskemia dan Infark Miokardium


Hypoxemia interemitent berat, asidosis, peningkatan tekanan darah, vasokonstriksi,
yang terjadi akibat dari OSA dianggap sebagai pemicu untuk terjadi nya iskemia jantung. Pada
studi jangka panjang, pasien dengan gangguan napas saat tidur yang memiliki penyakit jantung
coroner memiliki peningkatan resiko terjadi infark miokardium dan gangguan cerebrovascular
dalam 5 tahun kedepan. Pada studi yang baru baru ini dilakukan dengan lebih dari 500 subjek,
didapatkan hasil bahwa pasien dengan OSA disbanding yang tidak memilki OSA lebih mungkin
untuk mempunyai riwayat penyaki jantung coroner. 50-56
Meski banyak yang telah diketahui mengenai hubungan sleep apena dengan aritmia,
penyekit jantuk coroner, iskemia dan infrak miokardium, data data tersebut hanya membantu
dalam bagian observasi saja. Ditemukan juga bahwa pada pasin tanpa OSA yang mengalami
sudden cardiac death , kejadian tersebut terjadi antara ham 6 hingga jam 11 pagi, yang

23
merupakan rentang waktu rentannya kardiovaskular, sedangkan pada pasien OSA, terjadi
antara jam 10 malam hingga 6 pagi yang merupakan waktu tidur. Maka dianggap bahwa OSA
mempengaruhi waktu terjadinya sudden cardia death, namun masih tidak diketahui apakah
OSA meningkatkan seluruh resiko kejadian tersebut.50-56

Obstructive Sleep Apnea Dan Disfungsi Endotel 57-61

Karakteristik disfungsi endotel berupa ketidakseimbangan produksi hormon,


peningkatan mediator inflamasi, hiperkoagulasi yang merupakan factor risiko penyakit
kardiovaskular. namun paradigm mekanis bahwa OSAS dapat menyebabkan penyakit kar-
diovaskular belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Salah satu mekanisme melalui jalur yang
beragam seperti hipoksemia, produksi reactive oxygen species (ROS) dan aktivasi simpatis.
Disfungsi endotel dapat menyebab- kan vasokonstriksi, proliferasi otot polos pembuluh darah,
hiperkoagulabilitas, trombosis sehingga terjadi kelainan kardiovaskular. Endotelium adalah
lapisan jaringan dinamis merupakan multiple growth faktors, mediator vasoaktif, kontraktilitas
pembuluh darah dan pertumbuhan sel dikaitkan dalam pengaturan fisis dan biokimia pembuluh
darah sistemik. Tonus pembuluh darah, hemostasis yang baik serat angiogenesis merupakan hal
terpenting untuk menfasilitasi barrier antara darah dan jaringan. OSAS berhubungan dengan
obesitas, hipertensi, gangguan metabolik yang berpengaruh terhadap endotel.
Terjadi peningkatan stress oksidatif pada pasien OSAS. Neutrofil dan monosit
memproduksi radikal bebas dihambat dengan terapi CPAP. Hipoksia- reoksigenasi atau
aktivitas simpatis meningkatkan radikal bebas. Terdapat peningkatan lipid peroksida akibat
produksi dari ROS. Stress oksidan memicu kerusakan endotel sehingga terjadi arterosklerosis.
Hipoksia berulang / reoksigenasi ketika henti napas sepintas pada OSAS menyerupai iskemia /
gangguan reperfusi. Selama obstruksi jalan napas perfusi tetap ada tetapi peningkatan ROS,
inflamasi dan penurunan nitric oxide (NO) serupa dengan reperfusi iskemik. NO dihasilkan
secara endogen oleh sel inflamasi seperti makrofag, neutrofil, eosinofil, endotel pembuluh
darah dan epitel saluran pernapasan, menyebabkan relaksasi otot polos dan pembuluh darah
saluran napas, ber- fungsi sebagai neuromodulator dan pertahanan tubuh terhadap patogen.
Peningkatan risiko penyakit vascular pada OSAS dikarenakan penurunan NO berakibat
disfungsi endotel. Saat ini NO secara luas diterima sebagai marker kerusakan endotel vaskular.
OSA dihubungkan dengan peningkatan mediator inflamasi dan regulasi adhesi molekul
dalam endotel pembuluh darah. Jumlah intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), vaskular
cell adhesion-1 (VCAM-1) dan E-selectin meningkat pada OSAS. Cell adhesion molecule

24
dianggap berperan penting dalam gangguan pembuluh darah seperti aterosklerosis. CPAP terapi
pada OSAS dapat menekan ekspresi dari Cell adhesion molecule. Peningkatan C-reactive
protein (CRP) plasma, leukosit dan sollubel adhesion molecules diduga menimbulkan inflamasi
kronik pada OSAS. Penumpukan dan perlengketan leukosit ke endotel pembuluh darah memicu
inflamasi sehingga terjadi aterosklerosis. Peningkatan stress oksidatif dan perlengketan monosit
pada endotel sewaktu pagi hari diduga sebagai efek buruk OSAS ganguan antiinflamasi
vaskular diurnal. Pasien OSAS yang tidak diterapi dengan baik antiinflamasi endotel terganggu
berakibat inflamasi.
Perubahan struktur dinding pembuluh darah. Sistem renin angiotensin menyebabkan
vasokonstriksi, kerusakan endotel. Aktivasi renin angiotensin pada hipoksia berulang
mempengaruhi kenaikan tekanan darah pada OSAS. Kehilangan fungsi barrier endotel
mengakibatkan terpajannya struktur subendotelial terhadap sirkulasi. Keadaan ini
menyebabkan kolagen pembuluh darah dapat mengaktivasi agregasi platelet sehingga
mengakibatkan formasi trombus. Studi lain menyatakan terdapat status koagulabilitas pada
OSAS. Fibrinogen plasma dan inhibitor plasminogen aktivator- 1 (PAI-1) meningkat.
Penggunaan CPAP dihubungkan dengan penurunan kadar fibrinogen dan PAI-1.
Kehilangan waktu tidur kronis dikaitkan dengan penurunan NO pada orang sehat marker
inflamasi seperti CRP, IL-6, TNF- alpha meningkat pada orang sehat yang kehilangan waktu
tidurnya. Kehilangan waktu tidur juga dapat meningkatkan koagulasi dan D-dimer plasma.
Pasien OSAS dengan kehilangan waktu tidur kronik memiliki potensi efek buruk dari hipoksia
atau reoksigenasi pada fungsi kardiovaskular. OSAS menyebabkan terjadinya peningkatan
aktivasi dan agregasi platelet, peningkatan kadar fibrinogen dan penurunan aktivitas fibrinolitik
di malam hari.
Berbeda dengan pola diurnal pada individu normal, trombosis lebih banyak terjadi di
pagi hari. Chin dkk. melakukan pemeriksaan fibrinogen plasma, hematokrit dan total protein
plasma. Dua parameter terakhir untuk mengkalkulasi viskositas dalam darah. Terjadi
peningkatan viskositas darah dan Fibrinogen plasma saat apnea di malam hari dan kembali ke
nilai kontrol. Setelah penggunaan CPAP nasal. Stroke, disritmia, infark miokardium dan angina
terjadi pada periode apnea pasien OSAS. Hal tersebut menjadi penyebab SCD pada pasien
OSAS. Genetik merupakan presdiposisi meningkatkan risiko terjadinya disfungsi endotel pada
OSAS. Keterlibatan genetik pada OSA terjadi karena gen polymorphisms dikaitkan dengan
pengaturan berat badan, metabolisme lemak, respon inflamasi dan fungsi otonom vaskular.
Pasien OSAS memiliki banyak persamaan dengan kondisi sindrom metabolik seperti pada
hipertensi sistemik, obesitas sentral, resistensi insulin, intoleransi glukosa dan dislipidemia

25
yang merupakan factor risiko penyakit kardiovaskular. Terdapat hubungan langsung antara
IMT dan indeks AHI. Prevalens OSAS pada Individu dengan IMT=30kg/m 2 lebih dari 40%
sedangkan umumnya terjadi dengan IMT=40kg/m 2 . Lemak viseral memproduksi sejumlah
besar substansi vasoaktif dan proinflamasi yang memicu terjadinya gangguan regulasi
metabolik dan aterogenesis. Dislipidemia terjadi pada OSAS melalui mekan- isme perubahan
modulasi lipid. Sifat aterogenik pada Low-density Lipoprotein (LDL) lebih dalam bentuk
teroksidasi. Peroksidasi lipid terhambat sehingga meningkatkan kadar kolesterol LDL
teroksidasi di- sertai High-density Lipoprotein (HDL) rendah. Terjadi respon peningkatan
aktivitas simpatis terhadap rangsangan hipoksia pada kemoreseptor perifer telah diketahui
menjadi penyebab peningkatan persisten tekanan darah.

26
BAB IV
PENUTUP

Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis, hampir sepertiga masa
hidup kita dihabiskan dengan kondisi ini. Akan tetapi, kondisi fisiologis ini dapat terganggu
dengan adanya Obstructive Sleep Apnea (OSA), yang bermanifestasi pada penyakit
kardiovaskuler (Cardiovascular disease, CVD).
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom obstruksi total atau
parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologi yang bermakna dengan dampak klinis
yang bervariasi. OSA juga didefinisikan sebagai keadaan hilangnya tonus muskulus dilator
faring pada saat tidur, yang menyebabkan kolaps faring rekuren dan henti napas sementara
(apnea). Obstructive apnea merupakan suatu ketidakadaan aliran udara selama paling tidak 10
detik dengan usaha ventilasi yang aktif (ditandai dengan pergerakan torakoabdominal).
Obstructive hyponea adalah penurunan lebih dari 50% pergerakan torakoabdominal selama
paling sedikit 10 detik, dihubungkan dengan penurunan 4% saturasi oksigen. AHI (Apnea-
Hypopnea Index) ialah rerata kejadian apnea dan hypopnea selama satu jam tidur, hal ini
menjadi salah satu acuan tingkat keparahan OSA. Seseorang dikatakan terkena OSA, jika skor
AHI 5 atau lebih, dan tingkat yang parah jika skor AHI 30 atau lebih.
Beberapa keadaan dapat merupakan faktor risiko OSAS seperti pada anak penyebab
paling sering adalah hipertrofi adenoid dan atau tonsil, obesitas, disproporsi sefalometri,
kelainan daerah hidung. Penyebab lain OSAS, terutama pada orang dewasa adalah obesitas,
tumor di saluran nafas, kelainan kongenital seperti Down syndrome, Pierre-Robin syndrome
yang menyebabkan terjadinya pembesaran pada struktur lidah dan rahang.
Di Amerika Serikat, prevalensi OSAS (Apnea-AHI ≥ 5) pada orang dewasa kulit putih
dengan usia 30 – 60 tahun sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar
9% laki-laki dan 4% perempuan. Di Eropa, usia 30 - 70 tahun dengan AHI ≥ 5 didapatkan 26%
laki-laki dan 28% perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan.
Di Hong Kong, prevalensi usia 30 - 60 tahun dengan AHI ≥ 5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI ≥
15 sebesar 5% dan 3%.
OSAS terjadi karena adanya obstruksi jalan nafas pada batas palatum mole (nasofaring)
atau pada batas lidah (orofaring). Beberapa penelitian menyatakan bahwa OSAS terjadi kerna
adanya kelainan faktor anatomi seperti hipertrofi adenotonsiler, obesitas, dan kelainan
kraniofasial, memberikan kontribusi terhadap penyempitan saluran napas atas dan faktor

27
aktivitas neuromuscular dalam saluran nafas atas termasuk aktivitas refleks, berkurang pada
waktu tidur, dan pengurangan ini bisa menjadi lebih pada pasien dengan OSAS.
Diagnosis OSAS ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Pada
pemeriksaan fisik boleh dilakukan pemeriksaan IMT, ukuran lingkar leher, keadaan rongga
hidung (deviasi septum, hipertrofi konka, polip, adenoid), perasat Mueller (untuk menilai
penyempitan velo-orofaring), penilaian Friedman tounge position (modifikasi Mallampati),
bentuk palatum mole, bentuk uvula, palatal flutter, palatal floppy, ukuran tonsil dan
penyempitan peritonsil lateral. Populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki prevalensi
OSAS >50%.13-5
Pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan
polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis OSAS. Polysomnography terdiri dari pemeriksaan kontinu selama tidur
dengan rekaman EEG, okulogram, elektromiogram submental dan tibial, EKG, nasooral air
flow, saturasi oksigen perifer serta pergerakan dinding torakoabdominal dan abdomen. Alat ini
dapat menyediakan informasi komprehensif mengenai efisiensi tidur, arsitektur tidur, arousal
dan penyebabnya, kejadian gangguan nafas, perubahan saturasi oksigen, serta aritmia jantung
selama periode tidur. Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan
pernafasan selama tidur.
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur yang
biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas terjadi, mendengkur
merupakan gejala yang mula-mula timbul. Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus
menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya
anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan
terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun Sebagian
kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan
nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya retraksi.
Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk
mempertahankan patensi jalan nafas.
Penatalaksanaan OSAS terdiri dari terapi non-bedah dan terapi bedah. Penggunaan
continuous positive pressure (CPAP) adalah terapi non-bedah OSAS yang dianggap paling
efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-hipopnea dan daytime hypersomnolence.
The American College of Chest Physicians merekomendasikan CPAP pada pasien dengan AHI
>30 dan juga pasien dengan AHI 5–30 yang disertai gejala. Dengan menurunkan berat badan,

28
penderita OSAS dengan obesitas dapat meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas.
Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam
hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral.
Tujuan terapi bedah pada OSAS adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk saluran
napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi pembedahan
OSAS adalah AHI ≥20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10 cmH2O,
adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal
dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan
napas. Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi dengan
melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan tonsil
Hipoksia yang terjadi selama OSAS secara langsung mengakibatkan gangguan
kontraktilitas kardiak dan relaksasi diastolik. Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida
tersebut berpengaruh terhadap saraf simpatis, terjadilah vasokonstriksi perifer, meningkatkan
afterload dan peningkatan tekanan darah. Ketika terminasi apnea, asfiksia memicu terjadinya
usaha bangun dari tidur (arousal) yang meningkatkan aktivitas simpatis dan menekan tonus
vagal (meningkatkan tekanan darah dan heart rate). Efek akut ini dipertahankan selama
keadaan bangun penuh, dengan peningkatan tekanan darah dan gangguan vagal (variabilitas
heart rate).
Penderita OSAS mengalami peningkatan aktivitas saraf simpatik sampai dua kali
normal pada fase apnea-hipopnea. Repetisi dari hipoksemia dan arousal yang terjadi secara
terus-menerus pada OSAS diduga menjadi kunci peningkatan tekanan darah. Patofisiologi
OSAS juga dihubungkan dengan patogenesis kerusakan endotel dan gangguan kemampuan
vasodilatasi pembuluhdarah
Mekanisme langsung dari OSAS yang dapat menyebabkan gagal jantung adalah
menyebabkan terjadinya gisfungsi sistolik ventrikel kiri akibat terjadinya hipertensi. Hipertensi
adalah factor resiko paling umum dari hypertrofi ventrikel dan kegagalan jantung. Penurunan
saturasi oksigen pada malam hari saat tidur adalah predictor terjadinya gangguan relaksasi
ventrikel selama fase diastole. Pada penelitian yang dilakukan oleh Framingham, peningkatan
IMT, yang merupakan factor predisposisi terjadinya OSAS, memiliki hubungan erat juga
dengan terjadinya gagal jantung.

29
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1.Kryger MH, Roth T, Dement WC (eds). Principles and Practice of Sleep Medicine. 4th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier. 2005.
2. Gami AS, Somers VK. Sleep Apnea and Cardiovascular Disease. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP (eds).Braunwald’s Heart Disease A Textbook of CardiovascularMedicine.
8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008.pp: 1915-21.
3.Antariksa B., patogenesis, diagnostik dan skrining OSA (obstructive sleep apnea) diunduh
dari http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA%20Diagnosis,patogenesis,skrining.pdf
4. Hamilton GS, Solin P, Naughton MT. Obstructive Sleep Apnoea and Cardiovascular Disease.
Intern. Med. J. 2004; 34: 420–6.
5. Chang S.J, Chae K.Y, Obstructive sleep apnea syndrome in children: Epidemiology,
pathophysiology, diagnosis and sequelae, diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3004499/
6.Handler S.D, Marcus C.L, obstructive sleep apnea, diunduh dari
http://www.chop.edu/service/sleep-center/about-sleep-disorders/childhood-obstructive-sleep-
apnea.html
7.Antariksa B, santoso R.M, Astitu P, obstructive sleep apnea (OSA) dan penyakit
kardiovaskular, diunduh dari http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA%20JANTUNG.pdf
8. Young T, Shahar E, Nieto FJ, et al. Predictors of Sleep-Disordered Breathing in Community-
Dwelling Adults: The Sleep Heart Health Study. Arch Intern Med 2002; 162: 893-900.
9. Duran J, Esnaola S, Rubio R, Iztueta A. Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea and Related
Clinical Features in a Population-Based Sample of Subject Aged 30 to 70 yr. Am J Respir Crit
Care Med 2001; 163: 685-89.
10. Ip MS, Lam B, Lauder IJ, et al. A Community Study of Sleep-Disordered Breathing in
Middle-Aged ChineseMen in Hong Kong. Chest 2001; 119:62-9.
11.Downey R. Obstructive sleep apnea. [ Juni 2013, diunduh Juni 2013]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/295807-overview#a0104
12.Katz ES and D'Ambrosio CM. Pathophysiology of pediatric obstructive sleep apnea,
Proceedings of the American Thoracic Society, Vol. 5, No. 2 (2008). 253-62.
13.Welch KC, Goldberg AN. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor. Current diagnosis &
treatment, otolaryngology head and neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Companies
LANGE; 2008. p.535-47.

30
14. Walker RP. Snoring and obstructive sleep apnea. In: Bailey JB, Johnson JT, editors. Head
& neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincontt Williams & Wilkins; 2006.
p.645-64.
15. Madani M. Snoring and obstructive sleep spnea. Arch of Iranian Med 2007; 10(2):215-26.
16. Friedman M. Friedman tongue position and the staging of obstructive sleep apnea/
hypopnea syndrome. In: Friedman M, editor. Sleep apnea and snoring, surgical and non surgical
therapy. China: Elsevier; 2009. p.105-6.
17.Schwab RJ, Gefter WB. Anatomical factors insights from imaging studies. In: Pack AI,
editor. Sleep apnea pathogenesis, diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2002.
p.22-4.
18. Brouillette R, Hanson D, David R. A diagnostic approach to suspected obstructive sleep
apnea in children. J Pediatr 1984; 105:10.
19.Bradley TD, Tkacova R, Hall MJ, et al. Augmented Sympathetic Neural Response to
Stimulated Obstructive Apnea in Human Heart Failure. Clin Sci 2003; 104: 231-8.
20. Xie A, Skatrud JB, Puleo DS, Morgan BJ. Exposure to Hypoxia Produces Long-Lasting
Sympathetic Activation in Humans. J Appl Physiol 2001: 91 (4): 1555-62.
21. Xie A, Skatrud JB, Crabtree DC, Puleo DS, Goodman BM, Morgan BJ. Neurocirculatory
Concequences of Intermittent Asphyxia in Humans. J Appl Physiol 2000; 89 (4): 1333-9.
22.Gaziano T, Reddy KS, Paccaud F, Horton S, Chaturvedi V. Cardiovascular Disease. In:
Gaziano T, Reddy KS, Paccaud F, Horton S, Chaturvedi V, editors. Cardiovascular disease.
New York: Oxford University Press; 2006. p.845-62.
23. Collop N. The effect of obstructive sleep apnea on chronic medical disorders. Cleveland
Clin J Med 2007; 74(1):72-8.
24.Lattimore JDL, Celermajer DS, Wilcox I. Obstructive sleep apnea and cardiovascular
disease. JACC 2003; 41(9):1429-37.
25 Gami AS, Caples SM, Somers VK. Obesity and Obstructive Sleep Apnea. Endocrinol Metab
Clin North Am 2003; 32: 869.
26. Narkiewicz K, Wolf J, Lopez-Jimenez F, Somers VK. Obstructive Sleep Apnea and
Hypertension. CurrCardiol Rep 2005; 7: 435.
27. Brown DL. Sleep Disorders and Stroke. Semin Neurol 2006; 26: 117.
28. Gami AS, Pressman G, Caples SM, et al. Association of Atrial Fibrillation and Obstructive
Sleep Apnea. Circulation 2004; 110: 364.
29. Yaggi HK, Concato J, Kernan WM, et al. Obstructive Sleep Apnea as a Risk Factor for
Stroke and Death. N Engl J Med 2005; 353: 2034.
30.Quan SF. Sleep disturbances and their relationship to cardiovascular disease. Am J Lifestyle
Med 2009; 1(3):55-9.

31
31. Sadikot SM. A clinical overview: Obstructive sleep apnea and hypertension. Diabetes
Metab Res Rev. 2008; 2:65-75
32. Okcay A, Somers VK, Caples SM. Obstructive sleep apnea and hypertension. J Clin
Hypertens. 2008; 10: 549-55
33. Dopp JM, Reichmuth KJ, Morgan BJ. Obstructive sleep apnea and hypertension:
Mechanisms, evaluation, and management. Curr Hypertens Rep. 2007; 9:529-34
34. Baguet JP, Rochette GB, Pepin JL. Hypertension and obstructive sleep apnoea syndrome:
Current perspective. J Hum Hypertens. 2009; 23:431-43.
35. Foster GE, Poulin MJ, Hanly PJ. Sleep apnoea & hypertension: Physiological bases for a
causal relation: Intermittent hypoxia and vascular function: Implication for obstructive sleep
apnoea. Exp Physiol. 2007; 92:51-65.
36. Pimenta E, Calhoun DA, Oparil S. Sleep apnea, aldosterone, and resistant hypertension.
Prog Cardiovasc Dis. 2009; 51:371-80.
37. SinDD,FitzgeraldF,ParkerJD,NewtonG,FlorasJS,BradleyTD.Risk factors for central and
obstructive sleep apnea in 450 men and women with congestive heart failure. Am J Respir Crit
Care Med. 1999;160: 1101–1106.
38. Levy D, Larson MG, Vasan RS, Kannel WB, Ho KK. The progression from hypertension
to congestive heart failure. JAMA. 1996;275: 1557–1562.
39. Fung JW, Li TS, Choy DK, Yip GW, Ko FW, Sanderson JE, Hui DS. Severe obstructive
sleep apnea is associated with left ventricular diastolic dysfunction. Chest. 2002;121:422–429.
40. Kenchaiah S, Evans JC, Levy D, Wilson PW, Benjamin EJ, Larson MG, Kannel WB, Vasan
RS. Obesity and the risk of heart failure. N Engl J Med. 2002;347:305–313.
41. Marin JM, Carrizo SJ, Vicente E, Agusti AG. Long-term cardiovascular outcomes in men
with obstructive sleep apnoea-hypopnoea with orSomers et al AHA/ACCF Sleep Apnea and
Cardiovascular Disease without treatment with continuous positive airway pressure: an
observational study. Lancet. 2005;365:1046–1053.
42. Tkacova R, Rankin F, Fitzgerald FS, Floras JS, Bradley TD. Effects of continuous positive
airway pressure on obstructive sleep apnea and left ventricular afterload in patients with heart
failure. Circulation. 1998;98: 2269–2275.
43. Kusuoka H, Weisfeldt ML, Zweier JL, Jacobus WE, Marban E. Mechanism of early
contractile failure during hypoxia in intact ferret heart: evidence for modulation of maximal
Ca2-activated force by inorganic phosphate. Circ Res. 1986;59:270–282.
44. Franklin KA, Nilsson JB, Sahlin C, Naslund U. Sleep apnoea and nocturnal angina. Lancet.
1995;345:1085–1087

32
45. Guilleminault C, Connolly SJ, Winkle RA. Cardiac arrhythmia and conduction disturbances
during sleep in 400 patients with sleep apnea syndrome. Am J Cardiol. 1983;52:490–494.
46. Hoffstein V, Mateika S. Cardiac arrhythmias, snoring, and sleep apnea. Chest.
1994;106:466–471.
47. Miller WP. Cardiac arrhythmias and conduction disturbances in the sleep apnea syndrome.
Prevalence and significance. Am J Med. 1982; 73:317–321.
48. Randazo DN, Winters SL, Schweitzer P. Obstructive sleep apneainduced supraventricular
tachycardia. J Electrocardiol. 1996;29:65–67.
49. Tilkian AG, Guilleminault C, Schroeder JS, Lehrman KL, Simmons FB, Dement WC.
Sleep-induced apnea syndrome. Prevalence of cardiac arrhythmias and their reversal after
tracheostomy. Am J Med. 1977;63: 348–358.
50. Hanly P, Sasson Z, Zuberi N, Lunn K. ST-segment depression during sleep in obstructive
sleep apnea. Am J Cardiol. 1993;71:1341–1345.
51. Gami AS, Svatikova A, Wolk R, Olson EJ, Duenwald CJ, Jaffe AS, Somers VK. Cardiac
troponin T in obstructive sleep apnea. Chest. 2004;125:2097–2100.
52. Mooe T, Franklin KA, Holmström K, Rabben T, Wiklund U. Sleepdisordered breathing and
coronary artery disease: long-term prognosis. Am J Respir Crit Care Med. 2001;164:1910–
1913.
54. Hung J, Whitford EG, Parsons RW, Hillman DR. Association of sleep apnoea with
myocardial infarction in men. Lancet. 1990;336:261–264.
55. Gami AS, Rader S, Svatikova A, Wolk R, Herold DL, Huyber C, Winnicki M, Somers VK.
Familial premature coronary artery disease mortality and obstructive sleep apnea. Chest.
2007;131:118–121.
56. Gami AS, Howard DE, Olson EJ, Somers VK. Day-night pattern of sudden death in
obstructive sleep apnea. N Engl J Med. 2005;352: 1206–1214.
57. Sidhi Laksono Purwowiyoto. Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler.
Departement of Emergency and Critical Care, Matak Field Hospital, Matak, Kepulauan Riau,
Indonesia. CDK 184 Vol.38 No.3. April. 2011.
58. Oke Kadarullah dkk. Pengaruh Obstructive Sleep Apnea (OSA) Terhadap Terjadinya
Hipertensi di Poli Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Fakultas Kedokteran. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. SAINTEKS Volume XIII No.2. Oktober. 2016.
59. Arie Cahyono, dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnoe dengan Penyakit Sistem
Kardiovaskuler. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rumah Sakit Dr.Cipto
Mangunkusumo.

33
60. Debi Febriani, dkk. Relationship Between Obstructive Sleep Apnea and Cardiovaskular.
Jurnal Kardiologi Indonesia. Vol.32, No.1. Januari-Maret. 2011.
61. Budhi Antariksa, dkk. Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan Penyakit Kardiovaskular.

34

Anda mungkin juga menyukai