Anda di halaman 1dari 76

Laporan Kasus

Tonsilitis Kronik, Obstructive Sleep Apnea,


Rhinosinusitis Kronik

Disusun Oleh:
Jeffer Shison
112016055

Pembimbing:
dr. Stivina Azrial, Sp THT-KL

Kepaniteraan Klinik Telinga, Hidung, dan Tenggorokan RSUD Tarakan


Periode 19 Maret 2018 - 21 April 2018
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

NAMA : Jeffer Shison

NIM : 11 2016 055

PERIODE : 19 Maret 2018 - 21 April 2018

JUDUL : Tonsilitis Kronik, Obstructive Sleep Apnea, Rhinosinusitis Kronik

TANGGAL PRESENTASI : 09 April 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Stivina Azrial, Sp THT-KL

Jakarta, 09 April 2018

Yang Mengesahkan,

dr. Stivina Azrial, Sp THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya, sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan. Laporan kasus dengan
judul “Tonsilitis Kronik, Obstructive Sleep Apnea, Rhinosinusitis Kronik” ini
disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mengikuti dan
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan
di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat. Penulis menyadari bahwa tanpa
bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak, laporan kasus ini tidak akan dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Stivina Azrial, Sp THT-KL, selaku dosen pembimbing di Bagian SMF Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah
Tarakan yang telah membimbing kami menyelesaikan tugas ini,
2. Para Pegawai dan Perawat di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
3. Rekan-rekan sejawat dokter muda di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
4. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat
bermanfaat bagi penulis demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 09 April 2018

3
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur).
Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis
alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab
utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Tonsilofaringitis adalah peradangan orofaring yang mengenai dinding faring dan
tonsil. Tonsilitis merupakan penyakit peradangan tonsil, yang biasanya mengacu pada
tonsil palatina. Tonsil adalah salah satu mekanisme perlindungan tubuh dari dunia
luar, dan terletak pada bagian superfisial sehingga merupakan tempat yang sering
terpapar serangan dari dunia luar dan menjadi tempat utama untuk hipertrofi. Penyakit
ini dapat berkembang menjadi penyakit kronis bila terjadi kegagalan terapi, dapat
dikarenakan ketidakpatuhan pasien atau antibiotik yang tidak sesuai pada penderita
tonsilitis akut hingga merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya infeksi baru
dapat menjadi faktor penyebab atau predisposisi pada tonsilitis kronis hingga terjadi
adanya eksaserbasi akut.
Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia.
Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Tidur terdiri dari stage
4
nonrapid eye movement sleep (NREM) dan stage rapid eye movement sleep (REM).
Lebih dari separuh tidur total adalah fase NREM sedangkan 20-35% adalah fase REM.
Gangguan tidur sering terjadi pada fase REM. Bentuk gangguan tidur yang paling
sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang
paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.
Mendengkur merupakan masalah sosial dan masalah kesehatan. Mendengkur
merupakan masalah yang mengganggu pasangan tidur, menyebabkan terganggunya
pergaulan, menurunnya produktivitas, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas dan
peningkatan biaya kesehatan pada penderita OSA. Pendengkur berat lebih mudah
menderita hipertensi, stroke dan penyakit jantung dibandingkan orang yang tidak
mendengkur dengan umur dan berat badan yang sama.
Menurut studi yang ada, mendengkur dan OSA meningkatkan risiko hipertensi
dua hingga tiga kali, serta meningkatkan risiko dua kali lipat penyakit koroner atau
serangan jantung. Pendengkur dan penderita OSA juga berisiko terserang stroke dua
kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak dengan OSA dan mendengkur.
Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria, usia
pertengahan, dan obesitas. Sekitar 50 juta orang Amerika tidur mendengkur, dan 20
juta orang Amerika menderita sleep apnea syndrom. Hal ini bertanggung jawab
terhadap peningkatan keluhan dari pasangan dan yang lebih penting membawa
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan kematian dini.

Maksud Penulis
5
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai
Rhinosinusitis Kronik, Tonsilitis Kronik, Obstructive Sleep Apnea dengan harapan
pembaca dapat mengerti dan memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit ini berdasarkan
teori dan membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.

Tujuan Penulis

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan
Jakarta.

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)


pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala
nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan
dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan.1
Septum dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
7
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan
os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1

Gambar 1. Anatomi hidung.1


Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah
ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid
8
anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach
(little’s area). Pleksus kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan denga
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi sampai ke
intrakranial.1

Gambar 2. Vaskularisasi hidung.1

Fisiologi Penghiduan Normal


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanise inunologik lokal; 2) fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa
olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik
yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran
tuara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi statis dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, 5) refleks nasal. 1

9
2.2 Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berada di dalam tulang wajah
dan di sekitar rongga hidung dan mata. Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di
sepanjang atap dan bagian lateral rongga hidung. Jumlah, bentuk, ukuran dan simetri
dapat bervariasi antara individu. Sinus-sinus ini diberi nama yang sesuai posisi
anatominya pada tengkorak manusia seperti sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus
frontalis dan sinus etmoidalis. Sinus etmoidalis ini terdiri daripada sel-sel etmoidalis
anterior dan posterior yang saling berhubungan dan masing-masing kelompok
bermuara ke dalam kavum nasi. Seluruh sinus ini dilapisi oleh epitel saluran
pernafasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia;
dan sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi melalui muara-muaranya.2
Sinus maksilaris dan sinus etmoid telah terbentuk pada saat lahir, sedangkan sinus
frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8
tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
posterior superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun.1

Gambar 3. Sinus Paranasal


Fungsi sinus tidak jelas. Diperkirakan bahwa mereka dapat berkontribusi pada
pelembab udara yang terinspirasi, resonansi suara, regulasi tekanan udara intranasal

10
dan juga mengurangi berat tengkorak.1,2 Permukaan bagian dalam sinus dilapisi oleh
epitelium respiratorius (epitel berlapis kolumnar bersilia).2

Gambar 4. Muara-muara Sinus Paranasal di Kavum Nasi1

Sinus frontalis adalah rongga yang terletak di dalam tulang dahi di atas fossa
orbitalis superior. Sinus frontalis bervariasi dalam ukuran, tapi selalu berbentuk
segitiga. Mukus yang terbentuk mengalir ke rongga hidung melalui saluran
frontonasal, yang terbuka pada hiatus semilunaris di dinding lateral kavum nasi.1,2
Sinus etmoidalis terdiri dari 2 kelompok sinus-sinus kecil didalam tulang
etmoid yaitu sinus ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus etmoidalis anterior
bermuara di meatus nasi medius dan sinus etmoidalis posterior bermuara di meatus
nasi superior.2 Sinus etmoidalis terletak di bagian bawah sudut dalam tulang setiap
mata dan terdiri dari 6-12 sinus-sinus kecil.1,2
Sinus sfenoidalis juga terletak relatif superior, pada setinggi tulang
sfenoethmodialis. Sinus ini ditemukan lebih posterior dari sinus etmoidalis, dan
bagian superior dan lateralnya berhubungan ke rongga kranial. Sinus sfenoidalis
bermuara di atap rongga hidung melalui meatus nasi superior. Sinus ini sangat penting
secara klinis karena kelenjar hipofisis dapat diakses melalui atap hidung melalui

11
tulang sfenoidalis. Untuk ketiga sinus frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis dipersarafi
oleh N. trigeminus cabang oftalmikus.2
Sinus sinus maksilaris terletak di dalam tulang pipi kiri dan kanan. Ini
merupakan sinus paranasal terbesar, berada di bawah mata, di atas tulang rahang atas
dan bermuara di hiatus semilunaris atau meatus nasi medius.1,2 Ini adalah jalur
potensial untuk penyebaran infeksi karena cairan dari sinus frontalis dapat memasuki
sinus maksilaris melalui hiatus semilunaris. Sinus ini diinervasi oleh N. trigeminus
cabang maksilaris. Oleh karena gigi rahang atas juga dipersarafi oleh saraf ini, dapat
timbul sakit gigi pada penderita sinus maksilaris.2
Karena sinus paranasal berlanjut dengan rongga hidung, infeksi saluran
pernapasan bagian atas dapat menyebar ke sinus. Infeksi sinus menyebabkan radang,
terutama nyeri dan pembengkakan mukosa, dan kondisi ini dikenal sebagai sinusitis.
Jika semua sinus terpengaruh, ia disebut sebagai pansinusitis.
Kompleks osteomeatal merupakan suatu struktur kompleks yang terdiri
daripada infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
frontalis, bula etmoid agger nasi dan hiatus semilunaris.1, 2

Gambar 5. Kompleks Osteomeatal2


Fisiologi Sinus Paranasal

12
Seperti di mukosa hidung, di dalam sinus terdapat mukosa bersilia yang
berfungsi untuk mengeluarkan lendir dari rongga sinus melalui muaranya dan
mengalir ke kavum nasi. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport
mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang
bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Dari ruang
hidung lendir masuk ke nasofaring dan ditelan. Oleh sebab itulah, pada sinusitis
didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga
hidung.2 Dengan adanya penyakit itu adalah karena gangguan dari proses dasar ini,
biasanya dengan mengurangi aktivitas siliaris atau obstruksi, yang menimbulkan
gejala.2,3 Ostia dari etmoid anterior, sinus frontal dan maksilaris bermuara pada meatus
nasi medius, sehingga apabila timbul peradangan yang terkait dengan hiatus
semilunaris atau meatus medius akan sering melibatkan lebih dari satu sinus.2, 3
Lapisan mukus yang terbentuk disamping menangkap dan mengeluarkan
partikel lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Lisozim
yang terdapat pada lapisan mukus bersifat destruktif terhadap dinding bakteri.
Fagositosis aktif dalam membrane hidung merupakan bentuk proteksi dibawah
permukaan. Membrane sel pernafasan juga memberikan imunitas induksi seluler.
Sejumlah immunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian dari sel plasma
yang normal terdapat dalam jaringan tersebut. Sesuai kebutuhan fisiologik, telah
diamati bahwa terdapat IgG, IgA dan IgE di mukosa hidung.2
Ada beberapa teori mengenai fisiologi sinus paranasal; antara lain adalah
fungsi sinus paranasal yaitu (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai insulator
suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam
perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan
rongga hidung.1

13
Untuk pengaturan kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan
untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara terinspirasi.1,2 Namun teori ini
masih diperdebatkan karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif
antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Dan tambahan lagi, mukosa
sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan mukosa sebanyak mukosa hidung.1
Sinus paranasal juga berfungsi untuk penahan panas atau insulator; melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.1 Selain itu,
terbentuknya sinus paranasal ini membantu dalam mengurangi berat tulang kepala dan
secara tidak langsung membantu keseimbangan kepala.1
Fungsi lain dari sinus paranasal ini adalah untuk resonansi udara serta
mempengaruhi kualitas suara dan sebagai peredam tekanan udara; misalnya apabila
terjadi perubahan tekanan yang mendadak sewaktu bersin atau membuang ingus.1, 2
Fungsi yang pasti dari sinus paranasal adalah membantu produksi mukus.
Mukus yang diproduksi oleh sinus paranasal memang jumlahnya sedikit dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara terinspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis.1,2

2.3 Tonsil

Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong
faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian
dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus
branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12
minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan
ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik.2

14
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau
trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel
germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan
interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).2
Tonsila lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini
melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada
cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada
umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa
pubertas.4
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting
dari cincin waldeyer.

Gambar 6. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s).2,4
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi

15
membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring.
Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae
Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla
terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis
jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan
tonsilla lingualis.4
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi
dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah-
kavum mastoid pada bagian lateral.
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan
terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi.
Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam
antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai
pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul
sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi
lingkungan.1

Gambar 7. Adenoid

16
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut
fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.5
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar
yang kemudian membentuk septa.5
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah
bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.
Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara
pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang
berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat
pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya
sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.6
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A.
maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A.
palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A.
lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden.4
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri
faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m.
konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim
cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a.
palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan
palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring.4

17
Gambar 8. Pendarahan Tonsil

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah
bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening
servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya
menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus. Innervasi tonsil
bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina
dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX). 2
Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh
dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Peradangan
pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah satu gangguan
Telinga Hidung & Tenggorokan (THT). Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler
tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan
infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini
akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun
yang banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat
melebihi ukuran yang normal.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu
respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun
tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang

18
merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya
berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten
mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi
material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik.1
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel
kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun
berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa
migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high
endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.4

2.4 Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui ismus oroaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.5

Otot, Perdarahan, dan Persarafan


Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media
19
dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar dan berbentuk kipas dengan tiap
bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah
depan, otot-otot ini bertemu pada jaringan ikat yang disebut ‘rafe faring’. Kerja otot
konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot longitudinal adalah m.
stilofaring dan m. palatofaring. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m. palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring dan bekerja sebagai elevator. M. stilofaring
dipersarafi oleh n. IX sedangkan m. palatofaring dipersarafi oleh n.X. Pada palatum
mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari
mukosa yaitu m. levator veli palatine, m. tensor veli palatine, m. palatoglosus, m.
palatofaring dan m. azigos uvula. M. levator veli palatine membentuk sebagian besar
palatum mole dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar
ostium tuba Eustachius dan dipersarafi n.X. M. tensor veli palatine membentuk tenda
palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan
membuka tuba Eustachius dan dipersarafi n.X. M. palatoglosus membentuk arkus
anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. M. palatofaring membentuk
arkus posterior faring. M. azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya
memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas. 1
Faring mendapat darah dari cabang a. karotis eksterna serta dari cabang a.
maksila interna yakni cabang palatina superior. 1
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n. vagus, cabang dari n.
glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n. vagus berisi serabut simpatis.1

Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:

20
1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal.2
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan
resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring diatas penonjolan kartilago tuba Eustachius, konka foramen jugulare, yang
dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial
dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan
muara tuba Eustachius.2

2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2
 Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguan n. vagus.2
 Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas
(upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini

21
berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar
bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul
yang sebena-benarnya.2
 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal
(adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut
tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan
celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah
tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.2
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit,
epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina
ascendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring ascendens dan a. lingualis
dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista
duktus tiroglosus. Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar

22
jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses
peritonsilar.2
3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian
medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan
dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di
antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah
lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara
esophagus.2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
“kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan
pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan
dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk

23
diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.7

Fungsi Faring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral,
fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke
faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport
bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase
esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak
secara peristaltic di esofagus menuju lambung.2
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan
mula-mula m. salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. levator veli palatine
bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.
levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding
posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada
dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan
faring sebagai hasil gerakan m. palatofaring (bersama m. salpingofaring) dan oleh
kontraksi aktif m. konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja
tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant
ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan
ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.2

2.5 Rhinosinusitis

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS)


2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung dan

24
sinus paranasal, yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus
ada berupa obstruksi (hidung tersumbat) atau nasal discharge (sekret hidung baik
anterior atau posterior nasal drip): nyeri pada wajah dan berkurangnya sensitivitas
pembau. Pada rhinosinusitis akut gejala berlangsung ≤ 12 minggu dan rhinosinusitis
kronis berlangsung ≥ 12 minggu.
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan European Position Paper On
Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 adanya dua atau lebih gejala,
salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan /
keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa
melalui anterior maupun posterior) disertai ± rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada
wajah atau ± berkurang / hilangnya penciuman dan salah satu dari temuan
nasoendoskopi yaitu:
 Polip dan/ atau
 Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
 Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
 Gambaran tomografi computer (CT scan) : perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan/atau sinus.1

Klasifikasi rhinosinusitis

Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama


serangan. Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10
cm:

 Ringan = VAS 0-3


 Sedang= VAS > 3-7
 Berat= VAS > 7-10

25
Gambar 9. Visual Analog Scale1

Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS
jawaban dari pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis saudara?”
Nilai VAS >5 mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berdasarkan lamanya penyakit,
rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut maupun kronik. Dikatakan akut apabila
lamanya penyakit <12 minggu dan terjadi resolusi komplit gejala sedangkan dikatakan
kronik apabila lama penyakit >12 minggu dan tanpa resolusi gejala komplit termasuk
kronik eksaserbasi akut.

Patofisiologi rhinosinusitis

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal (KOM).
Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Struktur yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Sumbatan di ostium sinus dapat diakibatkan edema yang terjadi sekunder
karena adanya inflamasi traktus respiratorius atas (hidung).1
Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam sinus,
hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme
kompensasi. Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat akan
masuk ke sub mukosa sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju ekstra
26
vaskuler, menembus epitel hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan terdapat
cairan transudat di rongga sinus yang mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap
sebagai rhinosinusitis non bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan.8
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen yang
berwarna kuning kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial
dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada
faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob
berkembang. Keadaan sinus yang hipooksigen juga dapat mengganggu gerakan silia
sehingga mekanisme klirens mukosiliar terganggu. Akibatnya cairan transudat tidak
dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam sinus. Keadaan ini membuat pH
sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi bakteri.8

Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus yang
terus berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.

Hubungan rhinitis alergi dan rhinosinusitis

Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang meningkat seiring


meningkatnya kasus rhinitis alergi dan mengakibatkan peningkatan beban finansial
terhadap penderitanya. Pembengkakan mukosa hidung pada rhinitis alergi di ostium
sinus dapat mengganggu ventilasi bahkan menyumbat ostium sinus, yang akan
mengakibatkan retensi sekret mukus dan infeksi. Mukosa hidung dan sinus
membentuk suatu rangkaian kesatuan, sehingga membran mukosa sinus sering terlibat
pada penyakit yang disebabkan inflamasi pada mukosa nasi.
Penderita rhinosinusitis kronik yang disertai rhinitis alergi memiliki keluhan
rhinosinusitis yang lebih berat. Diantara pasien alergi yang menjalankan imunoterapi,
sebagian besar yang merasa tertolong dengan terapi imun adalah pasien dengan
27
riwayat rhinosinusitis berulang. Dan setengah dari pasien yang pernah menjalankan
operasi sinus lalu mendapat imunoterapi spesifik menyatakan bahwa operasi saja tidak
dapat menuntaskan episode berulang dari rhinosinusitisnya. Hubungan antara faktor
alergi dan beratnya gejala rhinosinusitis berdasarkan pemeriksaan CT scan, terbukti
bahwa jika terdapat faktor alergi pada rhinosinusitis kronik, maka semakin berat gejala
rhinosinusitisnya. Dengan pemeriksaan CT scan diketahui bahwa serum total IgE
berkorelasi dengan penebalan mukosa sinus. Dengan demikian penderita
rhinosinusitis kronik yang akan menjalankan operasi sebaiknya diperiksa dahulu
apakah terdapat faktor alergi. Jika positif terdapat faktor alergi, sebaiknya alerginya
diterapi terlebih dahulu, sehingga kesembuhan akan lebih cepat dan kemungkinan
berulangnya rhinosinusitis pasca operasi dapat dikurangi.

Rhinosinusitis akut

Rhinosinusitis akut dibagi menjadi rhinosinusitis akut viral (gejala <10 hari)
dan rhinosinusitis non-viral akut (terjadi perburukan gejala > hari atau gejala menetap
> 10 hari dengan lama sakit <12 minggu). Jika penyebab rhinosinusitis akut adalah
bakteri maka gejala yang timbul adalah lendir yang tidak berwarna dan biasanya
unilateral serta adanya sekret yang purulen dalam cavum nasi. Selain itu terdapat nyeri
lokal yang berat serta unilateral, demam >38◦C dan adanya peningkatan CRP.
Prevalensi kasus rhinosinusitis akut bervariasi dan dipengaruhi oleh cuaca dan variasi
iklim dan meningkat di lingkungan yang lembab serta banyak polusi udara. Rokok
juga berpengaruh terhadap rhinosinusitis akut karena mempengaruhi fungsi dan
motilititas dari silia. Laringofaringel refluks juga memiliki kaitan dengan
rhinosinusitis akut. Faktor predisposisi rhinosinusitis akut adalah lingkungan, rokok,
laringofaringeal refluks, cemas dan depresi.

Tatalaksana rhinosinusitis akut

28
Gambar 8. Tatalaksana Rhinosinusitis Akut pada Dewasa untuk Pelayanan
Kesehatan Primer1

Rhinosinusitis kronik

Pada rhinosinusitis kronik, dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu
disertai polip hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih gejala,
salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret
hidung anterior/ posterior) disertai:1
 nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
 penurunan/ hilangnya penghidu

Dan dari anamnesis didapatkan gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal,
mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto
polos sinus paranasal/tomografi komputer tidak direkomendasikan). Berdasarkan

29
EPOS, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor
genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor
lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal”.

Penatalaksaaan rhinosinusitis kronik

Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang


dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya
latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan
terapi yang berlainan juga.

Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis


kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu
dalam diagnosis rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka
cenderung digolongkan menjadi rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar
kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi
medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung. Jenis terapi medikamentosa yang
digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik mengingat
terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin

30
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason.
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik dengan
polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap
iritan dan nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana


dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih
endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis
kronik tanpa polip nasi ialah:1
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
31
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal

5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali oleh


Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis
e. Sinusitis jamur

32
Gambar 9. Skema Penanganan Rhinosinusitis Kronis pada Dewasa untuk Pelayanan
Kesehatan Primer.1

Komplikasi

Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi
diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1 Komplikasi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita,
oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.

1. Komplikasi orbita :
a. Selulitis periorbita
b. Selulitis orbita
33
c. Abses subperiosteal
d. Abses orbita

2. Komplikasi oseus/tulang :
a. Osteomielitis (maksila dan frontal)
3. Komplikasi intrakranial:
a. Abses epidural / subdural
b. Abses otak
c. Meningitis
d. Serebritis
e. Trombosis sinus kavernosus

2.6 Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band dinding
faring/Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (ait borne droplets),
tangan, dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. 1,2

Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau
tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang
akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang
34
berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis
falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis
lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi
parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan.
Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah
13 bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot,
kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi
yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan
terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir
setelah 72 jam. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran
semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada
proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula. 1,2
Secara garis besar tonsilitis dibagi menjadi 3 yaitu tonsilitis akut, tonsilitis
membranosa, dan tonsilitis kronik.

Tonsilitis Akut
a) Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada

35
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Terapi umumnya dengan
istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika gejala berat.1

b) Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan,
Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga
terbentuk semacam membrane semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu,
rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa
nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n. glosofaringeus (N.
IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibular
membengkak dan nyeri tekan.
Terapi dapat diberikan antibiotika spectrum luas seperti penisilin, eritromisin,
antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. 1
Komplikasi yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronchitis,
glomerulonephritis akut, miokarditis, artritis serta septicemia akibat infeksi v.
jugularis interna (Sindrom Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan
pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur kerena terjadinya
sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).

36
Tonsilitis Membranosa
a) Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak
berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae. Gejala klinik
pada tonsillitis difteri diantaranya adalah gejala umum berupa demam subfebris, badan
lemah, nadi lambat, keluhan nyeri menelan. Sedangkan gejala local seperti tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang semakin meluas dan bersatu
membentuk membrane semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membrane
semu ini melekat erat pada dasarnya sehingga jika diangkat akan mudah berdarah.
Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menimbulkan albuminuria. 1

b) Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Sehingga di Indonesia susu sapi
dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang
ditemukan. 1

c) Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )

37
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin
C.
Gejala berupa demam 390C, nyeri kepala, badan lemah, dan kadang terdapat
gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gusi dan gigi mudah
berdarah. Terapi dapat diberikan antibiotika spectrum luas selama 1 minggu.
Memperbaiki hygiene mulut, vitamin C, dan vitamin B kompleks. 1

d) Penyakit kelainan darah


Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Pada leukemia akut gejala berupa epistaksis, perdarahan mukosa mulut, gusi
dan dibawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak
ditutupi membrane semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri hebat di tenggorok.
Pada angina agranulositosis yang disebabkan oleh keracunan obat dari
golongan amidopirin, sulfa, dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa
mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat
ditemukan di genitalia dan saluran cerna. 1

Tonsilitis Kronik
Tonsilitis Kronik adalah peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada
anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang
keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. Faktor predisposisi
timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan

38
tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut
tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif. 1,2
Tonsilitis kronis terjadi karena proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.
proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar submandibula.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya
membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama
pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar
limfe angulus mandibular.
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4 :1
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior – uvula
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak anterior –
uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior – uvula

39
T4: batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih.

Gambar 10. Ukuran Pembesaran Tonsil1

Sedangkan pembesaran tonsil menurut Brodsky dan Friedman adalah sebagai


berikut:2
T0 : Tonsil berada di dalam fossa
T1 : Tonsil menempati kurang dari 25% dari orofaring
T2 : Tonsil menempati 25% – 50% dari orofaring
T3 : Tonsil menempati 50% – 75% dari orofaring
T4 : Tonsil menempati lebih dari 75% dari orofaring

40
Tabel 1. Derajat tonsil menurut Brodsky dan Friedman2

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang
dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia
dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea
waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam
anamnesis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu secara mikrobiologi.
Pemeriksaan dengan antimikroba sering gagal untuk segera dikasi kuman patogen dan
mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi anitbiotika
yang inadekuat.
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat hisap.
Komplikasi kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara konrinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang
atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma. 1

Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu: 1,2
41
1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini
terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A.
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan
dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga.
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid
4. Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus,
bakter, lingkungan, maupunmkarena alergi.
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari
sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau 15 ruangan berisi
udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa.
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx.

Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut: 1
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau
obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klindamisin.

42
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.
2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.

The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical


Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya tonsilektomi
yaitu: 1
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas,
sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa / otitis media supurataif

43
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck
Surgery (AAO-HNS), operasi tonsillitis (tonsillectomy) perlu dilakukan jika
memenuhi syarat-syarat berikut: 1
i) Indikasi Absolut
 Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri
telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-penyakit
kardiopulmonal.
 Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan
pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut.
 Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
 Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan
gambaran patologis jaringan.
ii) Indikasi Relatif
 Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
 Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
 Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan
antibiotika.
Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan dengan
keganasan (neoplastik)

2.7 Faringitis
44
Faringitis Akut
a) Faringitis Viral
Faringitis ini biasanya disebabkan rhinovirus yang menyebabkan gejala
rhinitis yang beberapa hari kemudian menimbulkan faringitis. 1

Gejala dan Tanda


Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan, sulit menelan.1 Pada
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus,
dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat
menimbulkan lesi vesikuler di orofaring dan lesi kulit berupa makulopapular rash. 1
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala
konjungtivitis, terutama pada anak. Epstein-Barr virus (EBV) menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat faring yang banyak. Terdapat pembesaran
kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. 1
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,
nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,
terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah. 1

Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika bila
perlu dan tablet hisap. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi
herpes simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari
pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6
kali pemberian/hari. 1

b) Faringitis Bakterial
Infeksi grup A streptokokus beta hemolitikus merupaka penyebab faringitis akut
pada orang dewasa dan pada anak. 1

45
Gejala dan Tanda
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk. 1
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaanya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri
pada penekanan. 1
Terapi
 Antibiotik
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini Streptokokus beta
hemolitikus grup A. Penisilin G banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 kali sehari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500
mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/hari. 1
 Kortikosteroid
Deksametason 8-16 mg, IM, sekali. Pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB, IM, sekali.
Diberikan juga Analgetika jika diperlukan disertai kumur dengan air hangat atau
antiseptik. 1
c) Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di muka rongga mulut dan faring. 1

Gejala dan Tanda


Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak
putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini
dilakukan pada agar Sabouroud dekstrosa. 1

Terapi

46
Diberikan nystatin 100.000 – 400.000 2 kali sehari disertai analgetika jika
diperlukan1
d) Faringitis Gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital. Terapi yang
diberikan adalah sefalosporin generasi 3 seftriakson 250 mg secara IM.1

Faringitis Kronis
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik
atrofi. Faktor predisposisi poses radang kronik di faring ini ialah:
a) Faringitis Kronik Hiperplasia
Pada faringitis kronik hiperplasia terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasia.Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular.Gejala berupa rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan
dari tenggorokan. Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan. Terapi lokal
dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti
atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap.
Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.Penyakit di
hidung dan sinus paranasal harus diobati.
Terapi obat kumur antara lain dengan obat kumur dengan antiseptik Povidone
Iodine USP 1%. Povidone iodine dilarutkan atau diencerkan dengan volume yang
sama dengan air, lalu kumur hingga 10 ml selama 30 detik tanpa ditelan. Ulangi
sampai 4 kali sehari, sampai 14 hari berturut-turut.1
b) Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atropi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala berupa Pasien mengeluh
tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau.Pada pemeriksaan tampak mukosa

47
faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi
ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.1

2.8 Obstructive Sleep Apnea


Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran
udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi
oksigen) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik
dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50%
untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau
sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama
non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.
Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi
peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.12,13
Obstructive Sleep Apnea merupakan bagian dari sindrom henti nafas.
Sindrom henti napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe obstruksi
dan tipe campuran. Pada tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya
upaya bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke
diafragma dan otot dada untuk mempertahankan siklus pernapasan. Sedangkan pada
tipe obstruksi terjadi hambatan aliran udara ke paru-paru.13-15
Mendengkur adalah tanda pernapasan abnormal yang terjadi akibat obstruksi
sebagian sehingga aliran udara yang masuk akan menggetarkan palatum molle dan
jaringan lunak sekitarnya. Keadaan ini dipermudah dengan relaksasi lidah, uvula dan
otot di saluran napas bagian atas. Obstruksi dapat terjadi sebagian (hipopnea) atau
total (apnea).12-16

Epidemiologi

48
OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih
dari 50 tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali.
Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan
1-2% pada wanita. Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak
harus) juga menderita obesitas. Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari
wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita.12,13
Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada
usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan
adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma
Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6,
dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat
secara progresif sesuai dengan penambahan usia.12,13,16
OSA terdapat pada lebih dari 40% individu dengan IMT 30 kg/ m2 atau
individu dengan sindrom metabolik. Pasien dengan penyakit kardiovaskular
memiliki prevalens OSA yang tinggi, 50% pasien dengan hipertensi, 50% pasien
dengan fibrilasi atrium yang membutuhkan tindakan kardioversi, 33% pasien dengan
fibrilasi atrium saja, 33% pasien dengan penyakit jantung koroner, 50% pasien
dengan stroke akut dan 30-40% pasien dengan gagal jantung dan disfungsi sistolik.12

Mendengkur dan OSA


Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara yang
disebabkan oleh dinding faring yang collapse sewaktu tidur. Etiologi dan
mekanisme collapse multifaktorial tetapi dikaitkan dengan interaksi saluran nafas
atas yang sangat mudah collapse dengan relaksasi otot dilator faring yang terjadi
sewaktu tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan kraniofasial seperti
retrognathia menambah kecenderungan keruntuhan dengan peningkatan tekanan
intraluminal pada jaringan disekeliling saluran napas atas. Tetapi gangguan
structural saja pada saluran napas tidak cukup memadai untuk menyebabkan OSA.

49
Pasien tanpa kelainan anatomi bisa menghidap OSA, ini karna kompleks jalan reflek
dari saraf pusat ke faring yang mengawal tindakan otot dilator faring bisa gagal
untuk mempertahankan patensi faring.12,13,17
Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi)
sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa
hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran
faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi
lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Selain itu obstruksi nasal menyebabkan
peningkatan resistensi aliran udara dan memperburukkan OSA. Obstrusi nasal yang
mengakibatkan usaha pernafasan melalui mulut semasa tidur sehingga terjadi
relaksasi otot genioglosus akibatnya lidah tergeser ke belakang.13
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas
atas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau
palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas
menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah
dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.13

Gambar 10. Sumbatan parsial dan total saluran nafas atas


Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur
mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer.
Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan

50
meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi
yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur
dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu
tertentu.13
Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari
saluran nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara
pernafasan berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi
oksigen (hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang
penderita benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik.
Lebih sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang
berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat.
Keadaan ini menyebabkan penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian,
konsentrasi dan ingatan terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang
disertai dengan peningkatan aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan
hipertensi sistemik. Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah
dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan suara
mendengkur yang keras (fase preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang
lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).13
Tidur terdiri dari 2 fase yaitu rapid eye movement (REM) atau tidur aktif
dan non rapid eye movement (NREM) atau tidur tenang. Pada individu normal
siklus tidur NREM dan REM akan terjadi secara bergantian dengan interval tidur
REM 10-20 menit setiap 90-120 menit. REM meliputi 25% dari waktu tidur ditandai
oleh pergerakan bola mata yang cepat terutama pada elektrookulogram, hilangnya
tonus otot tubuh dan meningkatnya aktivitas simpatis (meningkatnya denyut jantung
dan tekanan darah). Selama tidur REM kontrol pernapasan sering irregular, episode
apnea singkat selama 10-20 detik relatif umum terjadi Pada tahap NREM aktivitas
mental minimal atau tidak ada, sistem kardiovaskular-respirasi sebagian besar diatur
oleh faktor metabolik. Tidur NREM mempengaruhi aktivitas simpatis, penurunan

51
denyut jantung, tekanan darah secara bertahap dari tingkat I hingga aktivitas simpatis
terendah yaitu pada tingkat IV.12
Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke
belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi
nasofaring dan orofaring. Tidur berbaring (supine) dapat menyebabkan kolapsnya
saluran napas akibat pergerakan mandibula, palatum mole dan lidah ke arah
belakang. Faktor struktural dan fungsional berperan penting dalam menentukan
tekanan kritis kolaps saluran napas. Penyempitan saluran napas akibat mikrognatia,
retrognatia, hipertrofi tonsil, makroglosia dan akromegali juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya OSA. Sistem saraf pusat berperan penting dalam OSA kombinasi
aktivitas otot saluran napas atas yang menurun pada saat tidur disertai struktur faring
kecil membentuk tekanan kritis kolaps saluran napas atas. Aktivasi kemoreseptor
oleh hipoksemia dan hiperkapnia selama apnea mengakibatkan hiperventilasi disertai
proses terbangun mendadak yang tidak disadari.12
Pada pasien obesita terjadi peningkatan deposit lemak disekelilng leher dan
ruang parafaring menyebabkan penyempitan dan kompresi salur napas atas dan
mengganggu otot dilator yang mempertahankan patensi salur napas atas. Obesitas
bisa mengurangi volume paru yang menyebabkan pengurangan functional residual
capacity. Perubahan dalam volume paru secara signifikan menurunkan ukuran faring
salur napas atas melalui efek mekanikal traksi trakea dan toraks yang dikenal
‘tracheal tug’ meningkatkan resiko collapse.17

Gambaran Klinis
Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur,
mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea,
nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan
enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia.
Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang

52
hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan
risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.12,13,16
Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya
hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran
akan kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya
sekitar 50% penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.16
Gejala Tanda
Mendengkur
Mengantuk yang berlebihan pada siang hari Obesitas
Tersedak Mandibula/maksila hipoplasia
Tidur tidak nyeyak Penyempitan orofaring
Letih dan lesu sepanjang hari Pembesaran tonsil atau lidah
Penurunan konsentrasi Obstruksi nasal dan nasofaringeal
Riwayat OSA dalam keluarga

Tabel 2 : Gejala dan Tanda OSA


Diagnosis
Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya
dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur
yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya
bervariasi (fase apnea obstruktif).12,13,15
The Epworth sleepiness scale digunakan untuk menilai ngantuk pada siang.
OSA disuspek pada pasien dengan skor diatas 10.15,16

Situation Chance of dozing

53
Sitting and reading ____________

Watching TV ____________

Sitting inactive in a public place (e.g a theater or a


meeting) ___________

As a passenger in a car for an hour without a break ____________

Lying down to rest in the afternoon when


circumstances permit ____________

Sitting and talking to someone ____________

Sitting quietly after a lunch without alcohol ____________

In a car, while stopped for a few minutes in traffic


______

Penilaian skor Epworth sleepiness scale

0 = no chance of dozing

1 = slight chance of dozing

54
2 = moderate chance of dozing

3 = high chance of dozing

Pengukuran BMI, tekanan darah, dan lingkaran lilit leher adalah parameter
yang penting dalam parameter pemeriksaan OSA. Dari pemeriksaan fisik harus di
identifikasi posisi dan ukuran tulang maksilla dan mandibula dan karakteristik fasial
juga harus diidentifikasikan.16
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring, leher
untuk menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut:
i. Hidung :deviasi septum,hypertrofi adenoid, tumor atau polip nasal,
hipertrofi konka
ii. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine,
makroglosia, penebalan(banding) dinding posterior faring
iii. Hipofaring : Collapse dinding faring lateral, tumor hipofaring,
hipertrofi tonsil lingual, retrognathia dan micrognathia
iv. Laring : paralisis pita suara, tumor laring
v. Leher : ukur lilit leher

Fiberoptic nasopharyngoscopy adalah teknik yang digunakan untuk evaluasi


jalan napas. Alat ini adalah penting untuk identifikasi tempat dan lokasi obstruksi :
nasal, retropalatal atau retrolingual. Kebaikan dan limitasi Muller maneuver juga
digunakan untuk pemeriksaan untuk prediksi preoperative terhadap keefektifan
intervensi bedah berdasarkan beberapa studi yang dilakukan.
Muller maneuver dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan
negative dengan melakukan inhalasi/inspirasi dengan menutup mulut dan hidung
yang akan menyebabkan collapse pada salur napas.16

55
Gambar 12 : Mueller’s Manuver

Cephalometric radiograph – image 2 dimensi yang dihasilkan member


infomasi tulang rangka dan jaringan lunak . ini bisa mengkonfirmasikan pasien OSA
melalui displacement tulang hyoid ke inferior, ruang udara posterior yang sempit,
palatum molle yang lebih panjang dari pasien non-OSA.16
Diagnosis pasti penderita OSA dan CSA dengan pemeriksaan
polisomnografi. Polisomnografi adalah pemeriksaan Gold standard untuk diagnose
OSA. Pada OSA untuk melihat episode berhentinya aliran udara yang berulang
diikuti dengan upaya respirasi kontinue sedangkan pada CSA untuk melihat episode
apnea berulang diikuti dengan hilangnya upaya ventilasi, gerakan napas terhenti
karena hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktiviti elektromiografi
diafragma. Polisomnografi merupakan alat uji diagnostik menevaluasi gangguan
tidur, dilakukan pada saat malam hari di laboratorium tidur. Pemeriksaan terdiri dari
elektroensefalogram (EEG), elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG),
parameter respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon untuk
merekam dengkuran. Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit.13

56
Gambar 13: Gambaran Polisomnogram

Screening OSA dapat dilakukan dengan kuesioner Berlin yang bertujuan


untuk menjaring pasien terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian
pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering
dan apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan
setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat
berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi
badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan
berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini
mempunyai validiti yang tinggi.13,14
Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan AHI terdiri dari apnea tidur
ringan dengan AHI 5–15, saturasi oksigen 86% dan keluhan ringan, apnea tidur
sedang dengan AHI 15–30, saturasi oksigen 80–85% dan keluhan mengantuk dan
sulit konsentrasi, apnea tidur berat dengan AHI 30, saturasi oksigen kurang dari 80%
dan gangguan tidur.14

57
Terapi
A. Terapi Non-Bedah
Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al.
memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip
nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung
maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi
dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara dengkur,
menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari. Efektifitas
pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.13,15 Selain itu, Bi-level PAP
merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan tekanan inspirasi
(IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan
untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah
selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian dapat
diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level memiliki aliran
tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan
berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan
metode ini adalah menurunkan kerja pernapasan (work of breathing).15
CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical
OSA dan merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur
dan apnea dan membaiki symptom ketiduran pada siang. American college of Chest
Physicians merekomendasikan penggunaan CPAP pada pasien dengan RDI > 30
kali/ jam dan kepada semua pasien yang simptomatik dengan RDI 5-30 kali/jam.
CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSA dan keefektifannya tergantubg pada
compliance dan keteraturan penggunaan pasien.17

58
Gambar 14: nasal Continuous Positive Airway Pressure
Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan
berat badan. Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga,
dan medikamentosa. Berdasarkan penelitian, penurunan berat badan 10% -
15% dikaitkan dengan penurunan 50% kejadian apnea dan perbaikan keadaan
klinis. Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan
mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala
OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi
miring atau telungkup (pronasi).14
Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat
mandibular advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada
gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang
bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi
kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada
penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang
ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang
intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi
oklusi dan sendi temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan
seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu.13

Gambar 15. Mandibular Splint

59
B. Terapi Bedah
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP
karena beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin
dan karena timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa
hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan
alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga
diusahakan bentuk lain terapi OSA.13.14
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang
menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep
endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang
besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak
memerlukan terapi CPAP.15
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring
yang berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat
kaku dinding faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka
keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan OSA. Komplikasi metode
ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum namun hanya
bersifat sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.13
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus
endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif
bila sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada
penderita yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan
CPAP.19
4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan
oleh sebagian besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan
berdekatan dengan setiap sisi akar dari uvula diikuti
dengan pengurangan 50% dari uvula distal sehingga memperpendek

60
dan meningkatkan ukuran dan posisi uvulopalatal
kompleks.13,15
5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran
udara bagian atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari
hypopharyngeal posterior dan dinding orofaringeal, penurunan collaps
jalan napas. Pasien ada yang dipilih berdasarkan tingkat keparahan mereka
apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan kraniofasial, seperti
micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi terapi
lain.

6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan


memasukkan elektroda ke berbagai bagian langit-langit lunak
dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami
'lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. prosedur ini dapat diulang
beberapa kali dan dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian
atas, termasuk tonsil dan pangkal lidah.
7. Pemasangan implan Pillar pada palatum. `Implan Pillar atau implan
palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas
dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual
snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk
memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil
diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang
menyebabkan snoring.
8. Trakeostomy- tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir
apabila metode lain tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomy
dilakukan dengan by pass obstruksi salur napas atas. Indikasi trakeostomy
adalah pasien dengan cor pulmunale, obesity hypoventilation syndrome,
aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi surgical lain
gagal.18
61
Gambar 16. Assessment and management of obstructive sleep apnea

Komplikasi
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya:12-15
1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan
daya ingat, sakit kepala, depresi.
2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina,
penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke.
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular
pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang
yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi

62
pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada
terjadinya aterosklerosis.12
Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan
melalui dua komponen:12,13
1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi
jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan
simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.
Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA
dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA
menyebabkan peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada
kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada
penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada
penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar
angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel, dan gangguan fungsi
barorefleks.12
OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit
aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa
kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:12
 Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan
stres oksidatif.
 Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I
dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons
peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan
interleukin-6.
Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara
OSA dan infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari

63
hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis,
peningkatan koagulopati dan respons inflamasi.12,13
Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke.
Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses
aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding
arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian tekanan intrakranial,
peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah akibat
aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi efeknya terhadap morbiditas
dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan
dilakukan pada penderita stroke.12
Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus
arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan
dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA
kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor
akibat apnea dan hipoksemia.12

64
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Presentasi Kasus : Senin/ 09 April 2018

SMF PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Jeffer Shison Tanda tangan

Nim : 11 2016 055

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Stivina Azrial, Sp THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. EFL Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SMP
Alamat : Jatipulo Status menikah :Belum menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
65
Pada tanggal : 03 April 2018 Jam : 10.00 WIB

Keluhan utama
Tenggorokan terasa gatal sejak 1 minggu SMRS

Keluhan tambahan
Batuk berdahak
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan tenggorokan terasa
gatal sejak 1 minggu smrs. Pasien juga mengatakan sering sesak nafas secara hilang timbul
sudah sejak lama. Pasien sempat beberapa kali terbangun ketika tidur karena sesak nafas.
Pasien tidak tahu mendengkur apa tidak ketika tidur karena pasien tidur sendiri. Pasien
sering merasa mengantuk ketika di kelas.
Pasien mengatakan saat ini tenggorokkan terasa gatal dan ada yang mengganjal
sewaktu menelan. Pasien juga mengatakan terdapat batuk yang hilang timbul. Batuk
dirasakan ketika tenggorokkan terasa gatal. Sejak 2 minggu SMRS, pasien mengatakan
sempat demam tinggi, namun saat ini sudah tidak dirasakan. Pasien mengatakan suka makan
coklat, dan sering jajan. Minum alkohol dan merokok disangkal.
Pasien juga mengatakan sering pilek berulang, hilang timbul, mengeluarkan lendir
bening. Pilek dikatakan tidak begitu menganggu, tidak sampai menganggu penciuman
hingga parah. Pasien juga mengatakan pernah sakit kepala daerah dahi dan wajah pada
daerah hidung. Pasien juga mengatakan jarang bersin bersin ketika malam hari dan cuaca
dingin. Pasien mengatakan tidak ada keluhan pada telinga.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat sakit parah dan atau kronis sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

66
Pasien mengatakan orang di rumah juga sering batuk pilek hilang timbul tetapi tidak
mengalami hingga sesak nafas.

Pemeriksaan Fisik
TELINGA
Dextra Sinistra

Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-), atresia (-), fistula (-), anotia (-), atresia (-), fistula
bat’s ear (-), lop’s ear (-), (-), bat’s ear (-), lop’s ear (-),
cryptotia (-), satyr ear (-) cryptotia (-), satyr ear (-)
Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-),
(-), edema (-) hiperemis (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),
abses (-), sikatriks (-), massa (-), abses (-), sikatriks (-), massa
hiperemis (-), nyeri (-), edema (-), hiperemis (-), nyeri (-),
(-) edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri Massa (-), hiperemis (-),
(-), edema (-), abses (-) odem (-), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga edema (-), stenosis (-), atresia edema (-), stenosis (-),
(-), furunkel (-), jar. granulasi atresia (-), furunkel (-), jar.
(-), hiperemis (-), secret (-), granulasi (-), hiperemis (-),
serumen(-), laserasi (-), hifa (-), sekret (-), serumen (-),massa
perdarahan aktif (-), clotting (-), (-), hifa (-), perdarahan
debris (-), tanda trauma (-), aktif (-), clotting (-), tanda
benda asing (-) trauma (-), benda asing (-)

67
Membran Timpani Intak (+), suram(-), Reflek Intak (+), suram (-), Reflek
cahaya (+) arah jam 5, cahaya (+) arah jam 7,
hiperemis (-), retraksi (-), hiperemis (-),retraksi (-),
buldging (-) buldging (-)

Tes Penala
Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : hasil pemeriksaan dalam batas normal

HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump
agenesis (-), hidung bifida (-), nose (-), agenesis (-),
atresia nares anterior (-), tidak ada hidung bifida (-), atresia
deformitas. nares anterior (-), tidak
ada deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa (-) Hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-),
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-), Nyeri tekan (-), nyeri
maxillaris krepitasi (-) ketuk (-), krepitasi (-)
Vestibulum laserasi (-), sekret (-), furunkel laserasi (-), sekret (),
(-), krusta (-), hiperemis (-), nyeri furunkel (-), krusta (-),
(-), massa (-), benda asing (-) hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-), benda asing
(-)
Cavum Nasi Sekret (+) serous (+) konsistensi Sekret (+) serous (+)
cair (+), massa (-), krusta (-), konsistensi cair (+),

68
benda asing (-), edema (-), massa (-), krusta (-),
pendarahan aktif (-), clotting (-) benda asing (-), edema
(-), pendarahan aktif (-),
clotting (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), atropi (-), hiperemis Hipertrofi (-), atropi (-),
(-), livide (+), edema (+) hiperemis (-), livide (+),
edema (+)
Meatus nasi inferior Tertutup, sekret serous (+) Tertutup, sekret serous
(+)
Konka Medius Edema (-), atropi (-), hipertrofi (-), Edema (-), atropi (-),
hiperemis (-), livide (+), konka hipertrofi (-), hiperemis
bulosa (-) (-), livide (+), konka
bulosa (-)
Meatus nasi medius Tertutup, sekret serous (+) Tertutup, sekret serous
(+)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), hematoma Deviasi (-), spina (-),
(-), abses (-), perforasi (-), crista hematoma (-), abses (-),
(-) perforasi (-), crista (-)

RINOPHARING

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan

69
 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

TENGGOROK
FARING
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-),
clotting (-),
post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-), laserasi
(-)
Tonsil : T4-T4, hiperemis (+), kripta (-), detritus (-), pseudomembran (-),
abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-), memanjang (-),
edema (-).
Gigi : karies (-)

LARING

Epiglottis : Tidak Dilakukan


Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan
Arytenoids : Tidak dilakukan
Ventricular band : Tidak dilakukan
Pita suara : Tidak dilakukan
Rima glotis : Tidak dilakukan
Cincin trachea : Tidak dilakukan
Sinus Piriformis : Tidak dilakukan
Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.

70
Visual Analog Score

Besar gangguan yang dirasakan pasien dari gejala rinosinosinutis nya: VAS 4
Beratnya penyakit:
- RINGAN = VAS 0-3
- SEDANG = VAS > 3-7
- BERAT = VAS > 7-10
RESUME

Anak Perempuan datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan


tenggorokan terasa gatal sejak 1 minggu smrs. Pasien juga mengatakan sering dsypnea
hilang timbul sudah sejak lama. Keluhan disertai dengan partial arousal.
Pasien mengatakan ada keluhan odinofagia. Cough (+) hilang timbul. Sejak 2
minggu SMRS, pasien mengatakan sempat demam tinggi, namun saat ini sudah tidak
dirasakan. Rhinitis hilang timbul, secret serous. Anosmia (-). Nyeri pada frontal dan fasial
positif.
Dari pemeriksaan fisik pada hidung didapatkan mukosa konka inferior kanan dan
kiri pucat dan edema. Mukosa konka media kanan dan kiri pucat dan edema. Cavum nasi
terlihat adanya secret serous. Meatus nasi inferior kiri dan kanan terdapat secret serous dan
sempit. Meatus nasi media kiri dan kanan terdapat secret serous. Pada pemeriksaan faring
tampak dinding posterior faring hiperemis dan pada pemeriksaan tonsil terdapat perbesaran
T4-T4 dan tampak hiperemis. Skor VAS: 4.

71
Working diagnosa (WD)

1. Tonsilitis kronik
Dasar yang mendukung:
 Anamnesis: tenggorokkan terasa gatal dan kadang-kadang muncul batuk. 1
minggu smrs terdapat nyeri tenggorokkan saat menelan dan demam tinggi.
 Pemeriksaan fisik: dinding posterior faring tampak hiperemis, ukuran tonsil
T4-T4 dan tampak hiperemis.
2. Obstructive sleep apnea
Dasar yang mendukung:
 Anamnesis: sering sesak nafas, terbangun ketika tidur.
3. Rhinosinusitis kronis ec susp. alergi
Dasar yang mendukung :
 Anamnesis: hidung tersumbat dan berair. Rasa menghidu terhadap bau-bauan
berkurang. Terdapat nyeri tekan wajah 4 smrs.
 Pemeriksaan fisik: mukosa konka inferior dan konka media kiri dan kanan
edema dan livid, terdapat secret serous pada meatus nasi inferior dan meatus
nasi media.
Differential Diagnosis (DD)
1. Rhinitis alergi
 Dasar yang mendukung: hidung tesumbat dan berair. Hidung tersumbat tidak
tergantung posisi pasien.
 Dasar yang tidak mendukung: keluhan dirasakan baru 2 minggu ini, tidak ada
riwayat alergi. Bersin hanya sesekali saja.
2. Laringitis kronis
 Dasar yang mendukung: adanya nyeri pada tenggorokan, ada rasa mengganjal
pada tenggorokan
 Dasar yang tidak mendukung: tidak ada suara parau yang menetap

72
Pemeriksaan Anjuran:
 CT-scan sinus paranasal
 Laringoskop indirek
 Skin prick test

Penatalaksanaan
1. Tonslitis kronik
Medika mentosa:
 Analgetik
 Antibiotik : amoksisilin 3x500 mg/hari
 Kortikosteroid: deksametason 2x0.5 mg/hari
 Antitusif atau ekspektoran jika diperlukan
 Rencanakan tonsilektomi
Non-medikamentosa:
 kumur dengan air hangat atau antiseptik
 Hindari minum es, makan pedas, makan gorengan.
 Istirahat
 Minum air yang cukup

Edukasi:
 Hindari makanan yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus seperti kopi,
minuman berkarbonasi, coklat, jus alpukat/jeruk, alkohol, tomat ataupun
makanan berlemak.
 Tidak menggunakan pakaian atau korset yang terlalu ketat.
 Ketika mau tidur berhenti makan 3 – 4 jam sebelumnya.
 Tidak stress.

2. Obstructive sleep apnea

73
Medika Mentosa :
 Rencanakan tonsilektomi
3. Rhinosinusitis kronik ec susp. alergi:
Medika mentosa:
 Dekongestan: Pseudoephedrine 3 x 60 mg/hari
 Antihistamin oral: loratadine 1x10 mg/hari
 Kortikosteroid topikal: fluticasone furoate nasal spray 2kali/2semprot/hari
 Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%)
Non-medikamentosa:
 Menjaga higienitas hidung
 Menjaga kesehatan tubuh, istirahat
 Menggunakan masker atau kertas tisu ketika bersin atau batuk
 Kumur dengan air hangat/antiseptik
Prognosis :

1. Rhinosinusitis kronik
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

2. Tonsilofaringitis kronik
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

3. Obstructive sleep apnea


Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015.
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6.
Penerbit buku kedokteran EGC. 1997; H. 173-260.
3. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM.
Acute and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and treatment. IJPSI.
2015;4(2):30-6.
4. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h.
34-41.
5. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher.. Jilid
2. Jakarta: Binarupa Aksara. 2008.h.392-5
6. Vrabec JT, Backous DD, Djalilian HR, Gidley PW, Leonetti JP, Marzo SJ, et
al. Facial Nerve Grading System 2.0. Otolaryngol - Head Neck Surg
[Internet]. 2009;140(4):445–50. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.otohns.2008.12.031
7. Bailey B.J., Johnson J. T., Newlands S. D., Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 5th Edition. Lippincot Williams & Wilkins.
Philadelphia:2013.p.78-88.
8. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam:
Lalwani KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 3rd edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2012.p.
112-7
9. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI: Jakarta; 2013. h. 315-319.
10. Falk GL, Vivian SJ. Laryngopharyngeal reflux: diagnosis, treatment and
latest research. Eur Surg - Acta Chir Austriaca. 2016;48(2):74–91.

75
11. Martinucci I, de Bortoli N, Savarino E, Nacci A, Romeo SO, Bellini M, et al.
Optimal treatment of laryngopharyngeal reflux disease. Ther Adv Chronic
Dis [Internet]. 2013;4(6):287–301. Available from:
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2040622313503485
12. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan
Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
13. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep
Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.
14. Antariksa, Budhi. Patogenesis, Diagnosti dan Patogenesis OSA (Obstructive
sleep Apnea). Dept pulmonologi dan Respirasi. FKUI. Jakarta.
15. Prasenohadi. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Dept Pulmunologi
dan Respirasi. FKUI. Jakarta.
16. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of
Obstructive Sleep Apnea in Adult.
17. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark A.
Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery 5th Edition, Chapter 18: Sleep Apnea
and Sleep Disorders ; 250-261.
18. Anil K Lalwani, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head and
Neck Surgery 2nd Edition, Lange Current Series, 536-542
19. Hormann, Karl. Verse, Thomas. Sleep Disordered Breathing. Surgery for
Sleep Disordered Breathing. 2005; 1-10

76

Anda mungkin juga menyukai