Disusun Oleh:
0
BAB I
PENDAHULUAN
Pemeriksaan pada THT sebaiknya dilakukan dalam ruangan yang tenang tersedia
sebuah meja kecil tempat meletakkan alat-alat pemeriksaan dan obat-obatan atau meja khusus
instrument yang sudah dilengkapi dengan pompa pengisap, kusri pasien yang dapat berputar
dan dinaikturunkan tingginya serta kursi untuk pemeriksa dan dan meja tulis.1
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami mengenai
anatomi, fisiologi, dan kelainan yang dapat ditemukan di bagian THT serta mengetahui
penanganan pada kelaianan yang ditemukan tersebut. Pembuatan referat ini juga untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT)
di RSUD Tarakan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Embriologi
a. Telinga Luar
Pinna (aurikula) berasal dari penggir-pinggir celah brankial pertama dan arkus
brankialis pertama dan kedua membentuk 6 tonjolan (Hillock of His) yang
mengelilingi perkembangan liang telinga luar dan kemudian bersatu utnuk
membentuk daun telinga. Aurikula dipersarafi oleh cabang aurikulotemporalis dari
saraf mandibularis serta saraf aurikularis mayor dan oksipital minor yang
merupakan cabang pleksus servikalis.
Pada minggu ketujuh pembentukan dari kartilago masih dalam proses dan
pada minggu ke-12 daun telinga dibentuk oleh penggabungan dari tonjolan-
tonjolan diatas. Pada minggu ke-20, daun telinga sudah seperti bentuk telinga
dewasa, tetapi ukurannya belum seperti ukuran dewasa sampai umur 9 tahun.
2
Posisi daun telinga berubah selama perkembangan, pada awal pertumbuhan
terletak vetro medial dan pada bulan kedua kehamilan tumbuh menjadi dorso
lateral yang merupakan lanjutan dari pertumbuhan mandibula. Jika proses ini
terhenti bisa mengakibatkan terjadinya telinga letak rendah yang mungkin diikuti
oleh anomaly, congenital lainnya seperti mikrotia dan anotia. Fistula aurikularis
congenital terjadi diduga oleh karena kegagalan dari pada penggabungan tonjolan-
tonjolan ini. Kelainan congenital daun telinga dapat terjadi mulai dari minor
malformasi seperti lipatan kulit didepan tragus sampai aplasia total.
b. Telinga Tengah
Rongga telinga tengah berasal dari celah brankial pertama ektoderm. Rongga
berisi udara ini meluas ke dalam resesus tubatimpanikus yang selanjutnya meluas
ke sekitar tulang-tulang dan saraf dari telinga tengah dan meluas kerang lebih ke
daerah mastoid. Osikula berasal dari rawan arkus brankialis. Untuk
mempermudah pemikiran ini maleus dapat dianggap berasal dari rawan arkus
3
brankialis pertama (kartilago meekel, sedangkan inkus dan stapes dari rawan
arkus brankialis kedua (kartilago Reichert).
Saraf korda timpani berasal dari arkus kedua (facialis) menuju saraf pada
arkus pertama (mandibula-lingualis). Sraf timpanikus (dari Jacobson) berasal dari
saraf arkus brankialis ketiga (glosofaringeus) menuju saraf facialis. Kedua saraf
ini terletak dalam rongga telinga tengah. Otot-otot telinga tengah berasal dari otot-
otot brankialis. Otot tensor timpani yang melekat pada maleus, berasal dari arkus
pertama dan dipersarafi oleh saraf mandibularis (saraf kranial V). Otot stapedius
berasal dari arkus kedua,dipersarafi oleh suatu cabang saraf ketujuh.
Cavum timpani berasal dari kantong pharyng pertama. Kantong ini tumbuh
dengan cepat ke arah lateral dan untuk sementara bersentuhan dengan lantai celah
pharyng pertama. Bagian distal kantong ini, recessus tubotympanicus, melebar
dan membentuk cavum timpani sederhana, sedangkan bagian proksimal tetap
sempit dan membentuk tuba auditiva atau tuba eustachius. Yang terakhir akan
membentuk saluran yang menghubungkan cavum timpani dengan nasofaring.
c. Telinga Dalam
Plakoda otika ektoderm terletak pada permukaan lateral dari kepala embrio.
Plakoda ini kemudian tenggelam dan membentuk suatu lekukan otika dan
akhirnya terkubur di bawah permukaan sebagai vesikel otika. Letak vesikel dekat
dengan otak belakang yang sedang berkembang dan sekelompok neuron yang
dikenal sebagai ganglion akustikofasialis. Ganglion ini penting dalam
perkembangan saraf facialis, akustikus dan vestibularis. Vesikel auditorius
membentuk suatu divertikulum yang terletak di dekat tabung saraf yang sedang
berkembang yang kelak akan menjadi duktus endolimfatikus.
4
neuron inilah yang membentuk ganglia saraf vestibularis dan ganglia spiralis dari
saraf koklearis.
2. Anatomi
Untuk mengetahui tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui terlebih dahulu
tentang anatomi telinga itu sendiri. Sehingga dapat memudahkan dalam menentukan
bagian mana yang mangalami gangguan dan dapat memberikan penanganan yang
tepat. Pada dasarnya, anatomi telinga terbagi atas tiga bagian. Yaitu :
a. Telinga Luar
5
Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari
rawan yang diliputi kulit. Telinga luar itu sendiri terdiri dari daun telinga dan liang
telinga samapai membrane timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5-3 cm.
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen
(modifikasi kelenjar keringat =kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat
terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Dan pada duapertiga bagian dalam
hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Liang telinga memiliki tulang rawan
pada bagian lateral namun bertulang di sebelah medial. Kulit liang telinga
langsung terletak diatas tulang. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada
perbatasan tulang dan rawan ini sehingga radang yang ringanpun dapat terasa
sangat nyeri karena tidak ada ruang untuk ekspansi.
Membrane Timpani
6
Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan peuncaknya,
umbo, mengarah ke medial. Membrana timfani umumnya bulat. Penting untuk
disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang
mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membrana
timpani, dan bahwa ada bagian hipo timpanum yang meluas melampaui batas bawah
membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di
bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan dan
lapisan mukosa bagian dalam lapisan fibrosa tidak terdapat diatas prosesus lateralis
maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut membrana
Shrapnell menjadi lemas (flaksid).
7
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu bangunan
berbentuk kotak dengan enam sisi atau seperti bentuk kubus. Dinding posteriornya
lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji.
Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membran
timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah.
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii media.
Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan
dibawahnya adalah saraf facialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf facialis
dan tendonnya menembus, melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes.
Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis dibawah stapedius dan berjalan ke
lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga
tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan
saraf lingualis dan menghantarkan serabut-seabut sekretomotorik ke ganglion
submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah.
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang disebelah seperolateral
menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus.
Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf
vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior
adalah kanalis karotikus. Diatas kanalis ini, muara tuba eustachius dan otot tensor
timpani yang menempati daerah seperior tuba kemudian membalik, melingkari
prosesus kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus.
8
Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian
atas membran timpani dan dinding tulang hipotimpanum dibagian bawah. Bangunan
yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup
lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas promontorium ini.
Fenestrarotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sednagkan kaki
stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas posterosuperior promontorium. Kanalis
falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak diatas fenestra ovalis mulai dari
prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid stapedius di pasterior.
Rongga mastoid berbentuk seperti piramid berisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral
fosa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak dibawah dura mater pada daerah ini.
Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan kanalis
semisirkularis lateralis menonjol ke dalam antrum. Di bawah kedua patokan ini
berjalan saraf fasialis dalam kanalis tulangnya untuk keluar dari tulang temporal
melalui foramen stilomastoideus di ujung anterior krista yang dibentuk oleh insersio
otot digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang dengan mudah
dapat di palpasi di posterior aurikula.
Tuba Eustachius
c. Telinga Dalam
9
yaitu labirin membran yang terisi endolimfe. Satu-satunya cairan ekstraselular
dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran dikelilingi
oleh cairan perilimfe yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang
dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis
(pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian kaklearis
(pars inferior) merupakan organ pendengaran kita.
Koklea melingkar seperti rumah siput yang berupa dua setengah lingkaran.
Aksis pada spiral koklea dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai
arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suaru lamina spralis
oseus untuk mencapai sel-sel organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi
menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi
endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli bawah berisi perilimfe dan
dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian
bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari
duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe
pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung
buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema.
Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks
(nada rendah).
Terletak diatas membrana basilaris dari basis ke paeks adalah organ Corti,
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ Corti sendiri terdiri dari serl rambut dalam (±3000) dan tiga
baris sel rambut luar (±12.000). ujung-ujung saraf aferen dan eferen menempel
10
pada ujung bawah sel rambut. Di permukaan sel rambut menempel stereosilia
yang bersifat gelatinosa dan aseluler, dan dikenal sebagai membrana tektoria.
Membrana tektoria disokong oleh suatu bangunan yang terletak di medial yang
disebut dengan limbus.
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada
bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis bermuara pada
utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujungyang melebar
membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut
menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis akan menggerakan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan
silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor.
Innervasi Telinga
Vaskularisasi telinga
Telinga diperdarahi oleh pembuluh-pembuluh darah kecil diantaranya adalah ramus
cochleae a. Labyrinthi yang memperdarahi bagian koklea, ramus vestibulares a.labyrinthi
yang memperdarahi vestibulum. V. Spiralis anterior, v. Spiralis posterior, V. Laminae
spiralis, Vv. Vestibulares, dan V. Canaliculi cochleae.
3. Fisiologi
11
a. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara kemudian masuk ke
liang telinga. Pada liang telinga, suara dapat sangat membesar suara dalam
rentang 2-4 kHz. Setelah itu gelombang suara dapat pula menggetarkan tulang
hingga ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke
telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pengelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam
sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks serebri / korteks pendengaran
(area 39-40) di lobus temporalis.
b. Fisiologi Keseimbangan
Keseimbangan dan orientasi tubuh seorang terhadap lingkungan di sekitarnya
tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler labirin, organ visual dan
proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di
SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.
Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang merupakan
pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin tulang. Pada
tiap pelebarannnya terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri
dari tiga kanalis semisirkularis dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang
12
berhubungan dengan utrikulus, yang disebut dengan ampula. Di dalamnya
terdapat krista ampularis yang terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan
seluruhnya tertutup oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula.
4. Pemeriksaan
a. Anamnesis
13
Anamnesis sedikitnya harus menanyakan tentang gangguan pendengaran,
kebisingan dalam kepala (tinitus),pusing (vertigo) atau ketidakseimbangan,sekret
telinga,dan nyeri telinga
Kerusakan Pendegaran
4. Apakah hanya yang terdengar menjadi sunyi atau adakah juga gangguan dalam
pemahaman dan pada keadaan apa?
5. Apakah awitannya berhubungan dengan penyakit lain, trauma, paparan suara ribut,
atau penggunaan obat-obatan termasuk aspirin?
8. Apakah ada paparan dalam pekerjaan, militer,rekreasi atau paparan bising lainnya?
9. Adakah riwayat campak, mumps, influenza, meningitis, sifilis, penyakit virus yang
berat, atau penggunaan obat-obat ototoksik seperti
kanamicin,streptomicin,gentamisin/diuretik tertentu?
Kebisingan Kepala
3. Apakah terdengarnya setelah suatu paparan bising di tempat kerja atau ditempat
lain?
14
Pusing
Sekret Telinga
4. Apakah didahului oleh suatu infeksi saluran napas bagian atas / suatu keadaan
dimana telinga menjadi basah?
Nyeri Telinga
3. Apakah nyeri hanya pada telinga atau menyebar atau berasal dari tempat lain?
15
5. Adakah gejala-gejala kepala dan leher lainnya?
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, harus dimulai dari inspeksi dan palpasi aurikula
(pinna) dan jaringan di sekitar telinga. Kemudian liang telinga juga harus
diperiksa. Alat yang diperlukan untuk pemeriksaaan telinga adalah lampu kepala,
corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan
garputala.
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit kedepan dan kepala lebih
tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan
membran timpani.
Dimulai dengan melihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang
daun telinga (retro-aurikuler) apakah terdapat tanda peradangan atau sikatriks
bekas operasi. Dengan menarik daun telinga keatas dan kebelakang, liang telinga
akan menjadi lebih lurus dan akan lebih mempermudah melihat keadaan liang
telinga dan membran timpani. Pakailah otoskop untuk melihat lebih jelas bagian-
bagian membran timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk
memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga
kiri. Supaya otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang
otoskop ditekankan pada pipi pasien.
Bila terdapat serumen didalam liang telinga yang menyumbat maka serumen
ini harus dikeluarkan. Jika kondisinya cair dapat dengan kapas yang dililitkan, bila
konsistensinya padat atau liat dapat dikeluarkan dengan pengait dan bila
berbentuk lempengan dapat di pegang dan dikeluarkan dengan pinset. Jika
serumen ini sangat keras dan menyumbat seluruh liang telinga maka lebih baik
dilunakan dulu dengan minyak atau karbogliserin. Bila sudah lunak atau cair dapat
dilakukan irigasi dengan air supaya liang telinga bersih.
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari hasil
pemeriksaannya dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli
perseptif (sensorineural). Uji penala yang dilakukan sehari-hari adalah uji
pendengaran Rinne dan Weber.
16
Pemeriksaan telinga
Inspeksi telinga luar merupakan prosedur yang paling sederhana tapi sering
terlewat. Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya deformitas, lesi cairan
begitu pula ukuran simetris dan sudut penempelan ke kepala.
Gerakan aurikulus normalnya tak menimbulkan nyeri. Bila manuver ini terasa nyeri,
harus dicurigai adanya otitis eksterna akut. Nyeri tekan pada saat palpasi di daerah
mastoid dapat menunjukkan mastoiditis akut atau inflamasi nodus auri-kula posterior.
Terkadang, kista sebaseus dan tofus (deposit mineral subkutan) terdapat pada pinna. Kulit
bersisik pada atau di belakang aurikulus biasanya menunjukkan adanya dermatitis
seboroik dan dapat terdapat pula di kulit kepala dan struktur wajah.
Membrana timpani sehat berwarna mutiara keabuan pada dasar kanalis. Penanda
harus dttihat mungkin pars tensa dan kerucut cahaya, umbo, manubrium mallei, dan
prosesus brevis. Gerakan memutar lambat spekulum memungkinkan penglihat lebih jauh
pada lipatan malleus dan daerah perifer, dan warna membran begitu juga tanda yang tak
biasa atau deviasi kerucut cahaya dicatat. Adanya cairan, gelembung udara, atau massa di
telinga tengah harus dicatat. Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus membrana
timpani yang baik hanya dapat dilakukan bi kanalis tidak terisi serumen yang besar.
Serumennya terdapat di kanalis eksternus, dan bila jumla sedikit tidak akan mengganggu
17
pemeriksaan otoskop. Bila serumen sangat lengket maka sedikit minyak mineral atau
pelunak serumen dapat diteteskan dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan
kembali lagi.
TES PENALA
Penggunaan uji Weber dan Rinne
Memungkinkan kita membedakan kehilangan akibat konduktif dengan kehilangan
sensorineural
a. Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran
tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
1. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus).
Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan
18
didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih
dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat
mendengarnya.
2. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala
didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada
dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika
pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes
rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih
lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne
Normal : Tuli konduksi : Tuli persepsi, terdapat 3
kemungkinan :
tes rinne positif tes rine negatif
(getaran dapat - Bila pada posisi II penderita masih
didengar melalui mendengar bunyi getaran garpu tala
tulang lebih lama) .
- Jika posisi II penderita ragu-ragu
mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa
maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus,
tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum
pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah
tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid
pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan
garputala kedepan meatus akustukus eksternus.
b. Test Weber
19
Tujuan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua
telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512
Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien,
telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien
mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi
telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama
mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga
akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada MAE atau
cavum timpani misal : otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan
atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, bila ada bunyi segala getaran
akan didengarkan di sebelah kanan.
Interpretasi
20
a.Bila pendengar mendengar lebih keras b.Pada lateralisasi ke kanan terdapat
pada sisi di sebelah kanan disebut kemungkinannya:
lateralisasi ke kanan, disebut normal bila
antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya. - Tuli konduksi sebelah kanan,
misal adanya ototis media
disebelah kanan.
21
Test Swabach
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal)
dengan pasien. Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh
getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya
osteo temporal.
Cara pemeriksaan :
Pemeriksa meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak kepala
pasien. Pasien akan mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan
akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara
garputala, maka pemeriksai akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala
orang yang diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi
pembanding dua kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak
mendengar suara.
Tes Schwabach
Contoh :
Seorang dengan kurang pendengaran pada telinga kanan:
Hasil tes penala :
Telinga kanan Telinga kiri
Rinne Negative Positif
Weber Lateralisasi kekanan
Schwabach memanjang Sesuai dengan pemeriksa
Kesimpulan : tuli konduktif pada telinga kanan
22
Rinne bisa masih positif
Table 1. Kesimpulan hasil tes penala
Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara kasar.
Hal ini yang diperlukan adalah ruangan yang cukup tenang, dengan panjang minimal 6
meter. Pada nilai normal tes berbisik : 5/6-6/6
Audiologi Dasar
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri, maka derajat
ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang
yang merasa memiliki gangguan pendengeran atau seseorang yang akan bekerja pada
suatu bidang yang memerlukan ketajaman pendengaran.
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometer adalah satu-satunya
instrumen diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada dua macam: (1) audiometri
nada-murni, di mana stimulus suara terdiri atas nada murni atau musik (semakin keras
nada sebelum pasien bisa mendengar berarti semakin besar kehilangan pendengarannya),
dan (2) audiometri wicara di mana kata yang diucapkan digunakan untuk menentukan
kemampuan mendengar dan membedakan suara. Ahli audiologi melakukan uji dan pasien
mengenakan earphone dan sinyal mengenai nada yang didengarkan. Ketika nada dipakai
23
secara langsung pada meatus kanalis auditorius eksternus, kita mengukur konduksi udara.
Bila stimulus diberikan pada tulang mastoid, melintas mekanisme konduksi (osikulus),
langsung menguji konduksi saraf. Agar hasilnya akurat, evaluasi audiometri dilakukan di
ruangan yang kedap suara. Respons yang dihasil-kan diplot pada grafik yang dinamakan
audiogram.
Frekuensi
Merujuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi per detik
siklus perdetik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan
kisaran frekwensi dari 20 sampai 20.000Hz. 500 sampai 2000 Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari yang dikenal sebagai kisaran wicara.
Nada adalah istilah untuk menggambarkan frekuensi; nada dengan frekwensi 100
Hz dianggap sebagai nada rendah, dan nada 10.000 Hz dianggap sebagai nada tinggi.
Unit untuk mengukur kerasnya bunyi (intensitas suara) adalah desibel (dB), tekanan yang
ditimbulkan oleh suara. Kehilangan pendengaran diukur dalam decibel, yang merupakan
fungsi logaritma intensitas dan tidak bisa dengan mudah dikonversikan ke persentase.
Ambang kritis kekerasan adalah sekitas 30 dB.
Beberapa contoh intensitas suara yang biasa termasuk gesekan kertas dalam
lingkungan yang sunyi, terjadi pada sekitar 15 dB; per kapan rendah, 40 dB; dan kapal
terbang jet sejauh kaki, tercatat sekitar 150 dB. Suara yang lebih keras i 80 dB didengar
telinga manusia sangat keras. Suara yang terdengar tidak nyaman dapat merusak telinga
dalam Timpanogram atau audiometri impedans, menggunakan refleks otot telinga tengah
terhadap stimulus suara, kelenturan membrana timpani, dengan mengubah teh udara
dalam kanalis telinga yang tertutup (Kelenturan akan berkurang pada penyakit telinga
tertutup).
Respons batang otak auditori (ABR, auditori brain sistem response) adalah potensial
elektris yang dapat terteksi dari narvus kranialis VIII (narvus akustikus) alur auditori
asendens batang otak sebagai respons stimulasi suara. Merupakan metoda objektif untuk
mengukur pendengaran karena partisipasi aktif pasien sama sekali tidak diperlukan
seperti pada audiogram perilaku. Elektroda ditempatkan pada dahi pasien dan stimuli
akustik, biasanya dalam bentuk detak, diperdengarkan ke telinga. pengukuran
elektrofisiologis yang dihasilkan dapat di tentukan tingkat desibel berapa yang dapat
didengarkan pasien dan apakah ada kelainan sepanjang alur syaraf, seperti tumor pada
24
nervus kranialis VIII. Elektrokokleografi (ECoG) adalah perekaman potensial
elektrofisologis koklea dan nervus kranialis VIII bagai respons stimuli akustik. Rasio
yang dihasilkan digunakan untuk membantu dalam mendiagnosa kelainan keseimbangan
cairan telinga dalam seperti penyakit Meniere dan fistula perilimfe.
Prosedur ini dilakukan dengan menempatkan elektroda sedekat mungkin dengan
koklea, baik di kanalis auditorius eksternus tepat di dekat membrana timpani atau melalui
elektroda transtimpanik yang diletakkan melalui mambrana timpani dekat membran
jendela bulat. Untuk persiapan pengujian, pasien diminta unluk tidak memakai diuretika
selama 48 jam sebelum uji dilakukan sehingga keseimbangan cairan di dalam telinga
tidak berubah.
Kehilangan Klasifikasi
(Desibel)
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
25
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada
stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara
kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala
decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator
(bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL.
Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
26
pemeriksaan telinga : apakah congek atau tidak (ada cairan dalam telinga), apakah ada
kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang gendang telinga, untuk menentukan
penyebab kurang pendengaran.
Pemeriksaan keseimbangan
Pemeriksaan fungsi keseimbangan dapat dilakukan mulai dari pemeriksaan yang
sederhana yaitu :
a. Uji Romberg : berdiri, lengan dilipat pada dada, mata ditutup, orang normal
dapat berdiri lebih dari 30 detik.
b. Uji berjalan (Strepping Tes) : berjalan di tempat 50 langkah, bila tempat berubah
melebihi jarak 1 meter dan badan berputar melebihi 30 derajat berarti sudah
terdapat kelaianan. Pemeriksaan keseimbangan secara obyektif dilakukan dengan
Posturografi dan ENG.
Fistula preaurikular
27
B. Infeksi
Perikondritis
C. Neoplasma
D. Trauma
Laserasi
Hematoma
28
E. Lain-lain
Pseudokista
Impetigo
Nodulus.
Otitis Eksterna
1. Otitis Eksterna Akut
Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)
29
Otitis Eksterna Difus
Layers of wet soggy white shed skin are partially blocking the ear
canal. Red swollen inflamed skin is preventing a proper view of the
eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. Until the
eardrum has been fully examined, it is impossible to know whether
or not there is an underlying middle ear disease such as
cholesteatoma.
Red granulation tissue overlying the bone of the left ear canal,
behind the eardrum. Layers of wet soggy white shed skin are stuck
to the eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. In
this case it was too painful to complete the cleaning in out-
patients. Microsuction under a general anaesthetic confirmed the
diagnosis.
30
Otitis externa.Mixed fungal and bacterial infection. Viewed with
operating microscope
c = conidiophores
m = mycelium
p = pus
Sumber:
Sosialisman & Helmi.Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.Ed. ke-5.dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof.
dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.
31
Sumber:
Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher.Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
Sumber:
Sosialisman & Helmi.Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.Ed. ke-5.dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof.
dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.
Mastoiditis
1. Mastoiditis Kronik
32
Sumber: Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tangah dan Mastoid. In
Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC. 1994.
h. 88-117.
Membran timpani
tipeperforasi marginal
tipeperforasi sentral
33
tipeperforasi tuba
3. Besar : melibatkan 3 – 4 kuadran atau > 40% dari pars tensa dengan sisa membrana
timpani yang masih lebar .
34
5. Total : perforasi seluruhnya dari pars tensa dan anulus fibrosus
Sumber: Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tangah dan Mastoid. In
Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC. 1994.
h. 88-117
PEMERIKSAAN FISIK
35
STRUKTUR ANATOMI HIDUNG
Rangka hidung luar terdiri dari tulang-tulang nasal, bagian maksila dan tulang rawan.
Sepertiga atas rangka tersebut terdiri dari tulang hidung, yang membentuk persendian dengan
maksila dan tulang frontal. Dua pertiga bagian bawah terdiri dari tulang rawan. (gambar 1).
Struktur tulang tersebut membentuk bangunan hidung seperti piramid yang terdiri dari :
(gambar 2)
puncak hidung
kolumela
36
Gambar 1. Tulang penyusun hidung
B. Rongga Hidung
Bagian dalam hidung terdiri dari dua rongga yang dipisahkan oleh septum nasal, yang
membentuk dinding medial rongga hidung. Menonjol dari dinding lateral, ada tiga
turbinatum, atau konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan mengandung jaringan
semierektil. Di bagian bawah tiap konka terdapat rnuara untuk sinus paranasalis, tiap muara
dikenal sebagai meatus. Tiap meatus dinamakan menurut konka di atasnya. Duktus
nasolakrimalis bermuara ke dalam meatus inferior. Meatus media, di bawah konka media,
mempunyai muara untuk sinus-sinus frontalis, maksilaris, dan etmoidalis anterior. (gambar 3
dan 4 )
37
Sinus Ethmoidalis
Sinus Frontalis
Konka Superior
Konka Medial
Konka Inferior
Meatus inferior
1. jalan napas
2. alat pengatur kondisi udara (mengatur suhu dan kelembaban udara)
3. penyaring udara
7. refleks nasal
C. Sinus Paranasalis
Merupakan rongga-rongga yang berisi udara yang dilapisi dengan membran mukosa.
Ada empat sinus paranasalis yang terdiri dari sinus maksilaris, etmoidalis, frontalis dan
spenoidalis. Sinus maksilaris merupakan yang terbesar yang dibatasi oleh mata, pipi, rongga
hidung, dan palatum durum. Sinis etmoidalis terdapat dalam tulang etmoid, yang terletak
medial dari orbita dan memanjang sampai ke fossa hipofisis. Sinus frontalis terletak di atas
38
sinus etmoidalis dan dibatasi oleh dahi, orbita, dan fossa canalis anterior. Di belakang sinus
etmoidalis terletak sinus spenoidalis. (Gambar 4)
Gambar 4.
Letak Sinus Paranasalis
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik hidung dan sinus paranasalis ada beberapa hal
yang harus dipersiapkan antara lain :
39
yang benar, ikatan lampu dieratkan dengan memutar kunci kearah kanan. Pengunci ikatan
lampu kepala harus berada disebelah kanan kepala.
Fokus cahaya lampu diatur dengan memfokuskan cahaya kearah telapak tangan yang
diletakkan kurang lebih 30 cm dari lampu kepala. Besar kecilnya focus cahaya diatur
dengan memutar penutup lampu kepala kearah luar sampai diperoleh fokus cahaya lampu
yang kecil, bulat dengan tingkat pencahayaan yang maksimal. Diusahakan agar sudut
yang dibentuk oleh jatuhnya sumber cahaya kearah obyek yang berjarak kurang lebih 30
cm dengan aksis bola mata, sebesar 15 derajat, dan diameter proyeksi cahaya ± 1 cm
PEMERIKSAAN HIDUNG
Pemeriksaan luar
Pemeriksaan rongga hidung
Pemeriksaan Luar
Inspeksi
Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi hidung bagian luar dan
daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan dengan mengamati :
40
Apakah ada deviasi septum nasi, apakah deviasinya melibatkan bagian atas, yang
terdiri dari tulang, atau bagian bawah, yang terdiri dari tulang rawan
ada tidaknya kelainan bentuk hidung atau anomali kongenital
tanda-tanda infeksi dan pembengkakan
tanda – tanda trauma
adanya sekret yang keluar dari rongga hidung.
Palpasi
Palpasi dilakukan dengan penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung
sampai apeks untuk mengetahui ada tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi.
Pemeriksaan patensi masing-masing lobang hidung dengan cara menutup satu lobang
hidung dengan meletakkan jari pemeriksa secara perlahan-lahan pada lobang tersebut.
Mintalah pasien untuk menarik napas. Jangan menekan lobang hidung kontralateral secara
berlebihan
Rhinoskopi Anterior
Pemeriksaan rongga hidung dilakukan secara inspeksi melalui lubang hidung yang
disebut dengan rhinoskopi anterior dan yang melalui rongga mulut dengan menggunakan
cermin nasofaring yang disebut dengan rhinoskopi posterior.
Kunci untuk berhasilnya pemeriksaan rongga hidung adalah posisi kepala yang tepat.
Langkah-langkah pemeriksaan :
41
4. Periksalah seluruh struktur yang ada dalam rongga hidung secara bergantian kiri dan
kanan :
Dasar rongga hidung
Konka dan meatus nasi
Posisi septum terhadap tulang rawan lateral pada tiap sisi
Deviasi septum atau perforasi
Warna membran mukosa hidung (normal berwarna merah pudar, lembab, dan
mempunyai permukaan halus dan bersih).
Tanda-tanda peradangan, pembengkakan atau infeksi
Eksudat atau sekret
Massa tumor /polip ( kebanyakan ditemukan pada meatus media)
42
Langkah – Langkah Pemeriksaan :
43
Meatus nasi inferior : terbuka/tertutup, sekret +/-
Konka medius : eutrofi/hipertrofi/atrofi, hiperemis +/-, lividae +/-, permukaan
licin +/-
Meatus nasi medius : terbuka/tertutup, sekret +/-
Septum nasi : deviasi +/-, edema +/-, pelebaran pembuluh darah +/-
Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta untuk tengadahkan
kepala.
Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan palatum
molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf " i ". Pada waktu melakukan
penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar dengan dasar
rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada daerah nasofaring sambil
mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf " i ". Fenomena
Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi
pergerakan palatum molle, atau terdapat kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini.
44
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon kapas
efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
mengurangi edema mukosa.
Rhinoskopi Posterior
Pemeriksaan dengan cara menyinari koane dan dinding-dinding nasal dengan cahaya yang
dipantulkan oleh suatu cermin yang ditempatkan dalam nasofaring.
Syarat:
Harus ada tempat yang cukup luas buat menempatkan kaca. Untuk itu maka lidah
tetap dalam mulut dan ditekan ke bawah dengan spatel
Harus ada jalan yang lebar antara uvula dan faring agar cahaya yang dipantulkan oleh
cermin, dapat masuk ke nasofaring
Alat:
Urutan pemeriksaan :
45
Tuba eustachius : hiperemis+/-, edema+/-
TRANSILUMINASI SINUS
46
Jika pasien mengalami gejala-gejala yang berkaitan dengan masalah sinu, lakukanlah
transiluminasi sinus. Pemeriksaan ini dilakukan di dalam kamar gelap, dimana sumber
cahaya yang terang diletakkan di mulut pasien pada salah satu sisi palatum durum. Cahaya
tersebut dihantarkan melalui rongga sinus maksilaris dan terlihat sebagai sinar samar-samar
berbentuk sabit di bawah mata. Kemudian periksalah sisi lainnya. (Gambar 8)
Dalam keadaan normal, sinar pada tiap sisi harus sama. Jika satu sinus mengandung
cairan, berisi massa, atau mengalami penebalan mukosa, sinarnya akan berkurang, yang
menunjukkan hilangnya aerasi pada sisi tersebut. Metode alternatif untuk memeriksa sinus
maksilaris dengan mengarahkan lampu senter ke bawah dari bagian bawah aspek bagian
medial mata. Pasien diminta untuk membuka mulutny, dan sinarnya dilihat pada palatum
durum. Sinus frontalis dapat diperiksa dengan cara serupa dengan mengarahkan lampu senter
ke atas dari bagian bawah aspek medial alis mata dan mengamati sinarnya di atas mata. Sinus
etmoidalis dan spenoidalis tidak dapat diperiksa dengan transiluminasi.
47
Kelainan Hidung
1. Kongenital
48
Saddle Nose Hump Nose
49
Gliomas atresia nares anterior
2. Infeksi
Rubor Kalor
50
Dolor Tumor
51
Sinusitis Furunkel
3.Neoplasma
Basalioma Hemangioma
Rhinophyma
52
4.Trauma
53
5.Lain-lain...
Telangiektasis herediter
54
Benda asing
I. Anatomi Faring
55
Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke bawah
berhubungan esofagus. Faring terdiri atas:6,7
1. Nasofaring
Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa struktur
penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantong
Rathke, choanae, foramen jugulare, dan muara tuba Eustachius. Batas antara cavum nasi dan
nasopharynx adalah choana. Kelainan kongenital koana salahsatunya adalah atresia choana.
56
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena musculus levator veli palatini.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei
2. Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa
tonsilaris, arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum. Berikut penjelasannya: 6,7
a. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik
faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
b. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah ke luar bila terjadi abses.
c. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dan
ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di
57
dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa
makanan
3. Laringofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta fossa piriformis.
Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara,
dan untuk artikulasi. 6,7
a.Trismus
d.Gigi atau geraham rusak yang dapat menyebabkan sinusitis maksilaris (caries
p2,m1,m2,m3) atau trismus yang disebabkan gigi m3 bawah miring
Pemeriksaan Tonsil
58
T4 : bila mencapai uvula atau lebih
Pada pemeriksaan tonsil dapat diperiksa patologi dari tonsil dan palatum molle : 6,7
Radang spesifik : TB
59
1. Dinding faring : hiperemis +/-, licin / berbenjol, granul +/-, post nasal drip +/-
2. Arcus faring : simetris / asimetris, hiperemis +/-, ulkus +/-, laserasi +/-
3. Tonsil : T?-T?, simetris / asimetris, ulserasi +/-, indurasi +/-, displacement +/-, resesus
+/-, spikula +/-, kripta +/-, eksudat +/-, hiperemis +/-, kista +/-
4. Uvula : +/-, letak ditengah / tdk, memanjang +/-, hiperemis +/-, bifida +/-, massa +/-
I.Congenital
1.Mikroglosia
Mikroglosia adalah lidah yang kecil. Kejadian ini sangat jarang di temukan, dapat ditemukan
pada sindrom pierre robin yang merupakan kelainan herediter.
Pada hemiatrofi lidah, sebagian lidah mengecil. Penyebabnya dapat berupa cacat pada syaraf
hipoglosus yang mempersarafi otot lidah. Tanpa rangsangan, otot lidah menjadi atrofi dan
tubuh lidah menjadi mengecil.
2.Makroglosia
60
Kelainan perkembangan yang disebabkan oleh hipertrofi otot lidah. Selain karena faktor
pengembangan misalnya, karena kehilangan gigi geligi rahang bawah dalam jumlah yang
banyak. Pembesaran lidah dapat pula disebabkan oleh tumor, radang dan perubahan hormonal
(misalnya pada kretinisme dan akromegali ).
Bergantung pada derajat keparahan dan potensinya untuk menimbulkan problem dalam
rongga mulut, pembesaran lidah dapat dikurangi dengan tindakan bedah.
3.Ankyloglosia
Merupakan perlekatan sebagian atau seluruh lidah ke dasar mulut. Frenulum lingualis
melekat terlalu jauh ke depan dan terlihat pada posisi bervariasi, yang paling parah bila
terletak pada ujung anterior lidah. Pergerakan lidah dapat terhambat dan penderita tidak dapat
menyentuh palatum keras dalam posisi mulut terbuka.
4.Tiroid lingual
61
Tiroid lingual tampak sebagai penonjolan pada pangkal lidah (foramen caecum) yang
mengandung jaringan tiroid
Patogenesis : kelenjar tiroid dibentuk pada pangkal lidah (foramen caecum). Pada minggu ke
5 intra uterin akan turun ke bawah di depan trakea dan berhenti didepan os hyoid dan os
tiroid. Jika sebagian tidak turun, terjadi tiroid lingual. Secara normal perjalanan peurunan ini
merupakan suatu saluran yang ahirnya menghilang karena atrofi, tetapi kadang – kadang
saluran tertinggal dan terbentuk kista (kista tiroglosus)
5.Kista tiroglosus
62
dalam dinding kista.
6.Geographic tongue
Tampak daerah kemerahan pada dorsum lidah akibat desquamasi papilla filiformis dikelilingi
daerah sedikit menonjol dan berbatas tegas dengan tepi tidak teratur dengan warna putih
kekuningan
7.Cleft palate
Kelainan kongenital pada bayi yaitu dimana terbentuk gap antara bibir atas dan atap dari
mulut . Kelainan ini disebabkan karena gagalnya pembentukan bibir/mulut bayi di dalam
kandungan.
8.Fissured tongue
63
Suatu kelainan kongenital dengan ciri khas adanya grooves (fissura) pada dorsum dari lidah
II.Infeksi
1.Faringitis Akut
64
Yang ditemukan :
• Lain-lain : -
2. Faringitis bakterial :
Yang ditemukan :
• Dinding faring : hiperemis +, licin, granul tidak dapat dinilai, post nasal drip -
65
• Arcus faring : simetris, hiperemis +, ulkus -, laserasi -
3.Faringitis Kronik
Yang ditemukan :
• Lain-lain : -
4.Faringitis Fungal
66
Yang ditemukan :
• Lidah: kripta +
5.Faringitis Leutika
Yang ditemukan :
67
• Dinding faring : hiperemis +, berbenjol, laserasi +, granul -, post nasal drip -
6.Tonsilitis Akut
Yang ditemukan :
7.Tonsilitis Kronis
68
Yang ditemukan :
• Lain-lain : -
8.Tonsilitis Folikularis
69
Yang ditemukan :
• Lain-lain : -
9.Tonsilitis lakunaris
Yang ditemukan :
70
• Arcus faring : simetris, hiperemis -, ulkus -, laserasi -
• Lain-lain : -
10.Abses peritonsil
Yang ditemukan :
• Uvula : +, letak terdorong kearah yang sehat, tidak memanjang, hiperemis -, bifida
-, massa -
Lain-lain : -
11.Kandidiasis lidah
71
Gejala umum candidiasis (penyebab tersering candida albicans) mulut meliputi bintil-bintik
berwarna putih di dalam mulut dan lidah, kulit di sudut mulut pecah-pecah, dan kemerahan
pada rongga mulut. Sakit tenggorokan dan sulit menelan juga mungkin dialami oleh
penderita.
12.Herpes labialis
Infeksi yang disebabkan oleh HSV tipe I (80%) dan tipe II (sisanya).Penyakit ini
menyebabkan rasa nyeri,terbakar,rasa kesemutan dan rasa gatal di daerah yang
terinfeksi,timbul gelembung di mulut,bibir yang akan pecah dan menimbulkan
kopengan,timbul luka di mulut yang menyebabkan rasa nyeri sehingga penderita sulit makan
dan minum,pembengkakan kelenjar limfa pada leher dan nyeri,pada usia remaja dan 20
tahunan infeksi ini dapat menyebabkan tonsil/amandel berwarna keabu-abuan.
III.Neoplasma
72
1.Kanker nasofaring (Ca nasofaring)
2.Kanker tonsil
3.Kanker mulut
4.Kanker gusi
73
IV.Trauma
1.Linea alba
Suatu kelainan pada mukosa bukal karena penekanan,iritasi friksional akibat gesekan atau
trauma pada bagian muka gigi karena kebiasaan menghisap (sucking trauma).Ciri khasnya
adalah garis putih bilateral setinggi bidang oklusi gigi yang di dekatnya.
2.Morsicatio Buccarum
74
Berasal dari bahasa latin yang berarti gigitan.Karena kebiasaan menggigit-gigit
kronis.Terletak pada mukosa bukal dan dapat didapatkan pada mukosa labial dan batas lateral
lidah.Prevalensi lebih tinggi pada orang yang mengalami stress/masalah psikologis.Lesi tebal
sepert jaringan parut berwarna putih.
3.Ulkus Traumatik
75
5.Luka kimiawi pada mukosa oral
76
Palpasi: Apakah ada udem, struma, kista, metastase, susunan
abnormal
2. Laringoskop Indirek
Alat: Cermin laringoskop yang besar, lampu spiritus, larutan tetrakain untuk
faring sensitif, kain kasa yang dilipat
Pelaksanaan:
o Anestesi faring dengan tetrakain
o Mulut dibuka lebar, bernapas lewat mulut
o Penderita menjulurkan lidah panjang
o Lidah yang diluar mulut dibungkus kain kasa, pegang dengan tangan kiri, jari I
di atas lidah, jari II di bawah lidah, dan jari II menekan pipi
o Cermin dipegang dengan tangan kanan, seperti memegang pensil. Arah
cermin ke bawah. Cermin dipanasi supaya tidak kabur
Laringoskopi Indirek
Melihat laring dan sekitarnya
Radang : laringitis akut (semua merah) laringitis kronik (sedikit merah)
Ulkus : laringitis TB berupa erosi ulkus pada korda vokalis. Epiglotitis berupa
udem, infiltrat, ulkus.
Udem : radang, alergi, tumor
Cairan : sputum hemoragis, tumpukan saliva
77
Tumor : jinak (papiloma, polip, nodul, kista), karsinoma
Melihat trakea:
Respirasi, lumen laring tertutup epiglotis, sehingga mukosa trakea
hanya dapat dilihat waktu belum ada aduksi yang komplit, atau di
waktu permulaan abduksi.
Perhatikan anatomi, patologi, mukosa, warna mukosa, sekret, udem,
tumor
3. Laringoskopi Direk
Tujuan : Melihat laring secara langsung tanpa cermin tetapi dengan perantaraan
alat yang disebut laringoskop
Teknik:
Penderita tidur terlentang di atas meja
Pemeriksaan dapat dimulai kira-kira 10 menit setelah ke dalam faring
dan laring diteteskan tetrakain 10 tetes
Pipa dimasukkan ke dalam introitus laringis
Memperhatikan gambar laring seperti pada laringoskopi indirek
78
Klasifikasi Kelainan yang dapat ditemukan6-7
a) Kelainan Kongenital
1) Laringomalasia
Omega-shaped epiglottis
79
2) Kista kongenital (laryngocele)
80
3) Laryngeal Web
4) Laryngotracheal stenosis
81
5) Subglottic hemangioma
b) Infeksi
1) Laringitis
82
2) Epiglotitis
3) Tuberkulosis Laring
Aritenoid, korda vokalis, plika aryepiglotis : Kombinasi edema, granulasi,
pembentukan tuberkuloma
83
c) Neoplasma
1) Nodul pita suara
3) Polip
84
4) Tumor
5) Leukoplakia
85
d) Trauma
e) Lain-Lain
Benda Asing
86
f) Paralise
DAFTAR PUSTAKA
87
8. Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &
Neck Surgery. USA: McGraw-Hill; 2008.
9. Effendi H, editor. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed ke-6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997.
10. Brown FE et al. Correction of Congenital Auricular Deformities by Splinting in the
Neonatal Period. Pediatrics 1986; 78: 406.
11. Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
88