Anda di halaman 1dari 27

PASAR DAN LEMBAGA KEUANGAN

“Kesehatan dan Rahasia Bank”

OLEH:

Ni Luh Gede Krismonita Sari (1707521022)

Made Bintang Sriwahyuni (1707521026)

Elianora Inguk (1707521032)

Epsilon Ellyonara N.Q (1707521117)

Putu Agus Setiawan (1707521127)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
Kesehatan dan Rahasia Bank:

1. Pengertian Kesehatan Bank


2. Aturan Kesehatan Bank
3. Pelanggaran Aturan Kesehatan Bank
4. Pengertian dan Tujuan Penerapan Kesehatan Bank
5. Dasar Hukum Implementasi Rahasia Bank
6. Pengecualian Terhadap Rahasia Bank dan Sanksi Administratif
7. Studi Kasus: Kesehatan dan Rahasia Bank
1. Pengertian Kesehatan Bank
Kesehatan Suatu Bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu Bank untuk
melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi
segala kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan
perbankan yang berlaku. Kesehatan Bank mencakup kesehatan suatu bank untuk
melaksanakan seluruh kegiatan usaha perbankannya. Kegiatan tersebut meliputi:
a. Kemampuan menghimpun dana bagi masyarakat, dari lembaga lain dan dari
modal sendiri
b. Kemampuan mengelola dana
c. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat
d. Kemampuan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan, pemilik modal
dan pihak lain
e. Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku

2. Aturan Kesehatan Bank


Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan pembinaan dan pengawasan Bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
UU tersebut lebih lanjut menetapkan bahwa:
a. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan Bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
b. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasrkan prinsip syariah dan
melakukan kegiatan usaha lainny, Bank wajib menempuh cara-cara yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
Bank
c. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan dan
penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang diterapkan oleh Bank
Indonesia.
d. Bank atas permintaan Bank Indonesia wajib memberikan kesempatan bagi
pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib
memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari
segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang
bersangkutan.
e. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala
maupun setiap waktu apabila diperlukan. Bank Indonesia dapat menugaskan
akuntan publik untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan
Bank.
f. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan
laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu
dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Neraca dan perhitungan
laba/rugi tersebut wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
g. Bank wajib mengumulkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan
bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Aturan tentang kesehatan Bank yang diterapkan oleh Bank Indonesia mencakup
berbagai aspek dalam kegiatan Bank, mulai dari penghimpunan dana sampai dengan
penggunaan dan penyaluran dana. Sampai saat ini, aturan tersebut tidak tertuang
dalam satu peraturan perundang-undangan namun terpisah-pisah dalam beberapa
Undang-Undang, Surat Edaran Bank Indonesia, dan Surat Keputusan Menteri
Keuangan. Meskipun dengan berlakunya Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia berarti otoritas moneter tidak lagi terletak pada pemerintah melalui
menteri keuangan , namun beberapa aturan tentang perbankan (termasuk aturan
tentang kesehatan Bank) masih berdasarkan SK Menkeu dan belum ditetapkan aturan
yang baru atau penggantinya. Beberapa aturan tentang kesehatan Bank yang penting
dan berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)


Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah oleh Bank
mengandung resiko kegagalan atau kemacetan pelunasannya, sehingga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan bank. Untuk memelihara kesehatan Bank dan
meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur
penyaluran kredit, pembiayaan atau pemberian jaminan dan fasilitas lain
sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitur atau kelompok nasabah
tertentu. Untuk menghindari pemberian kredit atau pembiayaan dan jaminan yang
tidak berdasarkan prinsip kehati-hatian , maka pemberian kredit kepada kelompok
yang sama dengan bank dan pihak terafiliasi harus dibatasi. Undang-Undang No
10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 6 menetapkan bahwa:
1) BMPK kepada grup atau kelompok
- Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa,
yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
kelompok yang sama dalam Bank yang bersangkutan.
- Kelompok atau grup merupakan kumpulan orang atau badan yang satu
sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan , kepengurusan dan
atau hubungan keuangan.
- Batas maksimum sebagaimana dimaksud diatas tidak boleh melebihi 30%
dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
2) BMPK kepada pihak terafiliasi
- Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah ,
pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal serupa
yang dapat dilakukan oleh bank kepada: pemegang saham yang dimiliki
10% atau lebih dari modal disetor bank, anggota dewan komisaris, anggota
direksi, keluarga dari pihak sebagaimnana dimaksud dalam huruf a huruf b
dan huru c, pejabat bank lainnya serta perusahan-perusahaan yang
didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud
diatas.
- Yang dimaksud dalam keluarga dalam ketentuan ini adalah hubungan
keluarga sampai dengan derajat kedua baik menurut garis keturunan
maupun kesamping termasuk mertua, menantu dan ipar.
- Batas maksimum sebagaimana dimaksud diatas tidak boleh melebihi 10%
dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh Bank
Indonesia.
b. Likuiditas Wajib Minimum
Likuiditas Wajib Minimum atau Cadangan Wajib Minimum adalah sejumlah
tertentu alat likuid yang harus tetap berada di bank untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas bank tersebut. Aturan ini untuk menjamin kemampuan bank untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas, seperti penarikan dana simpanan nasabah,
kewajiban yang telah jatuh tempo, dll. Posisi likuiditas minimum tersebut harus
dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pelaporan likuiditas minimun tersebut dapat
dibagi dalam 4 masa pelaporan dalam satu bulan. Posisi likuiditas bank yang
harus dilaporkan tersebut meliputi masa dari tanggal 1 sampai dengan 7, 8 sampai
dengan 15, 16 sampai 23 dan 24 sampai dengan akhir bulan. Ketentuan likuiditas
wajib minimum selama ini dapat dibedakan dalam dua kategori perhitungan yaitu
likuiditas wajib dalam rupiah dan likuiditas wajib dalam valuta asing. Paket
kebijakan Oktober 1988 mengatur perhitungan likuiditas wajib minimum sebagai
berikut:
1) Likuiditas wajib dalam rupiah
Perhitungan likuiditas wajib dalam rupiah didasarkan rumus berikut ini:

𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑘𝑢𝑖𝑑 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑚𝑎𝑠𝑎 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑛


𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑛𝑎 𝑝𝑖ℎ𝑎𝑘 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑑𝑢𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑎 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎

Alat likuid dalam perhitungan diatas meliputi:

- Kas
- Giro pada Bank Indonesia, yaitu total Giro Bank yang bersangkutan pada
Bank Indonesia.

Dana pihak ketiga dalam perhitungan diatas meliputi kewajiban dalam rupiah
kepada pihak ketiga bukan bank , baik kepada penduduk maupun bukan
pendudukIndonesia pada dua masa pelaporan sebelumnya yang terdiri dari:

- Giro, yaitu total simpanan dalam rupiah yang penarikannya dapat


dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, surat perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahbukuan, dengan catatan bahwa giro
yang bersaldo debet tidak diperhitungkan sedangkan pinjaman yang
bersaldo kredit diperhitungkan.
- Deposit Berjangka, Sertifikat Deposito dan Deposi On Call, yaitu
simpanan dalam rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antara pihak ketiga dengan bank
pelapor.
- Tabungan, yaitu simpanan dalam rupiah yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat dan cara tertentu seperti buku tabungan dan lain-
lain.
- Kewajiban jangka pendek kepada pihak ketiga bukan bank lainnya, seperti
PPh, PBB, hutang jangka pendek, kewajiban pembelian surat berharga
pasar uang (SBPU) yang dijual dengan syarat repurchase agreement
dengan jangka waktu sampai dengan 15 hari, dan lain-lain.
2) Likuiditas wajib dalam valuta asing
Perhitungan likuiditas wajib dalam valuta asing didasarkan pada rumus berikut
ini:
c. Posisi Devisa Netto
PDN (disebut juga Net Open Position atau NOP) adalah selisih bersih antara
Aktiva dan Pasiva dalam neraca (on balance sheet) untuk setiap valuta asing,
ditambah dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban, baik yang merupakan
komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif (off balance sheet)
untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam Rupiah (equivalen
Rupiah untuk setiap valuta asing). Karena perhitungan PDN dalam rupiah (IDR),
maka kurs yang digunakan adalah kurs tengah yang merupakan rata-rata kurs beli
dan kurs jual berdasarkan Reuters pada pukl 16.00 WIB setiap hari.
Bila kurs rupiah sangat fluktuatif (volatile) dan cenderung melemah dengan
tajam seperti misalnya pada bulan Juli sampai Agustus 2005, 1 USD = Rp12.000,
maka untuk antisipasi lebih lanjut Gubernur BI mengirimkan surat kepada
seluruh bank devisa untuk menyesuaikan PDN setinggi-tingginya 20% dari modal
bank, padahal sebelumnya mencapai setinggi-tingginya 30%.
Penerapan besarnya PDN maksimal yang dapat dikelola oleh bank
dimaksudkan untuk : Agar tidak terjadi spekulasi, Memberikan keleluasaan bagi
bank untuk mengelola valuta asing yang dimilikinya.

d. Rasio Kecukupan Modal


CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan rasio kecukupan modal yang
menunjukkan kemampuan perbankan dalam menyediakan dana yang digunakan
untuk mengatasi kemungkinan risiko kerugian. Rasio ini penting karena dengan
menjaga CAR pada batas aman (minimal 8%), berarti juga melindungi nasabah
dan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Semakin besar nilai
CAR mencerminkan kemampuan perbankan yang semakin baik dalam
menghadapi kemungkinan risiko kerugian. CAR dapat diperoleh dengan membagi
total modal dengan aset tertimbang menurut risiko (ATMR), seperti rumus di
bawah:
3. Pelanggaran Aturan Kesehatan Bank

Apabila terdapat penyimpangan terhadap aturan tentang kesehatan bank. Bank


Indonesia dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu dengan tujuan dasar agar bank yang
bersangkutan menjadi sehat dan tidak membahayakan kinerja perbankan secara umum.
Berdasarkan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :

a. pemegang saham menambah modal.

b. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi Bank.

c. Bank menghapusbukukan Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah


yang macet, dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modalnya.

d. Bank melakukan Merger atau Konsolidasi dengan bank lain.

e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.

f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada


pihak lain.

g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta / atau kewajiban Bank kepada Bank
atau pihak lain.

Apabila tindakan sebagaimana dimaksud di atas belum cukup untuk mengatasi


kesulitan yang dihadapi bank, dan / atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan
suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan, maka Pimpinan Bank Indonesia
dapat mencabut izin usaha Bank dan memerintahkan direksi Bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan dan hukum
Bank dan membentuk tim likuidasi. Dalam hal ini direksi Bank tidak
menyelenggarakan Rapat umu Pemegang Saham, maka pimpinan Bank Indonesia
meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran
badan hukum bank tersebut, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan
likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang


membahayakan perekonomian nasional atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah
setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat
membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan
Perbankan. Badan khusus tersebut melakukan program penyehatan terhadap bank-
bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud.
Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus
sebagaimana dimaksus di atas mempunyai wewenang yaitu:
a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham
termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham.

b. Mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan
komisaris bank.

-30% untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 18 bulan tetapi


belum melampaui 30 bulan.

- 0% untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 30 bulan.

c. Penilaian agunan wajib dilakukan oleh penilai independen bank

- kredit yang diberikan lebih dari Rp. 1,5 milyar kepada debitur atau grup
debitur oleh bank yang memiliki modal setinggi-tingginyaRP. 300 Milyar.

-kredit yang diberikan lebih dari Rp. 2,5 milyar kepada debitur atau grup
debitur oleh bank yang memiliki modal setinggi-tingginya Rp. 300 milyar.
Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern bank bagi kredit dengan
jumlah yang lebih kecil.

d. Bank Indonesia dapat melakukan perhitungan kembali atas nilai agunan


apabila :

- agunan tidak dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah atau pengikatan
agunan belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- penilaian tidak sesuai dengan ketentuan, atau

- agunan tidak dilindungi asuransi dengan banker’s clause, yaitu klausula yan
memberikan hak kepada kepala bank untuk menerima uang pertanggungan
dalam hal terjadi pembayaran klaim.

e. Bank wajib membuat PPAP sesuai ketentuan berlaku pada Laporan Keuangan
Publikasi . Bank wajib memperbaiki Laporan Keuangan Publikasi dan
mengumumkannya kembali bila PPAP yang sebelumnya tidak sesuai ketentuan yang
berlaku.

f. Ketentuan dalam SK ini berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah.

g. Untuk kualitas aktiva produktif yang digolongkan lancar, dalam perhatian khusus
dan kurang lancar.

4. Pengertian dan Tujuan Penerapan Kesehatan Bank

 Pengertian dan Dasar Hukum Rahasia Bank


Dalam Undang-Undang No. 7/1992 yang dimaksud dengan rahasia bank
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari
nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Definisi
di atas memberikan batasan yang sangat luas dan cenderung kurang jelas. Istilah
“menurut kelaziman dunia perbankan”, menyebabkan pembatasan itu sangat
tergantung pada interpretasi dari sitilah “kelaziman”. Interpretasi seseorang sangat
mungkin berbeda dengan orang yang lain lagi. Secara umum pembatasan rahasia bank
tersebut mencakup data milik nasabah deposan maupun nasabah debitur.
Perkembangan dunia perbankan sejak ditetapkan UU No. 7/1992 sampai
dengan tahun 1998 menunjukkan bahwa bank sering kali mengalami kesulitan untuk
menyelesaikan kredit bermasalah karena terbentur aturan tentang rahasia bank.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan untuk memberikan batasan yang lebih jelas
terhadap rahasia bank; maka UU No. 10/1998 mengubah pengertian rahasia bank
dalam Pasal 1 Butir 1 menjadi sebagai berikut : Segala sesuatu yang berhubungan
dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
UU ini membatasi rahasia bank hanya pada data nasabah deposan atau
menyimpan dana. Secara lebih rinci UU No. 7/1992 dan UU No. 10/1998 mengatur
rahasia bank sebagai berikut :
a. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.
b. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
Simpanannya.
c. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
d. Pihak terafiliasi adalah :
 Anggota dewan komisaris, pengawas direksi, atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan Bank.
 Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat,
atau karyawan Bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum
loperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
 Pihak yang memberikan jasanya kepada bank antara lain akuntan
publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya.
 Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham da
keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga
direksi, keluarga pengurus.

 Tujuan Penerapan
Dasar kegiatan perbankan adalah kepercayaan, tanpa adanya kepercayaan dari
masyarakat terhadap perbankan dan juga sebaliknya tanpa adanya kepercayaan
perbankan terhadap masyarakat maka kegiatan perbankan tidak akan dapat berjalan
dengan baik. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar kepercayaan
masyarakat kepada bank adalah terjamin atau ttidaknya rahasia nasabah yang ada di
bank. Data nasabah yang berada di bank, baik data keuangan maupun yang non
keuangan, sering kali merupakan suatu data yang tidak ingin diketahui oleh orang
atau pihak lain. Jumlah kekayaan seseorang yang tersimpan di bank bagi nasabah
tertentu merupakan data yang harus dirahasiakan. Sebagian nasabah juga sangat
menginginkan agar pinjamannya dari bank tidak diketahui oleh orang lain. Bila
kerahasiaan data nasabah tidak dapat terjamin oleh bank. Dalam usaha mewujudkan
terjaminnya rahasia tertentu dari nasabah yang berada di bank, maka ketentuan
tentang rahasia bank dicantumkan dalam undang-undang perbankan.
 Pengecualian terhadap Rahasia Bank
Menurut UU, data nasabah di bank dapat saja tidak dirahasiakan lagi dalam
keadaan dan situasi tertentu dengan pengecualian :
- Untuk kepentingan pajak
Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan
Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Perintah tertulis tersebut harus
menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang
dikehendaki keterangannya, dalam hal ini pihak bank wajib memberikan
keterangan yang diminta.
- Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) / Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
Pimpinan Bank Indonesia memberikan ix=zin kepada pejabat Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh
keterangan dari bank mengenai Simpanan Nasabah Debitur, dan pihak bank wajib
memberikan keterangan yang diminta. Izin sebagaiamana dimaksud di atas
diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/ Ketua Panitia Urusan Piutang Negara. Permintaan
tertulis tersebut di atas harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama
Nasabah Debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukan keterangan.
- Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana
Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim
untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan tersangka atau
terdakwa pada Bank, dan pihak bank wajib memberikan keterangan yang diminta.
Izin sebagaimana dimaksud di atas diberikan secara tertulis atas permintaan
tertulis dari Kepala Kepolisisn Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua
Mahkamah Agung. Pemberian izin oleh Bank Indonesia harus dilakukan
selambat-lambatnya 14 hari setelah dokumen permintaan diterima secara lengkap.
Permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa,
atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan
hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
- Dalam perkara perdata
Direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada Pengadilan
tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan
keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. Dalam situasi ini bank
dapat menginformasikan keadaan keuangan nasabah yang dalam perkara serta
keterangan yang berkaitan dengan perkara tersebut, tanpa izin dari Pimpinan Bank
Indonesia.
- Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank
Direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank
lain. Tukar menukar informasi antar bank, antara lain guna mencegah kredit
rangkap serta mengetahui keadaan dan status daru suatu bank yang lain. Dengan
demikian bank dapat menilai tingkat risiko yang dihadapi, sebelum melakukan
suatu transaksi dengan nasabah atau dengan bank lain. Dalam ketentuan yang
akan ditetapkan lebih lanjut oleh Bank Indonesia antara lain diatur mengenai tata
cara penyampaian dan permintaan informasi serta bentuk dan jenis informasi
tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indikator secara garis besar dari kredit
yang diterima nasabah, agunan, dan masukannya debitur yang bersangkutan
dalam daftar kredit macet. Ketentuan mengenai tukar menukar informasi tersebut
diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
- Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah Penyimpan yang dibuat
secara tertulis
Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan
pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah
Penyimpan tersebut atas dasar permintaan, persetujuan, atau kuasa daru Nasabah
Penyimpan yang dibuat secara tertulis.
- Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia
Apabila nasabah penyimpan telah meninggal dunia, maka ahli waris yang sah dari
Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai
Simpanan Nasabah Penyimpan tersebut. Pihak yang merasa dirugikan oleh
keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud dalam pengecualian
di atas, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan
jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan. Apabila permintaan
pembetulan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yan diberikan
oleh bank tidak dipenuhi oleh bank maka masalah tersebut dapat diajukan oleh
pihak yang bersangkutan ke Pengadilan yag berwenang.

5. Dasar Hukum Implementasi Rahasia Bank

Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah mencantumkan


aturan tentang rahasia bank dalam Bab I Pasal 1 Butir 16 dan Bab VII Pasal
4,41,42,43,44,45 dan Bab VIII Pasal 47. Aturan mengenai rahasia bank ini kemudian
diubah seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas UU No.7 Tahun 1992. Rahasia Bank yang dimaksud dalam UU No.10/1998
tersebut sangat berbeda dengan UU No.7/1992. Dalam UU No.7/1992 yang dimaksud
dengan rahasia bank adalah :

‘Segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari
nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan’.
Definisi di atas memberikan batasan yang sangatluas dan cenderung kurang
jelas. Istilah ‘menurut kelaziman dunia perbankan’, menyebabkan pembatasan itu
sangat tergantung pada interpretasi dari istilah ‘kelaziman’. Interpretasi seseorang
sangat mungkin berbeda dengan orang yang lain. Secara umum pembatasan rahasia
bank tersebut mencakup data milik nasabah deposan maupun nasabah debitur.

Perkembangan dunia perbankan sejak ditetapkan UU No. 7/1992 sampai


dengan tahun 1998 menunjukan bahwa bank seringkali menghadapi kesulitan untuk
menyelesaikan kredit bermasalah karena terbentur aturan tentang rahasia bank.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan untuk memberikan batasan yang lebih jelas
terhadap rahasia bank, maka UU No.10/1998 mengubah pengertian rahasia bank
dalam Pasal 1 Butir 1 menjadi sebagai berikut :

Segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah


penyimpan dan simpanannya’.

UU ini mebatasi rahasia bank hanya pada data nasabah deposan atau
penyimpan dana. Perubahan ini membawa 2 macam konsekuensi, yaitu

(1) Perubahan tersebut menyebakan peningkatan posisi bank dalam hubungannya


debiturnya, karena data nasabah peminjam dana tidak termasuk dalam pengertian
rahasia bank. Manfaat ini akan dirasakan oleh bank terutama untuk menyelesaikan
kredit-kredit yang bermasalah.
(2) Perubahan ini dapat menurunkan motivasi calon debitor untuk memperoleh
bantuan dana pinjam dari bank, karena kerahsiaannya tidak termasuk dalam
penegertian rahasia bank.
Namun, masalah ini sudah diantisipasi melalui penjelasan Pasal 40 UU No.10
Tahun 1998, yang tersuliskan sebagi berikut :
“Apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai
nasabah debitor, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah
dalam kependudukannya sebagai nasabah penyimpan. Keterangan mengenai
nasabah selain sebagai nasabah penyimpan,bukan merupakan keterangan yang
wajib dirahasiakan bank.”
Secara lebih rinci UU No. 7 Thn 1992 dan UU No. 10 Thn 1998 mengatur
rahasia bank sebagi berikut :
a. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
b. Bank wajib merhasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya.
c. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pihak terafiliasi
d. Pihak terafiliasi :
a) Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi, atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan bank
b) Anggota pengurus, pengelola atau kuasanya, penajabt atau karyawan bank,
khusus bagi bank yang berbentuk hokum koperasi sesuai aturan perundang-
undangan
c) Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, seperti : akuntan public, penilai,
konsultan hokum, dan konsultan lainnya
d) Pihak yang menurut penilaian BI turut mempengaruhi penelolaan bank, seperti :
pemegang saham dan keluarga , keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga
direksi, keluarga pengurus.

6. Pengecualian Terhadap Rahasia Bank dan Sanksi Administratif

Tujuan Penerapan Rahasia Bank

Dasar kegiatan perbankan adalah kepercayaan. Tanpa adanya kepercayaan dari


masyarakat terhadap perbankan dan juga sebaliknya tanpa adanya kepercayaan perbankan
terhadap masyarakat maka kegiatan perbankan tidak akan dapat berjalan dengan baik. Salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar kepercayaan m asyarakat kepada bank adalah
terjamin atau tidaknya rahasia nasabah yang ada di bank. Data nasabah yang berada di bank,
baik data keuangan maupun yang non keuangan sering kali merupakan suatu data yang tidak
ingin diketahui oleh orang atau pihak lain. Jumlah kekayaan seseorang yang tersimpan di
bank bagi nasabah tertentu merupakan sesuatu yang perlu dirahasiakan dari orang lain.
Biodata nasabah merupakan data yang harus dirahasiakan. Sebagian nasabah juga sangat
menginginkan agar pinjamannya dari bank tidak diketahui oleh orang lain. Bila kerahasian
data nasabah tidak dapat dijamin oleh bank, maka nasabah akan merasa enggan untuk
berhubungan dengan bank. Dalam usaha mewujudkan terjaminnya rahasía tertentu dari
nasabah yang berada di bank, maka ketentuan tentang rahasia bank dicantumkan dalam
undang-undang perbankan.

Dasar Hukum

Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah mencantumkan aturan


tentang rahasia bank dalam Bab I Pasal 1 Butir 16 dan Bab VII Pasal 40,41, 42 44. 45 dan
Bab VIII Pasal 47. Aturan mengenai rahasia bank ini kemudian diubah seperti tercantum
dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992.
Rahasia Bank yang dimaksud dalam UU No.10/1998 tenebut sangat berbeda dengan UU
No.7/1992. Dalam UU No.7/1992 yang dimaksud dengan rahasia bank adalah

“Segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah
bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan”

Definisi di atas memberikan batasan vang sangat luas dan cenderung kurang jelas Istilah
'menurut kelaziman dunia perbankan', menyebabkan pembatasan itu sangat tergantung pada
intepretasi dari istilah 'kelaziman. Intepretasi seseorang sang at mungkin berbeda dengan
orang yang lain lagi. Secara umum pembatasan rahasia bank tersebut mencakup data milik
nasabah deposan maupun nasabah debitur.
Perkembangan dunia perbankan sejak ditetapkannya UU No.7/1992 sampai dengan tahun
1998 menunjukkan bahwa bank sering kalı mengalami kesulitan untuk menyelesaikan kredit
bermasalah karena terbentur aturan tentang rahasia bank. Berdusarkan pertimbangan tersebut
dan untuk memberikan batasan yang lebih jelas terhadap rahasia bank, maka UU No.10/1998
mengubah pengertian rahasta bank dalam Pasal I Butir 1 menjadi sebagai berikut

‘Segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan


dan simpanannya'.

UU ini membatasi rahasia bank hanya pada data nasabah deposan atau penyimpan dana.
Perubahan ini membawa 2 (dua) macam konsekuensi. Pertama perubahan tersebut
menyebabkan peningkatan posisi bank dalam berhubungan dengan debiturnya, karena data
nasabah peminjam dana tidak termasuk dalam pengertian rahasia bank. Manfaat ini akan
dirasakan oleh bank terutama untuk. akan menurunkan motivasi calon debitur untuk
memperoleh bantuan dana pinjaman dari bank, karena kerahasiaan datanya tidak termasuk
dalam pengertian rahasia bank. Di samping kedua konsekuensi tersebut, masih terdapat satu
permasalahan yang akan muncul pada saat penentuan suatu data termasuk rahasia bank atau
bukan. Nasabah debitur biasanya juga sekaligus sebagai nasabah penyimpan atau nasabah
peminjam merupakan sesuatu yang tidak mudah. Masalah sebenamya sudah berusaha
diantisipasi dengan melalui penjelasan pasal 40 No.10/1998, namun penjelasan tersebut tetap
kurang secara jelas menyelesaikan permasalahan tersebut. Penjelasan pasal 40 tensebut
adalah sebagai berikut :

‘Apabila Nasabah Bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligaus juga sebagai
Nasabah Debitur, Bank wajib tetap merahasiakan tentang Nasabah dalam
kedudukannya sebagai Nasabah penyimpan Keterangan mengenai Nasabah selain
sebagai Nasabah Penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan
Bank’.

Secara lebih rinci UU No.71992 dan UU No.10/1996 mengatur rahasia bank sebagai berikut :

a. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kererangan menegenai
nasabah penyimpan dan simpanannya.
b. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
Simpanannya
c. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi
d. Pihak Terafiliasi adalah :
 anggota dewan komisaris, pengawas, direksi, atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan Bank
 anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan Bank, khusus bagi Bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain, akuntan publik,
penilai, koasultan hukum, dan konsultan lainnya,
 pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi
pengolaan Bank, antara lain, pemegang saham dan keluarganya, keluarga
komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.

Pengecualian Terhadap Rahasia Bank

Dalam situasi atau keadaan tertentu sesuai dengan Undang-Undang, data nasabah di
bank dapat saja tidak harus dirahasiakan lagi. Pengecualian terhadap rahasia bank tersebut
meliputi :

Untuk kepentingan perpajakan

P'impinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang


mengeluarkan perintah, tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah
Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Perintah tertulis tersebut harus menyebutkan nama
pejabat pajak dan nama nasabah wajlb pajak yang dikehendaki keterangannya, dalanm hal ini
pihak bank wajilb memberikan keterangan yang diminta.

Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urus-
an Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) Panitin Urusan Piutang Negara PUPN)

Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank
mengenai Simpanan Nasabah Debitur, dan pihak bank wajib memberikan keterangan yang
diminta. Izin sebagaimana dimaksud di atas diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis
dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara.
Permintaan tertulis tersebut di atas harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur
yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan.

Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana

Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim
untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan tersangka atau terdakwa pada
Bank, dan pihak bank wajib memberikan keterangan yang diminta. Izin sebagaimana
dimaksud diatas diberikan secara tertulis atas permintaan terulis dari Kepala Kepolisian
Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung. Pemberian izin oleh Bank
Indonesia harus dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen
permintaan diterima secara lengkap. Permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan nama
dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim. nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya
keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang
diperlukan.

Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya


Direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada Pengadilan tentang
keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan
dengan perkara tersebut. Dalam situasi ini bank dapat menginformasikan keadaan keuangan
nasabah yang dalam perkara serta keterangan yang berkaitan dengan perkara tersebut, tanpa
izin dari Pimpinan Bank Indonesia.

Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank

Direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
Tukar menukar informasi antar bank dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan
kegiatan usaha bank, antara lain guna mencegah kredit rangka serta mengetahui keadaan dan
status dari suatu bank yang lain.Dengan demikian bank dapat menilai tingkat risiko yang
dihadapi, sebelum melakukan suatu transaksi dengan nasabah atau dengan bank lain. Dalam
ketentuan yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Bank Indonesia antara lain diatur mengenai
tata cara penyampaian dan permintaan informasi serta bentuk dan jenis informasi tertentu
yang dapat dipertukarkan, seperti indikator secara garis besar dari kredit yang diterima
nasabah, agunan, dan masuknya debitur yang bersangkutan dalam daftar kreadit macet.
Ketentuan mengenai tukar menukar informasi tersebut diatur lebih lanjut oleh Bank
Indonesia.

Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat
secara tertulis

Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan pada


Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut atas
dasar permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara
tertulis.

Dalam Hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia

Apabila nasabah penyimpan telah meninggal dunia, maka ahli waris yang sah dari
Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan
Nasabah Penyimpan. Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank
sebagaimana dimaksud dalam pengecualian di atas, berhak untuk mengetahui isi keterangan
tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
Apabila permintaan pembetulan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang
diberikam oleh bank tidak dipenuhi oleh bank maka masalah tersebut dapat diajukan oleh
pihak yang bersangkutan ke Pengadilan yang berwenang.

Sanksi Atas Pelanggaran Aturan Rahasia Bank

Aturan rahasia bank akan lebih kuat di mata bank dan juga masyarakat jika disertai
sanksi atas pelanggarannya. Sanksi yang ditetapkan UU adalah sebagai berikut :

a. Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank
Indonesia, dengan sengaja memaksa Bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan
keterangan, diancam dengan pidana penjara sekurangnya-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 4 empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000
000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua rarus
miliar rupiah)
b. Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang
dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
serta denda sekurang- kurangnya Rp4.000 000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000.00 (delapan miliar rupiah)
c. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajilb dipenuhi, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (cdua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda
sekurang kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiab) dan paling banyak
Rpl5.000.000.000,00 lima belas miliat rupiah).

7. Studi Kasus: Kesehatan dan Rahasia Bank

Kasus Bank Century

Kasus Bank Century mulai mencuat pada akhir tahun 2008, kasus ini menjadi
perbincangan hangat masyarakat dan penyidik.Kasus ini mulai menjadi perbincangan
publik setelah Bank Century mengalami kesulitan likuidasi, kalah kliring, melakukan
penipuan melalui manajemen bank, hingga ditetapkan sebagai bank gagal.Kasus Bank
Centurysemakin mencuat ketika kabar bahwa adanya suntikan dana talangan atau bail
out dari negara yang mencapai triliunan rupiah. Hal ini tentunya membuat rakyat geram
dan meminta kasus ini diusut hingga tuntas karena telah merugikan negara dengan
jumlah yang fantastis yaitu 6,7 triliun rupiah.Jatuhnya Bank Century dan dikategorikan
sebagai bank gagal dimulai akibat dari penyalahgunaan dana nasabah oleh pemilik Bank
Century berserta keluarganya.Bank Century pun melakukan masalah internal dengan
adanya penipuan oleh manajemen bank terhadap klien mereka. Bank Century melakukan
penyimpangan dana untuk peminjam sebesar 2,8 milyar dolar Amerika dan melakukan
penjualan produk-produk investasi fiktif Antaboga Delta Securities Indonesia. Hal
tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi para nasabah dan para nasabah
pun tidak dapat mencairkan dananya.

Pada akhir tahun 2008, ditemukan berbagai surat berharga valuta asing yang telah
jatuh tempo dan gagal bayar yang angkanya mencapai 56 juta dolar Amerika. Selain itu,
Bank Century mengalami kesulitan likuidasi dan pada tanggal 13 November 2008 bank
ini mengalami kegagalan kriling akibat kegagalan menyediakan dana
(prefund).Akhirnya, tanggal 20 November, Bank Indonesia menetapkan Bank Century
sebagai bank gagal dan dapat memberikan dampak sistemik pada perbankan
Indonesia.Atas ususlan BI, maka dilakukan penyelamatan Bank Century melalui pihak
LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).Kemudian KKSK (Komite Kebijakan Sektor
Keuangan) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS melakukan
rapat.Berdasarkan keputusan yang ditetapkan KKSK dalam surat No.04.KKSK.03/2008,
Bank Century resmi diambil alih oleh LPS pada 21 November 2008. LPS kemudian
memutuskan memberikan talangan dana sebesar 2,78 triliun rupiah untuk mendongkrak
CAR agar mencapai angka 10 persen guna memenuhi tingkat kesehatan sebuah
bank.Dampak jatuhnya Bank Century ini berujung pada pencekalan salah satu
pemegang saham, Robert Tantular, beserta tujuh orang pengurus lain Bank Century. Dua
pemilik Bank Century, yaitu Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi pun tiba-tiba
menghilang.

Talangan dana yang dikucurkan oleh LPS ke Bank Century tidak lantas
menyelesaikan kasus ini, tanggal 9 Desember 2008 Bank Century mulai mendapatkan
berbagai tuntutan dari ribuan investor Antaboga terkait penggelapan dana investasi
sebesar 1,38 triliun rupiah. Semua dana para nasabah dan investor ini di indikasikan
mengalir ke kantung Robert Tantular selaku pemilik Bank Century. Pada tanggal 3
Februari 2009, LPS kembali menyuntikan dana ke Bank Century sebesar 1,5 triliun
rupiah yang bertujuan untuk memulihkan kesehatan Bank Century. Talangan dana yang
terus menerus disuntikan ke Bank Century dinilai terlalu besar dan menuai gugatan dari
parlemen, terlebih lagi LPS kembali menyuntikan dana sebesar 630 miliar rupiah pada
tanggal 21 Juli 2009.Sejak saat itu kasus Bank Century semakin mendapat sorotan tajam
dari publik.Kasus Bank Century juga begitu menyita perhatian terkait adanya dugaan
korupsi serta suap dalam usaha menyelamatkan Bank Century. Dugaan itu pun akhirnya
memunculkan beberapa nama yang disebut-sebut terlibat dan turut menikmati dana suap
Bank Century.

Beberapa kalangan menilai pemberian talangan dana pada Bank Century


merupakan keputusan yang salah dan terkesan di buat-buat. Karena status Bank Century
di perbankan Indonesia terbilang bank yang sangat kecil dan tercatat hanya sekitar
65.000 nama pemilik rekening bank ini. Selain itu, dana pihak ketiga di bank yang
dimiliki oleh Robert Tantular ini hanya 0,68% dari total dana di perbankan, aset bank
century hanya 0,42% dari total kredit perbankan, assetbank century hanya 0,72% dari
aset perbankan dan pangsa kreditnya hanya 0,42% daritotal kredit perbankan. Bank-bank
pada Novomber 2008 memiliki rata–rata diatas 12%.Hanya ada tiga bank kecil yang
memilik CAR di bawah 8% (batas minimum untukbailout PBI no.10 / 26 / PBI / 2008
pada tanggal 30 oktober 2008).

Hasil Audit Investigatif BPK yang diserahkan kepada DPR RI tertanggal 20


November 2009 memaparkan 8 temuan penting yang mengindikasikan terjadinya tindak
pidana korupsi, pelanggaran aturan dan penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya.
Indikasi korupsi terkait dengan kasus ini terutama terlihat dari terjadinya
pelanggaranaturan dan penyalahgunaan wewenang. Berikut beberapa catatan indikasi
korupsi darilaporan BPK:
a. Terkait Merger 3 bank

Sebelum penggabungan 3 Bank, Bank Pikko dan Bank CIC memiliki


permasalahanterkait surat-surat berharga (SSB) dan Capital adequacy ratio
(CAR).Merger ini diduga untuk menghindari penutupan Bank Pikko dan Bank CIC yang
kondisinya tidak sehat.Sejak penggabungan, status Bank Century selalu bermasalah.
Terdapat beberapa Indikasi Pelanggaran yang terjadi pada saat proses merger ini.
BIdiduga memberikan kelonggaran terhadap persyaratan merger yaitu dengan:

1. Aset SSB yang semula dinyatakan macet oleh BI kemudian dianggap lancar untuk
memenuhi performa CAR.
2. Tetap mempertahankan pemegang saham pengendali (PSP) yang tidak lulus fit and
proper test.
3. Komisaris dan Direksi Bank ditunjuk tanpa fit and proper test.
4. Audit KAP atas laporan keuangan Bank Pikko dan Bank CIC dinyatakandisclaimer.

Temuan BPK terkait penggabungan 3 bank ini adalah sebagai berikut:

1. Akuisi Bank Danpac dan Bank Picco tidak sesuai dengan ketentuan BI.
2. Surat izin Akuisisi Chinkara atas bank Picco dan Bank Danpac tetap dilakukan
meskipun terdapat indikasi praktek perbankan yang tidak sehat dan perbuatan
melawan hukum yang melibatkan Chinkara.
3. BI menghindari penutupan Bank CIC dengan memasukan Bank tersebut di dalam
skema merger.
4. Tidak membatalkan persetujuan akuisisi meskipun tahun 2001-2003
hasilpemeriksaan BI pada ke-3 Bank menemukan indikasi pelanggaran yang
signifikan.
5. Adanya perlakuan Surat-surat Berharga (SSB) yang semula macet menjadi
lancardengan rekomendasi KEP (komite evaluasi perbankan).

b. Terkait Penyaluran fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP), Pengambilan Keputusan


KSSK dan Penyaluran Penyertaan Modal Sementara (PMS)

Sejak bulan Juli 2008, Bank Century (BC) telah mengalami kesulitan likuiditas
dan bergantung pada pinjaman uang antar-bank (PUAB). Karena PUAB sulit diperoleh,
hingga tanggal 27 Oktober 2008, BC telah melanggar pemenuhan Giro Wajib
Minimum (GWM) minimal 5% dari dana pihak ketiga (DPK). Posisi CAR Bank
Century saat mengajukan FPJP (posisi 30 September 2008) sebesarpositif 2,35%. Pada
saat tersebut berlaku ketentuan BI (PBI) No. 10/26/PBI/2008 bahwafasilitas FPJP
diberikan kepada bank yang memiliki CAR minimal 8%. Dengan demikianBank
Century sebenarnya tidak memenuhi syarat menerima FPJP. Namun pada tanggal 14
November 2008 BI mengubah PBI tentang persyaratanpemberian FPJP dari semula
minimal CAR 8% menjadi CAR positif. Hal ini diduga untuk memuluskan Bank
Century menggunakan fasilitas FPJP. Berdasarkan posisi CAR Bank Century per-30
September (positif 2,35%) BI menyatakanBank Century memenuhi syarat. Padahal
posisi CAR Bank Century per-31 Oktober 2008justru negatif (-3,53%) dan tidak
memenuhi persyaratan bahkan terhadap PBI yang telah dirubah per-14 November 2008.

Berikut ini adalah indikasi penyimpangan penggunaan FPJP dan PMS

a) Penarikan dana oleh pihak terkait setelah penetapan Bank Century sebagai
Bank di dalam pengawasan khusus oleh BI. Padahal BI meminta kepada Bank
Century untuk tidak mengijinkan penarikan dana atas rekening simpanan milik
pihak yang terkait dengan Bank Century atau pihak lain yang ditetapkan oleh
BI. Nilai uang yang ditarik sebesar Rp 454,898 miliar, USD 2, 22 juta, AUD
164,81 ribu dan SGD 41,18 ribu.
b) Pada tanggal 14 November 2008, ada permintaan dari RT yang meminta
kepada Kabag Operasional Bank Century Cabang Surabaya-Kertajaya untuk
memindahkan deposito milik salah satu nasabah senilai USD 91 juta ke
Kantor Pusat Operasional (KPO) Senayan, Jakarta. Setelah berpindah, DT dan
RT mencairkan dana milik nasabah tersebut senilai USD 18 juta pada tanggal
15 November 2008. Uang ini kemudian digunakan oleh DT untuk menutupi
kekurangan bank notes yang selama ini telah digunakan untuk keperluan
pribadi DT. Deposito milik nasabah tersebut kemudian diganti oleh Bank
Century dengan dana yang berasal dari FPJP. Sehingga dalam hal ini adanya
dugaan penggelapan kas valas.
c) Laporan keuangan Bank Century yang berada di bawah pengawasan LPS
menunjukkan selama 6 bulan di tahun 2009 terjadi penurunan kewajiban
terhadap nasabah dalam bentuk simpanan, dari Rp. 10,82 triliun pada
Desember 2008 menjadi Rp. 5,18 triliun pada Juni 2009. Diduga selama 6
bulan tersebut terjadipenarikan dana nasabah dalam jumlah besar. Pertanyaan
penting yang harus dilontarkan adalah, siapa saja yang menerima dana sebesar
Rp. 5,64 triliun itu?

Sementara untuk indikasi korupsi pada KSSK diantaranya:

a) Pengambilan keputusan sebelum mendapatkan pengesahan/persetujuan DPR terkait


dasar hukum Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 4 tahun 2008 Jaring
Pengaman Sektor Keuangan (JPSK).
b) Keputusan penyaluran PMS yang terkesan dipaksakan, jika didasarkan pada
argumentasi BI yang hanya dibangun atas analisis kualitatif yang lemah terkait
dampak psikologi pasar yang berantai. Hal ini juga tidak konsisten dengan dasar
MOU yang digunakan di dalam penentuan kondisi ‘berdampak sistemik’ yang
seharusnya didukung oleh analisis kuantitatif.

Unsur penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran aturan yang terjadi pada pihak BI
diantaranya:

a) Keterlambatan penetapan Bank Century sebagai Bank di bawah pengawasan khusus


BI, ditunjukan dengan nilai CAR Bank Century yang merosot pada 31 Oktober 2005
(-132%).
b) Dugaan Rekayasa perubahan PBI No. 10/26/PBI/2008 diganti menjadi PBI No.
10/30/PBI/2008.
c) Persetujuan pemberian FPJP yang bertentangan dengan peraturan BI, terhadap posisi
CAR Bank Century per-31 Oktober 2008 justru negatif (-3,53%) dan tidak memenuhi
persyaratan bahkan terhadap PBI yang baru.
d) Dugaan menyembunyikan informasi yang sebenarnya terkait latar belakang Bank
Century pada saat usulan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak
sistemik.

2.4 Analisisis Hukum Kasus Bank Century

Dapat dikatakan bahwa Bank Century merupakan tragedi kebangkrutan


terbesar dalam ranah perbankan di Indonesia pada tahun 2009. Pemerintah terpaksa
melakukan bail out 6.7 triliun rupiah untuk menyelamatkan likuiditas Bank Century.
Dimana keputusan penyelamatan berasal dari permintaan Bank Indonesia karena dapat
berdampak sistemik dengan menyeret 23 bank lainnya.

Kasus bermula dari dugaan penyelewengan dana nasabah oleh Antaboga


Sekuritas sebagai pemegang 7.52% saham Bank Century dalam permainan instrumen
derivatif. Kasus penyelewengan dana tersebut berkembang ke
arahmissmanagement yang dilakukan oleh pengelola DPK (dana pihak ketiga) Bank
Century. Mencuatnya kasus Bank Century sering dikaitkan dengan dampak krisis
global yang menerpa lembaga keuangan dunia dan berdampak sistemik pada perbankan
Indonesia. Namun olah data badan penyidik keuangan (BPK) menemukan bahwa kasus
Bank Century sudah terendus sebelum krisis global terjadi. Hal ini menimbulkan
kecurigaan adanya pengalihan isu, sehingga para nasabah dan investor menjadi maklum
dengan kasus likuiditas akibat efek krisis global yang berdampak pada Bank Century.
Terjadi force majeur krisis dalam bentuk pembodohan opini publik. Hal ini dikuatkan
oleh hasil penyidikan BPK yang menyebutkan bahwa Bank Century sudah cacat dari
lahir. Berdasar hal tersebut, nampaknya Bank Century sejak dulu sampai diambil LPS
selalu melanggar aturan, dimana pelanggaran yang terjadi berupa tingkat minimum
CAR (Rasio kecukupan modal), batas maksimal pemberian kredit, dan FPJP (Fasilitas
Pinjaman Jangka Pendek).

Berdasarkan kasus-kasus di atas, bank century banyak melanggar pertauran


perundang-undangan. Undang-undang yang di langgar anatar lain:

Pasal 1 ayat 28 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (UU Perbankan) menyatakan bahwa “Rahasia Bank adalah segala
sesuatu yang dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”.
Selanjutnya dalampasal 40 ayat (1) UU Perbankan disebutkan bahwa “Bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”. Jadi, Bank
wajib merahasiakan data simpanan dan nasabah penyimpannya.
Pengecualian terhadap kewajiban rahasia bank ini adalah:

1. Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri


Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan
keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (Pasal 41 ayat 1
UU Perbankan)
2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia
memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia
Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah
debitur (Pasal 41A UU Perbankan)
3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat
memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari
bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank (Pasal 42 UU
Perbankan)
4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang
bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan
nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan
perkara tersebut. (Pasal 43 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan)
5. Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat
memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain (Pasal 44 ayat 1
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan)
6. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara
tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan
pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan
tersebut. (Pasal 44A ayat 1 UU Perbankan)
7. Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari
nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai
simpanan nasabah penyimpan tersebut (pasal 44A ayat 2 UU Perbankan)

Selain itu ada pengecualian dalam pasal 14 UU No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menyebutkan: “Pelaksanaan kewajiban
pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari
ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur
mengenai rahasia bank”. Jadi, data nasabah penyimpan di Bank Century merupakan
rahasia bank, yang wajib dirahasiakan. Mengenai mengapa data nasabah penyimpan
Bank Century, yang merupakan rahasia bank, dapat diekspos oleh media massa, maka
kita harus melihat pada pasal 4 ayat (3) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers: “Untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh,
dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Media massa sebagai pers dapat
mencari informasi dari berbagai sumber, baik dari pejabat, ataupun sumber-sumber
lainnya.
Mengenai DPR yang meminta data nasabah penyimpan ke bank centruy,
seharusnya memang tidak boleh dilakukan. Seperti telah dibahas di atas, data nasabah
penyimpan termasuk dalam rahasia bank, yang wajib dirahasiakan. Memang
dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan
Perwakilan Rakyat (“UU Hak Angket”), dalam hal Panitia Angket DPR, semua warga
negara Republik Indonesia dan semua penduduk serta orang-orang lain yang berada
dalam wilayah Republik Indonesia diwajibkan memenuhi panggilan-panggilan Panitia
Angket, dan wajib pula menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya dan memberikan
keterangan-keterangan selengkapnya. Akan tetapi, dalam pasal 22 ayat (1) UU Hak
Angket, diatur bahwa ada orang-orang yang diperbolehkan untuk menolak
memberikan keterangan. “Mereka yang karena kedudukannya, karena pekerjaannya
ataupun karena jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat membebaskan diri
dari memberikan penyaksian, akan tetapi semata-mata hanya mengenai hal-hal yang
dipercayakan kepadanya sebagai rahasia dalam kedudukan, pekerjaan atau jabatan
tersebut”.

Oleh karena itu, merujuk pada pasal 22 ayat (1) UU Hak Angket di atas
pejabat-pejabat Bank Century dapat menolak untuk memberikan data nasabah
penyimpan yang termasuk rahasia bank tersebut. Kemudian UU No 24/2004 yang
telah diubah dengan UU No 3/2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 11
Ayat 1 yang berbunyi “nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu
bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Namun dalam kasus ini
nilai simpanan nasabah hingga milyaran rupiah.

Tidak hanya itu, kasus bank century juga melanggar UU No 8/1995 tentang
Pasar Modal Pasal 5 Butir (a) Ayat 1 dan Butir (g) dan (i). UU N0
23/1999 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah PenggantiUndang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Bank
Indonesia Pasal 11 dan Pasal 34. UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 35 Ayat 3 dan 4. Dan keputusan presiden yang dilanggar
adalah Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2004 terkait Blanket Guarantee.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dilanggar adalah Pasal 22 Ayat 1, 2, dan 3.

Untuk menyelidiki kasus ini maka dibentuklah pansus (panitia khusus). Pansus
(Panitia Khusus) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat sementara. Pansus dibentuk berdasarkan UU No 6 Tahun 1954 tentang Hak
Angket DPR. Sejatinya UU ini berasal dari rahim ketentuan UUDS 1950 yang secara
prinsip menganut demokrasi parlementer. Namun, yang jangan dilupakan bahwa
ternyata hak angket juga dikenal sebagai bagian fungsi dan hak DPR yang pada
pokoknya, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan (ketiga fungsi
ini berasal dari Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945), hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat (hak ini berasal dari Pasal 20 A ayat (2) UUD 1945). Selain itu,
ketentuan UU 6/1954 ini juga dikukuhkan dengan Pasal 20 A ayat (4) Pasal I Aturan
Peralihan UUD 1945. Jadi,UU 6/1954 tetap sah berlaku sepanjang belum ada yang
diadakan pembaharuan menyangkut pengaturan Hak Angket DPR dan Hak Angket
adalah bagian dari hak DPR meski sistem pemerintahan kita pada dasarnya adalah
sistem Presidensial.

Kasus-kasus di atas sebelumnya telah diselidiki oleh pansus (Panitia Khusus).


Pansus Century sebagai sebuah solusi yang dicapai guna penyelidikan adanya dugaan
penyimpangan dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya berlandaskan
pada lima dasar kerja yang menjadi agenda, latar belakang pembentukan pansus, serta
tujuan pansus itu lahir. Adapun kelima agenda kerja tersebut (yang tercantum dalam
bagian awal hasil laporan akhir Pansus Century) secara singkat adalah sebagai
berikut.

Mengetahui sejauh mana pemerintah menjalankan UU yang berlaku terkait dengan


dana talangan yang diberikan kepada Bank Century.
a) Mengurai secara transparan komplikasi dana talangan Bank Century, sejauh
mana keterlibatan Kabareskrim Susno Duadji pada proses tersebut, serta
konspirasi pemerintah juga jajaran Bank Century terkait dengan dana talangan
tersebut.
b) Mengetahui ke mana dana talangan tersebut sebenarnya mengalir.
c) Mengetahui mengapa bisa dana talangan yang diberikan membengkak
jumlahnya menjadi sekitar 6,7 triliun rupiah tanpa adanya persetujuan DPR,
padahal Bank Cenruty adalah bank kecil yang sejak awal telah bermasalah
dan dirasa tidak akan menimbulkan dampak serius bagi perbankan Indonesia.
d) Mengetahui seberapa besar kerugian negara akibat skandal Bank Century
tersebut dan seberapa besar uang negara yang dapat diselamatkan nantinya.

Kelima agenda kerja tersebut secara otomatis menjadi landasan kerja Pansus
Century dan menjadi tujuan pembentukannya.Selama lebih kurang dua bulan Pansus
Century bekerja, didasarkan atas kelima agenda tersebut. Dan, hasil penyelidikan dan
investigasi yang dilakukan Pansus Century pada natinya akan dilaporakan dalam
Sidang Paripurna DPR sebagai hasil kerja Pansus Century. Berdasarkan hasil
kerjanya, Pansus melakukan beberapa penemuan yaitu pendugaan terjadi
penyimpangan dalam proses pengambilan kebijakan oleh otoritas moneter dan fiskal
yang diikuti banyak penyalahgunaan mulai dari akuisisi merger, pemberian FPJP,
PMS hingga tahap aliran dana Bank Century. Penyalahgunaan ini mengikutsertakan
pemilik saham dan manajemen Bank Century. Kasus Bank Century merupakan
perbuatan melanggar hukum yang berlanjut atau penyalahgunaan wewenang oleh
pejabat otoritas moneter dan fiskal sehingga dapat di kelompokkan kedalam tindak
pidana korupsi yang merugikan negara.

Hingga detik ini, perkembangan kasus Bank Century belum juga


menghasilkan titik temu penyelesaiannya. Pengucuran dana Fasilitas Pinjaman Jangka
Panjang (FPJP) sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century itu masih diselidiki oleh
KPK dan belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Sedangkan menurut
Panitia Khusus (Pansus) Kasus Century terdapat di DPR dan DPR telah menemukan
sekitar 60 pelanggaran pada saat proses merger, pengucuran FPJP, sampai keputusan
mem-bail out Bank Century.
SIMPULAN

Kesehatan Suatu Bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu Bank untuk
melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi segala
kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang
berlaku. Beberapa aturan kesehatan Bank yang berlaku di Indonesia adalah Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK), Likuiditas Wajib Minimum, Rasio Kecukupan Modal serta Posisi
Devisa Neto. UU No. 7 Thn 1992 dan UU No. 10 Thn 1998 mengatur rahasia bank sebagi
berikut : Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya ; Bank wajib merhasiakan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya ; Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
DAFTAR PUSTAKA

Susilo, Y.Sri, Sigit Triandaru dan A. Totok Budisantoso. 2000. “Bank dan Lembaga
Keuangan Lain”. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai