Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN BUNUH DIRI

DISUSUN OLEH
WILLIS
112017186

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran UKRIDA
Periode 14 Januari– 16 Februari 2019
PANTI SOSIAL BINA LARAS HARAPAN SENTOSA 3
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan masalah-masalah


serius yang perlu intervensi segera sehingga dimasukkan kedalam kategori kegawatdaruratan
psikiatrik. Berdasarkan studi epidemiologi, didapatkan hampir 800.000 orang yang meninggal
akibat bunuh diri dalam 1 tahun, artinya setiap harinya ada 6 orang di dunia yang meninggal akibat
bunuh diri. Penyebab bunuh diri yang tidak hanya disebabkan oleh masalah psikologis namun
permasalahan biologis dan sosial yang menyebabkan penanganan terhadap pasiennya yang
berbeda.

Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi secara komprehensif yaitu
antara organobiologik, psikoedukasi serta sosiokultural untuk membuat perencanaan dalam
penatalaksanaan. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan fisik serta laboratorium
yang sesuai dan memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayanan yang paling
diharapkan untuk hasil optimal.

Dalam referat ini akan lebih mendalam dibahas mengenai bunuh diri sebagai kedaruratan
psikiatrik.
BAB II

ISI

Definisi

Bunuh diri merupakan suatu tindakan fatal yang menunjukkan keinginan seseorang untuk mati.
Terdapat kisaran antara berpikir mengenai bunuh diri dan melakukannya. Beberapa orang
memiliki gagasan bunuh diri yang tidak akan pernah mereka lakukan; beberapa orang lagi
merencanakannya berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan bertahun-tahun selama sebelum
melakukannya; dan orang lain melakukan bunuh diri berdasarkan impuls, tanpa memikirkannya
terlebih dahulu. 1

Epidemiologi

Menurut WHO pada tahun 2018, didapatkan hampir 800.000 pasien meninggal setiap tahunnya
karena bunuh diri. Kejadian bunuh diri bisa terjadi pada usia berapa saja, namun bunuh diri
menjadi penyebab kedua terbanyak dari kematian pada orang-orang dengan kelompok usia 15-
29.1,2

Menurut penelitiannya pada tahun 2016, penyebab kematian 79% terjadi di negara dengan
pendapatan menengah kebawah. 2

Faktor Risiko Terjadi Bunuh Diri

Demografik

Jenis Kelamin

Berdasarkan Jenis Kelamin, laki-laki akan melakukan bunuh diri epat kali lebih banyak
dibandingkan perempuan. Angka tersebut stabil dalam semua kelompok usia, sedangkan
perempuan empat kali lebih besar kemungkinan untuk melakukan percobaan bunuh diri
disbanding laki-laki.1,2

Usia

Angka bunuh diri meingkat seiring dengan usia dan menegaskan makna dari krisis usia
pertengahan. Di atara laki-laki, puncak bunuh diri setelah usia 45 tahun, pada perempuan angka
terbesar bunuh diri yang berhasil dilakukan terdapat setelah usia 55 tahun. Bila dibandingkan
antara angka percobaan bunuh diri orang lanjut usia dengan dewasa muda, maka didabatkan angka
yang lebih tinggi pada orang muda, sedangkan untuk keberhasilan bunuh diri, maka orang lanjut
usia memiliki angka lebih tinggi.1,2

Ras

Diantara kelompok lainnya, maka angka bunuh diri pada laki-laki kulit putih dua kali lebih besar1,2

Status Perkawinan

Angka bunuh diri pada orang yang belum menikah meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan
angka bunuh diri pada orang yang sudah menikah yaitu 11 per 100.000 orang yang sudah
menikah.1,2

Namun, orang yang pernah menikah menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan yang
belum pernah menikah, yakni 24 per 100.000 pada janda dan duda yang ditinggal mati, serta 40
per 100.000 pada orang yang bercerai dengan jumlah laki-laki 69 per 100.000 dan perempuan 18
per 100.000.1,2

Pekerjaan

Semakin tinggi atau rendah status sosial seseorang, maka akan meningkatkan resiko untuk bunuh
diri. Bunuh diri lebih tinggi pada orang yang tidak memiliki pekerjaan dibandingkan dengan orang
yang memiliki pekerjaan.1,2

Populasi khusus yang memiliki risiko adalah musisi, dokter gigi, petugas penegak hukum,
pengacara, dan agen asuransi. 1,2

Metode Bunuh Diri

Angka keberhasilan bunuhu diri pada laki-laki berdasarka metode, dari yag paling tinggi adalah
senjata api, gantung diri, atau lompat dari tempat tinggi. Sedangkan pada perempuan pada
umumnya dengan mengonsumsi zat psikoaktif overdosis atau racun. Secara global, metode bunuh
diri yang paling lazim adalah gantung diri.1,2
Kesehatan Fisik

32 persen orang yang melakukan bunuh diri pernah mendapatkan perhatian medis dalam 6 bulan
sebelum kematiannya, lalu berdasarkan studi postmortem menunjukkan bahwa penyakit fisik ada
pada 25 hingga 75 persen korban bunuh diri,1

Ada pun penyakit-penyakit yang berkaitan dengan bunuh diri adalah penyakit yang menyebabkan
hilangnya mobilitas, cacat, nyeri yang sulit sembuh dan kronis, penyakit yang menyebabkan
hilangnya pekerjaan dan aktivitas di waktu senggang, serta penyakit-penyakit dengan prognosis
yang buruk.1

Keadaan lain, yaitu obat-obatan yang sedang dikonsumsi pasien yang dapat menimbulkan depresi
dan berujung pada keinginan untuk bunuh diri. Diantaranya adalah reserpine, kortikosteroid,
antihipertensi dan agen antikanker.1,

Kesehatan Jiwa

Faktor psikiatrik yang sangat bermakna di dalam bunuh diri mencakup penyalahgunaan zat,
gangguan depresif, skizofrenia dan gangguan jiwa lainnya. Hampir 95% orang yang melakukan
atau mencoba bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa. 80% dari keseluruhan mengalami
depresi, 10% dengan skizofrenia, dan demensia atau delirium sebanyak 5%. Orang dengan depresi
dan waham memiliki risiko bunuh diri paling tinggi. Diagnosis penyalahgunaan zat dan gangguan
kepribadian antisosial paling sering terjadi pada bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok usia
dibawah 30 tahun, serta diagnosis gangguan mood dan gangguan kognitif paling sering pada usia
30 dan lebih. Stresor terkait bunuh diri pada orang dengan usia dibawah 30 tahun adalah perpisahan,
penolakan, tidak bekerja, dan masalah dengan hukum, sedangkan stressor pada kelompok usia
diatas 30 tahun paling banyak didapatkan berkaitan dengan penyakit yang diderita.1

Pasien Psikiatrik

Risiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 hingga 12 kali dinbandingkan
dengan bukan pasien psikiatrik. Diagnosis psikiatrik yang memiliki risiko bunuh diri paling tinggi
pada kedua jenis kelamin adalah gangguan mood. Pasien psikiatrik yang bunuh diri melakukannya
saat mereka sedang dirawat. Sebagian besar tidak bunuh diri di bangsal psikiatrik tetapi di
lingkungan rumah sakit, saat sedang cuti akhir pekan atau absen tanpa cuti. Pada pasien psikiatrik
rawat jalan, periode setelah keluar merupaka waktu meningkatnya risiko bunuh diri1

Kelompok risiko utama adalah pasien dengan gangguand epresif, skizofrenia dan penyalahgunaan
zat. Dengan demikian, professional kesehatan jiwa yang bekerja di layanan gawatdarurat harus
terlatih dengan baik di dalam melakuka anamnesis mengenai riwayat psikiatrik pasien, memeriksa
keadaan jiwa pasien, mengkaji risiko bunuh diri, dan melakukan penempatan yang sesuai.1

Gangguan Depresif

Gangguan mood merupakan diagnosis yang paling lajim dikaitkan dengan bunuh diri. Banyak
pasien dengan gangguan depresif melakukan bunuh diri di awal penyakitnya, atau di akhir episode
depresif. Pasien depresi yang bunuh diri melakukannya dalam 6 bulan setelah meninggalkan
rumah sakit, hal ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya kekambuhan pada pasien
depresi. 1

Pada pasien terapi dengan rawat jalan, sebagian pasien depresi yang bunuh diri menerima terapi
psikiatrik saat bunuh diri. sebagian besar menerima antidepresan yang diresepkan dengan dosis
subterapeutik, yang menyebabkan terapinya kurang dari cukup. 1

Studi lain juga mennjukkan isolasi sosial meningkatkan kecenderungan bunuh diri pada pasien
depresi. 1

Pedoman Diagnostik Depresi Berat tanpa gejala psikotik (F32.2)3

Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan dan sedang harus ada, antara
lain:

 suasan perasaan (mood) yang depresif,


 kehilangan minat dan kegembiraan, dan
 berkurangnya enersi yang menuju meningkatnya keadaan mudah Lelah dan berkurangnya
aktivitas. Biasanya ada rasa Lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja.

Ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan beberapa di antaranya harus berintensitas
berat. Gejala lazim lainnya adalah:

(a) Konsentrasi dan perhatian berkurang:


(b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang:
(c) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan
sekali pun):
(d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
(e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
(f) Tidur terganggu:
(g) Nafsu makan berkurang.

Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika
gejala amat berat beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan diagnosis
dalam waktu kurang dari 2 minggu.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik3

Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut di atas, disertai waham,
halusinasi atau stupor depresif.

 Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggungjawab atas hal itu.
 Halusinasi auditorik atau olfaktori biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh
atau bau kotoran atau daging membusuk.
 Retardasi psikomotor ang berat dapat menuju pada stupor.

Skizofrenia

Onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atua dewasa awal, dan sebagian besar pasien yang
bunuh diri melakukannya pada beberapa tahun pertama dari penyakit skizofrenia itu sendiri. Hal
ini berkaitan erat dengan gejala depresif pada skizofrenia. Hanya suatu persentase kecil pasien
skizofrenia melakukan bunuh diri karena instruksi halusinasi atau ekbutuhan untuk kabur dari
waham kejar.1

Sampai 50% bunuh diri pada pasien skizofrenia terjadi selama beberapa minggu dan bulan pertama
setelah keluar dari rumah sakit; dan sebagian kecil melakukan bunuh diri saat sedang dirawat.1
Pedoman diagnostik3

Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus sedikitnya satu gejala tersebut di
atas yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas) dari gejala yang termasuk salah satu dari kelompok gejala (a) sampai (d) tersebut di
atas, atau paling sedikit dua gejala dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas
selama kurun waktu satu bulan atau lebih.

(a) Thought echo, thought insertion atau withdrawal, dan thought broadcasting
(b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence),
atau “passivity”, yang jelas merujuk pada pergerak tubuh atau pergerakan anggota gerak,
atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; persepsi delusional;
(c) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau
mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang
berasal dari salah satu bagian tubuh
(d) Waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali
mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan
kemampuan “manusia super” (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi
dengan makhluk asing dari dunia lain);
(e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuktanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun oleh ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiaphari selam berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu
(posturing), atau flexibilitas serea, negativism, mutisme, dan stupor
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat masa bodo (apatis), pembicaraan yang
terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarika diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
(i) Suatu perubahan ang konssten dan bermakna dalam mutu keseluruhand ari beberapa aspek
perilaku perorangan bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas,
sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

Adanya gejala-gejal aperilaku seperti kehilangan minat dalam bekerja, dalam aktivitas sosial
(pergaulan sosial), penelantaranpenampilan pribadi dan perawatan diri Bersama dengan
kecemasan yang menyeluruh serta depresi dan preokupasi yang berderajat ringan, mendahului
onset (mulainya) gejala-gejala psikotik selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Keteragantungan Alkohol

Hingga 15 persen orang dengan ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri.


Korban bunuh diri dengan ketergantungan alkohol cenderung orang kulit putih, berada di
usia pertengahan, tidak menikah, tidak memiliki teman, terisolasi secara sosial, dan baru-
baru ini minum alkohol.1
Ktergantungan alkohol yang berakhir dengan melakukan bunuh diri, berkaitan
dengan depresi yang dialami selama perawatan di rumah sakit dan hingga dua pertiganya
dinilai memiliki gejala gangguan mood.1
50% korban bunuh diri dengan ketergantungan alkohol mengalami kehilangan
hubungan dekat yang penuh kasih sayang selama setahun terakhir. Hal ini berkaitan dengan
timbulnya gejala gangguan mood yang terjadi bulan-bulan sebelum bunuh diri. Selain itu,
kelompok terbesar bagi mereka yang bunuh diri adalah mereka dengan gangguan
kepribadian antiosisal. 1

Ketergantungan Zat Lain

Sejumlah studi di berbagai negara menemukan adanya peningkatan risiko bunuh diri pada mereka
yang menyalahgunakan zat. Penggunaan heroin, zat intravena memiliki angka bunuh diri yang
tinggi. Ketersediaan zat dengan jumlah letal, penggunaan IV, gangguan kepribadian antisosial
terkait, gaya hidup berantakan, dan impulsivitas merupakan faktor predisposisi untuk perilaku
bunuh diri, pada orang dengan ketergantungan zat terutama ketika mereka sedang disforik, depresi,
atau intoksikasi.4
Gangguan Kepribadian

Secara tidak langsung, Menderita suatu gangguan kepribadian mungkin merupakan


suatu determinan perilaku bunuh diri dalam beberapa cara : dengan mempredisposisikan
pada gangguan mental berat seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol,
dengan menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan penyesuaian sosial, dengan
mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan, dengan mengganggu kemampuan
untuk mengatasi gangguan mental atau fisik dan dengan menarik orang ke dalam konflik
dengan orang disekitar mereka, termasuk anggota keluarga, dokter dan anggota staf rumah
sakit. Sebesar 5% pasien dengan gangguan kepribadian antisosial melakukan bunuh diri.1,4

Gangguan Ansietas

Percobaan bunuh diri yang tidask berhasil dilakukan oleh hampir 20 persen pasien dengan
gangguan panik dan fobia sosial. Meskipun demikian, jika depresi merupakan gambaran terkait,
risiko keberhasilan menjadi meningkat. Fobia sosial F40.1, sering kali mulai pada usia remaja dan
terpusat pada rasa takut diperhatikan oleh orang lain dalam kelompok yang relatif kecil
(berlawanan dengan orang banyak), yang menjurus kepada penghindaran terhadap situasi sosial.
Tidak seperi fobia lainnya, fobia sosial frekuensinya kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita.
Gambarannya dapat sangat jelas (misalnya, hanya terbatas pada makan di tempat umum, atau
berbicara di depan umum, atau menghadapi jenis kelamin lain), atau dapat pula kabur (diffuse),
yang mencakup hampir semua situasi sosial di luar lingkungan keluarga. Perasaan takut muntah
di tempat mum dapat merupakan hal penting. Pada berbagai latar belakang budaya tertentu,
pandangan mata secara langsung dapat merupakan hal yang mengangkan. Fobia sosial biasanya
disertai dengan harga diri yang rendah dan takut akan kritik. Dapat juga tercetus sebagai keluhan
malu (muka merah), tangan gemetar, mual, ingin buang air kecil, dan kadang individu
bersangkutan merasa yakin bahwa salah satu dari manifestasi gejala sekunder dari anxietas ini
merupakan masalah utamanya; dalam hal demikian gejalanya dapat berkembang menjadi serangan
panik. 1,4

Pedoman diagnostik:3

(a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik harus merupakan manifestasi primer dari
anxietas dan bukan sekunder dari gejala lain seperti waham atau pikiran obsesif;
(b) Anxietas harus hanya terbatas atau menonjol pada situasi sosial tertentu saja; dan
(c) Penghindaran dari situasi fobik harus merupakan gambaran yang menonjol.

Gangguan Panik F41.0 onset mendadak dalam bentuk palpitasi, nyeri dada, perasaan tercekik,
pusing kepala, dan perasaan yang tidak riil (depersonalisasi atau derealisasi), merupakan gejala
yang lazim. Juga hampir selalu secara sekunder timbul rasa takut mati, kehilangan kendali atau
menjadi gila. Setiap serangan biasanya berlangsung hanya beberapa menit, meskipun kadang-
kadang bisa lebih lama; 3

Pedoman diagnostic:3

(a) Pada keadaan-keadaan di mana sebenernya secara objektif tidak ada bahaya
(b) Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah dketahui atau yang dapat diduga sebelumnya;
(c) Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala anxietas dalam periode antara serangan-
serangan panik (meskipun lazim terjadi juga naxietas antisipatorik)

Perilaku Bunuh Diri Sebelumnya

Sejumlah studi menunjukkan bahwa kira-kira 40% pasiend epresi yang bunuh diri pernah mencoba
sebelumya. Gambaran klinnis yang paling sering dikaitkan dengan keseriusan niat untuk mati
adalah diagnosis gangguan depresif. 1,4

Etiopatofisiologi

Faktor Sosiologis

Teori Durkheim

Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial: egoistik, altruistic dan anomik. Bunuh
diri Egoistik berlaku bagi yang tidak terintegrasi kuat ke dalam kelompok sosial manapun. Oleh
karena itu, mengapa orang yang tidak menikah lebih rentan bunuh diri.1,4

Bunuh diri altruistic berlaku untuk mereka yang rentan terhadap bunuh diri karena integrasi
mereka yang berlebihan kedalam kelompok.contohnya, serdadu Jepang yang mengorbankan
hidupnya dalam peperangan. 1,4

Bunuh diri anomik berlaku bagi orang yang integrasinya ke dalam masyarakat terganggu, sehingga
mereka tidak dapat mengikuti norma perilaku yang lazim. Hal ini yang menjelaskan mengapa
perubahan drastis situasi eknomi membuat orang lebih rentan daripada mereka sebelum terjadi
perubahan kekayaan. 1,4

Faktor Psikologis

Teori Freud1,5

Sigmund Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri menunjukkan agresi yang diarahkan
untuk melawan objek cinta yang diintrojeksikan serta “cathected” secara ambivalen. Freud
meragukan bahwa ada bunuh diri tanpa keinginan untuk membunuh orang lain yang ditekan
sebelumnya.

Teori Menninger1,5

Karl Menninger berpendapat bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan yang dibalik ke dalam diri
sendiri, karena kemarahan pasien pada orang lain. Insting kematian yang diarahkan pada diri
sendiri (konsep Freud mengenai Thanatos) ditambah tiga komponen permusuhan di dalam bunuh
diri: keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati,

Teori Terkini1,5

Ahli bunuh diri kontemporer yakin bahwa banyak yang dapat dipelajari mengenai psikodinamik
pasien bunuh diri dari khayalan mereka mengenai apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika
mereka bunuh diri. Khayalan ini sering mencakup keinginan untuk balas dendam, kekuatan,
kendali, atau hukuman: penebusan kesalahan, pengorbanan, atau ganti rugi: kabur atau tidur;
penyelamatan, kelahiran kembali, penyatuan kembali dengan kematian; atau kehidupan baru.

Pasien bunuh diri yang cenderung melakukan khayalan bunuh diri mungkin telah kehilangan objek
cinta atau menerima cedera narsisistik, dapat mengalami afek berlebihan seperti kemarahan dan
rasa bersalah.

Banyak pasien bunuh diri menggunakan preokupasi dengan bunuh diri sebagai cara untuk
melawan depresi yang tidak dapat ditoleransi dan rasa putus asa.
Faktor Biologis1

Berkuranganya serotonin sentral berperan dalam perilaku bunuh diri. Konsentrasi metabolit
serotonin 5-hydroxyin-doleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di cairan serebrospinal lumbal
terkait dengan perilaku bunuh diri.Selain itu, studi lain menunjukkan penurunan serotonin atau 5-
HIAA di batang otak atau korteks frontalis pada korban bunuh diri.1

Faktor Genetik1

Perilaku bunuh diri cenderung menurun di dalam keluarga seperti gangguan psikiatrik lainnya.
Pada pasien psikiatrik, riwayat bunuh diri di dalam keluarga meningkatkan risiko percobaan bunuh
diri dan bunuh diri yang berhasil pada sebagian besar kelompok diagnostik.1

Studi Genetik Molekuler1

Tryptophan hydroxylase (TPH) adalah enzim yang terlibat dalam biosintesis serotonin. Sehingga
dihipotesiskan bahwa individu tersebut dapat memiliki perubahan gen yang mengendalikan
sintesis dan metabolism serotonin. Alkoholik yang impulsive memiliki konsentrasi 5-HIAA-CSS
yang rendah. Riwayat percobaan bunuh diri secara signifikan terkait dengan genotype TPH pada
semua alkoholik yang melakukan kekerasan. 1

Perilaku Parasuicidal

Parasuicide adalah istilah yang diperkenalkan untuk menggambarkan pasien yang mencederai diri
sendiri dengan mutilasi diri, namun tidak ingin mati. Sejumlah studi menunjukkan kira-kira 4
persen pasien di rumah sakit psikiatrik menyayat diri mereka sendiri. Mencederai diri sendiri
ditemukan pada kira-kira 30 persen penyalahgunaan zat oral dan 10 persen pengguna IV yang
masuk ke dalam unit terapi zat.Sebagian besar orang yang menyayat diri menyatakan tidak merasa
sakit dan memberikan alas an seperti marah pada diri sendiri atau orang lain, meredakan
ketegangan, dan keinginan untuk mati. Penyalahguna alkohol dan zat lain lazim melakukannya,
dan sebagian besar pelaku pernah mencoba bunuh diri. 1

Pemeriksaan

Pemeriksaan terhadap pasien harus dilakukan secara komprehensif, antara pemeriksaan psikiatrik,
somatic, serta perspektif psikologikal dan sosial. 4,6
Riwayat Perencanaan Bunuh Diri

Adanya riwayat perencanaan bunuh diri sebelumnya merupakan faktor risiko terhadap terjadinya
percobaan bunuh diri selanjutnya dan risiko yang meningkat terhadap keberhasilan bunuh diri itu
sendiri. Oleh karena itu, perlu ditanyakan lebih lanjut mengenai riwayat perencanaan bunuh diri.4

Riwayat Keluarga dengan Bunuh diri atau Rencana Bunuh Diri

Keluarga yang memiliki riwayat bunuh diri atau rencana bunuh diri sebelumnya disertai gangguan
psikis yang berkaitan erat serperti depresi, penyalahgunaan zat, dapat digunakan sebagai data
terhadap risiko bunuh diri pasien.4

Diagnosa Axis I latar belakang psikiatri pasien

DSM IV TR merekomentasikan dalam pemeriksaan risko bunuh diri, perlu dilakukan diagnosis
secara multi-aksial, dikarenakan pasien dengan bunuh diri biasanya dengan komorbiditas. 4

Diagnosa Axis II Pemeriksaan adanya Ciri Kepribadian atau Gangguan Kepribadian

Sekitar 44-62% pasien dengan rencana bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian borderline, antisosial dan avoidant meningkatkan risiko terjadinya bunuh diri,
terutama bila komorbid dengan gangguan suasana perasaan, depresi berat ataupun dengan
penyalahgunaan zat.4

Diagnosa Axis III Kelainan Fisik

Adanya kelainan fisik, terutama kelainan pada sistem saraf pusat, juga kelainan fisik yang
menyebabkan nyeri, disabilitas fisik dan distress, meningkatkan risiko bunuh diri. 4

Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan Biologis

Sesuai dengan penyebab biologis yang telah diuraikan sebelumnya, prediktor terhadap terjadinya
bunuh diri adalah kadar 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) dalam cairan serebrospinal, serta
disfungsi aksis Hypotalamus-Hipofisis-Adrenal dengan memeriksa kadar Dexamethasone non-
suppression (DST). Namun pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di klinik yang spesialistis, dan
hanya digunakan untuk kebutuhan penelitian.4
Pemeriksaan Psikologikal

Pemeriksaan ciri kepribadian, pengendalian impuls, serta pengendalian agresi, toleransi terhadap
frustasi, integrasi narsistik, fungsi kognitif, mekanisme pertahanan, cara menyelesaikan konflik,
serta motivasi dalam melakukan pengobatan secara biologis maupun psikis.4

Pemeriksaan dalam Aspek Sosial

Pemeriksaan terhadap jaringan sosial pasien, stabilitas ekonomi, kondisi tempat tinggal pasien
dapat menentukan stressor pada pasien dengan bunuh diri.4

Pemeriksaan Psikometrik

Alat ukur untuk menentukan risiko bunuh diri seperti skala SADPERSONS adalah alat ukur
singkat yang memiliki validitas klinis tinggi.4,7

Skala SADPERSONS dibuat pada tahun 1983 oleh Patterson et al di Kanada untuk menentukan
risiko bunuh diri berdasarkan 10 faktor risiko utama untuk Bunuh Diri:4,7

 Sex atau jenis kelamin laki-laki


 Age atau usia dibawah <19 tahun atau >45 tahun
 Depresi
 Previous attempts atau adanya rencana bunuh diri sebelumnya
 Ethanol abuse atau penyalahgunaan zat
 Rational thinking loss atau tidak adanya kemampuan berpikir rasional
 Social supports lacking atau lemahnya dukungan sosial
 Organised plan atau perencanaan yang matang
 No spouse atau tidak ada pasangan
 Sickness atau adanya kelainan fisik

Dengan menambahkan 1 setiap poin yang ada pada pasien, dengan total 0= risiko sangat rendah
dan 10= risiko sangat tinggi7

Skor ini juga bisa digunakan untuk penentuan perawatan, meskipun tidak menjadi panduan absolut
dengan skor 0-2, pasien dipulangkan dan diminta untuk kembali ke rumah sakit untuk dilakukan
pemeriksaan kembali; 3-4 pasien diminta untuk pemeriksaan kembali dalam waktu dekat, dan
disarankan untuk dirawat di rumah sakit; 5-6 sangat menyarankan untuk dilakukan perawatan di
rumah sakit; 7-10 untuk dilakukan perawatan di rumah sakit.7

Terapi

Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik lengkap; pemeriksaan
menyeluruh mengenai keadaan mental pasien; dan pertanyaan mengenai gejala depresif, pikiran,
niat, rencana, dan percobaan bunuh diri. Jika dipertimbangkan semuanya, tidak adanya rencana di
masa mendatang memberikan milik pribadi, membuat surat wasiat dan baru ini engalami
kehilangan yang mengesankan peningkatan risiko bunuh diri.1,4,8

Keputusan untuk merawat pasien atau tidak bergantung pada diagnosis keparahan depresi dan
gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah, situasi hidup
pasien, ketersediaan dukungan sosial, dan tidak adanya atau adanya faktor risiko bunuh diri. 1,4,8

Rawat Jalan

Tidak semua pasien dengan gagasan bunuh diri perluperawatan di rumah sakit; beberapa dari
mereka dapat diterapi dengan rawat jalan. Untuk memutuskan apakah terapi rawat jalan dapat
dilakukan, kliisi harus menggunakan pendekatan klinis langsung. Mereka meminta pasien yang
dianggap berpotensi bunuh diri untuk menghubungi saat mereka merasa tidak pasti mengenai
kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh diri. Pasien dapat membuat perjanjian
seperti ini dengan dokter yang memiliki hubungan dengan mereka menguatkan kembali keyakinan
bahwa mereka memiliki kekuatan ang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut da untuk
mencari pertolongan. 1,4,8

Jika pasien akan diterapi rawat jalan, terapis harus mencatat omor telepon rumah dna kantor pasien
untuk keadaan gawat darurat; jika pasien menolak perawatan di rumah sakit, keluarga harus
bertanggung jawab untuk berada Bersama pasien selama 24 jam sehari.1,4,8

Rawat Inap

Tidak adanya sistem dukungan sosial yang kuat, riwayat perilaku impulsive, dan rencana tindakn
bunuh diri adalah indikasi perawatan. Klinisi harus siap 24 jam bagi pasien. Jika pasien yang
dianggap secara serius ingin bunuh diri tidak dapat membuat komitmen tersebut, perawatan rumah
sakit darurat seera diindikasikan.1,4,8

Banyak psikiater yakin bahwa pasien yang pernah mencoba bunuh diri, tanpa memandang
letalitasnya, harus dirawat. Di rumah sakit, pasien dapat menerima obat antidepresan atau
antipsikotik sesuai indikasi; terapi individu, terapi kelompok, dan terapi keluarga tersedia. Cara
terapeutik lain bergantung pada diagnosis yang mendasari.1,4,8

Meskipun pasien digolongkan berpotensi bunuh diri akut dapat memiliki prognosis yang baik,
pasien dengan potensi bunuh diri kronis sulit diterapi. Pengamatan konstan oleh perawat khusus,
pengasingan, dan pengikatan tidak dapat mencegah bunuh diri saat pasien yakin melakukannya.
Hal ini membuat perlunya terapi elektrokonvulsi terutama pada pasien depresi berat, yang dapat
memerlukan beberapa kali sesi terapi.1,4,8

Cara terapi pasien depresi yang dirawat inap dengan kecenderungan bunuh diri adalah mencari
barang-barang yang dapat digunakan untuk bunuh diri saat masuk ke dalam bangsal dan
mengulang pencarian saat eksaserbasi gagasan bunuh diri. Pasien harus terkunci yang jendelanya
tahan pecah, dan ruang pasien harus ditempatkan di dekat tempat perawat untuk memaksimalkan
observasi oleh perawat.1,4,8

Pasien yang pulih dari depresi dengan gagasan bunuh diri memiliki risiko tertentu. Ketika depresi
naik, pasien menjadi sedemikian berenergi sehingga dapat melakukan rencana bunuh dirinya
menjadi kenyataan. Kadang-kdang pasien depresi, dengan atau tanpa terapi, tiba-tiba tampak
damai dengan diri mereka sendiri karena telah mencapai keputusan rahasia untuk melakukan
bunuh diri. Klinisi terutama harus curiga terhadap perubahan klinis dramatic seperti itu, yang dapat
meramalkan percobaan bunuh diri. Meskipun jarang, beberapa pasien berbohong pada psikiater
mengenai niat bunuh dirinya, dengan demikian menumbangkan penilaian klinis yang paling
teliti.1,4,8
Farmakoterapi

Antidepresan

Dikarenakan bunuh diri merupakan salah satu dari gejala depresi, maka dalam hal ini, perlu
diberikan antidepresan apabila pasien memiliki latar belakang diagnosa depresi sebelumnya.9

Penggolongan9

 Obat Anti-depresi Trisiklik: seperti amitriptyline, imipramine, clomipramine, tianeptine


 Anti-depresan tetrasiklik: maprotiline, mianserin, amoxapine
 Anti-depresan MAOI (Monoamine Oxydase A Inhibitor) -Reversibel: Moclobemide
 Anti-depresan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors): Sertraline, paroxetine,
fluvoxamine, fluoxetine, duloxetine, citalopram
 Antidepresan Atypical: Trazodone, Mirtazapine, Venlafaxine

Mekanisme Kerja9

Sindrom depresi disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa “aminergic
neurotransmitter (noradrenaline, serotonin, dopamine) pada celah sinaps neuron di SSP sehingga
aktivitas reseptor serotonin menurun

Mekanisme Kerja Obat Anti-Depresan adalah9

 Menghambat reuptake aminergic neurotransmitter


 Menghambat penghacuran oleh ensim “Monoamine Oxidase”
 Sehingga terjadi peningkatan jumlah “aminergic neurotransmitter” pada celah sinaps
neuron tersebut yang dapat meningkatkan aktivitas reseptor serotonin.

Efek samping Obat:9

 Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,


kemampuan kognitif menurun, dll)
 Efek Antikolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, sinus
takikardi, dll).
 Efek anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)
 Efek Neurotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia)
 Efek samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari penderita) biasanya
berkurang setelah 2-3 inggu bila tetap diberikan dengan dosis yang sama

Pada keadaan Overdosis/Intoksikasi Trisiklik dapat timbul “Atropine Toxic Syndrome” dengan
gejala: eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, toxic confusional state (Confusion,
delirium, disorientation).9

Tindakan untuk keadaan tersebut:9

 Gastric lavage (hemodialisis tidak bermanfaat oleh karena obat trisiklik bersifat “protein
binding” forced diuresis juga tidak bermanfaat oleh karena “renal excretion of free drug”
rendah
 Diazepam 10 mg (im) untuk mengatasi konvulsi
 Prostigmine 0.5-1.0 mg (im) untuk mengatasi efek antikolinergik (dapat diulang setiap 30-
45 menit sampai gejala mereda
 Monitoring EKG untuk deteksi kelainan jantung

Pemilihan Obat9

Pemilihan jenis obat anti-depresi tergantung pada toleransi terhadap efek samping dan penyesuaian
efek samping terhadap kondisi pasien9

Trisiklik (amitriptilin, imipramine) memiliki efek samping sedative, otonomik kardiologik relatif
besar, sehingga dapat diberikan pada pasien muda yang lebih besar toleransi terhadap efek
samping tersebut dan bermanfaat untuk meredakan agitated depression9

Tetrasiklik (maprotiline, mianserin) dan atipikal (trazodone, mirtazapine) yang memiliki efek
samping otonomik, kardiologik relatif kecil, efek sedasi lebih kuat, sehingga dapat diberikan pada
pasien yang kondisinya kurang tahan terhadap efek otonomik dan kardiologik (usia lanjut) dan
sidrom depresi dengan gejala anxietas dan insomnia yang menonjol9

SSRI (Fluoxetine, sertraline, dll) memiliki efek sedasi, otonomik, kardiologik sangat minimal
sehingga dapat diberikan pada pasien dengan “retarded depression” pada usia dewasa & usia lanjut,
atau yang dengan gangguan jantung, berat badan lebih, dan keadaan lain yang menarik manfaat
dari efek samping yang minimal tersebut. 9
MAOI Reversible (Meclobemide) memiliki efek samping hipotensi ortostatik (relatif sering) pada
pasien sia lanjut yang mendadak bangun malam hari ingin miksi dapat berisiko jatuh dan trauma
lebih besar, sehingga dapat dianjurkan perubahan posisi tubuh tidak mendadak dan dengan
tenggang waktu secara gradual.9

Mengingat profil efeksampingnya, untuk penggunaan pada sindro depresi ringan dan sendang
yang datang berobat jalan pada fasilitas pelayanan kesehatan umum, pemilihan obat anti-depresi
sebaiknya mengikuti urutan (step care):9

 Step 1: golongan SSRI (Fluoxetine, sertraline, dll)


 Step 2: golongan amitriptilin
 Step 3: golongan tetrasiklik, golongan atipikal, golongan MAOI Reversibel.

Antipsikosis9

Gejala sasaran (target syndrome): Sindro Psikosis

Mekanisme Kerja9

Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah membokade dopamine pada reseptor pasca
sinaptik neuron di Otak, khususnys dissitem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2
receptor antagonists) sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal
disamping berafinitas terhadap “Dopamin D2 Receptors” juga terhadap serotonin 5 HT2 Receptors”
(Serotonin-Dopamine antagonists), sehingga efektif juga untuk gejala NEGATIF.

Efek samping obat anti-psikosis berupa:9

Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun, kemampuan kognitif menurun)

Gangguan otonomik (hipotensi antikolinergik/paraimpatolitik: mulut kering, kesulitan miksi dan


defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
Gangguan ekstrapiramidal (dystonia akut, akathisia, sindrom Parkinson: tremor, branikinesia,
rigiditas). Gangguan endokrin (amenorrhea, gynaecomastia), metabolic (jaundice), hematologic
(agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang. Efek samping ini ada yang dapat di-
tolerir oleh pasien, ada yang lambat, dan ada yang sampai membutuhkan obat simtomatis untuk
merigankan penderitaan pasien.Dalam penggunaan obat anti-psikosis yang ingin dicapai adalah
“optimal response with minimal side effects”. Efek samping dapat juga “irreversible”, tardive
dyskinesia (gerakan berulang invlunter pada lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak,
dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka
panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan
dosis obat anti-psikosis (non dose related). Bila terjadi gejala tersebut: obat anti-psikosis perlahan-
lahan dihentikan, bisa dicoba pemberian obat reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent),
pemberian obat antiparkinson atau l-dopa daspat memperburuk keadaan. Obat pengganti anti-
psikosis yang paling baik adalah clozapine 50-100 mg/h. Pada penggunaan obat anti-psikosis
jangka panjang, secara periodic harus dilakukan pemriksaan laboratorium, darah rutin, urine
lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat. Obat
anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau untuk
bunuh diri. Namun demikian untuk menghidari akibat yang kurang menguntungkan sebaiknya
dilakukan “lavage lambung” bila obat belum lama dimakan.

Pemilihan obat9

Pada dasarnya semua obat anti-psikosis memiliki efek primer yang sama pada dosis ekivalen,
perbedaa terutama pada efek sekunder, yaitu sedasi, otonomik, dan ekstrapiramidal. Pemilihan
jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Chlorpromazine dan thioridazine memiliki efek samping sedative kuat, sehingga digunakan
terhadap sindroma psikosis dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan
pikiran, perasaan dan perilaku dll. Trifluoperazine, fluphenazine dan haloperidol yang efek
samping sedative lemah digunakan terhadap sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis,
menarik diri, perasaan tumul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll.
Pada pasien yang rentan terhadap efek samping gejala ekstrapiramidal, perlu digantikan dengan
Thioridazine dimana efek samping ekstrapiramidalnya sangat ringan. Untuk pasien yang sampai
timbul tardive dyskinesia obat anti-psikosis yang tanpa efek samping ekstrapiramidal adalah
clozapine. Apabila gejala negative lebih menonjol dari gejala positif pada pasien skizofrenia,
pilihan obat antipsikosis atipikal perlu dpertimbangkan, khususnya pada enderita skizofrenia yang
tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya
gejala ekstrapiramidal

Pengaturan Dosis9

Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran, dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai
dosis efektif dengan tanda peredaan sindrom psikosis, dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu
dinaikkan ke dosis optimal dan dipertahankan sekitar 8-12 minggu diturunkan setiap 2 minggu ke
dosis maintenance, dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun, lalu dilakukan tapering off dengan
diturunkan setiap 2-4 minggu lalu berhenti pengobatan.

Anti Panik1,9

Alprazolam (Xanax) dan paroksetin (Paxil) adalah dua obat yang disetujui FDA untuk terapi
gangguan panik.Alprazolam adalah benzodiazepine yang paling luas digunakan untuk
gangguanpanik tetapi studi terkontrol menunjukkan efisiensiyang asama untuk lorazepam (Ativan),
dan laporan kasus juga menunjukkan bahwa klonazepam (klonopin) dapat efektif. Sejumlah pasien
menggunakan benzodiazapin bila perlu ketika meghadapi stimulus fobik. Benzodiazepine dapat
digunakan secara masuk akal sebagai agen awla untuk gangguan panik sementara obat
serotonergic dititrasi secara perlahan hingga dosis terapeutik. Setelah 4 hingga 12 minggu, dosis
benzodiazepine secara perlahan dapat diturunkan sementara obat serotonergic diteruskan.
Keberatan utama di antara para klinisi mengenai penggunaan benzodiazepine untuk gangguan
panik adalh potensi ketergantugannya, gangguan kognitif, dan penyalahgunaan, terutama setelah
penggunaan jangka panjang. Pasien harus diperingatkan untuk tidak meyetir atua mengoperasikan
peralatan yang berbahaya seleam mengonsumsi benzodiazepine.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Bunuh diri merupakan tindakan seseorang yang mencoba untuk “keluar” dari perasaan putus
asa dan ketidak berdayaan, konflik ambivalen antara keinginan hidup dan tekanan yang tidak
dapat ditanggung, menyempitnya pilihan yang dirasakan dan keinginan untuk melarikan diri.
Risiko terjadinya bunuh diri terutama memiliki latar belakang gangguan psikis berupa
gangguan mood, skizofrenia serta gangguan panik. Namun, selain latar belakang psikis, adanya
latar belakang biologis dan sosial yang juga turut serta menjadi masalah bagi pasien.

Pasien harus mendapatkan terapi seperti rawat inap dan rawat jalan, yang dapat ditentukan
secara singkat menggunakan skor SADPERSONS, serta pemberian terapi secara farmakologi
berupa antidepresan atau antipsikosis berdasarkan diagnosa yang komorbid dengan
perencanaan bunuh diri. Selain itu pasien juga membutuhkan terapi individu atau terapi
kelompok sesuai indikasi dari diagnosis dasar yaitu gangguan kejiwaan yang mencetuskan
terjadinya bunuh diri.

Daftar Pustaka:

1. Kaplan dan Sadock. Kaplan H. I, Sadock B.J Buku ajar Psikiatri Klinis. Edisi II.
Jakarta:Penerbit buku kedokteran EGC,2004.h.426-32. 2004.

2. WHO.Suicide.Diunduh dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/suicide pada


tanggal 3 Februari 2019

3. Departemen Kesehatan R.I. DIrektorat Jenderal Pelayanan Medik.Pedoman Penggolongan dan


Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).Cetakan pertama.Jakarta:Departemen
Kesehatan.1993

4. Wasserman D, Rihmer Z, Rujescu D, Sarchiapone M, Sokolowski M, Zalsman G, et al.The


European Psychiatric Association (EPA) guidance on suicide treatment and
prevention.European psychiatry 2011.27(2012)129-41.
5. Nock M, Borges G, Bromet E, Cha C,Kessler R, Lee S.Suicide and suicidal behavior.epidemiol
rev 2008.30(1),133-54.

6. King RA.Suicidal Behavior in Children and adolescent in Current diagnosis and treatment
Psychiatry.International ed.Philadelphia:Lange.612.

7. Samuelsson M, Wiklander M, Asberg M, Saveman B.Psychiatric care as seen by the attempted


suicide patient.Journal of Advance Nursing 2000. 32(3),635-43.

8. Campbell WH.Revised ‘SAD PERSONS’ helps assess suicide risk.Current psychiatry. March
2004.3(3),102.

9. Maslim R.Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik.edisi ketiga.Jakarta:Bagian Ilmu


Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya.2007.h.14-23.

Anda mungkin juga menyukai