UVEITIS POSTERIOR
Disusun Oleh :
Willis
11 – 2017 – 186
Uveitis merujuk pada inflamasi intraokuler yang dimana terjadinya proses inflamasi secara
kompleks, melibatkan terutama traktus uvealis dengan atau tanpa melibatkan struktur intraokuler
yang membatasinya. Penyebab yang mendasari dari inflamasi intraokuler diantaranya mengenai
traktus uvealis, retina, lensa dan jaringan ocular lainnya. Uveitis tersebut dapat mendasari
terjadinya kebutaan pada negara-negara berkembang termasuk India.2
Meskipun inflamasi dapat dikarenakan berbagai penyebab yang bervariasi diantaranya karena
infeksi, penyakit sistemik, proses autoimun (terutama mediasi T-cell Th2 atau Th17), trauma, dan
neoplasma oculi yang primer atau sekunder secara klinis dengan adanya uveitis yang dimana
gejala-gejalanya sama dan berdampak pada penglihatan pasien.2
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena
terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intra okuler dan
gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh
karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif,
pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan
yang tepat.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Uvea
Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini merupakan lapisan vaskuler
tengah mata dan dilindungi oleh karena dan sclera. Struktur ini ikut mendarahi retina.4
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari arteri
oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang terletak
di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior
longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.5
Iris
Iris adalah perpanjangan corpus cilliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan apertura
bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa,
memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueous humor.
Didalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada
permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina kearah
anterior.3 Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan
endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresein
yang disuntikkan secara IV. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi cilliares.
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya
ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan
melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.4
Gambar 1. Penampang sagital mata
Sumber:https://nei.nih.gov/health/uveitis/uveitis
Korpus Siliare
Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke
depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). corpus cilliare terdiri atas zona
anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4
mm). Processus ciliares berasal dari pars plicata. Processus ciliare ini terutama terbentuk dari
kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-
lubang sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. 4
Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen disebelah dalam yang merupakan
perluasan neuroretina ke anterior dan satu lapisan berpigmen disebelah luar, yang merupakan
perluasan lapisan epitel pigmen retina. Procesus cilliares dan epitel siliaris pembungkusnya
berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor.4
Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat longitudional, sirkular, dan radial. Fungsi
serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di
lembah-lembah di antara procesus cilliares. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa
sehingga lensa dapat mempunyai berbagai focus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang
berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal muscullus cilliaris menyisip ke
dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya.4
Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus cilliaris berasal dari circulus arteriosus major
iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf siliaris.4
Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sclera. Koroid tersusun atas tiga lapis
pembuluh darah koroid ; vesikuler besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di
dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai
koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap
kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran bruch dan disebelah luar oleh
sclera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sclera. Koroid melekat erat ke posterior
pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior koroid bergabung dengan corpus cilliares.
Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar retina yang menyokongnya4
Gambar 2. Lapisan koroid Sumber: Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP,
editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007
Uveitis Posterior
Uveitis posterior adalah peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan jaringan sekitar
seperti vitreus, retina, dan nervus optic. Uveitis sebagai tanda bahaya karena seringkali datang
secara tiba-tiba dan progresif untuk menjadi lebih buruk dengan cepat. Kondisi uveitis ini dapat
mempengaruhi satu atau dua mata
Uveitis bisa menjadi serius karena menyebabkan kehilangan penglihatan yang permanen.5
Epidemiologi
Uveitis posterior terjadi pada 15-30% dari kasus uveitis. Penyebab yang paling sering ditemukan
adalah retinokoroiditis toksoplasmik, atau disebabkan oleh infeksi toksoplasma. 6
Sekitar 25% kebutaan di India dan negara-negara berkembang lainnya adalah disebabkan oleh
uveitis. Sedangkan di negara maju, sebaliknya kebutaan dari uveitis bervariasi dari 3% menjadi
10%. Perbedaan yang luar biasa dalam kejadian kebutaan antara negara berkembang dan negara
maju bisa disebabkan oleh perbedaan etiologi yang mendasari, serta adanya infeksi terutama
penyebab uveitis di India dan negara-negara berkembang lainnya, sedangkan uveitis idiopatik
diyakini sebagai proses kekebalan inflamasi organ spesifik adalah penyebab utama di negara-
negara maju.1
Klasifikasi Uveitis
Menurut The International Uveitis Study Group (IUSG), dan The Standardization of Uveitis
Nomenclatur (SUN) membagi uveitis berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit.
Secara anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior dan
panuveitis.
Infeksi
M. tuberculosis
Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis. Granuloma-granuloma atau
tuberkel, tersebut mengandung sel epithelial dan sel raksasa. Nekrosis perkijuan yang khas
ditemukan pada pemeriksaan histopatologik. Walaupun infeksi berasal dari suatu focus
primer di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis jarang ditemukan pada pasien-
pasien tuberkulosis paru aktif. Temuan yang khas pada pasien ini adanya mutton fat keratik
presipitat, nodul busacca dan sinekia posterior.7
Virus Herpes
Uveitis yang disebabkan oleh virus herpes, biasanya penyebabnya ada dua yaitu virus
herpes simpleks dan virus varicella zoster. Biasanya untuk mengetahui penyebab pasti di
antara kedua virus tersebut agak sulit. Namun biasanya virus herpes simpleks mengenai
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan virus varicella zoster mengenai orang lanjut usia
atau orang yang immunocompromised. Selain itu, virus herpes simpleks menimbulkan
vesikel-vesikel bergerombol di kulit penderita dan terdapat edema, sedangkan vesikel yang
ditimbulkan oleh virus varicella zoster terpisah-pisah. Manifestasi klinis yang timbul
biasanya unilateral, penglihatan kabur, mata sakit dan merah, fotofobia. Pada pemeriksaan
akan didapatkan hipopion, hifema, tekanan intraocular meningkat, iris atrofi sektoral,
edema kornea.4,7
HIV
Uveitis sering ditemukan pada pasien terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV)
khususnya pada stadium penyakit lanjut saat AIDS timbul. Jumlah limfosit T CD4
merupakan prediktor yang baik untuk risiko infeksi oportunistik yang kebanyakan terjadi
pada jumlah kurang dari 100 sel/L. Virus herpes seperti aricella-zoster dan herpes
simpleks juga bisa menimbulkan retinitis. Organisme lain, misalnya T gondii, Treponema
pallidum, Cryptococcus neoformans, mycobacterium tuberculosis, dan Mycobacterium
avium-intracellulare menginfeksi kurang dari 5% pasien HIV-positif; namun, tetap harus
dipertimbangkan, terutama bila terdapat riwayat terinfeksi atau terpajan, ada koroiditis,
atau bila retinitisnya tidak khas atau tidak berespons terhadap terapi antiviral. Limfoma
intraocular terjadi pada kurang dari 1% pasien HIV-positif, tetapi harus dipikirkan pada
retinitis yang tidak khas atau tidak responsive dengan terapi antiviral, khususnya bila
ditemukan gejala-gejala neurologis.4,7
Sifilis kongenital
Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jarang, tetapi dapat disembuhkan. Peradangan
intraocular hampir seluruhnya terjadi pada infeksi stadium kedua dan ketiga, dan semua
jenis uveits bisa terjadi. Retinitis atau neuritis optic sering menyertai. Atrofi luas dan
hyperplasia epiel pigmen retina dapat terjadi pada stadium lanjut jika peradangan dibiarkan
tanpa diobati.4,7
Retinitis Citomegalovirus
Infeksi oportunistik yang paling umum adalah retinitis CMV. Awalnya ditemukan lebih
dari 1/3 pasien AIDS, namun populasi beresiko telah berkurang secara bermakna sejak
berkembangnya terapi antivirus yang sangat aktif dalam terapi AIDS. Khas terjadi pada
pasien dengan hitung sel CD4 + dan leukosit 5/ μl. Pasien biasanya mengeluh penglihatan
kabur atau floaters. Diagnosis penyakit AIDS biasanya telah ditegakkan dan sering
ditemukan tampilan AIDS lainnya seperti retinopati CMV yang terdiri dari area retina
keputihan berhubungan dengan perdarahan disertai likenifikasi hingga terlihat seperti keju
softage. Lesi itu dapat mengancam makula atau lempeng optik dan biasanya terdapat
sedikit inflamasi pada vitreus4,7
Toxoplasma, kongenital
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu protozoa intrasel obligat. Lesi
ocular mungkin didapat in utero atau muncul sesudah infeksi sistemik. Gejala-gejala
konstitusional mungkin ringan dan mudah terlewatkan. Kucing peliharaan dan spesies
kucing lainnya berperan sebagai hospes definitif parasit ini. Wanita-rentan yang terkena
selama kehamilan dapat menularkan penyakit ke janinnya, yang bisa berakibat fatal.
Sumber infeksi pada manusia adalah ookista di tanah atau debu di udara, daging kurang
matang yang mengadnugn bradiozit (parasite bentuk kista), dan takizoit (bentuk
proliferative) yang ditularkan melalui plasenta. 7
Histoplasmosis 4
Diagnosis
Anamnesis8
Tujuan dilakukan klasifikasi adalah untuk membantu menegakkan diagnosis uveitis. Pada
klasifikasi tersebut, uveitis dibagi menjadi anterior, intermediet, posterior dan panuveitis. Gejala
uveitis posterior dapat berupa penglihatan buram terutama bila mengenai daerah sentral macula,
bitnik terbang (floater), mata jarang menjadi merah, fotofobia, tidak sakit, vitreous keruh.
Dalam menegakkan diagnosis, perlu diperhatikan apakah uveitis terjadi di satu mata atau di kedua
mata. Selain itu, perlu diperhatikan usia, ras, onset, durasi, tingkat keparahan gejala, riwayat
penyakit mata dan penyakit sistemik sebelumnya.
Uveitis posterior timbul perlahan namun dapat terjadi secara akut. Pasien mengeluh penglihatan
kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia. Komplikasi dapat berupa katarak,
glaucoma, kekeruhan vitreus, edema macula, kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio
retina dan atrofi nervus optik.
Pemeriksaan Fisik9
Slit-lamp
Digunakan untuk menilai segmen anterior karena dapat memperlihatkan injeksi siliar dan
episklera, skleritis, edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik mata,
hipopion serta kekeruhan lensa.
Pada uveitis posterior, pemeriksaan slit lamp mumnya tidak mennjukkan tanda peradangan,
sehingga seringkali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai
penglihatannya kabur.
Pemeriksaan Oftalmoskop Indirek
Ditujukan untuk menilai kelainan di segmen posterior, seperti vitritis, retinitis, perdarahan
retina, koroiditis dan kelainan papil nervus optik. Pada mata akan ditemukan kekeruhan di
dalam badan kaca, infiltrate dalam retina dan koroid. Edema papil, perdarahan retina, dan
vascular sheathing.
Pemeriksaan Laboratorium
Bermanfaat pada kelainan sistemik, misalnya darah perifer lengkap, laju endap darah,
serologi, urinalisis dan antinuclear antibody. Pemeriksaan laboratorium tidak bermanfaat
pada kondisi tertentu misalnya uveitis ringan dan trauma.
Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat dilakukan PCR, kultur dan tes serologi.
Sensitivitas serologi akan meningkat bila disertai pemeriksaan koefisien goldmann-witmer
yaitu membandingkan konsentrasi hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi darah.
Diagnosis pasti toksoplasmosis ditegakkan jika pemeriksaan IgM Toxoplasmamemberikan
hasil positif atau jika titer antibody IgG Toxoplasmosis meningkat secara bermakna atau
terjadi konversi IgG dari negative ke positif pada pemeriksaan kedua dengan interval 2-3
minggu. Pemeriksaan cairan intraokular dengan PCR sangat spesifik. Perbandingan kadar
IgG Toxoplasma cairan akuos dan serum cukup sensitive (8-90%)
Diagnosis tuberculosis ocular ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan mata, dan
pemeriksaan penunjang seperti rontgen toraks, tes tuberculin, dan pemeriksaan sputum
dengan pewarnaan ziehl-neelsen.
Pemeriksaan Serologi
Sifilis dibagi menjadi nontreponemal dan treponema. Serologi non treponema meliputi
venereal disease research laboratory (VDRL) dan rapid plasma reagen sedangkan serologi
treponema meliputi fluorescent treponemal antibody absorbed dan T.pallidum particle
agglutination.
Optical Coherence Tomography (OCT)
Merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperlihatkan edema makula,
membrane epiretinal, dan sindrom traksi vitreomakula. Saat ini telah dikembangkan high-
definition spectral domain OCT yang memberikan resolusi lebih tinggi dan waktu lebih
singkat dibandingkan time-domain OCT. Spectral-domain OCT bermanfaat pada uveitis
dengan media keruh.
USG B-Scan
Berfungsi untuk pemeriksaan segmen posterior mata pada keadaan media keruh misalnya
pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat membedakan ablasio retinae eksudatif dengan
regmatosa serta membedakan uveitis akibat neoplasma atau abses. USG B-scan dapat
menilai penebalan koroid seperti pada sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang tenon
yang sangat khas pada skleritis posterior
Fundus Fluoresen Angiografi (FFA)
FFA adalah fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah injeksi zat
warna natrium fluoresen (FNa) intravena. FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi
pembuluh darah retina dan koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi retina serta
menilai integritas pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina.
Fluoresen diekskresi dalam 24 jam dan pada waktu tersebut dapat menyebabkan urin
pasien berwarna oranye.
Tatalaksana9
Medikamentosa
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah untuk menekan reaksi inflamasi, mencegah dan
memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki fungsi penglihatan serta menghilangkan nyeri dan
fotofobia. Kortikosteroid topical merupakan terapi pilihan untuk mengurangi inflamasi yaitu
prednisolone 0,5%, prednisone asetat 1%, betametason 1%, deksametason 0,1%, dan
fluorometolon 0,1%.
Injeksi kortikosteroid periocular diberikan pada kasus yang membutuhkan depo steroid dan
menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid sistemik diberikan untuk
mengatasi uveitis berat atau uveitis bilateral. Penggunaan kortikosteroid harus dipantau karena
meningkatkan tekanan intraokular, menimbulkan katarak, glaucoma, dan meningkatkan risiko
infeksi bakteri dan jamur bila digunakan dalam jangka panjang. Kortikosteroid sistemik dosis
tinggi dan jangka panjang harus diturunkan secara perlahan.
Agen imunosupresan diberikan bila peradangan tidak embaik dengan kortikosteroid atau sebagai
obat pendamping agar kortikosteroid tidak digunakan untuk jangka waktu lama dan dosis tinggi.
Imunosupresan dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada penyakit behcet,
granulomatosis Wegener, dan skleritis nekrotik karena penyakit tersebut dapat mengancam jiwa.
Imunosupresan dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor sel T, dan sitotoksik. Golongan
antimetabolit adalah azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat mofetil. Supresor sel T meliputi
siklosporin dan takrolimus sedangkan golongan sitotoksik adalah siklofosfamid dan klorambusil.
Efikasi agen imunosupresan baru tercapai setelah beberapaminggu sehingga pada awal
penggunaan harus dikombinasi dengan kortikosteroid. Penghambat TNF-α diberikan pada
penyakit behcet sedangkan infliksimab dan adalimumab digunakan bila uveitis tidak membaik
dengan metotreksat.
NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sedangkan siklopegik diberikan untuk
mencegah sinekia posterior. Obat yang diberikan adalah siklopentolat 0,5-2% dan homatropine.
Sikloentolat menginduksi siklopegik dalam waktu 25-75 menit dan midriasis dalam 30-60 menit;
efek dapat bertahan selama satu hari. Homatropine merupakan terapi siklopegik pilihan untuk
uveitis; menginduksi siklopegik dalam 30-90 menit dan midriasis 10-30 menit. Efek sikloegik
bertahan 10-48 jam sedangkan midriasis bertahan 6 jam – 4 hari. Sulfas atropine diberikan sebagai
antiinflamasi dan midriatikum yang bertahan selama dua minggu.
Toksoplasmosis
Kotrimoksazol diberikan dengan dosis trimethoprim 160 mg/sulfametoksazol 800 mg dua kali
sehari selama 4-6 minggu. Klindamisin 300 mg empat kali sehari atau pirimetamin dapat
ditambahkan pada pemberian kotrimoksazol. Pirimetamin diberikan dengan loading dose 75-100
mg selama 1-2 hari diikuti dosis 25-50 mg per hari selama 4 minggu. Asam folinate 5mg tiga kali
seminggu diberikan untuk mengurangi trombositopenia, leukopenia dan defisiensi asam folat.
Sulfadiazine diberikan 1g empat kali sehari selama 3-4 minggu, biasanya dalam kombinasi dengan
pirimetamin. Pilihan lain adalah azitromisin 250-500 mg per hari dikombinasi dengan pirimetamin,
asam folinate dan prednisolone. Jika lesi terdapat di makula dan sekitarnya, diberikan prednisolone
1mg/kg berat badan sebagai terapi awal lalu dosis diturunkan bergantung respons klinis.
Pemberian prednisolone dimulai 24-48 jam setelah terapi antitoksoplasma.
Tuberkulosis Okular
Tatalaksana tuberkulosis ocular sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis mata bekerja sama
dengan spesialis paru. Pengobatan harus teratur dan dikontrol ketat agar memerikan hasil yang
baik. Kortikosteroid topical dan sistemik diberikan Bersama obat anti tuberculosis (OAT) untuk
mengurangi kerusakan jaringan mata akibat inflamasi terutama pada minggu-minggu awal
pengobatan. Kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa OAT karena mengakibatkan infeksi
meluas.
Terapi tuberculosis ocular sama dengan tuberculosis paru yaitu kombinasi isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol sebagai terapi awal selama dua bulan, dilanjutkan dengan regimen
alternatif selama 4 bulan. Lama pengobatan dapat diperpanjang pada kasus multi-drug resistance
atau pada individu yang memberikan respons lambat terhadap terapi. Pemberian OAT harus
berhati-hati karena dapat menimbulkan efek samping yang berat. Etambutol dapat menimbulkan
neuritis optik, diskromatopsia merah-hijau, scotoma sentral, edema diskus, dan atrofi optic.
Isoniazid, rifampisin, pirazinamid bersifat hepatotoksik dan isoniazid dapat menimbulkan
neuropati perifer.
Uveitis Bakterial
Pada uveitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotic diberikan selama 2-3 hari, setelah itu
dapat ditambahkan kortikosteroid untuk menekan inflamasi. Penisilin merupakan antibiotic lini
pertama untuk terapi sifilis dan diberikan setiap 4 jam selama 10-21 hari disertai kortikosteroid
untuk mengurangi inflamasi. Penisilin G benzatin diberikan 2.000.000-4.000 U IM setiap 4 jam
selama 10-14 hari dilanjutkan 2.400.000 U IM setiap minggu selama 3 minggu.
Uveitis Viral
Pengobatan VZV verupa asiklofir 800 mg 5 kali sehari dengan terapi suportif midriatikum dan
kortikosteroid untuk menekan inflamasi. HSV diobati dengan asiklovir 400 mg 5 kali sehari atau
famsiklovir dan valasiklovir. Prednisolone asetat 1% dan siklopegik diberikan sebagai terapi
suportif. Antivirus lainnya adalah valgansiklovir, gansiklovir, foskarnet, dan sidofovir.
Uveitis Fungal
Uveitis yang disebabkan oleh jamur diobati dengan tetes mata antijamur dan pada infeksi berat
diberikan antijamur sistemik. Tetes mata amfoterisin B 0,15% diberikan setiap jam. Antijamur
lainnya adalah tetes mata natamisin 5% tiap jam atau flukonazol 0,3% tiap jam dan salep mata
natamisin 5% tiga kali sehari. Obat antijamur oral yang dapat diberikan adalah flukonazol 400mg
per hari atau vorikonazol 2x200mg per hari, atau itrakonazol 400-600mg per hari apda
coccidiodimycosis. Infeksi Candida yang terbatas di koroid dan retina sangat jarang ditemukan;
Semagian besar berupa endoftalmitis. Pada kasus tersebut pilihan antijamur oral adalah flukonazol
400 mg per hari atau voriconazole 2x200 mg per hari. Pada infeksi di vitreus atau endoftalmitis
candida persisten, antijamur diberikan secara intravitreal yaitu amfoterisin B (5-10 ug/0,1 mL)
atau vorikonazol (100ug/0,1 mL).
Non Medikamentosa
Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki penglihatan. Operasi dilakukan pada kasus uveitis
yang telah tenang (teratasi) tetapi mengalami perubahan permanen akibat komplikasi seperti
katarak, glaucoma sekunder, dan ablasio retina. Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi
dan steroid intraokular atau periocular dapat diberikan pasca-operasi.
Kekeruhan vitreus sering terjadi pada uveitis intermediet dan posterior sedangkan neovaskularisasi
diskus optic dan retina sering menimbulkan perdarahan vitreus. Vitrektomi ditujukan untuk
memperbaiki tajam penglihatan bila kekeruhan menetap setelah pengobatan.
Katarak
Ablasio retina baik traksional, regmatogenous dan eksudatif sering terjadi pada uveitis posterior,
intermediate ataupun panuveitis. Ablasio retina eksudatif ditunjukkan adanya inflamasi koroidal
yang signifikan dan sering disebabkan oleh penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, oftalmia simpatetik
dan skleritis posterior atau terjadi retinitis ataupun retinal vaskulitis.
Penanganan katarak pada kasus uveitis bisa dilakukan dengan fakoemulsifikasi dengan implantasi
IOL in the bag. Pada kasus JRA terkait uveitis penanganan operasi katarak dilakukan dengan
menunggu ketenangan reaksi dalam 3 bulan, kemudian diberi steroid pre operasi selama 1 hingga
2 minggu. Dilakukan sinekiolisis dengan viskoelastik diikuti oleh kapsuloresis dan
fakoemulsifikasi serta implantasi IOL in the bag. Steroid diberikan hingga 5 bulan. Dianjurkan
menggunakan IOL akrilik hidrofobik. Penggunaan intraoperatif tiamsinolon asetonid 4 mg
intravitreal dapat mencegah terjadinya fibrin pasca bedah katarak dibandingkan dengan
penggunaan steroid intravenus intraoperatif.
Dapat terjadi pada setiap uveitis kronik khususnya pada pars planitis, panuveitis sarkoidosis,
beberapa variasi kasus vaskulitis retina termasuk penyakit ecles. Neovaskularisasi retina terjadi
pada radang kronis atau nonperfusi kapiler. Terapi dapat dilakukan dengan steroid atau
imunodulator atau fotokoagulasi laser scatter didaerah iskemik.
Neovaskularisasi kronik dapat berkembang pada uveitis posterior dan panuveitis pada umumnya
terjadi pada histoplasmosis, koroiditis pungtata, koroiditis multifaktor idiopatik serta koroiditis
serpiginosa. Terapi dilakukan dengan fotokoagulasi lokal peripapiler ditempat terjadi NUK.
Beberapa imunomodulator dapat dapat dikombinasi dengan anti VEGF seperti pegabtanid,
bevacizumab, ranibizumad.
Endoftalmitis
Dikaitkan dengan inflamasi bola mata yang melibatkan vitreus dan segmen depan namun
kenyataan juga dapat melibatkan koroid dan retina. Pada prinsipnya endoftalmitis dibagi 2 bentuk
yaitu infeksi dan noninfeksi.
Bentuk endoftalmitis yang paling sering dijumpai adalah endoftalmitis infeksi yang dapat terjadi
secara eksogen maupun endogen. Endoftalmitis infeksi disebut juga endoftalmitis steril
disebabkan oleh stimulus non- infeksi misalnya sisa massa lensa pasca operasi katarak / atau bahan
toksik yang masuk ke dalam bola mata karena trauma. Gejala klinik yang sering timbul adalah
penurunan tajam penglihatan, hipopion, vitritis. Penurunan tajam penglihatan mendadak dapat
berkisar mulai dari ringan hingga berat, nyeri sering menyertai kasus endoftalmitis, kadang didapat
hiperemia maupun kemosis konjungtiva dan terdapat udem pada kelopak mata dan kornea
Prognosis4
Uveitis umumnya berulang, penting bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan berkala dan cepat
mewaspadai bila terjadi keluhan pada matanya. Tetapi tergantung di mana letak eksudat dan dapat
menyebabkan atropi. Apabila mengenai daerah makula dapat menyebabkan gangguan penglihatan
yang serius. Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena
menurunkan tajam penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan baik.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Uveitis posterior merupakan penyebab kebutaan di negara berkembang. Tata laksana uveitis
bertujuan untuk menekan reaksi inflamasi, memperbaiki struktur dan fungsi penglihatan,
menghilangkan nyeri dan fotofobia. Obat yang dapat digunakan adalah kortikosteroid,
imunosupresan, NSAID, siklopegik, dan antimikroba bila terdapat infeksi. Penyakit ang mendasari
uveitis harus diatasi secara komprehensif untuk mencegah perburukan dan komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
1.lyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.
4. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14. Jakarta: Widya medika,
2000
5. Rao NA, Forster DJ. The Uvea Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower
Medical Publishing, 1992.
7. Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management
of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19
8. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas Diponegoro. 1993 :
75-6.
9. Sitompul R.Tinjauan pustaka: diagnosis dan penatalaksanaan uveitis dalam upaya mencegah
kebutaan.eJKI.2015.4(1):60-9