Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH PROBLEM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPA

KAJIAN PERMASALAHAN INTEGRASI PEMBELAJARAN


KEBENCANAAN DALAM KURIKULUM IPA SMP DAN ALTERNATIF
PEMECAHANNYA
HALAMAN JUDUL

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Zuhdan Kun Prasetyo, M.Ed

DISUSUN OLEH:
RIZKI ARUMNING TYAS
NIM. 18708251027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................................................... 1

Daftar Isi.................................................................................................................. 2

Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 3

A. Latar Belakang ............................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7

C. Tujuan .......................................................................................................... 7

Bab II Pembahasan .................................................................................................. 8

A. Permasalahan Integrasi Pembelajaran Kebencanaan ................................... 8

B. Alternatif Pemecahan Masalah Integrasi Pembelajaran Kebencanaan ...... 17

Bab III Penutup ..................................................................................................... 26

A. Kesimpulan ................................................................................................ 26

B. Saran ........................................................................................................... 28

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 29


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran, dengan tujuan agar peserta didik

dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif. Sekolah sebagai lembaga

pendidikan formal hendaknya membekali peserta didik dengan pengetahuan,

keterampilan dan sikap, serta nilai-nilai agar peserta didik mampu mengikuti

dan menanggapi arus perubahan yang terjadi. Era globalisasi menuntut

individu-individu yang kritis, kreatif, produktif, bertanggung jawab, serta

mampu berkolaborasi dengan kelompok lain. Hasil yang diharapkan dari

proses pembelajaran tidak terbatas pada tujuan instruksional berupa

penguasaan materi pembelajaran, melainkan juga tujuan pengiring yang

ditandai dengan tercapainya kemampuan, sikap, dan kebiasaan yang diperlukan

untuk mempelajari dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti

berpikir kritis, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, maupun toleransi. Upaya

mencapai tujuan instruksional maupun tujuan pengiring secara bersama-sama

adalah dengan menerapkan proses pembelajaran yang mendidik.

Paradigma pembelajaran yang mendidik adalah pembelajaran yang

menghasilkan dasar-dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,

pendidikan karakter, serta penguasaan softskill. Pembelajaran yang mendidik

dapat terlaksana dengan dukungan dari tenaga pendidik yang profesional.

Untuk menunaikan tugasnya, tenaga pendidik yang profesional setidaknya


memiliki empat kompetensi seperti yang tertuang dalam Undang Undang

Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, meliputi

kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan

kompetensi profesional. Kemampuan tenaga pendidik dalam

menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik didasarkan pada sub

kemampuan dalam merancang program pembelajaran yang memfasilitasi

pertumbuhan karakter, kemampuan mengimplementasikan program

pembelajaran yang mengoptimalkan pencapaian tujuan instruksional dan

tujuan pengiring demi tercapainya tujuan pendidikan yang utuh, kemampuan

mengakses hasil dan proses pembelajaran yang tercapai, serta kemampuan

memanfaatkan hasil asesmen terhadap proses dan hasil pembelajaran untuk

perbaikan pengelolaan pembelajaran secara berkelanjutan baik melalui

tindakan remidi maupun pengayaan.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat 19 Undang Undang

Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,

dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

tertentu. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan

Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun

2004 dan kurikulum 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan

keterampilan secara terpadu. Salah satu mata pelajaran yang harus dibelajarkan

secara terpadu adalah Ilmu Pengetahuan Alam.


Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan sekumpulan pengetahuan

tentang gejala alam yang disusun secara sistematis. Objek IPA meliputi alam

semesta dan isinya. Dalam lembaga pendidikan formal, IPA merupakan salah

satu mata pelajaran wajib yang harus dibelajarkan kepada peserta didik dari

tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pada tingkat pendidikan

dasar, IPA dibelajarkan secara tematik menggunakan tema tertentu yang

merupakan gagasan pokok untuk mengintegrasikan beberapa mata pelajaran.

Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi yakni pendidikan menengah, IPA

dibelajarkan dalam bentuk mata pelajaran IPA terpadu.

Hakikat pembelajaran terpadu adalah suatu pembelajaran yang

memungkinkan peserta didik baik secara individu maupun kelompok, untuk

aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik

dan otentik. Pendidikan IPA terpadu merupakan pembelajaran yang

memadukan, menggabungkan, dan mengintegrasikan pembelajaran IPA dalam

satu kesatuan pokok bahasan yang utuh. Salah satu langkah untuk membuat

pembelajaran IPA menjadi terpadu adalah mengemas pembelajaran IPA

dengan memadukan kompetensi dasar sehingga terbentuk tema, kemudian

tema tersebut dikaji dari sisi fisika, kimia, dan biologi. Hakikat IPA meliputi

empat unsur utama yaitu sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur itu

merupakan ciri IPA yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Oleh karena itu, pembelajaran IPA bukan sekedar mengumpulkan pengetahuan

tetapi harus melatihkan berbagai keterampilan proses dan menumbuhkan sikap

ilmiah.
Beriringan dengan hal tersebut, tujuan pendidikan hanya akan tercapai

apabila didukung dengan lingkungan yang kondusif. Namun, sebagaimana

diketahui, sebagai dampak dari wilayah Indonesia yang terletak pada

pertemuan tiga lempeng litosfer dunia dan dilalui oleh dua jalur pegunungan

dunia, hal tersebut menjadikan banyak gunung api di Indonesia. Dengan

demikian, Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan potensi bencana

vulkanik tertinggi di dunia dunia (Verstappen, 2010). Selain potensi bencana

vulkanik, kondisi tersebut juga menyebabkan tingginya kasus gempa bumi dan

tsunami. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana,

berikut adalah data jumlah kejadian kasus bencana alam di Indonesia pada

rentang waktu 2018 – 2019:

1800 1707
1600
1400 1234
1200 982
1000
800 588
600
400
58 130 62
200 47 2 1
0

Gambar 1. Data Jumlah Kejadian Bencana Alam di Indonesia pada Tahun


2018-2019
Mengingat hal tersebut, pembelajaran kebencanaan dipandang perlu

dilaksanakan dan diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran di

Indonesia, baik bagi tingkat dasar maupun tingkat menengah supaya peserta
didik dibekali sejak dini terkait dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.

Namun, pada pelaksanaannya, integrasi pembelajaran kebencanaan dalam

kurikulum pendidikan di Indonesia masih menemui berbagai permasalahan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, kajian yang lebih dalam dan sistematis

terkait permasalahan pengintegrasian pembelajaran kebencanaan dalam

pembelajaran IPA kurikulum 2013 di tingkat pendidikan dasar dan menengah

dipandang perlu dilakukan, guna mengetahui alternatif penyelesaian masalah

tersebut di atas.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang

diambil adalah sebagai berikut:

1. Apa permasalahan terkait pengintegrasian pembelajaran kebencanaan dalam

pembelajaran IPA kurikulum 2013?

2. Apa alternatif pemecahan masalah terkait pengintegrasian pembelajaran

kebencanaan dalam pembelajaran IPA kurikulum 2013?

C. TUJUAN

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan

penulisan makalah adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui berbagai permasalahan terkait pengintegrasian pembelajaran

kebencanaan dalam pembelajaran IPA kurikulum 2013.

2. Mengetahui alternatif pemecahan masalah terkait pengintegrasian

pembelajaran kebencanaan dalam pembelajaran IPA kurikulum 2013.


BAB II

PEMBAHASAN

A. PERMASALAHAN INTEGRASI PEMBELAJARAN KEBENCANAAN

DALAM KURIKULUM IPA SMP

Tingginya risiko bencana erupsi gunung api di Indonesia pada

umumnya menyebabkan masyarakat menjadi objek utama terdampak bencana

erupsi gunung api. Sudah sepantasnya masyarakat mengetahui kerentanan

risiko bencana tersebut, sehingga masyarakat dapat bertindak sebagai subjek

dalam usaha-usaha pengurangan risiko bencana. Pentingnya peningkatan

pemahaman terhadap risiko bencana harus ditanamkan kepada seluruh

komponen masyarakat, tidak terkecuali anak-anak usia sekolah. Bagi anak usia

sekolah, pendidikan dapat menjadi sarana yang efektif untuk membelajarkan

kebencanaan dan risikonya dengan memasukkan materi pelajaran tentang

bencana alam sebagai pelajaran wajib bagi setiap peserta didik terutama di

sekolah-sekolah yang berada di wilayah risiko bencana (Suarmika & Utama,

2017).

Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana pada pasal 6 menjelaskan bahwa tanggung jawab

pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi

pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan

program pembangunan. Pendidikan sebagai salah satu program pembangunan

dapat menjadi faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.

Institusi pendidikan dapat mengintegrasikan materi kebencanaan ke dalam


mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Menengah Pertama

(SMP).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 21

Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah, dijelaskan

bahwa kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan

menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah, dengan

berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan

penyusunan kurikulum yang dibuat oleh Badan Standarisasi Nasional

Pendidikan (BSNP). Adapun prinsip – prinsip pengembangan kurikulum

adalah sebagai berikut:

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan

peserta didik dan lingkungannya

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik

memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung

pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik

disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan

peserta didik serta tuntutan lingkungan.

2. Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik

peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa

membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial
ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib

kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta

disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat

antarsubstansi.

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan

seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu

semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan

memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan

seni.

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku

kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan

kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan,

dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan

pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik,

dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

5. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang

kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara

berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.


6. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum

mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal

dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang

selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan

kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling

mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Permasalahan pengintegrasian pembelajaran kebencanaan dalam

kurikulum IPA SMP sangatlah bervariasi. Permasalahan bisa dilihat dari

berbagai komponen pendukung pembelajaran, baik dari segi kurikulum, guru,

siswa, metode pembelajaran, materi pembelajaran, media pembelajaran,

maupun evaluasi pembelajaran. Adapun uraian mengenai permasalahan –

permasalahan tersebut yang dikaji berdasar prinsip pengembangan kurikulum

adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Permasalahan Integrasi Pembelajaran Kebencanaan dalam Kurikulum


IPA SMP

Prinsip Pengembangan Kurikulum Permasalahan Hasil Penelitian


Berpusat pada potensi, perkembangan, Berdasarkan penelitian yang
kebutuhan, dan kepentingan peserta dilakukan oleh Hiwasaki, Luna, &
didik dan lingkungannya Shaw (2014) menunjukkan bahwa 6
dari 10 negara paling berisiko terkena
Prinsip Pengembangan Kurikulum Permasalahan Hasil Penelitian
bencana alam berada di wilayah Asia
dan Asia Pasifik. Usaha untuk
mengurangi risiko masih difokuskan
pada perbaikan fasilitas dan
infrastruktur pelindung. Padahal,
disamping perkembangan fasilitas dan
infrastruktur, masyarakat juga harus
dibekali pengetahuan dan
keterampilan dalam penanganan
menghadapi bencana alam. Faktor
penting yang dapat meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap
tanggap bencana adalah integrasi
antara pengetahuan lokal dengan
pengetahuan dari luar, sehingga
masyarakat dapat dibekali dengan
berbagai keterampilan menghadapi
bencana alam. Potensi lokal masing-
masing daerah di Asia maupun Asia
Pasifik belum banyak digali,
kaitannya dengan penanganan
bencana alam. Masing-masing daerah
memiliki potensi lokal tersendiri
dalam penanganan bencana yang
secara khusus terjadi di wilayahnya.
Namun, potensi tersebut belum
banyak dimanfaatkan karena
terbatasnya pengetahuan masyarakat
terkait hal tersebut.
Beragam dan terpadu Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Ratiani et al. (2012)
Prinsip Pengembangan Kurikulum Permasalahan Hasil Penelitian
menunjukkan bahwa terdapat
bermacam-macam metode yang dapat
digunakan dalam pembelajaran
kebencanaan di dalam kelas, seperti
seminar, diskusi, studi ekskursi, kerja
kelompok, presentasi, studi kasus,
metode socrtatic, serta praktikum.
Untuk mendukung pembelajaran
dengan metode tersebut diperlukan
modul pembelajaran tematik yang
disusun secara sistematis sesuai
dengan jenis dan karakteristik masing-
masing bencana.
Tanggap terhadap perkembangan ilmu Berdasarkan penelitian yang
pengetahuan, teknologi, dan seni dilakukan oleh Rusilowati & Binadja
(2012) menunjukkan bahwa sebagian
besar guru setuju jika pembelajaran
kebencanaan disampaikan secara
terintegrasi dalam pelajaran IPA,
karena lebih memudahkan peserta
didik dalam memahami konsep
kebencanaan, tanpa harus
menambahkan mata pelajaran baru.
Namun, mereka menyadari masih
mengalami kesulitan ketika akan
mengajarkan kebencanaan alam
terintegrasi dalam mata pelajaran IPA.
Dalam konteks pendidikan,
pengintegrasian pembelajaran
kebencanaan dalam kurikulum IPA
diharapkan dapat membawa pesan
Prinsip Pengembangan Kurikulum Permasalahan Hasil Penelitian
bahwa untuk menggunakan sains ke
bentuk teknologi dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat diperlukan
pemikiran tentang berbagai
implikasinya pada lingkungan secara
fisik maupun mental. Dari integrasi
antara hal-hal tersebut, diharapkan
akan diperoleh pemikiran bahwa
pembelajaran IPA dapat
diintegrasikan dengan teknologi yang
bermanfaat bagi lingkungan, dalam
hal ini adalah kebencanaan.
Relevan dengan kebutuhan kehidupan Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Petal (2009)
menunjukkan bahwa pendidikan
kebencanaan merupakan bidang
praktik yang berakar pada organisasi
masyarakat, pembangunan
berkelanjutan, pengelolaan
lingkungan, kesehatan masyarakat,
dan pendidikan sains. Masyarakat
baik anak-anak maupun orang dewasa
merupakan agen paling penting dalam
keberhasilan pengurangan risiko
bencana. Namun, kebanyakan
masyarakat belum memiliki
kemampuan untuk berpikir secara
global dan belajar bertindak secara
lokal dalam hal integrasi pendidikan
kebencanaan. Berpikir secara global
menciptakan fokus pada prinsip dan
Prinsip Pengembangan Kurikulum Permasalahan Hasil Penelitian
pola, meliputi panggilan untuk
berbagi informasi, kerja sama, dan
kolaborasi. Belajar untuk bertindak
secara lokal menunjukkan perlunya
pemahaman dan tindakan
berkelanjutan dan menyerukan
hubungan yang kuat antara semua
agen-agen yang terlibat.
Menyeluruh dan berkesinambungan Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Medina (2015)
menunjukkan bahwa pelaksanaan
pendidikan kebencanaan harus
dilaksanakan secara menyeluruh
mencakup seluruh bencana yang ada.
Kategori bencana yang dicakup antara
lain bencana alam, seperti badai,
banjir, kebakaran hutan, gempa bumi,
tsumani, dan gunung meletus.
Bencana teknologi seperti kecelakaan
pesawat, kecelakaan di industri, serta
bencana nuklir. Bencana sipil dan
politik seperti terorisme dan
peperangan. Pendidikan kebencanaan
tidak boleh spesifik ke salah satu
bencana saja, sebab semua
masyarakat rentan terhadap semua
jenis bencana. Pendidikan
kebencanaan juga harus dilaksanakan
secara berkesinambungan. Namun,
masih terdapat masalah dalam
menciptakan model pembelajaran
Prinsip Pengembangan Kurikulum Permasalahan Hasil Penelitian
yang menyeluruh dan
bekesinambungan tersebut, terutama
terkait pada sintaks pembelajaran
yang harus dilakukan, hal ini
dikarenakan setiap bencana memiliki
karakteristik masing-masing.
Belajar sepanjang hayat Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Spiekermann,
Kienberger, Norton, Briones, &
Weichselgartner (2015) menunjukkan
bahwa pengetahuan adalah sesuatu
yang berkesinambungan. Pengetahuan
dapat dibuat dengan mengembangkan
pengetahuan yang sebelumnya sudah
ada. Oleh karena itu, pendidikan
kebencanaan seharusnya
memfasilitasi pembelajaran yang bisa
dilakukan sepanjang hayat dengan
tetap memperhatikan perkembangan
zaman.
Seimbang antara kepentingan nasional Berdasarkan penelitian yang
dan kepentingan daerah dilakukan oleh Alrazeeni (2015)
menegaskan bahwa bencana tidak
hanya menyebabkan hilangnya nyawa
dan kehancuran infrastruktur publik.
Tetapi, juga mengakibatkan berbagai
kekhawatiran yang ditakutkan dapat
menganggu stabilitas daerah maupun
nasional, sesuai dengan skala
bencana. Namun, berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan
Prinsip Pengembangan Kurikulum Permasalahan Hasil Penelitian
diperoleh bahwa pengetahuan dan
keterampilan masyarakat baik di
tingkat daerah maupun nasional
tentang kebencanaan masih sangat
rendah.

B. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH INTEGRASI

PEMBELAJARAN KEBENCANAAN DALAM KURIKULUM IPA SMP

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 22

Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah,

pembelajaran pada kurikulum 2013 berpusat pada peserta didik untuk

mendorong semangat belajar, motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi,

inovasi, dan kemandirian.

Berbagai permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tentunya

permasalahan tersebut memerlukan berbagai alternatif pemecahan yang efektif

dan dapat diterapkan. Adapun alternatif pemecahan masalah integrasi

pembelajaran kebencanaan dalam kurikulum IPA SMP yang ditawarkan adalah

sebagai berikut:

Tabel 2. Alternatif Pemecahan Masalah Integrasi Pembelajaran Kebencanaan


dalam Kurikulum IPA SMP

Permasalahan Alternatif Pemecahan Masalah


Diperlukan integrasi potensi lokal Pengembangan Local and indigenous
wilayah tertentu untuk menangani dan knowledge and practices Inventory,
menanggulangi risiko bencana yang Validation, and Establishing Scientific
terjadi di wilayah tersebut. Knowledge (LIVE Scientific
Knowledge) dimana terdapat integrasi
antara potensi lokal dengan
Permasalahan Alternatif Pemecahan Masalah
pembelajaran sains. Tahapan yang
dilalui meliputi identifikasi,
dokumentasi, dan validasi potensi
lokal wilayah tertentu yang kemudian
dintegrasikan dalam materi
pembelajaran sains. Setelah tahapan
tersebut selesai, kemudian mencari
konsep-konsep yang diterapkan dalam
kearifan lokal masyarakat wilayah
tertentu tersebut dari sudut pandang
ilmiah.
Diperlukan modul pembelajaran yang Pengembangan modul pembelajaran
mendukung berbagai aktifitas kegiatan terpadu yang didalamnya memuat
belajar mengajar yang terpadu dan berbagai jenis bencana alam, yang
mencakup seluruh jenis dan dilihat dari sudut pandang
karakteristik bencana alam. pengetahuan, keterampilan, maupun
sikap. Pengetahuan yang dimaksud
adalah materi detail tentang jenis
bencana alam yang dimaksud.
Keterampilan yang dimaksud adalah
keterampilan yang harus dimiliki oleh
peserta didik yang tinggal di wilayah
bencana terkait. Sedangkan sikap
yang dimaksud adalah sikap yang
harus diambil sebelum, saat, dan
sesudah bencana. Modul juga berisi
aktifitas yang dilakukan peserta didik
saat kegiatan belajar mengajar.
Diperlukan pembelajaran yang Pengembangan perangkat
menuntun peserta didik untuk pembelajaran dengan model
mengaitkan konsep sains dengan pembelajaran kebencanaan bervisi
Permasalahan Alternatif Pemecahan Masalah
unsur lain, seperti teknologi, yang SETS (Science, Environment,
berkaitan dengan lingkungan Technology, Society) yang terintegrasi
(kebencanaan) dan dapat diterapkan dalam mata pelajaran IPA. Perangkat
secara langsung dalam masyarakat. tersebut meliputi: (a) pemetaan SK
dan KD IPA , (b) Silabus, (c) RPP
termasuk LKS nya, (d) materi atau
bahan ajar, dan (e) alat evaluasi.
Kelima fitur model yang
dikembangkan dikemas dalam Buku
Ajar untuk Siswa dan Buku Petunjuk
Guru.
Diperlukan keterlibatan secara aktif Pengembangan ruang lingkup mitigasi
dari seluruh lini masyarakat, yang bencana dari tingkat sempit, medium,
kemudian terjadi integrasi pendidikan dan luas yang ditinjau dari penilaian
kebencanaan antara berbagai aspek dan perencanaan risiko, proteksi fisik
seperti: organisasi masyarakat, yang ditinjau dari sarana dan
pembangunan berkelanjutan, prasarana yang sudah ada maupun
pengelolaan lingkungan, kesehatan sarana dan prasarana baru,
masyarakat, dan pendidikan sains. ketersediaan infrastruktur, mitigasi
non struktural, dan faktor lingkungan.
Selain itu, aspek lain adalah
pengembangan kapasitas tanggap
bencana, meliputi faktor ketentuan
respon yang harus dilaksanakan dan
pengembangan kemampuan respon.
Pelatihan aspek – aspek tersebut
diberikan kepada seluruh lini
masyarakat, dengan harapan
pendidikan kebencanaan benar –
benar disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat.
Permasalahan Alternatif Pemecahan Masalah
Diperlukan sintaks pembelajaran yang Pengembangan model pembelajaran
mendukung pelaksanaan pendidikan yang mencakup 4 fase siklus
kebencanaan yang menyeluruh manajemen risiko bencana, meliputi
mencakup segala jenis bencana dan pencegahan atau mitigasi,
dilaksanakan secara kesiapsiagaan, tanggap bencana, dan
berkesinambungan. pemulihan pasca bencana.
Pencegahan atau mitigasi adalah
penghindaran dari dampak buruk atau
bahaya dengan mengurangi
kerentanan manusia terhadap bahaya
yang dapat menyebabkan cedera atau
penyakit. Ada berbagai macam tipe
mitigasi, seperti mitigasi struktural
dan non struktural. Kesiapsiagaan
berfokus pada tindakan yang
dilakukan sebelum atau selama tahap
awal bencana untuk mengurangi
dampak dan meningkatkan ketahanan
manusia. Kegiatan ini dapat
diwujudkan dengan planning,
simulasi, pelatihan, sosialisasi, dan
sebagainya. Tanggap bencana adalah
tindakan yang menyediakan layanan
darurat dan bantuan publik selama
atau segera setelah bencana, untuk
menyelamatkan nyawa, mengurangi
dampak kesehatan, memastikan
keselamatan publik dan menyediakan
kebutuhan dasar bagi orang-orang
yang terkena dampak. Tanggap
bencana termasuk evakuasi untuk
Permasalahan Alternatif Pemecahan Masalah
menghilangkan populasi yang terkena
dampak dari paparan atau risiko
bahaya. Sedangkan, pemulihan pasca
bencana adalah perbaikan,
pemugaran, dan peningkatan fasilitas,
infrastuktur, taraf hidup, dan kondisi
kehidupan masyarakat pasca bencana.
Diperlukan sarana prasarana Peningkatan sarana yang dapat
pendukung terlaksananya memfasilitasi peningkatan aplikasi
pembelajaran kebencanaan yang dapat dan efektivitas informasi dan
berlangsung terus menerus dan pengetahuan yang tersedia. Produksi
berkesinambungan. sumber pengetahuan yang lebih kuat
ditinjau dari konteks sosial dan
konteks keilmuan, dengan integrasi
pengetahuan lokal, mengingat bahwa
pengetahuan tetap diawali dari
pengalaman lokal yang dialami dan
dipahami dengan tetap
memperhatikan pemahaman tentang
prioritas daerah lokal tertentu dan
kebutuhan masyarakat, penyediaan
sarana prasarana komunikasi yang
meningkat dan beorientasi pada
target, serta pendekatan trans
disipliner.
Diperlukan sinergi dari seluruh Peningkatan kursus manajemen
komponen di tingkat daerah maupun bencana yang dapat dilakukan di
tingkat nasional dalam pengembangan berbagai jenjang pendidikan,
kurikulum pendidikan kebencanaan. pengembangan program pelatihan
manajemen bencana, serta latihan dan
simulasi yang dilakukan secara
Permasalahan Alternatif Pemecahan Masalah
berkala untuk membekali masyarakat
tentang pengetahuan dan sikap dalam
menghadapi bencana. Bencana tidak
dapat dicegah, tetapi bencana dapat
diminimalisir dengan cara – cara
tersebut di atas yang didukung dengan
progam – program yang dapat
dilaksanakan oleh pemerintah baik di
tingkat daerah maupun tingkat
nasional.

Implementasi pembelajaran kebencanaan di tingkat sekolah meliputi

tiga aspek, yakni pemberdayaan peran kelembagaan dan kapasitas komunitas di

tingkat sekolah, integrasi materi kebencanaan ke dalam kurikulum sekolah,

serta pembentukan kemitraan dari berbagai pihak guna mendukung

implementasi pendidikan kebencanaan di tingkat sekolah (Suarmika & Utama,

2017).

Pembelajaran kebencanaan di tingkat sekolah harus dikemas semenarik

mungkin dan menekankan pada keaktifan dan keterlibatan peserta didik dalam

proses pembelajaran. Pembelajaran juga harus menekankan pada bagaimana

peserta didik dapat mengenal potensi bencana serta mengurangi risiko bencana.

Pendekatan yang harus dilakukan dalam mengintegrasikan pembelajaran

kebencanaan dalam kurikulum meliputi buku pelajaran yang digunakan,

pendekatan proyek, pendekatan berbasis kompetensi, subjek khusus yang

dikembangkan secara terpusat, pendekatan simbiosis antara lingkungan


pendidikan dengan pendidikan sebagai pengembangan berkelanjutan, dan

pendekatan pada event – event tertentu (Selby & Kagawa, 2012).

Sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia, terdapat empat

kompetensi inti yang meliputi sikap spiritual, sikap sosial, dimensi

pengetahuan, serta dimensi keterampilan. Dengan mengintegrasikan

pembelajaran kebencanaan dalam kurikulum, dapat membentuk sikap spiritual

tentang besarnya peran agama dalam memahami penyebab terjadinya suatu

fenomena alam. Selain sikap spiritual, sikap sosial seperti peduli, pentingnya

menjaga lingkungan, disiplin, serta interaksi dengan lingkungan sekitar juga

akan terbentuk. Pengetahuan juga dapat terbentuk karena berbagai faktor,

seperti hubungan antara keluarga, teman sebaya, sekolah, serta pengaruh

lingkungan. Hal tersebut dapat mempengaruhi pembentukan pengetahuan

peserta didik. Keterampilan peserta didik dapat diwujudkan dalam mitigasi

bencana, baik pada saat pencegahan, pelaksanaan, maupun setelah terjadinya

bencana (Suarmika & Utama, 2017).

Sebagai tindak lanjut, perlu dikembangkan berbagai pembelajaran yang

dapat memfasilitasi pengintegrasian pembelajaran kebencanaan di tingkat

sekolah sehingga mampu mencapai tujuan utama, yakni pengurangan risiko

bencana. Pembelajaran kebencanaan harus didukung dengan model

pembelajaran yang menyenangkan dan menuntut aktivitas siswa, misalnya

simulasi permainan, kunjungan lapangan, percobaan, maupun pelatihan rutin

kebencanaan. Pembelajaran akan lebih terarah jika menekankan pada keaktifan

siswa, penggunaan model dan pendekatan pembelajaran pun dipilih dengan

mempertimbangkan keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran.


Berdasarkan uraian alternatif pemecahan masalah tersebut di atas, maka

alternatif pemecahan masalah integrasi pembelajaran kebencanaan dalam

kurikulum IPA SMP dapat dimulai dengan pembangunan sinergi dari seluruh

komponen di tingkat daerah maupun tingkat nasional dalam pengembangan

kurikulum pendidikan kebencanaan.

Setelah itu, diperlukan sarana prasarana pendukung terlaksananya

pembelajaran kebencanaan yang dapat berlangsung terus menerus dan

berkesinambungan. Pembelajaran kebencanaan juga menuntut keterlibatan

secara aktif dari seluruh lini masyarakat, yang kemudian terjadi integrasi

pendidikan kebencanaan antara berbagai aspek seperti organisasi masyarakat,

pembangunan berkelanjutan, pengelolaan lingkungan, kesehatan masyarakat,

dan pendidikan sains.

Setelah hal tersebut dipenuhi, kemudian bisa dilanjutkan dengan

penentuan model pelaksanaan pembelajaran, seperti pembelajaran yang

menuntun peserta didik untuk mengaitkan konsep sains dengan unsur lain,

seperti teknologi, yang berkaitan dengan lingkungan (kebencanaan) dan dapat

diterapkan secara langsung dalam masyarakat.

Selby & Kagawa (2012) menjelaskan bahwa terdapat beberapa model

pembelajaran yang dapat digunakan dalam mengintegrasikan pendididikan

kebencanaan di sekolah, seperti Interactive Learning, Affective Learning,

Inquiry Learning, Surrogate Experiential Learning, Field Experiential

Learning, serta Action Learning.

Untuk mencapai hal tersebut diperlukan modul pembelajaran yang

mendukung berbagai aktifitas kegiatan belajar mengajar yang terpadu dan


mencakup seluruh jenis dan karakteristik bencana alam yang sudah memuat

integrasi potensi lokal wilayah tertentu untuk menangani dan menanggulangi

risiko bencana yang terjadi di wilayah tersebut. Modul memuat sintaks

pembelajaran yang mendukung, menyeluruh, dan berkesinambungan.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Permasalahan integrasi pembelajaran kebencanaan dalam kurikulum IPA

SMP antara lain sebagai berikut:

a. Diperlukan integrasi potensi lokal wilayah tertentu untuk menangani dan

menanggulangi risiko bencana yang terjadi di wilayah tersebut.

b. Diperlukan modul pembelajaran yang mendukung berbagai aktifitas

kegiatan belajar mengajar yang terpadu dan mencakup seluruh jenis dan

karakteristik bencana alam.

c. Diperlukan pembelajaran yang menuntun peserta didik untuk mengaitkan

konsep sains dengan unsur lain, seperti teknologi, yang berkaitan dengan

lingkungan (kebencanaan) dan dapat diterapkan secara langsung dalam

masyarakat.

d. Diperlukan keterlibatan secara aktif dari seluruh lini masyarakat, yang

kemudian terjadi integrasi pendidikan kebencanaan antara berbagai aspek

seperti: organisasi masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pengelolaan

lingkungan, kesehatan masyarakat, dan pendidikan sains.

e. Diperlukan sintaks pembelajaran yang mendukung pelaksanaan

pendidikan kebencanaan yang menyeluruh mencakup segala jenis

bencana dan dilaksanakan secara berkesinambungan.


f. Diperlukan sarana prasarana pendukung terlaksananya pembelajaran

kebencanaan yang dapat berlangsung terus menerus dan

berkesinambungan.

g. Diperlukan sinergi dari seluruh komponen di tingkat daerah maupun

tingkat nasional dalam pengembangan kurikulum pendidikan

kebencanaan.

2. Alternatif pemecahan masalah integrasi pembelajaran kebencanaan dalam

kurikulum IPA SMP antara lain sebagai berikut:

a. Pengembangan Local and indigenous knowledge and practices

Inventory, Validation, and Establishing Scientific Knowledge (LIVE

Scientific Knowledge) dimana terdapat integrasi antara potensi lokal

dengan pembelajaran sains.

b. Pengembangan modul pembelajaran terpadu yang didalamnya memuat

berbagai jenis bencana alam, yang dilihat dari sudut pandang

pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.

c. Pengembangan perangkat pembelajaran dengan model pembelajaran

kebencanaan bervisi SETS (Science, Environment, Technology, Society)

yang terintegrasi dalam mata pelajaran IPA.

d. Pengembangan ruang lingkup mitigasi bencana dari tingkat sempit,

medium, dan luas yang ditinjau dari penilaian dan perencanaan risiko,

proteksi fisik yang ditinjau dari sarana dan prasarana yang sudah ada

maupun sarana dan prasarana baru, ketersediaan infrastruktur, mitigasi

non struktural, dan faktor lingkungan.


e. Pengembangan model pembelajaran yang mencakup 4 fase siklus

manajemen risiko bencana, meliputi pencegahan atau mitigasi,

kesiapsiagaan, tanggap bencana, dan pemulihan pasca bencana.

f. Peningkatan sarana yang dapat memfasilitasi peningkatan aplikasi dan

efektivitas informasi dan pengetahuan yang tersedia.

g. Peningkatan kursus manajemen bencana yang dapat dilakukan di

berbagai jenjang pendidikan, pengembangan program pelatihan

manajemen bencana, serta latihan dan simulasi yang dilakukan secara

berkala untuk membekali masyarakat tentang pengetahuan dan sikap

dalam menghadapi bencana.

B. SARAN

Sebagai Negara yang akrab dengan bencana alam, pendidikan berperan


penting dalam upaya preventif dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia.
Ditambah lagi komitmen Indonesia yang dimana salah satu prioritasnya adalah
membangun budaya keselamatan di semua tingkat pendidikan. Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang dianggap efektif dalam mengubah
pola pikir dan perilaku masyarakat. Pendidikan dapat membantu membentuk
pengetahuan, keterampilan dan sikap anak, yang nantinya akan berperan
sebagai agen peubah (agent of change) dalam masyarakat, untuk membentuk
budaya masyarakat sadar bencana. Diharapkan agar pemerintah Indonesia
bersama instansi terkait, terus bekerja sama dalam mengimplementasikan
kurikulum kebencanaan kedalam semua jenjang pendidikan, disesuaikan
dengan usia dan kapasitas anak dalam menghadapi keadaan darurat.
DAFTAR PUSTAKA

Alrazeeni, D. (2015). Saudi EMS Students’ Perception of and Attitudes toward


their Preparedness for Disaster Management. Journal of Education and
Practice, 6(35), 110–116.
Hiwasaki, L., Luna, E., & Shaw, R. (2014). Process for Integrating Local and
Indigenous Knowledge With Science for Hydro-Meteorological Disaster
Risk Reduction and Climate Change Adaptation in Coastal and Small
Island Communities. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10,
15–27. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2014.07.007
Medina, A. (2015). Promoting a Culture of Disaster Preparedness. Journal of
Business Continuity & Emergency Planning, 9(3), 281–290.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 21 Tahun 2016 tentang
Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.
Petal, M. (2009). Education in Disaster Risk Reduction. Journal of Disaster
Management: Global Challenges and Local Solutions, (October), 21.
Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/312489763
Ratiani, M., Kitiashvili, A., Labartkava, N., Sadunishvili, P., Tsereteli, E., &
Gvetadze, N. (2012). Teaching Disaster Risk Reduction With Interactive
Method: Head Teacher’s Guide. (W. King, Ed.). Georgia: National
Curriculum and Assessment Centre.
Rusilowati, A., & Binadja, A. (2012). Mitigasi Bencana Alam Berbasis
Pembelajaran Bervisi Science Environment Technology and Society.
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 8, 51–60. https://doi.org/ISSN: 1693-
1246
Selby, D., & Kagawa, F. (2012). Disaster Risk Reduction in School Curricula :
Case Studies from Thirty Countries. Barcelona, Spain: Novoprint SA.
Spiekermann, R., Kienberger, S., Norton, J., Briones, F., & Weichselgartner, J.
(2015). The Disaster Knowledge Matrix Reframing and Evaluating The
Knowledge Challenges in Disaster Risk Reduction. International Journal
of Disaster Risk Reduction, 13, 96–108.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2015.05.002
Suarmika, P. E., & Utama, E. G. (2017). Pendidikan Mitigasi Bencana di Sekolah
Dasar (Sebuah Kajian Analisis Etnopedagogi). Jurnal Pendidikan Dasar
Indonesia, 2(2), 18–24. https://doi.org/p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-
8435
Undang Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
Pub. L. No. 14 (2005). Indonesia: Undang Undang Republik Indonesia.
Retrieved from http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2016/02/uu-nomor-14-tahun-2005-ttg-guru-dan-dosen.pdf
Undang Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Pub. L. No. 24. Indonesia: Undang Undang Republik Indonesia.
Retrieved from https://www.bnpb.go.id/ppid/file/UU_24_2007.pdf
Verstappen, H. T. (2010). Indonesian Landforms and Plate Tectonics. Jurnal
Geologi Indonesia, 5(3), 197–207.

Anda mungkin juga menyukai