Oleh :
dr. Nadya Hambali
Pembimbing :
dr. I Kadek Wibawa
dr. Nyoman Putra Nuratha
2
ketok pada regio hipochondria dextra. Pemeriksaan Murphy sign (+). BU dalam batas
normal. Akral teraba hangat, CRT <2s.
Sampai di IGD pasien diberikan inj ketorolac kemudian disarankan untuk dirawat inap dan
dikonsulkan ke dokter spesialis bedah.
3
2. Riwayat pengobatan:
Mengonsumsi obat yang dibawakan dari kontrol Poli Penyakit Dalam terakhir: Cravox 1
x 500 mg, Metronidazol 3 x 500 mg, Sanmol 3 x 500mg, Estazor 3 x 1, Omeprazol 2 x 1.
3. Riwayat kesehatan/penyakit:
Sudah pernah di opname 1 minggu yang lalu dengan keluhan yang sama dengan diagnosis
kolelitiasis dan kolesisitis akut, pemeriksaan USG (+).
4. Riwayat keluarga:
-
5. Riwayat Alergi :
-
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik:
Pasien tinggal bersama keluarganya di lungkungan tempat tinggal yang bersih dan
nyaman.
Hasil Pembelajaran:
1. Kolelitiasis
2. Kolesistitis akut
4
Rangkuman
1. Subyektif:
Pasien datang ke IGD RSU Premagana dengan keluhan nyeri perut
kanan atas sejak 2 jam yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul selama 1 bulan
terakhir, nyeri juga dirasakan menjalar sampai ke daerah bahu dan mengganggu
aktivitas. Nyeri biasanya timbul sekitar setengah jam setelah pasien makan.
Nyeri bertambah saat melakukan aktivitas dan berkurang saat pasien berbaring.
Pasien mengaku sudah 1 bulan terakhir sering terasa mual terutama setelah
makan makanan berlemak, terkadang muntah dengan frekuensi 1 kali sehari isi
cairan dan sisa makanan. Pasien demam sejak 2 hari yang lalu.
2. Obyektif:
Pada pemeriksaan fisik, Pasien tampak sakit berat CM, dengan tekanan
darah 150/90 , nadi 110x/menit, kecepatan respirasi 26x/menit suhu 36.5oC dan
Sp O2 97%. Status gizi pasien dalam kategori overweight (IMT 28,7).
Conjungtiva tidak anemis, mukosa bibir tidak terlihat pucat faring hiperemis,
T1/T1 KGB Tidak teraba, thorax dalam batas normal tidak ada suara nafas
tambahan. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas dan
nyeri ketok pada regio hipochondria dextra. Pemeriksaan Murphy sign (+). BU
dalam batas normal. Akral teraba hangat, CRT <2s.
3. Assessment :
Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu.
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya. Koledokolitiasis biasanya terjadi saat batu empedu keluar dari
kandung empedu dan masuk ke duktus biliaris komunis.
Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung
empedu yang paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat
adanya kolelitiasis, yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam.
5
4. Patofisiologi
Batu empedu adalah suatu bahan keras berbentuk bulat, oval, ataupun
bersegi-segi yang terdapat pada saluran empedu dan mengandung kolesterol,
kalsium karbonat, kalsium bilirubin, ataupun campuran dari elemen-elemen
tersebut. Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%)
sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu
(kolesistitis akut akalkulus).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi
iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme
pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,
sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak
dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,
6
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium.
Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang
akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu.
Gambar 1. Patofisiologi
kolesistisis akut yang
disebabkan kolelitiasis.
7
batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Nyeri dapat menjalar hingga region
interskapular, atau ke bahu kanan. Mual dan muntah sering kali berkaitan
dengan serangan kolik biliaris.
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta
kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif.
Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien
melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan
fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang
dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran
kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas
abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus
dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang
hanya berupa mual saja.
8
6. Diagnosis
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin;
tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu. Tujuan diagnosis adalah
menentukan lokasi dari obstruksi batu dan pemilihan tipe intervensi yang tepat
untuk dilakukan.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan kolelitiasis terjadi
leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per
mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit
meningkat [kurang dari 85,5 μmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25
% pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang
dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25
% pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan
untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat
meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan
perforasi kandung empedu dipertimbangkan.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain.
Gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda
sonographic Murphy.
7. Penatalaksanaan
Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun secara operatif.
Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat menekan
sintesis dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di usus.
Ursodiol (asam ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu radiolusens
yang berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani
kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan
9
sekresi asam empedu endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak
mempengaruhi sekrresi fosfolipid ke dalam cairan empedu.
Setelah pemberian dosis berulang, obat akan mencapai kondisi
seimbang setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah 8-
10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan
waktu 6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni
merupakan batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar 50 %
dalam 5 tahun.
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave
Lithotripsy (ESWL). ESWL merupakan terapi yang cocok untuk pasien
dengan batu soliter berdiameter 0.5 -2 cm, dan angka rekurennya lebih rendah
dibandingkan terapi oral. Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun
yang lalu, namun saat ini hanya digunakan pada pasien yang benar-benar
dianggap perlu menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal. Supaya
efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi akibat
adanya batu empedu, kecuali usia atau kondisi umum pasien tidak
memungkinkan dilakukannya operasi Kolesistektomi adalah penatalaksanaan
yang definitif untuk batu empedu simtomatik. Kolesistektomi terbuka
merupakan penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan
kronik. Namun, dua dekade terakhir kolesistektomi laparoskopi telah
mengambil alih peran kolesistektomi terbuka, dengan prosedur minimal
invasif.
10
Elektif
• Diskinesia biliaris
• Kolesistitis kronik
• Kolelitiasis simpomatik
11
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50
% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah.
12
Daftar Pustaka
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J Long
Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.
4. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile
Ducts, dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-
1736, Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill, 1998.
5. Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro-
enterology, Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-678,
Appleton & Lange, 1996.
6. Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and Biliary Diseases,
Edisi II, hal 673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins, 1996.
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
8. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
9. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
10. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
12. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
13. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
13
14. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
14