Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS 1

KOLESISTISIS DAN KOLELITIASIS

Oleh :
dr. Nadya Hambali

Pembimbing :
dr. I Kadek Wibawa
dr. Nyoman Putra Nuratha

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP


RSU PREMAGANA GIANYAR
2018-2019
Nama Peserta: Nadya Hambali, dr.
Nama Wahana: RSU Premagana
Topik: Kolelitiasis dan Kolesistisis
Tanggal (kasus): 27 September 2018
Nama Pasien: Tn. IBKRP No. RM : 101416
Tanggal Presentasi: 9 Oktober 2018 Nama Pendamping: Kadek Wibawa, dr. , Putra
Nurartha, dr.
Tempat Presentasi: Ruang Komite Medik RSU Premagana
Obyektif Presentasi:
 Keilmuan O Keterampilan O Penyegaran O Tinjauan Pustaka
 Diagnostik O Manajemen O Masalah O Istimewa
O Neonatus O Bayi O Anak O Remaja  Dewasa O Lansia O Bumil
Deskripsi:
Pasien datang ke IGD RSU Premagana dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 2 jam
yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul selama 1 bulan terakhir, nyeri juga dirasakan
menjalar sampai ke daerah bahu dan mengganggu aktivitas. Nyeri biasanya timbul sekitar
setengah jam setelah pasien makan. Nyeri bertambah saat melakukan aktivitas dan berkurang
saat pasien berbaring. Pasien mengaku sudah 1 bulan terakhir sering terasa mual terutama
setelah makan makanan berlemak, terkadang muntah dengan frekuensi 1 kali sehari isi cairan
dan sisa makanan. Pasien demam sejak 2 hari yang lalu, namun tidak menggigil. BAK
berwarna kuning, BAB 2 kali sehari, warna coklat konsistensi lunak. Pasien mempunyai
kebiasaan minum alkohol dan merokok. Pasien sering makan makanan berlemak dan goreng-
gorengan.
Pasien mengaku memiliki riwayat keluhan yang sama sejak 1 bulan ini dan sudah berobat ke
dokter spesialis dalam. Pasien sudah pernah melakukan pemeriksaan USG intra-abdomen
dan didapatkan adanya multiple kolelitiasis berukuran 1,42 cm. Pasien sudah menjalani
pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik, Pasien tampak sakit berat CM, dengan tekanan darah 150/90 , nadi
110x/menit, kecepatan respirasi 26x/menit suhu 36.5oC dan Sp O2 97%. Status gizi pasien
dalam kategori overweight (IMT 28,7). Conjungtiva tidak anemis, mukosa bibir tidak terlihat
pucat faring hiperemis, T1/T1 KGB Tidak teraba, thorax dalam batas normal tidak ada suara
nafas tambahan. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri

2
ketok pada regio hipochondria dextra. Pemeriksaan Murphy sign (+). BU dalam batas
normal. Akral teraba hangat, CRT <2s.
Sampai di IGD pasien diberikan inj ketorolac kemudian disarankan untuk dirawat inap dan
dikonsulkan ke dokter spesialis bedah.

Tujuan: mendiagnosis, menatalaksana, dan menganalisis permasalahan yang dialami pasien


Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka O Riset  Kasus O Audit
Cara membahas: O Diskusi Presentasi & diskusi O Email O Pos

Data pasien: Nama: Tn. IBKRP Nomor Registrasi: 101416


Nama ruangan: Instalasi Gawat Telp: - Terdaftar sejak: -
Darurat
Data untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/gambaran klinis:
Pasien datang ke IGD RSU Premagana dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 2 jam
yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul selama 1 bulan terakhir, nyeri juga dirasakan
menjalar sampai ke daerah bahu dan mengganggu aktivitas. Nyeri biasanya timbul sekitar
setengah jam setelah pasien makan. Nyeri bertambah saat melakukan aktivitas dan
berkurang saat pasien berbaring. Pasien mengaku sudah 1 bulan terakhir sering terasa
mual terutama setelah makan makanan berlemak, terkadang muntah dengan frekuensi 1
kali sehari isi cairan dan sisa makanan. Pasien demam sejak 2 hari yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
TTV: TD 150/90, N 110x/menit, RR 26 x/menit, S 36.5 oC, IMT 28,7 (overweight)
Tampak sakit berat, CM, E4 V5 M6
Kepala : normosefali,
Mata : anemis -/-, ikterik -/- angioedema (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP normal.
THT : TF dalam batas normal
Thorax : Bentuk gerak simetris, VBS ka-ki, rh -/-, S1, S2, murmur (-)
Abdomen : Hepar lien tidak teraba membesar. Terdapat nyeri tekan, nyeri lepas dan
nyeri ketok (+) regio hipokondria dextra, Murphy sign (+).
Ekstremitas : Akral teraba hangat , CRT < 2 s

3
2. Riwayat pengobatan:
Mengonsumsi obat yang dibawakan dari kontrol Poli Penyakit Dalam terakhir: Cravox 1
x 500 mg, Metronidazol 3 x 500 mg, Sanmol 3 x 500mg, Estazor 3 x 1, Omeprazol 2 x 1.
3. Riwayat kesehatan/penyakit:
Sudah pernah di opname 1 minggu yang lalu dengan keluhan yang sama dengan diagnosis
kolelitiasis dan kolesisitis akut, pemeriksaan USG (+).
4. Riwayat keluarga:
-
5. Riwayat Alergi :
-
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik:
Pasien tinggal bersama keluarganya di lungkungan tempat tinggal yang bersih dan
nyaman.
Hasil Pembelajaran:
1. Kolelitiasis
2. Kolesistitis akut

4
Rangkuman
1. Subyektif:
Pasien datang ke IGD RSU Premagana dengan keluhan nyeri perut
kanan atas sejak 2 jam yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul selama 1 bulan
terakhir, nyeri juga dirasakan menjalar sampai ke daerah bahu dan mengganggu
aktivitas. Nyeri biasanya timbul sekitar setengah jam setelah pasien makan.
Nyeri bertambah saat melakukan aktivitas dan berkurang saat pasien berbaring.
Pasien mengaku sudah 1 bulan terakhir sering terasa mual terutama setelah
makan makanan berlemak, terkadang muntah dengan frekuensi 1 kali sehari isi
cairan dan sisa makanan. Pasien demam sejak 2 hari yang lalu.
2. Obyektif:
Pada pemeriksaan fisik, Pasien tampak sakit berat CM, dengan tekanan
darah 150/90 , nadi 110x/menit, kecepatan respirasi 26x/menit suhu 36.5oC dan
Sp O2 97%. Status gizi pasien dalam kategori overweight (IMT 28,7).
Conjungtiva tidak anemis, mukosa bibir tidak terlihat pucat faring hiperemis,
T1/T1 KGB Tidak teraba, thorax dalam batas normal tidak ada suara nafas
tambahan. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas dan
nyeri ketok pada regio hipochondria dextra. Pemeriksaan Murphy sign (+). BU
dalam batas normal. Akral teraba hangat, CRT <2s.
3. Assessment :
Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu.
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya. Koledokolitiasis biasanya terjadi saat batu empedu keluar dari
kandung empedu dan masuk ke duktus biliaris komunis.
Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung
empedu yang paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat
adanya kolelitiasis, yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam.

5
4. Patofisiologi
Batu empedu adalah suatu bahan keras berbentuk bulat, oval, ataupun
bersegi-segi yang terdapat pada saluran empedu dan mengandung kolesterol,
kalsium karbonat, kalsium bilirubin, ataupun campuran dari elemen-elemen
tersebut. Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%)
sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu
(kolesistitis akut akalkulus).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi
iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme
pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,
sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak
dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,

6
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium.
Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang
akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu.

Gambar 1. Patofisiologi
kolesistisis akut yang
disebabkan kolelitiasis.

5. Tanda dan Gejala


Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis,
nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Biasa batu
empedu dijumpai ketika dilakukan pemeriksaan USG dan dijumpai
asimtomatik pada 80% pasien, pasien akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun.
Kolik yang diakibatkan oleh obstruksi transien dari batu empedu
merupakan keluhan utama pada 70-80% pasien. Keluhan utamanya berupa
nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah
makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh

7
batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Nyeri dapat menjalar hingga region
interskapular, atau ke bahu kanan. Mual dan muntah sering kali berkaitan
dengan serangan kolik biliaris.
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta
kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif.
Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien
melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan
fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang
dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran
kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas
abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus
dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang
hanya berupa mual saja.

8
6. Diagnosis
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin;
tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu. Tujuan diagnosis adalah
menentukan lokasi dari obstruksi batu dan pemilihan tipe intervensi yang tepat
untuk dilakukan.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan kolelitiasis terjadi
leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per
mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit
meningkat [kurang dari 85,5 μmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25
% pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang
dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25
% pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan
untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat
meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan
perforasi kandung empedu dipertimbangkan.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain.
Gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda
sonographic Murphy.

7. Penatalaksanaan
Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun secara operatif.
Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat menekan
sintesis dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di usus.
Ursodiol (asam ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu radiolusens
yang berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani
kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan

9
sekresi asam empedu endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak
mempengaruhi sekrresi fosfolipid ke dalam cairan empedu.
Setelah pemberian dosis berulang, obat akan mencapai kondisi
seimbang setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah 8-
10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan
waktu 6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni
merupakan batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar 50 %
dalam 5 tahun.
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave
Lithotripsy (ESWL). ESWL merupakan terapi yang cocok untuk pasien
dengan batu soliter berdiameter 0.5 -2 cm, dan angka rekurennya lebih rendah
dibandingkan terapi oral. Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun
yang lalu, namun saat ini hanya digunakan pada pasien yang benar-benar
dianggap perlu menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal. Supaya
efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi akibat
adanya batu empedu, kecuali usia atau kondisi umum pasien tidak
memungkinkan dilakukannya operasi Kolesistektomi adalah penatalaksanaan
yang definitif untuk batu empedu simtomatik. Kolesistektomi terbuka
merupakan penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan
kronik. Namun, dua dekade terakhir kolesistektomi laparoskopi telah
mengambil alih peran kolesistektomi terbuka, dengan prosedur minimal
invasif.

Tabel 1. Indikasi Kolesistektomi


Indikasi Kolesistektomi
Urgensi (dalam 24-72 jam)
• Kolesistitis akut
• Kolesistitis emfisema
• Empiema kandung empedu
• Perforasi kandung empedu
• Riwayat koledokolitiasis

10
Elektif
• Diskinesia biliaris
• Kolesistitis kronik
• Kolelitiasis simpomatik

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk


kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di
rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat
total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan,
koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan
antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan
ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan
kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli,
Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi.
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan
Ampisilin/Sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi
ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6
jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500
mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik
atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat
membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis
aliran empedu lebih lanjut.
Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak
dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang
stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG,
penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik
dan analgesik yang sesuai.

11
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50
% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah.

12
Daftar Pustaka
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J Long
Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.
4. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile
Ducts, dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-
1736, Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill, 1998.
5. Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro-
enterology, Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-678,
Appleton & Lange, 1996.
6. Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and Biliary Diseases,
Edisi II, hal 673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins, 1996.
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
8. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
9. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
10. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
12. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
13. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.

13
14. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.

14

Anda mungkin juga menyukai