Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“EKSPERIMEN – EKSPERIMEN DASAR”

DISUSUN OLEH

KELAS: B:

KELOMPOK 4

NAMA ANGGOTA:

LAIYINATUL AFIDAH 11171020000033


SHANIFA DIAN MURDEDI 11171020000036
DEA YULIA FITRIS 11171020000041
SAKINAH RAMADHANI FARDIANI 11171020000048
TIFANY PUTRI SAHARA 11171020000049
NADHIA PUTRI KARIMAH 11171020000050

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA / 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktikum “Eksperiman-
Eksperimen Dasar” ini dengan baik.

Kami menyadari laporan praktikum ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki kesalahan-
kesalahan yang ada.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu dalam proses pembuatan laporan praktikum ini, sehingga dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
tim dosen pengajar matakuliah Praktikum Farmakologi yang telah memberikan
arahan dan bimbingannya.

Ciputat, Maret 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu farmakologi memudahkan para tenaga kesehatan untuk


mempelajari peran penting obat bagi makhluk hidup. Penggunaan obat pada
makhluk hidup memiliki ketentuan-ketentuan tertentu untuk memaksimalkan
kerja obat dalam tubuh. Salah satunya dengan memerhatikan teknik-teknik
pemberian obat melalui beberapa rute yang berbeda. Rute pemberian obat
dapat memengaruhi jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam
waktu tertentu dan berbeda-beda dalam tubuh.

Rute pemberian obat yan dipelajari pada praktikum ini, antara lain
melalui oral (mulut), subkutan (bawah kulit), intramuskular (di dalam otot),
dan intraperitoneal (abdomen bawah). Praktikan memberikan perlakuan
terhadap mencit untuk mengetahui rute pemberian obat dengan absorpsi cepat
dan mencapai lokasi kerjanya. Memilih rute penggunaan obat tergantung dari
tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu
mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik.
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya
lama.
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus.
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute.
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui
bermacam-macam rute.
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

1.2 Tujuan

Setelah menyelesaikan praktikum di laboratorium, mahasiswa diharapkan :


1. Terampil bekerja dengan beberapa hewan percobaan, antara lain:
mencit, tikus, dan kelinci.
2. Dapat mengaplikasikan prinsip farmakologi yang diperoleh secara
teoritis.
3. Mampu menerapkan dan memodifikasi metode-metode farmakologi
untuk penilaian efek obat.
4. Mampu memberikan penilaian terhadap hasil-hasil eksperimen yang
diperoleh.
5. Mampu memberikan tafsiran mengenai implikasi praktis dan hasil-
hasil eksperimen.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Diazepam

Diazepam adalah obat golongan benzodiazepine yang berfungsi


sebagai obat sedatif-hipnotis. Diazepam berbentuk serbuk hablur, hampir
putih sampai kuning; praktis tidak berbau. Diazepam praktis tidak larut
dalam air; mudah larut dalam kloroform; larut dalam etanol. (Anonim,
1995)

Diazepam diabsorpsi lebih cepat dibandingkan dengan


benzodiazepin lain yang umum digunakan. Diazepam memiliki waktu
paruh eliminasi 20-80 jam dan mencapai kadar maksimalnya pada darah
setelah 1-2 jam. Diazepam dieksresi pada ginjal. (Katzung, 2007)

Diazepam umumnya digunakan untuk pasien dengan gangguan


kecemasan, insomnia, epilepsi atau kejang lainnya, tegang otot pada pasien
dengan kelainan neuromuskular, dan pasien yang sedang dioperasi maupun
sebelum dioperasi. (Katzung, 2007)

Dosis terapi untuk diazepam adalah 2,5,10mg tablet, 1,5mg/ml


larutan, dan 5mg/ml untuk injeksi (Katzung,2007)

2.2 Faktor yang memengaruhi efek obat

Efek obat terhadap tubuh dipengaruhi oleh banyak faktor


diantaranya rute pemberian obat, motilitas saluran pencernaan, bentuk
obat, interaksi obat, kelarutan obat, dan bioavailibitas obat.

2.2.1. Rute Pemberian Obat

Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang


memengaruhi efek obat karena karakteristik lingkungan fisiologis
anatomi yang berbeda pada daerah kontak mula obat dan tubuh.
Karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda,
struktur anatomi dari lingkungan kontak area obat-tubuh yang
berbeda, dan enzim-enzim yang berbeda. Hal ini menyebabkan
jumlah obat yang dapat mencapai lokasinya dan efek terapi yang
diberikan obat akan berbeda tergantung oleh rute pemberian obat.
(Yardi, 2019)
A. Pemberian Oral
Obat diberikan melalui mulut menggunakan alat bantu
yang disebut kanula.
B. Pemberian Subkutan
Obat disuntikkan di bawah kulit tengkuk atau abdomen.
C. Pemberian Intraperitoneal
Obat disuntikkan pada abdomen bagian bawah.
D. Pemberian Intramuscular
Obat disuntikkan pada paha belakang kiri mencit.
E. Pemberian Intravena
Obat disuntikkan pada ekor mencit.
F. Pemberian Rektal
Obat diberikan menggunakan kateter melalui rektal
mencit. Sebelum digunakan, kateter dibasahi terlebih dahulu
dengan paraffin atau gliserol.
BAB III

METODE KERJA

3.1. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain:
a) Mencit
b) Kandang mencit
c) Sarung tangan
d) Masker
e) Kanulla
f) Jarum suntik
g) Timbangan mencit

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain:


a) Diazepam

Hewan yang digunakan:


Hewan yang digunakan dalam praktikum ini adalah mencit betina
dengan berat badan 24, 25, dan 26 gram.

3.2. Prosedur Kerja

3.2.1 Rute Pemberian Obat Secara Oral

a) Tikus dipegang pada tengkuknya.


b) Jarum oral telah dipasang pada alat suntik berisi obat.
c) Jarum oral diselipkan dekat ke langit-langit tikus dan diluncurkan
masuk ke esofagus.
d) Larutan didesak ke luar dari alat suntik; kepada tikus.
e) Secara oral, dapat diberi maksimal 5 ml/100 g bobot tubuhnya.
3.2.2 Rute pemberian obat secara intraperitoneal

a) Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi


abdomen lebih tinggi dari kepala.
b) Lalu larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus.
3.2.3 Rute pemberian obat secara intramuskuler

a) Larutan obat disuntikkan ke dalam otot paha kiri belakang.


b) Selalu dicek apakah jarum tidak masuk ke dalam vena dengan
menarik kembali piston.

3.2.4 Rute pemberian obat secara subkutan

a) Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau


abdomen.
b) Seluruh jarum langsung ditusukkan ke bawah kulit dan larutan obat
didesak keluar dari alat suntik.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Percobaan

A. Rute pemberian obat secara oral (kelompok 1)

 Menentukan dosis mencit

Diketahui :
Berat mencit : 24 gram = 0,024 kg
Dosis diazepam : 30 mg/60 kg (manusia)
Konsentrasi diazepam : 10 mg/2 ml
Ditanya : Berapakah dosis mencit?
Jawab :

hewan ( km )
HED=dosis hewan ( mgkg )× manusia ( km )

30 mg 3
=dosishewan ×
60 kg 37

Dosis hewan = 6,17 mg/kg,

mg
VAO=
berat ( kg ) × dosis ( kgBB )
mg
konsentrasi( )
ml

0,024 kg ×6,17 mg/kg


VAO=
10 mg
2 ml

VAO = 0,03 ml.

 Pengamatan setelah pemberian oral

Waktu (menit) Respon setelah


pemberian obat
0 Normal, aktif
5 Normal, aktif
10 Keaktifan mulai menurun
20 Diam menyendiri,
waspada
45 Diam menyendiri,
waspada menurun

B. Rute pemberian obat secara intraperitoneal (kelompok 2)

 Menentukan dosis mencit

Diketahui :
Berat mencit : 25 gram = 0,025 kg
Dosis diazepam : 30 mg/60 kg (manusia)
Konsentrasi diazepam : 10 mg/2 ml
Ditanya : Berapakah dosis mencit?
Jawab :

hewan ( km )
HED=dosis hewan ( mgkg )× manusia ( km )

30 mg 3
=dosishewan ×
60 kg 37

Dosis hewan = 6,17 mg/kg,

mg
VAO=
berat ( kg ) × dosis ( kgBB )
mg
konsentrasi( )
ml

0,025 kg × 6,17 mg/kg


VAO=
10 mg
2 ml

VAO = 0,03 ml.

 Pengamatan setelah pemberian oral

Waktu (menit) Respon setelah


pemberian obat
1 Mulai diam
2 Mulai hilang
keseimbangan dengan
stimulasi
3 Masih bisa berjalan
dengan stimulasi, namun
sudah lemas
8 Bila dipi
45 Diam menyendiri,
waspada menurun

C. Rute pemberian obat secara intramuscular (kelompok 3)

 Menentukan dosis mencit

Diketahui :
Berat mencit : 25 gram = 0,025 kg
Dosis diazepam : 30 mg/60 kg (manusia)
Konsentrasi diazepam : 10 mg/2 ml
Ditanya : Berapakah dosis mencit?
Jawab :

hewan ( km )
HED=dosis hewan ( mgkg )× manusia ( km )

30 mg 3
=dosishewan ×
60 kg 37

Dosis hewan = 6,17 mg/kg,

mg
VAO=
berat ( kg ) × dosis ( kgBB )
mg
konsentrasi( )
ml

0,025 kg × 6,17 mg/kg


VAO=
10 mg
2 ml

VAO = 0,03 ml.

 Pengamatan setelah pemberian oral

Respon setelah
Waktu (menit)
pemberian obat
1 Perilaku mulai berubah
2,5 Mulai susah berjalan
4 Mulai lemas
9 Mulai diam
13,5 Diam dan tidak bergerak
Ketika diberi rangsangan,
20
merespon dengan kejang
25 Mulai bergerak kembali
29,5 Masih ada efek obat
32,5 Kejang-kejang
Diberi rangsangan
35,5 memberi respon, tapi
masih ada efek obat

D. Rute pemberian obat secara subkutan (kelompok 4)

 Menentukan dosis mencit

Diketahui :
Berat mencit : 26 gram = 0,026 kg
Dosis diazepam : 30 mg/60 kg (manusia)
Konsentrasi diazepam : 10 mg/2 ml
Ditanya : Berapakah dosis mencit?
Jawab :

hewan ( km )
HED=dosis hewan ( mgkg )× manusia ( km )

30 mg 3
=dosishewan ×
60 kg 37

Dosis hewan = 6,17 mg/kg,

mg
VAO=
berat ( kg ) × dosis ( kgBB )
mg
konsentrasi( )
ml

0,026 kg × 6,17 mg/kg


VAO=
10 mg
2 ml

VAO = 0,03 ml.

 Pengamatan setelah pemberian oral


Waktu (menit) Respon setelah
pemberian obat
0 Aktif berjalan, memanjat,
lari
5 Pergerakan berkurang,
lebih banyak diam
7 Ketika diberi rangsangan,
memberi respon
12 Diam, apabila diberi
rangsangan mulai tidak
merespon
15 Mulai mengantuk, ketika
diangkat tidak merespon
32 Mulai aktif kembali
(bergerak), ketika
diangkat efek obat masih
ada

5.1. Pembahasan

Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang


mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis,
anatomi, dan biokimia yang berbeda pada daerah mula kontak obat dan
tubuh. Perbedaan karakteristik ini dikarenakan suplai darah yang berbeda,
struktur anatomi yang berbeda, dan enzim-enzim serta getah fisiologis
yang berbeda. ( Yardi, 2019)
Pada praktikum ini digunakan hewan uji berupa mencit dan obat
yang diberikan adalah diazepam. Untuk dosis mencit yang digunakan
dikonversi berdasarkan dosis manusia yang telah ada. Perubahan dosis
manusia menjadi dosis hewan ini dilakukan dengan melakukan
perhitungan berdasarkan rumus Human Equivalent Dose (HED). Tujuan
pengkonversian dosis ini adalah karena mencit memiliki bobot serta luas
permukaan tubuh yang jauh lebih kecil dari manusia. Penggunaan dosis
manusia tanpa pengkonversian terhadap mencit dapat mengakibatkan
mencit mengalami overdose (OD).
Setelah perhitungan menggunakan rumus HED, didapatkan
pemberian dosis yang berbeda pada tiap mencit. Perbedaan dosis yang
digunakan pada tiap mencit ini dikarenakan bobot mencit yang digunakan
berbeda-beda. Berdasarkan hasil, semakin besar bobot mencit, maka dosis
yang digunakan pada mencit tersebut juga semakin besar. Hal ini sesuai
dengan rumus HED dimana bobot mencit berbanding lurus dengan dosis
yang diberikan.
Kemudian pada praktikum ini selain dosis yang berbeda-beda,
lokasi pemberian obat pada mencit yang digunakan juga berbeda. Pada
percobaan pertama yang dilakukan oleh kelompok pertama, dilakukan
pemberian obat secara oral. Yaitu memberi diazepam melalui mulut mencit
dengan alat suntik 1 ml yang sudah dipasang jarum oral. (Yardi, 2019)
Berdasarkan hasil percobaan melalui rute oral ini, pada menit ke-5
setelah pemberian diazepam mencit masih bergerak aktif. Kemudian pada
menit ke-10 diazepam mulai memberikan efek ditandai dengan keaktifan
mencit yang mulai menurun. Pada menit ke-20 mencit sudah mulai diam
tetapi ketika diberikan stimulan masih merespon. Pada menit ke-45 mencit
sudah tidak merespon walau diberi stimulan..
Kemudian percobaan kedua dilakukan oleh kelompok dua dengan
memberikan diazepam melalui intraperitoneal, yaitu melalui abdomen
bawah dari mencit (Yardi, 2019). Pemberian intraperitoneal ini dilakukan
dengan cara memegang mencit dengan sedemikian rupa sehingga bagian
abdomen lebih tinggi dari bagian kepala kemudian obat disuntikkan
melalui abdomen bawah.
Melalui rute intraperitoneal ini, pada menit ke-1 mencit mulai
terlihat diam. Kemudian sekitar menit ke-2 mencit mulai kehilangan
keseimbangan ketika diberikan stimulant. Pada menit ke 02.19 mencit
masih bisa berjalan walau agak lemas. Pada sekitar menit ke-8 ketika
diberi stimulan, mencit akan selalu berpindah ke pojok kandang. Pada
menit ke-14 mencit sudah lemas dan tidak terlalu merespon ketika diberi
stimulant. Pada menit ke-20 mencit sudah tidak memberi respon ketika
diberi stimulan.
Percobaan ketiga dilakukan oleh kelompok tiga dengan
memberikan diazepam melalui intramuskular, yaitu dengan menyuntikkan
diazepam pada otot paha kiri dari mencit. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Stevani (2016), bahwa rute pemberian obat melalui intramuskular
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat pada paha posterior dengan
jarum suntik no. 24.
Melalui rute intramuskular ini, pada menit pertama mencit mulai
mengalami perubahan perilaku, pada menit ke 2 detik ke 30 mencit susah
berjalan, pada menit ke 3 detik ke 40 mencit susah bergerak dan lemas.
Diazepam mulai bekerja sedatif pada menit ke 9 detik ke 5 ditandai
dengan perilaku mencit yang tenang dan tidak bergerak. Pada menit ke 25
detik ke 20 mencit mulai bergerak lagi. Namun pada menit ke 32 detik ke
30 mencit mengalami kejang-kejang.
Percobaan keempat dilakukan oleh kelompok empat dengan
memberikan diazepam melalui subkutan, yaitu dengan menyuntikkan
diazepam pada bagian bawah kulit tengkuk mencit. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Stevani (2016), bahwa rute pemberian obat melalui subkutan
dilakukan dengan cara mengangkat kulit di daerah tengkuk dan
memasukkan obat ke bagian bawah kulit dengan menggunakan alat suntik
1 ml dan jarum ukuran 27G/0,44 mm.
Melalui rute subkutan ini, pada menit pertama mencit masih aktif
berjalan, berlari, dan memanjat. Pada menit ke 5 efek sedatif dari
diazepam mulai bekerja. Hal ini ditandai dengan berkurangnya pergerakan
mencit dan perilaku mencit yang lebih banyak diam. Pada menit ke 7
mencit masih tenang namun saat diberikan stimulus mencit masih
memberikan respons. Pada menit ke 15 muncul efek hipnotis dari
diazepam hal ini ditandai dengan gerak gerik mencit yang mulai
mengantuk dan ketika diangkat pasrah dan tidak memberikan perlawanan.
Efek diazepam mulai hilang pada menit ke 32 ditandai dengan pergerakan
mencit yang mulai aktif kembali meskipun saat diangkat mencit masih
pasrah dan tidak memberikan perlawanan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui rute pemberian obat yang
mempunyai waktu onset paling cepat terhadap mencit secara berturut-turut
yaitu intraperitoneal yaitu pada menit pertama, subkutan pada menit
kelima, intramuskular pada menit kesembilan detik kelima, dan oral pada
menit ke-20.
Hal ini terjadi karena pada area intraperitoneal mengandung
banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke dalam
pembuluh darah. Pada area intramuskuler mengandung lapisan lemak yang
cukup kecil sehingga obat akan terhalang oleh lemak sebelum terabsorpsi.
Pada area subkutan mengandung lemak yang cukup banyak. Sedangkan
rute per oral, obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai
reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak faktor
penghambat seperti protein plasma.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Noviani (2017), bahwa
pemberian parenteral (intraperitoneal, subkutan, intramuskular) digunakan
untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan yang
memerlukan kerja obat yang cepat.
Sedangkan rute pemberian obat yang memberikan durasi efek obat
yang lama terhadap mencit secara berturut-turut adalah subkutan yaitu
selama 27 menit, intramuskular selama 26 menit 33 detik, oral selama 25
menit, dan intraperitoneal selama 20 menit. Hal ini terjadi karena melalui
rute subkutan kerja obat akan berlangsung terus menerus atau long time
release, pada rute intramuskular obat juga akan dilepas secara perlahan-
lahan, sedangkan intraperitoneal merupakan rute yang memiliki absorpsi
paling cepat jika dibandingkan dengan pemberian intramuskular, subkutan,
dan peroral.
Berdasarkan hasil pengamatan, diazepam yang diberikan secara
oral memberikan efek menurunnya aktivitas dan ansietas. Diazepam yang
diberikan secara intraperitoneal memberikan efek menurunnya aktivitas,
pergerakan, dan keseimbangan. Diazepam yang diberikan secara
intramuskular memberikan efek munculnya perubahan perilaku,
menurunnya pergerakan, dan kejang-kejang. Sedangkan diazepam yang
diberikan secara subkutan memberikan efek menurunnya pergerakan dan
menurunnya perlawanan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Goodman and Gilman (2012),
efek yang paling menonjol dari diazepam adalah aktivitas sedasi, hipnosis,
berkurangnya ansietas, relaksasi otot, anterograde amnesia, dan
antikonvulsan.
Berdasarkan efek yang teramati pada tiap-tiap mencit, maka mencit
yang diberikan diazepam secara oral, intraperitoneal, intramuskular, dan
subkutan tergolong ke dalam kelompok resisten. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Yardi (2019), bahwa mencit yang tergolong sangat resisten
tidak memperlihatkan adanya efek, mencit yang tergolong resisten tidak
tidur tetapi mengalami ataxia, mencit yang tergolong sesuai dengan efek
yang diduga akan tidur tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri, mencit
yang tergolong peka akan tidur dan tidak tegak walaupun diberi
rangsangan nyeri, dan mencit yang tergolong sangat peka akan mati
setelah diberikan obat.
Pada praktikum ini, efek yang muncul dan teramati pada mencit
tidak mencapai efek yang diduga disebabkan oleh tidak sempurnanya
diazepam yang masuk ke tubuh mencit. Sehingga dosis diazepam yang
semula maksimum menjadi berkurang. Hal ini ditandai dengan basahnya
permukaan tubuh mencit di sekitar rute pemberian obat.
BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Mencit memiliki bobot serta luas permukaan tubuh yang jauh lebih
kecil dari manusia. Sehingga dosis yang digunakan untuk mencit harus
dikonversikan dulu berdasarkan dosis pada manusia dengan menggunakan
rumus Human Equivalent Dose (HED).

Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi


efek obat. Rute pemberian obat yang mempunyai waktu onset paling cepat
terhadap mencit secara berturut-turut yaitu intraperitoneal, subkutan,
intramuskular, dan oral. Rute pemberian obat yang memberikan durasi efek
obat yang lama terhadap mencit secara berturut-turut adalah subkutan,
intramuskular, oral, dan intraperitoneal.

Berdasarkan efek yang teramati pada tiap-tiap mencit, maka mencit


yang diberikan diazepam secara oral, intraperitoneal, intramuskular, dan
subkutan tergolong ke dalam kelompok resisten. Sedangkan efek yang paling
menonjol dari diazepam adalah aktivitas sedasi, hipnosis, berkurangnya
ansietas, relaksasi otot, anterograde amnesia, dan antikonvulsan.
DAFTAR PUSTAKA

Goodman & Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10.


Editor Joel. G. Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor
Alfred Goodman Gilman, Diterjemahkan oleh Tim Alih
Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10.
Jakarta: EGC
Stevani, Hendra. 2016. Praktikum Farmakologi Komprehensif. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Noviani, Nita. 2017. Farmakologi: Bahan Ajar Keperawatan Gigi. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Yardi, dkk. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Jakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai