Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN LANJUT USIA DENGAN

GANGGUAN KOGNITIF DAN NEURO (DEMENSIA)


Tugas Seminar
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok 3
pada Mata Kuliah Keperawatan Komunitas 2
yang Diampu oleh Ns. Dewi Setyawati, MNS

OLEH :
1. Diah Ayu Puspita Ningtias (G2A016073)
2. Neng Indah Awwaliyah Putri (G2A016075)
3. Luthfina Dewi Silfiyani (G2A016076)
4. Fitri Zulia Ulfa (G2A016077)
5. Chantika Chincinati (G2A016078)
6. Nela Mafaza (G2A016079)
7. Siti Dyah Harum Mawarsih (G2A016081)
8. Rosa Isnaini Putri (G2A016082)
9. Rizki Marzeli (G2A016083)
10. Elman Hardiansyah P (G2A016084)
11. Fivie Fridayanti (G2A016085)

PRODI S-1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Kota Semarang
Tahun 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , atas rahmat-
Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Lanjut Usia dengan Gangguan Kognitif dan Neuro
(Demensia)”. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas seminar
kelompok 3 mata Keperawatan Komunitas 2 Universitas Muhammadiyah
Semarang. Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada :

1. Ns. Dewi Setyawati, MNS selaku koordinator mata ajar Keperawatan


Komunitas 2.
2. Rekan-rekan semua yang mengikuti perkuliahan mata ajar Keperawatan
Komunitas 2.
3. Keluarga yang selalu mendukung penyusunan.
4. Semua pihak yang ikut membantu penyusunan Makalah “Asuhan
Keperawatan Lanjut Usia dengan Gangguan Kognitif dan Neuro
(Demensia)” yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Kami merasa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki
dalam penyusunan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan
demi penyempurnaan makalah ini.

Semarang, 28 September 2018

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Tujuan Penulisan .......................................................................... 2
C. Ruang Lingkup Penulisan .............................................................. 3
BAB II : KONSEP DASAR DEMENSIA .................................................. 4
A. Pengertian ...................................................................................... 4
B. Klasifikasi ...................................................................................... 4
C. Stadium ...................................................................................... 6
D. Etiologi/Faktor Predisposisi .............................................................. 7
E. Patofisiologi ...................................................................................... 9
F. Manifestasi Klinik .......................................................................... 9
G. Komplikasi ...................................................................................... 12
H. Penatalaksanaan .......................................................................... 12
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN DEMENSIA
A. Pengkajian ...................................................................................... 15
B. Pathways Keperawatan .............................................................. 23
C. Diagnosa Keperawatan .............................................................. 24
D. Intervensi dan Rasional .............................................................. 24

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Lanjut usia merupakan orang yang sistem-sistem biologisnya
mengalami perubahan-perubahan struktur dan fungsi sehingga mempengaruhi
status kesehatannya. Konsep status kesehatan terintegrasi dalam tiga domain
utama yaitu fungsi biologis, psikologis (kognitif dan afektif) serta sosial.
Salah satu komponen dari psikologis dalam diri individu yaitu perseosi,
perhatian, berpikir, pengetahuan dan daya ingat (Saladin, 2007).
Alzheimer’s Desease International atau ADI (dalam Istiqomah, 2017)
menyebutkan bahwa prevalensi demensia di dunia mencapai angka 47 juta di
tahun 2015 yang diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 131 juta di
tahun 2050. Tahun 2015, jumlah penderita demensia juga meningkat
dikawasan Asia Pasifik. Salah satu kawasan Asia Pasifik yang dipekirakan
mengalami peningkatan prevalensi demensia adalah Negara Indonesia.
Prevalensi demensia di Indonesia tahun 2015 menunjukkan angka
lebih dari 556.000 dan diperkirakan akan meningkat menjadi hampir 2,3 juta
di tahun 2030. Jumlah penduduk Indonesia dan diprediksi akan terus
meningkat hingga 2x lipat pada tahun 2025. Hal ini dipengaruhi oleh majunya
pelayanan kesehatan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, perbaikan
gizi dan sanitasi dan meningkatnya pengawasan terhadap penyakit infeksi
(Depkes, 2013).
Badan pusat statistik di Jawa Tengah tahun 2015 menyebutkan bahwa
jumlah penduduk Lansia di Jawa Tengah mencapai 11,7% dari total penduduk
Jawa Tengah yaitu 3.983.203 jiwa yang terdiri dari lansia yang berumur 60-
64 tahun sebanyak 1.343.347 jiwa dan lansia yang berumur di atas 65 tahun
sebanyak 2.639.856 jiwa (Istiqomah, 2017).
Permasalahan yang sering dialami lansia seiring dengan berjalannya
waktu yaitu terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh (Bandiyah, 2009).
Salah satunya penurunan fungsi otak. Penurunan fungsi otak dapat
menyebabkan beberapa penyakit seperti gangguan neurologis, psikologis,
delirium dan demensia (Sarwono, 2010).
Demensia merupakan suatu sindroma penurunan kemampuan
intelektual progresif yang menyebabkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan
dan aktifitas sehari-hari. Salah satu masalah yang sering dialami pada klien
dengan demensia adalah adanya gangguan daya ingat atau memori
(Rosikawati, 2009). Dan jumlah penyandang demensia di Indonesia sendiri
hampir satu juta orang pada tahun 2011 (Gitabahas, 2011).
Berdasarkan berbagai data diatas, perawat sebagai pelaksana asuhan
keperawatan diharapkan dapat memberikan pelayanan asuhan keperawatan
yang benar bagi klien lansia. Perlunya perawat dalam memahami konsep
askep dan intervensi yang tepat akan membantu dalam mengatasi
permasalahan yang dialami lansia terutama pada penyakit demensia. Oleh
karena itu kami menyusun makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan
Lanjut Usia dengan Gangguan Kognitif dan Neuro (Demensia)”.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Intruksional Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada
klien lanjut usia dengan gangguan kognitif dan neuro (Demensia).
2. Tujuan Intruksional Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui konsep dasar penyakit kognitif dan
neuro (Demensia) pada klien lanjut usia meliputi pengertian,
klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, komplikasi dan
penatalaksanaan.
b. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien lanjut usia
dengan gangguan kognitif dan neuro (Demensia).
c. Mahasiswa mampu menganalisa data serta merumuskan diagnosa
pada klien lanjut usia dengan gangguan kognitif dan neuro
(Demensia).
d. Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan pada klien lanjut
usia dengan gangguan kognitif dan neuro (Demensia).

C. Ruang Lingkup Penulisan


Pada pembahasan makalah ini terfokus pada :
a. Konsep dasar penyakit kognitif dan neuro (Demensia) meliputi
pengertian, klasifikasi, stadium, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik,
komplikasi dan penatalaksanaan.

2
b. Pengkajian pada klien dengan gangguan kognitif dan neuro (Demensia).
c. Analisa data serta merumuskan pathways, diagnosa pada klien dan dapat
memberikan intervensi untuk klien dengan gangguan kognitif dan neuro
(Demensia).

BAB II
KONSEP DASAR DEMENSIA

A. Pengertian
Demensia merupakan keadaan ketika seseorang mengalami penurunan
daya ingat dan daya pikir lain yang secara nyata mengganggu aktivitas
kehidupan seharihari (Nugroho, 2008).
Demensia adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
kerusakan fungsi kognitif global yang biasanya bersifat progresif dan
mempengaruhi aktivitas social dan okupasi yang normal juga aktivitas
kehidupan sehari-hari (AKS). (Mickey Stanley, 2006).

3
B. Klasifikasi
Menurut (Mujahidullah, 2012) secara garis besar demensia pada usia lanjut
dapat dikategorikan dalam 4 golongan yaitu :
1) Demensia Degeneratif Primer (50 - 60%)
Dikenal dengan nama demensia tipe Alzheimer, adalah suatu keadaan yang
meliputi perubahan dari jumlah, struktur dan fungsi neuron di daerah
tertentu dari korteks otak. Terjadi suatu kekusutan neurofiblier dan plak-
plak neurit dan perubahan aktivitas kolinergik di daerah – daerah tertentu
di otak. Penyebabnya tidak dikertahui dengan pasti namun beberapa teori
menerangkan kemungkinan adanya faktor kromosom genetic, radikal
bebas, toksin amyloid, pengaruh logam alumunium, akibat infeksi virus
lambat atau pengaruh lingkungan lain.
Menurut (Whalley, dalam mujahidullah : 2012) demensia tipe ini
dibedakan menjadi 3 fase yaitu :
Fase I : Ditandai dengan gangguan memori subjektif, konsentrasi
buruk dan gangguan visuo-spatial. Lingkungan yang biasa
menjadi seperti asing, sukar menemukan jalan pulang yang
biasa dilalui. Penderita mungkin mengeluhkan agnosia
kanan-kiri.
Fase II : Terjadi tanda yang mengarah pada kerusakan fokal
kortikal. Gejala yang disebabkan oleh disfungsi lobus
parietalis (missal agnosia, dispraksia, dan akalkulia). Gejala
neurologic yang mungkin didapatkan yaitu beberapa
kelemahan fasial, delusi dan halusinasi mungkin terdapat
walau pembicaraan mungkin masih kelihatan normal.
Fase III : Pembicaraan terganggu berat, mungkin sama sekali
hilang. Penderita tampak apatik. Banyak penderita yang
tidak mengenali dirinya sendiri atau orang yang dikenalnya.
Dengan perkembangan penyakit, klien hanya bisa terbaring
ditempat tidur dan gejala neurologic menunjukkan
gangguan dari langkah gerak, tonus otot dan gambaran
mengarah pada sindrom Kluver-Bucy (Apatis, gangguan

4
pengenalan, gerak mulut tak terkontrol, hiperseksualitas,
amnesia, dan bulimia).
2) Demensia Multi Infark (10 - 20%)
Didapatkan sebagai akibat/gejala sisa dari stroke kortikal dan sub kortikal
yang berulang. Ciri yang khas adalah bahwa gejala dan tanda menunjukan
penurunan bertingkat (stepwise), dimana setiap episode akut menurunkan
keadaan kognitifnya.dalam pemeriksaan scan tomografi terkomputer (scan
TK) sering tidak menemukan lesi. Tetapi dengan pemeriksaan MRI, lesi
sering ditemukan.
3) Sindroma Amnestik dan “pelupa benigna akibat penuaan” (20 - 30%)
Selain gangguan daya ingat (memori) terdapat pula gangguan fungsi
intelektual yang lain. Pada sindroma amnestic terdapat gangguan pada
daya ingat hal yang baru terjadi, kemungkinan penyebabnya adalah:
a) Defisiensi tiamin (sering akibat pemakaian alcohol yang berlebihan)
b) Lesi pada struktur otak bagian temporal tengah (akibat trauma atau
anoksia).
c) Iskemia global transien (sepintas) akibat isufisiensi serebrovaskuler

Pelupa benigna akibat penurunan, biasanya terlihat sebagai gangguan


ringan daya ingat yang tidak progresif dan tidak mengganggu aktifitas
hidup sehari-hari. Perlu observasi beberapa bulan untuk membedakannya
dengan demensia sebenarnya. Bila daya ingat bertambah progresif disertai
dengan gangguan intelektual yang lain, maka kemungkinan besar
diagnosis demensia dapat ditegakkan.

4) Gangguan lain (terutama neurologic) (5 - 10%)


Beberapa penyakit neurologi sering disertai dengan gejala demensia.
Kecurigaan akan keadaan ini perlu diwaspadai, bila pada scan TK atau
MRI didapatkan pelebaran ventrikel melebihi proporsi disbanding dengan
atrofi kortikal otak. Gejala mirip demensia subkortikal,yaitu selain
didapatkan demensia juga gejala postur dan langkah serta depresi.

C. Stadium
Menurut (Stanley, dalam www.repository.usu.ac.id) stadium lansia dapat
dibagi menjadi beberapa tahapan meliputi :
1) Stadium I/awal

5
Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium amnestik dengan gejala
gangguan memori, berhitung dan aktivitas spontan menurun. Fungsi
memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang
dialami, dan tidak mengganggu aktivitas rutin dalam keluarga.
2) Stadium II/ pertengahan
Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase demensia. Gejalanya disorientasi,
gangguan bahasa (afasia), penderita mudah bingung, penurunan fungsi
memori lebih berat sehingga penderita tidak dapat melakukan kegiatan
sampai selesai, gangguan kemampuan merawat diri yang sangat besar,
gangguan siklus tidur, mulai terjadi inkontinensia, tidak mengenal
anggota keluarganya, tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan
sehingga akan cenderung mengulanginya lagi. Dan ada gangguan
visuospasial yang menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungan.
3) Stadium III/ akhir
Berlangsung 6-12 tahun. Penderita vegetatif, tidak bergerak dengan
gangguan komunikasi yang parah (membisu), ketidakmampuan untuk
mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan mobilisasi dengan
hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku otot, gangguan siklus tidur-
bangun dengan peningkatan waktu tidur, tidak bisa mengontrol BAB dan
BAK. Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain.

D. Etiologi
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3
golongan besar :
1. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal,
Sering pada golongan ini tidak ditemukan atrofia serebri, mungkin
kelainan terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada
sistem enzim, atau pada metabolisme seperti yang ditemukan pada
penyakit alzheimer dan demensia senilis.
2. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat
diobati, Penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
a. Penyakit degenerasi spino-serebral (infeksi susunan saraf pusat)
b. Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
c. Khorea Huntington
d. penyakit jacob-creutzfeld dll

6
3. Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam
golongan ini diantaranya :
a. Penyakit cerebro kardioVaskuler
b. Gangguan metabolik
- Endokrinopati (Penyakit Addison, cushing syndrome,
hiperinsulinisme, hipotiroid, hipoptuitari, hipoparatiroid,
hiperparatiroid)
- Gagal hepar, gagal ginjal, dialisis, gagal napas, hipoksia, uremia
kronis, gangguan keseimbangan elektrolit kronis, hipo dan
hiperkalsemia, hipo dan hipernatremia, hiperkalemia.
- Efek dari kanker atau limfoma.
c. Gangguan nutrisi
- Kekurangan vitamin B12 (Anemia pernisiosa)
- Kekurangan Niasin (pellagra)
- Kekurangan Thiamine (sindroma Wernicke-korsakoff)
- Intoksikasi vitamin A, vitamin D
d. Akibat intoksikasi menahun (Obat temasuk alkohol dll)
e. Hidrosefalus komunikans
f. Gangguan vaskuler
- Demensia multi infark
- Sumbatan arteri karotis
- Stroke
- Hipertensi
- Akrthritis kranial

Faktor Psikososial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh
faktor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum
sakit maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit
intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset)
menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami
awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan
memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang
mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada
kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil
ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.

E. Patofisiologi

7
Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya
demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan
biokimiawi di susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak
sekitar 10 % pada penuaan antara umur 30 sampai 70 tahun. Berbagai faktor
etiologi yang telah disebutkan di atas merupakan kondisi-kondisi yang dapat
mempengaruhi sel-sel neuron korteks serebri. Penyakit degeneratif pada otak,
gangguan vaskular dan penyakit lainnya, serta gangguan nutrisi, metabolik
dan toksisitas secara langsung maupun tak langsung dapat menyebabkan sel
neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskemia, infark, inflamasi,
deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan mengganggu
fungsi dari area kortikal ataupun subkortikal. Di samping itu, kadar
neurotransmiter di otak yang diperlukan untuk proses konduksi saraf juga
akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi kognitif (daya
ingat, daya pikir dan belajar), gangguan sensorium (perhatian, kesadaran),
persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan
tergantung lokasi area yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau
penyebabnya, karena manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patologis dari
hal tersebut akan memicu keadaan konfusio akut demensia (Boedhi-Darmojo,
2009).

F. Manifestasi Klinik
Menurut (kaplan, 2007) manifestasi dari demensia meliputi :
1) Gangguan Memori
Gangguan memori merupakan ciri yang awal dan menonjol pada kasus
demensia dimana penderita mengalami penurunan daya ingat segera dan
daya ingat peristiwa jangka pendek (recent memory–hipokampus)
kemudian secara bertahap daya ingat recall juga mengalami penurunan
(temporal medial dan regio diensephalik). Pasien demensia tidak mampu
untuk belajar tentang hal-hal baru atau lupa mengenai hal-hal yang baru
saja dikenal, dilakukan atau dipelajari seperti lupa akan janjinya, orang
yang baru saja dijumpai atau tempat yang baru saja dikunjunginya.
2) Orientasi

8
Daya ingat penting untuk orientasi terhadap waktu, orang dan tempat.
Orientasi dapat terganggu secara progresif selama terjadi perjalanan
penyakit demensia. Pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana
kembali ke ruangannya setelah pergi dari kamar mandi.
3) Afasia
Afasia yaitu kesulitan dalam menyebutkan nama benda atau orang.
Penderita afasia berbicara samar-samar dengan ungkapan kata-kata yang
panjang atau dengan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu,
seperti“itu”, “apa itu“. Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau
mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia yang berarti
menirukan apa yang dia dengar atau palilia yang berarti mengulang suara
atau kata terus menerus.
4) Apraksia
Apraksia ialah ketidak-mampuan dalam melakukan suatu gerakan
meskipun kemampuan motorik yang diperlukan tetap baik. Penderita
mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu atau melakukan
gerakan-gerakan yang telah dikenali misalnya melambaikan tangan.
5) Agnosia
Agnosia yaitu ketidak-mampuan penderita dalam mengenali atau
mengindentifikasi suatu benda meskipun fungsi sensoriknya utuh, seperti
penderita tidak dapat mengenali meja ataupun kursi meskipun visusnya
atau penglihatannya baik. Penderita semakin lama semakin tidak mengenal
lagi anggota-anggota keluarganya.
6) Gejala psikotik
Sekitar 20%-30% pasien demensia memiliki halusinasi dan 30%-40%
pasien demensia mempunyai waham, terutama dengan sifat paranoid atau
persekutorik dan tidak sistematik walaupun waham yang kompleks,
menetap dan tersistematik dengan baik juga dilaporkan pada pasien
demensia. Agresi fisik dan bentuk kekerasan lainnya sering terjadi pada
pasien demensia yang juga mempunyai gejala psikotik.
7) Perubahan kepribadian
Sifat kepribadian pada pasien demensia sebelumnya mungkin diperkuat
selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia mungkin
menjadi introvert dan tampaknya juga kurang memperhatikan efek

9
perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai
waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota
keluarganya ataupun pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan
temporal kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan
mungkin mudah untuk marah.
8) Gangguan lain
Reaksi katastropik adalah reaksi yang menunjukkan penurunan
kemampuan untuk menerapkan perilaku abstrak sesuai dengan apa yang
disebut oleh Kurt Goldstein. Pasien mempunyai kesulitan dalam
generalisasi dari satu contoh tunggal, membentuk konsep dan mengambil
perbedaan serta persamaan diantara konsep-konsep. Pada tahap
selanjutnya, pasien mengalami kesulitan dalam hal kemampuan untuk
memecahkan masalah, memberikan alasan secara logis dan memberikan
pertimbangan yang baik. Reaksi katastropik menurut Goldstein ditandai
oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit fungsi
intelektualnya. Pasien berusaha untuk mengompensasi defeknya tersebut
dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan
dalam fungsi intelektualnya seperti mengubah subjek, membuat lelucon
atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Penderita demensia
yangterutama mempengaruhi lobus frontalis sering ditemukan tidak
adanya pertimbangan atau kontrol impuls yang buruk, sebagai contoh dari
gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar, humor yang tidak sesuai,
pengabaian penampilan higiene pribadi dan mengabaikan aturan
konvensional mengenai tingkah laku sosial.

9) Komplikasi
Menurut (Dementia-Indonesian, 2016) Penderita demensia merasakan
degenerasi fungsi kognitif, daya ingat, kemampuan berpikir dan berbahasa
secara bertahap. Pada akhirnya, mereka tidak akan bisa :
a) Mengurus diri sendiri dan sangat tergantung kepada orang lain, hingga
hanya bisa terbaring di tempat tidur.

10
b) Para penderita demensia mengalami pola masalah dan kecepatan
penurunan kemampuan yang berbeda-beda.

10) Penatalaksanaan
Menurut (Boedhi-Darmojo, 2009) walaupun penyembuhan total pada
berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin, dengan penatalaksanaan
yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari penderita. Prinsip
utama dalam penatalaksanaan terhadap klien demensia adalah :
1) Optimalkan fungsi penderita
- Obati penyakit yang mendasarinya (ex : hipertensi)
- Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP
- Upayakan aktivitas mental dan fisik
- Hindari situasi yang menekan kemampuan mental
- Tekankan perbaikan gizi
2) Kenali dan obati komplikasi
- Depresi, agitasi/ agresivitas dan Inkontinensia.
3) Upayakan perumatan yang berkesinambungan
- Re-akses keadaan fisik dan kognitif
- Pengobatan gangguan medik
4) Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarga
- Berbagai hal tentang penyakitnya
- Kemungkina gangguan lain yang dapat terjadi
- Prognosis
5) Upayakan informasi pelayanan sosial untuk klien dan keluarga
6) Peran keluarga
Menurut Kushariyadi (2010) penatalaksanaan demensia dibagi menjadi 3
yaitu sebagai berikut :
1. Farmakoterapi
Sebagian demensia tidak dapat disembuhkan
a. Pengobatan demensia digunakan obat – obatan antikoliesterase seperti
Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Memantine.
b. Demensia vaskuler membutuhkan obat – obatan anti platelet seperti
Aspirin, Ticlopidine, Clopidogrel untuk memperlancar aliran darah ke
otak sehingga memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena stroke yang berturut – turut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan
mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan
dengan stroke.
d. Obat antidepresan seperti Sertraline dan Citalopram

11
e. Pengendalian agitasi dan perilaku yang meledak – ledak, yang bisa
menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakan obat antipsikotik
misalnya Haloperidol, Quetiapine dan Risperidone. Tetapi obat ini
kurang efektif dan menimbulkan efek samping yang serius. Obat
antipsikotik efektif diberikan kepada penderita yang mengalami
halusinasi atau paranoid.
2. Dukungan dan peran keluarga
a. Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita
tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam
dinding dengan angka – angka yang besar atau radio juga bisa
membantu penderita tetap memiliki orientasi.
b. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa
membantu mencegah terjadinya kecelakaan pada penderita yang
senang berjalan – jalan.
c. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya secara
rutin bisa memberikan rasa keteraturan kepada penderita.
d. Memarahi atau menghukum penderita tidak akan membantu, bahkan
akan memperburuk keadaan.
e. Meminta bantuan organisasi yang memberikan pelayanan sosial dan
perawatan akan sangat membantu.
3. Terapi simtomatik
a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi aktifitas
d. Penanganan terhadap masalah

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN DEMENSIA
A. Pengkajian
Menurut psikiatrik (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003) pengkajian yang
dilakukan untuk klien demensia meliputi :
1) Anamnesis
Anamnesis (wawancara) dilakukan pada penderita, keluarga atau
pengasuh yang mengetahui perjalanan penyakit pada pasien. Hal yang
penting untuk diperhatikan pada saat melakukan anamnesis adalah
riwayat penurunan fungsi terutama fungsi kognitif pada pasien
dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan adanya
perubahan perilaku kepribadian.
a) Riwayat medis umum
Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis (misalnya
HIV dan sifilis), gangguan endokrin (hiper/hipotiroid), diabetes
melitus, neoplasma/tumor, penyakit jantung, penyakit kolagen,
hipertensi, hiperlipidemia dan aterosklerosis perifer mengarah ke
demensia vaskular.
b) Riwayat neurologis

13
Bertujuan untuk mengetahui etiologi demensia seperti riwayat
gangguan serebrovaskular, trauma kapitis, infeksi sistem saraf pusat ,
epilepsi, stroke, tumor serebri dan hidrosefalus.
c) Riwayat gangguan kognitif
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang
yang meliputi :
o Gangguan orientasi orang, waktu dan tempat
o Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran, menyebut maupun
gangguan komprehensif)
o Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian, perencanaan dan
pelaksanaan suatu aktifitas)
o Gangguan praksis dan visuospasial.
Hal lain yang perlu untuk diketahui mengenai aktifitas harian yang
dilakukan pasien diantaranya melakukan pekerjaan, mengatur
keuangan, mempersiapkan keperluan harian, melaksanakan hobi serta
mengikuti aktifitas sosial.
d) Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian
Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala-gejala
neuropsikologis berupa waham, halusinasi, miss identifikasi, depresi,
delusi, pikiran paranoid, apatis dan cemas. Gejala perilaku salah satu
contohnya dapat berupa bepergian tanpa tujuan, agitasi, agresivitas
fisik maupun verbal, kegelisahan dan disinhibisi (rasa malu).
e) Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida,
insektisida, lem, alkoholisme dan merokok. Riwayat pengobatan
terutama pemakaian kronis obat anti depresan dan narkotika perlu
diketahui.
f) Riwayat keluarga
Mencari riwayat terhadap keluarga, apakah keluarga
mengalami
demensia atau riwayat penyakit serebrovaskular, depresi,
penyakit
parkinson, retardasi mental, dan gangguan psikiatri

14
g) Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis,
pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis
dan pemeriksaan neuropsikologis.
a) Pemeriksaan umum
Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan medis umum atau status
interna seperti yang dilakukan dalam praktek klinis.

b) Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membedakan proses
degeneratif primer atau sekunder dan kondisi komorbid lainnya. Pasien
Demensia onset awal pada umunya memiliki pemeriksaan neurologis
yang normal. Kelainan hanya didapatkan pada status mental pasien.
Gejala tambahan spesifik selain status mental dapat mengarah ke suatu
diagnosis tertentu. Peningkatan tonus otot dan bradikinesia dengan
tidak adanya gejala tremor mengarah pada dementia Lewy’s Body.
Refleks asimetris, defisit lapang pandang dan lateralisasi
mengindikasikan dementia vaskuler. Pemeriksaan pendengaran dan
visus penting untuk dilakukan karena dapat mempengaruhi
pemeriksaan MMSE (Sorbi et al, 2012). Pemeriksaan neurologis dapat
juga digunakan untuk mengetahui adanya tekanan tinggi intrakranial,
gangguan neurologis fokal misalnya: gangguan berjalan, gangguan
motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan penglihatan,
pendengaran, keseimbangan, tonus otot, gerakan abnormal/apraksia
dan adanya refleks patologis dan primitif (Asosiasi Alzheimer
Indonesia, 2003).
c) Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi evaluasi memori, orientasi,
bahasa, kalkulasi, praksis, visuospasial dan visuoperceptual. Mini
Mental State Examination (MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT)

15
adalah pemeriksaan awal yang berguna untuk mengetahui adanya
disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan dan untuk
menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-30.
Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada penderita dengan
nilai MMSE kurang atau dibawah dari 27 terutama pada golongan
berpendidikan tinggi. Pemeriksaan aktifitas harian dengan
pemeriksaan Activity of Daily Living (ADL) dan instrumental Activity
of Daily Living (IADL) dapat pula dilakukan. Hasil pemeriksaan
tersebut dipengaruh oleh tingkat pendidikan, sosial dan budaya
(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
3) Pengkajian SPSMQ
SPSMQ merupakan singkatan dari Short Portable Status Mental
Questionnaire ( SPSMQ). Pengkajian ini bertujuan untuk :
a. Untuk mendeteksi adanya tingkat kerusakan intelektual.
b. Terdiri dari 10 pertanyaan tentang : orientasi, riwayat pribadi, memori
dlm hubungannya dg kemampuan perawatan diri, memori jauh dan
kemampuan matematis.
c. Rusak/salah nilai 1.
d. Tidak rusak/benar nilai 0

Benar salah Nomo Pertanyaan


r
1 Tanggal berapa hari ini?
2 Hari apa sekarang
3 Apa nama tempat ini
4 Di mana alamat anda
5 Berapa alamat anda
6 Kapan anda lahir
7 Siapa presiden Indonesia
8 Siapa presiden Indonesia sebelumnya
9 Siapa nama ibu anda
10 Kurangi 3 dari 20, dan pengurangan 3 dari setiap angka
baru. Secara menurun

4) Pengkajian Status Mental


Menurut (Kushariyadi, 2010) pengkajian status mental meliputi :

16
a. Penampila klien tidak rapi dan tidak mampu untuk merawat dirinya
sendiri.
b. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c. Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat dimanifestasikan adanya
peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif, manerisme, otomatis,
steriotipi.
d. Alam perasaan
Klien nampak ketakutan dan putus asa.
e. Afek dan emosi
Perubahan afek terjadi karena klien berusaha membuat jarak dengan
perasaan tertentu karena jika langsung mengalami perasaan tersebut
dapat menimbulkan ansietas. Keadaan ini menimbulkan perubahan
afek yang digunakan klien untuk melindungi dirinya, karena afek
yang telah berubah memampukan kien mengingkari dampak
emosional yang menyakitkan dari lingkungan eksternal. Respon
emosional klien mungkin tampak bizar dan tidak sesuai karena datang
dari kerangka pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah
tumpul, datar, tidak sesuai, berlebihan dan ambivalen
f. Interaksi selama wawancara
Sikap klien terhadap pemeriksa kurang kooperatif, kontak mata
kurang.
g. Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional
terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau
kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan,
penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan, sedang
dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang paling sering
ditemukan adalah halusinasi.
h. Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern,
tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap
realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian
subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang
tidak logis.

17
i. Tingkat kesadaran
Bingung. Disorientasi waktu, tempat dan orang
j. Memori
Gangguan daya ingat sudah lama terjadi (kejadian beberapa tahun
yang lalu).
k. Tingkat konsentrasi
Klien tidak mampu berkonsentrasi
l. Kemampuan penilaian
Gangguan berat dalam penilaian atau keputusan.
5) Pemeriksaan penunjang
Menurut (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003) Pemeriksaan penunjang
untuk penegakkan demensia meliputi pemeriksaan laboratorium,
pencitraan otak, elektro ensefalografi dan pemeriksaan genetika.
a) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi
hati, hormon tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan
neurosifilis pada penderita dengan resiko tinggi. Pemeriksaan cairan
otak bila terdapat indikasi.
b) Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis, menentukan
beratnya penyakit serta prognosis. Computed Tomography (CT) –
Scan atau Metabolic Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi
adanya kelainan struktural sedangkan Positron Emission Tomography
(PET) dan Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan
untuk mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan
kelainan struktur hipokampus secara jelas dan berguna untuk
membedakan demensia alzheimer dengan demensia vaskular pada
stadium awal.

c) Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang spesifik.
Pada stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan umum dan
kompleks secara periodic.
d) Pemeriksaan Portabel Demensia
Untuk keperluan penapisan, pemeriksaan psikometrik sederhana
misalnya dengan menggunakan pemeriksaan mini status mental (Mini

18
mental State Examination/MMSE) akan membantu menentukan
gangguan kognitif yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan
lain.
 Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan demensia dapat menggunakan Mini Mental State
Examination (MMSE) yang merupakan gold standar untuk
diagnosis demensia. Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi-
fungsi tersebut dengan nilai sempurna adalah 30. Pemeriksaan
MMSE dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang
sederhana dan cepat untuk mencari kemungkinan munculnya
defisit kognitif sebagai tanda demensia (Kaplan & Sadock, 2007).
Menurut (Folstein dalam Kaplan & Sadock, 2007), interpretasi
MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan :
1. Skor 27-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal
2. Skor 21-26 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif
ringan
3. Skor 10-20 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif
sedang
4. Skor < 10 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif
berat.

Tabel 1. Median score di Mini Mental State Examination


berdasarkan usia dan tingkat pendidikan

Age 4th grade 8th grade High school College


18-24 22 27 29 29
25-29 25 27 29 29
30-34 25 26 29 29
35-39 23 26 28 29
40-44 23 27 28 29
45-49 23 26 28 29
50-54 23 27 28 29
55-59 23 26 28 29
60-64 23 26 28 29
65-69 22 26 28 29
70-74 22 25 27 28

19
75-79 21 25 27 28
80-84 20 25 25 27
>84 19 23 26 27

Sumber : Crum RM, Anthony JC, Basset SS, Folstein MF. Population based
norms for the MMSE Bay Cage and Educational level, JAMA
1993;18;2386-91

20
21
B. Diagnosa Keperawatan
1) Defisit perawatan diri (ex: makan, minum, berpakaian, hygiene)
berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif.
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurangnya asupan makan.
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya gejala
neuropsikiatrik.
4) Hambatan interaksi sosial b.d gangguan proses berfikir.
5) Gangguan eliminasi urine b.d penurunan tonus otot.
6) Resiko trauma b.d perubahan tingkah laku.

C. Intervensi dan Rasional


1) Defisit perawatan diri (ex: makan, minum, berpakaian,
hygiene) berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan pemenuhan kebutuhan perawatan diri
terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1. Perawatan diri : berpakaian
- Memakai pakaian (bagian atas, bawah)
2. Perawatan diri: eliminasi
- Merespon saat kandung kemih penuh dengan tepat waktu.
- Menanggapi dorongan untuk buang air besar tepat waktu.
- Mampu masuk dan keluar dari kamar mandi
3. Perawatan diri : makan
- Menggunakan alat makan
- Menghabiskan makanan
4. Perawatan diri : mandi
- Masuk dan keluar dari kamar mandi
- Membersihkan tubuh saat mandi (wajah, bagian atas, area
perineum)
- Mengeringkan badan.

INTERVENSI (NIC) RASIONAL


Bantuan Perawatan Diri : Berpakaian Bantuan Perawatan Diri :
atau berdandan Berpakaian atau berdandan
1. Sediakan pakaian pasien diarea 1. Agar pasien mudah dalam
yang dapat dijangkau (misalnya: mengambil pakaian ganti.

22
disisi tempat tidur).
2. Bersedia memberikan bantuan 2. Pada usia lansia biasanya
dalam berpakaian, sesuai terjadi penurunan kemampuan
kebutuhan. aktifitas, jadi dalam kebutuhan
3. Jaga privasi pasien saat berpakaian biasa akan sulit
berpakaian. dilakukan.
3. Menjaga keprivasian pasien
Bantuan perawatan diri : eliminasi
dalam berpkaian.
4. Bantu pasien ke toilet atau tempat
lain untuk eliminasi pada interval Bantuan perawatan diri : eliminasi
waktu tertentu. 4. Terjadi penurunan kemampuan
5. Beri privasi selama eliminasi aktifitas, untuk berjalan ke
6. Intruksikan pasien atau yang lain
toilet harus dibantu.
dalam rutinitas toilet. 5. Menjaga keprivasian pasien.
6. Untuk membuat kemandirian
Bantuan perawatan diri : makan
untuk lansia
7. Posisikan pasien dalam posisi
makan yang nyaman. Bantuan perawatan diri : makan
8. Berikan bantuan fisik, sesuai 7. Memberikan kenyaman pasien
kebutuhan. dalam makan.
9. Berikan alat-alat yang bisa 8. Karena terjadi penurunan
memfasilitasi pasien untuk makan kemampuan aktifitas, maka
sendiri pasien butuh bantuan secara
Bantuan perawatan diri : fisik
9. Melatih kemandirian pasien.
mandi/kebersihan
10. Fasilitasi pasien untuk mandi Bantuan perawatan diri :
sendiri dengan tepat. mandi/kebersihan
11. Monitor kebersihan kuku, sesuai 10. Mandi membuat badan lebih
dengan kemampuan merawat diri bersih dan menghilangkan
pasien kuman penyebab penyakit.
12. Berikan bantuan sampai pasien 11. Sumber kuman yang sering
benar-benar mampu merawat menimbulkan sakit biasanya
secara mandiri pada kebersihan kuku.
12. Memberikan bantuan untuk

23
pasien agar tetap melakukan
perawatan diri secara baik.

2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


berhubungan dengan kurangnya asupan makan
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5×24 jam
diharapkan pemenuhan kebutuhan pasien tercukupi.
Dengan kriteria hasil :
NOC Label : Nutritionl status
1. Intake nutrisi tercukupi.
2. Asupan makanan dan cairan tercukupi
NOC Label : Nausea dan vomiting severity
1. Penurunan intensitas terjadinya mual muntah
2. Penurunan frekuensi terjadinya mual muntah.

NOC Label : Weight Body mass

1. Pasien mengalami peningkatan berat badan

INTERVENSI RASIONAL
NIC Label : Nutrition management NIC Label : Nutrition management
1. Kaji status nutrisi pasien 1. Pengkajian penting dilakukan
2. Jaga kebersihan mulut, anjurkan
untuk mengetahui status nutrisi
untuk selalu melalukan oral
pasien sehingga dapat
hygiene.
menentukan intervensi yang
3. Delegatif pemberian nutrisi
diberikan.
yang sesuai dengan kebutuhan
2. Mulut yang bersih dapat
pasien : diet pasien diabetes
meningkatkan nafsu makan
mellitus. 3. Untuk membantu memenuhi
4. Berian informasi yang tepat
kebutuhan nutrisi yang
terhadap pasien tentang
dibutuhkan pasien.
kebutuhan nutrisi yang tepat dan 4. Informasi yang diberikan dapat
sesuai. memotivasi pasien untuk
5. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake nutrisi.
mengkonsumsi makanan tinggi 5. Zat besi dapat membantu tubuh

24
zat besi seperti sayuran hijau sebagai zat penambah darah
NIC Label : Nausea management sehingga mencegah terjadinya
1. Kaji frekuensi mual, durasi, anemia atau kekurangan darah
tingkat keparahan, faktor NIC Label : Nausea management
frekuensi, presipitasi yang 1. Penting untuk mengetahui
menyebabkan mual. karakteristik mual dan faktor-
2. Anjurkan pasien makan sedikit
faktor yang menyebabkan mual.
demi sedikit tapi sering.
Apabila karakteristik mual dan
3. Anjurkan pasien untuk makan
faktor penyebab mual diketahui
selagi hangat
4. Delegatif pemberian terapi maka dapat menetukan intervensi
antiemetik : yang diberikan.
Ondansentron 2×4 (k/p), 2. Makan sedikit demi sedikit dapat
Sucralfat 3×1 CI meningkatkn intake nutrisi.
3. Makanan dalam kondisi hangat
NIC Label : Weight management
dapat menurunkan rasa mual
1. Diskusikan dengan keluarga dan
sehingga intake nutrisi dapat
pasien pentingnya intake nutrisi
ditingkatkan.
dan hal-hal yang menyebabkan
4. Antiemetik dapat digunakan
penurunan berat badan.
sebagai terapi farmakologis dalam
2. Timbang berat badan pasien jika
manajemen mual dengan
memungkinan dengan teratur.
menghamabat sekres asam
lambung.
NIC Label : Weight management
1. Membantu memilih alternatif
pemenuhan nutrisi yang adekuat.
2. Dengan menimbang berat badan
dapat memantau peningkatan dan
penrunan status gizi.

3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya gejala


neuropsikiatri
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) :

25
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24jam gangguan
pola tidur pasien teratasi
Dengan kriteria hasil :
1. Jumlah jam tidur dalam batas normal
2. Pola tidur,kualitas dalam batas normal
3. Perasaan fresh sesudah tidur/istirahat
4. Mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur

INTERVENSI RASIONAL
NIC : Sleep Enhancement NIC : Sleep Enhancement
1. Determinasi efek-efek medikasi 1. Tindakan ini membantu
terhadap pola tidur mendeteksi gejala prilaku yang
2. Jelaskan pentingnya tidur yang
berhubungan dengan tidur.
adekuat 2. Supaya klien menjadikan tidur
3. Fasilitasi untuk mempertahankan
yang berkualitas
aktivitas sebelum tidur 3. Aktivitas membaca sebelum tidur
(membaca) meningkatkan keletihan dan
4. Ciptakan lingkungan yang
relaksasi.
nyaman 4. Tindakan ini dapat mendorong
5. Kolaborasi pemmberian obat
istirahat dan tidur dengan cepat
tidur
dan nyaman.
5. Obat penenang menurunkan
ansietas

4) Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan


proses berpikir
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
hambatan interaksi sosial pasien dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan penerimaan
2. Menunjukkan perhatian, ketulusan, dan kehangatan.
3. Menunjukkan sikap yang tenang
4. Menunjukkan kepercayaan

INTERVENSI (NIC) RASIONAL

Peningakatan Sosialisasi Peningkatan Sosialisasi


1. Anjurkan kegiatan sosial dan

26
masyarakat 1. Agar pasien belajar
2. Fasilitasi masukan pasien dan
berkomunikasi dengan
perencanaan kegiatan di masa
masyarakat dan mengisi
depan.
keseharian dengan kegiatan yang
3. Bantu pasien meningkatkan
bermanfaat.
kesadaran tentang kekuatan dan
2. Membantu pasien dalam proses
keterbatasan dalam
berpikir saat menentukan suatu
berkomunikasi dengan orang lain
perencanaan.
4. Minta dan harapkan adanya
3. Membuat pasien mengerti dan
komunikasi verbal
memahami kondisi pasien saat
ingin berkomunikasi dengan
orang lain.
4. Agar saat dalam berkomunikasi
jelas.

5) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan


tonus otot.
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24jam gangguan
eliminasi urine pada pasien teratasi
Kriteria Hasil :
1. Kandung kemih kosong secara penuh
2. Tidak ada residu urine > 100-200 cc
3. Intake cairan dalam rentang normal
4. Bebas dari ISK
5. Tidak ada spasme bladder
6. Balance cairan seimbang

INTERVENSI RASIONAL
NIC: Urinary Retention Care NIC: Urinary Retention Care
1. Lakukan penilaian kemih yang 1. Mengidentifikasi karakteristik
komprehensif berfokus pada fungsi kandung kemih
inkontinensia (misalnya, output (efektivitas pengosongan kandung
urin, pola berkemih kemih, fungsi kemih, fungsi ginjal, dan keseimba
kognitif, dan masalah kencing ngan cairan). Catatan:Komplikasi

27
praeksisten) urin merupakan penyebab utama
2. Memantau penggunaan obat
kematian.
dengan sifat antikolinergik atau 2. Sejumlah obat seperti
properti alpha agonis antispasmodik, antidepresan, dan
3. Memantau tingkat distensi
analgesik narkotika;Obat OTC
kandung kemih dengan palpasi
dengan sifat agonis antikolinergik
dan perkusi
atau alfa; atau obat-obatan rekreasi
4. Anjurkan pasien / keluarga untuk
sepertiganja bisa mengganggu
merekam output urin, sesuai
5. Sediakan waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih.
3. Disfungsi kandung kemih
pengosongan kandung kemih (10
bervariasi namun bisa meliputi
menit)
6. Membantu dengan toilet secara hilangnya kontraksikandung kemih
berkala dan ketidakmampuan untuk
bersantai sfingter urin, sehingga
terjadiretensi urin dan
inkontinensia refluks. Catatan:
distensi kandung kemih dapat
memicudisleksia otonom.
4. Ini memberikan informasi tentang
tingkat gangguan dengan eliminasi
ataudapat mengindikasikan adanya
infeksi kandung kemih. Kepadatan
di atas kandung kemihsetelah
kekosongan adalah indikasi
pengosongan atau retensi yang
tidak memadai danmemerlukan
intervensi.
5. Banyak pasien yang tidak tidur
hanya di pagi hari saat kandung
kemihmenyimpan volume urin
yang besar saat tidur
6. Pasien mungkin memerlukan
tempat tidur di samping toilet jika

28
keterbatasanmobilitas mengganggu
masuk ke kamar mandi.

6) Resiko trauma berhubungan dengan perubahan tingkah laku.


Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan resiko trauma tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
1. Mengingat peristiwa yang baru terjadi
2. Mengenali anggota keluarga dan nama diri sendiri
3. Mempertahankan kecapakan
4. Melakukan kegiatan dasar hidup sehari-hari (ADL)

INTERVENSI (NIC) RASIONAL


Manajemen Demensia
1. Identifikasi pola-pola perilaku Manajemen Demensia
1. Mengetahui kebiasaan yang
biasa untuk kegiatan seperti:
dilakukan pasien.
tidur, penggunaan obat, eliminasi, 2. Membantu pasien untuk selalu
asupan makanan, dan perawatan mengingat nama sendiri dan
diri. perawat maupun orang lain.
2. Perkenalkan diri saat memulai 3. Membantu pasien selalu mudah
kontak mengingat lingkungan untuk
3. Sediakan lingkungan fisik dan
rutinitas sehari-hari
rutinitas sehari-hari yang 4. Pasien akan lebih banyak
konsisten. menghabiskan waktu dengan
4. Sertakan anggota keluarga dalam
keluarga apalagi saat di rumah,
perencanaan, pemberian dan
maka seharusnya keluarga
evaluasi perawatan sejauh yang
mengetahui dan mengerti apa
diinginkan.
perencanaan perawatan untuk
pasien.

29
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Alzheimer Indonesia.2003 Konsesus Nasional. Pengenalan dan
Penatalaksanaan Demensia Alzheimer danDemensialainya.Edisi1
Jakarta.
Batticaca B., Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Boedhi-Darmojo. 2009. Asuhan keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Dementia-Indonesian, 2016. Hospital Authority
Departemen Kesehatan RI. 2013. Buletin kesehatan dengan topik Gambaran
Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta : Depkes RI.
Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku Saku : Patofisiologi. Ed.3. EGC : Jakarta.
Gitahafas, 2011. Kesehatan Otak. http://www.health.detik.com diunduh pada 05
oktober 2018
Gloria M. Bulechek, (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th
Edition. Missouri: Mosby Elsevier
Herdman, T. Heater. 2015. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan:
definisi & klasifikasi 2015-2017. Ed. 10. Jakarta : EGC

Kaplan & Sadock. 2007. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis.
(Jilid 1). Jakarta : Bina Rupa Aksara

Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika : Jakarta.


Moorhed, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier
Mujahidullah, Khalid. 2012. Keperawatan Geriatrik : Merawat Lansia dengan
Cinta dan Kasih Sayang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC.

Saladin, K. 2007. Anatomy and Physyiology the unity of form and function. 4th ed.

30
New York : McGraw-Hill Companies
Sarwono, P. 2010. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : PT.
Bina Pustaka
Stanley, M., dan Beare, P.G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik
(Gerontological Nursing: A Health Promotion / Protection/
Protection
Approach). Alih Bahasa: Nety Juniarti dan Sari Kurnianingsih.
Jakarta;
Buku Kedokteran EGC.
http://www.depkes.go.id/article/view/2408/kenali-10-gejala-umum-demensia-
alzheimer-dari-sekarang.html( 19 September 2018).
www.repository.usu.ac.id

31

Anda mungkin juga menyukai