Anda di halaman 1dari 53

Asuhan keperawatan kusta

ASUHAN KEPERAWATAN

I PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi mengenai masalah
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan. (Nasrul
Effendi, 1995 : 18).
a. Pengumpulan Data
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2. Keluhan utama
Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen ,mengeluh adanya bercak-bercak Disertai
hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan peningkatan suhu
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit kusta biasanya adanya bercak-bercak merah disertai hiper anastesi dan
odema pada ektrimitas pada bagian perifer seperti tangan,kaki serta bisa juga terjadi peningkatan
suhu tubuh.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis,asma dan alergi,jantung
koroner.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya merupakan penyakit menular Maka anggota keluarga mempunyai resiko beasar
tertular dengan kontak lama.
4. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan terutama pada
body image,penderita merasa rendah diri dan merasa terkucilkan sedangkaan pada tatalaksana
hidup sehat pada umumnya klien kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering
kontk langsung dengan penderita kusta.Karena kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
maka timbul masalah dalam perawatan diri.

b. Pola nutrisi dan metabolisme


Meliputi makanan klien sehari-hari komposisi:sayur, lauk pauk,minum sehari berapa gelas,berat
badan naik atau turun,sebelum dan saat masuk rumah sakit turgor kulit normal atau menurundan
kebiasaan maskan klien.Klien tinggal ditempat yang kotor atau bersih Adanya penurunan nafsu
makan, mual, muntah, pemnurunan berat badan, gangguan pencernaan.
c. Pola eliminasi
Pada Pola eleminasi alvi dan uri pada pasien kusta tidak ada kelainan.
d. Pola istirahat dan tidur
Pada klien kusta pada umumnya pola tidur tidak teerganggu tetapi bagi kusta yang belum
menjalani pengubatan pasien baru biasanya terjadi gangguan kebutuhan tidur dan istirahat yang
disebabkan oleh pikiran stress, odema dan peningkatan suhu tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien kusta dalam aktifitas ada gangguan dalam hal interaksi sosial dengan
masyarakat biasanya pasien mengurung diri dan pada pergerakan ektrimitas bagian perifer
didapatkan bercak-bercak merah disertai odema dan pasien dianjurkan harus bayak mobilisasi.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Presepsi klien tentang penyakitnya dan bagaimana konsep dalam menghadapi penyakitnya yang
diderita.
g. Pola sensori dan kognitif
Pada umumnya penderita kusta mengalami gangguan disalah satu sensorinya seperti peraba .
Pasien tidak merasa adanya rangsangan apabila bercak tersebut diberikan rangsangan.Pada
kognitifnya pasien kusta merasa tidak berguna lagi dan merasa terkucilkan serta merasa tidak
diterima oleh masyarakat dan keluarganya.
h. Pola reproduksi seksual
Pada umumnya pada pola produksi seksual klien tidak mengalami gangguan.
i. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari masyarakat (disorentasi)
Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya.Dan masyarakat beranggapan penyakit kusta
merupakan penyakit yang menjijikan.
j. Pola penanggulangan stress
Bagai mana klien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara penanggulangannya.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat ghaib.
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dikelompokkan meliputi data subyektif dan data
obyektif untuk menentukan masalah klien. Data yang telah dikelompokkan untuk menentukan
masalah keperawatan kemudian penyebabnya dan dirumuskan dalam diagnosa keperawatan.
(Lismidar, 1990 : 7-8)

II DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata
(potensial) dan membutuhkan tindakan keperawatan sehingga masalah klien ditanggulangi /
dikurangi (Lismidar, 1990 : 13).
Diagnosa yang sering muncul pada klien Penyakit kusta adalah
1. Gangguan citra tubuh b/d Perasaan negatif pada dirinya sendiri
2. Kerusakan integritas kulit b/d ulkus akibat mycobacterium leprae.
3. Harga diri rendah berhubungan dengan penyakit yang dideritanya
4. Menarik diri b/d penyakit yang dideritanya
5. Kurangnya personal hagiene b/d kurangnya pengetahun tentang penyakitnya
6. Kurangnya pengetahuan b/d informasi yang salah

III PERENCANAAN
Diagnosa :Kerusakan integritas kulit b/d ulcus akibat mycobakterium leprae.
Tujuan :Menunjukkan tingkah laku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau meningkatkan
penyembuhan
Kriteria Hasil :
1. Mencapai kesembuhan luka
2. mendemontrasikan tingkah laku atau teknik untuk meningkatkan kesembuhan dan
mencegah komplikasi
3. Menunjukkan kemajuan pada luka/penyembuhan pada lesi

Rencana Tindakan :
1. Guanakan teknik aseptip dalam perawatan luka
2. Kaji kulit tip hari dan warnanya turgor sirkulasi dan sensori
3. Instruksikan untuk melaksanakan higiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya,dena berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan losion dan
krim
4. Ingatkan pasien jangan menyentuh yang luka
5. Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat
6. Pertahankan sprei bersih atau ganti spei sesuai dengan kebutuhan kering dan tidak berkerut.
7. Kolaborasi dengan tim medis lainnya

Rasional:
1. Mencegah luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi
2. Menentukan garis dasar bila ada terdapat perubahan dan dapat melakukan intervensi dengan
tepat
3. Mempertahankan kebersihan ,karena kulit yang kering bisa terjadi barrel infeksi,pembasuhan
kulit kering sebagai penggaruk,menurunkan resiko trauma dermal kulit yang kering dan rapuh
masase meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan kenyamanan
4. Mencegah kontaminasi luka
5. Mempertahankan keseimbangan nitrogen positif
6. Freksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi dan
potensial terhadap infeksi.
7. elaksanakan fungsi interdependen

Diagnosa :Ganguan citra tubuh b/d persaan negetif tentang dirinya


Tujuan :Klien dapat menerima keadaan dirinya.
KH :
1. Mengungkapkan rasa percaya diri dalam kemampuan menghadapi penyakitnya,perubahan
gaya hidup dan kemungkinan keterbatasan
2. Menyusun rencana untuk realitas untuk masa depan
3. Dapat menerima keadaan dirinya
4. Klien dapat menerima konsep dirinya yang posititf tentang dirinya
Intervensi:
1. Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit,harapan masa depan
2. Diskusikan arti dari perubahan pada pasien terhadap penampilannya
3. Perhatikan prilaku menarik diri atau terllu memperhatikan tubuh atau perubahan
4. Susun batas pada prilaku maladaptif Bantuklien untuk mengidentifikasi prilaku positif yang
dapat membantu koping
5. Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perwatan dan membuat jadwal aktivitas
6. Berikan harapan dalam situasi individu jangan berikan keyakinan yang salah
7. Berikan kesempatan untuk berbagi rasa dengan individu yang mengalami yang sama
Rasional :
1. Memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut atau kesalahan konsep dan meng
hadpi secara langsung
2. Mengidentifikasi bagaimana penyakit menpengaruhi persepsi diri dan interksi diri dengan
orang lain akan menentukan kebuuhan terhadap intervensi
3. Dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping maladaptif, Membutuhkan intervensi
lebih lanjut atau dukungan pskologis
4. mempertahankan kontrol diri yang dapat meningkatka harga diri
5. Meningkatkan perasan kompetensi atau harga diri mendorong kemandirian atau mendorong
partisipasi dalam terapi
6. Kata-kata penguat dapat mendukung terjadinya koping positif
7. Memberikan motivasi dan rasa percaya diri.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN LEPRA/KUSTA
A. PENGKAJIAN
Yang haruss di kaji dengan pasien lepra adalah sebagai berikut :
1. Identitas pasien
2. Pemeriksaan tanda-tanda vital
3. Keluhan utama, pada pasien lepra pada umumnya mengeluh adanya bercak-bercak di kulit,gatal,kaku
dan panas serta mengalamai demam yang tinggi.
4. Riwayat kesehatan sekarang,riwayat penyakit kusta umumnya adanya bercak-bercak merah disertai
hiperanestesi dan oedema pada ekstremitas pada bagian perifer seperti tangan, kaki dan terjadi
peningkatan suhu.
5. Riwayat penyakit dahulu, penyakit yang di derita pasien sebelumnya seperti hepatitis,terpajan oleh
bakteri M. leprae sebelumnya namun dengan kondisi imun yang baik, asma ,alergi dan jantung koroner.
6. Riwayat kesehatan keluarga, pada umumnya anggota keluarga ada yang pernah mengalamai penyakit
leprae dan resiko keluarga terkena penyakit yang sama akan tinggu.
Pada pembahasan tentang asuhan keperawatan pada pasien leprae pengkajian berdasarkan Nanda
internasional adalah sebagai berikut :
1. Domain 1. promosi kesehatan :
Data subyek:
• Tanyakan kesehatan masa lalu pasien : pasien pada umumnya pernah mengalami alergi, penyakit kulit
sebelumnya.
• Tanyakan keluhan utama pasien.
• Tanyakan riwayat kesehatan sekarang pasien.
• Tanyakan riwayat alergi makanan/obat :pada pasien dengan leprae umunya mengalami alergi
makanan/obat sehingga timbul penyakit leprae.
• Tanyakan riwayat imuniasasi.
Data subyek :
• Observasi perilaku kepatuhan terhadap program terapi : pasien leprae harus di pantau terapinya dan
kepatuhanya sehingga dapat sembuh dan tidak bertambah parah khususnya kondisi kukit.
• Pengobatan saat ini : observasi pemberian obat,frekuensi ,dosis.
2. Domain 2. nutrisi.
Data subyek :
• Riwayat berat badan :tanyakan perubahan berat badan pada psien pada umunya pasien mengalamai
penurunan berat badan.
• Kebiasaan makan dan minum : tanyakan kebiasaan makan meliputi makanan klien sehari-
hari,sayur,lauk,minuman sehari-hari minuman sehari berapa gelas. Umumnya pasien dengan penyakit
lepra alergi makanan sehingga mengobservasi kebiasaan makan sangat penting.
• Perubahan nafsu makan :umumnya pada pasien lepra mengalamai penurunan nafsu makan.
• Pada umumnya pasien lepra megalamai kesulitan mencerna makanan.
• Riwayat alergi makanan : tanyakan tentang alergi makanan pada pasien karena pada penderita leprae
akan mengalamai alergi terhadap makanan sebagai penyebab dari penyakitnya.
Data obyek :
• Keadaan umum : pada pasien dengan penyakit leprae akan wajah tampak sayu,lemas dan pucat.
• Hitung body mass indek (BMI) pasien
• Penampilan kulit pasien : pada penderita leprae warna kulit kemerahan,kulit lengket dan menyebar dan
lesi keputih-putihan,kulit kering dan retak-retak.
• kondisi mulut akan memerah,mengalamai stomatitis.
• Kondisi bekas luka akan memerah dan lengket.
• Intake oral dan intravena : kaji intake oral pasien melalui minuman dan intravena : jenis cairan,berapa
kali permenit tetesan infuse.
• Kaji program diit saat ini.
• Hasil lab :
3. Domain 4. aktivitas istirahat
Data subyek :
• Tanyakan kemampuan makan,mandi,toileting, mobilitas di tempat tidur. Pada pasien dengan penyakit
leprae akan mengalami hambatan mobilitias atau dapat disebabkan karena kondisi luka yang lengket dan
kulit kaku serta klien akan menyatakan lemah pada ekstremitas dan mati rasa.
• Tanyakan periode istirahat pasien :jam tidur,frekuensi tidur dan istirahat serta kegiatan rekreasional.
Data obyek :
• Observasi tingkat ketergantungan pasien : level 0 pasien dapat mandiri, level 1membutuhkan
penggunaan alat bantu, level 2 membutuhkan pengawasan orang lain, level 3 membutuhkan bantuan
orang lain masih berpatisipasi, dan level 4 ketergantungan tanpa partisipasi. Pada pasien dengan lepra
dan kondisi tubuh untuk bermobilisasi kurang baik umunya kan berada pada level 3 atau 4 yang
tergantung dengan orang lain.
• Tes sendi/ROM , masa otot: pasien akan mengalami kelemahan otot sampai lumpuh dan mati rasa.
• Kaji status vaskuler : pada pasien dengan lepra akan mengalami perandangan kronis pada saraf perifer
akibat dari luka yang kemerahan dan lesi akan keputih-putihan/hipopigmentasi kulit kaku dan kering.
• Hasil pemeriksaan lab :pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk menegakan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Bakterioskopik negative pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung M. leprae. Pemeriksaan darah lengkap atau HMT sangat penting untuk mengetahui
sel darah putih untuk indikasi adanya infeksi.Pemeriksaan histopatologik ,makrofag dalam jaringan yang
berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus antara lain sel kuffer dari hati,sel
alveolar dari paru ,sel glia dari otak dan dari kulit yaitu stiotit. Pada lepramatosa terdapat kalim sunyi
subepidermal(subepidermal clear zone, ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringan
tidak patologik,ada sel vircho dengan banyak khas).
4. Domain 6. persepsi diri
Data subyek :
• Tanyakan perasaan pasien : pada pasien dengan lepra biasnya akan mengalami putus asa,merasa
tidak berguna dan rendah diri atas penyakit yang di deritanya.
• Tanyakan pengaruh penyakit terhadap kehidupan : pasien akan menyatakan diasingkan dari
lingkungan,di hina karena kelaianan kulit yang di alamainya.
• Penilaian pasien terhadap diri sendiri : pasien merasa di asingkan ,tidak di hargai di
lingkunganya,merasa jelek karena keadaan kulit tubuhnya.
Data obyek :
• Amati respon pasien saat berinteraksi. Pasien akan mengalihkan perhatian saat bicara,terlihat malu dan
suara rendah.
• Ukur skala kecemasan : skala 1 antisipasi/relaksi, skala 2 cemas ringan,skala 3 cemas sedang , skala 4
cemas berat dan skala 5 panik. Pada pasien dengan lepra akan menagalami kecemasan pada skala 4
atau 5.
• Ukur skala sertifitas, skala 1 asertif,skala 2 asertif ringan/sedikit,skala 3 asertif sedang/lebih
berkurang,skala 4 tidak asertif dan skala 5 marah. Pasien akan mengalami pada skala 4 atau 5 karena
marah,sedih akan keadaan yang di alamainya.
• Catat tanda verbal dan non verbal. Pada pasien dengan lepra akan menyatakan kemarahan,kesedihan
dan putus asa.
5. Domain 11. keamanan dan proteksi.
Data subyek :
• Tanyakan keluhan nyeri dengan PQRST: Pada pasien dengan lepra akan mengeluh nyeri di seluruh
tubuh terutama ekstrimitas dan muncul tiba-tiba ,berkurang saat di kompres,lebih nyeri saat gatal timul
dan nyeri karena lukanya.
• Riwayat penggunaan obat-obatan. Pada pasien dengan lepra umumnya akan karena laergi obat-
obatan.
• Tanyakan riwayat penyakit imun yang sebelumnya.
Data obyek :
• keadaan umum : observasi keletihan ,kegelisahan klien dan kondisi kesadaran pasien.
• Observasi tanda-tanda vital.
• kaji tanda-tanda infeksi : saat di raba luka akan terasa kering,kaku, pasien akan merasa panas,luka
akan berbau,kemerahan, ekstremitas kaku.
• hasil lab : pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk menegakan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Bakterioskopik negative pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung M. leprae. Pemeriksaan darah lengkap atau HMT sangat penting untuk mengetahui sel
darah putih untuk indikasi adanya infeksi.Pemeriksaan histopatologik ,makrofag dalam jaringan yang
berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus antara lain sel kuffer dari hati,sel
alveolar dari paru ,sel glia dari otak dan dari kulit yaitu stiotit. Pada lepramatosa terdapat kalim sunyi
subepidermal(subepidermal clear zone, ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringan
tidak patologik,ada sel vircho dengan banyak khas).
6. Domain 12. kenymanan
Data subyek :
• Tanyakan keadaan pasien saat ini. Pasien akan menyatakan cemas dan takut karena penyakit yang di
deritanya.
• Tanyakan penyebab ketidaknyamanan yang di deritanya. Pasien akan megalamai ketidaknyamanan
karena luka pada kulitnya yang kaku,panasmberbau dan gatal serta tidak dapat berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya.
• Tanyakan apakah klien merasa mual. Pasien akan merasa mual dan muntah serta penurunan berat
badan karena bau pada lukanya dan makanan tidak enak saat dimakan.
• Kaji nyeri dengan PQRST :Pada pasien dengan lepra akan mengeluh nyeri di seluruh tubuh terutama
ekstrimitas dan muncul tiba-tiba ,berkurang saat di kompres,lebih nyeri saat gatal timul dan nyeri karena
lukanya.
Data obyek :
• Amati respon pasien terhadap ketidaknyamanan : pasien akan mengalami cemas yang berlebihan,
ekspresi wajah yang kurang nyaman dan pasien akan tampak gelisah.
• Amati respon pasien terhadap nyeri. Pada pasien dengan lepra amati respon nyeri apakah pasien dapat
melaporkan nyeri dan nyeri berkurang saat di kompres,diberi analgetik.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien dengan penyakit lepra atau kusta adalah sebagi
berikut :
• Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (otot pasien kaku dan sampai
lumpuh).
• Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
• ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses
penyakit.
• ketidakefektifan menejemen kesehatan diri berhubungan dengan kurang pengetahuan.
• Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada tubuh.
• Resiko infeksi berhubungan dengan pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemajanan
pathogen.
• Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imun.
• Mual berhubungan dengan situasional (bau luka di kulit yang tidak menyenangkan,nyeri, faktor
psikologis dan rasa makanan atau minuman tidak enak di lidah.
• Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
• Hipertermi berhubungan dengan penyakit.
C. RENCANA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN(NOC) INTERVENSI(NIC)


1. Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan selama….x24 jam pasien dapat Respon alergi :
lokasi dengan kriteria hasil :
1. Nyeri sinus
2. sakit kepala
3. konjungtivitis
4. lakrimasi
5. sekresi mukosa
6. lokasi gatal
7. lokasi luka
8. lokasi eritem
9. temperature lokasi kulit
10. lokasi udem
11. lokasi nyeri
skala:
1. besar
2. subtansi
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada
Integritas jaringan dengan kriteria hasil :
1. temperature kulit
2. sensasi
3. elastisitas
4. hidrasi
5. teksture
6. ketebalan
7. perfusi jaringan
8. pertumbuhan rambut kulit
9. integritas kulit
10. pigmentasi abnormal
11. lesi kulit
12. lesi membrane mukosa
13. bekas luka jaringan
14. kanker kulit
15. eritema
16. nekrosis jaringan
skala:
1. sangat dikompromikan
2. substansial dikompromikan
3. moderat
4. ringan
5. tidak ada MERAWAT KULIT : GRAFT SITE
1. memeriksa secara komplit riwayat mendapat dan uji fisik dan memprioritaskan pembedahan skin graft
2. menyediakan control nyeri adekuat
3. mengevaluasi penanaman kulit sampai sirkulasi sekitar pencangkokan (seminggu sekali) .
4. menginstruksikan pasien untuk tidak bergerak/imobilisasi selama penyembuhan
5. menginspeksi area skin graf
6. memonitor warna, suhu ,capillary revil dan turgor skin graft
7. memonitor tanda infeksi
8. mendorong/memberi semangat pasien , pemahaman, kepada pasien dan keluarga tentang skin graft
9. menginstruksikan pasien untuk menggunakan metode proteksi dari area pencangkokan kulit misal
perlindungan dari matahari dan suhu.
10. menginstruksikan pasien untuk melaporkan setiap perubahan pada area skin graft
PERAWATAN LUKA
1. Melepaskan dressing sebelumnya
2. mencukur rambut yang mengelilingi area luka
3. memonitor karakteristik dari luka,drainage,warna,ukuran dan bau
4. ukuran dari area luka
5. membersihkan dengan normal saline atau non-toksik cleanser
6. memasangkan dressing
7. menjaga sterilitas luka
8. menginspeksi luka
9. memberi intake cairan
10. menginstruksikan pasien untuk megenali tanda dan gejala infeksi dan segera melaporkan kepada
petugas kesehatan
11. mendokumentasikan lokasi luka,ukuran dan penampilan luka.

2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan selama….x24 jam pasien dapat mencapai mengontrol nyeri
dengan kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri
2) menceritakan faktor penyebab
3) menggunakan monitor tanda dan gejala
4) menggunakan ukuran preventif
5) menggunakan ukuran non analgetik
6) menggunakan analgetik yang di rekomendasikan
7) melaporkan tandaketidaknyamanan kepada petugas kesehatan
8) melaporkan perubahan tanda nyeri kepada petugas kesehatan
9) melaporkan control nyeri
skala :
1. tidak demonstrasikan
2. jarang demonstrasikan
3. kadang-kadang demostrasikan
4. sering demonstrasikan
5. konsisten
Level nyeri dengan kriteria hasil :
1. melaporkan nyeri
2. panjangnya episode nyeri
3. mengerang dan menangis
4. ekspresi wajah saat nyeri
5. istirahat
6. iritasi
7. mengigil
8. menangis
9. mengeluarkan keringat
10. tensi otot
11. muntah
skala :
6. besar
7. subtansi
8. sedang
9. ringan
10. tidak ada ADMINISTRATION ANALGESIC
1. Menentukan lokasi,karakteristik dan kualitas nyeri sebelum memberikan obat.
2. Cek medical order obat ,dosis dan frekuensi dari pemberian resep analgetik.
3. Mengecek riwayat dari alergi obat.
4. Mengevaluasi kemmapuan pasien untuk berpartisipasi dari seleksi analgetik ,rute dan dosis dan
melibatkan pasien,yangbsesuai.
5. Memilih analgetik yang sesuai atau kombinasi dari analgetik ketika mendapatkan rekomendasi lebih
dari satu resep.
6. Memilih cara pemberian lewat intravena,intramuscular untuk frekuensi nyeri medikasi injeksi.
7. Memonitor vital signs sebelum dan sesudah pemberian analgetik jenis narkotik
8. Memperhatikan untuk ekspektasi positif yaitu optimis terhadap respon pemberian analgetik terhadap
pasien.
9. Mengevaluasi efektivitas dari frekuensi pemberian analgetik secara regular waktu istirahat setelah
pemberian, tetapi setelah pemberian observasi tanda dan gejala efek samping.
10. Mendokumentasikan respon analgetik dan efek rentang pemberian analgetik.
11. Kolaborasi dengan dokter jika obat, dosis dan rute atau waktu rentang indikasi perubahan.
12. Mengajarkan tentang penggunaan analgetik,strategi pengurangan efek samping dan ekspektasi dari
waktu istirahat dalam kepastian tentang gambaran nyeri.
MENEJEMEN NYERI
1. Menampilkan secara komprehensif pengkajian dari lokasi nyeri,karakteristik,durasi,frekuensi,kualitas,
intensitas dari skala nyeri dan faktor pencetus nyeri.
2. Mengobservasi nonverbal dari ketidaknyamanan pasien yang lebih efektif gunakan komunikasi
langsung.
3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik .
4. eksplore pengetahuan dan kepercayaan pasien tentang nyeri.
5. Memberi semangat pasien untuk medikasi nyeri secara adekuat.
6. Mengajarkan metode non farmakologi kepada pasien.
7. Mengajarkan prinsip menejemen nyeri.
8. Menginstruksikan pasien untuk melaporkan nyeri kepada petugas kesehatan.
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan selama….x24 jam pasien dapat mencapai
Pengetahuan : menejemen infeksi dengan indicator :
 Modeof transmisi
 Faktor-faktor yang transmisi
 Praktek yang mengurangi transmisi
 Tanda dan gejala infeksi
 Pemantauan prosedur untuk infeksi
 Pentingnya sanitasi tangan
 Kegiatan untuk meningkatkan ketahanan terhadap infeksi
 Pengobatan untuk infeksi didiagnosis
 Tindak lanjut untuk infeksi didiagnosis
 Tanda dan gejala eksaserbasi infeksi
 Identifikasi nama yang benar dari obat
 Efek samping obat.
Skala:
11. besar
12. subtansi
13. sedang
14. ringan
15. tidak ada
Integritas jaringan:kulit dan membrane mukosa dengan indicator :
 Suhu kulit
 Elastisitas kulit
 Hidrasi
 keringat
 tekstur kulit
 ketebalan kulit
 jaringan perfusi
 Pertumbuhan rambut pada kulit
 Integritas kulit
 abnormal
 pigmentasi kulit
 lesi kulit
 Mukosa
 membran lesi
 jaringan parut
 kanker kulit
 kulit mengelupas
 Eritema
 Nekrosis
 Proses mengeras
Skala :
1. besar
2. subtansi
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada
PERLINDUNGAN INFEKSI
KEGIATAN :
1) Pantau tanda-tanda sistemik dan lokal dan gejala infeksi.
2) Memantau mutlak granulosit menghitung, WBC count dan hasil diferensial.
3) Ikuti tindakan pencegahan neutropenia, yang sesuai.
4) Batasi jumlah pengunjung, yang sesuai.
5) Menyaring semua pengunjung untuk penyakit menular.
6) Menjaga asepsis untuk pasien beresiko.
7) Pertahankan teknik isolasi, yang sesuai.
8) Berikan perawatan kulit yang sesuai untuk daerah pembengkakan.
9) Periksa kulit dan selaput lendir untuk kemerahan, kehangatan ekstrim atau drainase.
10) Periksa kondisi dari setiap luka.
11) Promosikan asupan gizi yang cukup.
12) Mendorong asupan cairan, yang sesuai.
13) Mendorong istirahat.
14) Anjurkan pasien untuk mengambil antibiotik yang diresepkan.
15) Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya ke
penyedia layanan kesehatan.
16) Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana menghindari infeksi.
RESIKO DETEKSI
KEGIATAN.
1. Mengenali tanda-tanda dan gejala yang mengindikasikan risiko
2. Mengidentifikasi potensi resiko kesehatan
Mencari validasi dari risiko yang
3. Lakukan pemeriksaan diri pada interval yang disarankan
4. Berpartisipasi dalam penyaringan pada interval yang disarankan
5. Mengakuisisi pengetahuan tentang sejarah keluarga
6. Mempertahankan pengetahuan terbaru dari riwayat keluarga
7. Mempertahankan pengetahuan terbaru dari riwayat pribadi
8. Menggunakan sumber daya untuk tetap informasi tentang risiko pribadi
9. Menggunakan layanan kesehatan kongruen dengan kebutuhan
10. Memperoleh informasi tentang perubahan dalam rekomendasi kesehatan

D. IMPLEMENTASI
Implementasi untuk pasien dengan lepra adalah sebagai berikut:
1. Lakukan intervensi pada rencana keperawatan diantaranya :merawat luka skin graft,memantau luka
setelah tindakan skin graf,meemantau tanda dan gejala infeksi dan menurunkan rasa nyeri.
2. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian obat-obatan,diit yang sesuai dan dukungan
psikologis.
3. Lakukan tindakan ulang setelah target tidak terpenuhi dan lakukan tindakan lain yang menambah
prospek pasien untuk sembuh lebih baik.
4. Catat secara teliti setiap tindakan yang dilakukan.
E. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang
disengaja dan terus menerus dengan melibatkan klien,perawat dan anggota tim kesehatan
lainya(Lismidar,1990:68). Evaluasi dalam proses keperawatan memiliki aspek yang harus di pahami :
1. S/subyek : yaitu respon pasien secara subyek (metode wawancara langsung/bertanya kepada pasien)
terhadap implementasi yang sudah dilakukan selama target yang sudah ditetapkan/direncanakan
perawat.Pada pasien lepra tanyakan tentang kondisi saat melakukan evaluasi.
2. O/obyek: respon pasien non verbal (diobservasi setiap melakukan pengkajian) terhadap implementasi
yang dilakukan. Pada pasien lepra observasi utamanya pada kondisi luka,kondisi fisik klien.
3. Analisa: adalah hasil dari implementasi yang sudah dilakukan yaitu diantaranya :masalah teratasi
sebagian,masalah teratasi dan masalah tidak teratasi. Masalah teratasi pada pasien lepra bila kondisi
pasien sudah pulih dan lebih baik dari sebelumnya,masalah tidak teratasi bila kondisi lebih buruk atau
tetap dan masalah teratasi sebagian bila respon pasien sudah lebih baik dari sebelumnya namun belum
semua masalah terselesaikan.
4. Perencanaan, perencanaan dalam evaluasi proses keperawatan adalah perencanaan ulang yang
hasilnya masalah tidak teratasi dan masalah teratasi sebagian. Perencanaan dapat melanjutkan
perencanaan sebelumnya atau menambah perncanaan tindakan lain yang tetap berkolaborasi dengan
tenaga kesehatan lainya.

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Docter, M,Joanne,dkk. 2004. Nursing Intervention classification (NIC). USA : mosby.


Ester,monica (editor indonesia) dan herdman (editor amerika). 2011. Diagnosis keperawatan definisi dan
klasifikasi 2011-2014. Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC.
Format asuhan keperawatan priodi DIII keperawatan tahun 2011. Yogyakarta :akademi kesehatan karya
husada Yogyakarta.
Heri,susilo. 2012. Asuhan keperawatan pada pasien dengan kusta. Diunduh
darimydokumentku.blogspot.com pada tanggal 29 maret 2013.
Morhead,sue,dkk. 2004. Nursing outcomes classification. Amerika : Mosby.
Riyanto agus.2012. Penyakit kusta atau lepra. Diunduh dari dr-suparyanto.blogspot.com pada tanggal 29
maret 2013.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara
122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu
prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Padatahun 1991 World Health Assembly telah
mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit
kusta di dunia diperkirakan 640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000,Word
Health Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta.70% kasus dunia terdapat di
India, Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005).
Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India danBrazil dalam hal
penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada penurunan yang cukup drastis dari
jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama
sekali. Oleh karena itu, selain angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan
indikator yang harus diperhatikan (Depkes RI, 2005).

Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHOpada tahun itu,
90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar,Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di
seluruh dunia, dua hingga tiga juta orangdiperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta
dunia pada 2003menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikutioleh
Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005).Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi
tertinggi di provinsiJawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk. selanjutnya provinsi
JawaBarat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2per 10.000
penduduk (Depkes RI, 2002).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan kusta?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien kusta
1.3.2 Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui definisi penyakit Kusta
 Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari penyakit Kusta
 Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Kusta
 Untuk menegetahui klasifikasi dari penyakit Kusta
 Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Kusta
 Untuk mengetahui patoflow dari penyakit Kusta
 Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostik dari penyakit Kusta
 Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Kusta

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI KUSTA


adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.(Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae.
(Mansjoer Arif, 2000)Kusta adalah penyakit infeksikronis yang di sebabkan oleh mycobacterium
lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial,mata,otot, tulang, dan testis (
djuanda,4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer,tetapi
mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

2.2 ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada tahun
1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron
dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan
sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak
ganas serta lambat berkembangnya.
Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic yang bersifat tahan asam.
Sampai saat ini kuman tersebut belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, dan
manusia merupakan satu-satunya sumber penularan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
membiakkan kuman tersebut yaitu melalui: telapak kaki tikus, tikus yang diradiasi,armadillo,
kultur jaringan syaraf manusia dan pada media buatan.
Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui kerokan kulit
penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering,dapat bertahan hidup sampai 9 hari
di luar tubuh, sedangkan di tanah yang lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai
46 hari.

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:

1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel,
biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi
dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan sensibilitas pada
lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai
kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai
kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2) BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai
ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign penyakit
kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini
merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
 Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
 Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan ( paralise)
 Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama
diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.

2.4 KLASIFIKASI
A.Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
 Indeterminate(I)
 Tuberkuloid (T)
 Boderline-Dimorphous(B)
 Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
 Tuberkoloid (TT)
 Borderline tuberculoid (BT)
 Mid-Borderline (BB)
 Borderline Lepromatous (BL)
 Lepromatosa (LL)
C.Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
 Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
 Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)menurut WHO
Kelainan kulit & hasil
No Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
Bercak (makula) a.1-5 a.Banyak
a.Jumlah b.Kecil dan besar b.Kecil-kecil
b.Ukuran c.Unilateral atau bilateral c.Bilateral, simetris
c.Distribusi asimetris d.Halus, berkilat
1 d.Konsistensi d.Kering dan kasar e. Kurang tegas
e.Batas e. Tegas f.Biasanya tidak jelas,
f.Kehilangan rasa pada bercak f.Selalu ada dan jelas jika ada terjadi pada
g.Kehilangan berkemampuan g.Bercak tidak berkeringat, yang sudah lanjut
berkeringat,berbulu rontok ada bulu rontok pada bercak g.Bercak masih
pada bercak berkeringat, bulu tidak
rontok
Infiltrat
a.Ada, kadang-kadang
a.Kulit
a.Tidak ada tidak ada
2 b.Membranamukosa
b.Tidak pernah ada b.Ada, kadang-kadang
tersumbat perdarahan
tidak ada
dihidung
a.Punched out lessi
b.Medarosis
”central healing”
3 Ciri hidung c.Ginecomastia
penyembuhan ditengah
d.Hidung pelana
e. Suara sengau
4 Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
Terjadi pada yang lanjut
Lebih sering terjadi dini,
5 Penebalan saraf tepi biasanya lebih dari 1
asimetris
dan simetris
Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium
6 Deformitas cacat
dini lanjut
7 Apusan BTA negatif BTA positif

2.5 PATOFISIOLOGI
Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas selular (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi,
penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa.
M.leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada
tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada
intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

Patofisiologi[sunting | sunting sumber]

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti
adanya kontak dekat dan penularan dari udara.[12] Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta
adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.[13] Terdapat bukti bahwa tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut
berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap
individu.[14] Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.

Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang
terinfeksi dan orang yang sehat.[15] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak
lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina[16] hingga 55,8 per 1000
per tahun di India Selatan.[17]

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung.
Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme
di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam
di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et almelaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri
tahan asam di epidermis.[18] Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M.
leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini
membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.[19]

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.[20] Jumlah dari bakteri dari
lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000
bakteri.[21] Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya
bakteri di sekret hidung mereka.[22] Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.[23]

Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan
bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan
McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem
imunnya.[24] Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan
pemaparan bakteri di lubang pernapasan.[25] Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur
masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan
adanya kasus kusta pada bayi muda.[26] Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal
ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa
masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
2.6 PATOFLOW
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
 Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
 Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat
lain.
 Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bilaperlu ditambah dengan lesi
kulit yang baru timbul.
 Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
 Cuping telinga kiri atau kanan
 Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
 Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
 Tidak menyenangkan pasien
 Positif palsu karena ada mikobakterium lain
 Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus
kulit negatif.
 Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada
sediaan kulit ditempat lain.
 Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
 Semua orang yang dicurigai menderita kusta
 Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
 Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap
obat
 Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
 Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,yaitu ziehl neelsen atau
kinyoun gabett.
 Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan
setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

2. Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan
menurut skala logaritma RIDLEYsebagai berikut :0 : Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan
pandang3 : Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang4 : Bila 11-100 BTA dalam rata-
rata 1 lapangan pandang5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang6 : Bila
>1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang3.

Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA.
IMdigunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.Program
Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun
1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995sebagai berikut:
1) Tipe PB (Pause Basiler) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
A. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
B. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion
Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2) Tipe MB (Multi Basiler)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:


A. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
B. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum dirumah

C. DDS 100 mg/hari diminum dirumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal
36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri positif. MenurutWHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yangdiselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakanRFT.
 Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mgdan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk
tipe PB dengan2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosisdalam 24 jam.
 Putus obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak
minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2. Perawatan Umum Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman
kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
A. Perawatan mata dengan lagophthalmos
 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

B. Perawatan tangan yang mati rasa


 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda luka, melepuh
 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebihkurang setengah jam
 Keadaan basah diolesi minyak
 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
 Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
C. Perawatan kaki yang mati rasa
 Penderita memeriksa kaki tiap hari
 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
 Masih basah diolesi minyak
 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
 Jari-jari bengkok diurut lurus
 Kaki mati rasa dilindungi
D. Perawatan luka
 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
 Luka dibalut agar bersih
 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
 Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa
pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi
dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita
kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan,
malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu
karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan.
f. Pola Aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

1) System Pengelihatan Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alismata akan rontok.
2) System Pernafasan Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.

3) System Persarafan
 Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa
pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.
 Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil
(atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
 Kerusakan Fungsi Otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga
kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

4) System Musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) System Integumen Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan
fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan
jika terdapat bercak.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
2. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan otot
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh.
5. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx 1: Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan,
ditandai dengan:
DS:
 Pasien mengatakan susah tidur
 Pasien mengatakan skala nyeri 6
DO:
 Pasien tampak gelisah
 Pasien tidak dapat beraktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan nyeri yang di alami
klien berkurang
Kriteria Hasil :
 Skala nyeri pasien 1-3
 Grimace tidak ada
 Pasien dapat tidur atau istirahat dengan tenang
 Pasien dapat beraktivitas sesuai toleransi
No Intervensi Rasional
Memberikan informasi untuk membantu
1 Kaji karakteristik nyeri
dalam memberikan intervensi
Untuk mengetahui perkembangan atau
2 Observasi tanda-tanda vital.
keadaan pasien.
Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik
3 Dapat mengurangi rasa nyeri.
distraksi dan relaksasi
Posisi yang nyaman dapat menurunkan
4 Atur posisi senyaman mungkin.
rasa nyeri.
Kolaborasi untuk pemberian analgesik
5 Menghilangkan rasa nyeri.
sesuai indikasi.

Dx 2: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi, ditandai dengan:
DS : -
DO :
 Adanya lesi
 Terdapat oedeme, panas, bau di sekitar lesi
 Terdapat jaringan nekrotik
 Tidak terdapat jaringan granulasi

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam prosesinflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh

Kriteria Hasil :
 Menunjukkan regenerasi jaringan
 Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
No Intervensi Rasional
Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika Memberikan informasi dasar tentang
1 ada jaringan nekrotik dan kondisi terjadi proses inflamasi dan mengenai
sekitar luka. sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
Berikan perawatan khusus pada daerah Menurunkan terjadinya penyebaran
2
yang terjadi inflamasi inflamasi pada jaringan sekitar.
Evaluasi warna lesi dan jaringan yang Mengevaluasi perkembangan lesidan
3 terjadi inflamasi, perhatikan adakah inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya
penyebaran pada jaringan sekitar. komplikasi.
Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan
Bersihkan lesi dengan sabun pada
4 khusus untuk mempertahankan
waktu direndam.
kebersihan lesi.
Istirahatkan bagian yang terdapat lesi Tekanan pada lesi bisa
5
dari tekanan. menghambat proses penyembuhan.
Dx 3: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai dengan:
DS:
 Klien mengeluh sulit melakukan aktivitas
DO:
 Terdapat penurunan fungsi kekuatan pada bagian tubuh yang sakit
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria Hasil :
 Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
 Kekuatan otot penuh

No Intervensi Rasional
Meningkatkan posisi fungsional pada
1 Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
ekstremitas.
Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi
2
pada kulit. pada ekstremitas.
Lakukan latihan rentang gerak secara Mencegah secara progresif
3 konsisten, diawali dengan pasif mengencangkan jaringan, meningkatkan
kemudian aktif pemeliharaan fungsi otot/sendi.
Jadwalkan pengobatan dan aktifitas
Meningkatkan kekuatan dan toleransi
4 perawatan untuk memberikan periode
pasien terhadap aktifitas.
istirahat.

Dx 4: Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh, ditandai dengan:
DS:
 Klien mengatakan belum dapat menerima kehilangan fungsi tubuhnya

DO:
 Klien tampak kurang percaya diri terhadap kondisi tubuhnya
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tubuh klien dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat.
Kriteria Hasil :
 Pasien menyatakan penerimaan situasi dirinya
 Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
No Intervensi Rasional
Episode traumatik mengakibatkan
1 Kaji makna perubahan pada pasien. perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal.

Terima dan akui ekspresi frustasi,


Penerimaan perasaan sebagai respon
2 ketergantungan dan kemarahan.
normal terhadap apa yang terjadi
Perhatikan perilaku menarik diri.
membantu perbaikan.
Meningkatkan perilaku positif dan
Berikan harapan dalam parameter
memberikan kesempatan untuk menyusun
3 situasi individu, jangan memberikan
tujuan dan rencana untuk masa depan
kenyakinan yang salah.
berdasarkan realitas.
Meningkatkan perasaan dan
Berikan kelompok pendukung untuk
4 memungkinkan respon yang lebih
orang terdekat.
membantu pasien.

Dx 5: Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas


Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkantidak terjadi tanda-tanda
infeksi.
Kriteria Hasil:
 Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: Kalor, rubor, dolor, tumor dan fungsiolesa.
 TTV dalam batas normal
N
Intervensi Rasional
o
Untuk mengetahui apakah pasian mengalami infeksi.
Kaji tanda – tanda infeksi
1 Dan untuk menentukan tindakan keperawatan
berikutnya.
Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui kead
aan umum pasien. Perubahan suhu menjadi tinggi
2 Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
merupakan salah satu tanda – tanda infeksi.

3 Ajarkan teknik aseptik pada pasien Meminimalisasi terjadinya infeksi


Cuci tangan sebelum memberi asuh Mencegah terjadinya infeksi nosokomial
4
an keperawatan ke pasien.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit
dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang
ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positif,
berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae
hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan
termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Tanda dan gejala penyakit
kusta:

1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasaKelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini
merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ). Gangguan fungsi saraf ini
bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot ( parese) atau kelumpuhan ( paralise)
c. Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.

3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama
diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.
4.2 SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat
mengetahui konsep dasar penyakit Kusta dan dapat mengetahui tentang
asuhan keperawatan pasien Kusta.
KUSTA

DEFINISI

Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

leprae (M. leprae) penyakit ini menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan

jaringan tubuh lainnya

ETIOLOGI

M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf

perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang

kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara

40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang

ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat

tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada

yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang

bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan

infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

EPIDEMIOLOGI

Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui

saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai

permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu.

Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal

ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan

tubuh, sosial ekonomi dan iklim.


Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien tipe MB

(multy basiler) yang belum di obati atau tidak berobat secara teratur.

Bila seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5%

akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanisfestasi klinis

menjadi determinate dan 70% sembuh.

Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab.

Insidens penyakit kusta di indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.

Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.

Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok

anak umur 10-12 tahun.

PATOGENESIS

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,

tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.

Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembanganpenyakit kusta bergantung

pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada

derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler

tinggi. Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke

arah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu

daerah akral dengan vaskularisasiyang sedikit.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar

pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh

tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk

memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan

kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah

kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian
bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan

masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun

pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada

intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagaipenyakit imunologis.

MANIFESTASI KLINIS

Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut

WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut.

Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.

Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi

kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul,

atau nodul.

Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama

saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan

saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan

tanda kusta.

BTA positif.

Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.

Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan sampai

ditegakkan diagnosis kusta atau penyakitlain.

KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan Ridley dan Joping adalah tipe TT (tuberkoloid), BT (borderkine

tuberkoloid), BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous), dan LL (lepromatosa).

Sedangkan departemen kesehatan Dirjen P2MPLP (1999) dan WHO (1995) membagi tipe

menjadi tipe pause basiler (PB) dan multy basiler (MB). Dan membagi

klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun

penderita menjadi
1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang

dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala

berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - )

dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4

buah, gangguan sensibilitas ( + )

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas

lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak

begitu jelas pada tepi luarnya.

Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji

lepromin ( - ).

4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi

asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat

banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji

Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

PEMERIKSAAN KLINIS

inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk

mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit diseluruh tubuh diperhatikan seperti

adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut

tubuh (alopesia dan madarosis).

Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul

yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).

Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. Auricularis, n. Ulnaris, n. Radialis, n.

Medianus, n. Peroneus, dan n. Tibialis posterior. Hasis pemeriksaan yang perlu dicatat adalah
pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Erhatikan raut muka pasien apakah

ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.

Pemeriksaan fungsi saraf otonom. Yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat

tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.

GAMBARAN KLINIS

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1. Tipe Tuberkoloid ( TT )

· Mengenai kulit dan saraf.

· Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,

kontrol healing ( + ).

· Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau

tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa

gatal.

· Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun

pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

· Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

· Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

· Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

· Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Borderline ( BB )

· Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

· Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

· Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,

cenderung simetris.

· Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

· Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah

dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )


Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih

jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag

tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,

berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan

penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

5. Tipe Lepromatosa ( LL )

· Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas

atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

· Distribusi lesi khas :

o Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

o Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

· Stadium lanjutan :

o Penebalan kulit progresif

o Cuping telinga menebal

o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis

dan keratitis.

· Lebih lanjut

o Deformitas hidung

o Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

o Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

o Penyakit progresif, makula dan popul baru.

o Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

· Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan

pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

· Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

· Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan

makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

· Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.


· Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

· Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

· Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

· Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

· Lidah : ulkus, nodus

· Larings : suara parau

· Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

· Kelenjar limfe : limfadenitis

· Rambut : alopesia, madarosis

· Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :

sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat

lain.

pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kkulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi

kulit yang baru timbul.

lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. Leprae ialah :

cuping telinga kanan/kiri

dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.

sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena :

Tidak menyenangkan pasien

Positif palsu karena ada mikrobakterium yang lain

Tidak pernah ditemukan M. Leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif

Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dahulu negatif

daripada sediaan kulit ditempat lain

indikasi pengambilan sediaan apus kulit :

semua orang dicurugai menderita kusta


semua pasien baru yang di diagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.

Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten

terhadap obat.

Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.

pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,

yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-Gabett

cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan

setengah/seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh

(solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan chumps.

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan

mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama

tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.

Program multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS

dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin

meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi

persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut

Tipe B

Jenis obat dan dosis untuk dewasa :

rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

DSS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan

RFT (released from treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya

masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah

completion of treatment cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.


Tipe MB

Jenis

rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari

diminum dirumah.

DSS 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24

dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri

positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam

12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak

- klofazimin : umur dibawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan

Harian 50 mg/2 kali/minggu

Umur 11-14 tahun bulanan 100 mg/bulan

Harian 50 mg/3 kali/minggu

- DDS 1-2 mg/kg berat badan

- rifampisin 10-15 mg/kg berat badan

Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe PB

dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg,

dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedanngkan untuk tipe PB dengan 2-5

lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan di

anjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

Putus obat.

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka

dinyatakan DO< sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat sebanyak

12 dosis dari yang seharusnya.


Evaluasi

Evaluasi pengobatan menurut buku panduan pemberantasan penyakitkusta depkes (1999) adalah

sebagai berikut :

pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT

tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan

RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan

dapat dilakukan oleh petugas kusta.

masa pengamatan

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :

Tipe PB selama 2 tahun

Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

hilang/out of control (OOC)

pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan

dikeluarkan dari registrasi pasien.

relaps (kambuh)

terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.

INDIKASI RUJUKAN

memastikan diagnosis penyakit kusta

neuritis akut dan sebakut

reaksi reversal berat

reaksi ENL berat

komplikasi pada mata

reaksi terhadap antikusta

tersangka resisten terhadap antikusta

pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medik


pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat

pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi

pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi

luka lebar dan dalam pada anggota gerak

pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septik

pasien yang memerlukan protese

indikasi sosial

KOMPLIKASI

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasienkusta akibat kerusakan

fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta

REAKSI KUSTA

Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan

kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen-

antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien.

Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan

dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun esudah mulai

pengobatan.

JENIS REAKSI

reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline)

Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebakan seluler secara cepat.

Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui

secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf),

dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).

reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum)


Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang

utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai

respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen.

Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai

eritema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis)

dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh

lainnya.

Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah,

menstruasi, hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi, dan malaria)

dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul

berulang-ulang dan berlangsung lama.

PENATALAKSANAAN

prinsip pengobatan

pemberian obat anti reaksi

obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti

implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :

Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Klorokuin 3x150 mg/hari

Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau dapat juga

diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10

mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal.

Untuk melepas ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan talidomid.

Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur ditirunkan sampai 50 mg/hari. Tidak

dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.

Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila tidak ada

perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat

ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari). Setelah ada perbaikan dosis

diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya

diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis

pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah

berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/hari, selama 1 bulan

diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan

kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari

Istirahat/imobilisasi

Pemberian analgesik dan sedatif

Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih

merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai

antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat digunakan sebagai

analgesik. Sedangkan antimon yang digunakan pada reaksi tipe II untuk mengatasi rasa nyeri

sendi dan tulang kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang digunakan

sebagai berikut.

Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Parasetamol 300-1000 mg yang diberikan tiap 4-6 x sehari (dewasa)

Antimon 2-3 ml diberikan secara selangn seling, maksimum 30 ml

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah

Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat anti kusta dosis penuh harus

tetap diberikan.

pengobatan reaksi ringan

pemberian obat antireaksi.

Aspirin dan talidomin biasa digunakan untuk reaksi. Bila dianggap perlu dapat diberikan

klorokuin selama 3-5 hari.

Istirahat/imobilisasi

Berobat jalan dan istirahat dirumah

Pemberian analgetik dan sedatif

Pemberian obat analgetik dan penenang bila perlu

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak di ubah.

pengobatan reaksi berat


pemberian obat antireaksi

pada reaksi berat diberikan preednison dalam dosis tunggal atau terbagi

istirahat/imobilisasi

imobilisasi lokal pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan pasien dirawat

inap di rumah sakit.

Pemberian analgetik dan sedatif

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah

REHABILITASI

Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, dan sosial. Usaha medis yang dapat

dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak

sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan

untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental

diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk

memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan

dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan

memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan

memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha

pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KUSTA

PENGKAJIAN

Dasar data pengkajian klien

· aktivitas atau istirhat

1. gejala :malaise

· sirkulasi

tanda : td normal/sedikit dari jangkauan normal ( selama curah jantung tetap meningkat ), kulit

hangat kering, bercahaya,pucat, lembab, burik ( vasokontriksi )

· eliminasi

1. gejala : diare

· makanan/cairan

1. gejala : anoreksia, mual/muntah

2. tanda : penurunan BB, penurunan lemak subkutan/massa otot ( malnutrisi ), pengeluaran

haluaran, konsentrasi urine, perkembangan ke arah oliguri, anuria

· neurosensori

1. gejala : sakit kepala, pusing, pinsang

2. tanda : gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma

o nyeri/kenyamanan

1. gejala : kejang abdominal, lokalisasi rasa sakit, urtikaria/pruritas umum

· pernapasan

1. tanda : takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan, suhu : umunya meningkat (

37.95 oc atau lebih ), tetapi kadang sub normal ( <>

§ seksualitas

1. gejala : pruritas perineal

2. tanda : maserasi vulva, pengeringan vgina purulen

· penyuluhan/pembelajaran

1. gejala : masalah kesehatan kronis/melemahkan, misalnya : hati, ginjal, DM, kecanduan

alkohol, penggunaan anti biotik ( baru saja atau jangka panjang )


DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu

2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi

3. Gangguan aktivitas b/d post amputasi

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan

subkutan.

5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas kulit

INTERVENSI

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu

Tujuan :

Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :

· Klien dapat menerima perubahan dirinya

· Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)

· Klien tidak merasa malu

Intervensi :

· Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa

perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.

· Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot

tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

· Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.

Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi

Tujuan :

Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan

kriteria hasil :

· Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi

· Klien tenang

· Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari

Intervensi :

1. Kaji skala nyeri klien

2. Alihkan perhatian klien terhadap nyeri


3. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital

4. Awasi keadaan luka operasi

5. Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri

6. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi

Tujuan :

Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan

dengan kriteria hasil :

· Klien dapat beraktivitas mandiri

· Klien tidak diam di tempat tidur terus

Intervensi :

1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri

2. mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi

3. Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan

subkutan

Tujuan:

Klien mampu merawat luka/lesi yang ada di kulit sehingga tidak mempengaruhi konsep diri

dengan kriteria hasil :

1. klien mampu beradaptasi dengan orang-orang disekitarnya

2. klien tidak lagi merasa malu karena luka/lesi yang ada

3. klien mampu mengetahui bahwa lesi harus selalu dirawat agar tidak bertambah parah

Intervensi :

· kaji/catat ukuran, warna, dan kedalaman luka

· gunakan krim kulit 2xsehari setelah mandi

· pijat kulit dengan lembut untuk memperbaiki sirkulasi kulit

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas kulit

Tujuan :
Klien mengetahui dengan keadaan sekarang maka sangat rentan terhadap berbagai macam

bakteri dan virus yang akan masuk kedalam tubuh sehingga klien akan lebih berhati-hati dan

juga merawat diri. Dengan kriteria hasil :

1. tidak ada bakteri/virus lain yang ada dalam tubuh klien

Intervensi :

· cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung

tangan seteril

· pantau adanya tanda-tanda infeksi

· gunakan selalu alas kaki dan jangan berjalan terlalu cepat

DAFTAR PUSTAKA

· Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia : Jakarta.

· Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :

Jakarta.

Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi, keperawatan, Diagnosis

Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. Jakarta. EGC.

Mansjoer, Arif M. Kapita selekta kedokteran, jilid 1. 2000. Media aesculapius. Jakarta

http://askepkusta.blogspot.com/

ETIOLOGI
 Penyebab penyakit kusta oleh karena Mycobacterium leprae, yaitu kuman yang bersifat gram
positif, berbentuk batang lurus atau melengkung, ukuran panjang 1-8 mikron, diameter 0,2 – 0,5,mikron
dan mempunyai sifat pleomorfik. Mycobacterium leprae termasuk golongan Basil Tahan Asam (BTA) bila
dilakukan pewarnaan Ziehl Neelsen, namun dalam mengikat warna merah dari karbol Fuchsin tidak
sekuat Mycobacterium tuberculosis (Agusni, 2001).

Mycobacterium leprae, mempunyai 5 (lima) sifat penting yang perlu diketahui yaitu :
1. Merupakan organisme obligat endogeous dan tidak bisa dibiarkan dalam media buatan
2. Sifat mengikat asamnya dapat diekstraksi dengan pyridine
3. Mampu mengoksidasi zat D–dihydroxy phenylalanine (D – DOPA)
4. Mengivansi sel schwan dari system saraf tepi terutama di perineum
5. Permukaan membrane mengandung phenolic glycolipid I (PGL-I) dan lipoarabinomannan
(LAM) (Shimoji Yang, 1999).

PATOGENESIS PENYAKIT KUSTA


 Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala dan tanda
adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun. Sering kali penderita
tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah
endemis mudah terinfeksi, namun banyak orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita
kusta (Agusni, 2001).
 Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di perineum, karena
basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar 27-30 °C.
Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang mampu berikatan
dengan reseptor yang dipunyai sel schwann yaitu laminin -2 G receptor sejenis -dystroglycam.
Kemampuan adesi tersebut merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri
merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat
menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu berikatan dengan
SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel schwann (Agusni, 2003).
 Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta dikenali oleh sistem
imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan
spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self).
Peran Cell Mediated Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi
antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak mampu mencernanya.
Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan
pelumatan berhasil.
 Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh basil kusta dapat
memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid – Tuberkuloid
(TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline – Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous
(BL) dan tipe Lepromatous – Lepromatous (LL) (Jopling, 2003).

MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT KUSTA


 Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari kaki,
pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan hilangnya rasa tusukan.
(lihat gambar 2.3) (Bhopal, 2002). Keadaan tersebut merupakan penderita yang sudah lanjut dan sudah
dipastikan lepra tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.
 Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada tangan dan kaki.
Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula anaesthetica, penebalan kulit (papula atau
plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi biasanya timbul penebalan saraf yang disertai peradangan
(neuritis).
 Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler (MB) dan
menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria yaitu :
1. Ditemukannya lesi kulit yang khas.
2. Adanya gangguan sensasi kulit.
3. Penebalan saraf tepi.
4. BTA positif dari sediaan sayatan kulit.

KLASIFIKASI PENYAKIT KUSTA


 Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan penatalaksanaan dan
penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan klasifikasi sebagai berikut :

Klasifikasi Madrid
 Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan atas dasar
kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan rekomendasi Internasional Leprosy
Association di Madrid tahun 1953 (Sekula, B.S, 2003). Klasifikasi Madrid tersebut memutuskan bahwa
penyakit kusta dibagi atas : tipe indeterminate, tipe tuberkuloid, tipe lepromatosa dan tipe borderline
(dimorphous).

Klasifikasi Ridley & Jopling


 Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta yang sangat lebar
rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita sampai pada kekebalan yang tinggi.
(lihat gambar 2.4). Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik, bakteriologik, histopatologik, dan
imunologik (Mittal RR & Gopta K, 1997). Menurut klasifikasi ini terdapat 5 (lima) tipe klinik penyakit kusta
yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan yaitu tipe polat tuberkuloid (TT), tipe borderline
tuberkuloid (BT), tipe mid borderline Lepromatous (BL) dan tipe polar lepromatous (LL).
 Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil dan keadaan
imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar lepromatosa merupakan keadaan
imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline lepromatosa, mide lepromatosa dan bordeline tuberkuloid
merupakan keadaan imunitas yang lebih.

Klasifikasi WHO
 Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh WHO dengan
memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi dengan lebih disederhanakan, oleh
karena itu WHO menyepakati untuk membagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu :(Norihisa Ishii, 2003).
1.Tipe Pause - Basiler (PB)
 Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT dan BT pada
klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)
2.Tipe Multi – Basiler (MB)
 Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi Madrid atau tipe BB,
BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling

KUSTA REAKTIF
 Reaksi kusta termasuk dalam pembahasan imun patologik, yaitu terjadi gangguan pada cell
mediated immunity dan terjadi peningkatan aktivitas makrofag, natural killer cel, peran komplemen juga
berpengaruh, sebetulnya reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi bisa juga merugikan seperti kusta
reaktif (Mellors, C.R, 2002).

Pengertian
 Kusta reaktif suatu gangguan yang berupa munculnya secara spontan proses akut dari suatu
penyakit pada perjalanan penyakit yang sebenarnya kronik. Kusta reaktif ini tidak disebabkan oleh Multi
Drug Therapy (MDT), tetapi merupakan kondisi alami dari suatu penyakit kusta (WHO, 2003).
 Kusta reaktif adalah merupakan reaksi tubuh yang hebat terhadap suatu invasi bakteri atau
antigen, dimana menimbulkan manifestasi klinis yang sangat hebat, yang dapat digolongkan menjadi 2
(dua) tipe yaitu :
 Tipe 1 :Reaksi Reversal, ini merupakan contoh imunopatologi reaksi hipersensitivitas tipe IV.
 Tipe 2 :Eritema Nodusum Leprosum (ENL), ini merupakan hipersensivitas humoral yaitu peran Ig
M Ig G dan komplomen, suatu contoh imunopatologi hipersensitivitas tipe III
 Tipe 3 :Lucio’s Phenomenon, merupakan reaksi kusta bentuk lain, yang sebetulnya merupakan
reaksi kusta tipe 2 ( Bryceson & Jopling, 2003).

Manifestasi Kusta Reaktif


 Pada kusta reaktif dapat muncul gejala seperti malaise, cefalgia, arthralgi dll. Lebih rinci dapat
dibagi dalam 3 (tiga) tipe yaitu :

Reaksi Reversal
 Gejala klinik reversal umumnya terdapat rasa nyeri dan terderness pada saraf, adanya neuritis
dan inflamasi yang begitu cepat pada kulit. Keadaan yang dulunya hipopigmentasi menjadi eritema, lesi
eritema makin menjadi eritematosa, lesi macula menjadi infiltrate, yang infiltrate makin infiltratif dan lesi
lama makin bertambah luas (Birke JA, 2000).
 Secara histology ditemukan epitheloid dari sel granuloma, dan sel limfosit yang banyak,
ditemukannya basil lepra yang banyak, ephiteloid mensekresi TNF-.

Reaksi ENL
 Gejala yang muncul seperti nyeri dan tenderness disertai panas tinggi dan malaise. Lesi kulit
berupa pustular dan ulseratif diikuti dengan hilangnya fungsi saraf. Perkembangan tipe ini sampai terjadi
iridocylitis, oechitis, nefritis dengan albuminuria yang disertai non-pitting oedema. Erythema nodosum
leprosum dapat berkembang menjadi perbaikan setelah mendapatkan kontrikosteroid,secara histologi
ditemukannya foamy histiocyte, dan limfosit tidak banyak (Koshy S, 2001).

Fenoemena Lucio
 Terjadinya ulseratif yang tidak layak, vaskulitis yang hebat, terdapat macula dan plakat yang
disertai nyeri dan adanya nekrotik jaringan, bulu mata hilang, rambut menjadi rontok dan alopesia, bagian
distal tubuh mengalami anaesthesia, destruksi rhinitis dan nodul kulit tidak kelihatan. Timbulnya panas
badan, limfadenopati, splenomegali dengan limfopenia, mikrositik anemia, hipoalbuminemia dan
hipokalsemia, keadaan ini dalam kondisi akut dapat mengakibatkan kefatalan (Rutledge, B.J, 2004).

Kejadian Kusta Reaktif


 Reasi kusta reversal muncul umumnya 6 (enam) bulan setelah pengobatan dengan obat anti
kusta, sedangkan obat lain seperti progesterone, vitamin A, Mycobacterium leprae yang mati dan hancur
menjadi banyak fragmen artinya banyak sekali antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya
serta mengaktifkan sistem komplemen membentuk kompleks imun (Bryceson & Jopling, 2003).
Potassium idide merupakan faktor presipitasi, pada tipe ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun
kedua.
 Kompleks imun terus beredar di dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat bersarang diberbagai
organ seperti kulit dan timbul gejala klinis yang berupa nodul, eritema dan nyeri dengan predileksi di
lengan dan tungkai. Pada organ mata akan menimbulkan gejala iridosiklitis, pada saraf perifer gejala
neuritis akut, pada kelenjar getah bening gejala limfadenitis, pada sendi nefritid yang akut dengan adanya
protein urin (Murata, 2003).
 Tipe reversal dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan destruksi saraf yang bersifat
irreversibel, sehingga mengalami ketidakmampuan dalam fungsi organ normal, kondisi diperberat dengan
cell mediated immunity gagal menghadapi antigen Mycobacterium leprae (Eric Spierings, 2001).

Anda mungkin juga menyukai