ASUHAN KEPERAWATAN
I PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi mengenai masalah
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan. (Nasrul
Effendi, 1995 : 18).
a. Pengumpulan Data
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2. Keluhan utama
Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen ,mengeluh adanya bercak-bercak Disertai
hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan peningkatan suhu
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit kusta biasanya adanya bercak-bercak merah disertai hiper anastesi dan
odema pada ektrimitas pada bagian perifer seperti tangan,kaki serta bisa juga terjadi peningkatan
suhu tubuh.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis,asma dan alergi,jantung
koroner.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya merupakan penyakit menular Maka anggota keluarga mempunyai resiko beasar
tertular dengan kontak lama.
4. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan terutama pada
body image,penderita merasa rendah diri dan merasa terkucilkan sedangkaan pada tatalaksana
hidup sehat pada umumnya klien kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering
kontk langsung dengan penderita kusta.Karena kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
maka timbul masalah dalam perawatan diri.
II DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata
(potensial) dan membutuhkan tindakan keperawatan sehingga masalah klien ditanggulangi /
dikurangi (Lismidar, 1990 : 13).
Diagnosa yang sering muncul pada klien Penyakit kusta adalah
1. Gangguan citra tubuh b/d Perasaan negatif pada dirinya sendiri
2. Kerusakan integritas kulit b/d ulkus akibat mycobacterium leprae.
3. Harga diri rendah berhubungan dengan penyakit yang dideritanya
4. Menarik diri b/d penyakit yang dideritanya
5. Kurangnya personal hagiene b/d kurangnya pengetahun tentang penyakitnya
6. Kurangnya pengetahuan b/d informasi yang salah
III PERENCANAAN
Diagnosa :Kerusakan integritas kulit b/d ulcus akibat mycobakterium leprae.
Tujuan :Menunjukkan tingkah laku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau meningkatkan
penyembuhan
Kriteria Hasil :
1. Mencapai kesembuhan luka
2. mendemontrasikan tingkah laku atau teknik untuk meningkatkan kesembuhan dan
mencegah komplikasi
3. Menunjukkan kemajuan pada luka/penyembuhan pada lesi
Rencana Tindakan :
1. Guanakan teknik aseptip dalam perawatan luka
2. Kaji kulit tip hari dan warnanya turgor sirkulasi dan sensori
3. Instruksikan untuk melaksanakan higiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya,dena berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan losion dan
krim
4. Ingatkan pasien jangan menyentuh yang luka
5. Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat
6. Pertahankan sprei bersih atau ganti spei sesuai dengan kebutuhan kering dan tidak berkerut.
7. Kolaborasi dengan tim medis lainnya
Rasional:
1. Mencegah luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi
2. Menentukan garis dasar bila ada terdapat perubahan dan dapat melakukan intervensi dengan
tepat
3. Mempertahankan kebersihan ,karena kulit yang kering bisa terjadi barrel infeksi,pembasuhan
kulit kering sebagai penggaruk,menurunkan resiko trauma dermal kulit yang kering dan rapuh
masase meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan kenyamanan
4. Mencegah kontaminasi luka
5. Mempertahankan keseimbangan nitrogen positif
6. Freksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi dan
potensial terhadap infeksi.
7. elaksanakan fungsi interdependen
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan selama….x24 jam pasien dapat mencapai mengontrol nyeri
dengan kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri
2) menceritakan faktor penyebab
3) menggunakan monitor tanda dan gejala
4) menggunakan ukuran preventif
5) menggunakan ukuran non analgetik
6) menggunakan analgetik yang di rekomendasikan
7) melaporkan tandaketidaknyamanan kepada petugas kesehatan
8) melaporkan perubahan tanda nyeri kepada petugas kesehatan
9) melaporkan control nyeri
skala :
1. tidak demonstrasikan
2. jarang demonstrasikan
3. kadang-kadang demostrasikan
4. sering demonstrasikan
5. konsisten
Level nyeri dengan kriteria hasil :
1. melaporkan nyeri
2. panjangnya episode nyeri
3. mengerang dan menangis
4. ekspresi wajah saat nyeri
5. istirahat
6. iritasi
7. mengigil
8. menangis
9. mengeluarkan keringat
10. tensi otot
11. muntah
skala :
6. besar
7. subtansi
8. sedang
9. ringan
10. tidak ada ADMINISTRATION ANALGESIC
1. Menentukan lokasi,karakteristik dan kualitas nyeri sebelum memberikan obat.
2. Cek medical order obat ,dosis dan frekuensi dari pemberian resep analgetik.
3. Mengecek riwayat dari alergi obat.
4. Mengevaluasi kemmapuan pasien untuk berpartisipasi dari seleksi analgetik ,rute dan dosis dan
melibatkan pasien,yangbsesuai.
5. Memilih analgetik yang sesuai atau kombinasi dari analgetik ketika mendapatkan rekomendasi lebih
dari satu resep.
6. Memilih cara pemberian lewat intravena,intramuscular untuk frekuensi nyeri medikasi injeksi.
7. Memonitor vital signs sebelum dan sesudah pemberian analgetik jenis narkotik
8. Memperhatikan untuk ekspektasi positif yaitu optimis terhadap respon pemberian analgetik terhadap
pasien.
9. Mengevaluasi efektivitas dari frekuensi pemberian analgetik secara regular waktu istirahat setelah
pemberian, tetapi setelah pemberian observasi tanda dan gejala efek samping.
10. Mendokumentasikan respon analgetik dan efek rentang pemberian analgetik.
11. Kolaborasi dengan dokter jika obat, dosis dan rute atau waktu rentang indikasi perubahan.
12. Mengajarkan tentang penggunaan analgetik,strategi pengurangan efek samping dan ekspektasi dari
waktu istirahat dalam kepastian tentang gambaran nyeri.
MENEJEMEN NYERI
1. Menampilkan secara komprehensif pengkajian dari lokasi nyeri,karakteristik,durasi,frekuensi,kualitas,
intensitas dari skala nyeri dan faktor pencetus nyeri.
2. Mengobservasi nonverbal dari ketidaknyamanan pasien yang lebih efektif gunakan komunikasi
langsung.
3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik .
4. eksplore pengetahuan dan kepercayaan pasien tentang nyeri.
5. Memberi semangat pasien untuk medikasi nyeri secara adekuat.
6. Mengajarkan metode non farmakologi kepada pasien.
7. Mengajarkan prinsip menejemen nyeri.
8. Menginstruksikan pasien untuk melaporkan nyeri kepada petugas kesehatan.
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan selama….x24 jam pasien dapat mencapai
Pengetahuan : menejemen infeksi dengan indicator :
Modeof transmisi
Faktor-faktor yang transmisi
Praktek yang mengurangi transmisi
Tanda dan gejala infeksi
Pemantauan prosedur untuk infeksi
Pentingnya sanitasi tangan
Kegiatan untuk meningkatkan ketahanan terhadap infeksi
Pengobatan untuk infeksi didiagnosis
Tindak lanjut untuk infeksi didiagnosis
Tanda dan gejala eksaserbasi infeksi
Identifikasi nama yang benar dari obat
Efek samping obat.
Skala:
11. besar
12. subtansi
13. sedang
14. ringan
15. tidak ada
Integritas jaringan:kulit dan membrane mukosa dengan indicator :
Suhu kulit
Elastisitas kulit
Hidrasi
keringat
tekstur kulit
ketebalan kulit
jaringan perfusi
Pertumbuhan rambut pada kulit
Integritas kulit
abnormal
pigmentasi kulit
lesi kulit
Mukosa
membran lesi
jaringan parut
kanker kulit
kulit mengelupas
Eritema
Nekrosis
Proses mengeras
Skala :
1. besar
2. subtansi
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada
PERLINDUNGAN INFEKSI
KEGIATAN :
1) Pantau tanda-tanda sistemik dan lokal dan gejala infeksi.
2) Memantau mutlak granulosit menghitung, WBC count dan hasil diferensial.
3) Ikuti tindakan pencegahan neutropenia, yang sesuai.
4) Batasi jumlah pengunjung, yang sesuai.
5) Menyaring semua pengunjung untuk penyakit menular.
6) Menjaga asepsis untuk pasien beresiko.
7) Pertahankan teknik isolasi, yang sesuai.
8) Berikan perawatan kulit yang sesuai untuk daerah pembengkakan.
9) Periksa kulit dan selaput lendir untuk kemerahan, kehangatan ekstrim atau drainase.
10) Periksa kondisi dari setiap luka.
11) Promosikan asupan gizi yang cukup.
12) Mendorong asupan cairan, yang sesuai.
13) Mendorong istirahat.
14) Anjurkan pasien untuk mengambil antibiotik yang diresepkan.
15) Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya ke
penyedia layanan kesehatan.
16) Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana menghindari infeksi.
RESIKO DETEKSI
KEGIATAN.
1. Mengenali tanda-tanda dan gejala yang mengindikasikan risiko
2. Mengidentifikasi potensi resiko kesehatan
Mencari validasi dari risiko yang
3. Lakukan pemeriksaan diri pada interval yang disarankan
4. Berpartisipasi dalam penyaringan pada interval yang disarankan
5. Mengakuisisi pengetahuan tentang sejarah keluarga
6. Mempertahankan pengetahuan terbaru dari riwayat keluarga
7. Mempertahankan pengetahuan terbaru dari riwayat pribadi
8. Menggunakan sumber daya untuk tetap informasi tentang risiko pribadi
9. Menggunakan layanan kesehatan kongruen dengan kebutuhan
10. Memperoleh informasi tentang perubahan dalam rekomendasi kesehatan
D. IMPLEMENTASI
Implementasi untuk pasien dengan lepra adalah sebagai berikut:
1. Lakukan intervensi pada rencana keperawatan diantaranya :merawat luka skin graft,memantau luka
setelah tindakan skin graf,meemantau tanda dan gejala infeksi dan menurunkan rasa nyeri.
2. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian obat-obatan,diit yang sesuai dan dukungan
psikologis.
3. Lakukan tindakan ulang setelah target tidak terpenuhi dan lakukan tindakan lain yang menambah
prospek pasien untuk sembuh lebih baik.
4. Catat secara teliti setiap tindakan yang dilakukan.
E. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang
disengaja dan terus menerus dengan melibatkan klien,perawat dan anggota tim kesehatan
lainya(Lismidar,1990:68). Evaluasi dalam proses keperawatan memiliki aspek yang harus di pahami :
1. S/subyek : yaitu respon pasien secara subyek (metode wawancara langsung/bertanya kepada pasien)
terhadap implementasi yang sudah dilakukan selama target yang sudah ditetapkan/direncanakan
perawat.Pada pasien lepra tanyakan tentang kondisi saat melakukan evaluasi.
2. O/obyek: respon pasien non verbal (diobservasi setiap melakukan pengkajian) terhadap implementasi
yang dilakukan. Pada pasien lepra observasi utamanya pada kondisi luka,kondisi fisik klien.
3. Analisa: adalah hasil dari implementasi yang sudah dilakukan yaitu diantaranya :masalah teratasi
sebagian,masalah teratasi dan masalah tidak teratasi. Masalah teratasi pada pasien lepra bila kondisi
pasien sudah pulih dan lebih baik dari sebelumnya,masalah tidak teratasi bila kondisi lebih buruk atau
tetap dan masalah teratasi sebagian bila respon pasien sudah lebih baik dari sebelumnya namun belum
semua masalah terselesaikan.
4. Perencanaan, perencanaan dalam evaluasi proses keperawatan adalah perencanaan ulang yang
hasilnya masalah tidak teratasi dan masalah teratasi sebagian. Perencanaan dapat melanjutkan
perencanaan sebelumnya atau menambah perncanaan tindakan lain yang tetap berkolaborasi dengan
tenaga kesehatan lainya.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHOpada tahun itu,
90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar,Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di
seluruh dunia, dua hingga tiga juta orangdiperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta
dunia pada 2003menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikutioleh
Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005).Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi
tertinggi di provinsiJawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk. selanjutnya provinsi
JawaBarat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2per 10.000
penduduk (Depkes RI, 2002).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan kusta?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien kusta
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui definisi penyakit Kusta
Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari penyakit Kusta
Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Kusta
Untuk menegetahui klasifikasi dari penyakit Kusta
Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Kusta
Untuk mengetahui patoflow dari penyakit Kusta
Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostik dari penyakit Kusta
Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Kusta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada tahun
1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron
dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan
sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak
ganas serta lambat berkembangnya.
Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic yang bersifat tahan asam.
Sampai saat ini kuman tersebut belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, dan
manusia merupakan satu-satunya sumber penularan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
membiakkan kuman tersebut yaitu melalui: telapak kaki tikus, tikus yang diradiasi,armadillo,
kultur jaringan syaraf manusia dan pada media buatan.
Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui kerokan kulit
penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering,dapat bertahan hidup sampai 9 hari
di luar tubuh, sedangkan di tanah yang lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai
46 hari.
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel,
biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi
dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan sensibilitas pada
lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai
kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai
kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2) BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai
ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign penyakit
kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini
merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan ( paralise)
Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama
diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.
2.4 KLASIFIKASI
A.Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate(I)
Tuberkuloid (T)
Boderline-Dimorphous(B)
Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
Tuberkoloid (TT)
Borderline tuberculoid (BT)
Mid-Borderline (BB)
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
C.Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)menurut WHO
Kelainan kulit & hasil
No Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
Bercak (makula) a.1-5 a.Banyak
a.Jumlah b.Kecil dan besar b.Kecil-kecil
b.Ukuran c.Unilateral atau bilateral c.Bilateral, simetris
c.Distribusi asimetris d.Halus, berkilat
1 d.Konsistensi d.Kering dan kasar e. Kurang tegas
e.Batas e. Tegas f.Biasanya tidak jelas,
f.Kehilangan rasa pada bercak f.Selalu ada dan jelas jika ada terjadi pada
g.Kehilangan berkemampuan g.Bercak tidak berkeringat, yang sudah lanjut
berkeringat,berbulu rontok ada bulu rontok pada bercak g.Bercak masih
pada bercak berkeringat, bulu tidak
rontok
Infiltrat
a.Ada, kadang-kadang
a.Kulit
a.Tidak ada tidak ada
2 b.Membranamukosa
b.Tidak pernah ada b.Ada, kadang-kadang
tersumbat perdarahan
tidak ada
dihidung
a.Punched out lessi
b.Medarosis
”central healing”
3 Ciri hidung c.Ginecomastia
penyembuhan ditengah
d.Hidung pelana
e. Suara sengau
4 Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
Terjadi pada yang lanjut
Lebih sering terjadi dini,
5 Penebalan saraf tepi biasanya lebih dari 1
asimetris
dan simetris
Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium
6 Deformitas cacat
dini lanjut
7 Apusan BTA negatif BTA positif
2.5 PATOFISIOLOGI
Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas selular (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi,
penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa.
M.leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada
tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada
intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti
adanya kontak dekat dan penularan dari udara.[12] Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta
adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.[13] Terdapat bukti bahwa tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut
berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap
individu.[14] Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang
terinfeksi dan orang yang sehat.[15] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak
lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina[16] hingga 55,8 per 1000
per tahun di India Selatan.[17]
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung.
Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme
di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam
di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et almelaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri
tahan asam di epidermis.[18] Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M.
leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini
membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.[19]
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.[20] Jumlah dari bakteri dari
lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000
bakteri.[21] Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya
bakteri di sekret hidung mereka.[22] Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.[23]
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan
bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan
McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem
imunnya.[24] Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan
pemaparan bakteri di lubang pernapasan.[25] Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur
masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan
adanya kasus kusta pada bayi muda.[26] Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal
ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa
masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
2.6 PATOFLOW
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat
lain.
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bilaperlu ditambah dengan lesi
kulit yang baru timbul.
Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
Cuping telinga kiri atau kanan
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
Tidak menyenangkan pasien
Positif palsu karena ada mikobakterium lain
Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus
kulit negatif.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada
sediaan kulit ditempat lain.
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
Semua orang yang dicurigai menderita kusta
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap
obat
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,yaitu ziehl neelsen atau
kinyoun gabett.
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan
setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
2. Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan
menurut skala logaritma RIDLEYsebagai berikut :0 : Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan
pandang3 : Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang4 : Bila 11-100 BTA dalam rata-
rata 1 lapangan pandang5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang6 : Bila
>1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang3.
Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA.
IMdigunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.
2.8 PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.Program
Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun
1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995sebagai berikut:
1) Tipe PB (Pause Basiler) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
A. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
B. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion
Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
C. DDS 100 mg/hari diminum dirumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal
36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri positif. MenurutWHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yangdiselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakanRFT.
Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mgdan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk
tipe PB dengan2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosisdalam 24 jam.
Putus obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak
minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2. Perawatan Umum Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman
kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
A. Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa
pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi
dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita
kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan,
malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu
karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan.
f. Pola Aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) System Pengelihatan Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alismata akan rontok.
2) System Pernafasan Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
3) System Persarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa
pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.
Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil
(atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
Kerusakan Fungsi Otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga
kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
4) System Musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) System Integumen Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan
fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan
jika terdapat bercak.
Dx 2: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi, ditandai dengan:
DS : -
DO :
Adanya lesi
Terdapat oedeme, panas, bau di sekitar lesi
Terdapat jaringan nekrotik
Tidak terdapat jaringan granulasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam prosesinflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh
Kriteria Hasil :
Menunjukkan regenerasi jaringan
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
No Intervensi Rasional
Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika Memberikan informasi dasar tentang
1 ada jaringan nekrotik dan kondisi terjadi proses inflamasi dan mengenai
sekitar luka. sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
Berikan perawatan khusus pada daerah Menurunkan terjadinya penyebaran
2
yang terjadi inflamasi inflamasi pada jaringan sekitar.
Evaluasi warna lesi dan jaringan yang Mengevaluasi perkembangan lesidan
3 terjadi inflamasi, perhatikan adakah inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya
penyebaran pada jaringan sekitar. komplikasi.
Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan
Bersihkan lesi dengan sabun pada
4 khusus untuk mempertahankan
waktu direndam.
kebersihan lesi.
Istirahatkan bagian yang terdapat lesi Tekanan pada lesi bisa
5
dari tekanan. menghambat proses penyembuhan.
Dx 3: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai dengan:
DS:
Klien mengeluh sulit melakukan aktivitas
DO:
Terdapat penurunan fungsi kekuatan pada bagian tubuh yang sakit
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria Hasil :
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Kekuatan otot penuh
No Intervensi Rasional
Meningkatkan posisi fungsional pada
1 Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
ekstremitas.
Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi
2
pada kulit. pada ekstremitas.
Lakukan latihan rentang gerak secara Mencegah secara progresif
3 konsisten, diawali dengan pasif mengencangkan jaringan, meningkatkan
kemudian aktif pemeliharaan fungsi otot/sendi.
Jadwalkan pengobatan dan aktifitas
Meningkatkan kekuatan dan toleransi
4 perawatan untuk memberikan periode
pasien terhadap aktifitas.
istirahat.
Dx 4: Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh, ditandai dengan:
DS:
Klien mengatakan belum dapat menerima kehilangan fungsi tubuhnya
DO:
Klien tampak kurang percaya diri terhadap kondisi tubuhnya
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tubuh klien dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat.
Kriteria Hasil :
Pasien menyatakan penerimaan situasi dirinya
Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
No Intervensi Rasional
Episode traumatik mengakibatkan
1 Kaji makna perubahan pada pasien. perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal.
4.1 KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit
dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang
ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positif,
berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae
hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan
termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Tanda dan gejala penyakit
kusta:
1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasaKelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini
merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ). Gangguan fungsi saraf ini
bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot ( parese) atau kelumpuhan ( paralise)
c. Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama
diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.
4.2 SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat
mengetahui konsep dasar penyakit Kusta dan dapat mengetahui tentang
asuhan keperawatan pasien Kusta.
KUSTA
DEFINISI
Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M. leprae) penyakit ini menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan
ETIOLOGI
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf
perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara
40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada
yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan
EPIDEMIOLOGI
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui
saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai
permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal
ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan
(multy basiler) yang belum di obati atau tidak berobat secara teratur.
Bila seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5%
Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab.
Insidens penyakit kusta di indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok
PATOGENESIS
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,
tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler
arah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh
tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk
memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah
kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian
bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada
intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagaipenyakit imunologis.
MANIFESTASI KLINIS
WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul,
atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama
saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan
saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan
tanda kusta.
BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan sampai
KLASIFIKASI
Sedangkan departemen kesehatan Dirjen P2MPLP (1999) dan WHO (1995) membagi tipe
menjadi tipe pause basiler (PB) dan multy basiler (MB). Dan membagi
klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun
penderita menjadi
1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang
dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala
berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - )
2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4
lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( - ).
4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi
5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat
banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji
Lepromin ( - ).
PEMERIKSAAN KLINIS
inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk
mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit diseluruh tubuh diperhatikan seperti
adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul
yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. Auricularis, n. Ulnaris, n. Radialis, n.
Medianus, n. Peroneus, dan n. Tibialis posterior. Hasis pemeriksaan yang perlu dicatat adalah
pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Erhatikan raut muka pasien apakah
Pemeriksaan fungsi saraf otonom. Yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat
GAMBARAN KLINIS
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
· Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,
kontrol healing ( + ).
· Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau
tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa
gatal.
· Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun
· Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
· Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
· Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah
jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag
tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
· Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas
· Stadium lanjutan :
o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis
dan keratitis.
· Lebih lanjut
o Deformitas hidung
· Stadium lanjut
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
· Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan
PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS
kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat
lain.
pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kkulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi
Tidak pernah ditemukan M. Leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dahulu negatif
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten
terhadap obat.
cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan
setengah/seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama
tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
Program multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
Rejimen pengobatan MDT di indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut
Tipe B
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT (released from treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Jenis
klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari
diminum dirumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe PB
dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg,
dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedanngkan untuk tipe PB dengan 2-5
lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan di
Putus obat.
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka
dinyatakan DO< sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat sebanyak
Evaluasi pengobatan menurut buku panduan pemberantasan penyakitkusta depkes (1999) adalah
sebagai berikut :
pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT
pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan
RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan
masa pengamatan
pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan
relaps (kambuh)
terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.
INDIKASI RUJUKAN
indikasi sosial
KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasienkusta akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan
kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen-
Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan
dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun esudah mulai
pengobatan.
JENIS REAKSI
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebakan seluler secara cepat.
Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui
secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf),
utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai
respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen.
Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai
eritema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis)
dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh
lainnya.
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah,
menstruasi, hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi, dan malaria)
dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul
PENATALAKSANAAN
prinsip pengobatan
obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti
Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau dapat juga
diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10
Untuk melepas ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan talidomid.
Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur ditirunkan sampai 50 mg/hari. Tidak
Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila tidak ada
perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat
diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya
diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis
pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah
berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/hari, selama 1 bulan
diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan
Istirahat/imobilisasi
Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih
merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai
antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat digunakan sebagai
analgesik. Sedangkan antimon yang digunakan pada reaksi tipe II untuk mengatasi rasa nyeri
sendi dan tulang kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang digunakan
sebagai berikut.
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat anti kusta dosis penuh harus
tetap diberikan.
Aspirin dan talidomin biasa digunakan untuk reaksi. Bila dianggap perlu dapat diberikan
Istirahat/imobilisasi
pada reaksi berat diberikan preednison dalam dosis tunggal atau terbagi
istirahat/imobilisasi
imobilisasi lokal pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan pasien dirawat
REHABILITASI
Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, dan sosial. Usaha medis yang dapat
dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak
sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan
untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental
diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk
memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan
dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan
memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha
pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KUSTA
PENGKAJIAN
1. gejala :malaise
· sirkulasi
tanda : td normal/sedikit dari jangkauan normal ( selama curah jantung tetap meningkat ), kulit
· eliminasi
1. gejala : diare
· makanan/cairan
· neurosensori
o nyeri/kenyamanan
· pernapasan
§ seksualitas
· penyuluhan/pembelajaran
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan
subkutan.
INTERVENSI
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :
Intervensi :
· Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa
· Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot
Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan
kriteria hasil :
· Klien tenang
Intervensi :
Tujuan :
Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan
Intervensi :
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan
subkutan
Tujuan:
Klien mampu merawat luka/lesi yang ada di kulit sehingga tidak mempengaruhi konsep diri
3. klien mampu mengetahui bahwa lesi harus selalu dirawat agar tidak bertambah parah
Intervensi :
Tujuan :
Klien mengetahui dengan keadaan sekarang maka sangat rentan terhadap berbagai macam
bakteri dan virus yang akan masuk kedalam tubuh sehingga klien akan lebih berhati-hati dan
Intervensi :
· cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung
tangan seteril
DAFTAR PUSTAKA
· Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.
· Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta.
Mansjoer, Arif M. Kapita selekta kedokteran, jilid 1. 2000. Media aesculapius. Jakarta
http://askepkusta.blogspot.com/
ETIOLOGI
Penyebab penyakit kusta oleh karena Mycobacterium leprae, yaitu kuman yang bersifat gram
positif, berbentuk batang lurus atau melengkung, ukuran panjang 1-8 mikron, diameter 0,2 – 0,5,mikron
dan mempunyai sifat pleomorfik. Mycobacterium leprae termasuk golongan Basil Tahan Asam (BTA) bila
dilakukan pewarnaan Ziehl Neelsen, namun dalam mengikat warna merah dari karbol Fuchsin tidak
sekuat Mycobacterium tuberculosis (Agusni, 2001).
Mycobacterium leprae, mempunyai 5 (lima) sifat penting yang perlu diketahui yaitu :
1. Merupakan organisme obligat endogeous dan tidak bisa dibiarkan dalam media buatan
2. Sifat mengikat asamnya dapat diekstraksi dengan pyridine
3. Mampu mengoksidasi zat D–dihydroxy phenylalanine (D – DOPA)
4. Mengivansi sel schwan dari system saraf tepi terutama di perineum
5. Permukaan membrane mengandung phenolic glycolipid I (PGL-I) dan lipoarabinomannan
(LAM) (Shimoji Yang, 1999).
Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan atas dasar
kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan rekomendasi Internasional Leprosy
Association di Madrid tahun 1953 (Sekula, B.S, 2003). Klasifikasi Madrid tersebut memutuskan bahwa
penyakit kusta dibagi atas : tipe indeterminate, tipe tuberkuloid, tipe lepromatosa dan tipe borderline
(dimorphous).
Klasifikasi WHO
Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh WHO dengan
memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi dengan lebih disederhanakan, oleh
karena itu WHO menyepakati untuk membagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu :(Norihisa Ishii, 2003).
1.Tipe Pause - Basiler (PB)
Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT dan BT pada
klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)
2.Tipe Multi – Basiler (MB)
Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi Madrid atau tipe BB,
BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling
KUSTA REAKTIF
Reaksi kusta termasuk dalam pembahasan imun patologik, yaitu terjadi gangguan pada cell
mediated immunity dan terjadi peningkatan aktivitas makrofag, natural killer cel, peran komplemen juga
berpengaruh, sebetulnya reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi bisa juga merugikan seperti kusta
reaktif (Mellors, C.R, 2002).
Pengertian
Kusta reaktif suatu gangguan yang berupa munculnya secara spontan proses akut dari suatu
penyakit pada perjalanan penyakit yang sebenarnya kronik. Kusta reaktif ini tidak disebabkan oleh Multi
Drug Therapy (MDT), tetapi merupakan kondisi alami dari suatu penyakit kusta (WHO, 2003).
Kusta reaktif adalah merupakan reaksi tubuh yang hebat terhadap suatu invasi bakteri atau
antigen, dimana menimbulkan manifestasi klinis yang sangat hebat, yang dapat digolongkan menjadi 2
(dua) tipe yaitu :
Tipe 1 :Reaksi Reversal, ini merupakan contoh imunopatologi reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Tipe 2 :Eritema Nodusum Leprosum (ENL), ini merupakan hipersensivitas humoral yaitu peran Ig
M Ig G dan komplomen, suatu contoh imunopatologi hipersensitivitas tipe III
Tipe 3 :Lucio’s Phenomenon, merupakan reaksi kusta bentuk lain, yang sebetulnya merupakan
reaksi kusta tipe 2 ( Bryceson & Jopling, 2003).
Reaksi Reversal
Gejala klinik reversal umumnya terdapat rasa nyeri dan terderness pada saraf, adanya neuritis
dan inflamasi yang begitu cepat pada kulit. Keadaan yang dulunya hipopigmentasi menjadi eritema, lesi
eritema makin menjadi eritematosa, lesi macula menjadi infiltrate, yang infiltrate makin infiltratif dan lesi
lama makin bertambah luas (Birke JA, 2000).
Secara histology ditemukan epitheloid dari sel granuloma, dan sel limfosit yang banyak,
ditemukannya basil lepra yang banyak, ephiteloid mensekresi TNF-.
Reaksi ENL
Gejala yang muncul seperti nyeri dan tenderness disertai panas tinggi dan malaise. Lesi kulit
berupa pustular dan ulseratif diikuti dengan hilangnya fungsi saraf. Perkembangan tipe ini sampai terjadi
iridocylitis, oechitis, nefritis dengan albuminuria yang disertai non-pitting oedema. Erythema nodosum
leprosum dapat berkembang menjadi perbaikan setelah mendapatkan kontrikosteroid,secara histologi
ditemukannya foamy histiocyte, dan limfosit tidak banyak (Koshy S, 2001).
Fenoemena Lucio
Terjadinya ulseratif yang tidak layak, vaskulitis yang hebat, terdapat macula dan plakat yang
disertai nyeri dan adanya nekrotik jaringan, bulu mata hilang, rambut menjadi rontok dan alopesia, bagian
distal tubuh mengalami anaesthesia, destruksi rhinitis dan nodul kulit tidak kelihatan. Timbulnya panas
badan, limfadenopati, splenomegali dengan limfopenia, mikrositik anemia, hipoalbuminemia dan
hipokalsemia, keadaan ini dalam kondisi akut dapat mengakibatkan kefatalan (Rutledge, B.J, 2004).