Anda di halaman 1dari 39

Bagian Ilmu Kesehatan Anak TUTORIAL

KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Tipe Tipe Guillain Barre Syndrome

Disusun oleh
Reny indriyani
1810029033

Pembimbing
dr. Annisa Muhyi., Sp.A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019

i
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL KLINIK

Tipe Tipe Guillain Barre Syndrome

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :
Reny indriyani
1810029033

Pembimbing

dr. Annisa Muhyi., Sp.A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Tipe Tipe Guillain Barre
Syndrome”. Tutorialini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Annisa Muhyi, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Neurologi.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, april 2019

Penyusun

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillain–Barré Syndrome (disingkat GBS) atau radang polineuropati demyelinasi akut
adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi
atau diakibatkan oleh autoimun, di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Sindroma ini juga dapat
dikatakan sebagai sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh
kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemik. Saraf yang diserang bukan hanya yang
mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati
rasa (Nguyen & Taylor, 2018).
Epidemiologi Guillain barre syndrome dilaporkan terjadi diseluruh dunia. Angka
kejadian Guillain–Barré Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000
penduduk per tahun. Pria berisiko lebih banyak dari pada wanita sekitar 1,5 kali lipat. GBS
lebih sering mengenai anak usia diatas 2 tahun. Di Indonesia angka kejadian GBS kurang lebij
0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 populasi. Data di RS cipto mangunkusomo (RSCM) Jakarta
menunjukan pada akhir tahun2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam 1 tahunya. Pada tahun
2012 terjadi peningkatan 10% (Rizaldy, 2017).
GBS terdiri dari beberapa tipe yaitu Acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP), Acute motor axonal neurophaty (AMAN), Acute motor
sensory axonal neurophaty (AMSAN), Fisher’s syndrome (MFS), Ensefalitis batang otak
Bickerstaff (BBE) (zhang, Li, & wei, 2015).
Etiologi Guillain–Barré Syndrome belum diketahui secara umum, tetapi beberapa
penelitian yang ada menduga bahwa ada beberapa faktor pencetus dan beberapa dari faktor ini
terdapat pada pelayanan kesehatan primer. Vaksinasi, infeksi virus, dan beberapa jenis
keracunan makanan adalah contoh dari faktor pencetus Guillain–Barré Syndrome. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
Guillain–Barré Syndrome, antara lain infeksi, vaksinasi, pembedahan, kehamilan atau dalam
masa nifas, penyakit sistemik seperti: keganasan, sistemik lupus eritematosus, tiroiditis,
penyakit Addison (Korinthenberg, Schessl, Kirschner, & Monting, 2015).
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain–Barré Syndrome. Sebagian
besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain–Barré Syndrome memerlukan
perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi terutama pada
1
keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa
berlanjut pada kematian (McGrogan , Gemma , Helen, & Corinne, 2009).
1.2 Tujuan
Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang “ tipe tipe
Guillain Barre Syndrome”. Serta diharapkan dapat menambah wawasan penulis tentang materi
serta tata cara melakukan penulisan referat secara baik dan benar

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Guallain Barre Syndrome


Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses
imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–Barré Syndrome adalah
suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan
kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi (Nguyen &
Taylor, 2018).
Parry mengatakan bahwa Guillain–Barré Syndrome adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Bosch, Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai
dengan adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis (McGrogan ,
Gemma , Helen, & Corinne, 2009).
GBS merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang
dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya refleks. Selain itu
kelumpuhan dapat juga terjadi di otot-otot penggerak bola mata sehingga penderita melihat satu
objek menjadi dua yang dapat disertai gangguan koordinasi anggota gerak. Penyakit GBS,
sudah ada sejak 1859. Nama Guillain Barre diambil dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain dan
Barr yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan
kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan
terjadi hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya (Kemekes, 2011).
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

2.2 Epidemiologi Guallain Barre Syndrome


Epidemiologi Guillain barre syndrome dilaporkan terjadi diseluruh dunia. Angka
kejadian Guillain–Barré Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000
penduduk per tahun. Di amerika serikat 3000-5000 orang terkena GBS setiap tahunya. GBS
dapat menyerang semua usia, namun beberapa study melaporkan bahwa kejadinya meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Pria berisiko lebih banyak dari pada wanita sekitar 1,5 kali

3
lipat. GBS lebih sering mengenai anak usia diatas 2 tahun, jarang pada anak dibawah usia 2
tahun (Davids, 2012).
Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu banyak. Penyakit ini menyerang semua
umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun.
Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS
menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan
tertua adalah 95 tahun, dan ada yang berpendapat bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
penyakit ini dengan suatu musim tertentu (McGrogan , Gemma , Helen, & Corinne, 2009).
Di Indonesia angka kejadian GBS kurang lebij 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 populasi.
Data di RS cipto mangunkusomo (RSCM) Jakarta menunjukan pada akhir tahun2010-2011
tercatat 48 kasus GBS dalam 1 tahunya. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan 10% (Rizaldy,
2017).
Penelitian di Tiongkok utara menyatakan bahwa AMAN menyumbang sekitar 65% dari
pasien dengan GBS. sedangkan Dalam penelitian lain, Ye Y, et al melaporkan bahwa AMAN
menyumbang 33% di timur laut Cina. sedangkan data dari Eropa dan Amerika Utara
menyatakan hal seblaiknya dimana AMAN hanya terdiri dari 1 hingga 3 persen GBS.
berdasarkan penelitian di cina terakhir ini di dapatkan bahwa 22% kasus GBS adalah AMAN.
pada penelitian tadi juga didapatkan bahwa MFS-GBS sebanyak 7% dari kasus GBS.
Sedangkan Mitsui Y et al melaporkan 26% pasien GBS adalah MFS-GBS di Jepang. Demikian
pula, Ng YS dan rekan menunjukkan bahwa MFS merupakan 25% dari GBS di Singapura. Pada
penelitin tersebut diatas juga didapatkan bahwa BBE-GBS sebannyak 5 %. Dalam Sebuah studi
retrospektif yang terdiri dari 43 pasien didapatkan hasil bahwa MFS dan BBE sebanyak 7%
dari pasien GBS, jumlah CNV sebanyak 5% Pasien GBS di Taiwan (zhang, Li, & wei, 2015).
Dalam penelitian di cina akhir akhir ini didaptkan bawhwa pasien gbs dengan gejala
ringan hanya sebanyak 16% dari kasus. sedangan 84% pasien dengan gejala GBS yang berat
(zhang, Li, & wei, 2015).

2.3
Tipe tipe Guallain Barre Syndrome (zhang, Li, & wei, 2015; Mazen & Barohn, 2013;
Yildirim , Adviye, & Levent, 2016; Sumera & Taboada, 2014)
GBS mencakup banyak subtipe seperti AIDP, AMAN, FS, BBE-GBS, dll. Gejala GBS
cukup khas seperti neuropati akut, terutama motorik yang melibatkan parestesia tungkai distal,
kelemahan tungkai yang simetris, dan sering hyporeflexia atau areflexia.
Menurut klasifikasi terbaru, Bickerstaff's brainstem encephalitis (BBE) juga dapat
dimasukkan ke dalam varian GBS. Laporan sebelumnya dari beberapa negara seperti negara-
4
negara barat menunjukkan bahwa polineuropati demielinasi inflamasi akut (AIDP) adalah
subtipe paling umum dari GBS sementara laporan dari Cina utara menunjukkan bahwa
neuropati aksonal motorik akut (AMAN) adalah subtipe GBS paling umum di Cina (zhang, Li,
& wei, 2015).
Kalsifikasi guallain barre syndrome:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan
dengan GBS. Subtipe polineuropati demielinisasi inflamasi akut (AIDP) adalah bentuk yang
paling umum diidentifikasi di Amerika Serikat. Terapat Infiltrasi limfositik dan demielinasi
saraf tepi yang dimediasi makrofag. Gejala pada umumnya sembuh dengan remielinasi.
Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel schwann. Pada subtipe AIDP
(Acute inflammatory demyelinating polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami
kerusakan, sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus ranvier
merupakan target inflamasi
 Etiologi : Umumnya didahului oleh infeksi bakteri atau virus. Hampir 40% pasien
dengan AIDP seropositif untuk C jejuni
 Gambaran patologis : Demielinisasi perifer multifokal, remielinisasi yang lambat,
mekanisme humoral dan seluler
 Klinis :
1. Subtipe yang paling sering terjadi (lebih dari 90% pasien GBS di
Amerika Serikat)
2. Kelumpuhan simetris dan progresif
3. Hiporefleksia atau arefleksia
2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN) (Yildirim , Adviye, & Levent, 2016)
Subtipe neuropati aksonal motorik akut (AMAN) adalah gangguan motorik murni yang
lebih umum pada kelompok usia anak. AMAN umumnya ditandai dengan kelemahan simetris
progresif cepat dan kegagalan pernapasan berikutnya. Banyak kasus telah dilaporkan di daerah
pedesaan Cina, terutama pada anak-anak dan dewasa muda terutama pada musim panas.
AMAN atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering terjadi di
cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf
perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Prognosis
seringkali cukup baik. Didapati antibody Anti GD1a, sementara antibody anti- GD3 lebih sering
ditemukan pada AMAN.

5
 Etiologi : Hampir 70-75% pasien dengan AMAN seropositif untuk Campylobacter,
dengan sebagian besar kasus AMAN dikaitkan dengan diare C jejuni sebelumnya
 Gambaran patologis : Pasien biasanya memiliki titer antibodi yang tinggi terhadap
gangliosida yaitu GM1, GD1a, GD1b pada akson saraf motoric perifer, Ga1Nac-GD1a,
tidak ada deimilisasi. Peradangan root anterior tulang belakang dapat menyebabkan
gangguan sawar darah-SSP. Biopsi menunjukkan degenerasi seperti wallerian tanpa
peradangan limfositik yang signifikan.
Gambaran klinis:
1. berhubungan erat dengan infeksi C jejuni
2. Lebih sering terjadi pada musim panas dan pada pasien pasien muda
dicina
3. Kelemahan tungkai dan lengan yang bersifat simetris, onset akut /
subakut
4. Sepertiga pasien AMAN mungkin hiperrefleksik. Meskipun mekanisme
untuk hyperreflexia ini tidak jelas, disfungsi sistem penghambatan
melalui interneuron tulang belakang dapat meningkatkan rangsangan
neuron motorik. Hyperreflexia secara signifikan terkait dengan
keberadaan antibodi anti-GM1
5. Hanya gejala motoric yang hilang
6. Refleks tendon dalam dapat tidak muncul
7. Kelemahan otot orofaringeal dan fassial
8. Insufisiensi respirasi

3. Acute motor sensory axonal neurophaty (AMSAN)


Neuropati aksonik sensorik motorik akut (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbahya berbeda dari tipe AMAN karena juga memengaruhi saraf dan akar sensorik. Tipe ini
biasanya menyerang orang dewasa. AMSAN sering muncul sebagai disfungsi motorik dan
sensorik yang cepat dan berat . Mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer,
namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan
lambat dan sering tidak sempurna.
 Etiologi : Seperti halnya AMAN, AMSAN sering dikaitkan dengan diare C jejuni
sebelumnya

6
 Gambaran patalogis : mekanisme menyerupai neuropati axonal motoric akut dengan
degenari axonal sensorik. Temuan patologis menunjukkan degenerasi aksonal motorik
dan serabut saraf sensorik yang parah dengan sedikit demielinasi.
 Gambaran klinis :
1. quadriparesis akut
2. Arefleksi
3. Kehilangan fungsi sensoris bagian distal ( lebih mendominasi
dibandingkan aman)
4. Insufisiensi respirasi
4. Fisher’s syndrome (MFS) (Sumera & Taboada, 2014)
Miller-Fisher syndrome (MFS), yang diamati pada sekitar 5% dari semua kasus GBS.
Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralysis desendens
,berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot otot okuler pertama
kali dan terdapat trias gejala yakni: oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody
Anti GQ1b 90% kasus.
 Gambaran patologis : Demielinisasi, anti- bodi IgG melawan gangliosida GQ1b, GD3,
dan GT1. Antibodi anti-GQ1b menonjol pada MFS, dan memiliki spesifisitas dan
sensitivitas yang relatif tinggi untuk penyakit ini. Konsentrasi padat ganglioside GQ1b
ditemukan di saraf oculomotor, trochlear, dan abducens, yang dapat menjelaskan
hubungan antara antibodi anti-GQ1b dan ophthalmoplegia. Pasien dengan palsy
orofaringeal akut membawa antibodi IgG anti-GQ1b / GT1a. Pemulihan umumnya
terjadi dalam 1-3 bulan.
 Gambaran klinis :
1. optamoplegi bilateral (Timbulnya ophthalmoplegia eksternal merupakan
gejala utama)
2. Ataksia (Ataksia cenderung tidak proporsional dengan tingkat kehilangan
sensorik)
3. Arefleksia
4. Kelemahan afasial, bulbar (50 % kasus)
5. Kelemahan badan dan exstremitas (50% kasus)
6. Pasien mungkin juga memiliki kelemahan ekstremitas ringan, ptosis,
kelumpuhan wajah, atau kelumpuhan bulbar. Pasien memiliki potensi aksi
saraf sensoris yang berkurang atau tidak ada dan tidak ada refleks tibialis H.

7
5. Acute panautonomia
Neuropati panautonomis akut, varian GBS yang paling langka, melibatkan sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan
angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia.
 Gambaran patologis : mekanisme tidak jelas
 Gambaran klinis :
1. Pasien memiliki hipotensi postural yang parah, retensi usus dan kandung
kemih, anhidrosis, penurunan salivasi dan lakrimasi, dan kelainan pupil.
Keterlibatan kardiovaskular sering terjadi, dan disritmia merupakan
sumber kematian yang signifikan
2. subtype yang paling jarang
3. Gejala otonomik, terutama kardiovaskular dan visual
4. Hilangnya sensoris
5. Keterlibatan motorik atau sensorik yang signifikan kurang. Pemulihan
bertahap dan seringkali tidak lengkap.
6. Penyembuhan lama, dapat inkomplit
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE)
Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia , ataksia, gangguan kesadaran , hiperrefelksia
atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan
relaps. Lesi luas dan irregular terutama pada batang otak seperti pons, midbrain, dan medulla
spinalis. Meskipun gejalanya berat namun prognosis BBE cukup baik.

2.4 Etiologi Guillain Barre Syndrome


Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan
masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: (Mardjono & Sidharta, 2010).
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Penyakit sistemik
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous
c. Tiroiditis
8
d. Penyakit Addison

Tabel 1. Infeksi akut yang berhubung dengan Guillain–Barré Syndrome


Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella- Zoster Measles
Vaccinia/Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borreila B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan Guillain–Barré Syndrome adalah infeksi
Campylobacter jejuni. Bakteri dari genus Campylobacter diidentifikasi sebagai yang paling
umum menjadi sumber gastroenteritis bakteri di Amerika Serikat melebihi Salmonella dan
Shigella. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan
serum menunjukkan bukti adanya infeksi pendahulu Campylobacter jejuni pada 26-45% pasien
Guillain–Barré Syndrome (McGrogan , Gemma , Helen, & Corinne, 2009).
GBS ini tadinya dianggap sebagai neuroalergi yang menghasilkan berbagai bahan
berbahaya. Terdapat perkiraan bahwa kumpulan gejala ini terjadi karena menurunnya daya
kekebalan tubuh sendiri (auto imun), yang biasanya didahului oleh infeksi virus atau kuman-
kuman yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan atas dan diare yang melemahkan daya
tahan tubuh (kekebalan) sehingga mengalami keluhan seperti kasus-kasus di atas. Sel sistem
kekebalan menyerang sarung saraf (mielin) yang mengelilingi serabut saraf di seluruh saraf
tepi.kemekes (Kemekes, 2011).

9
2.5 Struktur dan Fungsi Normal Saraf
Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan informasi ke sel
lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan memanjang yang menerima
informasi dari lingkungan atau dari neuron lain; badan sel, yang mengandung nukleus dan
akson, yang panjangnya dapat mencapai 1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar,
atau neuron lain. Sebagian besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan
beberapa dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di
ganglion cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion sensorik spinal
mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu tonjolan yang keluar dari
badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu memanjang ke medula spinalis dan yang lain
memanjang ke perifer. Akson dan dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian
ujungnya. Percabangan dendrit dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat
menerima ribuan masukan. Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di sinaps, yakni
suatu struktur khusus untuk menyalurkan informasi dari akson ke otot, ke kelenjar atau ke
neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di sepanjang akson (Sherwood, 2014).
Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin terutama terdiri
dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet yang membungkus kabel
listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian membran yang bermielin. Mielin
sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang
membungkus diri mengelilingi akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat
transmisi impuls pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan
kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin menggangu perambatan
potensial aksi (Sherwood, 2014).
Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang berasal dari
susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik selama toleransi imunologik
masih ada. Tetapi karena suatu sebab, toleransi imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah
proses auto-imunopatologik yang mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang
dinamakan sel T itu ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi
lipopolisakarida. Menurut teori yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan
oleh proses imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang dianggap
imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka yang dinamakan
imunosupresor (Mardjono & Sidharta, 2010).

10
Gambar 1. Sel Saraf

Gambar 2. Jenis-jenis sel saraf

2.6 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome


Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan

11
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah (Nguyen & Taylor,
2018):
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid dan peredaran (Nguyen & Taylor, 2018)
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada
limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi
marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNFα (Nguyen &
Taylor, 2018)
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya
infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga
sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan
sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang
tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-
komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin (Ropper & Brown, 2014)
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan
maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan (Ropper & Brown, 2014)
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang
12
rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga
semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat (Ropper & Brown,
2014)

Gambar 3. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre


Pada Guillain–Barré Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus.
Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya dengan
bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Akibatnya, produksi myelin akan berkurang,
sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh (Ropper
& Brown, 2014).
Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan
kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk
berjalan (Ropper & Brown, 2014).

13
Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke dlm
serabut saraf, myelin & axon belum rusak.

Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi


segmental demyelinisasi, axon belum rusak.

kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi


kromatolisis sentral inti sel saraf atropi &
denervasi.

Kerusakan axon >> proximal, kerusakan


Patologi irreversible regenerasi sel saraf (-)

Gambar 4. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis


Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan
antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum
diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari
antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip
dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari
gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi
pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi
ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama (Ropper & Brown, 2014)
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisiasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di
daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran
impuls saraf (Ropper & Brown, 2014)

14
Gambar 5. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan sel saraf tepi
Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal
ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi
primer (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper & Brown, 2014)
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal
saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan
paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan
waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat (Fauci, Kasper,
& Longo, 2008)
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan
saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut
terlibat (Fauci, Kasper, & Longo, 2008)

15
Gambar 6. Derajat kerusakan sel saraf dan manifestasi klinik
2.7 Manifestasi Klinis Guallain Barre Syndrome
Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang terjadi. GBS
dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi sel monuklear pada saraf
perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating polyradiculopathy), mielin
lebih dominan mengalami kerusakan, sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal
neuropathy), nodus ranvier merupakan target inflamasi (Yildirim , Adviye, & Levent, 2016).
Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami infeksi
beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain–Barré Syndrome. Infeksi yang
paling sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré Syndrome adalah gastroenteritis dan
infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu sebelum gejala neurologi
muncul. Sekitar 20% dari pasien Guillain–Barré Syndrome pernah mengalami bentuk
gastroenteritis sebelum diagnosis Guillain–Barré Syndrome (McGrogan , Gemma , Helen, &
Corinne, 2009; Mantay, Parish, & Armeau, 2007)
Orang dengan Guillain–Barré Syndrome mengalami onset bertahap simetris dari
parestesia dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang bervariasi. Hal ini juga
dapat mencakup tangan dan kaki naik dari distal ke proksimal yang menyebabkan kelemahan
motorik dan akhirnya menjadi paralisis (McGrogan , Gemma , Helen, & Corinne, 2009;
Mantay, Parish, & Armeau, 2007)
Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu hadir pada
semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak variasi seperti

16
hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya (McGrogan , Gemma , Helen,
& Corinne, 2009; Mantay, Parish, & Armeau, 2007)
Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan
sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada
ekstremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya ringan, kecuali pada pasien dengan GBS
subtipe AMSAN (Acute motor-sensory axonal neuropathy) (Mazen & Barohn, 2013)
Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar
penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara
asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot
proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya
derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga
sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar
dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi (Fauci, Kasper, & Longo,
2008; Ropper & Brown, 2014)
b. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan Guillain–Barré
Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa
ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII.
Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan
menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus (Fauci, Kasper, & Longo,
2008)
Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan
palsy Bell), diplopias, dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.
17
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang
terkena. Varian Miller-Fisher dari Guillain–Barré Syndrome adalah unik karena subtipe ini
dimulai dengan defisit saraf kranial (Ropper & Brown, 2014)
c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung
minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan
sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai
pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal
ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.
Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering
ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper
& Brown, 2014)
d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome, 89%
pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré Syndrome pada beberapa waktu
selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat,
dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan
sebagai sakit atau berdenyut (Fauci, Kasper, & Longo, 2008)
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit
mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi
shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas
atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya
yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai
berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya,
tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) (Fauci, Kasper, & Longo, 2008)
e. Perubahan otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré Syndrome.
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis
dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal,
hipotensi ortostatik, anhidrosis dan /atau diaphoresis (Fauci, Kasper, & Longo, 2008)
18
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus
dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan kegagalan
pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua
minggu (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper & Brown, 2014)
f. Pernapasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita (Fauci, Kasper,
& Longo, 2008)
Empat puluh persen pasien Guillain–Barré Syndrome cenderung memiliki kelemahan
pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan bicara cadel. Kegagalan ventilasi
yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka (Ropper & Brown, 2014)
g. Papil Edema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan
villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang (Fauci, Kasper, & Longo, 2008)
Manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah kelemahan dan nyeri pada anggota
tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri digambarkan seperti “kuda charlie” yaitu
nyeri yang timbul hanya dengan perubahan kecil yang seharusnya tidak menyebabkan nyeri,
biasanya disebut juga dengan hipersensitif atau hiperalgesia (McGrogan , Gemma , Helen, &
Corinne, 2009; Mantay, Parish, & Armeau, 2007)
Walaupun Guillain–Barré Syndrome adalah neuropati perifer, tetapi dapat juga terdapat
keterlibatan nervus kranialis. Kebanyakan yang terjadi adalah kelumpuhan wajah. Pasien-
pasien sindrom Guillain-Barre dengan perjalanan penyakit yang didahului infesi
Campylobacter jejuni menunjukkan tanda dan gejala keracunan makanan yang klasik, yang
paling umum adalah mual, muntah, nyeri abdomen, dan diare (Mantay, Parish, & Armeau,
2007)
Penelitian telah dilakukan untuk membandingkan adanya Campylobacter jejuni di sel
mononuklear darah perifer pasien yang didiagnosis dengan gastroenteritis akibat
Campylobacter jejuni dan di pasien kontrol sehat yang tidak terpapar bakteri. Data dari
penelitian ini menunjukkan bahwa DNA Campylobacter didapatkan dan stabil dalam darah
pasie kira-kira selama satu hingga dua tahun (Mantay, Parish, & Armeau, 2007)
19
Infeksi pendahulu kedua terbanyak yang dilaporkan adalah cytomegalovirus (CMV).
Pasien yang didahului diagnosis CMV akan memiliki bentuk Guillain–Barré Syndrome yang
berbeda dibandingkan pasien yang didahului infeksi C. jejuni. Pasien Guillain–Barré
Syndrome dengan riwayat infeksi CMV akan cenderung mengalami kelemahan nervus fasialis
bilateral, memiliki komplikasi di sistem pernafasan yang berat (misalnya sampai memerlukan
ventilasi mekanis), dan kehilangan fungsi sensoris yang berat (Mantay, Parish, & Armeau,
2007)

Gambaran klinis dan patologis subtipe GBS

Subtipe Gambaran patologis Gambaran klinis


AIDP Demielinisasi perifer - Subtipe yang paling sering terjadi
(Acute multifokal, remielini- (lebih dari 90% pasien GBS di
inflammatory sasi yang lambat, Amerika Serikat)
demyelinating mekanisme humoral - Kelumpuhan simetris dan progresif
polyradiculopathy) dan seluler - Hiporefleksia atau arefleksia

AMAN (Acute Antibodi - AMAN meliputi sekitar 5-10% kasus


motor Axonal antigangliosida GM1, GBS.
Neuropathy) GD1a, Ga1Nac-GD1a, - Berhubungan erat dengan infeksi
GD1b pada aksonsaraf C.jejuni; lebih sering terjadi saat
motorik perifer; tidak musim panas, pada pasien-pasien
ada demielinisasi muda dan China atau Jepang.
- Kelemahan tungkai dan lengan yang
bersifat simetris, onset akut/subakut
- Hanya gejala motorik yang hilang
- Refleks tendon dalam dapat tidak
muncul (arefleksia difus)
- Kelemahan otot orofaringeal dan
fasial
- Insufisiensi respirasi

AMSAN (Acute Mekanisme menyeru- - Quadriparesis akut


motor-sensory pai neuropati axonal - Arefleksia (kehilangan refleks)
axonal neuropathy) motorik akut, namun - Kehilangan fungsi sensoris bagian
dengan degenerasi distal (lebih mendominasi
aksonal sensorik. dibandingkan AMAN)
- Insufisiensi respirasi

20
Demielinisasi, anti- bodi - Jarang (3% GBS di Amerika serikat)
Miller Fisher IgG melawan gangliosida - Optalmoplegi bilateral
Syndrome GQ1b, GD3, dan GT1a - Ataksia
- Arefleksia
- Kelemahan fasial, bulbar (50% kasus)
- Kelemahan badan dan ekstremitas
(50% kasus)

Acute - subtype yang paling jarang


-Mekanisme tidak jelas
panautonomia
- Gejala otonomik, terutama
kardiovaskular dan visual

- Hilangnya sensoris

2
Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri dari
3 fase, yaitu (Ropper & Brown, 2014):
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampaigejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus Guillain–Barré Syndrome yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang
sama dengan Guillain–Barré Syndrome yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik
yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala (Ropper & Brown, 2014)
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap
ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perludilakukan monitoring tekanan
darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di
fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan (Ropper & Brown,
2014)
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, sertamengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya
secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi.
Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu

22
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi (Ropper & Brown, 2014)
2.8 Penegakan Diagnosis Guallain Barre Syndrome
A. Kriteria Diagnosis
kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk diagnosis
GBS; meliputi gejala utama, gejala tambahan, pemeriksaan CSS, pemeriksaan
elektrodiagnostik, dan gejala yang menyingkirkan diagnosis.
a. Gejala utama
1) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas
dengan atau tanpa disertai ataksia
2) Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
b. Gejala tambahan
1) Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, 90% dalam 4 minggu.
2) Biasanya simetris
3) Adanya gejala sensoris yang ringan
4) Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
bulbar,kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau
saraf otak lain.

23
5) Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi
postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
6) Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
7) Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah
progresivitas berhenti. penyembuhan umumnya fungsionil
dapat kembali
c. Pemeriksaan CSS
1) Peningkatan protein
2) Sel MN < 10 /µl
d. Pemeriksaan elektrodiagnostik
1) Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
e. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1) Kelemahan yang sifatnya asimetri
2) Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
3) Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul
4) Gejala sensoris yang nyata

B. Pemeriksaan Neurologis
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk
yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk
mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan
(Fauci, Kasper, & Longo, 2008)
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam
cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein

24
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone) (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper & Brown, 2014)

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya


kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini
oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik,
yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada
kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis
mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya
pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah
10 leukosit mononuklear/mm (Davids, 2012).

2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)


Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf
dan EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi
diagnosis, identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis.
Ada sejumlah laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa
menunjukkan sedikit perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan
yang parah, mengarah ke kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara
gejala klinis dan studi konduksi saraf (Amparo & Sumner, 2014).
Perubahan patologis pada saraf perifer terdiri dari infiltrasi sel mononuklear dan
demielinasi segmental di motor dan akar sensorik, akhirnya melibatkan seluruh
panjang neuraxis.probably lesi jerawatan, ada kemungkinan lebih besar dari
disfungsi dan dominan lebih besar dari gejala klinis dalam otot distal, yang
mencerminkan probabilitas yang lebih besar bahwa semakin lama akson individu
pada risiko lebih besar kemungkinan akan terpengaruh pada satu titik lebih
sepanjang jalurnya. degenerasi aksonal dapat terjadi pada kasus yang parah dan
secara tradisional dianggap sekunder untuk proses inflamasi berhubungan dengan
demielinasi (Amparo & Sumner, 2014).

25
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis Guillain–Barré
Syndrome adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal
motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping
itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk
menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna (Fauci,
Kasper, & Longo, 2008; Ropper & Brown, 2014)
3. Pemeriksaan Darah Tepi
Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang
imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjaadi limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah
(LED) dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu
gejala (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper & Brown, 2014)
4. Test hipersensitivitas
Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan
adanya hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena
virus hepatitis itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV (Fauci, Kasper,
& Longo, 2008; Ropper & Brown, 2014)
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase
QRS kadang dijumpai, namun tidak sering (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper
& Brown, 2014)
6. Tes fungsi respirasi
Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan
adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending) (Fauci, Kasper,
& Longo, 2008; Ropper & Brown, 2014)
7. Pemeriksaan Patologi Anatomi

26
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam,
sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper
& Brown, 2014)
Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya
berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung
myelin dari sel schwan dan akson (Fauci, Kasper, & Longo, 2008; Ropper &
Brown, 2014)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika


dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan
memperlihatkan penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan
pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan
kerusakan pada barier darah- saraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS
dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. Akan tetapi, pasien dengan
tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak
perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat digunakan
sebagai modalitas diagnostic tambahan, terutama bila temuan klinis dan
elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar (Amparo & Sumner, 2014).

27
Gambar Gambaran MRI lumbosakral pada pasien perempuan 39 tahun
dengan GBS dan SLE, potongan sagital dan aksial menunjukkan
herniasi diskus T12-L1 yang menyebabkan kompresi minimal pada
conus medullaris

2.9 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome


Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Vaan Doorn, 2013)
Perawatan intensif di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai adalah hal
yang paling penting. Selain pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi
umum, diperlukan juga perawatan aktif (Vaan Doorn, 2013)
Sebuah review dari database Cochrane menunjukkan bahwa plasma exchange
(PE) atau pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) memiliki efektifitas
yang ekuivalen dalam upaya penyembuhan pasien Guillain–Barré Syndrome jika
pengobatan diberikan dalam 2 minggu setelah onset kelemahan. Sekitar 10% pasien
membutuhkan pemberian pengobatan ulangan karena mereka

28
mengalamikelemahan sekunder setelah keadaan membaik setelah pemberian terapi
dengan plasma exchange (PE) atau IVIg yang pertama (Vaan Doorn, 2013)
Dalam banyak kasus karena alasan praktis ( misalnya karena resiko yang
rendah dan aplikasi yang mudah), pengobatan dengan IVIg saat ini menjadi terapi
lini pertama pada pasien Guillain–Barré Syndrome (Vaan Doorn, 2013)
Hal lain yang penting adalah memulai fisioterapi pada fase awal untuk
mencegah berbagai permasalahan sekunder seperti kekakuan sendi. Rehabilitasi
adalah sangat penting dan harus dilakukan setelah pasien stabil dan memungkinkan
untuk melakukan berbagai macam gerakan dan mengikuti program latihan (Vaan
Doorn, 2013)
1. Terapi Farmakologi
A. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB (McGrogan , Gemma , Helen,
.
& Corinne, 2009) Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
mengatakan bahwa preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi.
Pemberian kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan
secara signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena yang
berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara
signifikan dalam waktu jangka panjang. Sebuah studi awal mengemukakan pasien
yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada
kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan 124
pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118
pasien mendapatkan placebo (Davids, 2012)
B. Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor


autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada Guillain–Barré
Syndrome memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB
dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset
gejala (minggu pertama) (McGrogan , Gemma , Helen, & Corinne, 2009).

29
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi non-
spesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,
minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat.
Dalam studi , plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS
menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini
melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood
separators untuk menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin
ada (Vaan Doorn, 2013).
C. Pengobatan imunosupresan (McGrogan , Gemma , Helen, & Corinne, 2009):
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance
0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh (McGrogan , Gemma , Helen, &
Corinne, 2009)
Pada penelitian tentang terapi immunoglobulin intravena pada kasus
Guillain–Barré Syndrom pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al.
ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus ringan tidak mengubah
tingkat keparahan penyakit tetapi memberikan peningkatan pada kecepatan onset
perbaikan klinis (Korinthenberg, Schessl, Kirschner, & Monting, 2015)
Efek samping IVIg pada percobaan tersebut dikatakan ringan tetapi tidak
sering terjadi. Reaksi alergi, gangguan fungsi hati yang bersifat sementara,
hipertonik, meningitis aseptik, proteinuria, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan
viskositas serum dilaporkan pada orang dewasa dan anak yang mendapat terapi
dengan IVIg (Korinthenberg, Schessl, Kirschner, & Monting, 2015)
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah:
- merkaptopurin (6-MP)
- azathioprine
- cyclophosphamid

30
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan sakit
kepala (Korinthenberg, Schessl, Kirschner, & Monting, 2015)
Manajemen nyeri cukup sulit tapi karbamazepin atau gabapentin dapat
membantu. Dosis untuk karbamazepin yaitu 300mg/hari, dan untuk gabapentin
15mg/kgBB/hari. Asetaminofen atau obat NSAID dapat dicoba sebagai terapi
pertama pada sindrom Guillain-Barre tetapi biasanya kurang efektif (Mantay,
Parish, & Armeau, 2007; Grabenstein, 2016)
2. Terapi Suportif
A. Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan ventilator mekanik
menjadi suatu keharusan apabila diduga telahterjadi paralysis otot-otot respirasi.
Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini (Grabenstein,
2016)
B. Pasang NGT
Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa
hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan
(Grabenstein, 2016)
C. Fisioterapi
Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat
gerak, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan. Fisioterapi pasif
setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot (Amparo &
Sumner, 2014)
Angka kesembuhan (75-90 %) dengan cara pengobatan dan fisioterapi. Bagi
kasus2 tertentu dilakukan penggantian plasma dengan maksud menghilangkan efek
menurunnya kekebalan (auto imun). Terapi ini akan dapat menyembuhkan
penderita, selain itu dapat juga dilakukan infus imunoglobulin . Pada sebagian kasus
tidak jarang penderita secara bertahap dapat pulang setelah dirawat beberapa lama.
Sedangkan pada kasus-kasus tertentu, ada yang membutuhkan bantuan alat nafas
(respirator) dan pada kasus yang sangat berat dengan gangguan nafas ada yang tidak
tertolong. Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitasnya berhenti.
Pengobatan medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi hasilnya. Pada
kebanyakan kasus terjadi perbaikan spontan. Kadang-kadang pengelolaaan menjadi
sangat rumit dan melelahkan. Pada manula penyembuhan umumnya lebih lambat

31
dibandingkan anak anak. Edukasi penderita dengan menerangkan pada keluarga
mengenai penyakit ini dan cara pengobatan serta fisioterapi menyeluruh harus
dilakukan (Kemekes, 2011)
2.11 Komplikasi
Guillain–Barré Syndrome merupakan salah satu penyebab terbanyak dari
paralisis neuromuskular. Kebanyakan pasien Guillain–Barré Syndrome meninggal
dikarenakan gangguan otonom; henti jantung menjadi penyebab paling sering,
bertanggung jawab pada 20-30% kematian (McGrogan , Gemma , Helen, &
Corinne, 2009)
2.12 Prognosis
Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley memperlihatkan bahwa
prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal,
dan umur pasien. Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian Lyu dkk,
(1997) adalah : (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo CMAP yang rendah, dan (3)
perlunya ventilasi mekanik. Sebuah penelitian prospektif lain dengan waktu follow-
up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, memperlihatkan
bahwa usia tua (>=60 tahun) merupakan faktor prediktor prognosis yang buruk
untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds ratio 0.35; 95% CI
0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, menunjukkan bahwa refleks tendo
yang positif merupakan salah satu prediktor tercapainya pemulihan SGB yang cepat
(skala Hughes meningkat 2 skor dalam waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01. (Rizaldy,
2017)
Berdasarkan penelitian dicina didapatkan bahwa pasien dengan tipe GBS
AMAN dan BBE-GBS merupakan kasus yang parah lebih hingga mungkin
membutuhkan ventilasi mekanik daripada subtipe GBS lainnya. BBE-GBS lebih
buruk pronosisnya dibandinkan AMAN. Penelitian lain dari Inggris menyatakan
bahwa pola lesi aksonal dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Dari 139 pasien
didapatkan bahwa kelompok AMAN lebih buruk daripada AIDP. Sebuah studi
baru-baru ini dari Jepang menunjukkan bahwa pasien dengan MFS biasanya
memiliki pemulihan yang baik dan tidak memiliki gejala residual. Dalam studi lain
terhadap 65 pasien di China selatan, para peneliti menemukan bahwa pasien dengan
MFS mungkin memiliki pemulihan yang lebih baik dan pasien ini tidak perlu

32
diobati dengan terapi imunomodulasi. laporan dari Jepang dan Cina selatan . sebuah
studi dengan kelumpuhan saraf kranial murni memiliki prognosis yang baik pada 6
bulan setelah timbulnya gejala (zhang, Li, & wei, 2015)

33
BAB III
KESIMPULAN

1.1 Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Etiologi SGB
sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama
ditegakkan secara klinis. Pengobatan secara umum bersifat simptomatik. Meskipun
dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu
perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi
sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Serta meminimalisir komplikasi depresi
pernapasan.

34
Daftar Pustaka

Amparo, G., & Sumner, A. (2014). Electromyography in neurorehabilitation.


Dalam M. Selzel, C. Stephanie, L. Cohen, P. Ducan, & F. Gage, Textbook
of neural repair and rehabilitation (hal. 49-55). UK: Cambridge
University Press.

Davids, H. (2012). Guillain-Barre Syndrome. Dipetik 12 7, 2018, dari


http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview.

Fauci, A., Kasper, D., & Longo, D. (2008). Harrison's principles of internal
medicine 17th Ed. New York: McGraw-Hill.

Grabenstein, J. (2016). Guillain-Barre syndrome and vaccination: usually


unrelated. Hospital Pharmacy, 36(2), 199-207.

Kemekes. (2011, agustus 08). Guillain bare sindrom. Diambil kembali dari
www.depkes.go.id.

Korinthenberg, R., Schessl, J., Kirschner, J., & Monting, J. (2015). Intravenously
Administering Immunoglobulin in the Treathment of Chillhood Guillain-
Barre Syndrome: A Randomized Trial. Pediatrics, 116, 8-14.

Mantay, K., Parish, T., & Armeau, E. (2007). Recognizing Guillain-Barre


Syndrome in primary care setting. The Internet Journal of Allied Heath
Sciences and Practice, 5(1), 1-8.

Mardjono, M., & Sidharta, P. (2010). Neurologi Klinis Dasar cetakan ke 15 (8


ed.). Jakarta: Dian Rakyat.

Mazen, M., & Barohn, R. J. (2013). Guillain barre syndrome and variants. Neurol
clin, 491-510.

McGrogan , A., Gemma , C. M., Helen, E. S., & Corinne, S. V. (2009). The
epidemiology of guillane-barre syndrome worldwide. Neuroepidemiology,
32, 150-163.

Nguyen, P. T., & Taylor, S. (2018, oct 27). Guillan-Barre syndrome. Diambil
kembali dari ncbi.nlm.nih.gov

Rizaldy, P. (2017). Sindrom Guillan-Barre: Kajian Pustaka. Jakarta: Dexa


Medica.

Ropper, H. A., & Brown, H. R. (2014). Principles of Neurological 10th Ed. USA:
Adam's and Victoe.

35
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Sumera , b., & Taboada, J. (2014). a case of millier fisher syndrome an literartur
review. cureus.

Vaan Doorn, P. (2013). diagnosis , treatment and prognosis Guillain-Barre


Syndrome. Orphanet Encyclopedia, 1-5.

Yildirim , S., Adviye, R., & Levent, H. (2016). an acute mototr axonal neuropaty
case with motor conduction blocks in childhood. iran j child neurol, 65-
69.

zhang, g., Li, q., & wei, x. (2015). subtype and prognosis of guillain bare
syndrome in shouthwest china. plos one.

36

Anda mungkin juga menyukai