Anda di halaman 1dari 12

ANALISA SEJARAH KEPERAWATAN JIWA

TREND SERTA ISSUE DALAM KEPERAWATAN JIWA GLOBAL

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh :

Agnes Erna Thalia 30120118002k


Andreas Y Nugroho 30120118003k
Remigio Julio D.J 30120118024k
Sergius Kawyan 30120118030k

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

BANDUNG

2019

1
A. Sejarah Usaha Kesehatan Jiwa di Indonesia
Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita
gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memelukan peawatan di rumah sakit
dan jika penduduk Indonesia berjumlah 200 juta orang maka berarti bahwa 2 juta
orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit. Padahal
yang tersedia sekarang hanya kira-kira 10.000 tempat tidur.
Di Indonesia sejak dulu sudah dikenal adanya gangguan jiwa, namun masih
ditangani secara konvensional tanpa menggunakan pendekatan teori yang cukup.
Adapun tindakan yang dimaksud adalah dipasung, dirantai atau diikat lalu
ditempatkan tersendiri dirumah atau di hutan (bila sifat gangguan jiwanya berat dan
membahayakan). Bila tidak berbahaya, dibiarkan berkeliharan di desa sambal mencari
makanan dan menjadi tontonan masyarakat malahan ada kalanya diperlakukan
sebagai orang sakit, menjadi bahan ejekan, dan mendapatkan perilaku yang tidak
semestinya.
1. Zaman colonial
Sebelum ada rumah skit jiwa di Indonesia, para gangguan jiwa ditampung di RS
sipil atau RS militer di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Yang ditampung pada
umumnya penderita gangguan jiwa berat. Ternyata tempat RS yang disediakan
tidak cukup. Tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda mengadakan sensus terhadap
penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura, hasilnya ada kira-kira 600
orag penderita gangguan jiwa di pilau Jawa dan Madura, 200 orang lagi di daerah-
daerah lain. Keadaan demikian untuk penguasa pada waktu itu sudah ada cukup
asalan untuk membangun RS Jiwa. Maka pada tanggal 1 Juli 1882, dibangun
Rumah sakit Jiwa pertama di Bogor, kemudian berturut-turut RSJ Lawang (23
Juni 1902), RSJ Magelang (1923) dan RSJ Sabang (1927). RSJ ini tergolong RS
besar dan menampung penderita gangguan jiwa menahun yang memerlukan
perawatan lama.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat merupakan penduduk pribumi
yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang
sakit.Tahun 1799 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Rumah Sakit Binen
Hospital di Jakarta, Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat yang
bertujuan untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Jenderal
Daendels juga mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi

2
tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untuk
kepentingan tentara Belanda
Pemerintah Hindia Belanda mengenal 4 macam tempat perawatan penderita
psikiatri, yaitu:
a. Rs Jiwa (kranzinningengestichten)
Di Bogor, Magelang, Lawang, dan sabang, RSJ terus penuh, sehingga terjadi
penumpukan pasien di RS sementara, tempat tahanan sementara kepolisian
dan penjara-penjara. Maka dibangunlah “annexinrichtingen” pada Rs Jiwa
yang sudah ada seperti di Semplak (Bogor) tahun 1931 dan pasuruan (dekat
Lawang)tahun 1932.
b. RS Sementara (Doorgangshuizen)
Tempat penampungan sementara bagi pasien psikotik yang akut, dipulangkan
setelah sembuh, yang perlu perawatan lebih lama di kiri ke RS Jiwa yang
didirikan di Jakarta, Semarang, Manado, dan Medan.
c. Rumah Perawatan (Veerplegtehuiizen)
Berfungsi sebagai RS Jiwa tetapi dikepalai seorang perawat berijazah dibawah
pengawasan dokter umum.
d. Koloni
Tempat penampungan pasien psikiatri yang sudah tenang, pasien dpat bekerja
dalam bidang pertanian serta tinggal di rumah penduduk, tuan rumah diberi
uang kos, dan masih berada dibawah pengawasan. Rumah-rumah semacam ini
dibangun jauh dari kota dan masyarakat umum. Perawatan bersifat isolasi dan
penjagaan (custodial care). Teori dasar (yang sekarang tidak dianut lagi):
1. Pasien harus keluar dari rumah dan lingkungan yang menyebabkan ia
sakit, oleh sebab itu harus dirawat di suatu tempat yang tenang,
sehingga terbiasa dengan suasana rumah sakit.
2. Menghindari stigma (cap yang tidak baik)

Pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Inggris ketika itu dijabat


oleh Raffles sangat memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari
semboyannya yaitu kesehatan adalah milik setiap manusia, ia melakukan berbagai
upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara lain
melakukan pencacaran umum, cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa dan
kesehatan para tahanan Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda,
3
kesehatan penduduk Indonesia menjadi lebih baik. Pada tahun 1819 didirikanlah
RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba
yang sekarang bernama RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Antara tahun 1816
hingga 1942 pemerintah Hindia Belanda banyak mendiirikan rumah sakit di
Indonesia. Di Jakarta didirikanlah RS. PGI Cikini dan RS. ST Carollus. Di
Bandung didirikan RS. ST. Boromeus dan RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan
dengan itu berdiri pula sekolah-sekolah perawat.

Setelah itu pemerintah Hindia Belanda hanya memiliki satu jenis rumah
sakit jiwa yaitu RSJ pemerintah, untuk menyederhanakan dan mempekuat struktur
organisasi serta sekaligus menghapus kecenderungan kepada diskriminasi
pelayanan.

Terdapat pula kecenderungan membangun rumah sakit yang tidak besar


lagi, tetapi berkapasitas 250-300 tempat tidur, karena lebih efektif dan efisien. RS
juga sebaiknya tidak terpencil tetapi berada di tengah-tengah masyarakat agar
kegiatan dan hubungan akan lebih dijamin.

Cara pengobatan yang dahulu sering dipakai di RSJ adalah isolasi dan
penjagaan (custodial care), sejak tahun 1919 telah dicoba untuk meninggalkan
penjagaan yang terlau ketat terhadap pasien dengan memberikan kebebasan yang
lebih besar (no restin). Kemudian pada tahun 1930 dicoba terapi kerja (okupasi).

Semua RSJ dan fasilitasnya dibiayai oleh pemerintah Hindia Belanda,


yang akhirnya membentuk dienstvsn het krankzinningenwezen untuk mengurus
hal ini. Dari pihak swasta atas prakarsa Van Wullfen Palthe didirikan koloni di
Lenteng Agung yang mendapat subsidi dari pemerintah. Witte Kruis Kolonie
suatu usaha swasta untuk menampung pengemis di daerah Jawa Tengan tetapi
juga bersedia menerima orang bekas gangguan jiwa yang sudah tenang, di rawat
Cuma-Cuma.

Pada masa penjajahan Jepang, perkembangan keperawatan di Indonesia


mengalami kemunduran dan mengalami zaman kegelapan, Pada masa itu, tugas
keperawatan tidak dilakukan oleh tenaga terdidik dan pemerintah Jepang
mengambil alih pimpinan rumah sakit. Hal ini mengakibatkan berjangkitnya
wabah penyakit karena ketiadaan persediaan obat.

4
2. Zaman Setelah Kemerdekaan
Membawa babak baru bagi perkembangan usaha kesehatan jiwa, Oktober
1947 pemerintah RI membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa, karea masih
terjadi revolusi fisik maka belum dapat bekerja dengan baik. Pada tahun 1950
pemerintah RI menugaskan untuk melaksanaakan hal-hal yang dianggap penting
bagi penyelenggaraan dan pembinaan kesehatan jiwa di indonesia. Jawatan ini
bernaung di bawah depatemen kesehatan; tahun 1958 diubah menjadi Urusan
Penyakit Jiwa; 1960 menjadi bagian kesehatan jiwa; dan tahun 1966 menjadi
direktorat kesehatan jiwa yang sampai sekarang dipimpin oleh direktur Kesehatan
Jiwa atau kepala direktorat kesehatan jiwa
Direktorat Kesehatan Jiwa menyempurnakan struktur organisasinya menjadi
dinas, yang diubah menjadi subdirektorat peningkatan (promosi), subdirektorat
pelayanan, dan pemilihan, subdirektorat rehabilitasi dan subdirektorat
pengembangan program.
Dengan ditetapkannya UU kesehatan jiwa No.3 tahun 1966 oleh pemerintah ,
maka lebih terbuka untuk menghimpun semua potensi guna secara bertahap
melaksanakaan modernisasi semua sistem rumah sakit seta fasilitas kesehatan jiwa
di indonesia. Direktorat kesehatan jiwa mengadakan kerjasama dengan berbagai
instansi pemerintah dan dengan fakultas kedokteran, badan internasional, seminar
nasiona, dan regional Asia serta rapatkerja nasional serta daerah. Adanya
pembinaan sistem pelaporan, PPDGJ 1 tahun 1973 dan diterbitkan tahun 1957
serta integasi dalam pelayanan kesehatan di puskesmas.
Pihak swasta pun lebih memikirkan masalah kesehatan jiwa, terutama di kota-
kota besar. Di jakarta, kemudian di yogyakarta dan surabaya serta beberapa kota
lainnya didirikan anatorium kesehatan jiwa. RSU pemerintahan dan RS ABRI
menyediakan tempat tidur untuk pasien gangguan jiwa dan mendirikan bagian
psikiatri demikian pula RS swasta seperti RS St carolus di jakarta, RS Gunung
Maria (Minahasa). Di jakarta dan surabaya telah didirikan pusat kesehatan jiwa
masyarakat.
Metode pengobatan penderita gangguan jiwa telah banyak mengalami
kemajuan dari jaman ke jaman. Evolusi ini merupakan ceriminan dari perubahan
dasar-dasar filosofi dan teori tentang pengobatan. Pendekatan model keperawatan

5
jiwa menggunakan model konsep yang digunakan dalam memberikan asuhan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan, secara
holistic meliputi bio, psiko, sosial dan spiritual. Fokus penangganan pada model
keperawatan adalah penyimpangan perilaku, asuhan keperawatan berfokus pada
respon individu terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial, dengan
berfokus pada :rentang sehat sakit berdasarkan teori dasar keperawatan dengan
intervensi tindakan keperawatan spesifik dan melakukan evaluasi hasil tindakan
keperawatan. Model ini mengadopsi berbagai teori antara lain teori sistem, teori
perkembangan dan teori interaksi

B. Trend serta Issue dalam keperawatan jiwa global


1. Definisi
Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatan analisa,
trend juga dapat di definisikan salah satu gambaran atau informasi yang terjadi
pada saat ini yang biasanya sedang popular di kalangan masayarakat. Trend
adalah sesuatu yang sedang dibicarakan oleh banyak orang saat ini dan
kejadiannya berdasarkan fakta.
Issue adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau
tidak terjadi pada masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, social, politik,
hukum, pembanguanan nasional, bencana alam, hari kiamat, kematian, dan
tentang krisis. Issue adalah suatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun
belum jelas fakta atau buktinya
.
C. Kebijakan dan Program Dirjenkeswa Terkini
a. Kebijakan
1) UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
2) UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Conventions of The Rights
of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas)
3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasioanl (RPJMN) 2015-
2019 Direktorat Jenderal Kesehatan Jiwa

6
b. Tujuan
Secara umum tujuan pembangunan kesehatan jiwa kurun waktu 2015-2019
adalah menuju masyarakat Indonesia yang sehat jiwa. Secara khusus tujuan
pembangunan kesehatan jiwa kurun waktu 2015- 2019 adalah sebagai
berikut:
1. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik,
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,
tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa;
2. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi
kecerdasan; Memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan
Kesehatan Jiwa bagi ODMK, ODGJ dan orang dengan gangguan
penggunaan Napza berdasarkan hak asasi manusia;
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif,
dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif bagi ODMK, ODGJ dan orang dengan gangguan
penggunaan Napza;
4. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya
Kesehatan Jiwa;
5. Meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
6. Memberikan kesempatan kepada ODMK, ODGJ dan orang dengan
gangguan penggunaan Napza untuk dapat memperoleh haknya sebagai
Warga Negara Indonesia.

c. Sasaran
Dalam rangka mencapai tujuan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa tersebut di
atas, ditetapkan sasaran-sasaran strategis sebagai berikut:
1. Terwujudnya upaya kesehatan jiwa yang lebih responsive, menyeluruh,
terpadu, berkesinambungan dan terukur..
2. Terwujudnya layanan kesehatan jiwa dan NAPZA yang lebih
terstruktur dan terstandar.
3. Terwujudnya program promosi dan prevensi kesehatan jiwa dan
NAPZA 4. Terwujudnya sistem koordinasi dan kolaborasi dengan para
pemangku kepentingan kesehatan jiwa dan NAPZA
7
4. Terwujudnya sistem informasi dan monitoring evaluasi kesehatan jiwa
dan NAPZA
5. Terwujudnya SDM kesehatan jiwa dan NAPZA yang kompeten dan
berbudaya kinerja.
6. Terwujudnya sarana dan prasarana kesehatan jiwa dan NAPZA sesuai
standar.
7. Terwujudnya dukungan regulasi dan kebijakan kesehatan jiwa dan
NAPZA.
8. Terwujudnya data kesehatan jiwa dan NAPZA yang terpadu. 10.
Terwujudnya penganggaran yang optimal dan berkelanjutan bidang
kesehatan jiwa dan NAPZA

d. Kerangka regulasi
Meningkatkan Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa
dan Napza Untuk meningkatkan akses dan mutu Fasilitas Kesehatan Jiwa
dan Napza Tingkat Pertama (FKTP), maka upaya yang akan dilakukan
adalah:
1. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan
sarana prasarana dan alat kesehatan yang sesuai standar
2. Optimalisasi fungsi FKTP, dimana tiap kecamatan memiliki minimal
satu Puskesmas dengan layanan jiwa
3. Mewujudkan dukungan regulasi yaitu melalui penyusunan kebijakan
dan NSPK FKTP.
4. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan nakes antara lain melalui
penguatan konsep dan kompetensi Dokter Layanan Primer (DLP) serta
nakes strategis.
5. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan ke
Pemerintah Daerah dalam rangka penguatan manajemen Puskesmas
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
6. Mewujudkan sistem manajemen kinerja FKTP melalui instrumen
penilaian kinerja.

8
Untuk meningkatkan akses dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan, maka strategi yang akan dilakukan adalah:
1. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan
sarana prasarana dan alat kesehatan di RSJ yang sesuai standar.
2. Mewujudkan penerapan sistem manajemen kinerja RSJ sehingga
terjamin implementasi Patient Safety, standar pelayanan kedokteran dan
standar pelayanan keperawatan.
3. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan
untuk percepatan mutu pelayanan kesehatan Jiwa
4. Mewujudkan berbagai layanan unggulan pada Rumah Sakit rujukan
nasional secara terintegrasi
5. Mewujudkan penguatan sistem rujukan dengan mengembangkan sistem
regionalisasi rujukan pada tiap provinsi (satu rumah sakit rujukan
regional untuk beberapa kabupaten/kota) dan sistem rujukan nasional
(satu Rumah Sakit rujukan nasional untuk beberapa provinsi).
7. Mewujudkan kemitraan yang berdaya guna tinggi melalui program
sister hospital, kemitraan dengan pihak swasta, KSO alat medis, dan
lain-lain.
8. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan tenaga kesehatan Jiwa.

D. Kebijakan WHO Terkait Mental Health


Secara global, selama tiga dekade terakhir, kesehatan mental merupakan isu
sentral pembangunan kesehatan. Sejak beberapa dekade lalu, WHO menegaskan
bahwa definisi sehat merupakan definisi yang sifatnya intergral; artinya bukan
sekedar bebas dari penyakit, namun kondisi dimana seseorang mencapai
kesejahteraan paripurna secara fisik, mental dan sosial. Garis kebijakan WHO ini
memiliki implikasi penting seluruh batang tubuh kebijakan kesehatan yang diterapkan
oleh negara-negara anggota WHO, harus seluruhnya mencakup ketiga aspek diatas.
Melihat tren global, kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai isu perifer
dalam pembangunan kesehatan, mengingat betapa seriusnya dampak yang
diakibatkan oleh lemahnya kondisi kesehatan mental. Studi the Global Burden of
Disease yang dilakukan oleh IMHE (The Institute for Health Metrics and Evaluation)
pada tahun 2015 mengungkapkan data yang meyakinkan mengenai peta beban
penyakit di seluruh dunia. Yang mengejutkan, data years lost due to disability (YLD)
dari studi tersebut menyebutkan bahwa 6 dari 20 jenis penyakit yang dianggap paling
bertanggung jawab menyebabkan disabilitas adalah gangguan mental.
Lebih lanjut, apabila kita mencermati estimasi WHO mengenai disability-life
adjusted years (DALY) pada tahun 2012 yang menggambarkan jumlah tahun

9
produktif yang hilang akibat kematian prematur (sebelum mencapai usia harapan
hidup) serta akibat kecacatan (disabilitas), menempatkan Unipolar Depressive
Disorders pada peringkat 9 dari 20 penyakit utama, apabila dibandingkan dengan
penyakit menular (communicable diseases) atau penyakit tidak menular (non-
communicable disesases) lainnya. Artinya, meskipun gangguan mental belum terlalu
dipandang sebagai problem epidemiologis, nyatanya memiliki implikasi yang
signifikan dalam membuat jutaan orang hidup dalam disabilitas, bahkan kematian dini
akibat bunuh diri.
Data-data diatas menegaskan bahwa gangguan kesehatan mental
membutuhkan fokus penuh dari para pengambil kebijakan, mengingat gangguan
kesehatan mental mulai dianggap sebagai ancaman serius yang membutuhkan respon
cepat dari penyedia layanan kesehatan3. Oleh karena itu, studi-studi epidemiologis
yang terkait dengan gangguan mental sudah mulai dilakukan agar evidence-based
policy dapat dirumuskan secara tepat.
Tujuan penulisan artikel yang pertama adalah memberikan gambaran
mengenai tren global dan nasional mengenai gangguan kesehatan mental, terutama
mengulas studistudi epidemiologis. Kedua, mengulas beberapa tantangan yang harus
dihadapi oleh pengambil kebijakan dan tenaga kesehatan dalam mengatasi gangguan
kesehatan mental, terutama kaitannya dengan kesejahteraan penderita. Tulisan ini
kemudian ditutup dengan beberapa argumen kunci yang menyimpulkan bagian
pertama dan kedua. Dalam menyusun tulisan ini, kami mengulas temuan-temuan
utama riset-riset epidemiologis mengenai kesehatan mental. Ulasan ini harapannya
dapat meyakinkan para policymaker untuk lebih memperhatikan datadata
epidemiologis sebelum menyusun kebijakan dalam menangani persoalan kesehatan
mental.
Oleh karena itu, WHO selanjutnya menyelenggarakan studi epidemiologis
terpisah untuk menginvestigasi dampak global dari kesehatan mental yang dilakukan
pertamakali pada tahun 2001-2003. World Mental Health (WMH) Survey Initiative
awalnya melibatkan 14 negara (6 negara berkembang dan 8 negara maju). Sampai
saat ini, survei WMH telah dilakukan 17 kali dan studi yang terakhir melibatkan lebih
banyak negara, yaitu 28 negara. Survei ini menggunakan WHO Composite
International Diagnostic Interview (CIDI), yaitu sebuah panduan wawancara
diagnostik terstruktur yang menggunakan DSM-IV sebagai kriteria diagnostik,
sebagai instrumen survei. Data yang diekstraksi dari survei WMH diharapkan mampu
memberikan gambaran yang lebih baik mengenai prevalensi dan tingkat keparahan
gangguan kesehatan mental di negara-negara yang berpartisipasi. Sayangnya sampai
dengan saat ini, Indonesia belum termasuk negara yang berpartisipasi dalam studi
tersebut.
Gangguan mental yang secara konsisten tergolong sebagai gangguan dengan
prevalensi tertinggi dan memenuhi kualifikasi diagnostik DSM-IV/CIDI ada empat
jenis gangguan, yaitu; (a) gangguan kecemasan; (b) gangguan mood; (c) externalizing
disorder; dan (d) gangguan penyalahgunaan zat, sedangkan jenis gangguan yang lain
masuk kategori gangguan lainnya. Namun ada juga beberapa jenis gangguan yang
tidak diakomodasi dalam CIDI, misalnya specific phobia, conduct disorder, dan
gangguan bipolar.4 Gangguan dengan prevalensi tertinggi adalah gangguan
kecemasan dengan prevalensi 14,3% dari total populasi, sedangkan posisi kedua

10
ditempati oleh gangguan mood yang mencapai prevalensi sekitar 12%. Gangguan
kecemasan dan gangguan mood paling banyak ditemui di regional Pan American
Health Organization (PAHO) dan Amerika Serikat adalah negara partisipan dengan
prevalensi tertinggi. Di Amerika Serikat, gangguan kecemasan dan gangguan mood
memiliki prevalensi sebesar 31% dan 21,4%.
Tingkat keparahan gangguan mental diklasifikasikan menjadi tiga kategori,
yaitu; (a) ringan; (b) sedang; dan (c) berat. Data menunjukkan bahwa ada asosiasi
yang kuat antara estimasi prevalensi dengan tingkat keparahan gangguan. Negara
yang melaporkan prevalensi yang tinggi atas gangguan mental tertentu juga
melaporkan adanya impairment yang tinggi yang diasosiasikan dengan gangguan
mental tersebut. Survei WMH menyebutkan bahwa mayoritas gangguan mental yang
terdeteksi tergolong gangguan mental sedang, sedangkan negara yang melaporkan
angka tertinggi untuk gangguan mental berat adalah Israel.
Gangguan mental juga dilaporkan memiliki onset usia yang cenderung sangat
dini. Misalnya, beberapa gangguan kecemasan seperti phobia dan separation anxiety
disorder rata-rata muncul pada anak usia 7-14 tahun, sedangkan gangguan kecemasan
lainnya serta gangguan mood rata-rata muncul pada usia 25-50 tahun. Dampak
gangguan kesehatan mental diikuti oleh naiknya societal cost. Gangguan ini diikuti
dengan menurunnya capaian pendidikan, meningkatnya angka pernikahan dini,
menyebabkan instabilitas pernikahan dan melemahkan status finansial dan
okupasional.
Survei WMH menjadi notifikasi penting yang menjadi catatan penting bahwa
gangguan mental merupakan gangguan kesehatan yang saat ini bertambah luas
cakupannya, serta memiliki dampak yang luas, terutama di level sosial. Lima belas
tahun setelah studi pertama The Global Burden of Disease dipublikasikan,
negaranegara anggota WHO di Eropa mengungkapkan kegelisahannya atas kondisi
tersebut kemudian merespon dengan merumuskan Mental Health Declaration di
Helsinki. Deklarasi tersebut menegaskan komitmen negara-negara anggota WHO
regional Eropa untuk bersama-sama membangun kekuatan untuk mengatasi persoalan
kesehatan mental.
Pertemuan tersebut menghasilkan serangkaian rencana aksi beserta proposisi
tegas “..there is no health, without mental health” yang menegaskan bahwa setiap
negara anggota WHO harus mulai memasukkan isu kesehatan mental sebagai prioritas
kebijakan. Sayangnya sampai dengan saat ini, gangguan kesehatan mental belum
menjadi prioritas di mayoritas negara berkembang, karena mereka lebih
memprioritaskan kebijakan mengenai pengendalian penyakit menular dan kesehatan
ibu dan anak (KIA).

11
Daftar pustaka

Buku Ajar Keperawatan Jiwa, H. iyus Yosep, S.Kp., M.Si,.M.Sc, Titin Sutini,
S.Kep,. Nes., M.Kep. Cetakan keenam , Mei 2014
Azizah, M. L., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa.
Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Tahun 2015-2019
Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Ns Nurhalimah, S Kep, M Kep
Sp Kep J. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Pusat pendidikan SDM
Kesehatan, Badan Pengembangan Dan Pemberdayaan SDM Kesehatan. 2016
Ridlo DKK, 2018 JURNAL MENTAL HEALTH POLICY: GLOBAL, NATIONAL
TREND AND CURRENT CHALLENGES Universitas Airlangga Kampus B, 21
Airlangga, 4-6 Surabaya.

12

Anda mungkin juga menyukai