Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana hampir 1/3 pasien yang masuk
ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian di Amerika
Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam dekade lalu. Telah dilaporkan
angka kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per 100.000 populasi antara
tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian severe sepsis berkisar antara 51 dan 95
pasien per 100.000 populasi. Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari
27,8% menjadi 17,9%. Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV dan
keganasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi
tertentu seperti gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut juga
berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Angka kematian syok septik berkurang dari
61,6% menjadi 53,1%. Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade ini dapat
disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi iatrogenik.
Seperti contoh pengembangan protokol early goal resuscitation tidak bertujuan untuk mencapai
target supranormal untuk curah jantung dan pengangkutan oksigen. Sejak 2002 The Surviving
Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal meningkatkan kesadaran dokter
tentang mortalitas Severe sepsis dan memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk
menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang akhirnya dapat menurunkan angka
kematian secara bermakna.

1
BAB II

ISI

Sepsis adalah sindroma klinis yang ditandai adanya infeksi dan respons inflamasi sistemik
(systemic inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. 1
Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (> 38 °C atau < 36°C), takikardi, asidosis
metabolic, biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu, dan
peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus
atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood poisoning)
mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ.
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau
hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik
merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah
normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan
atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥ 90 mmHg
atau tekanan arterial rata-rata ≥ 70 mmHg.

I. Epidemiologi Sepsis
Sepsis merupakan masalah yang umum dihadapi di ICU dan menjadi penyebab
utama kematian. Sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa, pasien yang
memenuhi kriteria SIRS sekitar 26% berkembang menjadi sepsis, 18% menjadi sepsis
berat dan 4% menjadi septik syok. Tingkat mortalitas kasus sepsis adalah 16%, dan
meningkat menjadi 20% pada sepsis berat dan 46% pada kasus septik syok.2
Tingkat kematian pada anak-anak kurang dari 10%, namun meningkat hampir
empat kali (38,4%) pada kelompok usia ≥ 85 tahun, dan laki-laki sedikit lebih tinggi
(29,3%) dibandingkan dengan perempuan (27,9%). Setiap tahun kejadian sepsis
sekitar 50 – 95 kasus per 100.000 populasi, dan meningkat 9% setiap tahun. Lebih
dari satu juta orang di dunia dan 20.000 orang di Amerika Serikat meninggal setiap
tahun karena syok septik. Sebuah studi memperkirakan 751.000 kasus sepsis berat

2
terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Pada tahun 2010, diperkirakan akan ada
934.000 kasus sepsis baru di Amerika Serikat, dan pada tahun 2020, angka tersebut
akan meningkat menjadi 1,100,000.2 Data prevalensi di Indonesia mengenai angka
kejadian sepsis di ICU masih terbatas dilaporkan.

II. Etiologi Sepsis


Penyebab dasar dari sepsis dan syok septik yang paling sering adalah infeksi bakteri.
Organisme penyebab sepsis berevolusi dari tahun ke tahun. Awalnya sepsis dianggap
sebagai respon dari endotoxin, sebuah molekul yang relatif spesifik untuk bakteri
gram negatif, bahkan pada beberapa penelitian menyatakan bakteri gram negatif
merupakan penyebab paling banyak kejadian sepsis, sehingga banyak percobaan yang
dilakukan difokuskan ke terapi sepsis yang disebabkan bakteri gram negatif bahkan
lebih spesifik terapi untuk endotoxin. Kita sekarang tahu bahwa sepsis dapat
disebabkan oleh semua bakteri, juga fungal dan virus. Penelitian terkini menyebutkan
bakteri gram positif menjadi penyebab paling utama sepsis pada 25 tahun terakhir.
Penelitian epidemiologi besar menunjukan bakteri gram positif mengalahkan bakteri
gram negatif pada awal tahun 1980an sebagai penyebab utama sepsis di Amerika.3

Gambar 1 Grafik Organisme Penyebab Sepsis


Diunduh dari: http://jpma.org.pk/images/March2000/table1.jpg

3
Tabel 1 Tempat Terjadinya Infeksi yang Menyebabkan Sepsis6

III. Faktor Risiko Sepsis

a. Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan
usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan kematian terkait
sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam kelompok umur 35
sampai 44 tahun dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang
Indian Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih
cenderung mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan
remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar
20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang
berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur.
b. Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di
antara orang Asia.
c. Penyakit Komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal ginjal
kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada pasien
sepsis non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ
akut yang lebih berat.
d. Genetik
Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam
gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis
kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan
sepsis dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak

4
menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP
di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk
identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-
negatif.
e. Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap
berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi
terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling umum,
penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler
seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang
dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.
f. Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan antara
sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel
kulit. Orang yang menerima kemoterapi beresiko untuk terkena infeksi ketika
jumlah sel darah putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh
terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah
menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat menjadi
serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan penyebab utama
kematian pada pasien kanker neutropenia.
g. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al.
didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen
terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor
risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian
Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis
rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya
komorbiditas resistensi insulin dan diabetes.

5
IV. Patofisiologi Sepsis
Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem imun
dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari
sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun
terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara
regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan
mikroorganisme penyebab infeksi.4
a. Kaskade Inflamasi
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis.
Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram
negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram
positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan
komponen parasit.
Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel
imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan
memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor
trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear
factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-
inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan
IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin,
leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak
lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu,
sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil.
Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui
pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida
nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan
cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi
yang mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya
memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi,
meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab

6
hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ dan kematian.4

V. Manifestasi Klinis Sepsis


Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh tanda-
tanda non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering adalah
paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan sistem saraf
pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada pendeita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering diikuti dengan syok.5

Klasifikasi Sepsis:5
a. Systemic Inflammation Response Syndrome (SIRS)
Respon klinis yang timbul dari infeksi nonspesifik, bila terdapat ≥2 kriteria
berikut:
 Temperatur badan >38°C atau < 36°C
 Frekuensi denyut nadi > 90x/menit
 Frekuensi pernapasan > 20x/menit atau PaCO2 <32mmHg
 Leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau jumlah netrofil
batang >10%
b. Sepsis
SIRS dengan penemuan atau kecurigaan bakteremia
c. Sepsis Berat (Severe Sepsis)
Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi atau hipoperfusi
Kriteria ini juga mencakup sepsis dengan:
 Asidosis laktat
 Oliguria ( Urin output <0,5mL/kgBB/jam selama > 2 jam meski
telah diberi resusitasi cairan secara adekuat)
 Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/ FiO2 <200 (bila tidak ada
pneumonia), atau PaO2/ FiO2 <250 (bila tidak ada keterlibatan
pneumonia)
 Kreatinin serum >2,0 mg/dL
 Bilirubin > 2mg/dL
 Hitung trombosit <100.000/mm3
 Koagulopati (INR >1,5)
 Sepsis induced hypotension

d. Syok Septik

7
Sepsis dengan kelainan hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan
awal.
Syok septik pada orang dewasa mengacu pada keadaan sirkulasi akut. Kegagalan
ditandai dengan hipotensi arteri persisten yang tidak jelas penyebabnya. Hipotensi
didefinisikan oleh tekanan sistolik arteri di bawah 90 mmHg (pada anak-anak,
kurang dari 2 SD di bawah normal untuk usia); Mean Arterial Pressure (MAP)
lebih rendah dari 60, atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg
dari baseline, meskipun sudah resusitasi cairan yang adekuat. Anak-anak dan
neonatus memiliki tonus pembuluh darah yang lebih tinggi dibandingkan orang
dewasa. Oleh karena itu, syok terjadi jauh sebelum terjadi hipotensi pada anak-
anak. Syok septik pada pasien anak didefinisikan sebagai takikardia (mungkin
tidak ada pada pasien hipotermia) dengan tanda-tanda penurunan perfusi termasuk
penurunan denyut perifer dibandingkan denyut sentral, perubahan kesadaran,
flash capillary refill atau capillary refill time > 2 detik, kulit tampak berbintik-
bintik atau ekstremitas dingin, atau penurunan output urin. Hipotensi adalah tanda
shock terlambat dan dekompensasi pada anak-anak.6

VI. Diagnosa Sepsis

8
Tabel 2 Kriteria Diagnostik Sepsis6

VII. Komplikasi Sepsis

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang


mungkin terjadi meliputi:
a. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut (acute
respiratory distress syndrome)
Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya
cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya
kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan
hipoksemia.
Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus
sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas
paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya
tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.

b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai
bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya
bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai
spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan

9
yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan
trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko
mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada
sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.

c. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang
diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang
penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang
berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium
(MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor
(yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.

d. Gangguan fungsi hati


Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan
bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak
berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam
waktu yang lama.

e. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada
keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan
pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi
yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya
hemodialisis) diindikasikan.

f. Sindroma disfungsi multiorgan


Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.

10
 Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada
keadaan pneumonia yang berat.
 Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan yang
menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan urosepsis.

VIII. Penatalaksanaan Sepsis

Early Goal Directed Therapy (EGDT) yang diperkenalkan oleh Rivers et. al. pada tahun
2001 adalah pendekatan resusitasi dini yang ditujukan untuk memperbaiki makrosirkulasi
dan mikrosirkulasi secara cepat untuk mencegah terjadinya hipoperfusi jaringan.
Dalam penelitian tersebut, didapatkan penurunan angka mortalitas 16%, dari 46,5% menjadi
30,5%. Diharapkan dengan perbaikan makrosirkulasi dan mikrosirkulasi kegagalan fungsi
organ dapat dicegah. Sepsis Resuscitation Bundle yang dikembangkan berdasarkan Surviving
Sepsis Campaign Guidelines 2008, menggunakan pendekatan resusitasi yang serupa dengan
EGDT, ditambah beberapa elemen dari hasil penelitian lainnya. Sepsis Resuscitation Bundle
ini diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas hingga 25%.

Berikut adalah tatacara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septik Shock
2012.

11
Gambar 2 Surviving Sepsis Campaign Bundles8
Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut:8
a. Central Venous Pressure (CVP) 8-12mmHg
b. Mean Arterial Pressure (MAP) ≥ 65mmHg
c. Urin output ≥ 0,5mL/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan
oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik)
d. Saturasi oksigen vena sentral (Savo2) atau mixed venous 70% atau 65%
Pada pasien dengan peningkatan kadar laktat, ditargetkan untuk resusitasi
untuk menormalkan kadar laktat nya.

RESUSITASI AWAL DAN KONTROL INFEKSI

1. Resusitasi cairan (dalam 6 jam pertama)8


Berikan sesegera mungkin pada kondisi hipotensi atau peningkatan laktat serum
>4mmol/L.
- Berikan cairan kristaloid minimal 30mL/KgBB bolus cepat selama 30 menit
dengan prinsip fluid challenge techniques. Volume yang lebih besar dan cepat
diberikan bila terjadi hipoperfusi jaringan. Kecepatan pemberian harus
dikurangi apabila tekanan pengisian jantung meningkat tanpa adanya
perbaikan hemodinamik. Catatan khusus diberikan pada pasien yang berisiko
Acute Lung Injury/ Acute Resporatory Distress Syndrome (ALI/ARDS), cairan

12
harus dibatasi serta dilakukan peninggian posisi tungkai secara pasif sewaktu
melakukan fluid challenge techniques.
- Albumin boleh diberikan setelah pasien mendapatkan cairan kristaloid dalam
jumlah adekuat.
2. Diagnosis
- Kultur darah
Sampel untuk kultur darah sebaiknya diambil sebelum terapi antibiotik, bila
memungkinkan (maksimal 45 menit, antibiotik empiris harus dilakukan).
Kultur dilakukan secara duplo menggunakan satu botol aerob dan satu botol
anaerob, darah diambil secara perkutaneus dan dari perangkat akses vascular
(meski baru dipasang). Kultur darah ini dapat diambil pada saat yang sama
jika mereka diperoleh dari lokasi yang berbeda. Kultur dari tempat lain
(sebaiknya kuantitatif mana yang sesuai), seperti urine, cairan serebrospinal,
luka, sekret pernapasan, atau cairan tubuh lain yang mungkin sumber infeksi,
juga harus diperoleh sebelum terapi antimikroba jika hal itu tidak
menyebabkan keterlambatan yang signifikan dalam pemberian antibiotik.
- Menggunakan 1,3 beta-D-glucan, mannan, dan anti-mannan antibody assays,
bila tersedia dan bila infeksi candidiasis invasif merupakan diagnose banding
penyebab infeksi.
- Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi sumber potensial
infeksi.
3. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena yang efektif pada 1 jam pertama setelah mengetahui
merupakan syok septik atau sepsis berat tanpa syok harus menjadi tujuan dari terapi.
Mendapatkan akses vaskuker dan resusitasi cairan merupakan prioritas utama dalam
menangani sepsis berat atau syok septik. Tetapi pemberian antibiotik juga harus
menjadi prioritas karena menurut penelitian setiap jam penundaan antibiotik yang
efektif dapat meningkatkan angka mortalitas.
Antibiotik yang di rekomendasikan meliputi satu atau lebih obat yang dapat melawan
hampir semua pathogen (bakteri dan/atau fungi atau virus) dan dapat berpenetrasi
dalam konsentrasi adekuat ke dalam jaringan yang diduga merupakan penyebab
infeksi.
Durasi pemberian antibiotik dianjurkan selama 7-10 hari bila merupaka indikasi
klinis, pemberian yang lebih lama dilakukan bagi pasien yang responnya lambat,

13
bakteremia dengan S.aureus, beberapa infeksi fungal dan virus atau ada defisiensi
imunologis. Dianjurkan pemberian segera antiviral bila pasien sepsis berat atau syok
septik yang disebabkan infeksi virus.
Regimen pemberian antibiotik harus dievaluasi setiap hari untuk mencegah resistensi,
meminimalisir toksisitas.
4. Kontrol Sumber Infeksi
Lokasi anatomis infeksi harus ditentukan dan diintervensi dalam 12 jam setelah
diagnosis ditegakkan, bila perangkan akses vascular yang dicurigai sebagai sumber
infeksi, lakukan penggantia segera setelah akses baru dipasang.
5. Pencegahan Infeksi
Selective oral decontamination (SOD) dan selective digestive decontamination (SDD)
harus dikenalkan dan diteliti sebagai metode untuk mengurangi kejadian ventilator-
associated pneumonia (VAP), ini langkah pengendalian infeksi kemudian dapat
menerapkan dalam pelayanan kesehatan dan wilayah di mana metodologi ini
ditemukan efektif.
Disarankan oral chlorhexidine gluconate (CHG) digunakan sebagai bentuk
dekontaminasi orofaringeal untuk mengurangi risiko VAP pada pasien ICU dengan
sepsis berat

TERAPI DUKUNGAN HEMODINAMIK

A. Pemberian Agen Vasopressor


 Vasopresor diberikan untuk menjaga Mean Arterial Pressure (MAP) ≥65
mmHg. Norepinefrin merupakan vasopresor pilihan utama, epinefrin
merupakan pilihan tambahan atau pengganti norepinefrin bila agent tambahan
diperlukan untuk menjaga tekanan darah.8
Vasopresin dosis 0.03 U/menit dapat ditambahkan pada norepinefrin untuk
meningkatkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin.
Penggunaan dopamine sebagai vasopresor alternative norepinefrin hanya diberikan
pada pasien tertentu, seperti risiko rendah mengalami takiaritmia, bradikardia
absolute atau relatif.

14
Fenilefrin tidak dianjurkan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam kondisi
berikut: (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia yang serius, (b) curah jantung
diketahui masih rendah dan tekanan darah tinggi, atau (c) sebagai terapi
penyelamatan saat obat-obatan yang inotrope / vasopressor dikombinasikan dan
vasopresin dosis rendah telah gagal untuk mencapai target MAP.
Kami merekomendasikan dopamine dosis rendah tidak digunakan sebagai renal
protector.

B. Pemberian Inotropik
Kami merekomendasikan bahwa percobaan dari infus dobutamin mencapai 20
μg/kg/min di berikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika dalam penggunaan)
pada keadaan : a) disfungsi myocardial, seperti yang diperlihatkan oleh peningkatan
cardiac filling pressures and cardiac output yang rendah, atau b) tanda hipoperfusi
yang berlangsung terus menerus daripada memperoleh volume intravascular dan
MAP yang adekuat.8
Dobutamin merupakan inotropik pilihan utama untuk pasien dengan kardiak output
yang rendah. Pasien dengan sepsis yang masih menderita hipotensi setelah resusitasi
cairan mungkin memiliki cardiac output yang rendah, normal, ataupun meningkat,
oleh karena itu terapi dengan kombinasi inotropic/vasopressor, seperti epinephrine
atau norepinephrine direkomendasikan jika cardiac output tidak dinilai.
Ketika kemampuan yang ada untuk memantau curah jantung sebagai
tambahan tekanan darah, vasopresor, seperti norepinefrin, dapat digunakan secara
terpisah untuk menargetkan tingkat tertentu MAP dan cardiac output. Uji
klinis prospektif besar, yang termasuk pasien ICU yang sakit kritis yang
memiliki sepsis berat, tidak berhasil menunjukkan manfaat dari
peningkatan pengiriman oksigen ketarget supranormal dengan menggunakan
dobutamin.
Studi ini tidak secara khusus menargetkan pasien dengan sepsis berat dan
tidak menargetkan pertama 6 jam resusitasi.
Jika bukti hipoperfusi jaringan tetap berlanjut meskipun volume intravaskular yang
memadai dan MAP yang memadai, alternatifnya adalah dengan
menambahkan terapi inotropik.8

15
C. Pemberian Kortikosteroid
 Pemberian hidrokortison intravena (dosis 50mg setiap 6 jam selama 7 hari)
hanya direkomendasikan bagi pasien dewasa dengan syok septik yang tidak
mengalami perbaikan tekanan darah setelah resusitasi cairan dan terapi
vasopresor. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk mengobati sepsis
tanpa adanya kejadian syok, kecuali adanya riwayat penyakit endokrin atau
pemakaian steroid sebelumnya. Jika hal ini tidak tercapai, disarankan
hidrokortison intravena saja dengan dosis 200 mg per hari.
Respon pasien syok septik terhadap cairan dan terapi vasopressor tampaknya menjadi
faktor penting dalam pemilihan pasien untuk terapi hidrokortison opsional. French
multicenter RCT meneliti pasien syok septik yang tidak responsive vasopressor
(hipotensi meskipun resusitasi cairan dan vasopressor selama lebih dari 60 menit)
menunjukkan kejutan pembalikan yang signifikan dan pengurangan angka kematian
pada pasien dengan insufisiensi adrenal relatif (didefinisikan sebagai hormon
postadrenocorticotropic [ACTH] kortisol meningkat ≤ 9 ug / dL).8
 Disarankan tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi
subset dari orang dewasa dengan syok septik yang harus menerima
hidrokortison.
Dalam sebuah penelitian, pengamatan interaksi potensial antara penggunaan steroid
dan uji ACTH tidak signifikan secara statistik .Selanjutnya, tidak ada bukti perbedaan
ini diamati antara responden dan tidak menanggapi dalam percobaan multicenter
terbaru .Kadar kortisol acak masih mungkin berguna untuk insufisiensi adrenal
mutlak, namun untuk pasien syok septik yang menderita insufisiensi adrenal relatif
(tidak ada respon stres yang memadai), kadar kortisol acak belum terbukti berguna.
Immunoassays kortisol mungkin atas atau mengunderestimate tingkat kortisol yang
sebenarnya, yang mempengaruhi pasien untuk responden atau nonresponden.
 Disarankan bahwa dokter mentapering pasien yang diobati dari terapi steroid
ketika vasopressor tidak lagi diperlukan.

Belum ada studi perbandingan antara durasi tetap dan rejimen klinis dipandu atau antara
tapering dan penghentian mendadak steroid. Satu studi Crossover menunjukkan efek
rebound hemodinamik dan imunologi setelah penghentian mendadak kortikosteroid
Selain itu, sebuah studi mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan dalam outcome

16
pasien syok septik jika hidrokortison dosis rendah digunakan untuk 3 atau 7 hari, maka,
tidak ada rekomendasi dapat diberikan berkaitan dengan durasi optimal terapi
hidrokortison.

 Tidak direkokmendasikan kortikosteroid diberikan untuk pengobatan sepsis


tanpa adanya syok (grade 1D).
Steroid dapat diindikasikan dengan adanya riwayat terapi steroid atau disfungsi adrenal,
tapi apakah steroid dosis rendah memiliki potensi preventif dalam mengurangi kejadian
sepsis berat dan syok septik pada pasien sakit kritis masih tidak diketahui.
 Ketika hidrokortison dosis rendah yang diberikan, kami sarankan
menggunakan infus kontinu daripada suntikan bolus berulang (kelas 2D)

Beberapa penelitian secara acak pada penggunaan hidrokortison dosis rendah pada pasien
syok septik menunjukkan peningkatan signifikan hiperglikemia dan hipernatremia
sebagai efek samping.

TERAPI SUPORTIF LAIN UNTUK SEPSIS BERAT


A. Administration Product blood
1. Setelah hipoperfusi jaringan telah ditangani dan tidak adanya keadaan khusus,
seperti iskemi miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut atau penyakit arteri
koroner iskemik. Direkomendasikan bahwa transfusi sel darah merah terjadi apabila
konsentrasi hemoglobin menurun hingga <7,0 g/dL untuk enargetkan konsentrasi
hemoglobin 7,0 – 9,0 g/dL pada orang dewasa.
Meskipun konsentrasi hemoglobin yang optimal untuk pasien dengan sepsis berat
belum diselidiki secara spesifik, percobaan Transfusion Requirements in Critical
Care menunjukkan bahwa tingkat hemoglobin 7 sampai 9 g / dL, dibandingkan
dengan 10 sampai 12 g / dL, tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dewasa
yang sakit kritis.8

Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kematian pada 30 hari yang diamati antara
kelompok perlakuan dalam subkelompok pasien dengan infeksi berat dan syok septik (22,8%
dan 29,7%, masing-masing; p = 0.36). Meskipun kurang diterapkan pada pasien sepsis, hasil uji

17
Coba secara acak pada pasien yang menjalani operasi jantung dengan cardiopulmonary bypass
mendukung strategi transfusi restriktif menggunakan hematokrit ambang <24% (hemoglobin
≈8g/dL) sebagai setara dengan ambang transfusi hematokrit <30% (hemoglobin ≈ 10g/dL).
Transfusi sel darah merah pada pasien sepsis meningkatkan pengirimin oksigen, namun biasanya
tidak meningkatkan konsumsi oksigen. Transfusi ambang 7g/dL kontras dengan protocol
resusitasi yang diarahkan ke tujuan awal yang menggunakan target hematokrit 30% pada pasien
dengan ScvO2 selama 6 jam dari resusitasi syok septik.

2. Sebaiknya tidak menggunakan erythropoietin sebagai pengobatan tertentu anemia


yang berhubungan dengan sepsis berat (1B grade).
Tidak ada informasi spesifik yang tersedia tentang penggunaan eritropoietin pada
pasien septik, tetapi percobaan klinis pemberian eritropoietin pada pasien yang
kondisi klinisnya kritis menunjukan penurunan kebutuhan transfuse sel darah merah
tanpa efek pada hasil klinis pasien. Pengaruh eritropoietin pada pasien sepsis berat
dan syok septik sebaiknya tidak diharapkan lebih menguntungkan daripada pasien
kondisi kritis. Pasien dengan sepsis berat dan syok septik mungkin memiliki kondisi
lain yang memenuhi indikasi penggunaan erythropoietin.

3. Kami menyarankan bahwa fresh frozen plasma tidak dapat digunakan untuk
mengoreksi kelainan pembekuan pada hasil laboratorium tanpa
adanya perdarahan atau prosedur invasif yang direncanakan (grade 2D).
Meskipun studi klinis belum menilai dampak transfusi fresh frozen plasma pada
pasien sakit kritis, beberapa organisasi professional
merekomendasikan untuk koagulopati ketika ada bukti defisiensi faktor koagulasi
(peningkatan waktu protrombin, rasio internasional normalized ratio
(INR), atau parsial tromboplastin time) dan adanya perdarahan aktif atau sebelum
prosedur bedah atau invasif.

4. Tidak direkomendasikan administrasi antitrombin untuk pengobatan sepsis berat


dan syok septik (1B grade).

18
Sebuah percobaan klinis fase III dari antitrombin dosis tinggi tidak menunjukkan
efek menguntungkan pada 28 hari semua penyebab kematian pada orang dewasa
dengan sepsis berat dan syok septik. Antitrombin dosis tinggi dikaitkan dengan
peningkatan risiko perdarahan bila diberikan dengan heparin. Meskipun post hoc
analisis subkelompok pasien dengan sepsis berat dan berisiko tinggi kematian
menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien yang menerima
antitrombin, agen ini tidak dapat direkomendasikan sampai uji klinis lebih lanjut
dilakukan.
5. Pada pasien dengan sepsis berat, direkomendasikan bahwa trombosit diberikan
sebagai profilaksis bila jumlah yang ≤ 10.000 / mm 3 (10 × 109 / L) tanpa adanya
perdarahan jelas, juga ketika jumlah yang ≤ 20.000 / mm 3 (20 × 109 / L) jika pasien
memiliki risiko yang signifikan pendarahan. Jumlah trombosit yang lebih tinggi (≥
50.000 / mm3 [50 × 109 / L]) disarankan untuk perdarahan aktif, operasi, atau
prosedur invasif (kelas 2D).
Pedoman untuk transfusi trombosit yang berasal dari konsensus pendapat dan
pengalaman pada pasien dengan kemoterapi-induced trombositopenia. Pasien
dengan sepsis berat cenderung memiliki beberapa keterbatasan produksi trombosit
mirip dengan yang di pasien yang di kemoterapi, tetapi mereka juga cenderung
mengalami peningkatan konsumsi trombosit. Rekomendasi memperhitungkan
etiologi trombositopenia, disfungsi trombosit, risiko perdarahan, dan adanya
gangguan penyerta. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko perdarahan dan
menunjukkan perlunya jumlah trombosit yang lebih tinggi sering terdapat pada
pasien dengan sepsis berat. Sepsis itu sendiri dianggap sebagai faktor risiko untuk
perdarahan pada pasien dengan kemoterapi-induced trombositopenia. Faktor-faktor
lain dianggap meningkatkan risiko perdarahan pada pasien dengan sepsis berat
termasuk suhu lebih tinggi dari 38°C, perdarahan baru kecil, penurunan cepat dalam
jumlah trombosit, dan kelainan koagulasi lainnya.

B. Imunoglobulin
Kami menyarankan tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa
dengan sepsis berat atau syok septik.

19
Penelitian multicenter RCT (n = 624) pada pasien dewasa dan satu RCT multinasional
besar pada bayi dengan sepsis neonatorum (n = 3493) tidak menemukan
manfaat imunoglobulin intravena (IVIG). Subkelompok efek antara IgM enriched dan
formulasi nonenriched mengungkapkan heterogenitas substansial. Selain itu indirectness
dan bias publikasi yang dipertimbangkan dalam kadar rekomendasi ini. Bukti berkualitas
rendah menyebabkan grading sebagai rekomendasi yang lemah. Informasi statistik yang
berasal dari berkualitas tinggi percobaan tidak mendukung efek menguntungkan dari
IVIG poliklonal. Kami mendorong melakukan penelitian multicenter besar untuk lebih
mengevaluasi efektivitas preparat lain imunoglobulin poliklonal diberikan intravena pada
pasien dengan sepsis berat.

C. Selenium
Disarankan tidak menggunakan selenium intravena untuk mengobati pasien sepsis berat.
Selenium diberikan dengan harapan bahwa selenium
bisa memperbaiki pengurangan konsentrasi selenium pada pasien sepsis dan memberikan
efek farmakologis melalui pertahanan antioksidan. Meskipun beberapa RCT tersedia bukti
bahwa penggunaan selenium intravena masih sangat lemah. Secara keseluruhan, ada
kecenderungan penurunan konsentrasi yang bergantung pada kematian, tidak
ada perbedaan hasil sekunder atau kejadian buruk yang terdeteksi. Akhirnya, tidak
ada komentar pada standarisasi manajemen sepsis termasuk dalam studi ini, yang
merekrut 249 pasien selama 6 tahun. Selain kurangnya bukti, pertanyaan tentang dosis
optimal dan mode aplikasi tetap belum terjawab. Dilaporkan dosis tinggi rejimen telah
melibatkan dosis muatan diikuti oleh infus, sedangkan hewan percobaan menunjukkan
bahwa dosis bolus bias menjadi lebih efektif, bagaimanapun belum diuji pada manusia.
Masalah-masalah yang belum terpecahkan memerlukan uji tambahan, dan kami mendorong
melakukan penelitian multicenter besar untuk lebih mengevaluasi efektivitas selenium
intravena pada pasien dengan sepsis berat. Rekomendasi ini tidak mengesampingkan
penggunaan dosis rendah selenium sebagai bagian dari mineral standar dan oligo-elemen
yang digunakan selama nutrisi parenteral total.

D. Sejarah dari Rekomendasi Penggunaan Recombinat Activated Protein C


Recombinat human activated protein C (rhAPC) sudah disetujui untuk digunakan pada
pasien dewasa di sejumlah negara pada tahun 2001 mengikuti PROWESS (Recombinant

20
Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis ) yang mendaftar
1690 pasien dengan sepsis berat dan menunjukkan penurunan yang signifikan dalam
angka kematian ( 24,7%) dengan rhAPC dibandingkan dengan dengan placebo ( 30,8%, p
= 0,005). SCC tahun 2008 merekomendasikan rhAPC digunakan pada pasien dewasa
dengan penilaian klinis berisiko tinggi, kematian, sebagian besar memiliki evaluasi
kesehatan fisiologi akut dan kronis (APACHE) II skor ≥ 25 atau gagal organ multiple.
SCC 2008 juga merekomendasikan terhadap penggunaan rhAPC pada pasien dewasa
yang berisiko rendah yang sebagian besar memiliki skor APACHE II ≤ 20 atau gagal
organ tunggal dan terhadap penggunaan pada semua pasien anak.
Hasil uji coba dari PROWES SHOCK (1696 pasien) yang dirilis pada tahun 2011 tidak
menunjukkan manfaat pada pasien rhAPC dengan syok septik. Obat ditarik dari pasar dan
tidak lagi tersedia, meniadakan setiap kebutuhan untuk rekomendasi SCC mengenai
penggunaannya.

E. Ventilasi Mekanik dari Sepsis menyebakanAcut Respiratory Distress Syndrome


1. Direkomendasikan bahwa dokter menargetkan volume Tidal 6 ml/kg berat badan pada
pasien sepsis yang menyebabkan Acut Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
2. Direkomendasikan bahwa tekanan plateau diukur pada pasien dengan ARDS dan bahwa
batas atas untuk tujuan awal plateau dalam paru – paru meningkat pasif < 30 cmH20.
3. Direkomendasikan bahwa tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) diterapkan untuk
menghindari kolaps alveolar (Atelectotrauma) (grade 1B).
4. Disarankan strategi yang didasarkan dari tingkat yang lebih tinggi daripada rendah PEEP
untuk pasien dengan sepsis-induced sedang sampai parah ARDS (grade 2C).
Meningkatkan PEEP dalam ARDS membuat unit paru terbuka untuk berpartisipasi
dalam pertukaran gas. Hal ini akan meningkatkan Pao2 saat PEEP diterapkan baik
melalui tabung endotrakeal atau face mask.
5. Disarankan dilakukan manuver pada pasien sepsis dengan hipoksemia refraktori parah
karena ARDS (grade 2C).
6. Disarankan prone position pada pasien yang menyebabkan ARDS dengan rasio
Pao2/Fio2 ≤100 mm Hg dalam fasilitas yang memiliki pengalaman dengan praktek-
praktek tersebut (grade 2B).

21
Banyak strategi yang ada untuk mengobati refraktori hipoksemia pada pasien dengan
ARDS berat. Untuk sementara meningkatkan tekanan transpulmonar dapat memfasilitasi
atelektasis membuka alveoli untuk mengizinkan pertukaran gas
7. Kami merekomendasikan bahwa pasien sepsis dengan ventilasi mekanik dipertahankan
dengan tempat tidur ditinggikan antara 30 dan 45 derajat untuk membatasi resiko
aspirasi dan untuk mencegah pengembangan VAP (grade 1B).
Posisi semi-telentang telah dibuktikan untuk menurunkan kejadian VAP (Ventilator
Associated Pneumonia). Makan enteral meningkatkan risiko mengembangkan VAP, 50%
dari pasien yang diberi makan enteral dalam posisi terlentang lebih banyak terkena VAP
dibandingkan dengan 9% dari mereka makan dalam posisi semi-telentang. Namun,
posisi tidur dipantau hanya sekali hari, dan pasien yang tidak mencapai elevasi dasar
yang diinginkan tidak dimasukkan dalam analisis. Satu studi tidak menunjukkan
perbedaan dalam kejadian VAP antara pasien dipertahankan dalam posisi terlentang dan
semi-RACKBIKE (277); pasien ditugaskan untuk kelompok semi-telentang tidak
konsisten mencapai kepala diinginkan dari elevasi tempat tidur, dan kepala tidur elevasi
pada kelompok terlentang mendekati bahwa dari semirecumbent Kelompok demi hari 7
(277). Bila perlu, pasien dapat diletakkan datar untuk prosedur, pengukuran
hemodinamik, dan selama episode hipotensi. Pasien tidak boleh makan enteral
sementara terlentang.
8. Kami menyarankan bahwa noninvasive mask ventilation (NIV) akan digunakan dalam
pasien minoritas sepsis-induced ARDS dimana manfaat dari NIV telah diperhitungkan
dengan cermat dan diperkirakan lebih besar daripada risiko (grade 2B).
Menghindarkan kebutuhan untuk intubasi jalan nafas memberikan beberapa keuntungan:
komunikasi yang lebih baik, insiden lebih rendah infeksi, dan mengurangi persyaratan
untuk sedasi. Dua RCT pada pasien dengan kegagalan pernafasan akut menunjukkan
perbaikan hasil dengan penggunaan NIV bila dapat digunakan dengan sukses
9. Kami merekomendasikan bahwa protokol penyapihan berada di tempat dan bahwa
pasien ventilasi mekanik dengan sepsis berat menjalani percobaan pernapasan spontan
teratur untuk mengevaluasi kemampuan untuk menghentikan ventilasi mekanik ketika
mereka memenuhi kriteria berikut: a) arousable, b) hemodinamik stabil (Tanpa agen
vasopressor), c) tidak berpotensi baru yang serius kondisi d) ventilasi rendah dan

22
tekanan akhir ekspirasi persyaratan, dan e) Fio rendah 2 persyaratan yang dapat aman
disampaikan dengan masker wajah atau kanula hidung. Jika percobaan pernapasan
spontan berhasil, ekstubasi harus dipertimbangkan (grade 1A).
Pilihan bernapas spontan termasuk rendahnya tingkat dukungan tekanan,continuous
positif airway pressure (5 Cm H2O), atau penggunaan sepotong T. Studi menunjukkan
bahwa percobaan pernapasan harian spontan tepat dipilih pasien mengurangi durasi
ventilasi mekanis (282, 283). Percobaan ini pernapasan harus dilakukan dalam
hubungannya dengan percobaan kebangkitan spontan (284). Berhasil menyelesaikan
percobaan pernapasan spontan mengarah ke kemungkinan tinggi sukses awal
penghentian ventilasi mekanis.
10. Kami merekomendasikan melawan penggunaan rutin arteri kateter paru untuk pasien
dengan sepsis yang menyebabkan ARDS (grade 1A).
Meskipun penyisipan dari kateter arteri pulmonalis dapat memberikan informasi yang
berguna pada pasien. Status dan fungsi jantung, manfaat ini dapat bingung oleh
perbedaan interpretasi hasil, kurangnya korelasi tekanan arteri pulmonalis oklusi
dengan respon klinis dan tidak adanya strategi yang telah terbukti untuk menggunakan
kateter Hasil untuk meningkatkan hasil pasien.
11. Kami merekomendasikan strategi cairan konservatif untuk pasien dengan sepsis yang
menyebabkan ARDS yang tidak memiliki bukti hipoperfusi jaringan (grade 1C).
Mekanisme untuk pengembangan edema paru pada pasien dengan ARDS meliputi
peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan hidrostatik, dan penurunan
tekanan onkotik . studi-studi Kecil prospektif pada pasien dengan penyakit kritis dan
ARDS menunjukkan bahwa berat badan rendah dikaitkan dengan peningkatan
oksigenasi dan lebih sedikit hari ventilasi mekanis .
12. Dengan tidak adanya indikasi tertentu seperti bronkospasme, kami merekomendasikan
terhadap penggunaan β2-agonis untuk pengobatan pasien dengan sepsis yang
menyebabkan ARDS (grade 1B).
Pasien dengan sepsis yang menyebabkan ARDS sering mengembangkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Praklinis dan awal data klinis menunjukkan bahwa β-
adrenergik agonis dapat mempercepat resorpsi alveolar edema. Beta-2 agonis mungkin
memiliki indikasi tertentu, seperti perawatan bronkospasme dan hiperkalemia. Karena

23
ketiadaan kondisi ini, kami merekomendasikan terhadap penggunaan rutin β-agonis, baik
dalam bentuk intravena atau aerosol, untuk pengobatan pasien dengan sepsis-induse
ARDS.

F. Sedasi, Analgesia, dan Blok Neuromuskular pada Sepsis


1. Kami merekomendasikan bahwa baik terus menerus atau intermiten sedasi diminimalkan
pada pasien sepsis ventilasi mekanik, menargetkan endpoint titrasi khusus (1B grade).
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa membatasi penggunaan obat penenang pada
pasien sakit kritis ventilasi dapat mengurangi durasi ventilasi mekanis di ICU dan rumah
sakit .
2. Kami merekomendasikan bahwa NMBAs dihindari jika mungkin dalam pasien septik
tanpa ARDS akibat risiko berkepanjangan blok neuromuskular. Jika NMBAs harus
dipertahankan, baik bolus intermiten sebagai diperlukan atau infus kontinyu dengan
monitoring dari kedalaman blokade harus digunakan (grade 1C).
3. Kami sarankan kursus singkat dari NMBA (≤ 48 jam) untuk pasien dengan awal, sepsis-
induced ARDS dan Pao2/Fio2 <150 mm Hg (grace 2C).
Meskipun NMBAs sering diberikan kepada pasien sakit kritis, peran mereka di ICU tidak
didefinisikan dengan baik. Tidak ada bukti bahwa blokade neuromuskuler pada pasien ini
Populasi mengurangi mortalitas atau morbiditas utama. Selain itu, ada penelitian yang
telah diterbitkan yang secara khusus membahas penggunaan dari NMBAs pada pasien
sepsis. Indikasi yang paling umum untuk digunakan NMBA di ICU adalah untuk
memfasilitasi ventilasi mekanis . Ketika tepat digunakan, agen ini dapat meningkatkan
kepatuhan dinding dada, mencegah pernapasan yang tidak sinkron, dan mengurangi
tekanan saluran udara puncak . Kelumpuhan otot juga dapat mengurangi konsumsi
oksigen dengan mengurangi kerja pernapasan dan otot pernapasan aliran darah.

G. Kontrol Glukosa
1. Kami merekomendasikan pendekatan manajemen glukosa darah pada pasien ICU
dengan sepsis berat, dimulai dosis insulin ketika kadar glukosa darah dua kali berturut-
turut adalah > 180 mg / dL. Pendekatan ini harus menargetkan upper kadar glukosa
darah ≤ 180 mg / dL daripada target atas glukosa darah ≤ 110 mg / dL (grade 1A).

24
2. Kami merekomendasikan nilai glukosa darah dipantau setiap 1 sampai 2 jam sampai
glukosa nilai-nilai dan tingkat insulin infuse stabil, maka setiap 4 jam sesudahnya
(grade 1C).
3. Kami merekomendasikan bahwa kadar glukosa yang diperoleh dengan pengujian darah
kapiler ditafsirkan dengan hati-hati, sebagai pengukuran tersebut tidak dapat secara
akurat memperkirakan arteri darah atau nilai glukosa plasma.

H. Renal Replacement Therapy


1. Kami menyarankan bahwa terapi pengganti ginjal selanjutnya dan hemodialisis intermiten
yang setara pada pasien dengan sepsis parah dan gagal ginjal akut karena mereka
mencapai serupa tingkat ketahanan hidup jangka pendek (2B grade).
2. Kami menyarankan penggunaan terapi terus menerus untuk memfasilitasi pengelolaan
keseimbangan cairan dalam hemodinamik pasien septik (grade 2D).
Sampai saat ini, lima RCT prospektif telah diterbitkan , empat menemukan perbedaan
yang signifikan angka kematian sedangkan satu ditemukan secara signifikan lebih tinggi
kematian dalam kelompok pengobatan berkelanjutan namun pengacakan seimbang telah
menyebabkan keparahan awal yang lebih tinggi penyakit dalam kelompok ini. Ketika
model multivariabel digunakan untuk menyesuaikan tingkat keparahan penyakit, ada
perbedaan dalam mortalitas jelas antara kelompok . Kebanyakan studi yang
membandingkan mode penggantian ginjal dalam sakit kritis telah disertakan sejumlah
kecil pasien dan beberapa kelemahan utama (yaitu, pengacakan kegagalan, modifikasi dari
protokol terapi selama masa studi, kombinasi dari berbagai jenis terus menerus ginjal
pengganti terapi, sejumlah kecil heterogen kelompok pendaftar). Yang terbaru dan terbesar
RCT terdaftar 360 pasien dan tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam
kelangsungan hidup antara kelompok kontinyu dan intermittent. Selain itu, tidak ada bukti
yang mendukung penggunaan terapi terus menerus pada sepsis independen dari kebutuhan
pengganti ginjal. Tidak ada bukti yang mendukung toleransi yang lebih baik dengan terus
menerus perawatan mengenai toleransi hemodinamik dari masing-masing metode.

I. Terapi Bikarbonat

25
1. Direkomendasikan penggunaan terapi natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki
hemodinamik atau mengurangi vasopressor pada pasien dengan hipoperfusi yang
disebabkan asam laktat dengan pH ≥ 7.15 (grade 2B).
Walaupun terapi bikarbonat mungkin berguna dalam membatasi volume tidal di ARDS
dalam beberapa situasi permisif hiperkapnia (lihat bagian, Ventilasi Mekanik ARDS), tidak
ada bukti yang mendukung penggunaan terapi bikarbonat dalam pengobatan hipoperfusi
yang disebabkan asam laktat terkait dengan sepsis. Dua RCT Crossover buta, yang
dibandingkan ekuimolar garam dan bikarbonat pada pasien dengan asidosis laktik gagal
mengungkapkan perbedaan dalam variabel hemodinamik atau vasopressor persyaratan.
Jumlah pasien dengan <7.15 pH dalam studi ini adalah kecil. Administrasi Bikarbonat telah
terkait dengan natrium dan kelebihan cairan, peningkatan laktat dan Pco2, dan penurunan
kalsium terionisasi serum, tetapi relevansi dari variabel untuk hasil yang tidak pasti.
Efeknya administrasi bikarbonat pada hemodinamik dan vasopressor persyaratan pada pH
yang lebih rendah, serta efek pada hasil klinis pada pH manapun, tidak diketahui. Tidak ada
studi telah meneliti Pengaruh pemberian bikarbonat pada hasil.

J. Profilaksis Deep Vein Thrombosis


1. Kami merekomendasikan bahwa pasien dengan sepsis berat menerima harian
pharmacoprophylaxis terhadap tromboemboli vena (VTE) (grade 1B). kami
merekomendasikan bahwa ini dicapai dengan harian subkutan berat molekul rendah
heparin (LMWH) dibandingkan heparin tak terpecah dua kali sehari dan kelas 2C vs
UFH diberikan tiga kali sehari-hari). Jika bersihan kreatinin adalah <30 mL / menit, kami
sarankan penggunaan dalteparin (grade 1A) atau bentuk lain dari LMWH yang memiliki
tingkat rendah metabolism ginjal (grade 2C) atau UFH (grade 1A).
2. Kami menyarankan bahwa pasien dengan sepsis berat dapat diobati dengan kombinasi
terapi farmakologis dan intermiten pneumatik kompresi perangkat bila memungkinkan
(grade 2C).
3. Kami merekomendasikan bahwa pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi untuk
penggunaan heparin (misalnya, trombositopenia, koagulopati yang parah, perdarahan
aktif, perdarahan intraserebral baru-baru ini) tidak menerima pharmacoprophylaxis
(grade 1B). Sebaliknya kami sarankan mereka menerima pengobatan profilaksis

26
mekanik, seperti lulus kompresi stoking atau perangkat kompresi intermiten (grade 2C),
kecuali kontraindikasi. Ketika risiko menurun, kita menyarankan mulai
pharmacoprophylaxis (grade 2C).
Pasien ICU berada pada risiko deep vein thrombosis (DVT). Adalah logis bahwa pasien
dengan sepsis berat akan berada pada risiko yang sama atau lebih tinggi daripada populasi
umum ICU. Konsekuensi dari VTE dalam pengaturan sepsis (meningkat risiko emboli
paru berpotensi fatal yang sudah pasien hemodinamik dikompromikan) yang mengerikan.
Oleh karena itu, pencegahan VTE sangat diinginkan, terutama jika dapat dilakukan secara
aman dan efektif. Profilaksis umumnya efektif. Secara khusus, placebo controlled
Sembilan RCT VTE profilaksis telah dilakukan di populasi umum pasien sakit akut.
Semua percobaan menunjukkan penurunan emboli paru atau DVT, manfaat yang juga
didukung oleh meta-analisis. Dengan demikian, bukti sangat mendukung nilai VTE
profilaksis. Prevalensi infeksi / sepsis adalah 17% di studi di mana hal ini dapat
dipastikan. Satu studi menyelidiki hanya Pasien ICU saja, dan 52% dari mereka terdaftar
mengalami infeksi / sepsis. Kebutuhan untuk ekstrapolasi dari umum, pasien akut untuk
pasien kritis untuk mengerdilkan pasien sepsis yang bukti. Bahwa efek diucapkan dan data
yang kuat agak mengurangi terhadap ekstrapolasi, yang mengarah ke kelas yang B tekad.
Karena risiko pasien administrasi adalah kecil, gravitasi tidak mungkin menjadi besar
administrasi, dan biaya rendah, kekuatan rekomendasi yang kuat (1). Memutuskan
bagaimana memberikan profilaksis adalah jelas lebih sulit. The Canadian Perawatan Trials
Group Kritis dibandingkan UFH (5000 IU dua kali sehari) ke LMWH (dalteparin, 5000IU
sekali per hari dan injeksi plasebo kedua untuk memastikan paralel-kelompok kesetaraan)
(392). Tidak ada statistik signifikan perbedaan DVT asimtomatik ditemukan antara kedua
kelompok (rasio hazard, 0,92, 95% CI, 0,68-1,23, p = 0,57), tetapi proporsi pasien yang
didiagnosis dengan paru emboli pada CT scan, tinggi-probabilitas ventilasi perfusi scan,
atau otopsi secara signifikan lebih rendah LMWH kelompok (rasio hazard, 0,51, 95% CI,
0,30-0,88; p = 0,01). Penelitian ini tidak memperhitungkan penggunaan bentuk-bentuk
laindari LMWH. Data ini menunjukkan bahwa LMWH (dalteparin) adalah pengobatan
pilihan atas UFH diberikan dua kali sehari pada pasien sakit kritis. Juga, karena studi
termasuk septikpasien, bukti mendukung penggunaan dalteparin atasdua kali sehari UFH
di sakit kritis, dan mungkin septik, pasien adalahyang kuat. Demikian pula, sebuah meta-

27
analisis akut, medis umum pasien membandingkan UFH dua kali dan tiga kali sehari
menunjukkan bahwa rejimen yang terakhir adalah lebih efektif untuk mencegah VTE,
tetapi dua kali dosis harian yang dihasilkan perdarahan sedikit (393). Keduanya kritis
pasien sakit dan septik dimasukkan dalam analisis ini, namun jumlah mereka tidak jelas.
Meskipun demikian, kualitas bukti mendukung penggunaan tiga kali sehari, sebagai lawan
dua kali setiap hari, UFH dosis dalam mencegah VTE pada akut medis pasien yang tinggi
(A). Namun, membandingkan LMWH untuk dua kali sehari UFH, atau UFH dua kali
sehari sampai tiga kali sehari UFH, pada sepsis membutuhkan ekstrapolasi, merendahkan
data. Tidak ada data ada di perbandingan langsung dari LMWH dengan UFH diberikan
tiga kali sehari-hari, juga tidak ada studi yang secara langsung membandingkan dua kali
sehari dan tiga kali UFH dosis harian pada pasien sepsis atau sakit kritis. Oleh karena itu,
tidaklah mungkin untuk menyatakan bahwa LMWH lebih unggul tiga kali sehari UFH
atau tiga kali dosis harian lebih unggul dua kali administrasi sehari-hari di sepsis. Ini
mengerdilkan kualitas bukti dan karena itu rekomendasi. Douketis et al (394) melakukan
penelitian terhadap 120 kritis sakit pasien dengan cedera ginjal akut (bersihan kreatinin
setiap hari selama antara 4 dan 14 hari dan memiliki setidaknya satu melalui anti-faktor
Xa tingkat diukur. Tak satu pun dari pasien memiliki bio-akumulasi (melalui anti-faktor
Xa tingkat yang lebih rendah daripada 0,06 IU / mL). Kejadian pendarahan besar agak
lebih tinggi dibandingkan dalam uji agen lainnya, tetapi kebanyakan penelitian lain tidak
melibatkan pasien sakit kritis, di antaranya risiko perdarahan lebih tinggi. Selanjutnya,
perdarahan tidak berkorelasi dengan terdeteksi melalui tingkat (394). Oleh karena itu,
kami merekomendasikan bahwa dalteparin dapat diberikan kepada pasien sakit kritis
dengan ginjal akut Kegagalan (A). Data LMWHs lain kurang. Akibatnya,bentuk-bentuk
mungkin harus dihindari atau, jika digunakan, anti-faktor Tingkat xa harus dipantau (grade
2C). UFH tidak renally dibersihkan dan aman (1A grade). Mekanik metode (perangkat
kompresi intermiten dan stoking kompresi lulus) yang direkomendasikan saat
antikoagulasi merupakan kontraindikasi (395-397). Sebuah meta-analisis dari 11
penelitian, termasuk enam RCT, diterbitkan dalam Cochrane yang Perpustakaan
menyimpulkan bahwa kombinasi farmakologis dan profilaksis mekanis unggul baik
modalitas saja dalam mencegah DVT dan lebih baik daripada kompresi saja dalam
mencegah pulmonary embolism (398). Analisis ini melakukan tidak fokus pada sepsis atau

28
pasien sakit kritis tetapi termasuk penelitian profilaksis setelah operasi ortopedi, panggul,
dan jantung. Selain itu, jenis farmakologis profilaksis bervariasi, termasuk UFH, LMWH,
aspirin, dan warfarin. Meskipun demikian, risiko minimal terkait dengan perangkat
kompresi mengarah kita untuk merekomendasikan terapi kombinasi dalam banyak kasus.
Di sangat-pasien berisiko tinggi, LMWH lebih disukai daripada UFH (392, 399-401).
Pasien yang menerima heparin harus dipantau untuk pengembangan heparin-induced
trombositopenia. Ini Rekomendasi ini sesuai dengan yang dikembangkan oleh American
College of Chest Physicians.

K. Profilaksis Stres Ulcer


1. Kami merekomendasikan bahwa profilaksis stres ulkus menggunakan H2 blocker atau
proton pump inhibitor diberikan kepada pasien dengan sepsis berat / syok septik yang
telah berdarah (grade 1B).
2. Ketika profilaksis stres ulkus digunakan, kami menyarankan penggunaan proton pump
inhibitor daripada antagonis reseptor H2 (H2RA) (grade 2C).
3. Kami menyarankan bahwa pasien tanpa faktor risiko seharusnya tidak menerima profilaksis
(grade 2B).
Meskipun tidak ada penelitian yang telah dilakukan khusus pada pasien dengan sepsis
berat, percobaan mengkonfirmasi manfaat profilaksis stres ulkus dalam mengurangi
perdarahan pencernaan bagian atas (GI) pada populasi umum ICU termasuk 20% sampai
25% pasien dengan sepsis (403-406). Manfaat ini harus berlaku untuk pasien dengan
sepsis berat dan syok septik. Selain itu,faktor-faktor risiko untuk perdarahan GI (misalnya,
koagulopati, mekanik ventilasi untuk setidaknya 48 jam, mungkin hipotensi) sering hadir
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik (407, 408). Pasien tanpa faktor-faktor
risiko tidak mungkin (0,2%; 95% CI, 0,02-0,5) mengalami pendarahan penting secara
klinis (407). Baik yang lama dan baru meta-analisis menunjukkan profilaksis-induse

29
penurunan signifikan secara klinis perdarahan GI atas, yang kita mempertimbangkan
signifikan bahkan tanpa adanya kematian terbukti Manfaat (409-411). Manfaat
pencegahan GI atas perdarahan harus ditimbang terhadap potensi (terbukti) pengaruh pH
lambung yang meningkat pada insiden lebih besar dari VAP dan C. difficile infeksi 9,10

L. Nutrisi
1. Kami menyarankan pemberian makan oral atau enteral (jika perlu), sebagai ditoleransi,
bukan baik puasa lengkap atau ketentuan hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama
setelah diagnosis sepsis berat / syok septik (grade 2C).
2. Kami menyarankan menghindari makan kalori wajib penuh dalam minggu pertama,
melainkan menyarankan dosis rendah makan (misalnya, sampai dengan 500 kkal per hari),
maju hanya sebagai ditoleransi (grade 2B).
3. Kami sarankan untuk menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral daripada nutrisi
parenteral total (TPN) saja atau parenteral gizi dalam hubungannya dengan makanan
enteral dalam 7 pertama hari setelah diagnosis sepsis berat / syok septik (grade 2B).
4. Kami menyarankan menggunakan nutrisi tanpa imunomodulasi spesifik suplemen pada
pasien dengan sepsis berat (grade 2C).
Nutrisi enteral dini memiliki kelebihan teoritis dalam integritas mukosa usus dan
pencegahan bakteri translokasi dan disfungsi organ, tetapi juga menyangkut adalah risiko
iskemia, terutama pada pasien hemodinamik stabil. Sayangnya, tidak ada uji klinis secara
khusus ditujukan awal makan pada pasien sepsis. Studi pada subpopulasi yang berbeda dari
pasien kritis, pasien sebagian besar bedah, tidak konsisten, dengan variabilitas yang besar
dalam intervensi dan control kelompok, semua kualitas metodologis rendah dan tidak ada
yang secara individual didukung untuk kematian, dengan sangat rendahnya tingkat
kematian.

30
BAB III
PENUTUP

Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis dapat

mengenai siapa saja namun paling rentan pada orang-orang yang mengalami imunokompromis

dengan penyakit kronik. Sepsis adalah sindrom inflamasi sistemik yang sangat mengancam jiwa.

Permulaan dari infeksi yang berlanjut dengan SIRS lalu terjadilah sepsis yang apabila terlambat

ditangani dapat menjadi sepsis yang berat yang kemudian berakibat syok septik yang

menyebabkan komplikasi-komplikasi seperti disfungsi organ multipel yang berakhir dengan

kematian. Ketika seseorang mengalami infeksi, tubuh akan kompensasi dengan mengeluarkan

respon-respon infeksi seperti proinflamasi dan antiinflamasi.

Keseimbangan faktor-faktor ini dalam melawan infeksi akan menciptakan suatu proses

perbaikan tubuh namun apabila terjadi ketidakseimbangan proses-proses ini dimana proses-

proses ini akan saling mempengaruhi maka akan menimbulkan ketidakharmonisan imunologi

yang merusak tubuh sendiri. Etiologi sepsis disebabkan oleh berbagai macam agen infeksi

seperti bakteri, virus maupun parasit. Agen infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis

31
berdasarkan epidemiologi adalah bakteri gram negatif dan positif dimana mereka menghasilkan

toksin-toksin yang menyebabkan kerusakan sel tubuh terutama pembuluh darah karena

penyebaran mereka terutama hematogen.

Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan pemeriksaan fisik maupun laboratorium seperti darah

lengkap, faktor-faktor pembekuan darah, konsentrasi laktat dalam darah dan lain-lain.

Penatalaksanaan penting dari sepsis ini adalah perbaikan hemodinamik, pemberian antibiotic,

focus infeksi harus diobati dan terapi suportif seperti nutrisi, albumin dan lain-lain. Kegawatan

yang paling umum disebabkan sepsis adalah kerusakan multipel organ yang disebabkan karena

adanya kerusakan pembuluh darah akibat proses inflamasi-inflamasi sehingga perfusi pembuluh

darah terganggu yang berakibat organ-organ akan mengalami kelainan fungsinya karena saluran

nutrisi mereka terganggu oleh karena proses infeksi. Kelainan multipel organ akibat sepsis dapat

mengenai otak, paru, ginjal, hati, jantung maupun darah yang dapat menyebabkan kematian.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi cairan. Bagian
Anestesi dan Terapi Intensif RSUP.dr.Kariadi. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro,2006.
2. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and multiple organ
dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds. Textbook of critical care. 15th ed.
London: Elsevier Saunders Co; 2005. p.1249-57.
3. Martin, G. S. (2012). Sepsis, severe sepsis and septik shock: changes in incidence,
pathogens and outcomes. Expert Review of Anti-Infective Therapy,10(6), 701–706.
http://doi.org/10.1586/eri.12.50
4. Putri Y. Sepsis. Diunduh tanggal 30 Juli 2016 dari:
http://eprints.undip.ac.id/44902/3/Yessica_Putri_H_22010110120030_Bab2KTI.pdf
5. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius, 2014.
6. Sepsis Management. National Clinical Guideline No.6 (2014).
http://www.hse.ie/eng/about/Who/clinical/natclinprog/sepsis/sepsis%20management.pdf
7. Napitupulu HH. Sepsis. Diunduh dari www.indonesia.digitaljournals.org
8. Dellinger RP et al. Surviving Sepsis Campaign: Interntional Guidelines for Management
of Severe Sepsis and Septik Shock: 2012. http://www.sccm.org/Documents/SSC-
Guidelines.pdf

33
34

Anda mungkin juga menyukai