21092016
NAMA : AKBAR BR
KELAS : XII IPS3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah “TENTANG PERAN TOKOH PEREDAM PEMBERONTAKAN
DI INDONESIA”.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,oleh sebab itu kritik
dan saran yang membangun demi kebaikan makalah ini sangat penulis harapkan. Meskipun
demikian,penulis tetap berharap agar makalah ini dapat bermanfaat dan bisa memberikan
sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
PENULIS
A.PERAN TOKOH NASIONAL DALAM MENGATASI PEMBERONTAKAN
JENDRAL SUDIRMAN
Jenderal Ahmad Yani. Tokoh satu ini terkenal sebagai salah satu pahlawan Revolusi
Indonesia. Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani lahir di Purworejo, 19 Juni 1922 dan wafat
di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965. Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat
Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana
ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah
Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan
dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.Achmad Yani
kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara
lebih intensif di Bogor.
Dari sana ia mengawali karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah
tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan
Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di
Bogor.Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani
berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer Pertama
Belanda terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan
serangan Belanda di daerah tersebut.
Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan
sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia
mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu
dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun
berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff
College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia
juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun
1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih
berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk
memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada
tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Gatot subroto
Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun mengikuti
pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi militer milik Jepang yang merekrut
tentara pribumi untuk berperang, di Bogor. Di sanalah karier Gatot Subroto mulai merangkak
naik. Selepas lulus dari pendidikan Peta, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas
sebelum akhirnya ditunjuk menjadi komandan batalyon. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto
memilih masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kariernya berlanjut hingga dipercaya
menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah
Surakarta dan sekitarnya.
Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah
bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh seorang
pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat
Gatot Subroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak. Selama
menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalyon, Gatot Subroto dinilai sering
memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang sering kali membuat ia ditegur oleh
atasannya.
Namun, bukan berarti sering mendapat teguran dari atasan membuat Gatot Subroto
kapok dan patuh terhadap perintah. Justru hal itulah yang membuat Gatot Subroto
mendapatkan angin segar untuk sekadar 'menakuti dan mengancam' pihak Jepang. Saat itu, ia
mengancam bahwa dirinya mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan
melemparkan atribut senjata perangnya. Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya
kemudian meluluskan apa yang dikerjakan Gatot Subroto, yakni memihak pribumi terlebih
rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak
buahnya.
Pada tahun 1948 terdapat Peristiwa Madiun atau Madiun Affairs yang melibatkan
pihak Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia. Pemberontakan
tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian berakhir diatasi dengan baik
oleh TKR di bawah pimpinan Gatot Subroto. Saat melawan PKI, Gatot Subroto melancarkan
operasi militer agar dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat
menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta
pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di
bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur,
tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di
bawah pimpinan M. Yasin.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung
Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir
Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, dieksekusi pada 20
Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.Tak berbeda jauh
dengan pemberontakan yang ada di Jawa, di Sulawesi Selatan juga terdapat pemberontakan
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar pada tahun
1952. Lagi-lagi karena dinilai pandai dalam memasang strategi, Gatot Subroto diserahi untuk
menumpas pasukan pemberontak dan kembali pulang dengan membawa kemenangan. Tak
hanya sekadar kemenangan, para pemberontak pun juga berhasil dibujuknya agar kembali
dalam barisan TKR. Berkat usahanya tersebut, Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima
Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro pada tahun yang sama.
Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas,
berani, dan membela kaum yang tertindas. Maka, pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan
di istana negara akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang
dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut langsung mengundurkan diri dari jabatannya
sekaligus dari dinas militer. Pada 1953, ia mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga
tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan
Darat (Wakasad) pada tahun 1956. Melalui tangannya, ia berhasil melumpuhkan
pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Perdjuangan Rakjat Semesta
(PRRI/Permesta) yang ada di Sumatera dan Sulawesi Utara.
Pada tanggal 11 Juni 1962, Gatot Subroto meninggal di usia 55 tahun. Pangkat
terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Ia adalah penggagas akan perlunya
sebuah akademi militer gabungan (Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut) untuk
membina para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan Akademi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1965.Melengkapi pangkatnya, seminggu
setelah ia dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Jogjakarta, gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.222
tanggal 18 Juni 1962 disematkan kepadanya.melawan kolonialisme Belanda. Tentang
berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal,
Strategy of Guerrilla Warfare. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing,
jadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer
dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai
konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi Fungsi
ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik
dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara proses
penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen
Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung
telekomunikasi.
Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang
menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta. Kemudian Kolonel
Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas
Kostrad dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta. Sarwo Edhie
juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Panglima
Kostrad diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak
pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak
dengan Soeharto. Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur,
Komandan Cakrabirawa. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan
G30S. Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak
Soeharto.
Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima
perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang
(batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika pukul 06:00
petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang
ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan
bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.
Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan
Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis
Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S. Soeharto kemudian
memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan
mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih
Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.
PENUTUP
KESIMPULAN
Biografi adalah suatu kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang yang bersumber
pada subjek rekaan (non-fiction / kisah nyata). Sebuah biografi lebih kompleks daripada
sekadar daftar tangga lahir atau mati dan data-data pekerjaan seseorang,tetapi juga
menceritakan tentang perasaan yang terlibat dalam mengalami kejadian-kejadian tersebut
yang menonjolkan perbedaan perwatakan termasuk pengalaman pribadi.
Orang sering memasukkan informasi ke dalam otobiografi yang belum pernah diterbitkan di
tempat lain, atau merupakan hasil dari pengetahuan dari tangan pertama. Informasi semacam
ini mengharuskan pembaca untuk melakukan riset primer untuk dapat memastikannya
sehingga biografi yang disusun benar-benar akurat.
DAFTAR ISI
http://perpustakaancyber.blogspot.com/2014/03/peristiwa-pemberontakan-andi-azis-
di-makassar.html
http://perpustakaancyber.blogspot.com/2014/03/peristiwa-pemberontakan-republik-
maluku-selatan-rms.html
http://www.sejarah-negara.com/2013/04/pemberontakan-apra-andi-azis-dan-rms.html
http://brainly.co.id/tugas/1115000
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................
1.LATAR BELAKANG.......................................................................................................
2.RUMUSAN MASALAH..................................................................................................
3.TUJUAN...........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
1.PERAN TOKOH DALAM MENGATASI PEMBERONTAKAN..................................
BAB III PENUTUP...............................................................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................