Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN MEDIKAL BEDAH II DENGAN

DIANGNOSA MEDIS CIDERA KEPALA RINGAN PADA “Tn.


S” DI POLI BEDAH DI RSUD WONOSARI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Disusun Oleh :
Kelas 2A

Ahyatun Nisa (2720162812)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2018
2

LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan keperawatan pada pasien Ny.’P’ dengan diagnose medis Cancer


Mamae di poli bedah RSUD Wonosari. Laporan ini disusun untuk memenuhi
tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II pada semester IV, pada :

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Praktikan

(……………………………)

Pembimbing Lahan (CI) Pembimbing Akademik

(………………………..) (………………………..)
3

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Ridera Kepala Ringan


Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala,
tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth, 2002)
Cedera kepala adalah komplikasi segera setelah trauma biomekanik
pada otak, lapisan yang menutupinya atau organ-organ ekstra kranial
penopang otak ( Sunaryo, 2009 ).
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di
antara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai
hasil dari kecelakaan jalan raya ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Komplikasi paling penting pada cedera kepala adalah proses yang
dapat menyebabkan kerusakan otak yang lebih lanjut, dan ini merupakan
proses dinamik. Agar proses dinamik ini tidak berjalanlebih lanjut di mana
akan menyebabkan kerusakan neural lebih banyak maka perlu dilakukan
pemantauan ketat pada pasien yang mengalami cedera kepala.
Sunaryo ( l989 ) menjelaskan yang perlu diperhatikan dalam
pemantauan klinis pasien cedera kepala adalah GCS ( Glasgow Coma
Scale ). Pemantauan GCS secara teratur, sangat penting karena bila pada
follow-up terjadi penurunan GCS, diduga terjadi proses kerusakan lebih
lanjut di dalam otak, dan ini harus dicegah sedini mungkin. Juga GCS
dapat digunakan sebagai alat untum menentukan derajat keparahan cedera
kepala secara dini ( Mansjoer, 2000 ).
4

B. Macam-macam / jenis Cedera Kepala

Macam-macam/jenis cedera kepala berdasarkan tingkat

keparahannya adalah:

1. Cedera Kepala Ringan ( CKR)

Cedera kepala ringan (CKR) merupakan kelompok risiko rendah,

yaitu ditandai dengan : skor GCS antara 13 sampai 15, ( atentif, sadar

penuh, dan orientatif), tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya

konkusi), tidak ada tanda intoksikasi alkohol atau obat terlarang,

pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat

menderita : abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala, tidak ada

kriteria cedera kepala sedang-berat.

2. Cedera Kepala Sedang ( CKS )

Cedera Kepala sedang ( CKS ) Merupakan risiko sedang , yang

ditandai dengan: skor GCS antara 9 sampai 12 (konfusi, letargi, atau

stupor), konkusi, amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan

fraktur kranium ( tanda Battle, mata rabun ,hemotimpanum, otorea,

atau rinorea cairan serebrospinal ), kejang.

3. Cedera Kepala Berat ( CKB )

Cedera kepala berat ( CKB ) merupakan risiko berat, ditandai

dengan: skor GCS antara 3 sampai 8 ( koma ), penurunan derajat

kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cedera kepala

penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.


5

C. Penanganan Cedera kepala

Pedoman penanganan, resusitasi dan penilaian awal pada pasien cedera

kepala adalah

1. Menialai jalan napas (Air Way Control) dengan membersihka

jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,pemasangan

kolar sevikal, pasang oropangeal atau nasoparengeal, dan bila perlu

lakukan intubasi.

2. Menilai pernapasan (Breathing Support) dengan cara menentukan

pakah pasien napas denga spontan atau tidak, jika tidak lakukan

oksigenasi. Jika napas spontan nilai dan atasi adanya cedera thorak

berat seperti; pneumothorsks, pneumothorak tensif, dan

hemopneumotoraks.

3. Menilai sirkulasi (Circulation Support) , otak yang rusak tidak

mentoliler hopotensi , dengan cara hentikan perdarahan , perhatikan

secara khusus adanya perdarahan dada atau abdomen , pasang jalur

intravena untuk pemberian cairan pada vena besar, pantau tanda-tanda

syok.

Sedangkan penanganan cedera kepala sesua derajat keparahan pasien

cedera kepala adalah:

1. Cedera Kepala ringan.

Pasien dengan cedera kepala sedang pada umumnya dapat dipulangkan

kerumah tanpa perlu pemeriksaan CT-Scan bila memenuhi kriteria

sebagai berikut: hasil pemeriksaan neurologis (terutamastatus mini


6

mental dan gaya berjalan ) dalam batas normal, foto sevikal tidak ada

tanda patah tulang, ada orang yang bertanggung jawab untuk

mengamati pasie selam 24 jam pertama, dengan intruksi segera

kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.

2. Cedera kepala sedang.

Pasien yang mengalami konkusi otak ( komosio otak), dengan GCS 15

dan hasil CT-Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien dipulangkan

untuk observasi di rumah, meskipun terdapat keluhan nyeri kepala,

mual, muntah, pusing, atau amnesia.

3. Cedera kepala berat.

Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera

pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf

(hematoma intrakranial besar ).Jika ada indikasi segera laporkan atau

konsultasikan ke bedah saraf untuk tindakan operasi..

D. Cara Penilaian Cidera Kepala Glasgow Coma Scale ( GCS )

Brunner & Suddarth ( 2002 ) CGS adalah skala untuk mengkaji

tingkat kesadaran berdasarkan tiga kriteria; membuka mata, respon verbal,

dan respons motorik terhadap perintah verbal atau stimulus nyeri.

GCS adalah skala untuk mengetahui perkembangan tingkat

kesadaran dengan menilai respons dengan stimulus verbal dan nyeri pada

membukan mata, respons verbal, dan respon motorik ( Lumbantobing,

2000 ).
7

Price ( l995 ), GCS adalah skala yang lebih paling luas dipakai

dalam penilaia kesadaran penderita dan reaksinya terhadap rangsang.

GCS adalah pengkajian yang sangat bernilai untuk memonitor disfungsi

neurologi yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesadaran dan

kewaspadaan pasien,khususnya pada pasien yang mengalami cidera berat

atau pasien yang diperkirakan akan mengalami kemunduran kesadaran

dengan cepat ( Priharjo,1996 ; Goddner,l995 ).

Cara Pemeriksaan GCS

Parameter/indikasi yang dinilai pada pemeriksaan Glasgow Coma

Scale dari respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik dibagi

menjadi tingkat/nilai yang berbeda dan respon yang baik yang ditunjukkan

pasien terhadap stimulis/rangsangan yang ditentukan sebelumnya. Masing-

masing respon diberikan angka/nilai (Goodner, 1995;Priharjo, 1996;

Brunner dan Suddarth, 2002).

Tabel 1 . Glasgow Coma Scale ( GCS )

Parameter Respons Nilai


ResponMembuka Spontan 4

Mata (E) Terhadap suara/bicara 3

Terhadap nyeri 2

Tidak berespons 1
Respon verbal Orientasi baik dan sesuai 5

(V) Disorientasi waktu dan tempat 4

Bicara kacau 3
8

mengerang 2

Tidak ada suara 1


Respon Motorik Mengikuti perintah 6

(M) Melokalisir nyeri 5

Menghindar nyeri 4

Fleksi abnormal( dekortikasi ) 3

Ekstensi abnormal ( deserebri ) 2

Tidak ada gerakan 1

E. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar
dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi
pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada
substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
9

tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan


cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak.
Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya.
F. manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.

G. Komplikasi
1. Hemorrhagie
10

2. Infeksi
3. Edema
4. Herniasi
H. pemeriksaan Penunjang
1. Rotgen Foto
2. CT Scan
3. Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma,
posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan
yang diberikan segera setelah kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
c. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull,
cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
d. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh
PTIK
e. Sistem saraf :
f. Kesadaran GCS.
g. Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke
batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
h. Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
i. Sistem pencernaan
j. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan
cairan.
k. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
l. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
11

m. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer


dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus
dan saraf fasialis.
n. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan
yang didapat pasien dari keluarga.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak
efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya
sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
c. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring
dan menurunnya kesadaran.
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan
perdarahan, mual dan muntah.
e. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran
atau meningkatnya tekanan intrakranial.
f. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
3. Intevensi Keperawatan
a. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya
pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi,
gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai
dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih,
dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
2) Kaji, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindar
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi
12

bila ada cedera vertebra.


3) Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila
ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
4) Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
5) Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit
ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
6) Pemberian oksigen sesuai program.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan
tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
• Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline”
untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
• Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi
kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur
(peningkatan lendir atau suction, perkusi).
• tekanan pada vena leher.
• pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan
kompresi pada vena leher).
• Bila akan memiringkan, harus menghindari adanya tekukan pada
anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
• Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava
maneuver.
• Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan
intrakranial sesuai program.
• Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan
karena dapat meningkatkan edema serebral.
• Monitor intake dan out put.
13

DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer dkk. 2002, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Jakarta, Media
Aesculapius, FKUI
Brunner and suddarth, (2002).keperawatan medikal bedah,. Jakarta, EGC
Sunaryo, T. 2009. Manajemen Risiko Financial. Jakarta : Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai