Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT


PARU OBSTRUKTIF KRONIS ( PPOK )
STASE KDK

OLEH :

Asep Mulyadi

190721002

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Penyakit Paru Obstrukif Kronis (PPOK)”.
Dalam menyusun makalah ini, kami banyak menemukan kesulitan tapi
dengan adanya bimbingan dan pengarahan yang baik dari berbagai pihak akhirnya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Liliek Pratiwi S.Kep., M.KM selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dalam membimbing kami selama penyusunan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun penyajiannya. Oleh sebab
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan lebih
peningkatan kualitas untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi kelompok dan tingkat dua keperawatan.

Cirebon, 29 Mei 2019

Asep Mulyadi

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
1. Tujuan Umum ......................................................................... 2
2. Tujuan Khusus ......................................................................... 2
C. Manfaat ........................................................................................ 2
D. Statistika ....................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Medik .............................................................................. 4
1. Pengertian ................................................................................ 4
2. Klasifikasi ............................................................................... 4
3. Faktor resiko dan Etiologi ........................................................ 5
4. Patoflow .................................................................................. 5
5. Manifestasi Klinis .................................................................. 6
6. Komplikasi .............................................................................. 7
7. Penanganan Awal .................................................................... 8
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan .............................................. 10
1. Pengkajian Keperawatan ......................................................... 10
2. Diagnosa Keperawatan ............................................................ 13
3. Intervensi Keperawatan ........................................................... 13

BAB III TINJAUAN KASUS


A. Kasus ............................................................................................. 19
B. Pengkajian ...................................................................................... 20

iii
C. Diagnosa Keperawatan .................................................................. 21
D. Perencanaan Keperawatan ............................................................ 22
E. Implementasi Keperawatan ........................................................... 25
F. Evaluasi Keperawatan ................................................................... 25
G. Pembahasan Kasus ........................................................................ 25

BAB IV PEMBAHASAN JURNAL


A. Analisa Jurnal ................................................................................. 31
1. Pico .......................................................................................... 31

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 32
B. Saran .................................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terwujudnya keadan sehat adalah kehendak semua pihak tidak hanya oleh
perorangan, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah
suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi.status kesehatan dipengaruhi oleh
faktor biologi, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologi merupakan
faktor yang berasal dari individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit
alergi.
(mansjoer, 2000)
Penyakit paru obstruksi kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas
karena bronchitis kronis atau enfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat
progresif, bisa disertai hiperaktifitas bronkus dan sebagian bersifat reversibel.
Bronchitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun,
dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis
paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (mansjoer,
2000).
Data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) meyebutkan, pada tahun
2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit-penyakit
paru obtruksi kronis sebanyak 80-90% (kasana,2011).
Data yang diperoleh direkam medis rumah sakit Margono Purwokerto
pada bulan januari sampai maret 2014 didapatkan data sebanyak 30% pasien
menderita penyakit paru obstruksi kronis (Rsmargono Soekarjo, 2014).
Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena penyakit
ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat
memerlukan ketelatenan untuk dapat memihara, mengembalikan fungsi paru dan
kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalamai

1
perkembangan yang progresif dan blom ada penyembuhan secara total. Maka dari
itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat,
perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosinal bagi
penderita penyakit paru obstruksi kronis
(Reeves, 2001).

B. Tujuan
1. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis
b. Mampu merumuskan diagnose keperawatan pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis
c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis
e. Mampu melakuakn evaluasi keperawatan pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis
2. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis.

C. Manfaat
1. Rumah Sakit
Laporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan
pelayanan peningkatan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK.
2. Institusi Pendidikan
Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan pustaka yang
dapat memeberikan gambaran pengetahuan mengenai PPOK

2
3. Profesi Perawat
Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi
tenaga kesehatan untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan
mengenai PPOK dan bahayanya.

D. Statistika
Sitematika penulisan makalah Asuhan Keperawatan Teoritis: Pengkajian
Keperawatan Secara Umum Pada Gangguan Kognitif Delirium ini terdiri dari
3 bab, diantaranya :
BAB I Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Terdiri dari Konsep Dasar Teori yang terbagi atas pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan. Serta Konsep Dasar
Asuhan Keperawatan yang terbagi atas pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi dan evalusai keperawatan
BAB III Penutup
Terdiri dari kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP MEDIK
1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru
Obstruksi Menahun (PPOM) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat pogresif nonreversibel atau reversibel
parsial. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisima atau gabungan keduanya.
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD), PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas
tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
dikarenakan bahan yang merugikan atau gas.

2. Klasifikasi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terdiri dari :
a. Bronkitis Kronik
Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mukus yang
berlebihan dalam bronkhus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk
kronis serta membentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun,
minimal 2 tahun berturut-turut (Muttaqin,2012:156).
b. Emfisema
Penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti
oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan
dengan bronkitis kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri.
Penyebabnya juga sama dengan bronkitis,antara lain pada perokok.

4
3. Faktor Resiko dan Etiologi
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesi,2003 faktor resiko pada
PPOK yaitu:
a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting,jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
1) Riwayat merokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas perokok
2) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun :
 Ringan : 0-200
 Sedang : 200-600
 Berat : >600
b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c. Hipereaktiviti bronkus
d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

4. Patofisiologi dan Patoflow


Obstruksi jalan nafas menyebabkan reduksi aliran udara yang
beragam bergantung pada penyakit. Pada bronkhitis kronis dan
brokhiolitis, terjadi penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak
sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada
pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding
alveoli yang di sebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada
asma, jalan napas bronkhial menyempit dan membatasi jumlah udara yang
mengalir kedalam paru. Protokol pengobatan tertentu di gunakan dalam
semua kelainan ini, meski patofisiologi dari masing-masing kelainan ini
membutuhkan pendekatan spesifik.

5
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan
di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas dan padi-padian) merupakan
faktor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya
dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun. PPOK juga di temukan
terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk
mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu.
PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukan awitan (onset)
gejala kelinisnya seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering menjadi
simtomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat
sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek fungsi paru
tertentu seperti kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV)
menurun sejalan dengan peningkatan usia, PPOK dapat memperbuuk
perubahan fisiologi yang berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan
obstruksi jalan napas misalnya pada bronkhitis serta kehilangan daya
pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu,
terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien
lansia dengan PPOK.

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis adalah :
a. Batuk. Sputum putih atau mukoi, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
b. Sesak. Sesak sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan
untuk bernafas.

6
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis adalah :
a. Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah
malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang
makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak
(pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten
yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
b. Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan
kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya
pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan
tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik
banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
c. Selain itu, pada pasien PPOK banyak mengalami penurunan berat
badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan
karena produksi dahak yang makin banyak, penurunan daya kekuatan
tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam
sistem gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan
banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam
melakukan pernafasan.

6. Komplikasi
Komplikasi penyakit PPOK menurut Grece & Borley (2011),
jackson (2014) dan padila (2012):
a. Gagal napas akut atau Acute Respiratory Failure (ARF)
b. Corpulmonal
c. Pneumothoraks

7
7. Penanganan Awal
a. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya:
1) Infeksi saluran napas
2) Gangguan keseimbangan asam basa
3) Gawat napas
b. Triase untuk keruang rawat atau ICU
Penanganan diruang rawat untuk eksa serbasi sedang dan berat (belum
memerlukan ventilasi mekanik)
1) Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebulizer
2) Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask
3) Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
4) Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi
mekanik
Indikasi perawatan ICU
1) Pengawasan dan terapi intensif
2) Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi
mekanik yang tepat
c. Mencegah kematian
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas.
Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi:
1) Diagnose beratnya eksaserbasi
a) Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
b) Kesadaran
c) Tanda-tanda vital
d) Analisa gas darah
e) Pneumonia
2) Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang
pertama dan utama bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan

8
mencegah keadaan yang mengancam jiwa. Dapat dilakukan
diruang gawat darurat, ruang rawat atau ruang ICU. Sebaiknya
dipertahankan Pao2 >60 mmHg atau sat O2 > 90%, evaluasi ketat
hiperkapnia, guanakan sungkup dengan kadar yang sudah
ditentukan (ventury mask) 24%, 28%, atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar
Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigen adekuat, harus digunakan ventilasi dalam penggunaan
ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positif Pressure
Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik
digunakan dengan intubasi.
3) Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a) Antibiotic
b) Bronkodilator
c) Kortikosteroid
Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan
hipoksemia berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu
napas.
Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan
mengurangi mortality dan morbidity, dan memperbaiki symptom.
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan
ventilasi mekanik dengan intubasi.
Kondisi lain yang berkaitan
1) Monitor balans cairan elektrolit
2) Pengeluaran sputum
3) Gagal jantunga tau aritmia
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi:
1) Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
2) Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal

9
3) Kesadaran menurun
4) Hipoksemia berat Poa2 < 50 mmHg
5) Asidosis Ph < 6,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
6) Komplikasi kardiovaskular hipotensi
7) Komplikasi lain, gangguan metabolic, sepsis, pneumonia,
barotraumas, efusi pleura dan emboli massif
8) Pengguanaan NIPPV yang gagal

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Anamnesis
Dispenea adalah keluhan utama PPOM. Klien biasanya
mempunyai riwayat merokok dan riwayat batuk kronis, bertempat
tinggal atau bekerja di area dengan polusi berat, adanya riwayat alergi
pada keluarga, adanya riwayat asma pada anak-anak.
Perawat perlu mengkaji riwayat atau adanya paktor pencetus
eksaserbasi yang meliputi alergen, stres emosional, peningkatan
aktivitas fisisk yang berlebihan, terpapar dengan polusi udara, serta
infeksi saluran pernapasan. Perawat juga perlu mengkaji obat-obat yang
biasa di minum klien, memeriksa kembali setiap obat apakah masih
relavan untuk di gunakan kembali.
Pengkajian pada tahap lanjut penyakit, di dapatkan kadar
oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang
tinggi (hiperkapnea). Klien rentan terhadap reaksi implamasi dan
infeksi akibat pengumpulan sekresi. Setelah infeksi terjadi, klien
mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
Anorexia, penurunan berat badan, dan kelemahan adalah hal
yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin juga mengalami distensi
selama ekspirasi. Pada pengkajian yang di lakukan di tangan, sering di
dapatkan adanya jari tabuh (clubbing finger) sebagai dampak dari
hipoksemia yang berkepanjangan.

10
Sebagai pengkajian untuk menentukan predisposisi penyakit
yang mendasarinya, perawat perlu merujuk kembali pada penyakit yang
mendasari, yaitu asma bronkhial, brokhitis kronis, dan empisema pada
pembahasan selanjutnya.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
 Pursed- lips breathing ( mulut setengah terkatup mencucu)
 Barrel chest (diameter antero – posterior dan transfersal
sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
2) Palpasi
Pada emfisema premitus melemah, sela iga melebar.
3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letek diafragma rendah, hepar terdorong kebawah.
4) Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki atau mengi pada waktu berenapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh
Menurut Gleadle (2007:173) anamnesis yang dilakukan pada
pasien PPOK yaitu :
Berapa lama pasien merasa sesak napas ? kapan pasien merasa sesak :
saat istirahat atau aktivitas ?

11
Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas ? berapa jauh
pasien dapat berjalan ?
Apakah pasien batuk ? jika ya, adakah sputum, berapa banyak, dan apa
warna nya ?
Apakah terdapat mengi? Jika ya kapan ?
Berapa lama pasien mengalami keadaan seburuk ini ?
Kira-kira apa pemicunya ?
Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring ?
Pernakah pasien mendapat ventilasi ? pernakah pasien di rawat di rumah
sakit? (jika ya, berapa hasil spirometri dan gas darah awal ?)
 Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB,
karsinoma bronkus, bronkiektasis, atau empisema).
Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan lain.
Pernakah ada pneumonea ?
Tanyakan gejala apnea saat tidur (mengantuk di siang hari,
mendengkur).
 Obat-obatan
Tanyakan respon pasien terhadap terapi kortikosteroid, nebuliser,
oksigen di rumah? Apakah pasien menggunakan oksigen di rumah?
Jika ya, selama berapa jam sehari di gunakan?
Dapatkan riwayat merokok pasien (dahulu [bungkus per hari, tahun],
sekarang dan pasif).
 Riwayat keluarga dan sosial
Bagaimana riwayat pekerjaan pasien ? (pneumokoniosis ?)
Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga?
Bagaimana tingkat disabilitas pasien ? bagaimana toleransi olahraga
pasien ? apakah pasien mampu keluar rumah ? bisakah pasien naik
tangga ? dimana kamar tidur/kamar mandi pasien, dan sebagainya ?
Siapa yang berbelanja, mencuci, memasak dan sebagainya?

12
2. Diagnose keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ansietas, posisi
tubuh, deformitas tulang, deformitas dinding dada, keletihan,
hiperventilasi, sindrom hipoventilasi, gangguan musculoskeletal,
kerusakan neurologis, imaturitas neurologi, disfungsi neuromuscular,
obesitas, nyeri, keletihan otot pernapasan cedera medula spinalis.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
lingkungan (perokok pasif, mengisap asap, merokok), obtruksi jalan
napas (spasme jalan napas, mucus dalam jumlah berlebihan, eksudat
dalam jalan alveoli, materi asing dalam jalan napas, adanya jalan
napas buatan, sekresi bertahan/sisa sekresi, sekresi dalam bronki),
fisiologis(jalan napas alergik, asma, penyakit paru obstruksi kronik,
hyperplasia dinding bronchial, infeksi, disfungsi neuromuscular).
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (mis; biologis, zat kimia,
fisik, psikologis)
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolar-kapiler, ventilasi – perfusi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring atau imobilisasi,
kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen, imobilisasi, gaya hidup monoton.

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnose Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1 Ketidakefektifan pola  Respiratory status Airway management
napas berhubungan :ventilation - Buka jalan napas,
dengan ansietas, posisi  Respiratory status : gunakan teknik chin
tubuh, deformitas tulang, airway patency lift atau jaw thrust
deformitas dinding dada,  Vital sign status bila perlu
keletihan, hiperventilasi, Kriteria Hasil : - Posisikan pasien
sindrom hipoventilasi, 1. Mendemontrasikan untuk
gangguan batuk efektif dan memaksimalkan
musculoskeletal, suara napas yang ventilasi
kerusakan neurologis, bersih, tidak ada - Identifikasi pasien
imaturitas neurologi, sianosis dan perlunya

13
disfungsi neuromuscular, dyspneu (mampu pemasangan alat
obesitas, nyeri, keletihan mengeluarkan jalan napas buatan
otot pernapasan cedera sputum, mampu - Lakukan fisioterapi
medula spinalis. bernapas dengan dada jika perlu
mudah, tidak ada - Auskultasi suara
pursed lips) napas, catat adanya
2. Menunjukkan jalan suara tambahn
napas yang paten Oxygen terapi
(klien tidak merasa - Pertahankan jalan
tercekik, irama napas yang paten
napas, frekuensi - Monitor aliran
pernapasan dalam oksigen
rentang normal, - Observasi adanya
tidak ada suara tanda-tanda
napas, abnormal) hipoventilasi
3. Tanda-tanda vital Vital sign monitoring
dalam rentang - Monitor TD, nadi,
normal (tekanan suhu, dan RR,
darah, nadi, sebelum, selama,
pernapasan,) dan setelah aktivitas
- Monitor frekuensi
dan pernapasan
2 Ketidakefektifan NOC NIC
bersihan jalan napas  respiratory status: AIRWAY SUCTIONN
berhubungan dengan ventilation  Pastikan kebutuhan
lingkungan (perokok  respiratory status: oral/tracheal
pasif, mengisap asap, airway patency suctioning
merokok), obtruksi jalan  Auskultasi suara
napas (spasme jalan kriteria hasil: nafas sebelum dan
napas, mucus dalam  mendemontrasikan sesudah suctioning
jumlah berlebihan, batuk efektif dan  Minta klien nafas
eksudat dalam jalan suuara nafas yang dalam sebelum
alveoli, materi asing bersih, tidak ada suction dilakukan.
sianosis dan
dalam jalan napas,  Anjurkan pasien
adanya jalan napas dyspneu (mampu
untuk istirahat dan
buatan, sekresi mengelurakan
napas dalam setelah
bertahan/sisa sekresi, sputum, mampu
kateter dikelurakan
sekresi dalam bronki), bernafas dengan
dari nasotrakeal
fisiologis(jalan napas mudah, tidak ada
 Monitor status
alergik, asma, penyakit pursed lips)
oksigen pasien
paru obstruksi kronik,  menunjukan jalan
 Ajarkan keluraga
hyperplasia dinding nafas yang paten
bagaimana cara
bronchial, infeksi, (klien tidak merasa
melakukan suksion
disfungsi tercekik, irama
nafas, frekuensi  Posisikan pasien
neuromuscular).
pernafasan dalam untuk
memkasimalkan

14
rentang normal, ventilasi
tidak ada suara nafas  Keluarkan sekret
abnormal) dengan batuk atau
 mampu factor yang suction
dapat menghambat  Auskultasi suara
jalan nafas nafas, cacat adanya
suara tambahan
 Monitor respirasi
dan status o2.

3 Nyeri akut berhubungan NOC NIC


dengan agen cidera (mis;  Pain level Pain Management
biologis, zat kimia, fisik,  Pain control  Lakukan pengkajian
psikologis)  Comfort level nyeri secara
komprehensif,
Kriteria Hasil: durasi, frekuensi,
 Mampu mengontrol kualitas dan faktor
nyeri (tahu peyebab presipitasi
nyeri, mampu  Observasi reaksi
menggunakan teknik nonverbal dari
nonfarmakologi ketidaknyaman
untuk mengurangi  Gunakan teknik
nyeri, mencari komunikasi
bantuan) terapeutik untuk
 Melaporkan bahwa mengetahui
nyeri berkurang pengalaman nyeri
dengan pasien
menggunakan  Kaji kultur yang
manajemen nyeri mempengaruhi
 Mampu mengenali respon nyeri
nyeri (skala,intensia,  Evaluasi
frekuensi dan tanda pengalaman nyeri
nyeri) masa lampau
 Menyatakan rasa  Ajarkan tentang
nyaman setelah teknik non
nyeri berkurang farmakologi
 Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
Analgesic
administration
 Tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas, dan derajat
nyeri sebelum

15
pemberian obat
 Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Tentukankan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
 Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama
kali
 Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala

4. Gangguan pertukaran NOC NIC


gas berhubungan dengan  respiratory status : Airway management
perubahan membrane gas exchange  buka jalan nafas,
alveolar-kapiler, ventilasi  respiratory status: gunakan teknik chin
– perfusi. ventilation lift atau jaw thrust
 vital sign status bila perlu
kriteria hasil:  posisikan pasien
 mendemonstrasikan untuk
peningkatan memaksimalkan
ventilasi dan ventilasi
oksigenasi yang  identivikasi pasien
adekuat perlunya
 memelihara pemasangan alat
kebersihan paru- jalan nafas buatan
paru dan bebas dari  lakukan fisioterapi
tanda-tanda distress dada jika perlu
pernafasan  keluarkan sekret
 mendemostrasikan dengan batuk atau
batuk efektif dan suction
suara nafas yang  auskultasi suara
bersih, tidak ada nafas, catat adanya
sianosis dan suara tambahan
dyspneu (mampu  berikan
mengeluarkan bronkodilator bila

16
sputum, mampu perlu
bernafas dengan  atur intake untuk
mudah, tidak ada cairan
pursed lips) mengoptimalkan
 tanda-tanda vital keseimbangan
dalam rentang  monitor respirasi
normal dan status 02

Respirasi monitoring
 monitor rata-rata,
kedalaman, irama
dan usaha respirasi
 catat pergerakan
dada, amati
kesimetrisan ,
penggunaan otot
tambahan, retrasi
otot supraclavicular
dan intercostal
 monitor suara nafas,
seperti dengkur
 catat lokasi trakea
 monitor kelelahan
otot diafragma
(gerakan paradogsis)
 auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan/tidak
danya ventilasi dan
suara tambahan
 tentukan kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crakles dan ronkhi
pada jalan nafas
utama
 auskultasi suara paru
setelah tindakan
untuk mengetahui
hasilnya
4. Intoleransi aktivitas NOC NIC
berhubungan dengan
tirah baring atau  energy conservation Activity Therapy
imobilisasi, kelemahan  activity tolerance  kolaborasi dengan
umum,  self care : ADLs tenaga rehabilitas

17
ketidakseimbangan Kriteria hasil medik dalam
antara suplai dan  berpartisipasi dalam merencanakan
kebutuhan oksigen, aktivitas fisik tanpa program terapi yang
imobilisasi, gaya hidup disertai peningkatan tepat
monoton. tekanan darah, nadi,  bantu klien untuk
dan RR mengidentifikasi
 mampu melakukan aktivitas yang
aktivitas sehari-hari mampu dilakukan
(ADLs) secara  bantu untuk
mandiri mengidentifikasi
 tanda-tanda vital dan mendapatkan
normal sumber yang
 energy psikomotor diperlukan untuk
 level kelemahan aktivitas yang
 mampu berpindah : diinginkan
dengan atau tanpa  bantu untuk
bantuan alat mendapatkan alat
 status bantuan aktivitas
kardiopulmunari seperti kursi roda,
adekuat krek
 sirkulasi status baik  bantu untuk
 status respirasi : mengidentivikasi
pertukaran gas dan aktivitas yang
ventilasi adekuat disukai
 bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
 bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
 sediakan penguatan
positif bagi yang
aktif beraktivitas
 bantu pasien untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
 monitor respon fisik,
emosional, sosial,
dan spiritual

18
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
HARI/TANGGAL : Rabu , 22 -05-2019
JAM : 15.00
PENGKAJI : Asep Mulyadi
RUANG : 6A

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn. T
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Umur : 68th
d. Agama : Islam
e. Status Perkawinan : Menikah
f. Pekerjaan : Wiraswasta
g. Pendidikan terakhir : SD
h. Alamat : Blok penggung , Klangenan Kab.Cirebon
i. No.CM : A438556
j. Diagnostik Medis : PPOK

PENANGGUNG JAWAB
a. Nama : Suwandi
b. Umur : 35
c. Pendidikan : SMP
d. Pekerjaan : Pedagang
e. Alamat : Blok penggung , Klangenan Kab.Cirebon

19
2. RIWAYAT KEPERAWATAN
a. RIWAYAT KESEHATAN PASIEN
Riwayat Penyakit Sekarang

1. Keluhan Umum
Nyeri Dada kiri dan Napas pendek

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RS dengan onset tiba-tiba mengalami nyeri dada kiri dan
napas pendek dan demam sudah 2minggu. Pasien mengatakan tidak
pernah mengalami trauma dada dan adanya batuk dan gejala pernapasan
lain sebelum mengalami nyeri dan tidak mengonsumsi obat. Tetapi pasien
mengatakan sering mengonsumsi rokok 1 pak dan bir 2-3 botol dalam
sehari.
Saat dilakukan pengkajian di RS Mitra Plumbon didapatkan data TD
124/80 mmHg, N 110 x/menit, RR 28 x/menit, ansietas, hilangnya suara
napas kiri, radiografi thoraks 50% pneumothoraks kiri tanpa efusi atau
lesi pulmonal.

3) Pengaruh penyakit terhadap pasien : Batuk keluar darah / Hemaptoe

4) Apa yang diharapkan pasien dari pelayanan kesehatan Riwayat Penyakit


Masa Lalu
1) Penyakit masa anak – anak. : Tidak ada
2) Alergi : Tidak ada
3) Pengalaman sakit / dirawat sebelumnya : Dispepsia
4) Pengobatan terakhir :

20
B. Riwayat Kesehatan Keluarga
Genogram (minimal 3 generasi)

1) Dengan siapa klien tinggal dan berapa jumah keluarga?


Anak Jumlah 3
2) Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa?
Tidak ada
3) Apakah ada keluarga yang mempunyai penyakit menular atau menurun?
Tidak ada
4) Bagaimana efek yang terjadi pada keluarga bila salah satu anggota
keluarga sakit?
Langsung Membawa ke Fasilitas kesehatan terdekat / Rumah Sakit

3. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Napas pasien tampak sesak, pasien tampak meringis kesakitan, pasien
tampak cemas
b. Palpasi
Pasien mengalami kesakitan pada dada kiri saat dipegang perawat
c. Perkusi
Suara napas normal pada sisi kanan, hilang suara napas pada sisi kiri
d. Auskultasi
Tidak ada suara napas tambahan
Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1 DS: Hiperventilasi Ketidakefektifan
Pasien mengatakan nyeri pola napas
dada kiri dan napas pendek
DO: Ventilasi - Gangguan
1. Pasien tampak sesak Perfusi Pertukaran Gas
napas
2. Nafas pendek
3. Hilangnya suara napas

21
kiri
4. Ttv
TD : 124/80 mmHg
N : 110 x/menit
RR: 28 x/menit

2 DS: Perubahan status Ansietas


Pasien mengatakan cemas kesehatan
DO:
1. Pasien tampak gelisah
2. Ttv
TD : 124/80 mmHg
N : 110 x/menit
RR: 28 x/menit

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
No Diagnose Noc Nic
keperawatan
1. Ketidakefektifan  Respiratory status Airway management
pola napas :ventilation - Buka jalan napas,
berhubungan  Respiratory status : gunakan teknik chin
dengan airway patency lift atau jaw thrust
hiperventilasi  Vital sign status bila perlu
- Posisikan pasien
Kriteria Hasil : untuk
1. Mendemontrasikan batuk memaksimalkan
efektif dan suara napas ventilasi
yang bersih, tidak ada - Identifikasi pasien
sianosis dan dyspneu perlunya
(mampu mengeluarkan pemasangan alat

22
sputum, mampu bernapas jalan napas buatan
dengan mudah, tidak ada - Lakukan fisioterapi
pursed lips) dada jika perlu
2. Menunjukkan jalan napas - Auskultasi suara
yang paten (klien tidak napas, catat adanya
merasa tercekik, irama suara tambahn
napas, frekuensi Oxygen terapi
pernapasan dalam - Pertahankan jalan
rentang normal, tidak ada napas yang paten
suara napas, abnormal) - Monitor aliran
3. Tanda-tanda vital dalam oksigen
rentang normal (tekanan - Observasi adanya
darah, nadi, pernapasan,) tanda-tanda
hipoventilasi
Vital sign monitoring
- Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR,
sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
- Monitor frekuensi
dan pernapasan
2 Ansietas  Anxiety self-control Anxiety reduction
berhubungan  Anxiety level (penurunan kecemasan)
dengan  Coping - Gunakan
perubahan status Kriteria Hasil: pendekatan yang
kesehatan  Klien mampu menenangkana
mengidentifikasi dan - pahami prespektif
mengungkapkan gejala pasien terhadap
cemas situasi stress

 Mengindentifikasi, - temani pasien untuk


mengungkapkan dan memberikan
menunjukan teknik untuk keamanan dan
mengontrol cemas mengurangi takut
 Vital sign dalam batas - dengarkan dengan
normal penuh perhatian
 Postur tubuh, ekpresi - dorong pasien untuk
wajah, bahasa tubuh dan mengungkapkan
tingkat aktivitas perasaaan,
menunjukan ketakutan, dan
berkurangnya kecemasan persepsi
- berikan obat untuk
mengurangi
kecemasan
3 Gangguan NOC NIC
pertukaran Gas  respiratory status : gas Airway management

23
berhubungan exchange  buka jalan nafas,
dengan  respiratory status: gunakan teknik chin
ventilasi- ventilation lift atau jaw thrust
perfusi  vital sign status bila perlu
kriteria hasil:  posisikan pasien
 mendemonstrasikan untuk
peningkatan ventilasi dan memaksimalkan
oksigenasi yang adekuat ventilasi
 memelihara kebersihan  identivikasi pasien
paru-paru dan bebas dari perlunya
tanda-tanda distress pemasangan alat
pernafasan jalan nafas buatan
 mendemostrasikan batuk  lakukan fisioterapi
efektif dan suara nafas dada jika perlu
yang bersih, tidak ada  keluarkan sekret
sianosis dan dyspneu dengan batuk atau
(mampu mengeluarkan suction
sputum, mampu bernafas  auskultasi suara
dengan mudah, tidak ada nafas, catat adanya
pursed lips) suara tambahan

 tanda-tanda vital dalam  berikan


rentang normal bronkodilator bila
perlu
 atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
 monitor respirasi
dan status 02

Respirasi monitoring
 monitor rata-rata,
kedalaman, irama
dan usaha respirasi
 catat pergerakan
dada, amati
kesimetrisan ,
penggunaan otot
tambahan, retrasi
otot supraclavicular
dan intercostal
 monitor suara nafas,
seperti dengkur
 catat lokasi trakea

24
 monitor kelelahan
otot diafragma
(gerakan paradogsis)
 auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan/tidak
danya ventilasi dan
suara tambahan
 tentukan kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crakles dan ronkhi
pada jalan nafas
utama
 auskultasi suara paru
setelah tindakan
untuk mengetahui
hasilnya

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi kestatus kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih
baik yang mengambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

E. Evaluasi Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
a. Pasien mampu bernapas dengan mudah
b. Suara napas normal

2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


a. Pasien mampu mengontrol cemas
b. Pasien mampu mengungkapkan kecemasannya

25
3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi
a. Suara napas bersih
b. Tidak ada sianosis

F. PEMBAHASAN KASUS
1. Faktor resiko pneumothoraks spontan
a. Jenis kelamin perempuan
Pria lebih mungkin mejadi faktor resiko pada
pneumothoraks spontan primer karena pria memiliki kebiasaan
merokok dan juga memiliki postur tubuh tinggi dan kurus. Pada
perempuan tidak menutup kemungkinan untuk terjadi
pneumothoraks spontan.
Pneumothoraks berulang dihubungkan dengan siklus menstruasi
pertama kali diuraikan oleh maurer dan kawan-kawan pada tahun
1958. Setelah itu istilah pneumotoraks katamenial diperkenalkan
oleh Lillington dan kawan-kawan pada tahun 1972. Sindrom
berulang pneumothorax katamenial terkait dengan endometriosis
panggul dan diafragma. Sebanyak 25% dari pneumotoraks spontan
pada wanita disebabkan oleh pneumotoraks katamenial (8 dari 32
kasus). Walaupun pneumotoraks katamenial merupakan
manifestasi klinis yang paling sering dari endometriosis
intratorakal, belakangan ini tidak seluruhnya dapat dikenali dan
tidak dapat dijelaskan secara lengkap mengenai siklus dan
kekambuhan dari pneumotoraks tersebut.
b. Usia 55-70 tahun
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan bertambahnya
usia tua ditambah dengan faktor-faktor lingkungan, serta faktor
kekebalan tubuh yang menurun, membuat perubahan homeostasis
normal, kemudian dapat menjadi homeostasis abnormal sampai
dengan kematian sel. Pada usia lanjut kekuatan kontraksi otot
pernapasan dapat berkurang dan sulit bernapas. Fungsi paru-paru

26
menentukan konsumsi oksigen seseorang ,yakni jumlah oksigen
yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh.
Berkurangnya fungdi paru akan mengurangis fungsi ventilasi paru
yang menyebabkan proses inflamasi bronkus dan dinding bronkus
terminalis mengalami kerusakan.
c. Postur tubuh tinggi dan kurus
Postur tubuh tinggi dan kurus merupakan salah satu faktor
resiko dari pneumotoraks spontan primer. Pneumothoraks spontan
primer biasanya disebabkan oleh pecahnya bleb pada paru-paru ini
biasanya sering terjadi pada pria muda yang kurus dan pada
Marfan Syndrome.
Kantung berisi udara di paru-paru yang disebut Bleb
biasanya pecah dan udara bocor ke rongga pleura sehingga
menyebabkan pneumothoraks spontan. Hal ini lah yang biasa
terjadi pada orang yang bertubuh tinggi dan kurus karena bentuk
paru-paru dan rongga dadanya lebih rentan terhadap cacat ini.
Setelah ruptur suatu bula subpleura kecil. Dari anamnesis
didapatkan nyeri pleuritik dengan onset mendadak dan sesak.
Sesak meningkat dengan cepat menjadi pneumothoraks tension dan
pasien menjadi sianosis. Tanda klasik adalah hilangnya gerak dada
di sisi yang terkena disertai deviasi trakea ke sisi yang sehat.
d. Riwayat tuberkolosis paru
Tuberkolosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh mycobacteria. Pada manusia yang
kebanyakan menginfeksi adalah mycobacterium tuberculosis.
Biasanya tuberkolosis menyerang paru, namun dapat juga
menyerang central nervus sistem, sistem limfatikus, sistem
urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya. Karena
penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat
cukup tinggi, maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah
satu komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah pneumothoraks.

27
Dimana pneumothoraks yang terjadi adalah pneumothoraks
spontan sekunder.
e. Infeksi saluran nafas atas
Pada infeksi saluran napas atas (ISPA) misalnya pneumonia
yang merupakan peradangan paru yang ditandai dengan gejala
awal sesak napas dan batuk dimana kantong udara (dalam paru
terisi cairan/ sel-sel radang yang membuat kesulitan bernapas
karena peredaran oksigen dalam paru tidak lancer. Dari penyakit
pneumonia ini bisa menyebabkan komplikasi pneumothoraks.
Udara dari alveolus yang pecah disebabkan karena sumbatan atau
peradangan saluran bronkioli yang membuat udara bisa masuk
namun tidak bisa keluar. Lambat laun alveolus menjadi penuh
sehingga tak kuat menampung udara dan pecah.

2. Kondisi presipitasi dari kondisi pasien


a. Pekerjaan pasien
Pekerjaan seseorang merupakan salah satu faktor pencetus
dari PPOK bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia
atau debu yang tidak berbahaya, bisa meningkatkan resiko
terjadinya PPOK. Paparan intensif dan berkepanjangan untuk debu
di tempat kerja ditemukan dipertambangan batubara,
pertambangan emas, dan industri tekstil kapas dan bahan kimia
seperti kadmium, isosianat ,dan asap dari pengelasan seseorang
yang bekerja ditempat seperti itu dapat menyebabkan penurunan
fungsi paru-paru dan pengembangan obstruksi aliran udara. Pekerja
yang merokok dan terpapar partikel dan gas, bahkan lebih mungkin
untuk mengembangkan PPOK. Sebagai contohnya seorang
individu yang merokok dan bekerja di pabrik tekstil mempunyai
jumlah total partikel terhirup lebih banyak daripada orang yang
hanya merokok atau bekerja di daerah aman.

28
b. Lokasi bleb
Penggumpalan udara di subpleura di antara lapisan-lapisan
pleura viseral, yang disebabkan oleh rupturnya alveolus. Pada saat
alveoli dan septum terjadi kolaps,udara akan tertahan di antara
ruang alveolus yang disebut Bleb dan di antara parenkim paru
disebut Bullae. Proses ini akan menyebabkan peningkatan
ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas/darah. Akibatnya kerja napas meningkat
dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk
melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Kantung berisi
udara di paru-paru ini biasanya pecah dan udara bocor ke rongga
pleura sehingga menyebabkan pneumothoraks spontan.
Pada emfisema paraseptal yang merusak alveoli lobus
bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam
alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Emfisima paraseptal
merupakan merupakan sebagai sebab dari pneumothoraks
spontan(Soemantri, 2008).
Pneumotoraks spontan primer juga disebabkan karena rupture dari
bleb emfisematous di subpleura , lesi kecil tepat di bawah
permukaan pleura, yang diduga menjadi resiko pneumothorax
(laki-laki tinggi) karena faktor mekanis.
c. Adanya penyakit paru obstruksi kronik
Pneumothoraks spontan sekunder seringkali terjadi akibat
adanya riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya,
tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang mengalami
ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain adalah
Tuberkulosis Paru, asma lanjut, pneumonia,, CA Paru, Infeksi
Paru, Penyakit Paru Obstrukti Kronik (PPOK).
d. Efektivitas tatalaksana awal
Efektivitas tatalaksana awal tergantung pneumotoraks yang
dialami pasien. Penatalaksanaan bisa menjadi faktor pemicu jika

29
tidak dilakukan dengan baik dan benar. Pada prinsipnya
penanganan awal pneumotoraks berupa observasi dan pemberian
oksigen yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks
yang berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Pada
pneumotoraks katamenial beresiko terjadi pneumotaraks kembali
walaupun sudah dilakukan tatalaksana awal.
e. Jumlah episode pneumothoraks sebelumnya
Siapapun yang telah mengalami pneumotoraks akan
beresiko kembali mengalami pneumothoraks dalam waktu 1-5
tahun dari episode pertama. Ini dapat terjadi diparu-paru yang sama
atau paru-paru yang berlawanan. Setelah pneumotoraks spontan
primer, 30% pasien mengalami episode kedua dalam waktu 5
tahun. Setelah episode kedua, tingkat rekurensi meningkat di atas
50% dan oleh karenanya penderita disarankan untuk menjalani
pleurodesis. Setelah pleurodesis jarang terjadi rekurensi
(Sjamsuhidajat, 2005).
Tindakan bedah diperlukan, terutama jika drainase tabung tidak
berhasil atau seseorang telah mengulangi episode. Berbagai
perawatan, biasanya melibatkan pleurodesis (menempel paru-paru
ke dinding dada), dapat digunakan jika ada risiko signifikan
episode berulang dari pneumotoraks.

30
BAB IV
PEMBAHASAN JURNAL

A. ANALISA JURNAL
1. Pico
a. Jurnal Pertama
HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN
PPOK DI PAVILIUN CEMPAKA RSUD JOMBANG
P Semua pasien PPOK di Paviliun Cempaka RSUD Jombang.Sampel dalam
penelitian ini adalah sebagian pasien PPOK yang berjumlah 15 orang yang
ada di Paviliun Cempaka RSUD Jombang.
I Tidak ada intervensi
C Ada perbandingan yang significan antara orang yang merokok dengan
yang tidak merokok. Semakin tinggi tingkat merokok seseorang maka
semakin tinggi pula seseorang tersebut terkena PPOK dari pada yang tidak
merokok
O Ada hubungan perilaku merokok dengan kejadian PPOK hampir setengahnya
yaitu 46.7 % pasien merokok sedang dan 40% merokok berat. Dan hasil uji T-
tes dengan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05 menunjukkan hasil yaitu 0,00 yang
berarti ada hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian PPOK.

b. Jurnal kedua
Pulmonary Microvascular Blood Flow in Mild Chronic Obstructive
Pulmonary Disease and Emphysema

31
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruksi
Menahun (PPOM) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat pogresif nonreversibel atau reversibel parsial. Menurut Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisima atau
gabungan keduanya.
Data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) meyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit-penyakit
paru obtruksi kronis sebanyak 80-90% (kasana,2011).
Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terdiri dari : Bronkitis
Kronik, Emfisema. Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah : Batuk. Sputum putih atau mukoi,
jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen, Sesak. Sesak sampai
menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas. Diagnosa
Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi

B. Saran
Penulis berharap akademik menyediakan sumber buku dengan tahun dan
penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan karya
tulis ilmiah ini dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama dengan
pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.

32
DAFTAR PUSTAKA

Antariksa, Budhi Dkk. 2011. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Diagnosis
dan Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Glade, Jhonatan. 2007. At a Glance Anemis dan pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Erlangga.

Grace A. Pierce, Borley R. Nier. 2011. Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3. Pt Gelora
Aksara Pratama.

Jackson, D. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 1.Yogyakarta: Rapha


pubising.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku


Kedokteran.

Nurarif Amin Huda, Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta:
MediAction.

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Reeves, Charlene J. 2001. Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :


Salemba Medika.

Sudoyono Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

West, Jhon B. 2010. Patofisiologi Paru Esensial Edisi 6. Jakarta: EGC.

Hueper, Katja Dkk. 2015. Pulmonary Microvascular Blood Flow in Mild Chronic
Obstructive Pulmonary Disease and Emphysema,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4595687/. Diunduh pada
tanggal 14 Maret 2017. Pada pukul 17.00 WIB.

33

Anda mungkin juga menyukai