GEMPABUMI
DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN SEKITARNYA
MENGGUNAKAN DASAR PETA DEAGREGASI PROBABILISTIK
TERLAMPAUI 2% DALAM 50 TAHUN
SKRIPSI
Oleh:
TRI RATNA RAHAYU RAHMAWATI
NPT. 34.13.0026
SKRIPSI
Oleh:
TRI RATNA RAHAYU RAHMAWATI
NPT. 34.13.0026
i
PETA PERKIRAAN TINGKAT GONCANGAN (SHAKEMAP) GEMPABUMI
DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN SEKITARNYA
MENGGUNAKAN DASAR PETA DEAGREGASI PROBABILISTIK
TERLAMPAUI 2% DALAM 50 TAHUN
Disusun oleh
TRI RATNA RAHAYU RAHMAWATI
NPT.34.13.0026
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya, Tri Ratna Rahayu Rahmawati, NPT. 34.13.0026, menyatakan bahwa skripsi
dengan judul “Peta Perkiraan Tingkat Goncangan (Shakemap) Gempabumi Di
Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya Menggunakan Dasar Peta Deagregasi
Probabilistik Terlampaui 2% Dalam 50 Tahun” merupakan karya asli. Seluruh ide
yang ada dalam skripsi ini, kecuali yang saya gunakan sebagai kutipan, merupakan
pendapat yang saya susun sendiri. Selain itu, tidak ada bagian dari skripsi ini yang
telah saya gunakan sebelumnya untuk memperoleh gelar atau sertifikat akademik.
Jika pernyataan di atas terbukti sebaliknya, maka saya bersedia menerima sanksi yang
ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
iii
PETA PERKIRAAN TINGKAT GONCANGAN (SHAKEMAP) GEMPABUMI
DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN SEKITARNYA
MENGGUNAKAN DASAR PETA DEAGREGASI PROBABILISTIK
TERLAMPAUI 2% DALAM 50 TAHUN
ABSTRAK
DKI Jakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia merupakan pusat segala kegiatan.
Dari mulai kegiatan ekonomi, politik maupun sosial. Dari kajian seismotektonik,
bahwa letak geografis DKI Jakarta dikelilingi oleh sumber-sumber gempa aktif yang
menyebabkan jika terjadi suatu gempabumi maka tingkat goncangannya dapat
dirasakan sampai DKI Jakarta. Perlu adanya penelitian untuk mengetahui perkiraan
goncangan akibat gempabumi di wilayah sekitar DKI Jakarta dengan menggunakan
nilai PGA di batuan dasar berdasarkan peta deagegrasi Magnitude ( M ) dan Jarak (
R ).
Sumber parameter yang di dapat dari dasar peta deagregasi, dasar peta subduksi,
dasar peta sumber gempa patahan, dan juga dasar peta sebaran episenter dianalisa
menggunakan ArcView GIS yang menghasilkan suatu skenario parameter sumber
gempa. Skenario ini diolah dengan menggunakan software Shakemap. Dari hasil yang
diperoleh, dapat terlihat bahwa wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya diperkirakan akan
merasakan goncangan gempabumi pada skala IV hingga VI MMI.
iv
ESTIMATION MAP ON THE SHAKE LEVEL
USING DEAGREGATION MAP
WITH PROBABILISTIC 2% IN 50 YEARS
AT DKI JAKARTA AND SURROUNDING AREA
ABSTRACT
DKI Jakarta as the capital city of Indonesia is the center of activities such as
economy, politics, and social. Seismotectonically, Jakarta is surrounded by active
seismic setting which leads to earthquakes whose energy spreads out and turn into the
ground shaking. Therefore, research was carried out to determine the approximate
ground shaking in the region by using PGA value at bedrock based on the
deagregation map of magnitude (M) and distance (R).
Source parameters which are obtained from the base map of deagregation,
subduction, fault, and seismicity were analyzed by applying ArcView GIS which
creates a scenario on earthquake source parameters. This scenario is processed by
Shakemap. As a results, it shows Jakarta area and its surrounding are expected to feel
the ground shaking of earthquake on scale IV to VI MMI.
v
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan
ridho-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penyelesaian skripsi yang berjudul “Peta Perkiraan Tingkat Goncangan
(Shakemap) Gempabumi Di Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya Menggunakan
Dasar Peta Deagregasi Probabilistik Terlampaui 2% Dalam 50 Tahun” ini disusun
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Sarjana Sains
Terapan Geofisika, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(STMKG).
Selama penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari telah banyak mendapat
bimbingan, dorongan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bpk. DR. Andi Eka Sakya, M.Eng, selaku Kepala Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika.
2. Bpk. Sigit Pramono, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktu membimbing penulis dalam pembuatan skripsi ini.
3. Drs. Darwin Harahap, M.Si dan Bpk. Drs.Muhammad Husni, Dipl. Seis, selaku
Dosen Penguji.
4. Bpk. Dr. Suko Prayitno Adi, M.Si, selaku Ketua Sekolah Tinggi Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika.
5. Bpk. Drs. Ibnu Purwana, M.Sc, selaku Ketua Program Studi DIV Geofisika,
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
6. Seluruh Dosen dan civitas akademik Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika.
7. Bpk. Joko Siswanto, S.Sos, selaku Kepala Balai Besar Meteorologi dan Geofisika
Wilayah II.
8. Para staff Bidang Seismologi Teknik, Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, yang telah banyak membantu dan membagi pengetahuan kepada
penulis.
9. Para staff Manajemen Data BBMG Wilayah II Jakarta yang selalu mendukung dan
mendoakan penulis.
10. Suami tercinta, W. Yudha Laksana dan anak-anak tersayang, Fadhil Satria Putra
Laksana dan Arfan Ramadhan Putra Laksana yang senantiasa setia mendampingi,
memberi dorongan dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Kedua Orang tua beserta keluarga, yang selalu memberikan semangat dan doa
kepada penulis.
vi
12. Rekan satu bimbingan Moh. Iqbal Tawakal dan Herlina A.A.M Narwadan yang
saling membantu dalam penyelesaian skripsi ini, serta seluruh rekan Geofisika
DIV angkatan pertama untuk kebersamaannya satu tahun ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu kritik dan saran untuk
perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM .......................................................................................................... i
PENGESAHAN ............................................................................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................................ iv
ABSTRACT ...................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................. 2
1.4 Kegunaan Penelitian .......................................................................................... 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 4
2.2. Landasan Teori .................................................................................................... 5
2.2.1 Shakemap .......................................................................................................... 5
2.2.1.1 Sejarah Shakemap .................................................................................. 5
viii
2.2.1.2 Pengenalan Shakemap... ........................................................................ 6
2.2.1.3 Skenario Shakemap ... ............................................................................ 9
2.2.2 Gelombang Seismik .......................................................................................... 10
2.2.2.1 Gelombang Badan (Body Wave) ........................................................... 10
2.2.2.2 Gelombang Permukaan .......................................................................... 11
2.2.2.3 Gelombang Rayleigh.............................................................................. 12
2.2.2.4 Parameter Gerakan Tanah ...................................................................... 15
2.2.2.5 Kecepatan Gelombang Geser (Vs) ......................................................... 16
2.2.3 Identifikasi Dan Pemodelan Sumber Gempa .................................................... 18
2.2.3.1 Sumber-Sumber Gempa Dalam Psha..................................................... 18
2.2.3.2 Deagregasi Probabilistik Seismic-Hazard.............................................. 20
2.2.3.3 Analisa Hazard Kegempaan ................................................................... 23
2.2.3.4 Kondisi Seismotektonik Dki Jakarta ...................................................... 24
2.2.4 Intensitas Gempabumi ..................................................................................... 30
2.3 Hipotesis .............................................................................................................. 34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian ................................................................................................. 36
3.2.Peralatan Penelitian .............................................................................................. 36
3.3.Variabel Data ..................................................................................................... 36
3.4 Cara Pengumpulan Data ...................................................................................... 37
3.5 Cara Pengolahan Data .......................................................................................... 40
3.6 Cara Analisa Data ................................................................................................ 43
ix
BAB IV
BAB V
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Tabel Skala Modified Mercalli Intensity
(http://earthquake.usgs.gov/research/shakemap/#intmaps
) 9
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Kepanikan warga Jakarta saat terjadi gempabumi
Tasikmalaya 2 September 2009 (Sumber gambar
: Republika.co.id dan Vivanews) 1
Gambar 2.1 Gerakan Partikel Gelombang Rayleigh (Sholihah
dan Santosa, 2009) 13
Gambar 2.2 Sifat penetrasi partikel gelombang Rayleigh
(Sumber : Rosyidi, 2006) 15
xii
Gambar 3.8 Peta Pengaruh Patahan di Sekitar Wilayah DKI
Jakarta 43
Gambar 3.9 Penentuan Pusat Parameter Gempabumi Dengan
Radius 100 km 44
Gambar 3.10 Penentuan Pusat Parameter Gempabumi Dengan
Radius 120 km 45
Gambar 3.11 Penentuan Pusat Parameter Gempabumi Dengan
Radius 150 km 45
Gambar 3.12 Diagram Alir Penelitian 47
Gambar 4.1 Hasil Shakemap Untuk Skenario Satu 49
Gambar 4.2 Hasil Estimasi untuk Skenario Satu 50
Gambar 4.3 Hasil Shakemap Untuk Skenario Dua 51
Gambar 4.4 Hasil Estimasi untuk Skenario Dua 52
Gambar 4.5 Hasil Shakemap Untuk Skenario Tiga 53
Gambar 4.6 Hasil Estimasi untuk Skenario Tiga 54
Gambar 4.7 Hasil Shakemap Untuk Skenario Empat 55
Gambar 4.8 Hasil Estimasi untuk Skenario Empat 56
Gambar 4.9 Hasil Shakemap Untuk Skenario Lima 57
Gambar 4.10 Hasil Estimasi untuk Skenario Lima 58
Gambar 4.11 Hasil Shakemap Untuk Skenario Enam 59
Gambar 4.12 Hasil Estimasi untuk Skenario Enam 60
Gambar 4.13 Grafik Hubungan Jarak dan Intensitas untuk
Skenario Satu 63
Gambar 4.14 Grafik Hubungan Jarak dan Intensitas untuk
Skenario Dua 63
Gambar 4.15 Grafik Hubungan Jarak dan Intensitas untuk
Skenario Tiga 63
Gambar 4.16 Grafik Hubungan Jarak dan Intensitas untuk
Skenario Empat 63
Gambar 4.17 Grafik Hubungan Jarak dan Intensitas untuk
Skenario Lima 64
Gambar 4.18 Grafik Hubungan Jarak dan Intensitas untuk
Skenario Enam 64
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 2. Data Gempabumi Untuk wilayah wilayah 5 – 7.5 Lintang Selatan dan
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
DKI Jakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia merupakan pusat segala kegiatan. Dari
mulai kegiatan ekonomi, politik maupun sosial. Dari informasi yang didapatkan sampai saat ini,
belum ditemukan adanya episenter gempabumi di wilayah DKI Jakarta, namun jika dilihat kembali
letak geografisnya, DKI Jakarta dikelilingi oleh sumber gempa dengan berbagai jenis sumber. Baik
Sudah beberapa kali DKI Jakarta dapat merasakan goncangan yang dihasilkan gempabumi
yang berasal dari sekeliling DKI Jakarta. Perlu adanya pengkajian ilmiah mengenai perkiraan
seberapa besar goncangan yang diterima DKI Jakarta dan sekitarnya jika terjadi suatu gempabumi
1
Dengan menggunakan data dukung yang diambil dari peta deagregasi M dan R, peta
patahan dan peta subduksi, akan didapatkan suatu perkiraan parameter yang akan di masukan
kedalam skenario shakemap. Nantinya dari pengolahan data parameter tersebut akan didapatkan
Perlu adanya perkiraan goncangan akibat gempabumi di wilayah sekitar DKI Jakarta
dengan menggunakan nilai PGA di batuan dasar berdasarkan peta deagegrasi Magnitudo (M)
dan Jarak ( R ). Maka dari itu penulis mencoba melakukan analisa tersebut untuk mengetahui
seberapa besar DKI Jakarta diancam oleh gelombang seismik yang diakibatkan oleh gempabumi
Dalam penelitian ini, penulis tidak melakukan analisa deagregasi untuk wilayah DKI
Jakarta. Peta deagregasi dalam penelitian ini digunakan sebagai data dasar untuk melakukan
penelitian ini.
Hasil akhir yang diberikan dalam penelitian ini bukan hanya menggambarkan perkiraan
goncangan di wilayah DKI Jakarta, namun juga di sekitar DKI Jakarta sebagai akibat dari
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari analisa ini adalah untuk mendapatkan gambaran goncangan di wilayah
DKI Jakarta dan sekitarnya saat terjadi gempabumi di daerah – daerah sekeliling DKI Jakarta.
2
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penellitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran informasi mengenai
besarnya goncangan yang diterima di DKI Jakarta dan sekitarnya sebagai efek dari gempabumi
yang terjadi di sekitar wilayah DKI Jakarta. Selain itu, nantinya hasil penelitian ini dapat digunakan
juga sebagai dasar pertimbangan dalam membangun suatu struktur bangunan di DKI Jakarta dan
sekitarnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
deagregasi suatu wilayah. Defriyadi (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Deagregasi
berdasarkan criteria desain yang disyaratkan dalam SNI 03-1726-2002, yaitu untuk umur
bangunan 50 tahun dan nilai probabilitas terlampaui 10%. Deagregasi hazard ini
dibutuhkan dalam analisis hazard kegempaan untuk menetapkan pengendali jarak dan
magnitude gempa dalam periode ulang tertentu. Hasil akhir dari penelitian ini berupa peta
deagregasi hazard untuk wilayah Sumatera Barat dengan periode ulang 500 tahun.
Penelitian Asrurifak dkk (2012) yang berjudul “Peta Deagregasi Hazard Gempa
Indonesia Untuk Periode Ulang Gempa 2475 Tahun”, melakukan penelitian untuk
memperoleh peta deagregasi hazard gempa untuk memperkirakan gempa penentu dari suatu
wilayah. Penelitian ini menghasilkan peta deagregasi M & R pada level hazard 2% dalam
50 tahun yang menggambarkan suatu kejadian gempa penentu sebagai fungsi dari
percepatan puncak yang dihasilkan. Selanjutnya hasil dari penelitian ini dijadikan peta
4
dasar oleh penulis untuk melakukan penelitian ini.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Asrurifak dkk (2012) selanjutnya oleh
penulis dijadikan dasar peta untuk menentukan peta perkiraan tingkat goncangan
(Shakemap) di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Penulis juga menambahkan peta dasar
lainnya seperti peta dasar subduksi, peta dasar sumber gempa patahan, dan juga peta
sebaran episenter. Dengan menggunakan dasar peta tersebut penulis melakukan analisa
untuk menentukan suatu skenario parameter sumber gempa yang akan diolah dengan
2.2.1 Shakemap
oleh Wald dan Vincent Quitoriano pada tahun 1996 ketika jumlah stasiun real-time strong
California (Wald and others,1997). Konsepnya mereka menginginkan sistem yang cepat
dan otomatis, hasil petanya menggambarkan tingkat goncangan yang di terima suatu daerah
akibat gempabumi.
dari sistem TriNet (Mori and others, 1998 and Hauksson and others, 2002). Sistem TriNet
5
terdiri dari U.S Geological Survey (USGS), Institut Teknologi California (Caltech) dan
Divisi Pertambangan dan Geologi California (CDMG, yang sekarang bernama California
Geological Survey, CGS). Shakemap mendapatkan dana dari USGS, Kantor Pemerintahan
Tanggap Darurat California (OES) melalui Badan Manajemen Tanggap darurat (Federal
(Hazard Mitigation Grant Program), Badan Perdagangan California (California Trade and
Technology Investment Partnerhip Program) dan juga kontribusi dari sektor swasta.
di seluruh dunia, agar mereka dapat mendapatkan data strong-motion secara real-time.
Software Shakemap yang asli telah di disain ulang oleh Bruce Worden (Caltech, yang
sekarang bernama USGS) dan Craig Scrivner (dulunya CDMG). Pengembangan software
yang sedang berlangsung berada di bawah pimpinan dari Worden and Quitoriano bagian
dari Sistem Lanjutan Seismik Nasional (Advance National Seismic System, ANSS).
Shakemap dihasilkan juga di daerah seismik aktif lainnya di Amerika Serikat, dimana
gempabumi. Informasi yang diberikan berbeda dengan besarnya gempa dan pusat
6
terjadinya gempa yang biasanya di berikan setelah kejadian gempabumi, Shakemap fokus
pada bergetarnya tanah akibat gempabumi, bukan parameter yang menggambarkan sumber
gempa. Gempabumi memiliki magnitude dan episenter yang spesifik, hal ini menghasilkan
berbagai tingkatan getaran tanah yang didapat disuatu wilayah tergantung pada jarak dari
pusat gempabumi, kondisi batuan dan tanah, dan juga variasi propagansi gelombang
Strategi untuk menghasilkan peta respon cepat gerakan tanah adalah untuk
menentukan format terbaik, yang nantinya akan diberikan kepada berbagai jenis kalangan
percepatan tanah maksimum dan peta kecepatan maksimum, tetapi juga penurunan
intensitas, untuk memperkirakan skala Modified Mercalli Intensity. Peta ini lebih
memudahkan untuk menghubungkan antara gerakan tanah yang didapat dengan tingkat
kerusakan yang terjadi. Peta intensitas ini didasarkan pada gabungan regresi dari rekaman
merupakan pemetaan awal dari getaran tanah yang diterima, biasanya dikeluarkan beberapa
menit setelah gempabumi terjadi. Nilai percepatan dan kecepatan yang didapat merupakan
nilai yang pertama kali muncul, bukan merupakan hasil pengamatan manusia. Selanjutnya,
7
karena gerakan tanah dan intensitas dapat berubah-ubah nilai secara signifikan dalam jarak
berdasarkan kecepatan maksimum untuk intensitas lebih besar dari VII, dan percepatan
maksimum untuk intensitas kurang dari VII sangat cocok. Hal ini konsisten dengan
pernyataan bahwa intensitas rendah ditentukan oleh jumlah yang dirasakan (sensitive
dengan percepatan). Kerusakan sedang, dengan intensitas VI-VII, biasanya terjadi pada
struktur yang kaku (dinding batu, cerobong asap, dll) yang juga sensitive terhadap frekuensi
tinggi (percepatan) gerakan tanah. Sesuai dengan tingkat kerusakan yang meningkat, maka
kerusakan pun dapat terjadi di struktur yang fleksibel, dengan tingkat kerusakan sebanding
dengan kecepatan tanah yang didapat, bukan percepatan. Dengan menghubungkan rekaman
gerakan tanah dan Modified Mercalli Intensity, kita dapat memperkirakan tingkat getaran
Tabel yang mendeskripsikan Skala MMI berasal dari ABAG (Association of Bay
Area Governments). Tabel intensitas ini berdasarkan nilai PGA(Peak Ground Acceleration)
dan PGV (Peak Ground Velocity) yang ada di Shakemap. Shakemap menggunakan PGA
untuk memperkirakan intensitas dibawah skala V MMI, kombinasi PGA dan PGV
digunakan untuk memperkirakan intensitas antara skala V-VII MMI, dan PGV digunakan
8
Tabel 2.1 Tabel Skala Modified Mercalli Intensity
(http://earthquake.usgs.gov/research/shakemap/#intmaps)
Skenario menggambarkan perkiraan gerakan tanah dan efek yang spesifik dari suatu
gempabumi. Dalam perencanaan dan koordinasi tanggap darurat, perlu dilakukan latihan
berdasarkan situasi gempabumi yang sesuai dengan kenyataan, sehingga masyarakat sudah
siap dalam menghadapinya. Skenario gempabumi dapat mengisi peran ini, skenario ini bisa
dihasilkan dengan sejarah gempabumi dan periode ulang gempabumi, dengan langkah-
langkah berikut.
Pertama, mengasumsikan patahan atau segmen patahan akan patah sepanjang luasan
tertentu sesuai dari sifat patahan. Untuk sejarah gempabumi, dimensi patahan yang
sebenarnya dapat dibatasi berdasarkan observasi atau pemodelan yang sudah ada. Kedua,
Skenario gempabumi ini bukan merupakan prediksi gempabumi. Artinya, tidak ada
yang tahu kapan dan seberapa besar gempabumi yang akan terjadi nantinya. Namun, jika
9
kita berasumsi tentang ukuran dan lokasi gempabumi di masa depan, kita dapat membuat
prediksi yang beralasan berdasarkan efek yang dihasilkan dari asumsi suatu gempabumi,
khususnya mengenai bagaimana tanah akan bergetar. Pengetahuan tentang potensi efek
bergetarnya tanah menjadi manfaat utama dari skenario gempabumi untuk perencanaan dan
dalam bumi dan melalui permukaan bumi, akibat adanya lapisan batuan yang patah secara
tiba-tiba atau adanya suatu ledakan. Gelombang seismik sangat bermanfaat di dalam
investigasi permukaan bumi. Ada dua tipe gelombang seismik yaitu, gelombnag badan
(body wave) dan gelombang permukaan (surface wave) (Ibrahim dan Subardjo, 2005).
Gelombang badan merupakan gelombang yang menjalar dalam media elastik dan
biasa disebut free wave, karena dapat menjalar ke segala arah di dalam bumi. Gelombang
badan terdiri atas dua gelombang, yaitu gelombang primer atau primary wave (P-wave)
dan gelombang sekunder atau secondary wave (S-wave) (Ibrahim dan Subardjo, 2005).
dimana gerakan partikelnya sejajar dengan arah perambatannya. Gelombang primer atau
10
gelombang P memilki kecepatan paling tinggi diantara gelombang lain dan merupakan
gelombang yang tiba pertama kali di permukaan bumi (Ibrahim dan Subardjo, 2005).
gerakan partikelnya terletak pada suatu bidang yang tegak lurus dengan arah
gelombang S teridri dari dua komponen, yaitu gelombang SH dengan gerakan partikel
permukaan dan biasa disebut sebagai tide wave (Ibrahim dan Subardjo, 2005). Gelombang
permukaan merupakan gelombang yang kompleks dengan frekuensi yang rendah dan
amplitudo yang besar, dan juga telah bercampur antara gelombang permukaan maupun
permukaan dapat menjelaskan dan menggambarkan struktur mantel atas dan permukaan
Gelombang permukaan memiliki sifat dan gerak partikel media yang sama dengan
gelombang P atau gelombang S. Gelombang permukaan terdiri atas dua tipe berdasarkan
sifat gerakan media partikel, yaitu gelombang Love dan gelombang Rayleigh (Susilawati,
2008). Gelombang love dan gelombang Rayleigh menjalar melalui permukaan bebas dari
11
bumi atau lapisan atas diskontinuitas, antara kerak dan mantel bumi. Gelombang Love dan
Rayleigh memiliki amplitudo gelombang yang terbesar pada permukaan dan mengecil
a. Gelombang Love
bentuk gelombang transversal, yakni memiliki gerakan partikel yang sama dengan
b. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh memiliki gerak partikel yang merupakan suatu bidang elips,
dimana bidang elips ini vertikal dan berhimpit dengan arah penjalarannya, gerakan
partikelnya ke belakang (bawah, maju, atas, mundur). Hal ini ditunjukkan bahawa
adanya interferensi antara gelombang tekan dengan gelombang geser secara konstruktif
12
(Sholihan dan Santosa, 2009). Hal ini menunjukkan gelombang Rayleigh merupakan
Rayleigh memiliki lintasan gerak partikel yang berbentuk elips, dimana gerak partikel ini
vertikal dan berimpit dengan arah penjalarannya yang ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Gerakan Partikel Gelombang Rayleigh (Sholihan dan Santosa, 2009)
menjalar sepanjang permukaan bebas dari bumi atau lapisan batas diskontinuitas antara
kerak dan mantel bumi. Amplitudo gelombnag Rayleigh terbesar pada permukaan dan
Gelombang Rayleigh ditemukan oleh Jon William Struy dan Lord Rayleigh melalui
merupakan salah satu jenis gelombang yang merambat pada medium half space. Dimana
medium half space adalah suatu massa atau media tanah yang mempunyai batas di
13
dengan adanya gelombang Rayleigh maka pencitraan struktur bawah permukaan dapat
dengan mudah diaplikasikan pada karateristik geoteknik. Hal ini dikarenakan perambatan
gelombang Rayleigh yang melewati batas lapisan material bumi, akan mengalami dispersi
sedangkan gelombang S memiliki persentasi energi mekanik sebesar 26% dan gelombang
P sebesar 7%, sehingga gelombang Rayleigh sangat baik digunakan untuk meneliti
struktur bawah tanah, karena pengurangan energi di dalam perambatannya lebih rendah
dari gelombang-gelombang yang lain (Sholihan dan Santosa, 2009). Dengan persentasi
energi mekanik yang sebesar 67% maka perambatan gelombang Rayleigh bergerak
perambatan. Pergerakan gelombang Rayleigh berlaku secara menyebar atau dispersi yang
merupakan suatu fenomena natural dari fungsi kecepatan terhadap panjang gelombang dan
frekuensinya (Rosyidi, 2006). Panjang gelombang pendek dengan frekuensi tinggi hanya
merambat pada permukaan yang dangkal, sedangkan panjang gelombang yang panjang
dengan frekuensi yang rendah dapat merambat lebih dalam. Hal ini menunjukkan bahwa
penetrasi gelombang Rayleigh pada suatu media diperngaruhi oleh panjang gelombang
14
Gambar 2.2 Sifat penetrasi partikel gelombang Rayligh (Sumber: Rosyidi, 2006).
Untuk memberikan gambaran tentang karakteristik dari gerakan tanah ialah dengan
mengetahui parameter gerakan tanah. Adapun parameter gerakan tanah ialah (Sukanta,
2010):
1. Parameter amplituda.
dan pepindahan.
efek dari gerakan tersebut sehingga karakterisasi gerkan tidak lengkap tanpa pertimbangan
15
kandungan frekuensi. Parameter kandungan frekuensi berupa spektrum pergerakan tanah,
3. Durasi.
Durasi dari getaran kuat dapat memiliki pengaruh kuat terhadap kerusakan akibat
akumulasi energi. Semakin besar magnituda yang dihasilkan dari suatu gempabumi, maka
Parameter gerakan tanah yang dimaksud berupa percepatan rms (root mean
squared) karena mempengaruhi amplituda dan kandungan frekuensi dari getaran tanah
dalam bumi yang tegak lurus dengan arah penjalaran gelombang, oleh karena itu kecepatan
gelombang geser (Vs) dapat menentukan sifat kekakuan tanah. Menurut Ariestianty dkk,
2009 hubungan dari kecepatan gelombang geser (Vs) dengan nilai kekakuan tanah
merupakan suatu hubungan elastis linier. Semakin besar nilai kecepatan gelombnag geser
maka nilai kekakuan tanah semakin besar, hal ini menunjukkan bahwa karateristik tipe
tanah tersebut semakin keras dan padat. Menurut Stoke dkk, 2004 bahwa pengaruh tingkat
kejenuhan tanah pada kecepatan gelombang geser berkaitan dengan kepadatan tanah.
16
Semakin rendah tingkat kejenuhan tanah maka semakin tinggi nilai kecepatan gelombang
geser (Vs) (Ariestianty dkk, 2009). Menurut Rosser dan Gosar, 2010 bahwa nilai kecepatan
memperkirakan bahaya gempabumi dan penentuan standar banguna tahan gempa (Mufida
dkk, 2013).
Estimasi nilai kecepatan gelombang geser (Vs) untuk kedalaman tanah dapat
dilakukan dengan menggunakan metode seismik. Metode seismik yang digunakan untuk
Surface Waves (MASW) Satu Dimensi, dengan kedalaman kecepatan gelombang geser
yaitu 30 meter (Vs30). Proses penentuan profil kecepatan gelombang geser dilakukan
berupa pemukulan palu, sehingga terjadi perambatan gelombang dan direkam oleh 24
geofon yang ditanam ke dalam tanah pada satu lintasan garis penelitian.
2. Pembuatan kurva dispersi, pada tahap ini gelombang seismik yang direkam dalam
domain waktu dan jarak ditransformasikan ke dalam domain frekuensi dan kecepatan
fase gelombang.
3. Inversi Kecepatan gelombang geser (Vs) dari kurva dispersi hasil perhitungan.
kawasan ruang, sehingga didapatkan kontur nilai kecepatan rata-rata gelombang geser pada
17
kedalaman 30 meter dari setiap lapisan tanah. Kecepatan rata-rata gelombang geser dari
tiap-tiap lapisan dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Standar
(2.1)
Diketahui notasi dalam persamaan (2.1) adalah: (tebal setiap lapisan antara kedalaman 0
salah satu gelombang seismik yaitu gelombang Rayligh yang merupakan gelombang
permukaan.
(PSHA) dari USGS diklasifikasikan dalam tiga jenis zona sumber gempa, yaitu :
a. Zona Subduksi
Zona kejadian gempa yang terjadi didekat batas pertemuan antara lempeng samudera
yang menunjam masuk ke bawah lempeng benua. Kejadian gempa akibat thrust fault,
18
normal fault, reverse slip dan strike slip yang terjadi sepanjang pertemuan kempeng dapat
diklasifikasikan sebagai zona subduksi. Dalam penelitian ini,zona subduksi yang dimaksud
adalah zona megathrust, yakni sumber gempa subduksi dari permukaan hingga kedalaman
50 km.
b. Zona Fault
Zona kejadian gempa patahan dangkal (shallow crustal fault) dengan mekanisme
strike-slip, reverse, atau normal yang terjadi pada patahan-patahan yang sudah terdefinisi
dengan jelas, termasuk soal mekanisme slip rate,dip, panjang dan lokasinya.
c. Zona Background
Sumber gempa yang belum diketahuin secara jelas, tetapi pada tempat tersebut
didapati adanya beberapa kejadian gempa (kejadian gempa yang belum diketahui jenis
sesarnya). Dalam program PSHA dari USGS, jika lokasi/posisi strike sumber background
Sebaliknya jika sumber tersebut tidak diketahui dengan jelas, maka sumber background
dimodelkan sebagai sumber titik untuk magnitude kurang dari 6, dan sebagai random strike
untuk gempda dengan magnitude lebih dari atau sama dengan 6. Panjang sumber gempa
19
2.2.3.2 Deagregasi Probabilistik Seismic-Hazard
Konsep dasar dari deagregasi adalah menghitung ancaman gempa, berdasarkan pada
kumpulan hasil dari semua kejadian gempa dan ground motion yang mungkin dapat terjadi
di masa datang.
Pasangan satu magnitude ( M ) dan jarak dari site ke sumber ( R ) yang dominan,
hazard akibat gempa dapat diekspresikan dalam satu fungsi, secara sendiri – sendiri
maupun bersama – sama. Konsep ini ditunjukan deagregasi seismik ( McGuire, 1995 )
yang dapat memberikan gambaran umum tentang magnitude gempa dan jarak untuk
sumber gempa tertentu, yang kemungkinan berpengaruh besar terhadap site. Dalam proses
deagregasi dibutuhkan rate rata – rata kejadian yang merupakan fungsi dari magnitude dan
jarak. Deagregasi dapat dilakukan dengan memisah suku-suku yang berkaitan dengan
magnitude dan jarak dari integrasi persamaan (1). Sebagai contoh laju tahunan rata-rata
kejadian dapat diekspresikan sebagai fungsi magnitude saja seperti berikut (Kramer,
1996)
(2.2)
Serupa dengan itu, laju tahunan rata-rata kejadian dapat diekspresikan sebagai fungsi
(2.3)
20
Kemudian laju tahunan rata-rata kejadian yang diekspresikan sebagai fungsi
(i,mj,rk)
λx ( x ) = P ( M = mj) P ( R = rk) Pi( X > x|mj,rk ) (2.4)
Persamaan (1) sampai dengan (3) memberikan laju tahunan rata-rata kejadian
untuk sumber i untuk magnitude ke-j dan jarak ke-k saja. Oleh karena itu, laju tahunan
(i,m,r) (i,mj,rk)
λx ( x ) = Σ jk λx (x) (2.5)
(m,r) (i,m,r)
λx ( x ) = Σi λx (x) 2.6)
rentang-j dari rasio antara laju tahunan rata-rata untuk magnitude ke-j dan laju tahunan rata-
(2.7)
Deagregasi jarak untuk sumber ke-i, RDi, merupakan penjumlahan dalam rentang-k
dari rasio antara laju tahunan rata-rata untuk jarak ke-k dan laju tahunan rata-rata untuk
21
(2.8)
Dengan cara serupa seperti menentukan deagregasi magnitude dan jarak untuk
sumber ke-i, maka degaregasi magnitude dan jarak untuk semua sumber adalah sebagai
berikut:
( 2.9)
(2.10)
Secara keseluruhan, deagregasi serupa dengan membuka misteri dari seismic hazard
yang menyediakan visualisasi dan pengertian tentang pentingnya magnitude dan jarak
spesifik dalam persoalan ini. Harus dicatat, bahwa sesungguhnya metode ini merupakan
perluasan secara matematik dari analisis probabilitik dasar yang disampaikan pada paragraf
yang terdahulu dan sama sekali tidak menggantikan apa yang seharusnya ada dalam studi
sismologi dari suatu daerah untuk memilih gempa desain (Nicolaou A.S., 1998). Beberapa
studi telah dapat menjelaskan tentang adanya sepasang M dan R yang sangat signifikan
pada sumber seismic tertentu Variasi deagregasi dengan perioda struktur untuk satu level
22
tertentu dari spektra percepatan dapat mengindikasikan tipe dari gerak tanah dalam
kaitannya dengan magnitude dan jarak, yang harus dipertimbangkan dalam analisis time
Metode yang digunakan dalam melakukan analisa hazard gempa adalah metode
Menurut Reiter,1990 tipikal metode PSHA ini digambarkan dalam empat tahapan, yang
terdiri dari :
1. Identifikasi dan karakterisasi semua sumber gempa di suatu lokasi yang mungkin
gempa meliputi penjelasan masing-masing geometri sumber gempa, potensi gempa dan
masing-masing zona sumber, dengan menganggap bahwa gempa yang terjadi memiliki
besaran yang sama pada semua titik didalam zona sumber. Distribusi tersebut kemudian
sumber ke lokasi.
23
Parameter ini dapat digunakan untuk memprediksi nilai maksimum gempa dari sumber
gempa.
3. Ground motion yang dihasilkan oleh gempa pada suatu lokasi dengan ukuran tertentu
pada lokasi tertentu di setiap zona sumber harus ditentukan menggunakan predictive
4. Penggabungkan perkiraan lokasi gempa, ukuran gempa dan parameter ground motion
tertentu.
Kondisi Seismotektonik kota DKI Jakarta, secara umum dipengaruhi oleh zona
sunda Arc, zona Subduksi Sunda Arc, dan zona patahan pada kerak dangkal (shallow
Sunda Arc adalah salah satu zona gempa yang paling aktif di Indonesia, yang
terbentang sekitar 5600 km antara Kepulauan Andaman di barat laut dan Banda Arc di
timur (Gambar 2.1). Busur ini terbentuk dari pertemuan dan subduksi lempeng Indo–
menuju arah utara-selatan dengan kecepatan sekitar 7,7 cm/tahun (DeMets et.al, 1990).
Berdasarkan perkiraan arah pergerakan lempeng dan fakta geologi, pergerakan relatifnya
24
adalah normal terhadap busur di Pulau Jawa dan memiliki sudut miring di dekat Sumatera
dimana komponen pergerakan paralel terhadap busur diakomodasi sepanjang sistem strike-
Zona subduksi Sunda Arc terbagi menjadi Segmen Sumatra, Segmen Transisi, dan
Segmen Jawa. Segmen Sumatera dari zone subduksi Sunda Arc terbentang dari Selat Sunda
hingga Laut Andaman. Oceanic crust yang menunjam tergolong relative muda, sekitar 46
juta tahun, dibandingkan dengan lempeng yang menunjam sepanjang segmen Jawa yang
25
berumur sekitar 150 juta tahun. Aktivitas gempa pada zona ini terbentang mulai dari gempa
dekat trench sampai kedalaman sekitar 250 km dan dibawah kedalaman 100 km, dengan
dip dari slab yang bergerak ke bawah sekitar 30° dan 40°.
Gambar 2.4 Zona-zona rupture gempa sepanjang Segmen Sumatra (Newcomb &
McCann, 1987)
Beberapa gempa besar (Ms > 7) dan sangat besar (Ms > 7,75) dilaporkan oleh
Newcomb & McCann (1987) sepanjang perbatasan lempeng Sumatra. (Gambar 2.4)
memperlihatkan perkiraan daerah gempa antar lempeng yang pernah terjadi di sepanjang
Segmen Sumatra. Gempa historis yang paling nyata yang pernah terjadin pada segmen ini
yaitu pada tahun 1833 dengan Mw = 8,8 , dan tahun 1861 dengan Mw=8,5. Beberapa
gempa moderat (6<Mw<7) dan gempa besar juga dilaporkan sepanjang busur ini tampak
berhubungan dengan ujung rupture zone dari gempa besar dan dengan heterogenitas
26
pertemuan lempeng. Fault rupture dari gempa pada tahun 1833 memanjang hingga ke
Enggano dan Selat Sunda (sebagai contoh bagian selatan Segmen Sumatra) juga berbeda.
Pada bagian ini aktivitas seismic dan potensi terjadinya gempa yang sangat besar lebih
Jumlah coseimic slip yang berhubungan dengan kejadian gempa historis pada
pergerakan relative lempeng. Sehingga diperkirakan pada masa yang akan dating
akumulasi dari strain energy juga akan dihasilkan dalam gempa besar dan sangat besar
Selat Sunda terletak pada zona transisi antara Segmen Sumatra dan Segmen Jawa
dari Sunda Arc dan merupakan area paling aktif di Indonesia dalam hal aktifitas vulkanik,
gempa dan vertical motion. Perluasan Selat Sunda telah membentuk suatu bound graben
terstruktur dan pusat dari letusan Gunung Krakatau yang bersejarah. Letusan dari Gunung
Krakatau yang terkenal itu pada tahun 1883 terjadi tepat di tengah-tengah Selat Sunda.
Segmen Jawa pada Sunda Arc terbentang mulai dari Selat Sunda dibagian barat
hingga Bali Basin dibagian timur dan merupakan oceanic crust yang relatif tua (150 juta
tahun). Segmen ini konvergen ke arah normal terhadap busur dengan kecepatan 6.0
cm/tahun pada palung Jawa Barat dan 4,9 cm/tahun pada palung Jawa Timur. Zona
27
seismic Benioff sepanjang Segmen Jawa memiliki dip mendekati 50° dan memanjang
hingga kedalaman sekitar 600 km dan sebuah gap seismic terdapat pada segmen ini
Tiga gempa besar dilaporkan dalam catatan historis sebelum pemakaian alat
pencatat gempa (Newcomb dan McCann, 1987). Sebagaimana ditunjukkan dalam (Gambar
2.5) kejadian-kejadian ini terjadi dalam tahun 1840, 1867 dan 1875. Beberapa kejadian
gempa besar juga tercatat sejak tahun 1903. Catatan gempa sepanjang dip pada Segmen
Jawa mengindikasikan bahwa dalam periode 300 tahun, tidak ada kejadian gempa besar
pada intraplate yang terjadi sebagaimana gempa Sumatera yang terjadi pada tahun 1833 dan
1861.
Gambar 2.5. Zona-zona rupture dari gempa sepanjang Segmen Jawa (Newcomb dan
McCann, 1987)
Kurangnya gempa besar dengan slip yang besar pada segmen ini menunjukkan
bahwa sebagian besar perbedaan pergerakan lempeng India dan Eurasia diakomodasi
28
secara seismik atau oleh kejadian gempa yang lebih kecil atau keduanya. Perbedaan
magnitude dan frekuensi seismisitas sepanjang segmen busur ini menunjukkan bahwa
derajat seismic coupling dipengaruhi oleh umur subduksi dan sifat-sifat geologi lempeng-
Newcomb dan McCann (1987) menyatakan bahwa oceanic crust yang lebih tua dan
lebih padat sepanjang Segmen Jawa menambah komponen vertical dari gerakan subduksi
sangat besar. Penambahan dip dan kedalaman penetrasi dari zona seismic Benioff
sepanjang Segmen Jawa kemungkinan juga merupakan akibat subducting slab yang lebih
Besar dan arah slip antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia di sepanjang Sunda
Arc adalah konstan. Meskipun demikian, perubahan orientasi busur di dekat Selat Sunda
memberikan perubahan yang besar rasio paralel terhadap normal slip. Menurut Hamilton
(1979), dan Newcomb McCann (1987), tidak adanya fault pada daerah regional seperti
pada sesar Sumatera juga terdapat di Jawa. Meskipun demikian, sejumlah peneliti lain
telah melaporkan bukti adanya deformasi right lateral strike-slip di Jawa (Beca Carter
Di sekitar Kota Jakarta terdapat tiga patahan besar, yaitu: Patahan Semangko,
29
sebagian besar berada di Pulau Sumatera (Lampung), tapi berakhir di sekitar Selat Sunda
yang relatif dekat dengan Kota Jakarta (Gambar 2.4). Aktivitas dari patahan ini
sekitar 7cm/tahun.
Gambar 2.6 Shallow Crustal di Sekitar Selat Sunda dan Pulau Jawa
pada hasil pengamatan efek gempabumi terhadap manusia, struktur bangunan, dan
lingkungan pada daerah tertentu. Besarnya nilai intensitas tidak hanya bergantung pada
gempa, kedalaman sumber gempa, lamanya durasi gempa, dan kondisi geologi setempat.
Dengan kata lain, magnitude menggambarkan kekuatan atau energy yang dilepaskan
gempa tersebut. Penggunaan skala intensitas penting karena tidak dibutuhkan alat
30
pengukur dan ukuran dari sebuah gempa dapat dilakukan oleh pengamatan tanpa
peralatan.
Skala intensitas pertama kali diperkenalkan di Eropa oleh Rossi-Forel (1883), yang
terdiri dari 10 skala. Selanjutnya Skala Sieberg (1912,1923) menjadi pondasi dari semua
skala intensitas modern 12 tingkat. Versi terbaru skala intensitas dikenal sebagai Skala
Mercalli-Cancani-Sieberg atau skala MCS (Sieberg 1932). Lalu pada Wood dan Neuman
(1931) melakukan modifikasi pada skala tersebut dan menerjemahkannya dalam bahas
Inggris dan dikenal dengan nama Skala Modified Mercalli (Skala MMI). Pada tahun 1956,
Richter (1958) menyempurnakan beberapa pernyataan dalam skala bentuk ringkasan dan
Modified Mercalli 1956 (MM56) yang digunakan di Australia dan Selandia Baru.
Tabel 2.2 Satuan Ukuran Skala Modified Mercalli Intensity (Skala MMI)
SKALA (MMI) KETERANGAN
31
Barang pecah belah, jendela, pintu, bergemerincing, dinding
berhenti.
32
Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari
pasang/tsunami.
MSK yang dibuat berdasarkan skala MCS,MM56, dan penelitian Medvedev sebelumnya
di Rusia. Skala ini dipakai luas di Eropa. Japanese Meterological Agency (JMA) juga
memiliki skala intensitasnya sendiri, yaitu terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan berdasarkan
pengamatan gempa yang terjadi di Jepang. Perbandingan beberapa skala intensitas yang
telah disebutkan di atas terhadapa Modified Mercalli Intensity (MMI) ditunjukan dalam
Tabel 2.3 Perbandingan Beberapa Skala Intensitas Terhadap Modified Mercalli Intensity
(MMI),(Chen & Scawthorn, 2003)
0.7 I I - II I 0
1.5 II II - III II I
33
7.0 IV IV - V IV II - III
15 V V - VI V III
32 VI VI - VII VI IV
316 IX IX+ IX V - VI
681 X X X VI
(1468)* XI - XI VII
tergantung pada beberapa faktor, diantaranya jarak tempat tersebut terhadap sumber
gempabumi dan kondisi geologi setempat. Semakin dekat suatu tempat terhadap sumber
gempabumi, makin besar intensitas gempanya dan semakin tinggi tingkat kerusakannya.
2.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini akan dihasilkan sebuah informasi yang menjelaskan
tentang perkiraan goncangan di wilayah DKI Jakarta yang disebabkan oleh kejadian
gempabumi yang terjadi di daerah-daerah rawan gempabumi yang menjalar sampai batuan
34
Kondisi Analisa Teknik Gelombang Parameter Kecepatan
Seismo Hazard Analisa Seismik Gerakan Gelombang
tektonik Kegempaan Deagregasi Tanah Geser
DKI dengan
Jakarta Kdealaman
30 Km
Intensitas Gempabumi
35
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini disusun secara berurutan meliputi : lokasi penelitian, peralatan
penelitian, variable data, cara pengumpulan data, cara pengolahan data, dan analisa data.
Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya
dengan melihat pengaruh-pengaruh tektonik di daerah sekitar. Dalam penelitian ini diperlukan satu
titik amat untuk menentukan parameter-parameter gempabumi yang akan diproses dalm skenario
shakemap, penulis menggunakan kantor BMKG Kemayoran sebagai titik amat dengan koordinat
Dalam menentukan tingkat goncangan yang didapat oleh wilayah DKI Jakarta akibat suatu
gempabumi dengan dasar peta deagregasi probabilistik terlampaui 2% dalam 50 tahun, penulis
menggunakan peta-peta dasar sebagai bahan pertimbangan menentukan titik episenter untuk
skenario Shakemap.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aplikasi ArcView GIS dan GMT untuk menganalisa
36
2. Data gempabumi dari tahun 2006-2013 dengan parameter M = 5 - 8 , kedalaman =
0 - 150 km. Dengan batasan wilayah 105 – 108 BT dan 5 – 7,5 LS.
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, penulis melakukan studi
Adapun data yang dikumpulkan dan dipergunakan dalam penelitian ini antara lain :
Gambar 3.1 Peta Deagregasi Magnitudo (M) pada PGA dengan 2 % probabilitas terlampaui
dalam 50 tahun dari hasil analisis deagregasi.
(sumber gambar : Seismologi teknik BMKG )
Peta Deagregasi Magnitudo (M) dan Distance (R) merupakan peta yang
terhadap hazard percepatan puncak yang dihasilkan. Dengan menggunakan peta ini,
37
nantinya akan terlihat nilai magnitudo dan jarak dari suatu gempabumi yang akan
Gambar 3.2 Peta Deagregasi Distance (R) pada PGA dengan 2 % probabilitas terlampaui dalam
50 tahun dari hasil analisis deagregasi.
(sumber gambar : Seismologi teknik BMKG)
150 km. Dengan batasan wilayah 105 – 108 BT dan 5 - 7.5 LS.
Data ini untuk melihat sebaran seismisitas di sekitar wilayah DKI Jakarta.
Dengan melihat peta sumber gempabumi zona subduksi, akan terlihat zona subduksi
38
Gambar 3.3 Peta Sumber Gempabumi Zona Subduksi
(sumber gambar : Workshop Peningkatan Jaringan Gempabumi Kuat )
Peta ini menggambarkan lokasi sebaran patahan yang ada di wilayah Indonesia. Dalam
penelitian ini, peta ini bermanfaat untuk memberikan informasi patahan-patahan yang
39
Gambar 3.4 Peta Sumber Gempabumi Patahan
(sumber gambar : Workshop Peningkatan Jaringan Gempabumi Kuat )
Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan cara membaca peta-peta dasar yang
dijadikan sebagai data masukan dalam proses analisa. Hasil pembacaan peta-peta dasar tersebut
yang nantinya akan dijadikan acuan untuk menentukan skenario titik episenter dalam software
Shakemap.
Dari Peta deagregasi M dan R untuk wilayah Indonesia, penulis melihat kemungkinan
kombinasi M dan R yang tersedia untuk wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan Peta tersebut
dapat dilihat bahwa wilayah DKI Jakarta berada pada probabilitas magnitudo kisaran 7.0
– 7.2 dan untuk jarak berada pada 100 – 120 km serta 120 – 150 km.
40
Gambar 3.5 Probabilitas M dan R untuk wilayah DKI Jakarta
41
Dengan menggunakan data gempabumi dari tahun 2006 hingga 2013 dan parameter M =
5-8 , kedalaman = 0-150 km dengan batasan wilayah 105 – 108 BT dan 5 - 7.5 LS,
ArcView GIS. Berdasarkan peta ini dapat menjadi acuan sebaran episenter yang
3. Peta Subduksi
Dengan berdasarkan peta dasar sumber gempabumi subduksi, penulis menentukan zona
subduksi mana yang memiliki pengaruh terhadap goncangan gempabumi yang diterima
Gambar 3.7 Peta Pengaruh Zona Subduksi Terhadap Wilayah DKI Jakarta
42
4. Peta Sumber Gempabumi Patahan
Sama halnya dengan peta sumber gempabumi subduksi, dengan menggunakan peta
pengaruh terhadap goncangan yang diterima wilayah DKI Jakarta akibat gempabumi.
3. 6 Analisa Data
Dalam penelitian ini metoda analisa yang dilakukan adalah dengan interpolasi Shakemap.
Dengan melihat data dukung yang diberikan dari peta dasar deagregasi M dan R, peta sumber
43
gempa patahan, peta sumber gempa subduksi dan juga peta seismisitas, akan didapatkan satu
parameter gempabumi yang nantinya akan diolah dengan menggunakan skenario Shakemap.
wilayah DKI Jakarta akibat gempabumi dengan parameter tersebut dapat diketahui. Peta akhir
Shakemap memberikan informasi mengenai gradasi penerimaan tingkat goncangan untuk wilayah
1. Penentuan pusat parameter gempabumi dengan radius 100 km (berdasarkan peta degregasi R)
44
2. Penentuan pusat parameter gempabumi dengan radius 120 km (berdasarkan peta degregasi R)
45
Setelah melihat faktor-faktor yang mempengaruhi wilayah DKI Jakarta dari segi sebaran
episenter, zona subduksi, sebaran patahan, dan peluang magnitudo dan jarak dari peta dasar
deagregasi M dan R, akan di dapatkan suatu parameter sumber gempabumi yang akan di masukkan
ke dalam skenario Shakemap. Skenario tersebut terdiri dari beberapa skenario sebagai berikut :
106.75
1 7 -7.05 LS 100 10
BB
106.75
2 7.2 -7.05 LS 100 10
BB
106.75
3 7 -7.22 LS 120 60
BB
106.75
4 7.2 -7.22LS 120 60
BB
46
Peta Deagregasi Data Historis Peta Subduksi Peta Patahan
M dan Peta Gempa dengan
Deagregasi R M = 5-8 SR ; h
= 0 – 150 km
Skenario Shakemap
47
BAB IV
sumber gempa, yang pada akhirnya didapatkan enam buah skenario, keseluruhan skenario
Shakemap tersebut akan didapatkan enam estimasi goncangan yang diterima di wilayah
Peta yang dihasilkan oleh Shakemap ini tidak memperlihatkan peta wilayah DKI
goncangan yang diterima dari sumber gempabumi sampai ke daerah penelitian, dalam hal
48
Gambar 4.1 Hasil Shakemap untuk Skenario Satu
49
Gambar 4.2 Hasil Estimasi untuk Skenario Satu
Dari gambar 4.2 dapat terlihat gradasi penerimaan intensitas yang diakibatkan oleh
sumber gempa yang berada pada 7.05 Lintang Selatan dan 106.75 Bujur Barat. Sumber
gempa ini berada pada kedalaman 10 km dan memiliki magnitude 7.0 SR. Jika dilihat dari
penampang melintang, maka sumber gempa ini dberada pada sesar Cimandiri.
50
Gambar 4.3 Hasil Shakemap untuk skenario Dua
51
Gambar 4.4 Hasil Estimasi untuk Skenario Dua
Pada skenario dua, parameter sumber gempa tidak jauh berbeda dengan parameter
sumber gempa pada skenario satu, yang membedakan hanya besaran magnitudenya. Pada
skenario dua, sumber gempanya memiliki magnitude 7.2 SR. Jika dibandingkan dengan
hasil estimasi pada skenario satu, hasil yang diterima semua wilayah di sekitar DKI Jakarta
hampir sama. Hanya wilayah Tangerang yang memberikan hasil berbeda, yaitu
52
Gambar 4.5 Hasil Shakemap untuk skenario Tiga
53
Gambar 4.6 Hasil Estimasi untuk Skenario Tiga
Untuk skenario tiga parameter sumber gempanya berada pada 7.22 Lintang Selatan
dan 106.75 Bujur Barat. Sumber gempa ini berada pada kedalaman 60 km dan memiliki
magnitude 7 SR. Jika dilihat dari penampang melintang, maka letak sumber gempa ini
54
Gambar 4.7 Hasil Shakemap untuk Skenario Empat
55
Gambar 4.8 Hasil Estimasi untuk Skenario Empat
Pada hasil estimasi yang diberikan oleh software Shakemap untuk skenario empat,
terlihat besarnya goncangan yang diterima wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya memiliki
nilai yang sama, yaitu VI skala MMI. Hal ini berbeda dengan hasil estimasi yang diberikan
pada skenario tiga. Pada skenario tiga, sumber gempa memiliki magnitude sebesar 7 SR,
sedangkan pada skenario empat sumber gempa memiliki magnitude 7.2 SR.
56
Gambar 4.9 Hasil Shakemap untuk Skenario Lima
57
Gambar 4.10 Hasil Estimasi untuk Skenario Lima
Dari gambar 4.10 dapat terlihat bahwa sumber gempa untuk skenario lima berada
pada 7.5 Lintang Selatan dan 106.7 Bujur Barat. Sumber gempa ini berada pada kedalaman
bahwa letak sumber gempa berada tidak jauh dari zona penyusupan lempeng.
58
Gambar 4.11 Hasil Shakemap untuk Skenario Enam
59
Gambar 4.12 Hasil Estimasi untuk Skenario Enam
Estimasi yang diberikan pada skenario enam terlihat wilayah yang berubah
mendapatkan goncangan gempa dari sumber gempa yang sama, namun magnitude yang
berbeda yaitu 7,2 SR, maka goncangan yang diterima menjadi sebesar V skala MMI.
Dari hasil yang diberikan oleh Shakemap, dapat diambil informasi berupa besarnya
goncangan yang diterima wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Dalam penelitian ini, penulis
60
mencoba menampilkan informasi daerah-daerah sekitar DKI Jakarta seperti, Bekasi,
Tangerang, Depok dan juga Bogor. Dalam tabel 4.1 dapat terlihat perkiraan intesitas yang
diterima DKI Jakarta dan sekitarnya berdasarkan jarak wilayah tersebut dengan lokasi
skenario episenter.
Tabel 4.1 Tabel Hasil Estimasi Semua Skenario Untuk wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya
Bekasi 101 5
Jakarta 100 5
106.75
1 7 7.05 LS 10 Tangerang 85.44 5
BB
Depok 75 6
Bogor 50.81 6
Bekasi 101 5
Jakarta 100 5
106.75
2 7.2 7.05 LS 10 Tangerang 85.44 6
BB
Depok 75 6
Bogor 50.81 6
61
Jakarta 120 5
Bekasi 117.35 5
Bogor 69.85 6
Jakarta 120 6
Bekasi 117.35 6
Bogor 69.85 6
Jakarta 150 4
Bekasi 148.09 4
Bogor 101.25 5
Jakarta 150 4
Bekasi 148.09 4
106.7 Tangerang 134.34 5
6 7.2 7.5 LS 30
BB Depok 124.58 5
Bogor 101.25 5
62
Berdasarkan tabel diatas, penulis membuat grafik hubungan antara jarak wilayah
terestimasi dengan perkiraan intensitas yang diterima. Dari grafik dapat terlihat bahwa pada
skenario satu, dua, tiga, lima dan enam membuat pola semakin jauh jarak wilayah
terestimasi dengan episenter maka semakin kecil pula intensitas yang diterima. Hal ini
sesuai dengan prinsip atenuasi, dimana semakin jauh jarak episenter, maka energinya akan
semakin berkurang.
Sedangkan untuk skenario empat, terlihat pola yang sama untuk masing-masing wilayah
terestimasi. Hal ini disebabkan oleh jarak wilayah terestimasi dengan episenter dianggap
sama jauhnya.
Gambar 4.13 Grafik Hubungan Jarak Gambar 4.14 Grafik Hubungan Jarak
dan Intensitas untuk Skenario Satu dan Intensitas Untuk Skenario Dua
Gambar 4.15 Grafik Hubungan Jarak Gambar 4.16 Grafik Hubungan Jarak
dan Intensitas untuk Skenario Tiga dan Intensitas untuk Skenario Empat
63
Gambar 4.17 Grafik Hubungan Jarak Gambar 4.18 Grafik Hubungan Jarak
dan Intensitas untuk Skenario Lima dan Intensitas untuk Skenario Enam
4.2 Pembahasan
Dari hasil analisa data dihasilkan enam skenario yang akan di olah dengan
goncangan yang diterima wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya ketika terjadi suatu
Pada skenario satu dan dua, dengan parameter sumber gempabumi yang terletak 100
km dari DKI Jakarta, jika terjadi suatu gempabumi dengan magnitude 7,0 SR dan
kedalaman 10 km, maka goncangan yang akan diterima wilayah DKI Jakarta, Bekasi dan
Tangerang adalah V MMI. Sedangkan untuk wilayah Depok dan Bogor sebesar VI MMI.
Jika pada sumber gempa yang sama terjadi gempabumi dengan skala 7.2 SR, maka wilayah
Untuk skenario tiga dan empat, parameter gempabumi yang digunakan terletak 120
km dari DKI Jakarta. Jika pada jarak ini terjadi gempabumi dengan magnitude kisaran 7,0
64
dan kedalaman 60 km, maka goncangan yang akan diterima wilayah DKI Jakarta, Bekasi
dan Tangerang adalah V MMI. Untuk wilayah Depok dan Bogor sebesar VI MMI. Jika
pada jarak ini terjadi gempabumi dengan magnitude 7.2 SR dan kedalaman 60 km, maka
wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya akan mendapatkan goncangan sebesar VI MMI.
Pada skala V-VI MMI goncangan yang dirasakan termasuk kategori sedang hingga
kuat,sedangkan potensi kerusakannya masuk kedalam kategori sangat ringan hingga ringan.
Pada skala ini memiliki nilai percepatan maksimum sekitar 6,2 - 12 %g.
Sedangkan untuk skenario lima dan enam, jarak parameter sumber gempabuminya
berada pada 150 km dari DKI Jakarta. Jika terjadi gempabumi dengan magnitude 7,0 SR
dan kedalaman 30 km, maka goncangan yang akan diterima DKI Jakarta, Bekasi dan
Tangerang sebesar IV MMI. Sedangkan untuk wilayah Depok dan Bogor sebesar V MMI.
Jika pada sumber gempa ini terjadi gempabumi dengan magnitude 7.2 SR dan kedalaman
30 km, maka wilayah DKI Jakarta dan Bekasi akan mendapatkan goncangan sebesar VI
MMI. Untuk wilayah Tangerang, Depok dan Bogor akan mendapatkan goncangan sebesar
V MMI. Pada skala IV-V MMI goncangan yang dirasakan termasuk kategori ringan hingga
sedang. Sedangkan potensi kerusakannya masuk kedalam kategori tidak ada hingga ringan.
gempabumi, maka besar goncangan yang diterima oleh DKI Jakarta dan sekitarnya akan
semakin rendah. Dalam penelitian ini tidak mengikutsertakan faktor jenis batuan di setiap
65
daerah yang dilalui oleh gelombang gempabumi. Penelitian ini hanya memperhitungkan
faktor deagregasi magnitude dan jarak, sebaran episenter gempabumi, sebaran patahan dan
66
BAB V
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan peta deagregasi magnitude dan jarak, wilayah DKI Jakarta akan
pada jarak 100 hingga 150 km dari DKI Jakarta dan memiliki magnitude
dominan pada range 7,0 sampai 7,2 SR. Dengan jumlah kejadian lebih dari
sekali dalam durasi 2500 tahun diikuti dengan variasi magnitude lain
Jakarta dan sekitarnya berada di sekitar 150 km barat daya DKI Jakarta.
peta seismisitas yang didapatkan dari data gempabumi katalog BMKG pada
wilayah 105 – 108 Bujur Timur dan 5 – 7.5 Lintang Selatan dari tahun 2006
hingga 2013.
67
7,0 hingga 7,2 SR, kedalaman 10 hingga 60 km dan berjarak 100 – 150 km
dari DKI Jakarta, maka estimasi goncangan yang akan diterima wilayah DKI
dalam kategori tidak ada hingga ringan. Pada skala ini memiliki nilai
5.2 Saran
Hasil akhir dari penelitian ini dapat digunakan untuk bahan pertimbangan
Peta perkiraan goncangan ini selanjutnya dapat juga digunakan dalam proses
Penelitian ini dapat pula dilakukan untuk jenis peta deagregasi dengan
akan dibuat.
68
DAFTAR PUSTAKA
69
Periode Ulang Gempa 500 Tahun untuk Analisis Site Specific Responde Spectra,
Jakarta, 2008
Laksana Yudha Wibowo, “Penyusunan Peta Digital Rawan Bencana Gempa Bumi
Deengan Menggunakan Unsur b-value, a-value, PGA, Sesar Dan Demografi Di
Provinsi Jawa Barat”, Jakarta, 2011
McGuire, R.K., “Deterministic vs. Probabilistic Earthquake Hazard and Risk, Risk
EngineeringbInc, Publication Paper”, 2011
Mufida Asmaul, Bagus Jaya Santosa, Dwa Desa Warnama, “Profling Kecepatan
Gelombang Geser (Vs) Surabaya Berdasarkan Pengolahan Data Mikrotremor”,
Jurnal Sains dan Seni Pomits, Volume 2, No.2, 2013
Pawirodikromo Widodo “Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan”, Cetakan I,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012
Rosyidi Sri Atmaja P., “Kajian Metode Analisis Gelombang Permukaan (SASW) Untuk
Pengembangan Teknik Evaluasi Perkerasan Lentur Dan Kaku Di Indonesia”, Jurnal
Media Komunikasi Teknik Sipil, Volume 14, No. 3, 2006
Sengara I Wayan, Mahsyur Irsyam, Hendriyawan,. M Asrurifak, Usama Juniansya, Putu
Sumiartha, Uun Jayasaputra, “Laporan Akhir Pendayagunaan Peta Mikrozonasi
Gempa Di DKI Jakarta”, 2010
Seshunarayana T., Sundararajan N., “Multichanel Analysis of Surface Waves (MASW) for
Mapping Shallow Subsurface Layers – A Case Study, Jabalpur, India”, Conference
and Exposition on Petroleum Geophysics, PP 642-646, 2004
Sholihan Ahmad, Bagus Jaya Santosa, “Analisa Gelombang Rayleigh Struktur Geologi
Bawah Permukaan Studi Kasus Daerah Pasir Putih Gresik”, Makalah Seminar
Pascasarjana IX ITS Surabaya, 2009
Standar Nasional Indonesia 1726, “Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung”, Badan Standardisasi Nasional,
Jakarta, 2012
70
Sukanta I Nyoman, I Putu Pudja, Suliyanti Pakpahan, Imelda Ummiyatul Badriyah, ,
Muchlis, Waode Siti Mudhalifana, Restu Tresnawatu, “Laporan Akhir
Accelerograph BMKG dalam Penentuan Peta Intensitas Gempa Kuat” Pusat
Penelitian dan Pengembangan Badan Meteoroogi Klimatologi dan Geofisika, 2010
Susilawati, “Penerapan Penjalaran Gelombang Seismik Gempa Pada Penelaahan Struktur
Bagian Dalam Bumi” Karya Ilmiah Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan, 2008
.
71
Lampiran 1
72
Lampiran 2
Data Gempabumi Untuk wilayah wilayah 5 – 7.5 Lintang Selatan dan 105 – 108 Bujur Timur dengan Magnitude 1
– 9.5 SR, dengan kedalaman 1 – 1000 km, dari tahun 1900 – 2014 (sample)
( Sumber data : BMKG )
Latitude Longitude Depth Mag TypeMag smaj smin az rms cPhase Region
-6.7 106.63 10 2.6 MLv 2.11 0.19 125 0.629 9 Flores Region, Indonesia
-6.76 106.68 3 3.6 MLv 3.36 0.22 80 0.922 25 Java, Indonesia
-6.69 106.54 10 2.6 MLv 1.08 0.25 143 0.745 5 Java, Indonesia
-7.18 107.81 15 3.6 MLv 7.45 0.38 132 0.262 6 Java, Indonesia
-7.02 106.53 10 3.1 MLv 2.05 0.04 184 0.489 13 Java, Indonesia
-7.24 105.18 10 4.3 MLv 4.5 0.81 150 1.229 24 Java, Indonesia
-5.56 106.08 650 4.8 MLv 8.63 1.42 261 2.281 12 Java, Indonesia
-7.11 107.18 10 2.8 MLv 0.77 0.52 154 0.114 5 Java, Indonesia
-7.27 106.72 108 4.6 MLv 9.46 0.31 104 0.987 38 Java, Indonesia
-7.39 107.91 98 2.7 MLv 1.79 0.19 120 0.588 10 Java, Indonesia
-7.36 107.63 10 4 MLv 2.06 0.27 186 0.582 6 Java, Indonesia
-7.19 106.02 57 4.5 MLv 5.51 0.57 214 1.046 20 Java, Indonesia
-6.36 106.04 10 3.2 MLv 1.64 0.43 232 0.414 5 Java, Indonesia
-7.1 105.35 10 4.2 MLv 2.49 0.59 227 0.816 14 Java, Indonesia
-7.48 106.68 23 3.7 MLv 1.14 0.49 252 0.322 7 Java, Indonesia
-6.32 107.28 10 3 MLv 1.33 0.51 223 0.977 7 Java, Indonesia
-7.44 107.54 95 4.1 MLv 4.26 0.3 181 0.566 19 Java, Indonesia
-5.55 106.02 68 3.5 MLv 2.03 0.57 204 0.694 5 Java, Indonesia
-6.56 106.75 10 2.3 MLv 0.76 0.01 143 0.136 5 Java, Indonesia
-7.31 106.05 15 3.5 MLv 1.77 0.59 266 0.642 9 Java, Indonesia
-7.14 105.81 76 4.9 MLv 9.66 0.75 131 1.467 31 Java, Indonesia
-6.91 106.51 21 3.3 MLv 2.83 0.11 170 0.879 11 Java, Indonesia
73