REVIEW:
Artikel V Saxena1 berjudul Positive and Negatives of Federal Sentencing
Guidelines pada pokoknya memperkenalkan lembaga penghukuman yang ada
di Negara Federasi AS bernama Komisi Pedoman Penghukuman. Pada
pokoknya untuk penentuan penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan, tidak
semata ditentukan oleh hakim, melainkan juga oleh sebuah komisi yang terdiri
dari 7 orang. Hakim menentukan level tindak pidananya yang sudah ada
ketentuan pidana sesuai levelnya. Dari pidana level tersebut dapat diperberat
atau diperingan beberapa level bila terdapat hal-hal yang memberatkan atau
meringankan. Komisi pemidanaan berdasarkan suatu penelitian terhadap
kondisi kejiwaan dan sosial pelaku juga memberikan penilaian. Hasil penilaian
hakim dan komisi tersebut kemudian dipanelkan untuk memperoleh jumlah
bulan atau tahun lamanya pidana yang harus diterima oleh terdakwa.2
1
Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published August 27,
2008. Lihat juga: Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some
Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
2
Ibid. “One of the most important developments in the criminal justice system has been the
adoption of sentencing guidelines by the federal judicial system. As a result, when a ….. Some
gray areas remain in these guidelines. Some offenses, especially petty misdemeanors, are not
covered. Furthermore, some offenses can overlap more than one category. It is also difficult to
determine the exact……”
Untuk percobaan, pembantuan, pengulangan atau perbarengan sudah
memiliki jumlah sekornya tersendiri. Hanya saja untuk perbutan berlanjut
ketentuannya adalah tinggal mengalikan hasil pemidanaan dengan jumlah
pengulangannya, sehingga dapat terjadi jumlah bulan atau tahun yang sangat
lama. Akibatnya kemungkinan seorang tinggal di penjara semakin panjang
yang menyebabkan tingkat hunian di penjara menjadi meningkat, yang
menimbulkan anggaran pembiayaannya juga semakin membesar.3
3
Ibid.
4
Penjatuhan pidana (straftoemeting) merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkret.
Penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana yang
bersangkutan. Dalam pemeriksaan perkara pidana ada tiga kemungkinan putusan hakim,
kemungkinan yang pertama adalah putusan bebas (vrijspraak), dijatuhkan apabila hasil
pemeriksaan sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemungkinan kedua, putusan
penglepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolgleging); dijatuhkan apabila
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana. Kemungkinan ketiga putusan
penjatuhan pidana; dijatuhkan dari hasil pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.
5
Kebebasan hakim untuk memilih berat ringannya pidana terbatas antara minimum umum dan
dan maksimum khusus. Maksimum khusus adalah pidana maksimum yang tercantum dalam
rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Di damping itu, menurut sistem dalam KUHP,
hakim juga mempunyai kebebasan memilih salah satu jenis pidana yang tercantum dalam
rumusan tindak pidana yang bersangkutan. KUHP menganut sistem alternatif, sebagai
petunjuk antara ancaman pidana yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan kata
penghubung “atau”. Misalnya rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP sebagai berikut “Barangsiapa
karena kealpaan menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit
hakim tetap terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang
terbukti dilakukan terpidana. Akan tetapi disamping keterikatan itu, hakim
mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya pidana yang
dipandang paling adil dan tepat.6
atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”
6
Berdasarkan rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP ini hakim mempunyai kebebasan memilih salah
satu dari tiga pidana yang diancamkan, yaitu penjara atau kurungan atau denda. Sedangkan
ketentuan hukum pidana di luar KHUP ada yang menganut sistem kumulatif yaitu emjatuhkan
dua jenis pidana pokok sekaligus, dan ada pula yang yang menganut sistem alternatif kumulatif
artnya hakim boleh memilih salah satu pidana yang diancamkan atau boleh juga menjatuhkan
dua jenis pidana pokok sekaligus. Contoh ketentuan pidana yang menganut sistem komulatif
adalah pasal 6 ayat 1a Undang-undang Tindak pidana Ekonomi.
7
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076). Undang-undang sebelumnya yang
mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14
Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004.
Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.8 Namun, faktor yang memberatkan dan
meringankan terdakwa, tidak ada ketentuannya dalam KUHAP. Oleh karena
itu, pedoman untuk mepertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan pidana harus dicari dalam peraturan-peraturan lain, doktrin atau
dalam praktek peradilan. Memorie van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886,
memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana
sebagai berikut:
8
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8 Tahun 1981
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209). Pasal 197 KUHAP:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat
a. Kepala putusan dituliskan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa,
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan,
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana diserta dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atu keterangan dimana letak kepalsuan
itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama peneuntut umum, nama hakim yang memutus dan
nama panitera.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,j,k, dan l, pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang.
apakah yang ditimbulkan? Apakah kejahatan yang dipersalahkan
kepadanya itu langkah pertama ke arah jalan yang sesat ataukah
merupakan suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari
watak jahat yang sebelumnya sudah tampak?”9
9
Soedarto (1977:55) menyatakan bahwa antara minimum dan maksimum harus ditetapkan
seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan di atas itu dijawab dengan merugikan
terdakwa, maksimum pidana yang biasa itu sudah mamadai. Pedoman dari M.v.T. dapat
dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam
praktik peradilan di Indonesia, karena KUHAP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari
Strafwetboek tahun 1886.
10
Ruslan Saleh (1987:17) menyatakan, bahwa hakim memiliki kebebasan bergerak untuk
mendapatkan pidana yang tepat antara batas maksimum khusus dan minimum umum, akan
tetapi kebeasana bergerak itu bukan berarti membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang.
Kebebasan itu dimaksudkan untuk meberi kesempatan bagi hakim untuk memperhitungkan
seluruh aspek yang berkaitan dengan tindak pidana terjadi, mengenai berat ringanya tindak
pidana, keadaan pribadi petindak, usia petindak, tingkat kecerdasan petindak, keadaan serta
suasana waktu tindak pidana terjadi. Senada hal itu, Oemar Seno Adji (1980:8) menyatakan
pandangan bahwa kebebasan hakim itu bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Kebebasan
hakim harus dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan sifat dan seriusnya tindak
pidana, keadaan-keadaan yang meliputi tindak pidana itu, kepribadian petindak, usianya,
tingkat pendidikannya, lingkungannya dan lain sebagainya.
11
Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan yang merupakan petunjuk ke
arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum dalam Pasal 27 ayat
(2) Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai
berikut: ”Dalam mempertimbangkan berat ringanya pidana, hakim wajib memeperhatikan pula
sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh”. Penjelasan pasal ini berbunyi sebagai berikut:
“Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam
mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu
diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi
tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangga,
dokter ahli jiwa dan sebagainya.” Sayangnya dalam ketentuan ini tidak dapat disertai rincian
mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mempertim-
bangkan berat ringanya pidana.
DISPARITAS PEMIDANAAN DI INDONESIA
12
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April
2003, (Jakarta: KHN, 2003) hal.28. Dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa:
“Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik
mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya
menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana
dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara
yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun
demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus
melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.”
Disparitas pidana erat kaitannya dengan hakikat dari pidana itu sendiri.
Pendapat mengenai definisi pidana dari para sarjana yang pernah dikemukakan
oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya teori-teori dan kebijakan
pidana sebagai berikut:
1. Prof. Sudarto: yang dimaksud dengna pidana ialah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Prof. Ruslan Saleh: Pidana adalah reaksi delik, dan ini berujud suatu
nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu
3. Fitzgerald: Pidana adalah penderitaan yang dijatuhkan oleh
pemerintah terhadap suatu pelanggaran atau kesalahan.
4. H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana harus:
a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang
tidak menyenangkan;
b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar-
benar melakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubungan suatu tindakan yang melanggar ketentuan
hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan
ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana.
5. Alf Ross menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang:
a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu
aturan hukum;
b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa
sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;
c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-
konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;
d. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.13
13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984),
hal. 54.
c. Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.14
14
Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, (Bandung: Alumni, 1985) hal. 52.
15
Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009),
hal. 63. Menulis bahwa, “Dari bunyi pasal tersebut dapat kita lihat adanya bebarapa pidana
pokok yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan pidana yang sama secara alternatif.
Diantara beberapa yang ada yang paling tepatlah yang akan diterapkan. Disamping itu hakim
juga bebas untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang
ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan minimumnya saja.” Sehubungan
dengan kebebasan hakim ini dikatakan oleh Sudarto bahwa, “Kebebasan hakim dalam
PERLUNYA PEDOMAN PEMIDANAAN
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah
tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.
Prof. Sudarto mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan
memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai
hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan
memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih
dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh
hakim. Pendapat Sudarto16 ini dibenarkan pula oleh Muladi,17 karena
masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas
tersebut harus rasional. Hal ini sesuai pula dengan salah satu butir dari hasil
simposium IKAHI 1975 yang menyatakan:
“Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap
putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk
pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan
usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan
tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena
bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah
keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa
keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/
indikator dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun
setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional
maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut
behavior scientist.”18
19
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Penerbit Lubuk Agung,
2011) hal. 45. “Dalam Rancangan KUHP yang ada, para perumus memilih memberikan
pedoman pemidanaan yang merupakan checking point bagi hakim yang membantunya dalam
mempertimbangkan pemidanaan.”
Rincian pedoman tersebut tidak bersifat limitatif. Hakim masih
dimungkinkan menambah pertimbangan-pertimbangan lain apabila dipandang
perlu. Namun apabila hakim telah memperhatikan rincian pedoman tersebut,
berarti semua kepentingan yang terkait mendapatkan perhatian yang wajar,
sehingga penjatuhan pidana yang dilakukan lebih proposional. Kepentingan
yang terkait atas terjadinya tindak pidana, sekurang-kurangnya kepentingan
terpidana sendiri, kepentingan korban dan kepentingan masyarakat.
Gagasan ini pernah diulas oleh Eddy Djunaedi dalam Buku Pedoman
Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana. Standarisasi dimaksudkan agar
dicapai pemidanaan yang relatif sama pada kasus-kasus yang identik. Beliau
menyebutnya sebagai parate sentences in the same circumtances. Salah satu
pendekatannya adalah meniru pada salah satu negara bagian di AS yang
memberikan kategori ancaman pidana dalam tiga kategori, yaitu: pidana ringan
(mitigated term), pidana menengah (baseterm) dan pidana berat (aggravatedterm).
Kategori tindak pidana tersebut dapat ditentukan berdasarkan kualitas tindak
pidana, yaitu dikaji berdasarkan straaftoemeting sebagaimana ditetapkan dalam
MUNAS IKAHI atau Pasal 55 RUU KUHP tersebut.
“Menimbang, bahwa ancaman pidana dari pasal yang dilanggar terdakwa adalah
12 tahun, sedang perbuatan pidana dilakukan oleh terdakwa dalam keadaan yang
memberatkan sehingga pidana dasarnya adalah 9 tahun;”
“Menimbang, bahwa hal-hal yang meringankan berjumlah 4 buah sedangkan hal
yang memberatkan hanya 2, sedang masing-masing mempunyai bobot
menambah dan mengurangi selama 4 bulan, sehingga pidana dasar tersebut
harus dikurangi sebanyak 8 bulan;”
“Menimbang, bahwa dengan demikian total pidana harus dijatuhkan kepada
terdakwa sesuai dengan kesalahan dan perbuatannya tersebut adalah selama 8
tahun dan 4 bulan;”
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bhakti, 1996).
Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi Tentang Bentuk-
Bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Angkasa, 1996).
Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung:
Mandar Maju, 1995).
Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan
terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah
KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta: KHN, 2003).
Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some
Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
Lubis, Todung Mulya. Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009).
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984).
Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, (Bandung: Alumni,
1985).
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor
5076). Undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman adalah UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970,
UU Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8
Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published
August 27, 2008.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru,
1983).
---------. Masalah-masalah Hukum, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, (Semarang: BP
Undip, 1987).
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Penerbit Lubuk
Agung, 2011).