Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA

Dosen: Prof. HARKRISTUTI HAKRISNOWO, SH., MH., PhD.


E-mail:www.harkristuti_harkrisnowo@yahoo.com

MENGGAGAS STANDARISASI PEMIDANAAN DI


INDONESIA

Oleh : MOHAMAD SHOLEH, SH.


NPM : 1106041564
Absen : 11
Kelas : Praktek Peradilan (MA)

REVIEW:
Artikel V Saxena1 berjudul Positive and Negatives of Federal Sentencing
Guidelines pada pokoknya memperkenalkan lembaga penghukuman yang ada
di Negara Federasi AS bernama Komisi Pedoman Penghukuman. Pada
pokoknya untuk penentuan penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan, tidak
semata ditentukan oleh hakim, melainkan juga oleh sebuah komisi yang terdiri
dari 7 orang. Hakim menentukan level tindak pidananya yang sudah ada
ketentuan pidana sesuai levelnya. Dari pidana level tersebut dapat diperberat
atau diperingan beberapa level bila terdapat hal-hal yang memberatkan atau
meringankan. Komisi pemidanaan berdasarkan suatu penelitian terhadap
kondisi kejiwaan dan sosial pelaku juga memberikan penilaian. Hasil penilaian
hakim dan komisi tersebut kemudian dipanelkan untuk memperoleh jumlah
bulan atau tahun lamanya pidana yang harus diterima oleh terdakwa.2

1
Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published August 27,
2008. Lihat juga: Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some
Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
2
Ibid. “One of the most important developments in the criminal justice system has been the
adoption of sentencing guidelines by the federal judicial system. As a result, when a ….. Some
gray areas remain in these guidelines. Some offenses, especially petty misdemeanors, are not
covered. Furthermore, some offenses can overlap more than one category. It is also difficult to
determine the exact……”
Untuk percobaan, pembantuan, pengulangan atau perbarengan sudah
memiliki jumlah sekornya tersendiri. Hanya saja untuk perbutan berlanjut
ketentuannya adalah tinggal mengalikan hasil pemidanaan dengan jumlah
pengulangannya, sehingga dapat terjadi jumlah bulan atau tahun yang sangat
lama. Akibatnya kemungkinan seorang tinggal di penjara semakin panjang
yang menyebabkan tingkat hunian di penjara menjadi meningkat, yang
menimbulkan anggaran pembiayaannya juga semakin membesar.3

PENGATURAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

Apabila hakim menjatuhkan putusan penjatuhan pidana,4 pidana yang


dijatuhkan dalam peristiwa konkret tidak harus persis sama dengan ancaman
pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan. Atas
dasar ancaman pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang
didakwakan itu, hakim dapat menimbang-nimbang penerapan pidana yang
dipandang paling tepat dan adil bagi terpidana. 5 Dalam menjatuhkan pidana

3
Ibid.
4
Penjatuhan pidana (straftoemeting) merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkret.
Penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana yang
bersangkutan. Dalam pemeriksaan perkara pidana ada tiga kemungkinan putusan hakim,
kemungkinan yang pertama adalah putusan bebas (vrijspraak), dijatuhkan apabila hasil
pemeriksaan sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemungkinan kedua, putusan
penglepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolgleging); dijatuhkan apabila
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana. Kemungkinan ketiga putusan
penjatuhan pidana; dijatuhkan dari hasil pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.
5
Kebebasan hakim untuk memilih berat ringannya pidana terbatas antara minimum umum dan
dan maksimum khusus. Maksimum khusus adalah pidana maksimum yang tercantum dalam
rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Di damping itu, menurut sistem dalam KUHP,
hakim juga mempunyai kebebasan memilih salah satu jenis pidana yang tercantum dalam
rumusan tindak pidana yang bersangkutan. KUHP menganut sistem alternatif, sebagai
petunjuk antara ancaman pidana yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan kata
penghubung “atau”. Misalnya rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP sebagai berikut “Barangsiapa
karena kealpaan menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit
hakim tetap terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang
terbukti dilakukan terpidana. Akan tetapi disamping keterikatan itu, hakim
mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya pidana yang
dipandang paling adil dan tepat.6

Kebebasan hakim untuk memilih berat ringannya pidana terbatas antara


minimum umum dan dan maksimum khusus. Maksimum khusus adalah
pidana maksimum yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang
bersangkutan. Setiap putusan pengadilan, baik putusan bebas, penglepasan dari
segala tuntutan hukum, maupun penjatuhan pidana, harus disertai bahan
pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan putusan itu. Keharusan
demikian ini tercantum dalam pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau suber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.”7

Dalam perkara pidana, putusan pengadilan yang berupa, penjatuhan


pidana harus disertai pula faktor-faktor yang digunakan untuk
mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam

atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”
6
Berdasarkan rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP ini hakim mempunyai kebebasan memilih salah
satu dari tiga pidana yang diancamkan, yaitu penjara atau kurungan atau denda. Sedangkan
ketentuan hukum pidana di luar KHUP ada yang menganut sistem kumulatif yaitu emjatuhkan
dua jenis pidana pokok sekaligus, dan ada pula yang yang menganut sistem alternatif kumulatif
artnya hakim boleh memilih salah satu pidana yang diancamkan atau boleh juga menjatuhkan
dua jenis pidana pokok sekaligus. Contoh ketentuan pidana yang menganut sistem komulatif
adalah pasal 6 ayat 1a Undang-undang Tindak pidana Ekonomi.
7
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076). Undang-undang sebelumnya yang
mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14
Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004.
Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.8 Namun, faktor yang memberatkan dan
meringankan terdakwa, tidak ada ketentuannya dalam KUHAP. Oleh karena
itu, pedoman untuk mepertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan pidana harus dicari dalam peraturan-peraturan lain, doktrin atau
dalam praktek peradilan. Memorie van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886,
memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana
sebagai berikut:

“Dalam menetukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan


harus memperhatikan keadaan objektif dan subjektif dari tindak pidana
yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-
hak apa saja yang dilanggar dengan danya tindak pidana itu? Kerugian

8
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8 Tahun 1981
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209). Pasal 197 KUHAP:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat
a. Kepala putusan dituliskan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa,
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan,
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana diserta dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atu keterangan dimana letak kepalsuan
itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama peneuntut umum, nama hakim yang memutus dan
nama panitera.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,j,k, dan l, pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang.
apakah yang ditimbulkan? Apakah kejahatan yang dipersalahkan
kepadanya itu langkah pertama ke arah jalan yang sesat ataukah
merupakan suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari
watak jahat yang sebelumnya sudah tampak?”9

Pedoman-pedoman itu untuk mempertimbangkan berat ringannya


pidana tersebut, pada umumnya menghendaki agar pertimbangan-
pertimbangan yang meliputi keadaan-keadaan objektif tindak pidana yang
dilakukan dan keadaan subjektif petindak.10 Pedoman untuk mepertimbangkan
berat ringanya pidana itu amat penting bagi hakim, sehingga hakim dapat
menjatuhkan pidana secara lebih memadai dan sejauh mungkin dapat dihindari
diskresi penjatuhan pidana. Oleh karena itu, kiranya baik sekali apabila dalam
KUHAP dicantumkan rumusan tentang pedoman pemidanaan.11

9
Soedarto (1977:55) menyatakan bahwa antara minimum dan maksimum harus ditetapkan
seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan di atas itu dijawab dengan merugikan
terdakwa, maksimum pidana yang biasa itu sudah mamadai. Pedoman dari M.v.T. dapat
dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam
praktik peradilan di Indonesia, karena KUHAP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari
Strafwetboek tahun 1886.
10
Ruslan Saleh (1987:17) menyatakan, bahwa hakim memiliki kebebasan bergerak untuk
mendapatkan pidana yang tepat antara batas maksimum khusus dan minimum umum, akan
tetapi kebeasana bergerak itu bukan berarti membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang.
Kebebasan itu dimaksudkan untuk meberi kesempatan bagi hakim untuk memperhitungkan
seluruh aspek yang berkaitan dengan tindak pidana terjadi, mengenai berat ringanya tindak
pidana, keadaan pribadi petindak, usia petindak, tingkat kecerdasan petindak, keadaan serta
suasana waktu tindak pidana terjadi. Senada hal itu, Oemar Seno Adji (1980:8) menyatakan
pandangan bahwa kebebasan hakim itu bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Kebebasan
hakim harus dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan sifat dan seriusnya tindak
pidana, keadaan-keadaan yang meliputi tindak pidana itu, kepribadian petindak, usianya,
tingkat pendidikannya, lingkungannya dan lain sebagainya.
11
Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan yang merupakan petunjuk ke
arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum dalam Pasal 27 ayat
(2) Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai
berikut: ”Dalam mempertimbangkan berat ringanya pidana, hakim wajib memeperhatikan pula
sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh”. Penjelasan pasal ini berbunyi sebagai berikut:
“Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam
mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu
diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi
tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangga,
dokter ahli jiwa dan sebagainya.” Sayangnya dalam ketentuan ini tidak dapat disertai rincian
mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mempertim-
bangkan berat ringanya pidana.
DISPARITAS PEMIDANAAN DI INDONESIA

Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang termasuk


keluarga hukum Eropa Continental, yang tidak mengenal sistem presedent.
Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana
yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian
lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem
penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya. Lebih spesifik dari
pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat
terjadi dalam beberapa kategori yaitu:
a. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama;
b. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat
keseriusan yang sama;
c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;
d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang
berbeda untuk tindak pidana yang sama;12

Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan


wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di
Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi
juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan
hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk
perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya
disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.

12
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April
2003, (Jakarta: KHN, 2003) hal.28. Dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa:
“Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik
mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya
menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana
dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara
yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun
demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus
melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.”
Disparitas pidana erat kaitannya dengan hakikat dari pidana itu sendiri.
Pendapat mengenai definisi pidana dari para sarjana yang pernah dikemukakan
oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya teori-teori dan kebijakan
pidana sebagai berikut:
1. Prof. Sudarto: yang dimaksud dengna pidana ialah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Prof. Ruslan Saleh: Pidana adalah reaksi delik, dan ini berujud suatu
nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu
3. Fitzgerald: Pidana adalah penderitaan yang dijatuhkan oleh
pemerintah terhadap suatu pelanggaran atau kesalahan.
4. H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana harus:
a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang
tidak menyenangkan;
b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar-
benar melakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubungan suatu tindakan yang melanggar ketentuan
hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan
ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana.
5. Alf Ross menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang:
a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu
aturan hukum;
b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa
sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;
c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-
konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;
d. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.13

Dari beberapa pengertian dan ruang lingkup pidana tersebut, oleh


Muladi disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984),
hal. 54.
c. Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.14

Dari kesimpulan tersebut dapatlah kita menerima bahwa pada


hakikatnya pidana yang berupa derita memang sepatutnya dijatuhkan pada
sesorang yang melakukan tindak pidana yang diatur menurut Undang-Undang.
Penjatuhan pidana itu merupakan konsekuensi wajar bagi pelaku tindak
pidana, hanya saja masalah timbul jika terhadap para pelaku tindak pidana
sejenis dijatuhkan hukuman yang berbeda sehingga menimbulkan anggapan
bahwa pengadilan telah berlaku tidak adil. Akan tetapi jika ditinjau secara
ideologis sebenarnya disparitas pidana tersebut dapat dibenarkan sebagai
pencerminan salah satu karakteristik aliran modern (positivisme school) yang
berkembang pada abad ke-19, yakni pidana harus disesuaikan dengan penjahat.

Menurut muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum sendiri.


Didalam hukum positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat
luas untuk memilih jenis pidana (straafsoort) yang dikehendaki sehubungan
dengan penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana dalam
Undang-Undang. Contoh system alternatif dapat dilihat dari ketentuan pasal
188 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

“Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran,


ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu
timbul bahaya umum- bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul
bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu
mengakibatkan orang mati.”15

14
Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, (Bandung: Alumni, 1985) hal. 52.
15
Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009),
hal. 63. Menulis bahwa, “Dari bunyi pasal tersebut dapat kita lihat adanya bebarapa pidana
pokok yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan pidana yang sama secara alternatif.
Diantara beberapa yang ada yang paling tepatlah yang akan diterapkan. Disamping itu hakim
juga bebas untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang
ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan minimumnya saja.” Sehubungan
dengan kebebasan hakim ini dikatakan oleh Sudarto bahwa, “Kebebasan hakim dalam
PERLUNYA PEDOMAN PEMIDANAAN
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah
tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.
Prof. Sudarto mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan
memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai
hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan
memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih
dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh
hakim. Pendapat Sudarto16 ini dibenarkan pula oleh Muladi,17 karena
masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas
tersebut harus rasional. Hal ini sesuai pula dengan salah satu butir dari hasil
simposium IKAHI 1975 yang menyatakan:
“Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap
putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk
pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan
usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan
tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena
bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah
keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa
keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/
indikator dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun
setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional
maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut
behavior scientist.”18

menetapkan pidana tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya


ketidaksamaan yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehagelijk)
bagi masyarakat, maka pedoman pidana dalam KUHP sangat diperlukan, sebab ini akan
mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun tidak dapat menghapuskannya sama sekali.
16
Ibid, hal. 20
17
Muladi-Arief, Op.cit, hal. 68
18
Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai
dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan.
Hasil munas IKAHI tersebut sudah dimasukkan dalam Konsep RUU
KUHP. Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana, maka
didalam konsep rancangan KUHP yang baru Buku I tahun 1982, pedoman
pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:
“Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat;
b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
c. Cara melakukan tindak pidana;
d. Sikap batin pembuat;
e. Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.”

Selain pedoman pemidanaan tersebut, juga disebutkan hal-hal yang


dapat dijadikan sebagai alasan yang meringankan dan alasan yang
memberatkan. Namun dilihat dari isinya tidak saling menafikan, sehingga ada
kemungkinan dalam setiap kasus, ada alasan yang meringankan dan ada pula
alasan yang memberatkan. Dalam RUU KUHP terakhir tahun 2008 pedoman
pemidanaan tersebut menjadi 11 item. Pasal 55 ayat (1) sebagai berikut:
“Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:
a. kesalahan pembuat;
b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
c. cara melakukan tindak pidana;
d. sikap batin pembuat;
e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
f. sikap dan tindak pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
i. pengaruh tindak pidana terhadap
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.”19

19
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Penerbit Lubuk Agung,
2011) hal. 45. “Dalam Rancangan KUHP yang ada, para perumus memilih memberikan
pedoman pemidanaan yang merupakan checking point bagi hakim yang membantunya dalam
mempertimbangkan pemidanaan.”
Rincian pedoman tersebut tidak bersifat limitatif. Hakim masih
dimungkinkan menambah pertimbangan-pertimbangan lain apabila dipandang
perlu. Namun apabila hakim telah memperhatikan rincian pedoman tersebut,
berarti semua kepentingan yang terkait mendapatkan perhatian yang wajar,
sehingga penjatuhan pidana yang dilakukan lebih proposional. Kepentingan
yang terkait atas terjadinya tindak pidana, sekurang-kurangnya kepentingan
terpidana sendiri, kepentingan korban dan kepentingan masyarakat.

Menurut Romli Atmasasmita, Pedoman Pemidanaan Dalam Hukum


Positif Indonesia adalah sebagai berikut. Dalam KUHP (Wetboek van Straftrecht
yang kemudian diundangkan dengan UU No. 1 Tahun 1946) pedoman
pemberian pidana diatur dengan jelas. Pasal 1 ayat (1) KUHP menekankan
bahwa hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas (principle of legality),
dimana mencerminkan kepastian hukum.
“Dalam asas legalitas ada 4 hal pokok, yaitu:
(1) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah
ditentukan dalam undang-undang terlebih dahulu,
(2) Ketentuan UU harus ditafsirkan secara harafiah dan pengadilan tidak
diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis untuk
menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana,
(3) Ketentuan UU tidak berlaku surut,
(4) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas dalam
UU yang boleh dijatuhkan.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP jelas bahwa dasar dan sumber
pemberian pidana hanyalah hukum tertulis (peraturan perundang-
undangan tertulis).”

GAGASAN STANDARISASI PEMIDANAAN DI INDONESIA

Gagasan ini pernah diulas oleh Eddy Djunaedi dalam Buku Pedoman
Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana. Standarisasi dimaksudkan agar
dicapai pemidanaan yang relatif sama pada kasus-kasus yang identik. Beliau
menyebutnya sebagai parate sentences in the same circumtances. Salah satu
pendekatannya adalah meniru pada salah satu negara bagian di AS yang
memberikan kategori ancaman pidana dalam tiga kategori, yaitu: pidana ringan
(mitigated term), pidana menengah (baseterm) dan pidana berat (aggravatedterm).
Kategori tindak pidana tersebut dapat ditentukan berdasarkan kualitas tindak
pidana, yaitu dikaji berdasarkan straaftoemeting sebagaimana ditetapkan dalam
MUNAS IKAHI atau Pasal 55 RUU KUHP tersebut.

Misalkan untuk ancaman pidana maksimal 12 tahun, maka didapatkan


pidana ringan (mitigated term) yaitu 3 tahun, pidana menengah (baseterm) yaitu 6
tahun dan pidana berat (aggravatedterm) adalah 9 tahun. Pidana-pidana tersebut
menjadi semacam base penalty sebagaimana dalam The Federal Sentence
Guidelines tersebut diatas. Dari base-base penalty tersebut dapat ditambah dan
dikurangi berdasarkan jumlah alasan yang memberatkan dan yang
meringankan. Bobot nilai memberatkan dan meringankan juga tergantung
ancaman pidananya, misalkan untuk ancaman pidana 12 tahun tersebut nilai
penambah dan pengurangnya adalah 4 bulan.

Metode lain untuk menetukan klasifikasi tindak pidana dalam pidana


ringan (mitigated term), pidana menengah (baseterm) dan pidana berat
(aggravatedterm) serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan juga dapat
dilakukan dengan pendayagunaan lembaga penelitian masyarakat (LITMAS)
untuk semua terdakwa. Juga dapat dikembangkan sistem ceck-list untuk
mengetahui situasi psikologis dan sosial terdakwa dengan melibatkan psikiater,
tokoh masyarakat, lembaga pemerintah terkait maupun lembaga perlindungan
saksi dan korban.

Berdasarkan pendekatan tersebut dan sesuai dengan Pasal 197 KUHAP


maka dapat diadakan perbaikan dalam pertimbangan hakim mengenai pidana
yang dijatuhkan. Umumnya bunyi pertimbangan hakim adalah:

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hal-hal yang


memberatkan dan meringankan tersebut di atas, maka hukuman yang akan
dijatuhkan sebagaimana tercantum dalam diktum putusan di bawah ini
dipandang sudah cukup adil dan bijaksana sesuai dengan kesalahannya;”
Perbaikannya sebagai:

“Menimbang, bahwa ancaman pidana dari pasal yang dilanggar terdakwa adalah
12 tahun, sedang perbuatan pidana dilakukan oleh terdakwa dalam keadaan yang
memberatkan sehingga pidana dasarnya adalah 9 tahun;”
“Menimbang, bahwa hal-hal yang meringankan berjumlah 4 buah sedangkan hal
yang memberatkan hanya 2, sedang masing-masing mempunyai bobot
menambah dan mengurangi selama 4 bulan, sehingga pidana dasar tersebut
harus dikurangi sebanyak 8 bulan;”
“Menimbang, bahwa dengan demikian total pidana harus dijatuhkan kepada
terdakwa sesuai dengan kesalahan dan perbuatannya tersebut adalah selama 8
tahun dan 4 bulan;”

Pedoman ini sebenarnya sudah dapat diterapkan oleh hakim-hakim di


Indonesia, sebab ketentuannya sudah ditetapkan dalam forum MUNAS IKAHI
VIII 1975. Meskipun MUNAS IKAHI bukan merupakan salah satu peraturan
perundang-undangan di Indonesia, namun sekedar menjadi pedoman, atau
setidak-tidaknya sebagai sumber hukum ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Atau setidaknya mempunyai kekuatan mengikat ke dalam profesi hakim,
sebagaimana mengikat dan berlakunya Pedoman Perilaku Hakim.

Metode ini pernah penulis simulasikan untuk menentukan pidana


percobaan, pidana penjara dan/atau denda, serta pada ancaman pidana
minimal dan maksiamal. Dengan menggunakan pendekatan telemteri
(penggunaan rumus-rumus matematika untuk ilmu sosial) dapat diperoleh
sekitar 300 variasi pidana untuk tiap-tiap tindak pidana. Sehingga pada
keadaan yang variable-variabelnya sama maka pidananya juga sama. Dengan
mengasumsikan pidana seumur hidup adalah 30 tahun dan pidana mati adalah
40 tahun, kedua jenis pemidanaan tersebut juga dapat ditentukan keriterianya
dengan tepat. Asumsi ini mungkin dapat mengatasi permasalahan tingkat
hunian LP dan pembiayaan pada sistem U. S. Federal Sentencing Guidelines
tersebut diatas.
Daftar Pustaka:

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bhakti, 1996).
Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi Tentang Bentuk-
Bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Angkasa, 1996).
Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung:
Mandar Maju, 1995).
Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan
terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah
KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta: KHN, 2003).
Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some
Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
Lubis, Todung Mulya. Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009).
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984).
Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, (Bandung: Alumni,
1985).
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor
5076). Undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman adalah UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970,
UU Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8
Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published
August 27, 2008.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru,
1983).
---------. Masalah-masalah Hukum, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, (Semarang: BP
Undip, 1987).
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Penerbit Lubuk
Agung, 2011).

Anda mungkin juga menyukai