Anda di halaman 1dari 14

Tugas Seorang Dokter dalam Menjaga Rahasia Kedokteran

Elizabeth Chikita Putri


102013106
chikitaputrii@yahoo.co.id
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara Nomor 06, Jakarta Barat 11510 No. Telp (021) 5694-2061

Pendahuluan

Pada jaman modern seperti saat ini yang ditandai oleh spesialisasi dan keseminatan
kedokteran atau kelompok kesejawatan lainnya, nilai nilai etika profesi akan senantiasa
mewarnai ciri dan cara pelayanan pasien, klien atau masyarakat setempat ataupun manusia
sejagat, dengan dimensi meningkatkan hubungan dokter-pasien juga dalam format hubungan
saling kerjasama. Nilai etika yang berdimensi “apa yang seyogyanya", apalagi jenis yang
melambangkan keluhuran profesi, senantiasa akan menjadi pencerah dan pembingkai “apa yang
senyatanya” dari dimensi teeologik penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
demikian dalam setiap penyempurnaan norma etika secara tertulis, baik idealisme teoritis
maupun penerapannya akan mempertimbangkan kaidah-kaidah dasar moral ataupun
prinsip/kaidah dasar bioetika, antara lain seperti berbuat baik (benecence), tidak merugikan (non
malecence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan berlaku adil (justice).1

Khusus di Indonesia, perumusan norma dan penerapan nyata etika kedokteran kepada
perseorangan pasien/klien atau kepada komunitas/masyarakat di segala bentuk fasilitas
pelayanan kesehatan/kedokteran juga didasarkan atas azas-azas ideology bangsa dan negara
yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945. Menyadari bahwa pada akhirnya semua pedoman
etik dimanapun diharapkan akan menjadi penuntun perilaku sehari-hari setiap dokter sebagai
pembawa nilai-nilai luhur profesi, pengamalan etika kedokteran yang dilandaskan pada moralitas
kemanusiaan akan menjadi tempat kebenaran “serba baik” dari manusia penyandangnya. Para
dokter Indonesia selayaknya menjadi model panutan bagi masyarakatnya.1

1
Aspek Hukum

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek
kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang
penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali
disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia.
Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran
Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter
Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.1

Kewajiban Umum

Pasal 1

Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji
dokter.

Pasal 2

Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan professional secara


independen,danmempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhioleh sesuatu
yangmengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri .

2
Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya

Pasal 6

Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan


setiappenemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.

Pasal 8

Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara kompeten
dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 9

Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.

Pasal 10

Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan
lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 11

Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani.

3
Pasal 12

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan keseluruhan aspek


pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik sik maupun psiko-
sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.

Pasal 13

Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sektoral di bidang kesehatan, bidang
lainnya dan masyarakat, wajib saling menghormati.1,2

Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52 : Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: a.
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3); b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. mendapatkan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan medis; d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam
medis.3

Pasal 53 : Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban
: a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.3

Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin.
Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan
yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya. Tiga elemen
Informed consent,

4
A. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang
reasonable).2,4
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia
telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap
tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.2,4

B. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
1. Standar Praktik Profesi. Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-
an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
2. Standar Subyektif. Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien
tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual
dianut oleh pasien.

5
3. Standar pada Reasonable Person. Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua
standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah
memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.5

C. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.2,4 Consent dapat
diberikan :
1. Dinyatakan (expressed)
a. Dinyatakan secara lisan
b. Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di
kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko
mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan
tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh
persetujuan tertulis.
2. Tidak dinyatakan (implied). Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun
tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling
banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang
menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure
sebagai berikut :
A. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
B. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
C. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.
585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak

6
berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif,
dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan
operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan
medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan
medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
A. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
B. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
C. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.5

Penatalaksanaan dari GO:


Farmakologi:
 Ceftriaxon 250 mg intramuskular
 Cefixime 400 mg per oral dosis tunggal
 Spektinomisin 2 gram intramuskular
 Kanamisin 2 gram intramuskular
 Tiamfenikol 3,5 gram per oral dosis tunggal
 Ofloxacin 400 mg/ciprofloxacin 250-500 mg/norfloxacin 800 mg/lefofloxacin 250 mg per oral
Non farmakologi:
 Semua pasien dengan infeksi gonore seharusnya melibatkan pasangan seksualnya dalam
evaluasi dan pengobatan.
 Penggunaan kondom untuk proteksi.
 Pasien hendaknya diberikan edukasi mengenai resiko komplikasi dari infeksi gonore.
7
 Pasien seharusnya menghindari kontak seksual sampai pengobatan selesai dan juga sampai
pasangan seksualnya selesai dievaluasi dan diobati.6

Resiko Terhadap HIV/ AIDS

AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat virus HIV. Penyebarannya melalui cairan tubuh yang mana sering terjadi
pada orang yang berganti2 pasangan. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak
mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS
diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada
stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS.
Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang
sehat, infeksi tersebut dapat diobati.7

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan
karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara
umum dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Rasa lelah dan lesu

b. Berat badan menurun secara drastis

c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam

d. Mencret dan kurang nafsu makan

e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

f. Pembengkakan leher dan lipatan paha

g. Radang paru

h. Kanker kulit

8
Rekam Medis

Rekam Medis adalah kumpulan berkas yang berisikan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perawatan pasien di institusi pelayanan kesehatan. Bayangkan ketika kita datang ke
dokter, klinik, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya, maka yang ditanyakan
pertama adalah identitas kita. Selanjutnya dokter atau tenaga kesehatan lainnya akan
menanyakan apa keluhan dan yang berkaitan dengan keluhan kita. Ini adalah awal dari proses
rekam medis. Proses selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik, seperti tensi darah atau ukur suhu
tubuh. Semua yang dilakukan dan terapi yang diberikan dicatat dalam suatu lembar kertas, kartu
ataupun media lainnya (Inilah yang disebut rekam medis). Perkembangan Rekam Medis sangat
cepat seiring dengan kemajuan bidang kedokteran, kesadaran hukum dan teknologi informasi.
Sehingga perubahan paradigma dari rekam medis menjadi rekam kesehatan sudah harus kita
terima.5

Peraturan tentang penyelenggaraan Rekam Medis dimulai Tahun 1989, dengan


dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/Menkes/PER/XII/
1989 tentang Rekam Medis, yang mana pengaturannya masih mencakup rekam medis berbasis
kertas (konvensional). Sementara saat ini Rekam medis konvensional kurang tepat lagi untuk
digunakan disaat mana kita sudah menggunakan informasi secara intensif dan lingkungan yang
berorientasi pada otomatisasi pelayanan kesehatan dan bukan terpusat pada unit kerja semata.5

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang melanda
dunia telah berpengaruh besar bagi perubahan pada semua bidang, termasuk bidang kesehatan.
Salah satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi tren dalam
pelayanan kesehatan secara global adalah rekam kesehatan elektronik (Electronic Medical
Record). Selama ini rekam medis mengacu pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis
sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/PER/XII/1989.5

Undang-undang No.29 Tahun 2004 sebenarnya telah diundangkan saat EMR sudah
banyak digunakan, namun belum mengatur mengenai EMR. Begitu pula Peraturan Menteri

9
Kesehatan No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis belum sepenuhnya mengatur
mengenai EMR. Hanya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Rekam medis harus dibuat
secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Secara tersirat pada ayat tersebut
memberikan ijin kepada sarana pelayanan kesehatan membuat rekam medis secara elektronik
(EMR).5

Etika Klinik

Pembuatan keputusan etik. Terutama dalam situasi klinik dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan
Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essensial dalam
pelayanan klinik yaitu:

1. Medical indikasi
2. Patient preferences
3. Quality of life
4. Contextual features

Kedalam topic medical indikasi dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai
untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini
ditinjau dari sisi etikanya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan nonmaleficence,
pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consernt.

Pada topic patient preference kita memperlihatkan nilai (value) dan penilaian pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.pernyataan
etiknya meliputi pernyataan tentang kompetensi paien, sifat volunteer sikap dan
keputusannya,pemahaman atas informasi, siapa pembuatan keputusan bila pasien tidak
kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll.

Topic quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedoteran, yaitu memperbaiki,
menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan bagaimana melakukan
penilaian kualitas hidup merupakan pernyataan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan
beneficence, noonmaleficence, dan autonomy.

10
Dalam contextual featurs dibahas pernyataan etik seputas aspek nonmedis yang mempengaruhi
keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya
dan factor hukum.4,5

Rahasia Kedokteran
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai norma
dasar yang melindungu hubungan dokter dan pasien. Sesuai dengan sumpah dokter, kode etik
kedokteran internasional, dan peraturan oemerintah no.10 tahun 1966 yang mengatur kewajiban
simpan rahasia kedokteran oleh seluruh tenaga kesehatan. Namun dalam PP ini diberikan
pengecualian apaiba terdapat Peraturan Perundang-undangan (PP) yang sederajat atau lebih
tinggi (UU), dalam pasal 48 ayat (2):
 Untuk kepentingan kesehatan pasien
 Untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
 Permintaan pasien sendiri
 Berdasarkan ketentuan undang-undang
Peraturan lain yang membenarkan pembukaan rahasia kedokteran antara lain adalah ketentuan
pasal 50 KUHAP, pasal 51 KUHAP, pasal 48 KUHAP, dan pasal 49 KUHAP. Dalam permenkes
no.749a, rekam medis boleh dibuka untuk pendidikan dan penelitian.
Dalam kaitannya dengan keadaan memaksa, dikenal dua keadaan yaitu:
1. Overmacth: pengaruh daya paksa yang memadai
2. Noodtoeestand: keadaan yang memaksa
Dapat diakibatkan pertentangan antara dua kepentingan hukum, pertentangan antara
kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dan pertentangan antara dua kewajiban
hukum. Salah satu contoh noodtoestand adalah kasus dokter yang menemukan child
abuse yang berat dan dicurigai akan bertambah parah dihari kemudian.
Untuk memahami rahasia jabatan ditilik dari sudut hukum,tingkah laku seorang
dokter dibagi menjadi 2 jenis :
1. Tingkah laku yang bersangkutann dalam pekerjaan sehari-hari
Dalam hal ini yang harus diperhatikan ialah :
a. Pasal 322 KUHP yang berbunyi :
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan atau
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu ia diwajibkan untuk

11
menyimpannya, dihukum dengan pidana perkara paling lama sembilan bulan atau
denda paling banyak sembilan ribu rupiah
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang yang tertentu,maka perbuatan itu
hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut.

2. Tingkah laku dalam keadaan khusus


Menurut hukum, setiap warga Negara dapat dipanggil oleh pengadilan untuk didengar
sebagai saksi. Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat dipanggil sebagai ahli.
Dengan demikian, dapatlah terjadi, bahwa seorang yang mempunyai keahlian,
umpamanya seorang dokter, dipanggil sebagai saksi, sebagai ahli sekaligus sebagai saksi
ahli.3
Sebagai saksi atau saksi ahli mungkin sekali ia diharuskan memberi keterangan tentang
seorang yang sebelum itu telah menjadi pasien yang diobatinya. Ini berarti ia seolah-olah
diharuskan melanggar rahasia pekerjaannya. Kejadian ini bertentangan dan dapat
dihindarkan karena adanya hak undur diri seperti yang tercantum dalam pasal 277
reglemen Indonesia yang diperbaharui, bunyinya :
(1) Barang siapa yang martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta mengundurkan ddari memberi
penyaksian, akan tetapi hanya dan terutama mengenai hal yang diketahuinya dan
dipercayakan kepadanya karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya itu.

Dalam pasal 48 undang-undang No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran


pada paragraph 4 mengenai rahasia kedokteran, dinyatakan bahwa ‘setiap dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpang rahasia
kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukumn
permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan undang-undang.3

Kewajiban seorang dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran telah diatur dalam,
A. PP.No.10 tahun 1966.

12
1. Pasal 1 PP No 10/1966. Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu
yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama
melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
2. Pasal 2 PP No 10/1966. Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-
orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila sautu peraturan lain yang sederajat
atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain.
3. Pasal 3 PP No 10/1966. Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam
pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksan, pengobatan
dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.
4. Pasal 4 PP No/1966. Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia
yang tidak atau dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri
kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasakan pasal UU tentang tenaga
kesehatan.
5. Pasal 5 PP No 10/1966. Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan
oleh mereka yang disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat
mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.

B. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)


1. Pasal 7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
2. Pasal 12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah
meninggal. Rahasia kedokteran ini begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat, sehingga walaupun
dalam pengadilan meminta seorang dokter untuk membuka rahasia kedokteran, seorang dokter
memiliki hak tolak (verschoningsrecht). Hak ini telah diatur dalam pasal 170 KUHAP, yang
menentukan bahwa mereka yang diwajibkan menyimpan rahasia pekerjaan/jabatan dapat minta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Namun ayat kedua dari
pasal 170 KUHAP tersebut membatasi hak tolak sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal ini

13
tentunya diterapkan bila kepentingan yang dilindungi pengadilan lebih tinggi dari rahasia
kedokteran.2,4,5

Kesimpulan

Dokter hanya memberikan saran kepada pasien untuk memberitahu kepada istrinya atau
tidak tentang dugaan istrinya yang tertular penyakit GO tersebut agar dokter tersebut tidak
melanggar rahasia kedokteran dan terkena sanksi pidana dikemudian hari.

Daftar Pustaka

1. PB IDI. Kodeki. Jakarta: MKEK Pusat. 2012.h.4-7.


2. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Edisi Pertama. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik FKUI. 1994. Hal 1-25
3. Hanafiah HJ. Pernyataan IDI tentang informed consent. Dalam: Etika Kedokteran dan
Hukum Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999; hal. 279.
4. Kode Etik Kedokteran. http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia.
18 Januari 2009.h.10.
5. Samil, Suprapti R. Etika kedokteran indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2001.h.13.
6. Amiruddin MD, Mappiase AA. Modul Gonore. Makassar: FK UNHAS; 2017.h.8-9.
7. Depkes RI. Infodatin AIDS. Jakarta: Kemenkes RI. 2014.h.4-5.

14

Anda mungkin juga menyukai