28
Demam Tifoid
Pendahuluan
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan
Peyer's patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam
paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun
klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam
enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.
Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A,
paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii)
Sejarah
Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang
berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata
Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami
demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William
112 Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis : Demam Tifoid
Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada
tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang
berasal dari kelenjar limfe mesentarial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky
berhasil membiakkan Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya
melalui air dan bukan udara.
Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk
diagnosis penyakit demam tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris
dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi terhadap demam tifoid. Pada era
1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang
dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada
tahun 1948 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol
adalah efektif untuk pengobatan penyakit demam tifoid.
Epidemiologi
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.
Patogenesis
sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang
lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun
pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui
duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai
oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu
dan Peyer's patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi
baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu.
Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja.
Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita
melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi
menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.
Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di
tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana
mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun elimi-
nasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan
bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T
ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier
memperlihatkan gangguan reaktivitas selular terhadap antigen Salmonella
ser. typhi pada uji hambatan migrasi lekosit. Pada karier, sejumlah besar
basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa
memasuki epitel pejamu.
Manifestasi Klinis
Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis :Demam Tifoid 115
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5 - 40 hari dengan rata-rata
antara 10 - 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala
klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur
Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit
dirumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini,
penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus
yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul
insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik
tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan
tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali
apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan
bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan
pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat
disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium
atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang
tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam
tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita
demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang
masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam
tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau
obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah
tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.
Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat
pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan
splenomegali.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1-5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan
bertahan selama 2 – 3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid
sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit
demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.
116 Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis : Demam Tifoid
Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 - 3%, sedangkan
perdarahan usus pada 1 - 10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini
biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi
pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,
tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi
dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah,
nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar
dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus
mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian
besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi,
stupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis
neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah
trombosis serebral, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis transversal,
neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom
Guillain-Barre. Dari berbagai penyulit neurologik yang terjadi, jarang
dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia,
perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun
nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada
kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang
tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang
kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam
tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa
kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan
pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria
transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai
prognosis yang buruk. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada
demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi,
namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit
lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravaskular
Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis :Demam Tifoid 117
Gambaran darah tepi
Diagnosis
positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter
mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa >1/200 atau pada
titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik
Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah
endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan
untuk mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi
dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan faeces.
Polymerase chain reaction talah digunakan untuk memperbanyak gen
Salmonella ser. Typhi secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat
diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif
dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan
pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak
salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati
adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.
Diagnosis Banding
Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah
sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan
Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis :Demam Tifoid 119
Prognosis
Pencegahan
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid,
yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi
dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi
A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun
digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini
hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping
lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman
Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6
tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada
penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding
terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi
dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan
perlindungan 60-70% selama 3 tahun.
Daftar Bacaan
1. Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC. Typhoid fever. Nelson
textbook of pediatrics, edisi ke-14 Philadelphia: WB Saunders Co, 1992.h.731-34.
2. Butler T. Typhoid fever. Dalam: Warren KS, Mahmoud AF (penyunting). Tropical
and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Mc Graw-Hill Information
Services Co, 1990.h.753-7.
3. Cleary TG, Salmonella species. Dalam: Long (penyunting). Principles and practice
of pediatric infectious diseases, edisi ke-3. New York: Churchill Livingstone,
2003.h.830-5.
4. Hayani CH, Pickering LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD
(penyunting). Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo: WB
Saunders Co, 1992.h.620-33.
5. Hoffman SL. Typhoid fever. Dalam: Strickland GT penyunting. Hunter's tropical
medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991.h.344-58.