Seputar Khitbah Dalam Pandangan
Seputar Khitbah Dalam Pandangan
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun
terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya
sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan
yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh
Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang
satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas
syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap
gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang
akut (memangnya penyakit kanker.. ?).
I. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh
seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon
istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah
(peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan
disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon
pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan
yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang
perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya
(walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang
sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk
dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan
pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt,
berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban.
Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga
kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu
dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan
oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh.
Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu
menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin
‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw.
Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan
jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang
kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligusmenikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh
meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan
Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi
suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini
didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai
Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu
melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa
Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk
mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan
tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung
(kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan,
melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan
perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut
tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin
menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan
saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan
Ahmad)
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya
hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka
dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah
seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang
bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus
dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan
seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya,
‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak
dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya
dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa,
berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu
Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk
senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan
yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara
Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin ‘Auf
telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian
dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak
menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan
persetujuan Beliau Saw. (ibid).
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca
dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya.
Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu
perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan
dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi)
merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak
bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka
menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib
(budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang
yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan,
tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga
kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan
pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung
terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap
adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt.
Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan
untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang
calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal
ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling
berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena
sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri
dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya
adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu
berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini
merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga
jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan
yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga
tidak diperkenankan.
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua
belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama
lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju
pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan
cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak
menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon
pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap
hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa
pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang
lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak
akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena
saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan
khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya
karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan
pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan
syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-
alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun
kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai
kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar
bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan
seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat
menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai
kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut,
pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang
menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain
atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena
hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang
munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan
dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak
milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang
pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta
kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu
Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya
berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu hanya diberikan
sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka
pihak perempuan belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah
ia dapatkan.
Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan
hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena
merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila
barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang
tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin
menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta
hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik,
dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat
maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita kesusahan ia
bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim)
Demikianlah sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di
dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada sahabat-sahabat untuk
segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah menggebu-deru, namun masih
terpendam dalam seolah enggan untuk nampak kepermukaan karena terkekang oleh perasaan
malu-malu dan unselfconffident. Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar
dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya.
Referensi:
An-Nabhani, Taqiyudin. 2001. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab Mutabanat Hizbut
Tahrir. Bogor: PTI
Januar, Iwan. 2005. Bulan Madu Sepanjang Hari. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Kurnia, MR. 2005. Memadukan Dakwah dan Keharmonisan Rumah Tangga. Booklet. Bogor:
Al-Azhar Press
………………..2005. Menjalin Cinta Suci. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Ramdhan, Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga. Pedoman Membangun Keluarga
Bahagia..Bogor: Ide Pustaka
Thalib, Muhammad,Drs. 2002. 15 Tutuntunan Meminang Dalam Islam. Bandung: Irsyad
Baitussalam
https://baitijannati.wordpress.com/2009/05/14/seputar-khitbah-dalam-pandangan-islam/