Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

BAGIAN ILMU ANASTESI 26 JUNI 2019


RSUD SYEKH YUSUF GOWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAGEMENT ANESTESI INTRAVENA KLASIK PADA LIPOMA


PUNGGUNG

Oleh:
Siti Nurfitri Pebryeni Zuhruhur, S.Ked

Pembimbing :
dr.Zulfikar Tahir,M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANASTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Siti Nurfitri Pebryeni Zuhruhur, S.Ked


NIM : 10542053413
Judul : Management Anestesi Intravena Klasik pada Lipoma Punggung

Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik


Bagian Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

Makassar, Juni 2019

Pembimbing Mahasiswa

dr.Zulfikar Tahir,M.Kes, Sp.An Siti Nurfitri Pebryeni Zuhruhur


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi ALLAH, atas Rahmat dan Karunia-Nya jualah, akhirnya

Lapsus yang berjudul “Management Anestesi Intravena Klasik pada Lipoma

Punggung” ini dapat diselesaikan dengan baik. Lapsus ini ditujukan sebagai salah

satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Anastesi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada

dr. Zulfikar Tahir,M.Kes,Sp.An. selaku pembimbing dalam Lapsus ini yang telah

memberikan bimbingan dan banyak kemudahan dalam penyusunan Lapsus ini.

Penulis menyadari bahwa Lapsus ini masih memiliki banyak kekurangan,

untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis demi

kebaikan di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga Lapsus ini bisa

membawa manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Makassar, Juni 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................. i
Halaman Pengesahan ................................................................................... ii
Kata Pengantar ............................................................................................. iii
Daftar Isi....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………. 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Anatomi……………………………………………………………….. 8
B. Fisiologi………………………………………………………………...16
C. Definisi………………………………………………………………....18
D. Epidemiologi…………………………………………………………...18
E. Etiologi Patomekanisme………………………………………………...18
F. Klasifikasi……………………………………………………………….19
G. Gambaran Klinis…………………………………………….…...……. 21
H. Kriteria DIagnosa………………………………………….…......….... 22
I. Penatalaksanaan………………………………………………....………23
J. Prognosis………………………………………………………….…… 24
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………… 25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 36
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada setiap pembedahan diperlukan upaya untuk menghilangkan nyeri.

Keadaan itu disebut anestesia. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut

juga perlu dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal. Kondisi optimal ini

mencakup tiga unsur dasar yakni menghilangkan nyeri (anestesia),

menghilnagkan kesadaran (hipnotik), dan relaksasi otot (Sjamsuhidayat et al.,

2005).

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu

suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan

(2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan

oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian

besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi

lokal/regional.

Anestesi umum adalah tahapan yang sangat penting dan mempunyai risiko

jauh lebih besar dari prosedur pembedahan itu sendiri, karena anestesi yang dalam

akan mengancam nyawa pasien. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim

tersebut, harus dilakukan pemilihan anestetikum yang memenuhi kriteria ideal,

yaitu anestetikum yang menghasilkan sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran,

dan aman untuk sitem vital, serta mudah diaplikasikan (Miller, 2000).

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan

aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu


tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh menggambarkan

keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan

untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang

sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu :1

a. Hipnotik, hilang kesadaran

b. Analgetik, hilang perasaan sakit

c. Relaksan, relaksasi otot-otot

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta

mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.

Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat

minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan

tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal sehingga pemilihan teknik

anestesi merupakan hal yang sangat penting dan membutuhkan pertimbangan

yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan dilaksanakan

(Latief et al., 2010).


BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. N

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 45 tahun

Berat Badan : 48 kg

Agama : Islam

Alamat : Parang Banoa

No. RM : 47 00 14

Diagnosis : Lipoma Punggung

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan tanggal 19 Juni 2019. Informasi diberikan oleh pasien.

Keluhan utama : Benjolan pada punggung

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang kepoli dengan keluhan Benjolan pada punggung yang

dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, benjolan dirasakan semakin membesar,

Nyeri (+), Penurunan BB (-) Nafsu maka dan minum baik (-) Riwayat demam

(-).

Riwayat penyakit dahulu : tidak ada

Riwayat penyekit keluarga : tidak ada


C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalisata : Sakit sedang/Gizi baik/Composmentis GCS 15

(E4M6V5)

2. Tanda Vital intra Operasi saat posisi supine:

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 88x/menit, reguler

Suhu : 36,60C

Pernapasan : 22x/menit, spontan

SpO2 : 99%

a. B1 (Breath) :

Airway : bebas, gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),

frekuensi pernapasan : 22 kali/menit, suara pernapasan : vesikular

(+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor

Mallampati : 2, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).

b. B2 (Blood) :

Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+),

tekanan darah : 110/80 mmHg, denyut nadi : 88 kali/menit, reguler,

kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.

c. B3 (Brain) :

Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor dextra/sinistra, defisit

neurologi (-), suhu: 36,60C.


d. B4 (Bladder) :

Buang air kecil: lancar, warna urin kekuningan, berpasir (-),

bercampur darah (-), nyeri berkemih (-).

e. B5 (Bowel) :

Abdomen : tampak cembung, peristaltik (+) kesan normal, massa (-

),nyeri tekan (-), mual (-), muntah (-).

f. B6 Back & Bone :

Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-),

edema ekstremitas bawah (-/-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 12.7 13,2-17,3 g/dL

Leukosit 8,2 3,80-10.60 103/mm3

Hematokrit 38,2 40-52%

Eritrosit 4.77 4,4-5.9x106/

Trombosit 347 150000-440000/L

CT/BT 6’50”/1’50”

Kimia Klinik

GDS 90 ≤ 200 mg/dL


HbsAg (Rapid) Non Reaktif Non Reaktif

E. KESAN ANESTESI

Perempuan 48 tahun menderita Lipoma Punggung ASA PS I

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yaitu :

a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 28 tpm

b. Rencana Eksisi Tumor 19 april 2019

c. Puasa minimal 6-8 jam

d. Informed Consent Operasi

e. Konsul ke Bagian Anestesi

f. Premedikasi (Alprazolam 0,5 mg tab 1 dd 1)

g. Informed Conset Pembiusan Dilakukan operasi dengan general anestesi

dengan status ASA PS I

G. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Tumor Punggung

2. Status Operative : ASA PS I


3. Pre Operasi

 Informed consent (+)

 Pasien puasa sejak pukul 00.00 wita

 Sudah terpasang cairan infuse RL.

 Keadaan umum : Composmentis

 Tanda vital :

- Tekanan darah : 110/80 mmHg

- Nadi : 88 x/menit

- Suhu : 36,6C

- Pernafasan : 22x/menit

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis Pembedahan : Eksisi Tumor

b. Jenis Anestesi : General Anestesi

c. Teknik Anestesi : Intravena Klasik

d. Premedikasi :Midazolam 3mg/iv dan

Fentanil 80 mcg/iv

e. Induksi : Ketamin 60 mg

f. Medikasi tambahan :-

g. Maintanance : O2 3 liter / menit via nasal kanul

h. Respirasi : Terkontrol

i. Posisi : Left Lateral Decubitus

j. Selesai Operasi : 11.46


19 Juni 2019, pukul 10:38 WITA, Ny. N, 48 tahun tiba di ruang operasi

dengan terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital

sign. Pukul 10:40 WITA diberikan premedikasi dengan injeksi Midazolam 3mg/iv

dan Fentanil 80 mcg/iv. Setelah diberikan premedikasi dilakukan pemberian

induksi berupa ketamine 60 mg/iv pada pasien. Kemudian tindakan eksisi

dilakukan, Anestesi selesai, , pasien sadar baik.


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan

aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Kata anestesi

diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang

1. Anestesi Umum

Suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh

hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi.

Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu :

1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran

2. Anestesia : pasien bebas nyeri

3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka

Teknik anestesi umum :

1. Anestesi umum intravena

2. Anestesi umum inhalasi

3. Anestesi imbang (Morgan et al., 2006).

Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana

hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh

akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible.Anestesi umum

dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular1.


Indikasi anestesi umum :1

 Pada bayi dan anak-anak

 Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh

ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal

 Operasi besar

 Pasien dengan gangguan mental

 Pembedahan yang lama

 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan

 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :10

a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang

dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam

pembuluh darah vena, teknik anestesia dimana obat-obat anestesia diberikan

melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun

pelumpuh otot (Ting, 2007).

Indikasi Anestesi Intravena

1. Obat induksi anesthesia umum

2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat

3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

4. Obat tambahan anestesi regional

5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)

Beberapa variasi anestesia intravena (Ratna dan Chandra, 2012).

1. Anestesia intravena klasik


Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif contoh:

diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesi

yang dipenuhi dengan teknik ini adalah hipnotik dan anestesia.

Indikasi :

Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan

operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi

didaerah jalan nafas dan intraokuler.

Kontraindikasi:

a. Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya:

penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo

sitoma

b. Pasien yang menderita hipertensi intrakranial

c. Pasien penderita glaukoma

d. Operasi intra okuler.

2. Anestesi intravena total

Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik,

analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia

yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.

Indikasi :

Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal

Kontraindikasi :

Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan

penyakit yang diderita pasien.


3. Anestesia-analgesia neuroleptik

Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara

intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau

hipnotik ringan dan analgesia ringan. Kombinasi lazim adalah

dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat

digantikan dengan petidin atau morfin.

Indikasi:

a. Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi,

esofaguskopi, rektos-kopi

b. Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal

Kontraindikasi :

a. Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan

menyebabkan peningkatan gejala parkinson

b. Penderita penyakit paru obstruktif

c. Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.1,5

b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang

dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa

gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan yaitu N2O,

Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori

menggunakan sungkup muka, Endotrakeal tube nafas spontan, Endotrakeal tube

nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan

kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi

atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai

trias anestesi secara optimal dan berimbang.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-

anestesi.Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum

pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu

dilakukan adalah sebagai berikut:10

a. Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya

sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat

perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau

sesak nafas.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar

sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang

keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi

dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

c. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang sedang dicurigai.Pemeriksaan laboratorium rutin yang

sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa


perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di

atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.

d. Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang

ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :10

 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas

 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap

saat

 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.

 ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk

ditransplantasi.

 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau

IIE.

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan

premedikasi:10

 Meredakan kecemasan dan ketakutan


 Memperlancar induksi anestesi

 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

 Mengurangi refleks yang tidak diharapkan

 Mengurangi isi cairan lambung

 Mengurangi rasa sakit

 Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi

 Menurunkan basal metabolisme tubuh

Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan

keadaan umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam

sebelumnya atau per oral 2 jam sebelum anestesi.

Sebelum induksi anastesi

Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti.Tanggung jawab

untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah

apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum

sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui

hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung

mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa

mungkin.Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan

berpengalaman.Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten

Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah

terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan.Induksi intravena

hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan

terkendali.Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60

detik.Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus

diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang

kooperatif.

Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan

kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan

nyeri.Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis

tinggi.

Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan

dosis 2-3 mg/kgBB.

Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB.Pasca anestesi dengan

ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan

menggunakan sedative seperti midazolam.Ketamin tidak dianjurkan pada pasien

dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg).Ketamin menyebabkan

pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.

B. Jenis Obat Anestesi Intravena

1. Ketamin

Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine

yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin hidroklorida


adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non

barbiturate general anesthesia” (Miller, 2000)

Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering

menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca

anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan

mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi,

ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia,

dan sering disebut dengan emergence phenomena (Latief et al., 2010).

a. Mekanisme kerja

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor

opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek

analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat

menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik (Morgan et al.,

2006)

b. Farmakokinetik

i. Absorbsi

Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau

intramuscular dengan puncak level plasma dalam 10-15 menit

setelah injeksi intramuskuler (Morgan et al., 2006).

ii. Distribusi

Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat

akan didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 –

60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan


akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara

I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.

iii. Metabolisme

Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim

mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit yang masih aktif

(Miller, 2000).

c. Ekskresi

Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui

ginjal.

d. Farmakodinamik

i. Susunan saraf pusat

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik

pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai

tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan

nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak

disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,

menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi

dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian

Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan

tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan

halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami

agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan

peningkatan tekanan darah intracranial (Morgan et al., 2006).


Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik

dan amnesia ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2

µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun

jika Cp dibawah 0,5µg/ml.

Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-

aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan

(Morgan et al., 2006):

 Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat

 Mengurangi pembebasan presinaps glutamat

 Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)

Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis

yang berupa:

 Mimpi buruk

 Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar

dari badan)

 Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi

 Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan

 20%-30% terjadi pada orang dewasa

 Dewasa > anak-anak

 Perempuan > laki-laki

ii. Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata

terbuka spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat

peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.

iii. Sistem kardiovaskuler

Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat

simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan

jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif

dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

iv. Sistem pernafasan

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap

sistem respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat

simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada

pasien asma.

b. Dosis dan pemberian

Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara

intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada

anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V

atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10

mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan

harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau

kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit

dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat
untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV

atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.

c. Efek samping

Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air

liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah,

halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat

menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga

dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan

terjadinya nistagmus dan diplopia.

d. Kontra indikasi

Mengingat efek farmakodinamiknya yang relatif kompleks seperti

yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien

normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya

harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat,

misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan

intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi

intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif

terhadap obat – obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis,

Diabetes militus , PJK dll (Goodman dan Gilman,1985).

2. Opioid
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik.

Biasanya digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok

obat ini dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan

menyebabkan penurunan kesadaran. Efek yang dihasilkan dari pemakaian

obat golongan opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Efek

ini juga berhubungan erat dengan besarnya dosis, yang berarti semakin

banyak konsentrasi obat yang diberikan, semakin besar pula efek yang

didapatkan. Namun dosis harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk

tetap menjaga pasien tidak mengalami efek yang berlebihan (Hurford et

al., 2002).

Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi

adalah obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek

depresi pada fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid

sangat berguna untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung (Ting,

2007).

Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah,

kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal.

Pada pasien dengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat

dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin).

Narkotik juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal

secara langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek

menurunkan tekanan darah karena terjadi peningkatan stroke volume dari

jantung (Ting, 2007).


Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor

opioid dalam otak (amygdala) dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor

yang berbeda sudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek

analgesia, depresi respirasi, euphoria dan ketergantungan fisik. Reseptor

Kappa melayani efek analgesia pada level medula spinalis, sedasi dan

miosis. Reseptor yang lain bertanggung jawab untuk efek minor dan efek

negatif dari opioid (Ting, 2007).

Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine

(demerol), fentanyl (efk 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil,

alfentanil dan remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi

kerja.

a. Fentanyl dan sufentanyl dapat menurunkan (aliran darah otak)

CBF dan (mengontrol tekanan otak melalui tingkat konsumsi oksigen

metabolisme otak) CMRO2 dengan tetap memelihara autoregulasi otak. 15

menit setelah pemberian fentanyl 6 µg/kg mengurangi CBF sebesar 47%

dan CMRO2 sebesar 18%. Penelitian lain pada pasien yang akan menjalani

bedah jantung, fentanyl 100 µg/kg dan diazepam 0,4 mg/kg menyebabkan

berkurangnya CBF 25% tanpa perubahan pada CMRO2. 1.

Kombinasi fentanyl dan droperidol (Innovar) menurunkan CBF sebesar

50% dan CMRO2 sebesar 23%, juga mengurangi respon CBF terhadap

perubahan PaCO2. Kombinasi droperidol 5 mg dan fentanyl 100 µg

mengurangi tekanan CSF dan CBF menyebabkan berkurangnya volume

serebrovaskuler.
b. Efek fentanyl lainnya termasuk menginduksi mual muntah

melalui stimulasi chemoreseptor trigger zone di area postrema dasar

ventrikel IV dan rigiditas otot. Mual dan muntah selama operasi

dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani neurolepanestesi untuk

awake craniotomy dengan angka kejadian 50% meski profilaksis inti

muntah sudah diberikan. Rigiditas otot dinding dada dan perut yang

bersifat tonik atau klonik dilaporkan terjadi pada penggunaan fentanyl,

sufentanyl, alfentanyl, dan morfin tanpa aktifitas kejang pada gambaran

EEG.

c. Efek pernafasan

Fentanyl menyebabkan depresi pernafasan tergantung besarnya

dosis (2 µg/kg dapat menurunkan frekuensi pernafasan dengan kompensasi

meningkatnya volume tidal). Lambatnya depresi pernafasan paska operasi

dilaporkan setelah pemberian dosis kecil selama operasi. Hal in

disebabkan oleh karena fentanyl mengalami sirkulasi enterohepatik

sehingga menyebabkan secondary peak konsentrasi fentanyl dalam plasma

(rasio ekstraksi hepar=1) dan pelepasan fentanyl dari otot akibat

meningkatnya pergerakan tubuh selama fase pemulihan.

3. Midazolam

a. Benzodiazepin bekerja pada asam γ aminobutirat (GABA) yang

merupakan neurotransmiter utama disusunan saraf pusat. Benzodiazepin


yang berikatan dengan reseptor spesifik GABAA akan meningkatkan

afinitas neurotransmiter inhibisi dengan reseptor GABA. Ikatan ini akan

membuka kanal Cl- yang menyebabkan meningkatnya konduksi ion Cl-

sehingga menghasilkan hiperpolarisasi pada membran sel pasca sinap dan

saraf pasca sinap menjadi resisten untuk dirangsang. Efek resistensi

terhadap rangsangan ini diduga sebagai mekanisme efek ansiolitik, sedasi

dan antikonvulsi serta relaksasi otot pada benzodiazepin. Diduga bila 20%

reseptor GABA berikatan dengan benzodiazepin akan memberikan efek

ansiolitik, 30 – 50% untuk sedasi dan akan tidak sadar bila lebih dari 60%.

60 % reseptor GABAA terdapat pada ujung saraf post sinaps di sistem

saraf pusat (SSP). Karena anatomi distribusi reseptor ini, maka obat ini

mempunyai efek yang minimal di luar SSP. Sebaran terbanyak reseptor

GABA ditemukan di korteks serebri, diikuti penurunan jumlahnya di

hipothalamus, serebelum, hipokampus, medula oblongata dan medula

spinalis. Reseptor GABA A merupakan makromolekul yang terdiri dari

beberapa tempat ikatan, ikatannya bukan hanya dengan benzodiazepin

tetapi juga barbiturat, alkohol, propofol dan etomidat. Obat – obat tersebut

yang bekerja pada reseptor yang sama dengan mekanisme yang berbeda –

beda akan memberikan efek sinergik. Efek sinergik ini akan meningkatkan

efek inhibisi SSP masing – masing obat. Disamping itu adanya efek

amnesia yang cukup tinggi dengan angka kejadian >50% menyebabkan

midazolam juga sering digunakan secara intravena sebelum induksi

anestesi.23,25 Efek golongan benzodiazepin dapat terlihat pada EEG,


seperti barbiturat yang menurunnya aktifitas alpha dan meningkatnya

aktifitas beta. Midazolam, tidak seperti golongan barbiturat dan propofol,

tidak dapat menghasilkan EEG yang isoelektris.Seperti obat benzodiazepin

lainnya, midazolam bekerja pada reseptor GABA. Midazolam merupakan

obat golongan benzodiazepin dengan cicin imidazol. Obat ini tersedia

sebagai garam yang larut dalam air dengan pH 3,5. Adanya cincin

imidazol membuat obat ini stabil dalam larutan dan metabolismenya cepat.

Dalam pH fisiologis di dalam darah, cincin imidazol tertutup dan membuat

obat ini mempunyai kelarutan yang tinggi dalam lemak. Kelarutan yang

tinggi dalam lemak ini membuat mula kerja midazolam cepat (30 – 60

detik) dengan waktu paruh eliminasi 2-3 jam, midazolam 2-3 kali lebih

poten dan afinitasnya 2 kali lebih besar. Efek amnesia pada midazolam

lebih besar dari efek sedasinya. Jadi pasien mungkin bangun saat

pemberian midazolam, namun dia akan lupa beberapa kejadian atau

percakapan (instruksi setelah operasi) selama beberapa jam.

b. Farmakokinetik Midazolam dapat dengan cepat diabsorbsi dari

saluran cerna dan cepat melalui sawar darah otak. Durasi kerja yang

singkat dari pemberian tunggal dikarenakan kelarutan yang tinggi terhadap

lemak, cepat berdistribusi kembali dari otak ke jaringan melalui bersihan

melalui hati.23 Waktu paruh midazolam 1 – 4 jam, lebih singkat dari

diazepam. Waktu paruh meningkat pada usia lanjut, dikarenakan

menurunnya aliran darah hati dan mungkin juga aktifitas enzim. Volume

distribusi (Vd) dari midazolam dan diazepam memiliki kesamaan karena


kelarutan dalam lemak dan ikatan protein yang tinggi. Sebagai contoh,

pada orang gemuk, dosis induksi midazolam haruss sesuai dengan berat

badan sebenarnya dikarenakan meningkatnya timbunan obat pada lemak.

Namun, pemberian terus – menerus pada pasien gemuk harus berdasarkan

pada berat badan ideal, karena bersihan obat tidak tergantung berat badan.

c. Farmakodinamik Seluruh golongan benzodiazepin memiliki efek

hipnosis, sedasi, tenang, lupa, anti kejang dan relaksasi otot secara sentral.

Hingga sekarang belum diketahui secara pasti mekanismenya. Namun itu

muncul dari sub tipe reseptor yang berbeda. Sebagai contoh ketenangan,

anti kejang dan relaksasi otot dari reseptor GABAA sub unit α1 dan γ

sedangkan efek hipnotik dari reseptor lainnya.

d. Efek pada sistem saraf pusat Midazolam, seperti benzodiazepin

lainnya, menghasilkan penurunan kebutuhan oksigen untuk metabolisme

otak (CMRO2) dan aliran darah otak seperti barbiturat dan propofol. Pada

orang sehat, pemberian midazolam 0,15 mg/kgBB IV, menghasilkan

pasien tidur dan pengurangan aliran darah otak 34%. Perubahan EEG

mirip dengan diazepam seperti tidur ringan walaupun secara klinis pasien

sudah tertidur.

e. Efek pada sistem pernapasan Benzodiazepin, seperti obat

anestesi intravena lainnya, dapat menekan sistem pernapasan. Efek depresi

lebih besar pada midazolam dari diazepam dan lorazepam. Henti nafas

sementara terjadi setelah pemberian secara cepat dan dosis besar (>0,15

mg/kgBB IV) terlebih jika bersama dengan opioid.


f. Efek pada sistem kardiovaskular Diantara golongan

benzodiazepin, midazolam menyebabkan penurunan tekanan darah

terbesar, tapi dengan efek hipotensi yang minimal seperti pada thiopental.

Walaupun memiliki efek hipotensi, midazolam dosis tinggi 0,2 mg/kgBB

IV aman dan efektif untuk induksi pada pasien dengan aorta stenosis.

Midazolam tidak mengurangi curah jantung, jadi penurunan tekanan darah

dikarenakan penurunan tahanan pembuluh darah sistemik.

g. Penggunaan klinis Midazolam adalah obat golongan

benzodiazepin yang paling banyak digunakan sebagai premedikasi

terutama pada anak. Mula kerja yang cepat pada midazolam, dengan efek

puncak mencapai pada 2 – 3 menit setelah pemberian, namun masa pulih

sama dengan diazepam dikarenakan kedua obat memiliki redistribusi

plasma yang sama. Dosis midazolam 1 – 2,5 mg IV (mula kerja 30 - 60

detik, dengan efek puncak 2 – 3 menit, lama kerja 15 – 80 menit) efektif

sebagai sedasi saat Universitas Sumatera Utara 27 anestesi regional.

Dibanding diazepam, midazolam menghasilkan mula kerja yang cepat,

lebih amnesia dan cepat pulih sadar setelah operasi. Efek samping terbesar

pemberian midazolam adalah menekan sistem pernapasan dikarenakan

menurunnya ambang nafas, terlebih jika digabung dengan opioid.


LIPOMA PUNGGUNG

A. Definisi

Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak yang berada dibawah kulit yang

terdiri dari lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia lanjut (40-60 tahun),

namun juga dapat dijumpai pada anak-anak. Karena lipoma merupakan lemak,

maka dapat muncul dimanapun pada tubuh ini. Jenis yang paling sering adalah

yang berada lebih ke permukaan kulit (superficial). Biasanya lipoma berlokasi di

kepala, leher, bahu, badan, punggung, atau lengan. Jenis yang lain adalah yang

letaknya lebih dalam dari kulit seperti dalam otot, saraf, sendi, ataupun tendon.

B.Etiologi

Tidak selalu jika kita mempunyai orangtua atau leluhur yang mempnyai lipoma

ini, maka kita akan mempunyai lipoma juga. Namun ada suatu sindrom yang

disebut hereditary multiple lipomatosis, yaitu seseorang yang mempunyai lebih

dari 1 lipoma pada tubuhnya. Kegemukan tidak menyebabkan terjadinya lipoma.

C.GejalaKlinis

Lipoma bersifat lunak pada perabaan, dapat digerakkan, dan tidak nyeri.

Pertumbuhannya sangat lambat dan jarang sekali menjadi ganas. Lipoma

kebanyakan berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga mencapai lebih dari

diameter 6 cm.
D.Penatalaksanaan

Pada dasarnya lipoma tidak perlu dilakukan tindakan apapun, kecuali berkembang

menjadi nyeri dan mengganggu pergerakan. Biasanya seseorang menjalani operasi

bedah untuk alasan kosmetik. Operasi yang dijalani merupakan operasi kecil,

yaitu dengan cara menyayat kulit diatasnya dan mengeluarkan lipoma yang ada.

Namun hasil luka operasi yang ada akan sesuai dengan panjangnya sayatan.

Untuk mendapatkan hasil operasi yang lebih minimal, dapat dilakukan

liposuction. Sekarang ini dikembangkan tehnik dengan menggunakan gelombang

ultrasound untuk menghansurkan lemak yang ada. Yang perlu diingat adalah jika

lipoma yang ada tidak terangkat seluruhnya, maka masih ada kemungkinan untuk

berkembang lagi di kemudian hari.


BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien datang kepoli dengan keluhan Benjolan pada punggung yang dirasakan

sejak 2 bulan yang lalu, benjolan dirasakan semakin membesar, Nyeri (+),

Penurunan BB (-) Nafsu maka dan minum baik (-) Riwayat demam (-),Riwayat

Alergi (-),

Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan nadi 88x/menit;

respirasi 22x/menit; suhu 36,6OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi

yang dilakukan dengan hasil: RBC : 4,77 x106 Wbc : 8.2x103 Hb 12,7 g/dl ;

SGOT 8,SGPT 12, dan HBsAg non reaktif.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam.Tujuan

puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau

muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-

obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama

anestesia.

Dilakukan injeksi midazolam , fentanyl. Penggunaan premedikasi pada pasien

ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian

analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa

khawatir.Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu Ketamin. Dilakukan prosedur

operasi Bedah Eksisi pada tumor tersebut maka dokter anestesi memilih untuk

melakukan Anastesi general dengan teknik anastesi intravena klasik, sesuai


dengan indikasi dari teknik anastesi tersebut dimana dilakukan teknik tersebut

dikarenakan jenis operasi yang ringan dan ukuran yang kecil 2x2 cm pada daerah

punggung yang tidak memelukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan

berlangsung singkat.

Sebelum pemberian ketamin, dilakukan anamnesis singkat mengenai riwayat

hipertensi dan riwayat penyakit sebelumnya, pasien Dan dari hasil pemfis di

dapatkan tidak ada kelaian. Pasien dalam posisi lateral left decubitus,
BAB V

KESIMPULAN

Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum

yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke

dalam pembuluh darah vena, teknik anestesia dimana obat-obat anestesia

diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau

analgetik maupun pelumpuh otot (Ting, 2007).

Pada kasus ini, pasien Perempuan, 48 tahun pasien ASA I, dengan

diagnosis lioma punggung dilakukan teknik anestesi Intravena klasik. Dilakukan

pemantauan perdarahan dan vital sign baik intra operasi maupun post operasi.

Dalam kasus ini, pasien dilakukan anestesi intravena klasik merupakan suatu

teknik anestesi umum salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan

jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah

vena, teknik anestesia dimana obat-obat anestesia diberikan melalui jalur

intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh

otot (Ting, 2007). dengan tidak melibatkan perlindungan pada jalan napas dan

tidak menggunakan obat relaksasi (pelumpuh otot).


DAFTAR PUSTAKA

1. Mahmud, Uyun Yusmein, Pujo Purnomo Dedi. “Neuroleptik Analgesia


Pada Operasi Direct Laringoscopy”. Jurnal Komplikasi Anestesi Volume 4
Nomor 2. Maret 2017. Yogjakarta.
2. Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anastesi Umum dan Anastesi Lokal. Medan :
Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal : 1-38.
3. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Semarang: IDSAI: 2010; 185-207
4. F.S. Ratna, Chandra S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care. Jakarta: FKUI RSCM
5. Goodman and Gilman’s.1985. The pharmacological bases of therapeutics.
th
7 edition. New York : Mac Millian Publishing Co. Inc
6. Hurford, William E, et all. 2002. Clinical Anesthesia Procedures of the
Massachusetts General Hospital 6th edition. Massachusetts General
Hospital Dept. Of Anesthesia and Critical Care. Lippincott williams &
Wilkins Publishers.
7. Latief et al., 2010. Petunjuk Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.Jakarta: FKUI.
8. Miller, Ronald D. 2000. Anesthesia. Fifth ed. Churchill Livingstone.
Elsevier: Espana
9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange
Medical Books Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York
10. Ting, H. Paul. Intravenous Anesthetic. Available at :
http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 06 June
2013

Anda mungkin juga menyukai