OLEH :
KELOMPOK 6
Annisa Mutia 161000092
Nirina Aultri Wulandari 161000095
Ella Anggraini 161000099
FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2019
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Menular adalah penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh
agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit. (PERMENKES,2014)
Berdasarkan cara penularannya, Penyakit Menular dikelompokkan menjadi:
a. penyakit menular langsung; dan
b. penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit.
Penyakit menular langsung terbagi atas penyakit menular langsung yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Penyakit yang termasuk PD3I yaitu: Difteri; Pertusis; Tetanus; Polio;
Campak;Typhoid; Kolera; Rubella;Yellow Fever; Influensa; Meningitis; Tuberkulosis;
Hepatitis; penyakit akibat Pneumokokus; penyakit akibat Rotavirus; penyakit akibat Human
Papiloma Virus (HPV) (PERMENKES,2014)
Angka kematian penyakit ini di negara maju seperti di USA sebesar 5 dari 1000 bayi
lahir hidup, sedangkan di negara berkembang sejak tahun 1980, berdasarkan Expanded
Programme on Immunization (EPI) tahun 1992 angka kematian pertusis anak lebih dari 7 per
1000 kelahiran. Bagaimanapun angka kesakitan dan kematian setelah usaha EPI 1992
berkurang 60% (WHO,1996).
B. Pengertian
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh berdetellah
pertusis (Nelson, 2000 : 960). Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh
berdetella pertusisa, nama lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta, whooping cough, batuk
rejan. (Arif Mansjoer, 2000 : 428). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertusis
adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis, nama lain
penyakit ini adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.
C. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram
negatif, tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi
bertahan pada suhu 0o – 10o C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernapasan
(Cahyono dkk, 2010)
D. Gejala
Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah dan
adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan batuk, diikuti
dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita muntah setelah batuk.
Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka mungkin menjadi biru atau
berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin perlu ke rumah sakit. Anak yang
lebih besar dan orang dewasa mungkin menderita penyakit yang kurang serius, dengan
serangan batuk yang berlanjut selama berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung
dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut
paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari
etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100% batuk
paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami
whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau
penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3
minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis
3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas
kesehatan terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif
memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik >1 minggu,
kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan hampir 20% tidak memperlihatkan
manifestasi paroksismal, whoop, atau muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja
diyakini memiliki peranan penting pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak.
Kesulitan mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan
dan keterlambatan memberikan profilaksis. Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
E. Epidemiologi
Secara epidemiologi proses terjadinya penyakit terbagi menjadi 3 yaitu Host, Agent,
Environment. Dalam penyakit ini Host nya yaitu Manusia, dan terjadi pada semua kelompok
umur. Namun kasus terbanyak dijumpai pada golongan umur 1-4 tahun. Lalu Agent-nya yaitu
Bakteri Bordetella Pertussis merupakan golongan gram negatif . Dan environment yang
menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit pertusis ini terjadi pada lingkungan yang padat
penduduk
F. Patofisiologi
Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil yang tumbuh
secara aerobik pada darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan
nikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap
bahan-bahan berbahaya. Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gena virulen. Hanya B. Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Protein
virulem utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalang spesifik untuk B. Pertusis. Serotip bervariasi secara geografis dan sesuai
waktu.
Bordetella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3),
dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP
tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik, dan
adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan
gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak
aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa
darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositisis segera pada
binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis. (Nelson, 2000)
G. Stadium Penyebaran
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar
dibedakan dengan common cold. (Soedarmo, 2010).
Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti
droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah
diisolasi (Soedarmo, 2010).
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari
dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan
melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel
(James, 2005).
2. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)
Selama stadium ini frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat
pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh
usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking
(whoop) akibat udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak
yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi
whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis,
mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode
batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas
menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering
kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak
disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk
I. Cara Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,
ataupun dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus
menjaga diri dari orang yang terinfeksi pertusis (cdc.org).
Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin tersebut diberikan
pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam bulan, 15 – 18
bulan, dan 4 – 6 tahun (mayoclinic.org).
Efek samping dari vaksin tersebut termasuk ringan, seperti demam, sensitive
atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri atau rasa pegal ditempat yang
disuntik (mayoclinic.org).
Booster Shots
Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11
tahun. Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan
booster shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh
dari penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,
Dewasa
Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10
tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat dewasa
untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian vaksin DPT
pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari orangtua ke
anak/bayi.
Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk
menerima vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini
bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan
pertama kehidupan.
(mayoclinic.org)
DAFTAR PUSTAKA
Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius
Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad
Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik
Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.
James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-
1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping Cough. [Online].
Tersedia : http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/whooping-
cough/basics/prevention/con-20023295. (13 November 2015, 04:17)
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam:
Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI.
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI