kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah.
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula
dalam darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan
oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
Kesehatan, 2005).
8
9
klasifikasi DM yang dianjurkan yaitu yang dibuat oleh Perkeni serta sesuai dengan
Tabel 1
Tipe Keterangan
Diabetes Mellitus Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut:
Autoimun
Idiopatik
Diabetes Mellitus Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.
Diabetes Mellitus Tipe Lain 1. Defek genetik fungsi sel β
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pankreas
4. Infeksi
5. Karena obat atau zat kimia
6. Endokrinopati
7. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM
8. Sebab Imunologi yang jarang
diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang akan diambil serta cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan yaitu
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
pemantauan kendali mutu secara teratur). Namun, jika kondisi tidak mendukung
dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena ataupun kapiler dengan memperhatikan
angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO.
Tabel 2
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dL)
tidak disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin
gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini biasa disebut
sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari kurang
aktifitas fisik, obesitas dan penuaan. Peningkatan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan dapat juga terjadi pada penderita DM tipe 2 namun tidak terjadi
fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. (Depkes,
2005).
hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan
karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
produksi glukosa oleh hati. Karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin
sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan
(ADA, 2010)
(2018) pada keadaan diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin bisa normal bahkan lebih
12
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Pada keadaan DM tipe 2, jumlah reseptor insulin kurang, sehingga meskipun insulin
banyak, tetapi karena reseptornya kurang, maka glukosa yang masuk ke dalam sel
sedikit, sehingga sel kekurangan bahan bakar (glukosa) dan kadar glukosa dalam
darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan keadaan DM tipe 1.
Bedanya adalah pada DM tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga
tinggi atau normal. Pada DM tipe 2 juga bisa ditemukan jumlah insulin cukup atau
lebih tapi kualitasnya kurang baik sehingga gagal membawa glukosa masuk ke dalam
sel.
resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti : jaringan lemak (meingkatnya lipolysis),
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
2. Liver
13
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
meningkat.
3. Otot
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma. Peningkatan
kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid/FFA) akan merangsang proses
gluconeogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
Sel alpha pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui seak 1970. Sel alpha berfungsi dalam sintesis glucagon yang dalam
7. Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% daru glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbs melalui
peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada
glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
1. keluhan klasik.
kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel,
para penderita DM diambil dari cadangan lain seperti sel lemak dan otot. Akhirnya
b) Poliuria
kadar glukosa dalam darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing atau biasa
disebut Poliuri. Para penderita akan mengalami kencing yang sering serta dalam
jumlah yang banyak, sehingga hal tersebut akan mengganggu, terutama pada waktu
c) Polidipsia
Polidipsia atau perasaan rasa haus oleh penderita DM disebabkan oleh meningkatnya
difusi cairan dari intrasel ke dalam vaskular menyebabkan penurunan volume intrasel
yang menimbulkan dehidrasi sel. Hal ini menimbulkan perasaan rasa haus terus dan
selalu ingin minum oleh penderita DM. (Bare dan Suzanne, 2002).
d) Poliphagia
16
Poliphagia atau keadaan dimana nafsu makan meningkat terjadi karena penyerapan
glukosa dalam sel-sel tubuh berkurang sehingga energi yang dihasilkan pun kurang.
Penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah
2. keluhan lain.
b) Gangguan penglihatan
c) Gatal / Bisul
d) Gangguan Ereksi
e) Keputihan
diabetes mellitus dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor risiko yang dapat
Menurut Kotler (2002) gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia
Mellitus. Pola hidup tidak sehat seperti kurangnya aktifitas fisik, pola makan
17
tidak seimbang dengan kadar kolesterol yang tinggi, asupan konsumsi gula
3. Hipertensi
4. Dislipidemia
2. Jenis kelamin
3. Umur
tahun pada mereka yang memiliki berat badan berlebih, sehingga tubuhnya
4. Riwayat DM keluarga
menderita DM tipe 2. Jika kedua orang tua memiliki DM maka risiko untuk
risiko 10-30% lebih besar dari pada orang yang memiliki ayah dengan DM.
Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar
dari ibu. Jika saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita
DM adalah 10% dan 90% jika yang menderita adalah saudara kembar
Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah maka di masa dewasanya akan
(Kemenkes,2010).
kronik, yaitu komplikasi yang terjadi pada semua tingkat sel dan semua tingkat
darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal,
syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar,
serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai
dengan akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, TB paru dan infeksi kaki.
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi TB paru dibandingkan orang biasa,
mellitus memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan
umumnya berada pada kelompok umur 45-64 tahun, sedangkan di negara maju
kategori umur 15-24 tahun sebesar 0,6%, 25-34 tahun 0,8%, 35-44 tahun 1,7%,
45-54 tahun 3,9%, 55-64 tahun 5,5%, 65-74 tahun 4,8%, 75+ tahun 3,5%. Prevalensi
penderita DM tipe II menurut jenis kelamin laki-laki sebesar 2,0% dan perempuan
2,3%.
WHO (2008) prevalensi DM tipe II pada laki-laki 9,8% dan pada perempuan 9,2%.
Dalam sebuah penelitian dengan desain cross sectional, prevalensi DM tipe II pada
laki-laki 7,2% dan pada perempuan 5,8%. Hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa faktor yang terkait dengan diabetes pada laki-laki dan perempuan berusia 40
tahun ke atas adalah pendapatan yang rendah, obesitas, dan riwayat keluarga
tahun 2015 adalah 415 juta orang menderita diabetes dengan prevalensi 8.800 per
100.000 penduduk. Amerika utara dan Karibia adalah wilayah dengan prevalensi
tinggi yaitu 44,3 juta orang dengan DM 1.300 per 100.000 penduduk, Amerika
Tengah dan Selatan dengan 29,6 juta orang dengan DM 940 per 100.000 penduduk,
21
dan wilayah Pasifik Barat sebanyak 153,2 juta orang, wilayah ini tinggi dengan
orang penderita DM meskipun dengan prevalensi 930 per 100.000 tetapi mendekati
prevalensi dunia.
pada penelitian Riskesdas tahun 2007, prevalensi DM tipe II pada penduduk usia 15
tahun keatas di daerah urban sebesar 5.700 per 100.000 penduduk, dan pada tahun
2013 di daerah urban rural sebesar 6.900 per 100.000 penduduk (Mihardja dkk,
2015).
perkotaan tahun 2013 sebesar 2,5% sedangkan di daerah pedesaan tahun 2013
Berdasarkan data WHO tahun 2012 sekitar 347 juta orang di seluruh dunia
menderita DM tipe II, dan diperkirakan bahwa kematian akibat DM akan meningkat
dua pertiga kali antara tahun 2008 dan 2030. Beban DM meningkat secara global,
urutan ke-7 jumlah penderita DM tipe II terbanyak di dunia dengan jumlah 10,0
juta orang dan jika hal ini berlanjut diperkirakan pada tahun 2040 penderita DM
dapat mencapai 16,2 juta orang. Orang dengan DM memiliki peningkatan risiko
22
yang kuat. Indeksnya untuk DM tipe II pada kembar monozigot hampir 100%.
Risiko berkembangnya DM tipe II pada saudara kandung mendekati 40% dan 33%
untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik
the young), yaitu subtipe penyakit DM tipe II yang diturunkan dengan pola
autosomal dominan. Jika orangtua menderita DM tipe II, rasio diabetes dan
nondiabetes pada anak 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe II
kasus DM tipe II terjadi sesudah umur 40 tahun. Pada usia ini umumnya manusia
sekresi insulin karena gangguan pada sel beta prankreas dan resistensi insulin.
faktor risiko DM adalah orang yang berumur > 40 tahun (Perkeni, 2011).
obesity) adalah salah satu faktor yang memengaruhi timbulnya penyakit dan
23
lemak didaerah perut lebih sensitif terhadap regulasi enzim lipolisis dan hormon
badan yang ideal untuk mengurangi risiko, meskipun memiliki Indeks Massa Tubuh
(IMT). Lingkar pinggang adalah prediktor risiko diabetes yang lebih baik
pola makan memainkan peranan yang penting dalam proses terjadinya DM tipe II.
Konsumsi makanan yang tinggi energi dan tinggi lemak, selain aktivitas fisik yang
lemak simpanan yang jarang digunakan. Asupan energi yang berlebihan itu sendiri
akan meningkatkan resistensi insulin, sekalipun belum terjadi kenaikan berat badan
yang signifikan. Diet tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan
dengan DM tipe II. Diet yang kaya energi dan rendah serat akan meningkatkan
kenaikan berat badan dan resistensi insulin kendati pada populasi yang berisiko
toleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi
ini berlaku dengan tidak memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang
mendapat terapi insulin atau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan
intoleransi glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut
pada awal perjalanan penyakitnya, baik penyandang DM tipe I dan II yang hamil
maupun DMG memiliki penatalaksanaan yang kurang lebih sama (Adam dan
Purnamasari, 2009).
Hal ini dapat terjadi pada pasien DM tipe II selama kehamilan apabila
perubahan pola makan dan gaya hidup tidak dijalankan setelah kehamilan, maka
sebagian besar (>75%) wanita dengan diabetes gestasional akan menderita DM tipe II
tipe II. Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk
gaya hidup sehat sedini mungkin dengan memberikan pedoman sebagai berikut:
kemampuan.
menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM tipe II.
Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan usaha mendiagnosis DM tipe II. Karena
itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan terutama untuk mereka yang mempunyai
resiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaring glukosa darah. Dengan demikian
mereka yang mempunyai resiko tinggi DM tipe II dapat terjaring untuk diperiksa dan
benar mereka mengidap DM tipe II. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis DM tipe
II kemudian dapat dikelola dengan baik guna mencegah penyulit lebih lanjut.
Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulvea pada pasien wanita (Gustaviani, 2009). Diagnosis DM
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar
(Perkeni, 2011).
Pemeriksaan HbA1C dapat juga dijadikan sebagai salah satu kriteria diagnosis
DM. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah.
Ketika kadar gula darah tidak terkontrol (kadar gula darah tinggi) maka kadar gula
darah akan berikatan dengan hemoglobin. Oleh karena itu, rata- rata kadar gula darah
dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C (Perkeni,2011). Kadar HbA1C
didalam darah menggambarkan kadar gula darah rata-rata selama 3 bulan. Kadar
DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada
upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.
28
Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai
terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama
yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah
ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain- lain)
Kerangka Teori
Gambar 1.
Kerangka konsep
Gambar 2.
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis kelamin
Suku
Agama
3. Status Gizi
4. Komplikasi
5. Lama menderita DM
31