Anda di halaman 1dari 24

Tinjauan Pustaka

Definisi diabetes mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, DM merupakan suatu

gabungan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada

diabetes berkaitan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah.

(American Diabetes Association, 2005).

Menurut WHO, DM dapat diartikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula

dalam darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein

sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan

oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau

disebabkan oleh kurangnya responsif sel-sel tubuh terhadap insulin (Departemen

Kesehatan, 2005).

8
9

Klasifikasi diabetes mellitus

Menurut Buku Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu FKUI (2018)

klasifikasi DM yang dianjurkan yaitu yang dibuat oleh Perkeni serta sesuai dengan

klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA).

Tabel 1

Klasifikasi Diabetes Mellitus

Tipe Keterangan

Diabetes Mellitus Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut:
Autoimun
Idiopatik

Diabetes Mellitus Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.
Diabetes Mellitus Tipe Lain 1. Defek genetik fungsi sel β
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pankreas
4. Infeksi
5. Karena obat atau zat kimia
6. Endokrinopati
7. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM
8. Sebab Imunologi yang jarang

Diabetes Mellitus Diabetes mellitus gestasional adalah keadaan diabetes atau


Gestasional intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan
biasanya berlangsung hanya sementara.

Sumber: Perkeni, 2015

Diagnosis diabetes mellitus


10

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan

tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan adanya glukosuria. Dalam menentukan

diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang akan diambil serta cara

pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan yaitu

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah selayaknya

dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program

pemantauan kendali mutu secara teratur). Namun, jika kondisi tidak mendukung

dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena ataupun kapiler dengan memperhatikan

angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO.

Tabel 2

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan

diagnosis DM (mg/dL)

Jenis pemeriksaan Bukan DM Belum pasti DM


DM
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥200
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
darah sewaktu
(mg/dL)
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
darah puasa
(mg/dL)
Sumber: PERKENI 2015
11

Diabetes Mellitus Tipe 2. Menurut Departemen Kesehatan (2005) DM Tipe 2

tidak disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin

gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini biasa disebut

sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari kurang

aktifitas fisik, obesitas dan penuaan. Peningkatan produksi glukosa hepatik yang

berlebihan dapat juga terjadi pada penderita DM tipe 2 namun tidak terjadi

pengrusakan sel-sel βLangerhans secara autoimun seperti DM tipe 1. Kekurangan

fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. (Depkes,

2005).

Sedangkan menurut American Diabetes Association 2010 (ADA) DM tipe 2 atau

Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) merupakan proses terjadi

hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan

karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk

merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambar

produksi glukosa oleh hati. Karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin

sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan

mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Adanya resistensi insulin yang terjadi

perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor terhadap glukosa berkurang.

(ADA, 2010)

Etiologi. Menurut Buku Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu FKUI

(2018) pada keadaan diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin bisa normal bahkan lebih
12

banyak, tetapi jumlah reseptor (penangkap) insulin di permukaan sel kurang.

Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.

Pada keadaan DM tipe 2, jumlah reseptor insulin kurang, sehingga meskipun insulin

banyak, tetapi karena reseptornya kurang, maka glukosa yang masuk ke dalam sel

sedikit, sehingga sel kekurangan bahan bakar (glukosa) dan kadar glukosa dalam

darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan keadaan DM tipe 1.

Bedanya adalah pada DM tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga

tinggi atau normal. Pada DM tipe 2 juga bisa ditemukan jumlah insulin cukup atau

lebih tapi kualitasnya kurang baik sehingga gagal membawa glukosa masuk ke dalam

sel.

Patogenesis. Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan adanya

resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas. Selain otot,

liver dan sel beta, organ lain seperti : jaringan lemak (meingkatnya lipolysis),

gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal

(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut

berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2.

Secara garis besar pathogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh delapan hal:

1. Kegagalan sel beta pankreas

Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.

2. Liver
13

Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver

meningkat.

3. Otot

Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di

intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan

transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi

glukosa.

4. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan

peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma. Peningkatan

kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid/FFA) akan merangsang proses

gluconeogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan

mengganggu sekresi insulin.

5. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau

diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan

oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent

insulinothropic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada

penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.


14

6. Sel Alpha Pancreas

Sel alpha pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan

sudah diketahui seak 1970. Sel alpha berfungsi dalam sintesis glucagon yang dalam

keadaan puasa kadanya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini

menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding

individu yang normal.

7. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe 2.

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% daru glukosa terfiltrasi ini

akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada

bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbs melalui

peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada

glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.

8. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik

yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan

mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan

justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.

Gejala dan tanda-tanda awal. Penderita DM tipe 2 seringkali tidak

merasakan ataupun tidak menyadari gejala-gejala apapun sampai terjadinya

komplikasi.Beberapa kelihan dan gejala yang perlu mendapatkan perhatian ialah :


15

1. keluhan klasik.

a) Penurunan berat badan (BB)

Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus menimbulkan

kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel,

sehingga sel kekurangan untuk menghasilkan tenaga.Sehingga sumber tenaga dari

para penderita DM diambil dari cadangan lain seperti sel lemak dan otot. Akhirnya

penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.

b) Poliuria

Kekurangan insulin yang mengangkut glukosa ke dalam membran sel menyebabkan

hiperglikemia dan serum plasma meningkat (hiperosmolar). Oleh karena sifatnya,

kadar glukosa dalam darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing atau biasa

disebut Poliuri. Para penderita akan mengalami kencing yang sering serta dalam

jumlah yang banyak, sehingga hal tersebut akan mengganggu, terutama pada waktu

malam hari. (Bare dan Suzanne, 2002).

c) Polidipsia

Polidipsia atau perasaan rasa haus oleh penderita DM disebabkan oleh meningkatnya

difusi cairan dari intrasel ke dalam vaskular menyebabkan penurunan volume intrasel

yang menimbulkan dehidrasi sel. Hal ini menimbulkan perasaan rasa haus terus dan

selalu ingin minum oleh penderita DM. (Bare dan Suzanne, 2002).

d) Poliphagia
16

Poliphagia atau keadaan dimana nafsu makan meningkat terjadi karena penyerapan

glukosa dalam sel-sel tubuh berkurang sehingga energi yang dihasilkan pun kurang.

Penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah

seseorang akan lebih banyak makan. (Bare dan Suzanne, 2002).

2. keluhan lain.

a) Gangguan saraf tepi / Kesemutan

b) Gangguan penglihatan

c) Gatal / Bisul

d) Gangguan Ereksi

e) Keputihan

Faktor risiko. Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, faktor risiko

diabetes mellitus dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor risiko yang dapat

diubah dan faktor risiko yang tidak dapat diubah (Kemenkes,2013)

A. faktor risiko yang dapat diubah

1. Gaya hidup tidak sehat

Menurut Kotler (2002) gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia

yang di ekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup

menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan

lingkungannya. Gaya hidup juga berpengaruh terhadap munculnya Diabetes

Mellitus. Pola hidup tidak sehat seperti kurangnya aktifitas fisik, pola makan
17

tidak seimbang dengan kadar kolesterol yang tinggi, asupan konsumsi gula

yang berlebihan, kebiasaan merokok dan minum alkohol serta kurangnya

istirahat yang cukup berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Mellitus.

2. Berat badan lebih (Obesitas)

3. Hipertensi

4. Dislipidemia

5. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT)

B. faktor risiko yang tidak dapat diubah

1. Ras dan Etnik

2. Jenis kelamin

Perempuan lebih beresiko mengidap diabetes mellitus karena secara fisik

perempuan memiliki peluang peningkatan indeks massa tubuh yang lebih

besar, pasca-menapause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi

mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut wanita beresiko

menderita diabetes mellitus tipe 2 (Wahyuni,2010)

3. Umur

DM tipe 2 sering muncul setelah usia lanjut terutama setelah berusia 45

tahun pada mereka yang memiliki berat badan berlebih, sehingga tubuhnya

tidak peka terhadap insulin.

4. Riwayat DM keluarga

Faktor genetik sangat mempengaruhi terjadinya Diabetes Mellitus tipe 2.

Seorang anak dengan riwayat orang tua menderita DM beresiko 15%


18

menderita DM tipe 2. Jika kedua orang tua memiliki DM maka risiko untuk

menderita DM sebesar 75%. Orang yang memiliki ibu dengan DM memiliki

risiko 10-30% lebih besar dari pada orang yang memiliki ayah dengan DM.

Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar

dari ibu. Jika saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita

DM adalah 10% dan 90% jika yang menderita adalah saudara kembar

identik ( Diabetes UK,2010).

5. Riwayat lahir dengan BBLR

Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah maka di masa dewasanya akan

mempunyai risiko terkena berbagai penyakit salah satunya diabetes.

Seseorang yang mengalami BBLR dimungkinkan memiliki kerusakan

pankreas sehingga kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin akan

terganggu. Hal ini memungkinkan orang tersebut menderita DM tipe 2

(Kemenkes,2010).

Komplikasi diabetes mellitus tipe 2. DM yang tidak terkontrol dengan baik

dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut termasuk

hipoglikemia, hiperglikemia, Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemik

Hiperosmolar (HHS). Terjadinya hipoglikemia menunjukkan ketidaksesuaian

pemberian insulin terhadap konsumsi makanan dan pemakaian energi. Hipoglikemia

ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Sedangkan


19

hiperglikemia adalah keadaan gula darah melonjak secara tiba-tiba (Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia, 2011).

Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan

metabolisme yang berbahaya, anatara lain ketoasidosis diabetik dan status

hiperglikemik hipersomolar, yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa

kematian (Batubara, 2010).

Selain komplikasi akut, pada penyandang DM tipe II dapat terjadi komplikasi

kronik, yaitu komplikasi yang terjadi pada semua tingkat sel dan semua tingkat

anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh

darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal,

syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar,

manifestasi komplikasi kronik DM tipe II dapat terjadi pada pembuluh darah

serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai

bawah) (Waspadji, 2009).

Komplikasi lain DM tipe II dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi

dengan akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, TB paru dan infeksi kaki.

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi TB paru dibandingkan orang biasa,

sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes

mellitus memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan

glukosa darah (Ndraha, 2014).


20

Epidemiologi diabetes mellitus tipe 2

Distribusi dan Frekuensi. Penderita DM tipe II di negara berkembang

umumnya berada pada kelompok umur 45-64 tahun, sedangkan di negara maju

penderita DM tipe II berada pada usia di atas 64 tahun. Berdasarkan Riskesdas

(2013), prevalensi penderita DM tipe II meningkat seiring meningkatnya usia dengan

kategori umur 15-24 tahun sebesar 0,6%, 25-34 tahun 0,8%, 35-44 tahun 1,7%,

45-54 tahun 3,9%, 55-64 tahun 5,5%, 65-74 tahun 4,8%, 75+ tahun 3,5%. Prevalensi

penderita DM tipe II menurut jenis kelamin laki-laki sebesar 2,0% dan perempuan

2,3%.

Secara global, prevalensi DM tipe II lebih tinggi pada laki-laki. Menurut

WHO (2008) prevalensi DM tipe II pada laki-laki 9,8% dan pada perempuan 9,2%.

Dalam sebuah penelitian dengan desain cross sectional, prevalensi DM tipe II pada

laki-laki 7,2% dan pada perempuan 5,8%. Hasil penelitian tersebut menyatakan

bahwa faktor yang terkait dengan diabetes pada laki-laki dan perempuan berusia 40

tahun ke atas adalah pendapatan yang rendah, obesitas, dan riwayat keluarga

menderita diabetes (Grant, 2009).

Menurut IDF, prevalensi global diabetes di masyarakat (20-79 tahun) pada

tahun 2015 adalah 415 juta orang menderita diabetes dengan prevalensi 8.800 per

100.000 penduduk. Amerika utara dan Karibia adalah wilayah dengan prevalensi

tinggi yaitu 44,3 juta orang dengan DM 1.300 per 100.000 penduduk, Amerika

Tengah dan Selatan dengan 29,6 juta orang dengan DM 940 per 100.000 penduduk,
21

dan wilayah Pasifik Barat sebanyak 153,2 juta orang, wilayah ini tinggi dengan

orang penderita DM meskipun dengan prevalensi 930 per 100.000 tetapi mendekati

prevalensi dunia.

Di Indonesia prevalensi DM tipe II semakin meningkat, hal ini dapat dilihat

pada penelitian Riskesdas tahun 2007, prevalensi DM tipe II pada penduduk usia 15

tahun keatas di daerah urban sebesar 5.700 per 100.000 penduduk, dan pada tahun

2013 di daerah urban rural sebesar 6.900 per 100.000 penduduk (Mihardja dkk,

2015).

Menurut laporan hasil Riskesdas tahun 2013 oleh Kementrian Kesehatan RI

menunjukkan prevalensi DM tipe II di Indonesia sebesar 2,1%. Prevalensi

perkotaan tahun 2013 sebesar 2,5% sedangkan di daerah pedesaan tahun 2013

sebesar 1,7%. Dibandingkan di daerah pedesaan, daerah perkotaan memiliki

prevalensi yang lebih tinggi.

Berdasarkan data WHO tahun 2012 sekitar 347 juta orang di seluruh dunia

menderita DM tipe II, dan diperkirakan bahwa kematian akibat DM akan meningkat

dua pertiga kali antara tahun 2008 dan 2030. Beban DM meningkat secara global,

khususnya di negara-negara berkembang. Pada tahun 2015, Indonesia menempati

urutan ke-7 jumlah penderita DM tipe II terbanyak di dunia dengan jumlah 10,0

juta orang dan jika hal ini berlanjut diperkirakan pada tahun 2040 penderita DM

dapat mencapai 16,2 juta orang. Orang dengan DM memiliki peningkatan risiko
22

mengembangkan sejumlah masalah kesehatan akibat komplikasi akut maupun

kronik (IDF, 2015).

Determinan. Adapun determinan dari DM tipe 2 yaitu:

a. Genetik. Pada pasien DM tipe II, penyakitnya mempunyai pola familial

yang kuat. Indeksnya untuk DM tipe II pada kembar monozigot hampir 100%.

Risiko berkembangnya DM tipe II pada saudara kandung mendekati 40% dan 33%

untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik

terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of

the young), yaitu subtipe penyakit DM tipe II yang diturunkan dengan pola

autosomal dominan. Jika orangtua menderita DM tipe II, rasio diabetes dan

nondiabetes pada anak 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe II

(Price dan Wilson, 2006).

b. Usia. Diabetes Mellitus tipe II terjadi pada usia dewasa. Kebanyakan

kasus DM tipe II terjadi sesudah umur 40 tahun. Pada usia ini umumnya manusia

mengalami penurunan fungsi fisiologis dengan cepat, sehingga terjadi defisiensi

sekresi insulin karena gangguan pada sel beta prankreas dan resistensi insulin.

Sedangkan menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) salah satu

faktor risiko DM adalah orang yang berumur > 40 tahun (Perkeni, 2011).

c. Obesitas (Kegemukan). Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang

dapat memperburuk kondisi pasien. Pasien dengan obesitas sentral (abdominal

obesity) adalah salah satu faktor yang memengaruhi timbulnya penyakit dan
23

memperburuk DM tipe II karena obesitas sentral dikaitkan dengan peningkatan

risiko komplikasi kardiometabolik dan diabetes. Hal ini disebabkan akumulasi

lemak didaerah perut lebih sensitif terhadap regulasi enzim lipolisis dan hormon

endokrin terkait dengan resistensi insulin pada DM tipe II.

Peningkatan ukuran lingkar pinggang akan meningkatkan risiko penyakit

jantung dan komplikasi DM tipe II. Pengukuran lingkar pinggang sebesar 94 cm

untuk pria dan 80 cm untuk wanita membutuhkan manajemen penurunan berat

badan yang ideal untuk mengurangi risiko, meskipun memiliki Indeks Massa Tubuh

(IMT). Lingkar pinggang adalah prediktor risiko diabetes yang lebih baik

dibandingkan parameter lainnya, dan dapat digunakan sebagai distribusi prediksi

jaringan adiposa di daerah perut (Kirtishanti dkk, 2013).

d. Pola Makan (Diet). Pola makan merupakan determinan penting yang

menentukan obesitas dan juga memengaruhi resistensi insulin. Dengan demikian,

pola makan memainkan peranan yang penting dalam proses terjadinya DM tipe II.

Konsumsi makanan yang tinggi energi dan tinggi lemak, selain aktivitas fisik yang

rendah, akan mengubah keseimbangan energi dengan disimpannya energi sebagai

lemak simpanan yang jarang digunakan. Asupan energi yang berlebihan itu sendiri

akan meningkatkan resistensi insulin, sekalipun belum terjadi kenaikan berat badan

yang signifikan. Diet tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan

dengan DM tipe II. Diet yang kaya energi dan rendah serat akan meningkatkan

kenaikan berat badan dan resistensi insulin kendati pada populasi yang berisiko

rendah seperti orang-orang Eropa (Gibney, 2005)


24

e. Kehamilan. Diabetes Melitus yang terjadi pada saat kehamilan disebut

DM Gestasi (DMG). Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai suatu

toleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi

ini berlaku dengan tidak memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang

mendapat terapi insulin atau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan

intoleransi glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut

sebelum hamil sudah menjadi intoleransi glukosa. Meskipun memiliki perbedaan

pada awal perjalanan penyakitnya, baik penyandang DM tipe I dan II yang hamil

maupun DMG memiliki penatalaksanaan yang kurang lebih sama (Adam dan

Purnamasari, 2009).

Hal ini dapat terjadi pada pasien DM tipe II selama kehamilan apabila

perubahan pola makan dan gaya hidup tidak dijalankan setelah kehamilan, maka

sebagian besar (>75%) wanita dengan diabetes gestasional akan menderita DM tipe II

di masa depan (Greenstein dan Wood, 2007).

Upaya Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe II.

a. Pencegahan Primer. Pencegahan primer berarti mencegah terjadinya DM

tipe II. Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang

memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk

mendapat DM tipe II dan kelompok intoleransi glukosa. Tindakan yang dilakukan

untuk usaha pencegahan primer meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan

gaya hidup sehat sedini mungkin dengan memberikan pedoman sebagai berikut:

a. Mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang yaitu


25

meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi

lemak dan karbohidrat sederhana, mempertahankan berat badan normal/ideal

sesuai dengan umur dan tinggi badan.

b. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan

kemampuan.

c. Menghindari obat yang bersifat diabetogenik (Penatalaksanaan Diabetes

Melitus Terpadu, 2013).

b. Pencegahan Sekunder. Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau

menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM tipe II.

Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan usaha mendiagnosis DM tipe II. Karena

itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan terutama untuk mereka yang mempunyai

resiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaring glukosa darah. Dengan demikian

mereka yang mempunyai resiko tinggi DM tipe II dapat terjaring untuk diperiksa dan

kemudian yang dicurigai DM tipe II akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan

benar mereka mengidap DM tipe II. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis DM tipe

II kemudian dapat dikelola dengan baik guna mencegah penyulit lebih lanjut.

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.

Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil

dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan

adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah dilakukan di


26

laboratorium klinik (Gustaviani, 2009).

Uji diagnotik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda

DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka

yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan

dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk

memastikan diagnosis definitif (Gustaviani, 2009). Diagnosis klinis DM umumnya

bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin

dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulvea pada pasien wanita (Gustaviani, 2009). Diagnosis DM

dapat ditegakkan melalui tiga cara:

a. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >

200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

DM. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa keluhan klasik. Puasa diartikan

pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada

TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar

WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa


27

anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban

75g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan

glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan

tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam

praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus

(Perkeni, 2011).

Pemeriksaan HbA1C dapat juga dijadikan sebagai salah satu kriteria diagnosis

DM. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah.

Ketika kadar gula darah tidak terkontrol (kadar gula darah tinggi) maka kadar gula

darah akan berikatan dengan hemoglobin. Oleh karena itu, rata- rata kadar gula darah

dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C (Perkeni,2011). Kadar HbA1C

didalam darah menggambarkan kadar gula darah rata-rata selama 3 bulan. Kadar

normal HbA1C < 7% (Soegondo, dkk, 2009).

Pemeriksaan HbA1C dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien

DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal

penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan

pengendalian (Kee, 2003).

C. Pencegahan Tersier. Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok

penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah

terjadinya kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya

rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada

upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.
28

Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai

kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan

terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama

yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah

ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain- lain)

sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.


29

Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan umum mengenai variabel-variabel yang merupakan faktor

yang berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2 yang mempunyai

komplikasi, maka di susun kerangka teori sebagai berikut :

Gambar 1.

Teori sarang laba-laba menurut Marbach


30

Kerangka konsep

Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian maka kerangka

konsepsional dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.

Kerangka Konsep Penelitian

1. Sosiodemografi

Umur

Jenis kelamin

Suku

Agama

Pendidikan Kejadian Diabetes Mellitus


tipe 2 yang mempunyai
Pekerjaan
komplikasi
Daerah asal

2. Riwayat penyakit lainnya

3. Status Gizi

4. Komplikasi

5. Lama menderita DM
31

Anda mungkin juga menyukai