Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Bawang Putih

2.1.1 Taksonomi Bawang Putih

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Subkelas : Liliidae

Ordo : Liliales

Famili : Liliaceae

Genus : Allium

Spesies : Allium sativum (Stavelikova, 2008)

(Litbang Departemen Pertanian, 2008)


Gambar 2.1 Bentuk Tanaman Bawang Putih
Tanaman bawang putih (Allium sativum) yang
umumnya ditanam oleh masyarakat Indonesia

6
7

2.1.2 Nama Bawang Putih

2.1.2.1 Nama Daerah

Bawang bodas (Sunda), bawang (Jawa), bhabang pote (Madura),

lasun (Aceh), bawang handak (Lampung), dasun putih (Minangkabau),

lasuna (Batak), kasuna (Bali), langsuna (Sasak), ncuna (Bima), bawang

pulak (Tarakan), kosai boti (Buru), bawa bodubo (Ternate), bawa fiufer

(Irian Jaya) (Rukmana, 1995).

2.1.2.2 Nama Asing

Jumu (Akkadian), garleac (Inggris kuno), garlic (Inggris),

hazana (Babilonia), layi (Bambara), da juan (Cina), cesnek kucbynesky

(Ceko), bvidolk (Denmark), btun (Mesir), ail (Perancis), knobel

(Jerman), skorodon (Yunani kuno), skordo (Yunani modern), lai

(Haiti), tatanua (Hausa), lasbun (India) ninniku (Jepang), ajo

(Spanyol), vitlok (Swedia), chnoble (Swiss) (Liu, 2005).

2.1.3 Sejarah Bawang Putih

Bawang putih berasal dari negara-negara di Asia Tengah yang beriklim

subtropis, yaitu Cina dan Jepang. Berawal dari negara-negara tersebut,

bawang putih (Allium sativum) menyebar ke berbagai negara di benua Asia,

Eropa, Afrika, Australia, dan Amerika. Bawang putih (Allium sativum) yang

berada di Indonesia, awalnya dibawa oleh pedagang dari Cina kemudian

dibudidayakan oleh masyarakat pesisir. Seiring berjalannya waktu, bawang

putih (Allium sativum) tidak hanya dikenal oleh masyarakat pesisir namun

juga dikenal oleh masyarakat pedalaman, dan hingga saat ini bawang putih

(Allium sativum) familiar dengan kehidupan masyarakat Indonesia.


8

Bawang putih sering digunakan sebagai bumbu penyedap berbagai

masakan tradisional di Indonesia. Penggunaan bawang putih (Allium sativum)

sebagai bumbu penyedap masakan tetap bertahan hingga saat ini, walaupun

banyak bumbu penyedap masakan modern dengan kemasan menarik yang

terdapat di pasaran, bahkan bawang putih (Allium sativum) sering

dikombinasikan dengan bumbu masakan modern sehingga didapatkan cita

rasa masakan yang diinginkan (Syamsiah, 2003). Bawang putih (Allium

sativum) selain digunakan sebagai bumbu penyedap masakan, sejak dahulu

juga sering digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pengobatan

tradisional, seperti sebagai bahan tambahan minyak untuk pijat dan

pembuatan ramuan yang bermanfaat untuk mengobati berbagai penyakit

(Susanto, 2014).

2.1.4 Morfologi Bawang Putih

Bawang putih merupakan jenis tumbuhan tahunan (herba perennial),

berumbi, serta memiliki kekerabatan dengan bawang merah (Allium cepa L.

var. aggregatu) dan bawang bombay (Allium cepa L. var. cepa). Struktur

morfologi tanaman bawang putih (Allium sativum) terdiri dari akar, batang,

bunga, dan daun. Akar bawang putih berbentuk serabut dan berada di bawah

diskus, sedangkan di atas diskus terdapat batang dengan lebar 0,5–1 cm dan

tinggi 30-70 cm. Batang bawang putih memiliki media penyimpanan

cadangan makanan yang disebut umbi. Umbi bawang putih merupakan

bagian yang sering digunakan sebagai bumbu penyedap masakan maupun

sebagai bahan yang berkhasiat menyembuhkan penyakit (Kemper, 2000).

Umbi bawang putih terdiri dari beberapa siung, umumnya tiap umbi memiliki
9

15-20 siung. Siung bawang putih terdiri dari dua helai daun dewasa dan

sebuah tunas vegetatif. Siung bawang putih dibungkus oleh selaput tipis yang

jumlahnya berlapis-lapis (Wibowo, 2008). Bunga bawang putih umumnya

berwarna putih dan ungu. Bunga tersebut tersusun secara majemuk. Daun

bawang putih berbentuk tegak, bergaris, memiliki tepi yang rata, dan ujung

daunnya runcing. Bentuk daun tersebut menyerupai pita dengan lebar 0,4–1,5

cm dan panjang 60–70 cm.

(Rin, 2013)
Gambar 2.2 Morfologi Tanaman Bawang Putih
Tanaman bawang putih (Allium sativum) memiliki
.struktur yang terdiri dari akar, batang, bunga, dan daun

2.1.5 Penanaman dan Distribusi Geografis Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum) merupakan tanaman yang berasal dari

daerah subtropis, sehingga di Indonesia umumnya habitat penanaman bawang


10

putih (Allium sativum) berada pada daerah dataran tinggi. Bawang putih

(Allium sativum) tumbuh dengan baik pada ketinggian tanah lebih dari 600

meter di atas permukaan laut (mdpl). Berdasarkan pengujian terhadap varietas

bawang putih (Allium sativum), beberapa jenis bawang putih (Allium sativum)

yang ditanam di daerah dataran rendah atau daerah dengan suhu udara di atas

25 C, mengalami penghambatan pertumbuhan dan sulit membentuk umbi.

Penanaman bawang putih (Allium sativum) agar tumbuh dengan baik, harus

memperhatikan beberapa hal, antara lain :

1) Iklim

Bawang putih (Allium sativum) cocok ditanam dengan curah hujan

tahunan 800-2.000 mm per tahun, suhu udara 150–200 C, kelembapan

tinggi, dan penyinaran matahari yang sedang.

2) Tanah

Bawang putih idealnya ditanam pada jenis tanah gromosol (ultisol)

dengan tekstur tanah yang gembur, kedalaman air tanah berkisar 50–

150 cm dari permukaan tanah, kesuburan tanah tinggi, dan pH tanah 6–

6,8.

Daerah penghasil bawang putih (Allium sativum) dengan skala besar

untuk memenuhi kebutuhan pasar secara nasional berasal dari Tegal,

Pemalang, Karanganyar, dan Palu. Berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi

Jawa Timur (2013), daerah penghasil bawang putih khusus dalam memenuhi

kebutuhan pasar di Provinsi Jawa Timur terutama berasal dari Batu, Malang,

Magetan, dan Pacitan.


11

2.1.6 Kandungan Gizi dan Manfaat Bawang Putih

Berdasarkan penelitian mengenai tanaman bawang putih (Allium

sativum), hingga saat ini telah diketahui beberapa kandungan gizi yang

terdapat pada bawang putih (Allium sativum), yaitu :

Tabel 2.1 Informasi Gizi yang terdapat dalam 100 g Bawang Putih
Nilai kandungan
Kandungan Satuan
per 100 gram
Air g 58,58
Energi Kcal 149
Energi KJ 623
Protein g 6,36
Total lemak g 0,5
Karbohidrat g 33,06
Gula g 1,00
Mineral
Kalsium mg 181
Besi (Fe) mg 1,70
Magnesium (Mg) mg 25
Fosfor (P) mg 153
Kalium (K) mg 401
Natrium (Na) mg 17
Zink (Zn) mg 1,16
Tembaga (Cu) mg 0,299
Mangan (Mn) mg 1,672
Selenium (Sn) mcg 14,2
Vitamin
Vitamin C mg 31,2
Vitamin B6 mg 1,235
Beta karoten mcg 5
Vitamin A (IU) IU 9
Vitamin E (alpha tochoperol) mg 0,08
Vitamin K (phylroquinone) mcg 1,7
Asam amino
Tryptophan g 0,066
Thereonine g 0,157
Isoleusin g 0,217
Metionin g 0,308
Sistin g 0,076
Lisin g 0,065
(United States Departement of Agriculture, 2010)
12

Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, berbagai penelitian

bertujuan mengetahui manfaat kandungan yang terdapat pada bawang putih

(Allium sativum). Kandungan gizi maupun senyawa-senyawa yang terdapat

pada bawang putih (Allium sativum) secara klinis memiliki potensi

farmakologis sebagai anti diabetik, antibiotik, anti virus, antioksidan, anti

kolesterol, anti inflamasi, anti hipertensi, anti kanker dan anti aterosklerosis.

Berdasarkan potensi farmakologis tersebut, bawang putih (Allium sativum)

telah diteliti memiliki pengaruh terhadap pencegahan berbagai penyakit

antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, dan

kanker (Majewski, 2014).

2.1.7 Senyawa Kimia Bawang Putih

Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, selain memiliki

kandungan gizi, bawang putih (Allium sativum) juga mengandung senyawa-

senyawa kimia, antara lain :

a) Senyawa organosulfur : Alliin, Allicin, Diallil disulfida (DADS),

Diallil trisulfida (DATS), Diallil sulfida (DAS), Metallil sulfida,

Dipropil sulfida, Dipropil disulfida, Allil merkaptan, Allil metil

sulfida, E-ajoene, Z-ajoene, 2-vinil-(4H)-1,3- dithiin, 3-vinil-(4H)-

1,2-dithiin, S-propilsistein (SPC), S-etil-sistein (SEC), dan S-metil-

sistein (SMC) (Zhang, 1999).

b) Senyawa organoselenium : Se-(metil)selenosistein, Selenometionin,

dan Selenosistein (Gupta, 2001).

c) Senyawa flavonoid : Kampferol-3-O-β-Dglukopiranosa dan

Isorhamnetin -3-O-β-Dglukopiranosa (Kim, 2000).


13

d) Senyawa frukto-peptida : Nα-(1-deoxy-Dfructose-1-yl)-L-arginin

(Ryu, 2001).

e) Enzim: Allinase, Peroksidase, dan Myrosinase (Zhang, 1999).

Bawang putih (Allium sativum) mengandung konsentrasi senyawa

organosulfur tertinggi dibanding dengan genus Allium lainnya. Komponen

utama yang menyusun bawang putih (Allium sativum) disebut dengan

komplek sativumin. Dekomposisi komplek sativumin akan menghasilkan bau

khas yang berasal dari senyawa-senyawa organosulfur yang terdapat di dalam

bawang putih (Sunarto, 1995). Bau khas yang berasal dari bawang putih

(Allium sativum) akan timbul bila jaringan tanaman tersebut rusak sebab

prekusor terjadinya dekomposisi komplek sativumin yang menyebabkan bau

khas terdapat pada daerah sitoplasma.

2.1.8 Pembentukaan Senyawa Kimia Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum) mengandung komponen -glutamil

sistein dalam jumlah yang banyak. Komponen tersebut mengalami proses

hidrolisis dan oksidasi sehingga berubah menjadi Alliin. Alliin terakumulasi

secara alami pada penyimpanan suhu kamar (20–25 C). Bila bawang putih

(Allium sativum) diiris, enzim yang terdapat pada vakuola (Alliinase) menjadi

aktif dan mengubah Alliin menjadi Allicin. Senyawa Allicin yang telah

terbentuk, memiliki karakteristik tidak stabil sehingga Allicin secara cepat

berubah bentuk menjadi kelompok senyawa Allil sulfida, yaitu Diallil

disulfida (DADS) (1), Diallil trisulfida (DATS) (2), Diallil sulfida (DAS) (3),

Metallil sulfida (4), Dipropil sulfida (5), Dipropil disulfida (6), Allil

merkaptan (7), dan Allil metil sulfida (8). Aliicin juga menjadi prekusor
14

pembentukan kelompok senyawa Ajoene, yaitu E-ajoene (9) dan Z-ajoene

(10), serta kelompok senyawa dithiin, misalnya 2-vinil-(4H)-1,3- dithiin (11)

dan 3-vinil-(4H)-1,2-dithiin (12) (Zhang, 1999).

(Zhang, 1999)
Gambar 2.3 Pembentukan senyawa organosulfur pada bawang putih
-glutamil sistein yang terdapat pada bawang putih (Allium sativum) dapat berubah
menjadi senyawa S-allil sistein (SAC), selain itu senyawa tersebut juga dapat
berubah menjadi senyawa Allin. Bawang putih (Allium sativum) yang telah diiris akan
menyebabkan perubahan senyawa Allin menjadi Allicin dengan bantuan enzim
Alliinase. Allicin yang telah terbentuk secara cepat akan berubah menjadi senyawa
turunan seperti DAS, DADS, DATS, Dithiin, Ajoene, dan lain-lain

Konsentrasi kandungaan senyawa organosulfur pada bawang putih

(Allium sativum) didominasi oleh senyawa Diallil disulfida (1.500–27.000

ppm), Diallil trisulfida (16–613 ppm), Allil merkaptan (6–279 ppm), Allil

metil sulfida (2–99 ppm), Ajoene (10–25 ppm), 2-vinil-(4H)-1,3- dithiin (2-

24 ppm), S-allil sistein (1-10 ppm) serta sebagian kecil senyawa-senyawa

organosulfur yang lain (Hilda, 2000). Beberapa penelitian menyebutkan

bahwa senyawa Diallil disulfida, Diallil trisulfida, dan Allil merkaptan

memiliki aktivitas farmakologis terhadap penyakit tertentu (Amagase et al.

2001).
15

Diallil disulfida (1) Diallil trisulfida (2)

Diallil sulfida (3) Metallil sulfida (4)

Dipropil sulfida (5) Dipropil disulfida (6)

Allil merkaptan (7) Allil metil sulfide (8)

E-ajoene (9) Z-ajoene (10)

2-vinil-(4H)-1,3- dithiin (11) 3-vinil-(4H)-1,2-dithiin (12)


(Zhang, 1999)
Gambar 2.4 Struktur kimia penyusun bawang putih
Bawang putih (Allium sativum) yang telah diolah akan
menghasilkan berbagai senyawa dengan struktur kimia yang
bervariasi

2.1.9 Mekanisme Kerja Bawang Putih terhadap Aterosklerosis

Berdasarkan patogenesis terjadinya aterosklerosis, pembentukan

aterosklerosis dapat dipicu oleh peningkataan kadar kolesterol dalam darah,

sehingga hubungan antara proses terjadinya aterosklerosis dengan biosintesis

kolesterol sangat erat. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah akan


16

meningkatkan risiko dan secara progresif akan mempercepat perkembangan

aterosklerosis. Mekanisme utama senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada

bawang putih (Allium sativum) dalam menghambat perkembangan

aterosklerosis, terjadi melalui penghambatan terhadap biosintesis kolesterol.

Biosintesis kolesterol yang dihambat oleh senyawa-senyawa kimia yang

terdapat pada bawang putih (Allium sativum) akan menyebabkan penurunan

kadar LDL yang terdapat di dalam darah. Berdasarkan hasil studi invitro,

tidak semua senyawa-senyawa kimia pada bawang putih (Allium sativum)

berperan penting terhadap penurunan tersebut, hanya beberapa senyawa yang

memiliki efek dalam menghambat biosintesis kolesterol.

Senyawa-senyawa kimia terutama Diallil disulfida, Diallil trisulfida,

dan Allil merkaptan yang terdapat pada bawang putih (Allium sativum)

merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis kolesterol (Benerjee dan

Maulik, 2002). Senyawa-senyawa tersebut menghambat biosintesis kolesterol

melalui inhibisi enzim sterol 4 α-methyl oxydase pada cholesterolgenic

pathway. Penghambatan pada enzim tersebut menyebabkan 4,4-

dimethylzymosterol dan 4-Methylzymosterol tidak dapat berubah bentuk

menjadi tahapan selanjutnya sesuai dengan urutan cholesterolgenic pathway,

sehingga terjadi pengurangan jumlah kolesterol yang disintesis. 4,4-

dimethylzymosterol yang tidak dapat berubah bentuk menyebabkan terjadinya

akumulasi. Akumulasi 4,4-dimethylzymosterol akan memicu terjadinya

rangsangan mekanisme umpan balik negatif (negative feedback) yang

berkerja spesifik menekan aktivitas enzim HMG-CoA reduktase (Singh &

Porter, 2006). Mekanisme tersebut menyebabkan terjadinya pembatasan


17

terhadap aktivitas enzim HMG-CoA reduktase, sehingga hanya sedikit HMG-

CoA yang dapat dikatalis menjadi mevalonat dan seterusnya sesuai dengan

urutan cholesterolgenic pathway, hingga pada akhirnya akan semakin

mengurangi jumlah kolesterol yang disintesis.

(Singh & Porter, 2006)


Gambar 2.5 Mekanisme kerja senyawa yang terdapat pada bawang putih
Senyawa Diallil disulfida, Diallil trisulfida, dan Allil merkaptan secara langsung
menghambat enzim sterol 4 α-methyl oxydase pada cholesterolgenic pathway, hal tersebut
menyebabkan berukurangnya jumlah kolesterol yang disintesis. Selain itu penghambatan
biosintesis kolesterol juga terjadi secara tidak langsung yaitu melalui mekanisme umpan
balik negatif (negative feedback) yang menyebabkan penghambatan secara spesifik
terhadap HMG CoA reductase sehingga akan menghambat tahapan selanjutnya pada proses
pembentukan kolesterol, hingga pada akhirnya akan semakin mengurangi jumlah kolesterol
yang disintesis
18

2.1.10 Farmakokinetik dan Dosis Senyawa Aktif Bawang Putih

Diallil disulfida, Diallil trisulfida, dan Allil merkaptan merupakan

senyawa turunan Allicin dan termasuk dalam kelompok senyawa

organosulfur, meskipun struktur kimianya berbeda namun karakteristik

senyawa-senyawa tersebut tidak jauh berbeda. Senyawa-senyawa tersebut

diserap dengan baik secara oral pada tikus, mencapai konsentrasi serum

maksimum selama kurang lebih 10-15 menit. Senyawa-senyawa tersebut

didefekasi dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu sekitar 8-12 jam.

Senyawa tersebut mencapai efek puncak (peak effect) yang bervariasi

umumnya berkisar 30-120 menit dan dapat bertahan dalam sirkulasi darah

hingga 4-5 hari. Ekskresi senyawa-senyawa tersebut terjadi melalui ginjal,

hati, dan feses (Kemper, 2000). Dosis ekstrak bawang putih (Allium sativum)

per oral pada tikus tidak lebih dari 1 g/ekor/hari dengan tujuan menghindari

terjadinya efek samping pengkonsumsian jangka panjang. Sedangkan, dosis

aman pengkonsumsian bawang putih (Allium sativum) pada manusia dewasa

yaitu 2-6 g/hari (Handayani, 2006).

2.2 Otak

2.2.1 Anatomi Otak

Otak merupakan bagian dari susunan saraf pusat. Otak terletak di dalam

cavum crannii (rongga tengkorak). Otak memiliki struktur-struktur tertentu

yang memiliki fungsi tersendiri. Menurut Dayce et al. (2002), struktur

anatomi otak manusia dibagi menjadi hindbrain (rohombenchephalon) terdiri

atas medula oblongata, pons, dan cerebellum; midbrain (mesencephalon);

forebrain terdiri atas diencephalon dan tencephalon (cerebrum). Berdasarkan


19

struktur tersebut, otak secara umum memiliki fungsi yang berkaitan dengan

somatik, otonomik, reflek, dan fungsi vegetatif sehingga manusia dapat

beradaptasi terhadap lingkungannya (Mardiati, 2006).

(Stuart, 2012)
Gambar 2.6 Struktur anatomi pada otak manusia
Otak manusia secara anatomi dibagi menjadi beberapa bagian
yaitu serebrum, diensefalon, serebellum, dan batang otak
(mesensefalon, pons, dan medula oblongata)

2.2.2 Fisiologi Otak

Serebrum atau otak besar merupakan bagian dari otak depan (forebrain)

yang terdiri atas sepasang hemisfer, yaitu hemisfer kanan dan kiri. Kedua

hemisfer tersebut dihubungkan oleh corpus calosum yang berfungsi

menyampaikan impuls antara kedua hemisfer. Serebrum secara umum

bertugas mengatur pikiran dan gerak-gerik tubuh. Serebrum berperan dalam

menerima dan mengolah pesan mengenai sesuatu yang sedang dilihat,

didengar, dicium, dikecap, dan diraba. Serebrum juga mengendalikan

kemampuan berfikir, menulis, berbicara, dan mengungkapkan emosi

(Goleman, 1995).
20

Lapisan luar serebrum disebut dengan korteks serebri. Korteks serebri

berisi lapisan-lapisan yang terdiri dari neuron dan neuroglia yang memiliki

peran masing-masing (duus, 1996). Korteks serebri terdiri atas dua substansia

yaitu, substansia yang berada di bawah korteks disebut dengan substansia

alba (massa putih). Substansia alba didominasi oleh oligodendrosit dan

miliyaran akson bermielin. Sedangkan substansia yang berada pada bagian

permukaan korteks serebri disebut dengan substansia grisea (massa kelabu).

Substansia grisea terletak di bawah pia meter dan didominasi oleh berbagai

jenis sel sesuai dengan startum yang menyusun substansia tersebut.

Bagian dalam serebrum terdapat talamus dan hipotalamus. Talamus

merupakan bagian otak yang berperan merelai rangsangan sensoris ke korteks

serebri. Bagian bawah talamus terdapat hipotalamus. Hipotalamus merupakan

bagian otak yang mengatur kebutuhan dasar tubuh, yaitu pusat integrasi

susunan saraf otonom, regulasi suhu tubuh, membantu dalam menjaga

homeotasis cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus tidur dan bangun,

kontrol intake makanan, respon perilaku terhadap emosi, kontrol endokrin

(rilis hormon), dan respon seksual (Fred, 2010).

2.2.3 Sirkulasi Darah Otak

Otak mendapatkan suplai darah dari 3 arteri besar di leher yaitu arteri

karotis interna dekstra dan sinistra pada bagian anterior serta arteri basilaris

pada bagian posterior. Berdasarkan pembagian suplai aliran darah untuk

memenuhi kebutuhan jaringan otak, sekitar 80 % disuplai melalui arteri

karotis interna dekstra dan sinistra, sedangkan sekitar 20 % sisanya disuplai

melalui arteri basilaris. Distribusi aliran darah pada jaringan otak melalui
21

sirkulasi kolateral yang memvaskularisasi bagian-bagian pada otak. Sirkulasi

kolateral tersebut disebut dengan sirkulus wilisi (Brogren, et al, 2004).

Sirkulus wilisi terdiri atas dua arteri serebral anterior, satu arteri

komunikans anterior, dua arteri serebral posterior, dan dua arteri komunikans

posterior. Terbentuknya sirkulus wilisi memungkinkan terjadinya sirkulasi

darah yang menghubungkan antara kedua hemisfer dan antara bagian anterior

dengan posterior otak, selain itu memungkinkan adanya alternatif sirkulasi

bila terdapat suatu pembuluh darah yang mengalami gangguan (Ardakani

K.S., 2008). Sirkulus wilisi berperan dalam distribusi oksigen pada bagian-

bagain otak, sehingga stiap bagian otak mendapatkan suplai oksigen dalam

jumlah yang adekuat secara konstan. Aliran darah otak (ADO) yang normal

pada jaringan otak sekitar 60 ml–80 ml /100 gram otak/menit dan otak

menggunakan 20% oksigen dari tubuh. Menurut Hartwig (2012), terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi Aliran Darah Otak (ADO), yaitu :

1) Faktor ekstrinsik

a. Tekanan darah sistemik

b. Diameter pembuluh darah

c. Viskositas darah

2) Faktor intrinsik

a. Autoregulasi

b. Faktor biokimiawi, meliputi:

- Karbondioksida dan oksigen

- Ion H + dan K +

c. Sistem saraf otonom


22

(Moskowitz, 2005)
Gambar 2.7 Perjalanan sirkulasi darah dari jantung menuju ke otak
Sirkulasi darah ke otak berawal dari arcus aorta menuju truncus braciocepalika
kemudian menuju arteri karotis komunis dektra selanjutnya menuju arteri karotis
interna dekstra, sedangkan arteri karotis interna sinistra berasal dari arteri karotis
komunis sinistra. Arteri karotis interna dekstra dan sinistra memiliki beberapa pars
yaitu petrosa, cavernosa, dan serebrum. Pars serebrum melanjutkan sirkulasi darah
menuju ke sirkulus wilisi yang berada pada basis cranii, sirkulus wilisi juga
mendapatkan suplai dari arteri basilaris

2.2.4 Histologi Korteks Serebri

Korteks serebri tersusun atas berbagai macam jenis sel. Sel-sel tersebut

tersebar dalam stratum yang terdapat pada korteks serebri (Eroschenko,

2003). Terdapat variasi susunan sel yang berbeda pada setiap stratum

korteks, secara histologi berdasarkan penyebaran sel-sel tersebut dapat

dibedakan menjadi enam stratum yang berbeda, dari permukaan luar korteks

serebri, yaitu :

1) Stratum Molekularis

Stratum molekularis atau pleksiformis merupakan lapisan terluar

pada korteks serebri. Bagian atas stratum molekularis terdapat pia mater

dan pembuluh darah, sedangkan pada bagian bawah stratum molekularis

didominasi oleh neuroglia. Jenis neuroglia yang banyak terdapat pada


23

stratum molekularis yaitu astrosit, oligodenderosit, dan mikroglia.

Penamaan astrosit berasal dari kata astral yang berarti bintang, hal

tersebut didasarkan pada hasil pengamatan secara mikroskopis, bentuk

sel tersebut menyerupai bintang. Jenis astrosit terbanyak pada stratum

molekularis yaitu astrosit protoplasmatik. Astrosit protoplasmik memiliki

bentuk badan sel yang menyerupai sel piramidal dan inti sel yang besar.

Bentuk sitoplasma astrosit protoplasmik yaitu bercabang, pendek, dan

tebal. Oligodendrosit memiliki bentuk yang lebih kecil dari astrosit

protoplasmik, dengan cabang sitoplasma lebih pendek dan sedikit. Inti sel

oligodendrosit berukuran kecil, sitoplasma di sekitar inti sedikit dan

tampak sebagai pinggiran perinuklear. Mikroglia berukuran kecil dan

letaknya berbatasan dengan pembuluh darah pada stratum molekularis.

Badan sel mikroglia berbentuk gepeng dan intinya sukar dilihat, selain

sel-sel tersebut pada stratum molekularis juga terapat sel horizontal (cjal)

yang berbentuk pipih dengan dendrit dan akson yang mengarah ke

stratum granularis eksterna.

2) Stratum Granularis Eksterna

Bagian atas stratum granularis eksterna disusun oleh sel neuroglia.

Sama seperti stratum molekularis, sel neurglia yang menyusun stratum

granularis eksterna antara lain astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia.

Jenis astrosit yang menyusun startum granularis eksterna adalah astrosit

protoplasmik. Bagian bawah stratum granularis eksterna disusun oleh sel

piramidal yang berukuran kecil. Sel piramidal berbentuk segitiga


24

menyerupai piramida dengan dendrit yang mengarah ke stratum

molekular dan akson yang mengarah ke stratum piramidalis eksterna.

3) Stratum Piramidalis Eksterna

Stratum piramidalis eksterna disusun oleh sel piramidal yang

berukuran sedang dengan dendrit yang mengarah ke lapisan molekular

dan akson mengarah ke substansia alba.

4) Stratum Granularis Interna

Stratum granularis interna disusun oleh sel granular (stellate). Sel

granular berbentuk seperti butiran-butiran kecil yang tersebar pada

stratum granularis interna, selain itu juga terdapat beberapa sel neuroglia

dan sel piramidal berukuran sedang maupun besar. Sel piramidal yang

berukuran besar terutama terdapat pada daerah motorik korteks serebri

yang berperan dalam membangkitkan rangsangan listrik yang memicu

terjadinya gerakan pada ekstermitas.

5) Stratum Piramidalis Interna

Stratum piramidalis interna disusun oleh sel piramidalis berukuran

besar, sel granular (stellate), dan sel martinotti. Sel martinotti merupakan

sel saraf multipolar dengan dendrit mengarah ke lapisan stratum

granularis interna dan akson mengarah ke arah perifer.

6) Stratum Multiformis

Stratum multiformis atau stratum polimorf merupakan lapisan

paling bawah pada korteks serebri dan berbatasan dengan substansia

alba. Multi berarti banyak dan form yang berarti bentuk, sehingga sesuai

dengan penamaannya terdapat berbagai bentuk sel pada stratum


25

multiformis, namun pada stratum multiformis tidak terdapat sel

piramidal, pada stratum multiformis banyak terdapat sel granular

(stellate), sel fusiform dan sel martinotti. Akson sel martinotti mengarah

ke perifer, sedangkan akson sel-sel lain mengarah ke substansia alba

(Eroschenko, 2003).

(Eroschenko, 2003)
Gambar 2.8 Pembagian stratum korteks serebri pada otak manusia
Korteks serebri tersusun atas berbagai stratum antara lain stratum molekularis,
stratum granularis eksterna, stratum piramidalis eksterna, stratum granularis interna,
stratum piramidalis interna, dan stratum multiformis. Stratum-stratum tersebut
secara histologi memiliki sel penyusun yang bervariasi
26

2.2.5 Patogenesis Kerusakan Sel Otak

Sel yang terdapat pada tubuh dapat mengalami cedera. Penyebab

tersering terjadinya cedera pada sel yaitu hipoksia seluler. Menurut Prince

(2005), beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya hipoksia seluler

yaitu penyempitan pembuluh darah, berkurangnya kadar oksigen dalam

sirkulasi darah, hipoglikemia, dan penggaruh zat toksik.

Penyempitan pembuluh darah menyebabkan pengurangan suplai aliran

darah. Eritrosit yang terdapat di dalam darah merupakan bagian dari

komponen darah, di dalam eritrosit terdapat hemoglobin yang bertugas

mengikat oksigen dari paru untuk didistribusikan ke jaringan, bila terjadi

penyempitan pada pembuluh darah, jumlah eritrosit yang sampai ke jaringan

berkurang sehingga terjadi pengurangan suplai oksigen ke jaringan yang

menyebabkan terjadinya hiposia seluler. Sel yang mengalami hipoksia

memberi respon melalui mekanisme adaptasi seluler, antara lain:

1) Merubah struktur dan proses biokimiawi dengan tujuan mencapai

suatu steady state yang baru, dengan tercapainya steady state yang

baru, sel tetap dapat menjalankan fungsi yang mendekati sel normal.

2) Bila mekanisme adaptasi seluler gagal, sel akan mengalami cedera

yang mengakibatkan terjadinya 2 kemungkinan, yaitu:

a. Bila intensitas hipoksia ringan hingga sedang dan bersifat

sementara akan menyebabkan terjadinya perubahan yang

bersifat reversibel sehingga sel yang mengalami cedera dapat

kembali ke fungsi dan morfologi sel yang normal setelah tidak

mengalami hipoksia.
27

b. Bila intensitas hipoksia berat dan terjadi dalam jangka waktu

yang lama akan memicu perubahan yang bersifat ireversibel

sehingga sel yang telah mengalami cedera tidak dapat kembali

ke fungsi dan morfologi sel yang normal, hingga pada akhirnya

sel yang cidera mengalami kematian sel.

Berdasarkan penjelasan di atas, sel yang mengalami cidera dapat

memicu terjadinya proses degenerasi. Bila proses degenerasi terjadi pada

jaringan otak akan menimbulkan perubahan reversibel pada sel-sel otak

sehingga secara mikroskopis sel piramidal dan astrosit akan mengalami

perubahan secara morfologi menjadi sel pyramidal edema dan astrocite

swelling. Bila hipoksia yang menjadi penyebab degenerasi dihilangkan, sel

yang mengalami perubahan morfologi dapat kembali ke bentuk sel yang

normal, namun bila terjadi peningkatan intensitas dan periode hipoksia akan

memicu perubahan sel yang bersifat ireversibel. Perubahan sel yang bersifat

ireversibel pada tahap lebih lanjut akan menyebabkan terjadinya kematian sel.

Kematian sel dapat terjadi melalui dua mekanisme yang berbeda, yaitu

apoptosis maupun nekrosis. Apoptosis merupakan programmed cell death,

yaitu pemrograman sel untuk melakukan suicide action (aksi bunuh diri),

sedangkan nekrosis merupakan kematian sel yang tidak diprogram oleh

tubuh.
28

Tabel 2.2 Perbedaan apoptosis dan nekrosis


Apoptosis Nekrosis
Proses terjadinya Dapat terjadi secara Hanya terjadi secara
fisiologis maupun patologis
patologis
Penyebab Sering disebabkan oleh Disebabkan adanya
kerusakan genetik rangsangan dari luar sel
seperti hipoksia dan toksin
bakteri
Mekanisme Aktivasi gen, Deplesi ATP, jejas
endonuklease, membran, dan kerusakan
dan protease oleh radikal bebas
Kondisi membran Membran sel intak Membran sel hancur (lisis)
sel
Ukuran Tidak membesar Membesar (membengkak)
mitokondria
Respon inflamasi Tidak ada atau sedikit Terjadi respon inflamasi
respon inflamasi
Pengaruh Sel lainnya tetap hidup Merusak sel lainnya
terhadap sel normal (inflamasi)
sekitar
Respon terhadap Sel yang sekarat akan Sel yang sekarat tidak
sel sekarat difagositosis oleh fagosit akan difagositosis oleh
karena ada rangsangan fagosit
transmisi sinyal dari sel
Durasi Pembersihan debris Pembersihan debris relatif
pembersihan berlangsung secara lebih lama sebab
debris singkat bergantung pada durasi
kerja fagosit
Gambaran Kondensasi kromatin dan Terjadi pembesaran atau
histologi badan apoptotik pembengkakan sel

(Data primer yang diolah, 2017)

2.3 Aterosklerosis

2.3.1 Defenisi Aterosklerosis

Aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani yaitu athera yang berarti

bubur dan sclerosis yang berarti pengerasan, sehingga aterosklerosis dapat

diartikan sebagai proses terbentuknya bercak menyerupai bubur yang terdiri

dari penumpukan kolesterol pada tunika intima pembuluh darah (Lumongga,

2007). Aterogenesis dimulai ketika terjadi jejas pada endotel pembuluh darah
29

sehingga menimbulkan terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel

memicu berbagai mekanisme aktivasi seluler dan molekuler yang

menginduksi dan mempromosi lesi aterosklerosis. Disfungsi endotel

menyebabkan LDL yang mengangkut kolesterol dapat masuk ke endotel

hingga ke subendothelial space. Perubahan LDL menjadi LDL-oks berperan

dalam awal pembentukan aterosklerosis. LDL-oks difagositosis oleh

makrofag sehingga terbentuk sel busa (Hatta, 2011). Seiring dengan

perkembangan aterosklerosis, pembuluh darah yang terkena aterosklerosis

secara progresif mengalami perubahan morfologi yang ditandai dengan

penebalan, penyempitan, dan pengerasan sehingga pembuluh darah

kehilangan elastisitas.

Aterosklerosis umumnya menyerang pembuluh darah yang mengaliri

otak, jantung, ginjal, usus, dan ekstremitas. Efek yang ditimbulkan bervariasi

pada jaringan, tergantung pada pembuluh darah yang terkena aterosklerosis.

Tabel 2.3 Bagian dan efek pembuluh darah yang terkena aterosklerosis
Bagian Efek
Aorta abdominal Aneurisma aorta
Arteri iliaka dan arteri femoral Klaudikasi intermiten
Gangren jari kaki
Aneurisma arteri iliaka
Arteri koronaria Angina pektoris
Infark miokad
Arteri karotis Transient ischemic attack
Stroke
Arteri renalis Hipertensi
Iskemia renalis
Arteri mesenterika Iskemia usus
(Bullock dan Henze, 2010)
30

2.3.2 Faktor Risiko Aterosklerosis

Terbentuknya aterosklerosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor

risiko. Faktor riksio aterosklerosis terdiri dari faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi (tidak dapat dirubah) dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi

(dapat dirubah). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (tidak dapat

dirubah) antara lain, usia, jenis kelamin (pria), ras, dan genetik, sedangkan

faktor risiko yang dapat dimodifikasi (dapat dirubah) antara lain,

dislipidemia, hipertensi, merokok, dan diabetes (Blankenhorn, 1993).

2.3.3 Hipotesis Terjadinya Aterosklerosis

Terdapat berbagai hipotesis mengenai proses pembentukan

aterosklerosis, namun dari berbagai hipotesis tersebut versi terbaru hipotesis

pembentukan aterosklerosis lebih menekankan pada mekanisme terjadinya

disfungsi endotel (Ross, 1973). Penyebab yang mendasari terbentuknya lesi

aterosklerosis diawali dengan adanya jejas endotel (endotel merupakan

lapisan pelindung yang melapisi pembuluh darah terhadap sirkulasi darah).

Menurut Ross (1976), jejas endotel dapat disebabkan oleh peningkatan dan

modifikasi LDL, radikal bebas yang dihasilkan rokok, hipertensi, diabetes

mellitus, faktor genetik, dan mikroorganisme infeksius. Jejas endotel yang

terbentuk, mengaktivasi terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel yang

terjadi, menyebabkan perubahan homeostasis endotel yang ditandai dengan

peningkatan adesi dan permeabilitas endotel terhadap leukosit. Terjadinya

disfungsi endotel juga menginduksi peningkatan prokoagulan yang lebih

banyak dibanding antikoagulan, terbentuknya molekul vasoaktif, sitokin, dan

growth factor.
31

(Boring, 1997)
Gambar 2.9 Mekanisme disfungsi endotel pada aterosklerosis
Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan permeabilitas endotel (terutama
terhadap LDL), migrasi leukosit ke dalam lumen pembuluh darah, adhesi endotel
(sekresi E-selectin, P-selectin, ICAM-1, dan VCAM-1), dan adhesi leukosit
(sekresi L-selelctin, integrin, dan PECAM-1)

Bila respon inflamasi tidak efektif dalam menghilangkan faktor

penyebab, proses tersebut akan terus berlangsung hingga tahap lebih lanjut

perkembangan aterosklerosis. Respon inflamasi yang terus berlangsung,

menstimulasi migrasi dan proliferasi vascular smooth muscle cell. Seiring

dengan perkembangan aterosklerosis, jumlah makrofag dan limfosit yang

bermigrasi dari sirkulasi darah semakin banyak. Aktivasi dari sel-sel tersebut

mengakibatkan pelepasan hydrolitic enzyme, cytokine, chemokine, dan growth

factor yang menginduksi kerusakan lebih lanjut pada pembuluh darah (Libby,

1996). Akumulasi foam cell, migrasi dan proliferasi vascular smooth muscle

cell, serta adhesi dan agregasi platelet dan leukosit menyebabkan jejas

semakin membesar hingga terbentuk fatty strak. Seiring progresifitas

perkembangan aterosklerosis, terjadi adhesi berbagai komponen sirkulasi

darah yang menyebabkan semakin terjadi penyempitan pada pembuluh darah,


32

hingga pada akhirnya endotel pembuluh darah dapat mengalami penyempitan

yang total (Rajavashisth, 1990).

(Boring, 1997)
Gambar 2.10 Mekanisme fatty streak pada proses aterosklerosis
Fatty streak ditandai dengan terjadinya migrasi otot polos melalui PDGF,
pembentukan foam cell, aktivasi T cell lymphocite, serta adhesi dan agregasi
platelet dan leukosit

2.3.4 Tahapan Pembentukan Aterosklerosis

2.3.4.1 Jejas Endotel

Banyak hal yang dapat menyebabkan terbentuknya jejas endotel

(Endotelial Injury), penyebab utama terbentuknya jejas endotel yaitu

hiperkolesterolemia terutama peningkatan LDL dalam sirkulasi darah.

Jejas endotel mengaktivasi terjadinya disfungsi endotel. Terjadinya

disfungsi endotel menyebabkan perubahan homeostasis pada endotel,

antara lain :

1) Permeabilitas dan adesivitas yang meningkat terhadap

lipoprotein, leukosit, platelet, dan komponen-komponen


33

darah yang lain, diperantarai NO, protasiklin, PDGF,

angiotensin II, dan endotelin

2) Sintesis prokoagulan lebih banyak dibandingkan dengan

antikoagulan

3) Terganggunya pelepasan zat-zat vasoaktif (prostasiklin dan

nitrit oksida)

4) Up-regulation molekul adhesi leukosit (meliputi L-selectin,

integrin, dan PECAM-1) serta molekul adhesi endotel

(meliputi E-selectin, P-selectin, ICAM-1, dan VCAM-1)

5) Memacu migrasi leukosit ke dalam dinding pembuluh darah

Peningkatan permeabilitas endotel menyebabkan endotel tidak

lagi efektif sebagai barier terhadap lipoprotein, sehingga LDL yang

terdapat di sirkulasi darah dapat masuk ke endotel tanpa melaui

perantara reseptor, menembus internal elastic lamina, hingga sampai

pada subendothelial space. LDL yang berada di subendothelial space,

berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. Ikatan

tersebut menyebabkan LDL menetap pada subendothelial space.

Masuknya LDL yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya

penumpukan LDL pada subendothelial space. Superoxide anion (Oᴏ−


2 )

yang dihasilkan oleh endotel memicu terjadinya proses oksidasi pada

LDL, sehingga LDL berubah menjadi LDL-oks (modifed LDL).

2.3.4.2 Akumulasi Makrofag

Terbentuknya LDL-oks (modifed LDL) merangsang masuknya

monosit dari sirkulasi darah ke endotel. Monosit menempel pada


34

endotel melalui aktivasi ikatan antara protein PSGL-1 yang terdapat

pada monosit dengan molekul adesi P-selectin pada endotel. Adesi

monosit terjadi melalui aktivasi ikatan antara protein α4β1 yang

terdapat pada monosit berikatan dengan molekul adesi VCAM-1 pada

endotel, Aktivasi ikatan tersebut menyebabkan monosit dapat

menembus (chemoatractive) endotel, internal elastic lamina, hingga ke

subendotelial space (Faunci, 2008).

Monosit yang terdapat pada subendotelial space berdiferensiasi

menjadi makrofag dengan bantuan MCSF (Macrophage Colony

Stimulating Factor) yang dihasilkan oleh sel endotel, selain itu endotel

juga menghasilkan CSF-1 (Colony Stimulating Factor 1) yang dirilis ke

sirkulasi darah. CSF-1 yang dirilis ke sirkulasi darah menuju ke bone

marrow, menstimulasi bone marrow untuk memproduksi lebih banyak

monosit.

2.3.4.3 Pembentukan Foam Cell

Makrofag memfagositosis tumpukan LDL-oks melalui

scavenger receptor yang terdapat di permukaan makrofag. Banyaknya

LDL-oks yang difagositosis menyebabkan gangguan hemostatis

kolesterol dalam tubuh makrofag. Gangguan hemostatis tersebut

menyebabkan terjadinya pembentukan sel busa (foam cell) yang

merupakan tanda khas pada aterosklerosis. Semakin banyak monosit

yang diproduksi bone marrow dan semakin banyak infiltasi LDL,

menyebabkan semakin banyak LDL-oks dan sel busa (foam cell) yang

terbentuk pada subendotelial space.


35

Makrofag sebagai sel Antigen Presenting Cell (APC)

memberikan sinyal kepada T cell lymphocite, sehingga T cell

lymphocite bermigrasi dari sirkulsi ke subendothelial space. T cell

receptor pada T cell lymphocite berikatan dengan molekul Major

Histocompatibility Complex (MHC) pada makrofag, sehingga terjadi

aktivasi T cell lymphocite, yang menyababkan pelepasan sitokin, yaitu

IFN-γ, TNF-α, dan TNF-β yang semakin memicu terjadinya respon

inflamasi.

2.3.4.4 Pembentukan Fatty Streak

Endotel mensekresi Fibroblast Growth Factor (FGF) dan foam

cell mensekresi Platelet Derived Growth Factor (PDGF). Masing-

masing faktor tersebut menarik Vascular Smoth Muscle Cell (VSMC)

dari tunika media, sehingga memicu terjadinya migrasi dan proliferasi

VSMC (Kumar, 2007). Sitokin yang disekresi oleh makrofag semakin

menstimulasi proliferasi Vascular Smoth Muscle Cell (VSMC).

Ketidakmampuan foam cell dalam mengkompensasi akumulasi

kolesterol yang melebihi kapasitas menyebabkan kematian sel yang

menginduksi terjadinya nekrosis, sehingga foam cell berubah menjadi

necrotic foam cell. Necrotic foam cell menyebabkan rilisnya free

cholesterol dari sitoplasma foam cell ke subendotelial space. Hal

tersebut menyebabkan VMSC juga akan terakumulasi free cholestrol

sehingga menjadi VSMC derived foam cell. Akumulasi kolesterol yang

masif pada foam cell, VSMC derived foam cell, menjadi dasar

pembentukan fatty streak pada aterosklerosis.


36

2.3.4.5 Pembentukan Fibrous Cap

Necrotic foam cell yang terjadi dalam jumlah yang banyak

menyebabkan terjadinya akumulasi necrotic foam cell sehingga

terbentuk necrotic core. Necrotic core diselubungi kapsula fibrosa yang

terdiri dari kumpulan connective tissue yang mengandung serat kolagen

yang disintesa oleh Vascular Smoth Muscle Cell (VSMC), sehingga

mengakibatkan terjadinya pembesaran necrotic core dan terbentuknya

fibrous cap. Pembentukan fibrous cap secara fisiologis merupakan

respon fibrosa untuk menyembuhkan lesi pada endotel melalui

penutupan dengan fibrous connective tissue, namun sebaliknya fibrous

connective tissue menyebabkan terjadinya pengerasan pada pembuluh

darah yang mengalami aterosklerosis. Terbentuknya fibrous cap

menandakan bahwa aterosklerotik sudah sampai pada tahap lanjut dan

disebut sebagai plak atrosklerosis atau plak ateromatosa. Plak

aterosklerosis yang terbentuk akibat dislipidemia merupakan stable

plaque.

2.3.4.6 Lesi Komplikata

Plak aterosklerosis yang telah terbentuk, secara progresif akan

membesar dan menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah,

seiring dengan peningkatan jumlah T cell lymphocite, LDL, maupun

fragmen-fragmen lain yang menginfiltrasi plak (Davis, 2005). Semakin

banyak infiltrasi yang terjadi, semakin memicu penyempitan lumen

pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan terjadinya penyempitan

total pada pembuluh darah.


37

2.3.5 Hubungan Aterosklerosis dengan Kerusakan Sel Otak

Penyempitan yang terjadi pada pembuluh darah menuju otak,

menyebabkan terjadinya pengurangan suplai aliran darah ke otak. Otak

memiliki batas toleransi aliran darah untuk menjaga fungsional otak.

Pengurangan aliran darak ke otak menyebabkan terjadinya critical level yang

bergantung pada banyaknya jumlah pengurangan aliran darah. Critical level

dibagi menjadi beberapa tingkat dan setiap tingkat memiliki pengaruh yang

berbeda terhadap jaringan otak. Berdasarkan penurunan Aliran Darah Otak

(ADO), critical level dibagi menjadi beberapa tingkat, antara lain :

1) Tingkat Krisis Pertama (First Critical Level)

Terjadi bila Aliran Darah Otak (ADO) menurun hingga 70-80 %

(kurang dari 60 ml/100g/menit). Penurunan tersebut akan menyebabkan

terjadinya penghambatan sintesis protein yang disebabkan oleh

disagregasi ribosom sehingga menyebabkan gangguan fungsi neuronal,

akan tetapi pada tingkat ini integritas sel-sel otak masih utuh.

2) Tingkat Krisis Kedua (Second Critical Level)

Terjadi bila Aliran Darah Otak (ADO) berkurang hingga 50 %

(kurang dari 35 ml/100g/menit). Penurunan tersebut akan

menyebabkan terjadinya aktivasi glikolisis anaerob dan pengaktifan

konsentrasi laktat yang selanjutnya berkembang menjadi asidosis laktat

dan edema sitotoksik. Kerusakan yang terjadi pada tingkatan ini masih

bersifat reversibel.
38

3) Tingkat Krisis Ketiga (Third Critical Level)

Terjadi bila Aliran Darah Otak (ADO) berkurang hingga 30 %

(kurang dari 20 ml/100g/menit). Penurunan tersebut akan

menyebabkan terjadinya pengurangan produksi ATP, defisit energi,

gangguan transport aktif ion, instabilitas membran sel, dan pelepasan

neurotransmiter eksitatorik yang berlebihan. Sehingga pada tingkat ini

aktivitas listrik neuronal akan terhenti dan sebagian struktur intrasel

mengalami disintegrasi. Kerusakan yang terjadi pada tingkatan ini

sudah bersifat ireversibel.

4) Tingkat krisis keempat (fourth critical level)

Terjadi bila Aliran Darah Otak (ADO) berkurang hingga 20 %

(kurang dari 10 ml/100g/menit). Penurunan tersebut akan

menyebabkan terjadinya iskemia pada jaringan otak yang disertai

dengan kematian sel-sel otak yang disebabkan hilangnya gradien ion

dan depolarisasi anoksik pada membran.


39

(Gusev,2010)
Gambar 2.11 Pengaruh penurunan ADO terhadap fisiologi otak
Aliran Darah Otak (ADO) yang normal berkisar 60–80 ml/100gram/menit.
ADO 35–60 ml/100 gram/menit menyebabkan pengurangan sintesis protein.
ADO 20-35 ml/100gram/menit menyebabkan terbentuknya asidosis laktat dan
edema stitotoksik. ADO 10–20 ml/100gram/menit menyebabkan terjadinya
eksitotoksisitas glutama. ADO 0-10 ml/100gram/menit meyebabkan terjadinya
depolarisasi anoksik yang dapat memicu terjadinya infark jaringan otak

Penyempitan pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya

pengurangan Aliran Darah Otak (ADO) hingga pada tingkat krisis kedua,

berdampak pada kerusakan yang bersifat reversibel pada jaringan otak.

Penyempitan tersebut menyebabkan terjadinya pengurangan aliran darah ke

jaringan otak sehingga jaringan otak mengalami proses deprivasi glukosa dan

oksigen. Deprivasi tersebut menyebabkan terjadinya deplesi ATP sehingga

terjadi kegagalan energi (energy failure). Kegagalan energi (energy failure)

memicu terjadinya proses glikolisis anaerobik yang membentuk asidosis

laktat. Penumpukan asidosis laktat menyebabkan gangguan keseimbangan

pompa ion yang disebabkan kurangnya ketersediaan energi untuk

menjalankan pompa ion secara normal. Gangguan keseimbangan pompa ion


40

yang terjadi secara terus-menerus memicu terjadinya kegagalan pompa ion,

sehingga terjadi depolarisasi anoksik yang disertai penimbunan glutamat dan

aspartat. Depolarisasi anoksik yang terjadi, menyebabkan keluarnya ion K +

ke dalam sel yang disertai dengan masuknya ion Ca2+, Na+, Cl−, dan

H2 O. Masuknya ion kalsium, natrium, klor, dan disertai dengan masuknya

air menyebabkan terjadinya edema sel piramidal dan astrosit, sehingga secara

morfologi menjadi sel pyramidal edema dan astrocyte swelling.

2.3.6 Mekanisme Bawang Putih Mencegah Kerusakan Sel Otak

Peningkatan kolesterol menyebabkan terjadinya peningkatan LDL

dalam mengangkut kolesterol yang menuju ke plasma. Peningkatan LDL

yang terdapat dalam plasma menyebabkan terjadinya jejas endotel. Perubahan

LDL menjadi LDL-oks berperan dalam awal pembentukan aterosklerosis.

LDL-oks difagositosis oleh makrofag sehingga terbentuk sel busa (Hatta,

2011). Seiring dengan perkembangan aterosklerosis, pembuluh darah yang

terkena aterosklerosis secara progresif mengalami perubahan morfologi yang

ditandai dengan penebalan, penyempitan, dan pengerasan sehingga pembuluh

darah kehilangan elastisitas. Aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh darah

yang menuju ke otak menyebakan terjadinya pengurangan suplai aliran darah

pada jaringan otak. Pengurangan suplai aliran darah pada jaringan otak

menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme otak. Berkurangnya oksigen tersebut

menyebabkan terjadinya hipoksia seluler yang memicu proses deneratif

sehingga terjadi perubahan yang bersifat reversibel pada sel-sel otak yang

terdapat pada korteks serebri sebagai akibat dari mekanisme kompensasi


41

adaptasi seluler, sehingga secara morfologi sel piramidal berubah menjadi

pyramidal edema sedangkan sel astrosit berubah menjadi astrocyte swelling.

Senyawa-senyawa kimia terutama Diallil disulfida, Diallil trisulfida,

dan Allil merkaptan yang terdapat pada bawang putih (Allium sativum)

merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis kolesterol (Benerjee dan

Maulik, 2002). Senyawa-senyawa tersebut menghambat biosintesis kolesterol

melalui inhibisi enzim sterol 4 α-methyl oxydase pada cholesterolgenic

pathway. Penghambatan pada enzim tersebut menyebabkan 4,4-

dimethylzymosterol dan 4-Methylzymosterol tidak dapat berubah bentuk

menjadi tahapan selanjutnya sesuai dengan urutan cholesterolgenic pathway,

sehingga terjadi pengurangan jumlah kolesterol yang disintesis. 4,4-

dimethylzymosterol yang tidak dapat berubah bentuk akan menyebabkan

terjadinya akumulasi. Akumulasi 4,4-dimethylzymosterol akan memicu

terjadinya rangsangan mekanisme umpan balik negatif (negative feedback)

yang berkerja spesifik menekan aktivitas enzim HMG-CoA reduktase (Singh

& Porter, 2006). Mekanisme tersebut menyebabkan terjadinya pembatasan

terhadap aktivitas enzim HMG-CoA reduktase, sehingga hanya sedikit HMG-

CoA yang dapat dikatalis menjadi mevalonat dan seterusnya sesuai dengan

urutan cholesterolgenic pathway, hingga pada akhirnya akan semakin

mengurangi jumlah kolesterol yang disintesis.

Pengurangan jumlah sintesis kolesterol oleh senyawa yang terdapat

pada bawang putih (Allium sativum) menyebabkan pengurangan kadar LDL

plasma yang mengangkut kolesterol, sehingga mengurangi terjadinya

infiltrasi dan oksidasi LDL pada subendotelial space. Pengurangan infiltrasi


42

dan oksidasi LDL, mencegah proses adesi monosit ke subendotelial space,

sehingga mencegah pembentukan foam cell. Hal tersebut berdampak pada

penghambatan terhadap pembentukan dan perkembangan aterosklerosis.

Penghambatan terhadap perkembangan aterosklerosis akan mencegah

terjadinya proses aterogenesis yang lebih lanjut sehingga otak yang

divaskularisasi melalui pembuluh darah yang terkena aterosklerosis tidak

terjadi hipoksia seluler, sebab otak tidak mengalami ganguan suplai oksigen.

Oleh sebab itu, berdasarkan mekanisme tersebut bawang putih (Allium

sativum) dapat mencegah terjadinya perubahan morfologi pada sel-sel otak

yang ditandai dengan pengurangan jumlah sel pyramidal edema dan astrocyte

swelling.

Anda mungkin juga menyukai

  • Lapsus Urtikaria
    Lapsus Urtikaria
    Dokumen40 halaman
    Lapsus Urtikaria
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • P - Drug Tinea Kapitis
    P - Drug Tinea Kapitis
    Dokumen27 halaman
    P - Drug Tinea Kapitis
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen1 halaman
    Bab Iv
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus Tinea Kapitis
    Cover Lapsus Tinea Kapitis
    Dokumen5 halaman
    Cover Lapsus Tinea Kapitis
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus Urtikaria
    Cover Lapsus Urtikaria
    Dokumen5 halaman
    Cover Lapsus Urtikaria
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Urtikaria
    Lapsus Urtikaria
    Dokumen41 halaman
    Lapsus Urtikaria
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Tinea Kapitis
    Lapsus Tinea Kapitis
    Dokumen43 halaman
    Lapsus Tinea Kapitis
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Sifilis
    Cover Referat Sifilis
    Dokumen5 halaman
    Cover Referat Sifilis
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen11 halaman
    Bab I
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Gonore: Faradila Isnaini 201810401011072
    Gonore: Faradila Isnaini 201810401011072
    Dokumen30 halaman
    Gonore: Faradila Isnaini 201810401011072
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • PR Laporan Kasus Tinea Kapitis
    PR Laporan Kasus Tinea Kapitis
    Dokumen4 halaman
    PR Laporan Kasus Tinea Kapitis
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen6 halaman
    Bab Ii
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen3 halaman
    Bab Iii
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen2 halaman
    Bab Iv
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen18 halaman
    Bab I
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab 1sifilis
    Bab 1sifilis
    Dokumen2 halaman
    Bab 1sifilis
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Wa0001
    Wa0001
    Dokumen2 halaman
    Wa0001
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Limfoma Non Hodgkins
    Limfoma Non Hodgkins
    Dokumen6 halaman
    Limfoma Non Hodgkins
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Lembar Pengesahan
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen22 halaman
    Bab Ii
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Referat Didi Latar Blakang Kesimpulan Iufd
    Referat Didi Latar Blakang Kesimpulan Iufd
    Dokumen3 halaman
    Referat Didi Latar Blakang Kesimpulan Iufd
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Abstrak
    Abstrak
    Dokumen2 halaman
    Abstrak
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab 7
    Bab 7
    Dokumen2 halaman
    Bab 7
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Bab 5
    Bab 5
    Dokumen11 halaman
    Bab 5
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Wa0001
    Wa0001
    Dokumen2 halaman
    Wa0001
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat
  • Cover Home Visite
    Cover Home Visite
    Dokumen1 halaman
    Cover Home Visite
    Gusti Gandha
    Belum ada peringkat
  • Bab 6
    Bab 6
    Dokumen7 halaman
    Bab 6
    Didi Yudha Trisandya
    Belum ada peringkat