Disusun oleh :
Intan Aziz
411181396100067
Pembimbing :
RSUP FATMAWATI
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus
dalam Kepaniteraan Klinik Pulmonologi Program Studi Profesi Dokter FK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta di RSUP Fatmawati. Shalawat dan salam tak lupa juga
penulis junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW karena Ialah Nabi yang telah
membawa kita dari alam gelap gulita menuju alam yang terang menderang.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pengajar di KSM Paru RSUP Fatmawati khususnya dr. Linda Nurdewati, Sp.P
selaku pembimbing dalam menyelesaikan referat ini.
Saya menyadari bahwa pemaparan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembacanya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menjadi
salah satu bahan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, khususnya bagi kami
yang sedang menempuh pendidikan profesi dokter.
Penulis
2
I. Tuberkulosis
3
Poli resisten (PR) Resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R),
misalnya resistan isoniazid dan etambutol
(HE), rifampisin dan etambutol (RE),
isoniazid etambutol dan streptomisis (HES),
rifampisin etambutol dan streptomisin (RES)
Multi drug resistant (MDR) Resisten terhadap isoniazid dan rifampisin
dengan atau tanpa OAT lini pertama yang
lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES
Extensively drug resistant TB-MDR ditambah resistan terhadap salah
(XDR) satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin).
Total Drug Resistance Resisten terhadap rifampisin (monoresistan,
(TDR) poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotip atau
genotip dengan atau tanpa resistan OAT
lainnya.
4
mikroorganisme), mikroorganisme yang rentan dengan cepat dibunuh,
meninggalkan mikroorganisme resisten untuk berkembang biak dan membentuk
seluruh populasi mikroba yang resistan terhadap obat. 6
TB yang resistan terhadap obat jelas menular dan dapat ditularkan dari satu
orang ke orang lain. Sangat mungkin bahwa jangka waktu yang panjang dari kasus-
kasus yang resistan terhadap obat yang terkait dengan keterlambatan dalam
diagnosis dan efikasi obat yang lebih rendah terkait dengan mutasi, dan
menghasilkan transmisi mikroorganisme yang lebih luas. Sejak penggunaan
pertama antimikroba untuk pengobatan TB, kemunculan resistensi obat yang
signifikan secara klinis telah progresif, meluas ke setiap agen antimikroba baru
karena menjadi banyak digunakan di masyarakat. Dengan demikian, kini telah
dikketahui dari resistansi mono obat menjadi resistansi multi-obat dan resistansi
obat yang luas. 6
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta
kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5
juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB
tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang
(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan
kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB
Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.4
5
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan
100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus
TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case
Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000
penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus
baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan
sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal
dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB
dengan pengobatan ulang.4
6
IV. Diagnosis TB Resistan
7
v. Tertular galur kuman – MDR
- Faktor klinik
i. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti guideline ] jenis obatnya yang
kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat
resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal
rifampisin atau INH
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang
ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila
kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah
resisten pada paduan yang pertama maka ”penambahan” 1
jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang
resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
ii. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan
sehingga membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga
pengobatan kompllit atau sampai selesai gagal
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin
diminum setelah makan, atau ada diare
Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi
dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
8
iii. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah social
Gangguan penyerapan obat
c. Faktor program
- Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
- Amplifier effect
- Tidak ada program DOTS-PLUS
- Program DOTS belum berjalan dengan baik
- Memerlukan biaya yang besar
d. Faktor AIDS–HIV
- Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
- Gangguan penyerapan
- Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
e. Faktor kuman
Kuman M. tuberculosis super strains
- Sangat virulen
- Daya tahan hidup lebih tinggi
- Berhubungan dengan TB-MDR
9
c. Pasien TB yang memiliki riwayat penobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan quinolone dan obat injeksi lini kedua minimal 1
bulan
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai
berobat/default)
h. Pasien TB terduga yang memiliki riwayat kontak erat dengan TB
MDR
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian
OAT
10
Gambar 2. Alur Diagnosis terjadinya TB Resistan2
11
secara klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB MDR (misalnya pasien
gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali
dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas pemeriksaan.
Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan
tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat
pengobatan sebelumnya.
d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan
standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan
pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb.
e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium
tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini
pertama dan lini kedua sekaligus. Jika laboratorium rujukan mempunyai
fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan
lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium rujukan hanya
mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji
kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk
mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola
resistensi kuman TB lainnya.
f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil
pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi
dasar penegakan diagnosis.
g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan
menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB
MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya.
h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan
menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin),
sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR
standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB
XDR.
12
Catatan:
13
Ketika resistensi obat telah diidentifikasi oleh uji molekuler non-
sequencing (mis., Xpert MTB / RIF atau lainnya) dalam pengaturan insiden
rendah, konfirmasi dengan metode berbasis urutan direkomendasikan
karena tes non-sequencing dapat melaporkan mutasi diam sebagai resistan
terhadap obat.
V. Mekanisme terjadinya Resistansi3,9
Penggunaan obat sama berulang-ulang dan panjangnya waktu terapi
sering menyebabkan kepatuhan pasien yang rendah. Akibatnya, strain resisten
obat pun muncul. Berdasarkan molekuler biologi mikobakteria, mekanisme
penyebab munculnya strain resisten dapat dibagi menjadi 2, yaitu mekanisme
acquired resistance dan mekanisme resistensi intrinsik:
a. Mekanisme acquired resistance
Bakteri patogenik termasuk M. tuberculosis mampu mengalami
resistensi terhadap antibiotik umum dimana sebelumnya bakteri sensitif
terhadap antibiotik tersebut. Konsep resistensi ini disebut “acquired
antibiotic resistance”. Jenis resistensi ini dapat terjadi akibat mutasi
maupun transfer gen horizontal. Pada M. tuberculosis, transfer horizontal
suatu gen resisten melalui plasmid atau elemen transposon belum
dilaporkan. Namun, semua “acquired resistance” yang diketahui saat ini
terjadi akibat adanya mutasi kromosomal.
b. Mekanisme resistensi intrinsik
Selain memiliki kemampuan pengembangan resistensi baru melalui
mutasi kromosomal, M. tuberkulosis juga memiliki mekanisme resistensi
intrinsik. Mekanisme ini memungkinkan terjadinya netralisasi aktivitas
antibiotik. Resistensi jenis ini menghasilkan tingginya background
resistensi yang membatasi penggunaan antibiotik pada pasien TB dan
menghambat perkembangan obat baru. Resistensi intrinsik ini dapat dibagi
menjadi 2 kategori, yaitu resistensi pasif dan resistensi terspesialisasi.
- Resistensi Pasif
Mekanisme ini melibatkan karakteristik dinding sel
mikobakteri. Serupa dengan masalah pada pengembangan obat dan
14
terapi bakteri Gram negatif, dinding sel mikobakteri yang
impermeable berfungsi sebagai suatu barier efektif terhadap
penetrasi antibiotik. Selain itu, porin mikobakteri naik ke lapisan
luar dinding sel sehingga nutrien dan molekul yang penting untuk
pertumbuhan dapat masuk ke dalam sel bakteri. Porin ini mungkin
juga berperan penting dalam pemasukkan antibiotik ke dalam sel
melalui lapisan luar dinding sel mikobakteri.
- Resistensi Terspesialisasi
Selain barier dinding sel sebagai penyebab perlambatan
penetrasi antibiotik, M. tuberculosis dan mikobakteri lainnya juga
menjalankan mekanisme resistensi khusus yang memungkinkan
detoksifikasi aktif obat ketika mereka mencapai ruang sitoplasma.
Mekanisme resistensi ini dapat dikelompokkan melalui 5
mekanisme, yaitu modifikasi target obat, modifikasi kimia obat,
degradasi enzimatik pada obat, peniruan molekuler suatu target obat,
pengeluaran obat dengan pompa efflux.
15
1. Mekanisme Resistansi terhadap Rifampisin (R)
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun
ekstraseluler. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau
menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram
negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya
tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada
frekuensi 1: 107 atau lebih. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan
oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase
tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi
rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation),
tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi rifampisin
berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi
dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat
terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen
untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya
perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.
2. Mekanisme Resistansi terhadap Isoniazid (H)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul
yang larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja
obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur
bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur
yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase.
Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan
dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen
katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal
sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan
berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.
16
3. Mekanisme Resistansi terhadap Pyrazinamide (Z)
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan
penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis.
Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada
pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek
atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan bakterisid yang
memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam
pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil
tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya
aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah
menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini
berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan
pyrazinamidase.
4. Mekanisme Resistansi terhadap Etambutol (E)
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan
aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai
bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan
menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai
polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan
dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk
arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang
resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406
pada sekitar 90% kasus.
5. Mekanisme Resistansi terhadap Streptomisin (S)
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi
dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
protein dengan menganggu fungsi ribosomal.
Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin
telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target
17
yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan
streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada
rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap
streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang
lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi
pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten
terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap
capreomysin maupun amikasin.
18
dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
dan biakan positif.
• Pasien kembali setelah putus berobat
(loss to follow up)
19
VIII. Tata Laksana
- Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu fase intensif dan fase
lanjutan.
- Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi ecara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
- Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
20
penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
21
Obat harus dicatat dalam buku bantu rujukan suspek TB MDR, formulir
rujukan suspek TB MDR dan formulir register suspek TB MDR (TB 06
MDR) sesuai dengan fungsi fasyankes.
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/MDR mengacu
kepada strategi DOTS.
a. Panduan OAT MDR untuk pasien TB RR/MDR merupakan paduan
standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini pertama
b. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji
kepekaan M.tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh
TAK.
c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/MDR serta
perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh
TAK dengan masukan dari tim terapeutik.
d. Semua pasien TB RR/MDR harus mendapatkan pengobatan dengan
mempertimbangkan kondisi klinis awal
22
4. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam
system pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan
manual)
5. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung
pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.
6. Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan:
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kimia darah:
c. Pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks
f. Tes Pendengaran
g. EKG
h. Tes HIV
23
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized
treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua
pasien TB RR/TB MDR.
A. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
24
Gambar 6. Dosis OAT TB-MDR
25
3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR2
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat
untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak
dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya
membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan
biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan
adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30
hari menunjukkan hasil negatif.
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi
pemantauan secara klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada gambar
di bawah ini.
26
b. Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan pedoman
pengobatan TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun
gagal
c. Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun slama masa pengobatan TB
MDR
d. Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan
pengobatan TB MDR, yaitu >=2 obat TB MDR yang disesbabkan
karena salah satu dari beberapa kondisi berikut:
- Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir pengobatan bulan ke-8
- Terjadi reverse pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi)
- Terbukti terjadi ressistasnsi tambahan berupa obat TB MDR
golongan quinolone atau obat injeksi lini kedua
- Terjadi efek samping obat yang berat
e. Lost-to-follow-up
Pasien teputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih
f. Tidak dievaluasi
Pasien yang tidak mempunyai atau tidak dketahui hasil pengobatan TB
MDR termasuk pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes di daerah
lain dan hasil akhir pengobatan TB MDR-nya tidak diketahui
27
IX. Efek OAT yang tidak diinginkan11
KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN
EFEK SAMPING EFEK SAMPING
OAT OAT
Reaksi kulit alergi
ringan – sedang Z, E, Eto, PAS,
Artralgia Z, Lfx
dengan/tanpa Km, Cm
demam
Neuropati perifer Cs, Km, Eto, Lfx Gangguan tidur Lfx, Moxi
Mual muntah Gangguan elektrolit
Eto, PAS, Z, E, Lfx Km, Cm
ringan-berat ringan : Hipokalemi
Anoreksia Z, Eto, Lfx Depresi Cs, Lfx, Eto
KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN
EFEK SAMPING EFEK SAMPING
OAT OAT
Gangguan
Metalic taste Eto Cm, Km
pendengaran
Gangguan
EFEK SAMPING BERAT E
penglihatan
Kelainan fungsi Gangguan psikotik
Z, Eto, PAS, E, Lfx Cs
hati (Suicidal tendency)
Kelainan fungsi
Km, Cm Kejang Cs, Lfx
ginjal
28
Perdarahan
PAS, Eto, Z Tendinitis Lfx dosis tinggi
lambung
Gangguan
Elektrolit
Cm, Km Syok Anafilaktik Km, Cm
Berat (Bartter like
syndrome)
Reaksi alergi toksik
Hipotiroid PAS, Eto Semua OAT
menyeluruh dan SJS
29
XI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis2
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis) tersebar melalui diudara melalui percik renik
dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk, berbicara, menyanyi
maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron sehingga
aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk
waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada
umumnya hanya ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak
permukaan. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah
tersebarnya kuman TB ini.
Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB
untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan
pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya
tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu:
1. Pengendalian Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan
dari institusi terkait, meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta
pemeliharaannya sesuai PPI TB
e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB
(tenaga, anggaran, sarana, prasana) yang dibutuhkan
f. Monitoring dan evaluasi
g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi
masyarakat terkait PPI TB
30
2. Pengendalian administrative
Merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah pajanan M.tb
kepada petugas kesehatan, pasien pengunjung dan lingkungan dengan
menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar
prosedur dan alur layanan. Upaya ini mencakup:
a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara
aman, Obati secara tepat)
b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta
pembuangan dahak yang benar
d. Pemasangan poster , spanduk, dan bahan untuk KIE
e. Skrinig bagi petugas yang merawat pasien TB
Gambar 9. TEMPO TB
3. Pengendalian lingkungan
Merupakan upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi
dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan
mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya
pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
ultraviolet sebagai germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
31
c. Ventilasi campuran
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elisabeth. Buku saku Patofisiologi. 1st edition. Jakarta. EGC. 2000.
2. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. 2014.
3. Kasper, Dennis L.,, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th
edition. New York: McGraw Hill Education, 2015.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 67 tahun 2016
tentang penanggulangan tuberkulosis
5. Global tuberculosis report 2017. Geneva: World Health Organization. 2017.
6. Caminero JA, ed. Guidelines for Clinical and Operational Management of
Drug-Resistant Tuberculosis. Paris, France: International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease. 2013.
7. Pusadatin. Infodatin Tuberkulosis. Maret 2015.
8. Soepandi PZ.. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TB-
MDR. Jakarta. Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi
FKUI-RS Persahabatan. 2010. Available from
http://ppti.files.wordpress.com/2010/01/makalah-dr-priyanti-diagnosis-
dan-faktor-yg-mempengaruhi-tb-mdr.pdf 13/5/2019 08:00 WIB
9. Smith, T., Kerstin, A., Wolff & Liem, N. Molecular Biology of Drug
Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Curr Top Microbiol Immunol.
2013.
10. Irianti, Kuswandi. Mengenal Anti Tuberkulosis. Yogyakarta: UGM. 2016
11. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. 2013.
12. Curry International Tuberculosis Center and California Department of
Public Health. Drug-Resistant Tuberculosis: A Survival Guide for
Clinicians. 2016. Third Edition
33