Anda di halaman 1dari 9

Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)

—-Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai


suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap
individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan
atau mental.

—-Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18


tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
seperti tertera dalam pasal 1 UU No 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak. Kekerasan pada anak
adalah tindakan yang di lakukan seseorang atau
individu pada mereka yang belum genap berusia 18
tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau
mentalnya terganggu.

—-Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-
mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi anak
(caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan
di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang
terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman,
supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya.10

—-Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak
terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi.
Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama dan kedua
pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan
keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir ini di kenal dengan perlakuan salah terhadap
anak atau child abuse yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga
(domestic violence).10,11

—-Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran pada anak
merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,
penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang
mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan
dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di
antaranya teori yang behubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam
keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu. 12

1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita,
serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu
penyebab stres.
2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa
(psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua
terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang
terbiasa dengan sikap disiplin.
3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan
hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering
bertengkar.
—-Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan
ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan
sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sah untuk menyiksa
anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan
ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang
membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya.12

—-Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, geger otak, atau
perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin, mulai dari luka
lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang. Perlukaan organ dalam
(visceral injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam
dengan melakukan otopsi. Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk
yang khas menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu
lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka
perlukaan yang ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada
yang masih baru ada pula yang hampir menyembuh atau sudah meninggalkan bekas
(sikatriks). Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum
sepertihalnya luka-luka akibat jatuh atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan
atas sebelah dalam, punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum
lainnya.2,12

—-Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar
bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana senjata
atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri maka hukuman
akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut :

1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.

2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
100.000.000.00.

3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10
tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004. Pidana dapat ditambah
sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila
yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya).10

Undang-undang no 23/2002 Perlindungan Anak10

Pasal Tindakan Hukuman


77 Diskriminasi Penelantaran Anak 5 tahun, 100 juta
78 Sengaja anak dalam situasi darurat 5 tahun, 100 juta
Kekerasan terhadap anak, 3,5 tahun, denda 72 juta

80 luka berat, 5 tahun, 100 juta

mati 10 tahun, 200 juta


83 Menjual, menculik 3-15 tahun, 60-300 juta
88 Eksploitasi ekonomi/seksual 10 tahun, 200 juta
Bentuk Kekerasan pada Anak

—- Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child abuse
prevention) yaitu :13

1. Kekerasan fisik (physical abuse)

Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap
anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam
kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau
kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan yang membuat anak terluka.

Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar, menampar.

2. Kekerasan seksual (sexual abuse)

Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena perkembangannya
belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau
pantangan masyarakat, atau merupakan segala tingkah laku seksual yang dilakukan antara
anak dan orang dewasa.

Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan lain-lain.

3. Mengabaikan(Neglect)

Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh
kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat
bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks sumber daya yang layaknya
dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin
mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, moral dan
sosial, termasuk didalamnya kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari
bahaya gangguan.

4. Kekerasan emosi (Emotional Abuse)

Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai bagi


perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figur primer
sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan pencapaian kemampuan sosial dan
emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadina dalam konteks lingkungannya.
Segala tingkah laku atau sikap yang mengganggu kesehatan mental anak atau
perkembangan sosialnya.

Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif, membandingkannya


dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan atau mengucapkan” aku sayang
kamu”.

5. Eksploitasi anak (child exploitation)

Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang
lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman
traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan-
permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.
Stigma yang melekat pada korban :13

1. Stigma Interna

 Kecenderungan korban menyalahkan diri.


 Menutup diri.
 Menghukum diri.
 Menganggap dirinya aib

2. Stigma Eksternal

 Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.


 Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secar
terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.

Faktor-faktor kausalitas yang signifikan :14

1. Masalah kemiskinan
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus

—-Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian berat


dalam diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkah penanganan yang
holistik dan komprehensif melalui pendekatan interdisipliner, interinstitusional dan
intersektoral dengan dukungan optimal dari berbagai sumber dan potensi dalam
masyarakat.14

2.3 Kekerasan Terhadap Perempuan (Woman Abuse)

—- Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan


banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada
tahun 2000, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan mencatat tingkat kekerasan yang dialami
perempuan Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta
perempuan atau 11,4 persen dari total penduduk
Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan.

—-Diperkirakan angka-angka yang tercatat di LSM,


kantor polisi dan media massa tidak mencerminkan
keadaan yang sesungguhnya, mengingat seperti masalah perkosaan masih dianggap tabu.
Selain itu hukum negara kita yang mengatur hal tersebut secara khusus dan rinci juga belum
maksimal. Selama ini pelaku hanya bisa dijerat dengan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu
kasus persetubuhan diluar perkawinan yang merupakan kejahatan seksual yang diatur
dalam pasal 284, 285, 286, dan 287 KUHP dan kasus persetubuhan dalam perkawinan
yang dianggap sebagai kejahatan diatur dalam KUHP pasal 288. Sebagai dokter tentunya
kita harus mengetahui hal-hal apa saja yang berhubungan dengan kasus perkosaan, baik
dari segi hukum maupun segi medis, sehingga keterangan yang dibuat oleh dokter dapat
memiliki kekuatan hukum dan berguna di peradilan.15
—-

Bentuk Kekerasan pada Perempuan

—-Bentuk kekerasan yang sering terjadi pada perempuan berupa perlukaan akibat
kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Khusus kasus kekerasan seksual bentuk perkosaan,
sebuah LSM perempuan mencatat bahwa setiap lima jam terjadi satu kasus perkosaan di
Indonesia.15 Kekerasan perempuan dapat terjadi dalam bentuk :7

1. Tindak kekerasan fisik

Tindak kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya
orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku
(tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya

2. Tindak kekerasan non-fisik

Tindak kekerasan non-fisik adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau
kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan
yang tidak disukai/dikehendaki korbannya.

3. Tindak kekerasan psikologis atau jiwa

Tindak kekerasan psikologis/ jiwa adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau
menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani mengungkapkan
pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada suami atau orang lain dalam
segala hal (termasuk keuangan). Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam
keadaan tertekan atau bahkan takut.

A. Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran. Pelecehan
seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, seperti di tempat kerja, di kampus/sekolah,
di pesta, tempat rapat, dll.

Pelaku pelecehan seksual bisa teman, pacar, atasan di tempat kerja, dokter, dukun, dan
lain-lain. Akibat pelecehan seksual, korban merasa malu, marah, terhina, tersinggung, benci
kepada pelaku, dendam kepada pelaku, shok/trauma berat, dan lain-lain.7

B. Perkosaan

Pengertian perkosaan di Indonesia mengacu pada pasal 285 KUHP, yang berarti adalah
suatu kejahatan seksual yang ditandai dengan adanya persetubuhan yang dilakukan oleh
laki-laki terhadap wanita yang bukan merupakan istri dari pelaku, disertai dengan
pemaksaan yang berupa kekerasan atau ancaman akan kekerasan.15Berdasarkan
pelakunya, perkosaan bisa dilakukan oleh :7

 Orang yang dikenal: teman, tetangga, pacar, suami, atau anggota keluarga (bapak,
paman, saudara).
 Orang yang tidak dikenal, biasanya disertai dengan tindak kejahatan, seperti
perampokan, pencurian, penganiayaan, atau pembunuhan.
—-Tindakan perkosaan membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara
emosional, korban perkosaan bisa mengalami stress, depresi, goncangan jiwa,
menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan intim dengan lawan jenis, dan kehamilan
yang tidak diinginkan. Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur,
sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina, berisiko tertular PMS, luka di tubuh akibat
perkosaan dengan kekerasan, dan lainnya.

—-Pemeriksaan terhadap kasus yang diduga perkosaan bertujuan untuk membuktikan ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur
serta pembuktian apakah seseorang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau
tidak. Sebelum membahas tentang kejahatan seksual lebih lanjut, ada beberapa hal yang
harus dipahami yang berkaitan dengan senggama atau persetubuhan (koitus).

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

—-Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan
rumah tangga. Pada umumnya, pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah suami, dan
korbannya adalah istri dan/atau anak-anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi
dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan
kekerasan ekonomi.7

—-Secara fisik, kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar, memukul,


menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Secara psikologis, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk
penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara
maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan lain-
lain. Secara seksual, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan
hubungan seksual. Secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak memberi nafkah istri,
melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.

—-Korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan/ tidak melaporkan kejadian
karena menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga atau tidak tahu kemana
harus melapor.7

2.4 Peranan Forensik Klinik dalam Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan

—-Para dokter yang diberikan dihadapkan untuk memberikan penilaian terhadap kasus-
kasus yang dicurigai merupakan kasus child abuse haruslah mempunyai keterampilan
dasar. Keterampilan dasar yang harus dimiliki tersebut adalah :9

1. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik kepada anak-anak dan


pengasuh mereka mengenai hal ini yang mungkin sangat sensitif bagi mereka.
2. Mau mengerti dan sensitif dengan mempertimbangkan perkembangan anak,
keburuhan sosial dan emosional dan tingkat kemampuan intelektual anak.
3. Mengerti mengenai persetujuan dan kerahasiaan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan anak tersebut.
4. Kompetensi untuk melakukan pemeriksaan fisik umum dan genitalia secara
keseluruhan pada anak dan berbagai keahlian untuk dapat memfasilitasi
pemeriksaan genitalia.
5. Pemahaman mengenai genitalia normal dan anatomi anus, dan variannya
berbadasarkan usia dan jenis kelamin anak yang diperiksa
6. Pemahaman mengenai diagnosis dan diferensial diagnosis dari tanda-tanda
fisik.
7. Mampu menggunakan kolposkopi dan memperoleh dokumentasi gambar
untuk meyakinkan mengenai temuan dari pemeriksaan klinis sebelumnya dan
mendokumentasikannya kalau pun hasilnya tidak seusai.
8. Mengetahui sampel apa yang harus diperoleh untuk kepentingan investigasi,
bagaimana cara memperolehnya, dan bagai mana cara menyimpan serta
pemindahannya.
9. Mempunyai kemampuan mendokumentasikan temuan klinis secara
menyeluruh dan tepat pada sebuah buku catatan mereka.
10. Mempunyai kemampuan untuk memberikan pernyataan secara detail/
melaporkan temuan dan menginterpretasikan temuan klinis.
11. Kemauan untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan agensi dan
profesional lain yang terlibat dalam perawatan anak (korban).
12. Ketepatan untuk menghadirkan bukti dan melakukan uji silang, berkaitan
dengan proses sipil dan kriminal
13. Kemampuan untuk mendiskusikan keadaan dan temuan dalam konteks
tingkat perkembangan anak dan literatur medis yang relevan.

—-Sebagai tambahan, ada beberapa keterampilan yang bergantung pada kasus kadang
dibutuhkan, keterampilan tersebut antara lain:9

1. Pemahaman mengenai jenis-jenis kontrasepsi post-koital yang tersedia serta


indikasi dan kontraindikasi banyak metoda.
2. Pelatihan untuk pencegahan (termasuk hepatitis B, HIV), skrining dan
diagnosis penyakit menular seksual

—-

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Pemeriksaan13

1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik

—-Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter harus
melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus
diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang
sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi
diminta untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi.

—-Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan pada tubuh
korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter telah
memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban
sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan
permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak
boleh dicantumkan dalam Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter
tentang diri korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan
rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322).10

—-Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et
Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan.
Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi
dalam bentuk surat keterangan.

2. Informed Consent
—-Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari pihak
korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban
menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa
meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan
jiwa, maka dia berhak memberi persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak
memberikan persetujuan. Sedangkan jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka
persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya.

—-Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan dapat
memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang yang
berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau teman
korban apabila korban menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus didampingi
oleh seorang perawat atau bidan.

3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin

—-Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di
kamar periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan yang akan
dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.Visum et
Repertum diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat diselesaikan.

—-

2.4.1 Kekerasan Fisik

—-Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan oada korban yang di duga
mendapatkan kan kekerasan fisik antara lain :4

1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.

2. Anamnesis :

 Umur.
 Urutan kejadiaan.
 Jenis penderaan.
 Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa, berapa kali.
 Akibat pada anak.
 Orang yang ada disekitar.
 Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS.
 Kesehatan sebelumnya.
 Trauma serupa waktu lampau.
 Riwayat penakit lampau.
 Pertumbuhan fisik dan psikis.
 Siapa yang mengawasi sehari-hari.

3. Pemeriksaan fisik :

 Gizi, higiene, tumbuh kembang anak.


 Keadaan umum, fungsi vital.
 Keadaan fisik umum.
 Daftar dan plot pada diagram topografi jenis luka yang ada.
 Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga,mulut dan kelamin.
 Kasus berat bisa dipotret.
 Raba dan periksa semua tulang

Anda mungkin juga menyukai