Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1

2.1.2 Etiologi

Penyebab dari Diabetes Melitus tipe 2 yaitu dikarenakan oleh adanya


kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.1

2.1.3 Patogenesis

Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM),


sebelumnya disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes
yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting.
Namun terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada
suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan meningkat,
tetapi organ target memiliki sensitifitas yang berkurang terhadap insulin. Sebagian
besar pasien DM tipe II memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi karena
disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang
terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi
meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi
resistensi insulin yang memaksa untuk meningkatan pelepasan insulin. Akibat
regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas
merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal
diabetes tipe II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya disposisi genetic yang
menurunkan sensitifitas insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah

3
normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang menigkatkan
terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa factor, kelaian genetik pada
protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi penggunaan
substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi
pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek
insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme
lemak dan protein dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II
cenderung menyebabkan hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan
metabolisme lemak.3

2.1.4 Gejala Klinis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:1

 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam mendiagnosis dan


memantau keberhasilan terapi penyakit diabetes Melitus tipe 2 ini, berikut
pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis, memantau
keberhasilan terapi maupun evaluasi komplikasi yang ditimbulkan dari diabetes
melitus tipe 2 :1

 Kadar Glukosa darah puasa, 2 jam post prandial dan sewaktu di periksa
untuk mendiagnosis pasien yang sebelumnya memiliki gejala klinis
diabetes melitus tipe 2 yang khas.

4
 HbA1C, diperiksa untuk menentukan terapi DM tipe 2 dan melihat
keberhasilan terapi.
 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida), diperiksa untuk mengetahui kemungkinan sindrom metabolik
lain seperti dislipdemia yang merupakan komorbid pada pasien pasien DM
tipe 2
 Kreatinin serum di periksan untuk mengetahui fungsi ginjal, dimana dapat
terjadi komplikasi mikrovaskular pada pasien SM tipe 2 yaitu nefropati.
 Keton, sedimen, dan protein dalam urin
 Elektrokardiogram
 Foto sinar-x dada

2.1.6 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari diabetes melitus tipe 2 meliputi :1

 Diabetes Mellitus Tipe 1


 Diabetes Mellitus Insipidus

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.2

5
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:2

 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:2

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu


>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g


glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus. Apa bila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).

Keterangan:

1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan


glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma


puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.

6
Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan


penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif.2

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Diabetes


melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa
terganggu(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementaramenuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor
risiko untukterjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian
hari.2

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah


sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan
testoleransi glukosa oral (TTGO) standar.2

7
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring
dan diagnosis diabetes melitus.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk


menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa
darah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis
diabetes melitus, TGT, dan GDPT.2

2.1.8 Penatalaksaan

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani


selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apa bila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan.2

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup danperilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan

8
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.2

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian daripenatalaksanaan diabetes


secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter,ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori danzat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.2

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:2

Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.


 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

9
 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak


diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
 Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein

 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.


 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.

Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran


untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.

10
 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat

 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan


mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

Pemanis alternatif

 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak


berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
 Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
 Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI)

B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkanpenyandang


diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkankebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.

11
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yangdimodifikasi
adalah sbb:2

 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.


 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 BB Normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : < BBI - 10 %
 Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:


IMT = BB(kg)/
TB(m2)

Klasifikasi IMT

 BB Kurang < 18,5


 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥ 23,0

Keterangan:

o Dengan risiko 23,0-24,9

o Obes I 25,0-29,9

o Obes II > 30

12
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :2

1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan
69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan.Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah
kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita
dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi


dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk
penyandang diabetes yangmengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

13
3. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive
training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi
maksimal (220/umur), disesuaikandengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit dan olahraga berat
misalnya joging. (Sudaryono et.al 2006)

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.2

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambatglukosidase alfa.

E. DPP-IV inhibitor

14
A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkansekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada PeroxisomeProliferator Activated


Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa diperifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

15
C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang


dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4(penghambat DPP-4),

16
atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.

2. Suntikan

A. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

• Penurunan berat badan yang cepat

• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

• Ketoasidosis diabetik

• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

• Hiperglikemia dengan asidosis laktat

• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali


dengan perencanaan makan

• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

17
Jenis dan lama kerja insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

• Insulin kerja pendek (short acting insulin)

• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

• Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Efek samping terapi insulin

• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

•Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

B. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk


pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatanberat badan

18
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1
yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel betapankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin

19
2.1.9 Komplikasi

1. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes adalah:2

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).

Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal ini terjadi
karena kadar insulin sangat menurun,dan pasien akan mengalami hal berikut:

· Hiperglikemia

· Hiperketonemia

· Asidosis metabolik

Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatanlipolisis


dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda
keton(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma
mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion
hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapatmenjadi hipotensi dan mengalami syok. (Price et.al 2005)

Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan


mengalamikoma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang
terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya
komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.

20
B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)

Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita
diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun
relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai
berikut:2

· Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.

· Dehidrasi berat

· Uremia

Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera
ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara
HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan


glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma
dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM
1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode
hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada
pria, dan sebesar65% berlatar belakang DM. meskipun hipoglikemia sering pula
terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering
timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh
beberapa perubahan pada tubuhnya.2

Penyebab Hipoglikemia

1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan

2. Berat badan turun

3. Sesudah olah raga

21
4. Sesudah melahirkan

5. Sembuh dari sakit

6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi
hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda
klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.
(Soegondo, 2005).

Tanda-tanda Hipoglikemia

1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitanmenghitung


sederhana.

3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau
tangan, berdebar-debar.

4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang. Keempat
stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oralataupun
suntikan. Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:

1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.

2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin


bisadiperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:

· Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan

· Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan

· P.Z.I : 18 jam setelah suntikan

22
2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang

A. Mikrovaskular / Neuropati.2

–Retinopati, katarak : penurunan penglihatan

–Nefropati :gagal ginjal

– Neuropati perifer :hilang rasa, malas bergerak

– Neuropati autonomik :hipertensi, gastroparesis

– Kelainan pada kaki :ulserasi, atropati

B. Makrovaskular.2

– Sirkulasi koroner :iskemi miokardial/infark miokard

– Sirkulasi serebral :transient ischaemic attack, strok

–Sirkulasi :claudication, iskemik

2.1.10 Prognosis

Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diatas
prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi (meminimalkan) risiko
timbulnya komplikasi dengan baik. Serangan jantung , stroke, dan kerusakan saraf
dapat terjadi. Beberapa orang dengan diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung
pada hemodialisa akibat kompilkasi gagal ginjal. Ada banyak hal yang dapat
dilakukan untuk meminimalkan risiko komplikasi :2

23
 Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah
gula),perbanyak konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong,
salak,tomat, semangka, dainjurkan pisang ambon namun dalam jumlah
terbatas)

 Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)

 Hindari konsumsi alcohol dan olahraga yang berlebihan

 Pertahankan berat badan ideal

 Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid

 Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam kategori


prediabetes)

2.1.11 Pencegahan

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu :2

Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya


hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi
umum.

Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya


dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian
pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan
demikiandapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah
ada komplikasi masih reversible. (cegah kompilkasi)

Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi


yang sudah ada. Usaha ini meliputi:

- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi


kegagalanorgan (jangan sampai timbul chronic kidney disease)

24
- Mencegah kecacatan tubuh

2.2 Penyakit Ginjal Kronik / Chronic Kidney Disease

2.2.1 Definisi

Penyakit ginjal kronis adalah kelainan struktur atau fungsional ginjal, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan dan diklasifikasian berdasarkan kausa, kategori
LFG, dan kategori albuminuria.4

2.2.2 Etiologi

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus
tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga
menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung
serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan
dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan
menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal
kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan
gangguan pada ginjal antara lain :4
 Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan

inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit


ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik
 Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis
tubulus.
 Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si
ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran

25
balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada
ginjal.
 Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
 Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran
glandula prostat pada pria danrefluks ureter
 Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis
 Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell,
penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan
kanker.

2.2.3 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan
ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih
utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan
hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal
Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan

26
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik,
nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.5

2.2.4 Gejala Klinis

Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan.


Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya
penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah
semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala
fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti :4
 Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
 Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
 Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
 Gangguan kelamin: libido menurun, nokturia, oligouria

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Darah rutin, pemeriksaan ini untuk melihat nilai hemoglobin
dimana pada pasien dengan penyakit ginjal kronik kadar hemoglobin akan
menurun, hal ini disebabkan menurunnya hormon eritropoietin yang
berfungsi untuk merangsang pengeluaran sel darah merah oleh sumsun
tulang.4
 Pemeriksaan Fungsi Ginjal, pemeriksaan fungsi ginjal diliakukan untuk
melihat kadar ureum dan kreatinin, dimana kadar kreatinin digunakan
untuk menentukan stadium penyakit ginjal kronik dengan cara memasukan

27
nilai kreatinin kedalam rumus creatinin clearance atau laju filtrasi
glomelurus.4

 Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :4


o Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
o Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
o Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
o Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
o Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

2.2.6 Diagnosa Banding


Diagnosa banding dari penyakit ginjal kronik yaitu :4
1. Batu saluran kemih
2. Glomeluronefritis kronik
3. Piolenefritis
4. Sindrom Nefrotik

2.2.7 Diagnosa
Kriteria diagnosis untuk penyakit ginjal kronik.4
Kriteria Kesan
Durasi > 3 bulan, Durasi dibutuhkan untuk membedakan CKD dengan
berdasarkan riwayat AKI. Evaluasi secara klinis biasanya dapat
dokumentasi atau menunjukkan adanya dokumentasi dari durasi
tindakan
GFR < 60 ml/min/1.73m2 GFR merupakan indeks terbaik untuk melihat fungsi
(GFR categories G3a-G5) dan kelainan pada ginjal

28
 GFR normal untuk dewasa muda sekitar 125
ml/min/1.73m2, GFR < 15 didefinisikan
sebagai gagal ginjal
 Penurunan GFR dapat dilihat dari
perhitungan Serum Creatinin atau Cystatin
C, namun tidak dengan Serum Creatinin atau
Cystatin C saja
 Penurunan GFR dapat dikonfirmasi dengan
mengkur GFR, jika dibutuhkan
Kerusakan Ginjal Albuminuria merupakan tanda dari kerusakan ginjal
didefinisikan sebagai (kenaikan permeabilitas glomerulus) AER
abnormalitas struktural >30mg/24 jam kurang lebih sama dengan ACR >
atau fungsional selain 30mg/g (>3mg/mmol)
kelainan pada GFR  Normal ACR urine orang dewasa sehat
adalah < 10mg/g

Sedimen urin dapat menandakan adanya kelainan


ginjal
 Microhematuria dengan adanya kelainan
morfologi sel darah merah (anisositosis)
pada kelainan GBM
 Silider sel darah merah pada
glomerulonephritis poliferatif
 Silinder sel darah putih pada pyelonephritis
atau interstisial nephritis
 Oval fat bodies atau silinder lemak pada
penyakit dengan proteinuria
 Silinder granular dan sel tubulus ginjal pada
banyak penyakit parenkim ginjal
Kelainan Tubulus Ginjal
 Renal tubular acidosis
 Nephrogenic diabetes incipidus
 Fanconi syndrome
 Renal potassium wasting
 Renal sodium wasting
 Non-albumin proteinuria
 Cystinuria
Kelainan Patologis yang dideteksi dengan
pemeriksaan histologi atau pemeriksaan lainnya
 Penyakit glomerular (diabetes, autoimun
disease, systemic infections, drugs,
neoplasia)
 Penyakit vaskular (atherosclerosis,
hypertension, ischemia, vasculitis,
thrombotic microangiopathy)

29
 Penyakit tubulointerstitial (urinary tract
infections, stones, obstruction, drug toxicity)
 Cystic and congenital diseases
Kelainan structural yang menandakan kerusakan
ginjal dengan pencitraan
 Polycystic kidney
 Dyplastic kidney
 Hydronephrosis karena obstruksi
 Kerusakan kortikal yang disebabkan oleh
infarct, pyelonephritis, atau vesicourethral
reflux
 Massa ginjal atau pembesaran ginjal karena
penyakit infiltrative
 Renal artery stenosis
 Ginjal kecil dan hipoechoic
Riwayat Transplantasi Ginjal

Stadium untuk penyakit ginal kronik direkomendasikan untuk mengklasifikasikan


kategori GFR.4
Kategori GFR
Kategori GFR GFR (ml/min/1.73 m2) Kesan
G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun*
G3a 45–59 Penurunan sedikit sampai sedang
G3b 30–44 Penurunan sedang sampai berat
G4 15–29 Penurunan berat
G5 ≤15 Gagal Ginjal
*Relatif pada dewasa muda
Tanpa adanya bukti kerusakan ginjal, G1 dan G2 tidak memenuhi kriteria PGK
Rumus menghitung GFR

30
2.2.8 Penatalaksanaan

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari
normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.6
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
untuk mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien.6
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
adalah :6
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya
juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.

31
Berikut ini batasan protein yang dapat diberikan sesuai dengan tingkat GFR
pasien :
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein Fosfat g/kg/hari
g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6 – 0,8/kg/hari < 10 g
5-25 0,6 – 0,8/kg/hari < 10 g
< 60 (sind. Nefrotik) 0,8/kg/hari <9g

o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular


Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.6

5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi.6


o Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar
besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11
– 12 g/dl.

32
o Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i. Mengatasi hiperfosfatemia
 Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
 Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium,
alluminium hidroksida, garam magnesium. Diberikan
secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate
 Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat
menghambta reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan
nama sevelamer hidrokhlorida.
ii. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal
dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat
meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga
mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan
yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid.
iii. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan
kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang
masuk dianjurkan 500 – 800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit
yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu,
pemberian obat – obat yang mengandung kalium dan makanan
yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.

33
Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal


Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.6

2.2.9 Komplikasi

Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :4


- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

2.2.10 Prognosis
UmumnyaPenyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK
itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya
seringkali terlambat. Menurut KDIGO predikisi prognosis pada CKD bisa dilihat
dengan menggunakan GFR dan albuminuria yang terjadi pada pasien seperti pada
tabel di bawah ;6

34
Tabel yang terarsir dengan warna hijau memiliki kemungkinan yang lebih rendah
untuk jatuh menjadi kegagalan ginjal, sedangkan yang berwarna merah memiliki
resiko lebih tinggi untuk menjadi gagal ginjal.

35

Anda mungkin juga menyukai