Anda di halaman 1dari 39

Referat

TUMOR KOLON

Pembimbing:

dr. Santi Andiani, Sp.B

Disusun oleh:

Desmawita Lestari

030.13.051

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RSUD BUDHI ASIH PERIODE 18 FEBRUARI – 28 APRIL 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA


Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis
berjudul “Tumor Kolon” ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Budhi Asih. Dalam
pembuatan karya tulis ini, saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan
internet. Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
pembimbing saya, dr. Santi Andiani, Sp.B, yang telah memberikan bimbingannya
dalam proses penyelesaian karya tulis ini.

Selain itu, saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman saya


yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan yang sama atas dukungan dan
bantuan mereka selama saya menjalani kepaniteraan ini. Saya juga mengucapkan
rasa terimakasih yang mendalam kepada kedua orangtua saya atas bantuan,
dukungan baik secara moril maupun materil, dan kasihnya.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Jakarta, Maret 2019

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“Tumor Kolon”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk


menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD BUDHI ASIH

Periode 18 Februari – 28 April 2019

Jakarta,
November 2018

dr. Santi Andiani,Sp.B


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 2
BAB III KESIMPULAN...................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 35
BAB I

PENDAHULUAN
Neoplasma atau tumor adalah suatu masssa abnormal dari sebuah
jaringan akibat dari pertumbuhan atau pembelahan yang abnormal dari
suatu sel. Umor dapat memiliki sifat jinak (benign), potensi ganas
(malignan) atau ganas. Tumor terjadi ditempat yang berada dala colon,
kira-kira pada bagian; 26 5 pada caecum dan acending colon, 10% pada
transfesum colon, 15% pada desending colon, 20% pada sigmoid colon,
30% pada rectum.(1)

Kanker kolerektal (usus besar dan rektum) menyebar dengan


perluasan langsung ke sekeliling permukaanusus, submukosa, dan dinding
luar usus. Struktur yang berdekatan, seperti hpar, kurvatura ayor lambung,
duodenum, usus halus, pankreas, limpa, saluran genitourinary , dan
dinding abdominal juga dapat dikenai oleh perluasan. Metastasis ke
kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor.
Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah dikenai
namun kelenjar regional masih noemal. Sel-sel kanker dari tumor primer
dapat juga menyebar melalui sistem limfatik atau sistem sirkulasi ke area
sekunder seperti hepar, paru, otak, tulang, dan gijal.(2)

Data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa


kanker korekteral merupakan salah satu dari lima kanker yang paling
sering terdapat pada pria maupun wanita(3). Kanker usus besar merupakan
jenis kanker ketiga terbanyak di Indonesia, dengan jumlah kasus 1,8 /
100.000 penduduk dan jumlah ini diperkirakan akan semakin meningkat
siring dengan perubahan pola hidup penduduk indonesia dan merupakan
insidensi kanker ertinggi di Indonesia pada tahun 2002 berdasarkan
WHO(4,5).
BAB II

TUMOR KOLOREKTAL

1. ANATOMI(6,7)
Kolon terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon
transversum, kolon descendens, kolon sigmoideum, rektum serta anus.
Mukosa kolon terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan
kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan submukosa tidak
mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar
longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Lapisan serosa membentuk tonjolan-tonjolan kecil yang sering terisi lemak
yang disebut appendices epiploicae. Di dalam mukosa dan submukosa
banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica
semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut
pula lapisan otot sirkuler. Di antara dua plica semilunares terdapat saku
yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia
coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah-
pindah atau menghilang.

Gambar 1. Anatomi kolon


Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah,
sedangkan kolon kiri sampai rectum berasal dari usus belakang. Kolon
berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5
kaki) yang terbentang dari caecum hingga canalis ani. Diameter kolon
lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin
dekat anus diameternya semakin kecil. Kolon terdiri dari caecum,
appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon descendens, kolon
sigmoideum dan rektum serta anus.
Caecum merupakan kantong yang terletak di bagian proksimal
kolon dengan diameter rata rata 7,5 cm dan panjang 10 cm. Caecum
terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis
ligamentum inguinale. Biasanya caecum seluruhnya dibungkus oleh
peritoneum sehingga dapat bergerak bebas, tetapi tidak mempunyai
mesenterium, terdapat perlekatan ke fossa iliaca di sebelah medial dan
lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plica caecalis, menghasilkan suatu
kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis.
Colon ascenden memanjang dari caecum ke fossa iliaca kanan
sampai ke sebelah kanan abdomen. Panjangnya 15 cm, terletak di bawah
abdomen sebelah kanan, dan di bawah hati membelok ke kiri. Lengkungan
ini disebut fleksura hepatica (fleksura coli dextra) dan dilanjutkan dengan
colon transversum.
Colon transversum merupakan bagian kolon yang paling besar dan
paling dapat bergerak bebas karena tergantung pada mesocolon, yang ikut
membentuk omentum majus. Panjangnya sekitar 45 cm, berjalan
menyilang abdomen dari fleksura coli dekstra sinistra yang letaknya lebih
tinggi dan lebih ke lateralis. Letaknya tidak tepat melintang (transversal)
tetapi sedikit melengkung ke bawah sehingga terletak di regio umbilicalis.
Colon descenden panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di
bawah abdomen bagian kiri, dari atas ke bawah, dari depan fleksura
lienalis sampai di depan ileum kiri, bersambung dengan sigmoid, dan di
belakang peritoneum.
Colon sigmoid panjangnya bervariasi antara 15-50 cm (rata rata 38
cm), sangat bebas bergerak dan berbentuk lengkungan huruf S. Terbentang
mulai dari apertura pelvis superior (pelvic brim) sampai peralihan
menjadi rectum di depan vertebra S-3. Tempat peralihan ini ditandai
dengan berakhirnya ketiga teniae coli, dan terletak 15 cm di atas anus.
Colon sigmoideum tergantung oleh mesocolon sigmoideum pada
dinding belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas (mobile).
Rectum merupakan lanjutan dari kolon, yaitu colon sigmoid
dengan panjang sekitar 15 cm. Rectum memiliki tiga kurva lateral serta
kurva dorsoventral. Rectum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial
kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rectum terletak di rongga pelvis
dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak di rongga abdomen
dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum
reflectum dimana bagian anterior lebih panjang dibandingkan bagian
posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus,
berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal,
dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang
mengatur pasase isi rectum ke dunia luar. Sfingter ani eksterna terdiri dari
3 sling : atas, medial dan depan.
Caecum, kolon asendens, dan bagian kanan kolon transversum
diperdarahi oleh cabang a.mesenterika superior yaitu a. ileokolika, a.
kolika dekstra dan a. kolika media. Kolon transversum bagian kiri, kolon
desendens, kolon sigmoid, dan sebagian rektum diperdarahi oleh
a.mesenterika inferior melalui a. kolika sinistra, a. sigmoid dan a.
hemoroidalis superior. Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang
arteri mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior, membentuk
marginal arteri seperti periarcaden, yang memberi cabang-cabang vasa
recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah arteri
ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan
arteri sigmoidae. Hanya arteri colica sinistra dan arteri sigmoideum yang
merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain
dari arteri mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan
retroperitoneal kecuali arteri colica media dan arteri sigmoidae yang
terdapat didalam mesocolon transversum dan mesosigmoid. Seringkali
arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama dengan arteri colica
media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti
pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan
arteri mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran
limfe mengalir menuju ke Lnn. ileocolica, Lnn. colica dextra, Lnn. colica
media, Lnn. colica sinistra dan Lnn. mesenterica inferior. Kemudian
mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.
Pembuluh darah kolon berjalan paralel dengan arterinya. Aliran
darah vena disalurkan melalui v. mesenterika superior untuk kolon
asendens dan kolon transversum, dan melalui v. mesenterika inferior untuk
kolon desendens, sigmoid, dan rektum. Keduanya bermuara kedalam vena
porta, tetapi v. mesenterika inferior melalui v. lienalis. aliran vena dari
menuju ke v. kava inferior. Karena itu anak sebar yang berasal dari
keganasan rektum dan anus dapat ditemukan di paru, sedangkan yang
berasal dari kolon dapat ditemukan di hati. Aliran limfe kolon sejalan
dengan aliran darahnya. Hal ini penting diketahui sehubungan dengan
penyebaran keganasan dan kepentingannya dalam reseksi keganasan
kolon. Sumber aliran limfe terdapat pada muskularis mukosa. Jadi selama
suatu keganasan kolon belum mencapai lapisan muskularis mukosa
kemungkinan belum ada metastasis.
Gambar 2. Pembuluh darah arteri yang memperdarahi kolon

Gambar 3. Pembuluh darah vena yang memperdarahi kolon


Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari n.
splanknikus dan pleksus presakralis serta serabut parasimpatis yang
berasal dari n. vagus. Karena distribusi persarafan usus tengah dan usus
belakang, nyeri alih pada kedua bagian kolon kiri dan kanan berbeda. Lesi
pada kolon bagian kanan yang berasal dari usus tengah terasa mula mula
pada epigastrium atau di atas pusat. Nyeri pada appendisitis akut mula
mula terasa pada epigastrium, kemudian berpindah ke perut kanan bawah.
Nyeri dari lesi pada kolon desendens atau sigmoid yang berasal dari usus
belakang terasa mula mula di hipogastrium atau di bawah pusat.

2. FISIOLOGI(6)
Fungsi kolon adalah menyerap air, vitamin dan elektrolit, sekresi
mukus, serta menyimpan feses, dan mendorongnya keluar. Dari 700-1000
ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, 150-200 ml sehari
dikeluarkan sebagai feses. Udara ditelan sewaktu makan, minum atau
menelan ludah. Oksigen dan CO2 didalamnya diserap di usus sedangkan
nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan
sebagai flatus. Jumlah gas didalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada
infeksi usus produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas
tertimbun di jalan cerna yang menimbulkan flatulensi.
Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien,
sedangkan dimana fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan
nutrien tergantung pada koloni flora normal, motilitas usus, dan absorpsi
dan ekskresi mukosa.

a. Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh
tercampu oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi
sebagian besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang
tersekresi ke lumen. Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit
terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak
kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan energi terlalu banyak. Untuk
mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora normal yang ada. Kira-
kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011
sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah
bakteri anaerob dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides
(1011 sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri
spesies yang paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal
ini berguna untuk memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai
andil dalam metabolism bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol,
dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk menekan jumlah
bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang tinggi
dapat menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk
dan dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka
post-operasi kolektomi.

b. Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada
manusia dan sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease,
namun flora normal bakteri pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi
patologis urea yang paling umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak
mampu menggunakan kembali urea nitrogen yang diabsorpsi kolon,
ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan gangguan
neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik.

c. Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang
masuk kedalam kolon perharinya mencapai 1000 – 1.500 mL. Air yang
tersisa di kolon hanya sekitar 100 – 150 mL/hari. Absorpsi natrium per
harinya juga cukup tinggi, yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari
yang masuk ke kolon, pada feses hanya tersisa 25 – 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi;
namun, n-butirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan
keton. Karena sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon
bergantung pada bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara
fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat
antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya absorpsi sodium
dan air sehingga menyebabkan diare.

Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa


kolon menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos
terserap dari ileus terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian
sirkulasi enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di kolon
melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu
yang terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga
menyebabkan diare sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat
dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih
permanen reseksi ileus ekstensif.

d. Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi
kolon. Kolon dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra,
kolon sinistra, dan rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi
pada traktus GI, dengan sekum sebagai segmen kolon yang memiliki
aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri merupakan tempat
penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon diatur
oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon
melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai
kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus
myenterika (Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.

Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon


sebelah kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan
aliran retrograd sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada
kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh
kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi globulus-globulus.
Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic, merupakan gabungan antara
gerakan retropulsif dan tonis.

3. DEFINISI(8)
Karsinoma Kolorektal adalah istilah yang diberikan kepada
karsinoma yang berkembang pada kolon atau rektum. Kolon dan rektum
merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointesinal.
Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di
bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus. Kolon dan rektum merupakan
bagian dari saluran gastrointestinal dimana fungsinya adalah untuk
menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak
berguna.

4. EPIDEMIOLOGI(9)
Keganasan kolorektal merupakan keganasan terbanyak di antara
seluruh keganasan pada traktus gastrointestinal. Lebih dari 150.000 kasus
baru dilaporkan terjadi di Amerika Serikat dan lebih dari 52.000 orang
akan meninggal setiap tahunnya meskipun kanker kolorektal menempati
urutan kedua penyebab tersering kematian akibat kanker di Amerika
Serikat. Insidensinya sama baik pada wanita maupun pria. Angka
kematian dari kanker rektal telah meningkat selama 20 tahun terakhir.
Dengan adanya diagnosa dini melalui skrining akan sangat menurunkan
insidensi terjadinya kanker dan menurunkan angka kematian akibat
kanker ini.
Gambar 4. Angka kejadian kasus baru karsinoma kolorektal

Gambar 5. Angka kejadian estimasi kematian karsinoma kolorektal

Gambar 6 : Daerah yang paling sering terkena karsinoma kolon


5. ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO(10)
Secara umum kanker selalu dihubungkan dengan: bahan bahan
kimia, bahan bahan radioaktif, dan virus. Umumnya kanker kolon terjadi
dihubungkan dengan faktor genetik dan lingkungan. Serta dihubungkan
juga dengan faktor predisposisi diet rendah serat, kenaikan berat badan
dan asupan alkohol. Faktor risiko kanker kolon :
1. Kanker kolorektal sporadik (88-94%)
- Usia tua
- Jenis kelamin laki-laki
- Cholecystectomy
- Ureterocolic anastomosis
- Faktor hormonal : nulliparitas, usia tua kehamilan pertama, menopause
dini
- Faktor lingkungan
o Diet tinggi daging, lemak dan rendah serat, folat dan kalsium
o Gaya hidup
o Obesitas
o Diabetes mellitus
o Merokok
o Riwayat terpajan radiasi
o Intake tinggi alkohol
- Riwayat tumor sporadik
o Riwayat polip kolorektal
o Riwayat kanker kolorektal (risiko 1,5-3% terkena kanker untuk
yang kedua kalinya dalam waktu 5 tahun)
o Riwayat endometriosis, kanker payudara dan kanker ovarium
- Riwayat kanker kolorektal dalam keluarga (20%)
2. Kanker kolorektal pada Inflamatory bowel disease (1-2%)
- Kolitis ulseratif
- Colitis crohn’s
3. Kanker kolorektal herediter (5-10%)
- Sindrom poliposis : Familial adenomatous polyposis (FAP), sindrom
gardner, sindrom turcot, attenuated adenomatous polyposis coli,
sindrom flat adenoma, hereditery non-polyposis colorectal cancer
(HNPCC), sindrom hamartoma poliposis (sindrom peutz-jeghers,
sindrom juvenil poliposis, sindrom cowden).

6. PATOGENESIS(6,11)

Gambar 7. Karsinogenesis kanker kolorektal. Ket: APC, adenomatous polyposis coli. DCC,
deleted in colorectal carcinoma; HNPCC, hereditary nonpolyposis colorectal cancer; MMR,
mismatch repair. Tumor suppressor gen (DCC, p53, APC)
Gambar 8: Perkembangan histopatologi karsinoma kolorektal

Gambar 9 : Gambaran anatomis karsinoma kolorektal

Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :
Tipe Polipoid atau Vegetatif
Tumbuh menonjol ke dalam lumen usus dan berbentuk bunga kol
ditemukan terutama di sekum dan kolon ascenden. Tipe ini merupakan
pertumbuhan yang berasal dari papiloma simpel atau adenoma.
Tipe Skirous (Scirrhous)
Mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala
obstruksi, terutama ditemukan di kolon ascenden, sigmoid dan rektum.
Disini terjadi reaksi fibrous sangat banyak sehingga terjadi pertumbuhan
yang keras serta melingkari dinding kolon sehingga terjadi konstriksi
kolon untuk membentuk napkin ring.
Tipe Ulseratif
Terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum. Pada
tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi
tukak maligna.
7. DIAGNOSIS(9)
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
termasuk colok dubur, dan pemeriksaan penunjang lainnya:
 Anamnesis
Anamnesis meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik
berupa diare ataupun konstipasi (change of bowel habit), perdarahan
per anum (darah segar), penurunan berat badan, faktor predisposisi,
riwayat kanker dalam keluarga, riwayat polip usus, riwayat kolitis
ulserosa, riwayat kanker payudara/ovarium, uretero-sigmoidostomi,
serta kebiasaan makan (rendah serat, banyak lemak). Gejala yang
paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air
besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi.
Semakin distal letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan
karena semakin ke distal feses semakin keras dan sulit dikeluarkan
akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa disertai nyeri dan
perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat bervariasi,
merah terang, mahogany, dan kadang merah kehitaman. Makin ke
distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering
disertai dengan lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya
proses patologis pada colorektal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya
yaitu adanya massa yang teraba pada fossa iliaca dextra dan secara
perlahan makin lama makin membesar. Penurunan berat badan sering
terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah metastasis jauh ke hepar.
Gambar 10. Gejala karsinoma kolorektal

TABEL 1. Perbedaan Gejala Berdasarkan Tempat Lesi

Kolon kanan Kolon kiri Rektum


Anemia dan kelemahan Perubahan pola defekasi Perdarahan rectum
Darah samar di feses Darah di feses Darah di feses
Dyspepsia Gejala dan tanda obstruksi Perubahan pola defekasi
Perasaan kurang enak di perut Foto Rontgen khas Pasca defekasi, perasaan tidak
kanan bawah Penemuan kolonoskopi puas atau rasa penuh
Massa perut kanan bawah Penemuan tumor pada colok
Foto Rontgen perut khas dubur
Temuan kolonoskopi Penemuan tumor pada
rektosigmoidoskopi

 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur atau rectal toucher dipakai untuk
menilai tonus dari muskulus sfingter ani, ampula rektum, mukosa
dan massa. Tonus sfingter ani dinilai kuat atau lemah, ampula
rektumnya kolaps atau tidak dan isinya, mukosa dinilai
permukaannya apakah kasar, licin atau berbenjol – benjol, dan
dinilai apakah teraba massa, lokasinya, batasnya dan
permukaannya. Kemudian dinilai juga apakah terdapat perdarahan.

 Pemeriksaan Penunjang
 Barium Enema
Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan
Single contras procedure (barium saja) atau Double contras
procedure (udara dan barium). Kombinasi udara dan barium
menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapi
barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih
dari 1 cm). DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar
96% dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif
untuk mendeteksi polips di Rectosigmoid-colon. Angka kejadian
perforasi pada DCBE 1/25.000 dan Single Contras Barium Enema
(SCBE) 1/10.000.

Gambar 11. Barium enema double contras, (a) Karsinoma Polipoid, (b) Karsinoma
Annular
 Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa
kolon karena 3% dari pasien mempunyai kanker dan
berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.

 Ultrasound Transrectal

Gambar 12. Ultrasound Transrectal memperlihatkan 5 lapisan normal dinding


rektum. Mukosa (cincin paling dalam), submukosa (cincin tengah), dan serosa
(cincin terluar) dengan bagian ekogenik (cincin putih). Cincin ini dipisahkan 2
cincin hipoekoik (hitam).

 Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea
dentata, tapi akut angulasi dari rectosigmoid junction akan dapat
menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proktosigmoidoskopi
aman dan efektif untuk digunakan sebagai evaluasi seseorang
dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika digunakan
bersama sama dengan occult blood test.
 Kolonoskopi
Prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang panjang
dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rectum dan usus besar.
Kolonoscopi umumnya dianggap lebih akurat daripada barium
enema, terutama dalam mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan
polip pada usus besar, maka biasanya diangkat dengan
menggunakan colonoscope dan dikirim ke ahli patologi untuk
kemudian diperiksa jenis kankernya. Tingkat sensitivitas
kolonoscopi dalam diagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal
adalah 95%. Namun tingkat kualitas dan kesempurnaan prosedur
pemeriksaannya sangat tergantung pada persiapan kolon, sedasi,
dan kompetensi operator. Kolonoskopi memiliki resiko dan
komplikasi yang lebih besar dibandingkan FS. Angka kejadian
perforasi pada skrining karsinoma kolorectal antara 3-61/10.000
pemeriksaan, dan angka kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000
pemeriksaan.

Gambar 12. Pemeriksaan kolonoskopi

 Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi
sangat penting. Biopsi biasanya dilakukan dengan endoskopi.
 Skrining Carcinoembrionik Antigen (CEA)
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada
permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan
digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke
hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan
sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA
serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.
Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2,
stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase ke organ
dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor
prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan
bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes
CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya
rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai
faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan
meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif
berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor
yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.

 Occult Blood Test


Terdapat berbagai masalah yang perlu dicermati dalam
menggunakan occult blood test untuk skrining, karena semua
sumber perdarahan akan menghasilkan hasil positif. Kanker
mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak
berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan false negative.
Proses pengolahan, manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes
adalah faktor yang akan mempengaruhi keakuratan dari tes
tersebut. Efek langsung dari occult blood test dalam menurunkan
mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari
tes ini sebagai skrining kanker kolorektal masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut.
 CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien
kanker kolon preoperatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke
hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya
di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada
pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan
kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon
karena sulitnya dalam menentukan stadium dari lesi sebelum
tindakan operasi. CT scan pelvis dapat mengidentifikasi invasi
tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75%
pasien. Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis
dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah
intraperitoneal.

 MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT
scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak
teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena
sensitivitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI
dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.

8. STADIUM(9,12)
Stadium dari karsinoma kolorektal merupakan salah satu faktor
yang penting untuk menentukan prognosis. Dukes tahun 1932
mengembangkan klasifikasi yang dipakai sampai sekarang. Di samping itu
AJCC dan UICC juga menetapkan klasifikasi berdasarkan sistem TNM.
Untuk menentukan apakah suatu tindakan bersifat kuratif atau paliatif
biasa digunakan Dukes staging atau Astler-Coller modification staging.
1. Klasifikasi Dukes
A : Tumor terbatas pada dinding mukosa
B : Tumor menginvasi menembus dinding mukosa
C : Keterlibatan kelenjar limfe lokal dan regional
D : Metastase Jauh

2. Klasifikasi Dukes modifikasi Astler Coller. Membagi karsinoma


kolorektal berdasarkan gambaran histologis, sebagai berikut :
A : Tumor hanya pada lapisan mukosa.
B1 : Tumor sampai lapisan muskularis propria
B2 : Tumor menginvasi menembus lapisan muscularis propria
C1 : Tumor B1 dan ditemukan anak sebar pada kelenjar getah bening
C2 : Tumor B2 dan di temukan anak sebar pada kelenjar getah bening
D : Metastasis jauh

3. Stadium berdasarkan sistem TNM (American Joint Committee of


Cancer)
pT-Tumor Primer (T)
pTx : Tumor primer tidak dapat dinilai
pTo : Tidak ada tumor primer yangdapat ditemukan
pTis : Karsinoma in situ (mukosa), intra epitel atau ditemukan sebatas
lapisan mukosa saja.
pT1 : Tumor menginvasi submukosa.
pT2 : Tumor menginvasi lapisan muskularis propria.
pT3 : Tumor menembus muskularis propria hingga lapisan serosa atau
jaringan perikolika/perirektal belum mencapai peritoneum.
pT4 : Tumor menginvasi organ atau struktur di sekitarnya atau
menginvasi sampai peritoneum visceral.
pN-Kelenjar limfe regional (N)
pNx : Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai.
pNo : Tidak ada metastasis ke kelenjar regional.
pN1 : Ditemukan metastasis ke 1 – 3 kelenjar getah bening regional.
pN2 : Ditemukan metastasis ke 4 atau lebih kelenjar getah bening.
pN3 : Metastasis ke kelenjar limfe sepanjang percabangan vaskuler.

p-M Metastasis jauh (M)


pMx : Metastasis tidak dapat dinilai.
pMo : Tidak ada metastasis jauh.
pM1 : Ditemukan metastasis jauh.

TABEL 2. Deskripsi Stadium Kanker Kolorektal


Gambar 14. Staging karsinoma kolorektal

Metastasis
Karsinoma kolorektal menyebar secara :
1. Langsung
Pertumbuhan karsinoma secara sirkumferensial dapat menyebar ke
daerah sekitarnya dan dapat mengenai permukaan usus sebelum
diagnosis dilakukan. Secara longitudinal tumor akan keluar menembus
submukosa dan menginvasi jaringan intramural tetapi jaraknya jarang
melebihi 2 cm dari asal tumor kecuali jika ada penyebaran ke aliran
limfe. Lesi akan memberikan presentasi keluar dinding usus dan
selanjutnya akan terjadi kontak dengan jaringan / struktur sekitar
misalnya hati, kurvatura mayor dari lambung, duodenum, usus halus,
pankreas, limpa, vesika urinaria, vagina, ginjal, ureter dan juga dinding
abdomen. Karsinoma rektum dapat menginvasi ke dinding vagina,
vesika urinaria, prostat atau sakrum, dan hal ini dapat menyebar
sepanjang otot levator.
2. Metastase hematogen
Tumor dapat menginvasi vena mensenterika inferior dan berjalan
melalui aliran vena porta dan bermetastase ke hepar. Embolisasi dapat
terjadi melalui vena – vena lumbal dan vertebra, ke paru – paru atau
tempat – tempat lain. Invasi vena terjadi 15-50% kasus, tapi tidak
selalu menyebabkan metastasis jauh. Usaha yang perlu dilakukan
adalah mencegah terjadinya metastasis hematogen selama operasi
dengan manipulasi minimal dari tumor.
3. Metastase limfogen
Penyebaran karsinoma kolorektal paling sering melalui limfe.
Biasanya terjadi penyebaran secara langsung ke proksimal mengikuti
vena hemoroidalis superior ke vena mesenterika inferior apabila terjadi
kanker rektum, tetapi dapat juga terjadi penyebaran secara langsung ke
kaudal jika terjadi obstruksi dari kelenjar limfe yang retrograd.
4. Metastasis transperitoneal
Umumnya jarang terjadi pada karsinoma rektum. Pada kasus ini
tumor menembus serosa masuk rongga peritoneum kemudian cairan
serous masuk rongga peritoneum sehingga menimbulkan implant lokal
atau karsinomatosis abdominal. Kantong rektovesikal atau rektourin
biasanya terkena pada beberapa pasien dan pada pemeriksaan colok
dubur, metastase ini dapat dirasakan sekeras papan. Metastase tumor
ini dapat juga ke ovarium.

9. PENATALAKSANAAN(12)
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan operatif.
Tujuan utama tindakan operatif ialah memperlancar saluran cerna, baik
bersifat kuratif maupun non kuratif. Kemoterapi dan radiasi bersifat
paliatif dan tidak memberikan manfaat kuratif.

Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum.
Tiga terapi standar yang digunakan antara lain adalah:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium 1 dan 2 kanker rektum, bahkan pada suspek stadium 3 juga
masih dapat dilakukan pembedahan. Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan, sekarang sebelum dioperasi pasien diberi presurgical
treatment berupa radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum
pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan terapi ini
biasanya digunakan pada pasien dengan kanker rektum stadium 2 dan 3.
Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun
sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa
pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi pasca pembedahan
untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. Adapun jenis pembedahan
yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Eksisi lokal
Eksisi lokal jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika
tumor ditemukan dalam bentuk polip, maka operasinya disebut
polypectomy. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada
karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara
lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan
tingkat penyebaran di dalam dinding rektum clan adanya kelenjar ganas
pararektal.
b. Low anterior resection (LAR)
Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di tengah atau 1/3
atas rektum. Untuk masa tumor lebih 5 cm dari anokutan dipertimbangkan
reseksi rectum rendah (LowAnteriorResection/LAR), sehingga tidak perlu
kolostomi.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah.
Kanker yang berada di lokasi 1/3 atas dan tengah (5 s/d 15 cm dari garis
dentate) dapat dilakukan ” restorative anterior resection” kanker 1/3 distal
rectum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan
garis dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan
jenis operasi.
Gambar 14. A, Low anterior resection; B,C, coloanal anastomosis; D, j
pouch construction creating a reservoir.

Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan


operasi ”Low anterior resection ” akan terjadi pada kanker rectum dengan jarak
bawah rectum normal 2 cm. Angka 5 cm telah diterima sebagai jarak keberhasilan
terapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh venara dkk pada 243 kasus
menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate aman untuk
dilakukan operasi ” Restorative resection”. ”Colonal anastomosis” diilhami oleh
hasil operasi Ravitch dan Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif.
Operasi ini dapat diterapkan pada kanker rectum letak bawah, dimana teknik
stapler tidak dapat dipergunakan. Local excision dapat diterapkan untuk
mengobati kanker rectum dini yang terbukti belum memperlihatkan tanda-tanda
metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan yaitu transanal, transpinchteric atau transsacral. Pendekatan
transpinshter dan transacral memungkinkan untuk dapat mengamati kelenjar
mesorectal untuk mendeteksi kemungkinan telah terjadi metastasis. Sedang
pendekatan transanal memiliki kekurangan untuk mengamati keterlibatan kelenjar
pararektal.
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan
menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal
rendah.
c. Abdominal perineal resection (Miles procedure)
Untuk masa tumor < 5 cm dari anokutan. Pengangkatan kanker rektum
biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal, termasuk pengangkatan
seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan dubur. Prosedur
ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan
kolostomi permanen.
Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan
amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini
anus turut dikeluarkan.
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan
sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan
retroperitoneal sampai kelenjar limf retroperitoneal. Kemudian melalui insisi
perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdo-
men.

Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum


1. Indikasi
 Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
 T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
 Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara
histologi
 Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
 Tumor tidak jelas
 Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
 Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi

2. Radiasi
Pada kasus stadium 2 dan 3, radiasi dapat mengecilkan ukuran
tumor sebelum dilakukan pembedahan, dalam hal ini radiasi berperan
sebagai preoperative treatment. Peran lainnya radioterapi adalah sebagai
terapi tambahan untuk kasus tumor lokal yang telah diangkat melalui
pembedahan dan untuk penanganan kasus metastase jauh. Jika radioterapi
pasca pembedahan dikombinasikan dengan kemoterapi, maka akan
menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan
menurunkan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastase
jauh, radiasi telah terbukti dapat mengurangi efek dari metastase tersebut
terutama pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi
paliatif pada pasien dengan tumor lokal yang unresectable.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal
radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung
pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external beam
therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat
diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel
kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan
yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian
radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy,
implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh
sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi
disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau
implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi
yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan
dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.

3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy digunakan untuk menangani pasien yang
tidak terbukti memiliki penyakit residual tetapi beresiko tinggi mengalami
kekambuhan. Terapi ini digunakan pada tumor yang menembus sangat
dalam atau tumor lokal yang bergerombol (stadium 2 dan 3). Terapi
standar kemoterapi tersebut adalah fluorouracil (5-FU) yang
dikombinasikan dengan leucovorin dalam waktu 6-12 bulan. Obat lain
yaitu levamisole dapat menjadi pengganti leucovorin jika tidak tersedia.
Protokol kemoterapi ini telah terbukti menurunkan angka kekambuhan
sebesar 15% dan menurunkan angka kematian sebesar 10%. 2, 18
4. Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan
follow up untuk rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan
kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah menggunakan pendekatan
nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya rekurensi
dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka
waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah
ditangani dari kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat
pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up
termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati,
CEA, foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan.17
Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6
minggu setelah pembedahan.2
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up
adalah untuk mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker
kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat metastasis di hepar,
paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer telah
diangkat.2

2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan
dalam mendeteksi rekurensi.2
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan
kolonoskopi 3 sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan
tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya
endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor,
suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada
maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah
pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan
interval 2-3 tahun.2
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan
lebih jauh untuk mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya
sangat membantu dalam mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika
dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu
diagnosa daripada CT scan.2

10 PROGNOSIS KARSINOMA KOLOREKTAL (9)

Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting. Grade


histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium.
Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-
year survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated
karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik
yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan tumor yang berada di
rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan
tumor yang berada di kolon.2
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah
sebagai berikut :
a. Stadium I - 72%
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun kedua
nya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi. Pad penyakit kambuh pada 5-
30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi. Faktor – faktor yang
mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium
tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif tumor. 7
BAB III
KESIMPULAN

1. Kanker kolon merupakan kasus terbanyak dalam keganasan traktus


gastrointestinal
2. Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang
paling sering terjadi di dunia. Di seluruh dunia 9,5% pria penderita
kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya
mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker.
3. Karsinoma rektal umumnya didahului oleh kondisi pramaligna
seperti adenomatous, villous polyp, familial adenomatous
polyposis dan kolitis ulseratif
4. Skrening awal untuk mengarahkan diagnosa Karsinoma kolorektal
penting dilakukan untuk meningkatkan survivalnya. Skrening awal
yang dapat dilakukan yaitu: pemeriksaan darah samar di feses,
sigmodoskopi, kombinasi darah samar feses dan sigmoidoskopi,
kolonoskopi, dobel kontras barium enema.
5. Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah
dijumpai penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat
operasi paliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi dan
perdarahan.
6. Teknik pembedahan kanker kolorektal tergantung dari letak lesi
dari tumor tersebut.
7. Stadium kanker kolorektal penting dalam penentuan tatalaksana
bagi pasien beserta prognosis angka bertahan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Schrock, T. R. Anastomotic leak after colon and rectal resections. Current


Therapy in Colon an Rectal Surgery. 2nd edition. Fazio vw, Church JM,
and Dalancy CP eds. 2005. (Philadelphia, p): Mosby, 525-528

2. Boyle, P., & Langman, J. S. . Epidemiology. British Medical Journal,.


2000. 321(7264),805.

3. Soeripto, I. . Inrayanti. Gastro-intestinal cancer Indonesia. Asian Pacific


Journal of Cancer Prevention. 2003. 4, 289-296.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. . Laporan hasil riset kesehatan


dasar (Rikesdas)) Indonesia tahun 2006. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Keshatan RI. 2007. Jakarta.

5. Sung, J. J., Lau, J Y., Young, G. P. Sano, Y., Chiu, H. M. Asia Ppacific
consensus recommendation for colerectal cancer screening. 2008. Gut,
57(8), 1166-1176.

6. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston


Textbook of Surgery. Ed 18th. Elsevier Inc. 2007
7. Sjamsuhidajat-de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta : EGC. 2010
8. Pezzoli A, Metarese V, Rubini M, et al. Colorectal cancer screening:
Result of a 5-year program in asymptomatic subject at increased risk.
Digestive and Liver Disease. 2007
9. Brunicardi, F. Charles, Anderson, Dana K, et al. Schwartz’s Principles of
Surgery. 8th ed. 2004
10. Durondi S, Banerjea A. Colorectal cancer: early diagnosing and
predisposing causes. Surgery 2006: 24; 131-136
11. Way LW, Doherty GM. Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11th ed.
New York : Mc Graw-Hill. 2003. p716 – 25.
12. Bruce D. Greenwald, MD. Carcinoma colon. Associate Professor of
Medicine. University of Maryland. Diunduh dari :
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=8.%09Bruce+D.+Greenwald%
2C+MD.+Carcinoma+colon.+Associate+Professor+of+Medicine.+Univer
sity+of+Maryland&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CCcQFjAB&url=
http%3A%2F%2Fmedschool.umaryland.edu%2Fminimed%2Fpowerpoint
%2Fgreenwaldppt.ppt&ei=-
AJbUKKFAcLHrQfTyIHwCg&usg=AFQjCNEGuDVbtWsR7CA1uui8srt
k3KynDA&sig2=_hPtLgQ2B9pep8NOdzD0hQ
13. Karnadihardja W. Panduan klinis nasional pengelolaan karsinoma
kolorektal. Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal. 2004
14. Hassan Issac. Rectal carcinoma imaging. 2011. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/373324-overview
15. Ward KC, Young JL, Ries LA. SEER survival monograph : Cancers of the
colon and rectum. National Cancer Institute. 2001. Ch4. Diunduh dari :
http://seer.cancer.gov/publications/survival/surv_colon_rectum.pdf

Anda mungkin juga menyukai