REFERAT Desma
REFERAT Desma
TUMOR KOLON
Pembimbing:
Disusun oleh:
Desmawita Lestari
030.13.051
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis
berjudul “Tumor Kolon” ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Budhi Asih. Dalam
pembuatan karya tulis ini, saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan
internet. Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
pembimbing saya, dr. Santi Andiani, Sp.B, yang telah memberikan bimbingannya
dalam proses penyelesaian karya tulis ini.
Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
“Tumor Kolon”
Jakarta,
November 2018
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 2
BAB III KESIMPULAN...................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN
Neoplasma atau tumor adalah suatu masssa abnormal dari sebuah
jaringan akibat dari pertumbuhan atau pembelahan yang abnormal dari
suatu sel. Umor dapat memiliki sifat jinak (benign), potensi ganas
(malignan) atau ganas. Tumor terjadi ditempat yang berada dala colon,
kira-kira pada bagian; 26 5 pada caecum dan acending colon, 10% pada
transfesum colon, 15% pada desending colon, 20% pada sigmoid colon,
30% pada rectum.(1)
TUMOR KOLOREKTAL
1. ANATOMI(6,7)
Kolon terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon
transversum, kolon descendens, kolon sigmoideum, rektum serta anus.
Mukosa kolon terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan
kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan submukosa tidak
mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar
longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Lapisan serosa membentuk tonjolan-tonjolan kecil yang sering terisi lemak
yang disebut appendices epiploicae. Di dalam mukosa dan submukosa
banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica
semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut
pula lapisan otot sirkuler. Di antara dua plica semilunares terdapat saku
yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia
coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah-
pindah atau menghilang.
2. FISIOLOGI(6)
Fungsi kolon adalah menyerap air, vitamin dan elektrolit, sekresi
mukus, serta menyimpan feses, dan mendorongnya keluar. Dari 700-1000
ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, 150-200 ml sehari
dikeluarkan sebagai feses. Udara ditelan sewaktu makan, minum atau
menelan ludah. Oksigen dan CO2 didalamnya diserap di usus sedangkan
nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan
sebagai flatus. Jumlah gas didalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada
infeksi usus produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas
tertimbun di jalan cerna yang menimbulkan flatulensi.
Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien,
sedangkan dimana fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan
nutrien tergantung pada koloni flora normal, motilitas usus, dan absorpsi
dan ekskresi mukosa.
a. Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh
tercampu oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi
sebagian besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang
tersekresi ke lumen. Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit
terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak
kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan energi terlalu banyak. Untuk
mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora normal yang ada. Kira-
kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011
sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah
bakteri anaerob dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides
(1011 sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri
spesies yang paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal
ini berguna untuk memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai
andil dalam metabolism bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol,
dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk menekan jumlah
bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang tinggi
dapat menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk
dan dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka
post-operasi kolektomi.
b. Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada
manusia dan sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease,
namun flora normal bakteri pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi
patologis urea yang paling umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak
mampu menggunakan kembali urea nitrogen yang diabsorpsi kolon,
ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan gangguan
neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik.
c. Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang
masuk kedalam kolon perharinya mencapai 1000 – 1.500 mL. Air yang
tersisa di kolon hanya sekitar 100 – 150 mL/hari. Absorpsi natrium per
harinya juga cukup tinggi, yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari
yang masuk ke kolon, pada feses hanya tersisa 25 – 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi;
namun, n-butirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan
keton. Karena sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon
bergantung pada bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara
fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat
antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya absorpsi sodium
dan air sehingga menyebabkan diare.
d. Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi
kolon. Kolon dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra,
kolon sinistra, dan rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi
pada traktus GI, dengan sekum sebagai segmen kolon yang memiliki
aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri merupakan tempat
penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon diatur
oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon
melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai
kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus
myenterika (Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.
3. DEFINISI(8)
Karsinoma Kolorektal adalah istilah yang diberikan kepada
karsinoma yang berkembang pada kolon atau rektum. Kolon dan rektum
merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointesinal.
Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di
bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus. Kolon dan rektum merupakan
bagian dari saluran gastrointestinal dimana fungsinya adalah untuk
menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak
berguna.
4. EPIDEMIOLOGI(9)
Keganasan kolorektal merupakan keganasan terbanyak di antara
seluruh keganasan pada traktus gastrointestinal. Lebih dari 150.000 kasus
baru dilaporkan terjadi di Amerika Serikat dan lebih dari 52.000 orang
akan meninggal setiap tahunnya meskipun kanker kolorektal menempati
urutan kedua penyebab tersering kematian akibat kanker di Amerika
Serikat. Insidensinya sama baik pada wanita maupun pria. Angka
kematian dari kanker rektal telah meningkat selama 20 tahun terakhir.
Dengan adanya diagnosa dini melalui skrining akan sangat menurunkan
insidensi terjadinya kanker dan menurunkan angka kematian akibat
kanker ini.
Gambar 4. Angka kejadian kasus baru karsinoma kolorektal
6. PATOGENESIS(6,11)
Gambar 7. Karsinogenesis kanker kolorektal. Ket: APC, adenomatous polyposis coli. DCC,
deleted in colorectal carcinoma; HNPCC, hereditary nonpolyposis colorectal cancer; MMR,
mismatch repair. Tumor suppressor gen (DCC, p53, APC)
Gambar 8: Perkembangan histopatologi karsinoma kolorektal
Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :
Tipe Polipoid atau Vegetatif
Tumbuh menonjol ke dalam lumen usus dan berbentuk bunga kol
ditemukan terutama di sekum dan kolon ascenden. Tipe ini merupakan
pertumbuhan yang berasal dari papiloma simpel atau adenoma.
Tipe Skirous (Scirrhous)
Mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala
obstruksi, terutama ditemukan di kolon ascenden, sigmoid dan rektum.
Disini terjadi reaksi fibrous sangat banyak sehingga terjadi pertumbuhan
yang keras serta melingkari dinding kolon sehingga terjadi konstriksi
kolon untuk membentuk napkin ring.
Tipe Ulseratif
Terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum. Pada
tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi
tukak maligna.
7. DIAGNOSIS(9)
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
termasuk colok dubur, dan pemeriksaan penunjang lainnya:
Anamnesis
Anamnesis meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik
berupa diare ataupun konstipasi (change of bowel habit), perdarahan
per anum (darah segar), penurunan berat badan, faktor predisposisi,
riwayat kanker dalam keluarga, riwayat polip usus, riwayat kolitis
ulserosa, riwayat kanker payudara/ovarium, uretero-sigmoidostomi,
serta kebiasaan makan (rendah serat, banyak lemak). Gejala yang
paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air
besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi.
Semakin distal letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan
karena semakin ke distal feses semakin keras dan sulit dikeluarkan
akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa disertai nyeri dan
perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat bervariasi,
merah terang, mahogany, dan kadang merah kehitaman. Makin ke
distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering
disertai dengan lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya
proses patologis pada colorektal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya
yaitu adanya massa yang teraba pada fossa iliaca dextra dan secara
perlahan makin lama makin membesar. Penurunan berat badan sering
terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah metastasis jauh ke hepar.
Gambar 10. Gejala karsinoma kolorektal
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur atau rectal toucher dipakai untuk
menilai tonus dari muskulus sfingter ani, ampula rektum, mukosa
dan massa. Tonus sfingter ani dinilai kuat atau lemah, ampula
rektumnya kolaps atau tidak dan isinya, mukosa dinilai
permukaannya apakah kasar, licin atau berbenjol – benjol, dan
dinilai apakah teraba massa, lokasinya, batasnya dan
permukaannya. Kemudian dinilai juga apakah terdapat perdarahan.
Pemeriksaan Penunjang
Barium Enema
Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan
Single contras procedure (barium saja) atau Double contras
procedure (udara dan barium). Kombinasi udara dan barium
menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapi
barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih
dari 1 cm). DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar
96% dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif
untuk mendeteksi polips di Rectosigmoid-colon. Angka kejadian
perforasi pada DCBE 1/25.000 dan Single Contras Barium Enema
(SCBE) 1/10.000.
Gambar 11. Barium enema double contras, (a) Karsinoma Polipoid, (b) Karsinoma
Annular
Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa
kolon karena 3% dari pasien mempunyai kanker dan
berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.
Ultrasound Transrectal
Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea
dentata, tapi akut angulasi dari rectosigmoid junction akan dapat
menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proktosigmoidoskopi
aman dan efektif untuk digunakan sebagai evaluasi seseorang
dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika digunakan
bersama sama dengan occult blood test.
Kolonoskopi
Prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang panjang
dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rectum dan usus besar.
Kolonoscopi umumnya dianggap lebih akurat daripada barium
enema, terutama dalam mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan
polip pada usus besar, maka biasanya diangkat dengan
menggunakan colonoscope dan dikirim ke ahli patologi untuk
kemudian diperiksa jenis kankernya. Tingkat sensitivitas
kolonoscopi dalam diagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal
adalah 95%. Namun tingkat kualitas dan kesempurnaan prosedur
pemeriksaannya sangat tergantung pada persiapan kolon, sedasi,
dan kompetensi operator. Kolonoskopi memiliki resiko dan
komplikasi yang lebih besar dibandingkan FS. Angka kejadian
perforasi pada skrining karsinoma kolorectal antara 3-61/10.000
pemeriksaan, dan angka kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000
pemeriksaan.
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi
sangat penting. Biopsi biasanya dilakukan dengan endoskopi.
Skrining Carcinoembrionik Antigen (CEA)
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada
permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan
digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke
hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan
sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA
serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.
Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2,
stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase ke organ
dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor
prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan
bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes
CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya
rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai
faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan
meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif
berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor
yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.
MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT
scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak
teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena
sensitivitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI
dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
8. STADIUM(9,12)
Stadium dari karsinoma kolorektal merupakan salah satu faktor
yang penting untuk menentukan prognosis. Dukes tahun 1932
mengembangkan klasifikasi yang dipakai sampai sekarang. Di samping itu
AJCC dan UICC juga menetapkan klasifikasi berdasarkan sistem TNM.
Untuk menentukan apakah suatu tindakan bersifat kuratif atau paliatif
biasa digunakan Dukes staging atau Astler-Coller modification staging.
1. Klasifikasi Dukes
A : Tumor terbatas pada dinding mukosa
B : Tumor menginvasi menembus dinding mukosa
C : Keterlibatan kelenjar limfe lokal dan regional
D : Metastase Jauh
Metastasis
Karsinoma kolorektal menyebar secara :
1. Langsung
Pertumbuhan karsinoma secara sirkumferensial dapat menyebar ke
daerah sekitarnya dan dapat mengenai permukaan usus sebelum
diagnosis dilakukan. Secara longitudinal tumor akan keluar menembus
submukosa dan menginvasi jaringan intramural tetapi jaraknya jarang
melebihi 2 cm dari asal tumor kecuali jika ada penyebaran ke aliran
limfe. Lesi akan memberikan presentasi keluar dinding usus dan
selanjutnya akan terjadi kontak dengan jaringan / struktur sekitar
misalnya hati, kurvatura mayor dari lambung, duodenum, usus halus,
pankreas, limpa, vesika urinaria, vagina, ginjal, ureter dan juga dinding
abdomen. Karsinoma rektum dapat menginvasi ke dinding vagina,
vesika urinaria, prostat atau sakrum, dan hal ini dapat menyebar
sepanjang otot levator.
2. Metastase hematogen
Tumor dapat menginvasi vena mensenterika inferior dan berjalan
melalui aliran vena porta dan bermetastase ke hepar. Embolisasi dapat
terjadi melalui vena – vena lumbal dan vertebra, ke paru – paru atau
tempat – tempat lain. Invasi vena terjadi 15-50% kasus, tapi tidak
selalu menyebabkan metastasis jauh. Usaha yang perlu dilakukan
adalah mencegah terjadinya metastasis hematogen selama operasi
dengan manipulasi minimal dari tumor.
3. Metastase limfogen
Penyebaran karsinoma kolorektal paling sering melalui limfe.
Biasanya terjadi penyebaran secara langsung ke proksimal mengikuti
vena hemoroidalis superior ke vena mesenterika inferior apabila terjadi
kanker rektum, tetapi dapat juga terjadi penyebaran secara langsung ke
kaudal jika terjadi obstruksi dari kelenjar limfe yang retrograd.
4. Metastasis transperitoneal
Umumnya jarang terjadi pada karsinoma rektum. Pada kasus ini
tumor menembus serosa masuk rongga peritoneum kemudian cairan
serous masuk rongga peritoneum sehingga menimbulkan implant lokal
atau karsinomatosis abdominal. Kantong rektovesikal atau rektourin
biasanya terkena pada beberapa pasien dan pada pemeriksaan colok
dubur, metastase ini dapat dirasakan sekeras papan. Metastase tumor
ini dapat juga ke ovarium.
9. PENATALAKSANAAN(12)
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan operatif.
Tujuan utama tindakan operatif ialah memperlancar saluran cerna, baik
bersifat kuratif maupun non kuratif. Kemoterapi dan radiasi bersifat
paliatif dan tidak memberikan manfaat kuratif.
Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum.
Tiga terapi standar yang digunakan antara lain adalah:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium 1 dan 2 kanker rektum, bahkan pada suspek stadium 3 juga
masih dapat dilakukan pembedahan. Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan, sekarang sebelum dioperasi pasien diberi presurgical
treatment berupa radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum
pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan terapi ini
biasanya digunakan pada pasien dengan kanker rektum stadium 2 dan 3.
Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun
sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa
pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi pasca pembedahan
untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. Adapun jenis pembedahan
yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Eksisi lokal
Eksisi lokal jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika
tumor ditemukan dalam bentuk polip, maka operasinya disebut
polypectomy. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada
karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara
lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan
tingkat penyebaran di dalam dinding rektum clan adanya kelenjar ganas
pararektal.
b. Low anterior resection (LAR)
Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di tengah atau 1/3
atas rektum. Untuk masa tumor lebih 5 cm dari anokutan dipertimbangkan
reseksi rectum rendah (LowAnteriorResection/LAR), sehingga tidak perlu
kolostomi.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah.
Kanker yang berada di lokasi 1/3 atas dan tengah (5 s/d 15 cm dari garis
dentate) dapat dilakukan ” restorative anterior resection” kanker 1/3 distal
rectum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan
garis dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan
jenis operasi.
Gambar 14. A, Low anterior resection; B,C, coloanal anastomosis; D, j
pouch construction creating a reservoir.
2. Radiasi
Pada kasus stadium 2 dan 3, radiasi dapat mengecilkan ukuran
tumor sebelum dilakukan pembedahan, dalam hal ini radiasi berperan
sebagai preoperative treatment. Peran lainnya radioterapi adalah sebagai
terapi tambahan untuk kasus tumor lokal yang telah diangkat melalui
pembedahan dan untuk penanganan kasus metastase jauh. Jika radioterapi
pasca pembedahan dikombinasikan dengan kemoterapi, maka akan
menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan
menurunkan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastase
jauh, radiasi telah terbukti dapat mengurangi efek dari metastase tersebut
terutama pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi
paliatif pada pasien dengan tumor lokal yang unresectable.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal
radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung
pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external beam
therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat
diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel
kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan
yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian
radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy,
implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh
sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi
disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau
implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi
yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan
dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy digunakan untuk menangani pasien yang
tidak terbukti memiliki penyakit residual tetapi beresiko tinggi mengalami
kekambuhan. Terapi ini digunakan pada tumor yang menembus sangat
dalam atau tumor lokal yang bergerombol (stadium 2 dan 3). Terapi
standar kemoterapi tersebut adalah fluorouracil (5-FU) yang
dikombinasikan dengan leucovorin dalam waktu 6-12 bulan. Obat lain
yaitu levamisole dapat menjadi pengganti leucovorin jika tidak tersedia.
Protokol kemoterapi ini telah terbukti menurunkan angka kekambuhan
sebesar 15% dan menurunkan angka kematian sebesar 10%. 2, 18
4. Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan
follow up untuk rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan
kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah menggunakan pendekatan
nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya rekurensi
dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka
waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah
ditangani dari kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat
pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up
termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati,
CEA, foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan.17
Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6
minggu setelah pembedahan.2
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up
adalah untuk mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker
kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat metastasis di hepar,
paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer telah
diangkat.2
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan
dalam mendeteksi rekurensi.2
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan
kolonoskopi 3 sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan
tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya
endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor,
suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada
maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah
pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan
interval 2-3 tahun.2
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan
lebih jauh untuk mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya
sangat membantu dalam mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika
dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu
diagnosa daripada CT scan.2
5. Sung, J. J., Lau, J Y., Young, G. P. Sano, Y., Chiu, H. M. Asia Ppacific
consensus recommendation for colerectal cancer screening. 2008. Gut,
57(8), 1166-1176.