Anda di halaman 1dari 13

A Pilot Study Demonstrating The Evidence for Reflux Disease in Patients

Presenting With Non-Allergic Rhinitis (NAR )— Reflux Disease in Association


With Non-Allergic Rhinitis

Sebuah Studi Percontohan Menunjukkan Hubungan Penyakit Refluks pada


Pasien dengan Rhinitis Bukan Alergi —Penyakit Refluks dalam
Hubungannya dengan Rhinitis Bukan Alergi

Qiuping Wang1, Rhianna K. Lenham2, Xiu Wang3, Yifei Li3, Manjie


Jiang3, Wei Chen3, Li Xu3, Changqing Yang4, Andrew D. Woodcock2, Peter
W. Dettmar2

Latar Belakang: Untuk mengatasi kesalahan diagnosis penyakit refluks dan


menyajikan subjek yang sesuai dengan terapi yang tepat menentukan hubungan
antara rhinitis bukan alergi (Non Allegic Rhinitis / NAR) dan penyakit refluks
melalui analisa konsentrasi pepsin pada pasien dengan NAR menggunakan tes
diagnostic reflukss, Peptest.
Metode: Pasien dengan tes tusuk kulit negatif dan CT Scan sinus diikutsertakan
dari kunjungan pasien rawat jalan THT. Semua pasien disediakan hitung eosinofil
dan menjalani endoskopi nasal dengan semua pasien melengkapi Kuesioner
Penyakit Refluks. Partisipan (31 pasien dan 42 sehat) menyediakan satu sampel
saliva postprandial dan pasien dengan NAR disediakan kumbah nasal dan
tambahan saliva pada saat bangun dan penentuan konsentrasi pepsin setelah gejala
dengan Peptest. Konsentrasi pepsin >25 ng/mL dianggap positif dan hitung
eosinofil <5% normal.
Hasil: Hasil pepsin positif ditemukan pada semua pasien (100%), dengan deteksi
tersering pada sampel postprandial (70,79%). Perbedaan signifikan untuk
konsentrasi pepsin telah ditemukan pada semua sampel NAR ketika dibandingkan
dengan kumbah nasal (nilai p; 0,0324, <0,001 dan 0,0015). Perbedaan yang tidak
signifikan (p=0,9450) ditunjukkan hitung eosinfil tidak memiliki efek nyata
hubungan NAR engan penyakit refluks. Sensitivitas yang tinggi (87,1%),
spesifisitas (61,9%), nilai prediksi positif (62,8%) dan nilai prediksi negatif
(86,7%) ditentukan menggunakan Peptest.

1
Kesimpulan: Pasien dengan NAR ditunjukkan positif untuk penyakit refkuks
disebabkan kehadiran konsentrasi yang signifikan dari pepsin, terutama pada
sampel postprandial. Kemudakan Peptest memberikan hasil yang cepat dan biaya
efektif dan menyajikan hubungan jelas antara NAR dan penyakit refluks.

Kata Kunci: Non Allergic Rhinitis (NAR); pepsin; Peptest; studi percontohan;
refluks

Pendahuluan
Rhinitis bukan alergi (Non Allergic Rhinitis/NAR) meningkat, penyakit
onset dewasa (1) paling umum antara pasien usia 30-60 tahun (2) Penyakit ini
mempengaruhi hingga 30% individual pada populasi Barat (3) Tiga puluh persen
dari semua kasus rhinitis didiagnosis menjadi NAR meskipun kurang dipahami
karena berbelit, mekanisme yang tidak dikenali menjadi penyebab reaksi (4).
NAR sering digambarkan emlalui serangkaian gejala nasal kronik meliputi
obstruksi, rhinorea dan postnasal drip. (4-6). Gejala yang beragam ini terjadi
berhubungan dengan pemicu non alergi dan non infeksius seperti perubahan
lingkungan meliputi, paparan ke bau kaustik, asap rokok dan perbedaan tekanan
barometer (1).
Aliran balik isi lambung mencakup asam dan pepsin ke dalam esophagus
dinamakan refluks gastroesofageal (gastroesophageal refluk/GER) (6-8). Saat ini,
kami menyadarari bahwa reflux melewati esophagus menyebabkan gejala di luar
esophagus seperti laryngitis, asma dan batuk kronik, didefinisikan sebagai extra
esophageal reflux (EER) atau laryngopharyngeal reflux (LPR) (9). LPR tampak
sebagai subtype dari gastroesophaegal reflux disease (GERD) oleh alih
gastroenterology atau penyakit yang sangat berbeda diantara spesialis THT dan
respirasi. Telah ditemukan bahwa banyak refluks menginduksi gejala ekstra
esophagus meliputi suara serak, bersihin tenggorok dan postnasal drip (10) sangat
mirip dengan pasien yang menderita NAR. Disebabkan kesemaaan gejala ini,
dipercaya bahwa LPR adalah penyebab dan meningkatkan kontribusi terhadap

2
diagnosis NAR (4), meskipun demikian tidak ada data yang menunjukkan tentang
peran refluks pada kondisi ini.
Kami bertujuan untuk mengkonfirmasi hipotesis dan untuk mengevaluasi
kemungkinan hubungan antara GERD dan NAR dengan alat diagnostic in vitro
non invasive, Peptest. Studi ini akan dilaksanakan menggunakan sampel klinis
dari saliva pasien dan kumbah nasal.

Metode
Rekrutmen
Tiga pulus satu pasien (22 laki-laki dan 9 wanita) diikutsertakan selama
kunjungan rawat jalan THT mereka ke The Affiliated Jinling Hospital of
Nanjing University Medical School dan The Affiliated BenQ
Hospital of Nanjing Medical University dipebawah persetujuan
mereka. Semua pasien yang menunjukkan gejala klinis NAR
tipikal dan menjalani endoscopy nasal. Tes tusuk kulit allergen
dan CT scan sinus dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergi
dan sinusitis. Karakteristik demografi diambil untuk 16 pasien
dari 31 pasien (Tabel 1).
Kelompok kontrol sehat (n=42, 11 laki-laki dan 31
perempuan) telah diikutsertakan dari Tongji Hospital at Tongji
University School of Medicine, menunjukkan mereka memperoleh
skor 0 pada pelengkapan Reflux Disease Questionnaire (RDQ).
Usia antara 22 hingga 66 tahun dan usia terbanyak dan usia
tengah-tengah masing-masing 37 tahun dan 34 tahun (Tabel 2).

Kuesioner
Semua pasien diminta untuk melengkapi Reflu Disease Questionnaire
(RDQ) (11,12).

Pepsin Saliva
Pengumpulan

3
Semua partisipan (pasien dan kelompok kontrol) menyediakan 1 sampel
saliva postprandial, dengan pasien yang disuspek NAR menyediakan 3 sampel
lebih lanjut. Ini mencakup 2 saliva tambahan diambil pada pagi hari dan setelah
setiap gejala yang dilaporkan oleh pasien sendiri dan sampel kumbah nasal
dikumpulkan saat kedatangan ke klinik. Partisipan diinformasikan untuk tidak
meminum obat apapun selama periode studi ini dan tidak mengonsomsi minuman
berkafein dan berkarbonasi 60 menit menuju pengambilan sampel.
Setiap sampel pagi hari dikumpulkan pada saat bangun sebelum makan
dan membersihkan gigi, penyediaan postprandial (pp) 60 menit setelah setelah
makan dan akhirnya sampel ke-3 disediakan 15 menit setelah merasakan gejala.
Semua saliva dan sampel nasal disimpan dan didinginkan pada 4 0C
sebelum dianalisa untuk keberadan pepsin menggunakan Peptest (RD Biomed
Limited, UK).
Masing-masing sampel dikumpulkan di dalam tabung pengumpul 30 mL
mengandung 0,5 mL, 0,01M asam sitrat, yang bekerja sebagai agen antibakteri
dan penstabil sampel pada pH asam untuk mencegah pencernaan oleh pepsin (13).

Analisis
Tabung pengumpul disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 5 menit sampai
lapisan supernatan bening terlihat. Jika tidak, sampel disentrifugasi lagi, dan 80
μL dari lapisan permukaan sampel supernatant diambil menggunakan pipet
otomatis. 80 μL sampel dipindahkan ke tabung mikro tutup sekrup mengandung
240 μL cairan buffer pindahan. Sampel ini dicampur dengan mixer vortex selama
10 detik. Pipet kedua digunakan untuk memindahkan 80 μL sampel ke cakram
melingkar pada bagian lateral flow device (LFD) (gambar 1) mengandung 2
antibodi monoclonal manusia unik; satu untuk mrndeteksi dan yang lain untuk
menangkap pepsin di dalam saliva atau sampel kumbah nasal. (Peptest, RD
Biomed Limited, UK).
Lima belas menit setelah mengenalkan sampel klinis untuk analisis pepsin
ke dalam cakram Peptest, bagian samping alat aliran ditempatkan ke dalam

4
pembaca Peptest untuk menentukan intensitas dari batas uji pepsin. Konsentrasi
pepsin >25 ng/mL ditetapkan positif.

Hitung Eosinofil
Pengumpulan
Klinisi mendorong dengan yakin swab melalui hidung masinng-masing
pasien dengan NAR ke dalam nasofaring dengan berputar; memastikan jumlah
kumbah nasal yang cukup terkumpul

Analisis
Swab diputar ke kaca slide mikroskop memindahkan spesimen. Slide
spesimen dikeringkan dan dicelupkan ke dalam CAMCO STAIN selama 10 detik
sebelum dipindahkan ke dalam air suling selama 20 detik.
Slide spesimen ditempatkan di bawah mikroskop dan diobservasi melalui
lensa kering tinggi dan konfirmasi morfologi menggunakan lensa minyak tinggi
mengacu ke Clinical Haematology Atlas (14).
Jumlah eosinofil kurang dari 5% ditetapkan normal.

Tabel 1. Karakteristik Demografi Seluruh Pasien


Parameter N=31
Pria/wanita 22/9
Kisaran sia 21-60
Usia rerata 32
Kisaran tinggi (cm) 155-182
Kisaran berat (kg) 50-85
Kisaran Hitung eosinofil 0-90
Partisipan dengan riwayat merokok 3
Partisipan dengan riwayat peminum 1
Partisipan dengan riwayat penyuka 8
makanan pedas
Gagal untuk memberikan informasi 13
tambahan

Analisis Statistik
Data ditentukan mean dan standar deviasi (SD). Statistik dihitung
menggunakan GraphPad Prism 7. Untuk perbandingan, sebuah unpaired t test

5
digunakan untuk menentukan nilai p (Gambar 2) dengan korelasi pearson test dan
Chi-Square test dilakukan dengan tepat.

Tabel 2. Karakteristik Demografi Seluruh Subjek Kontrol Sehat


Parameter N=42
Pria/wanita 11/31
Usia 22-66
Usia rerata 37
Partisipan dengan riwayat merokok 6

Hasil
Pepsin terdeteksi pada seluruh 31 pasien NAR pada setidaknya 1 sampel.
Level pepsin yang lebih tinggi ditemukan pada sampel postprandial (rata-rata 142
ng/mL) dibanding dengan sampel pagi hari (rata-rata 67 ng/mL), p=0,0126. Level
pepsin diatas 25 ng/mL, dideteksi pada 22 subjek (70,97%) pada tes postprandial
dan 13 (41,94%) pada sampel pagi hari, menunjukkan bahwa makanan memiliki
efek menginduksi reflex dan meningkatkan level pepsin dalam tubuh. Dari semua
subjek, 1 pasien (3,23%) memiliki hasil Peptest positif untuk keseluruhan 4
sampel, 11 pasien (35,48) memiliki hasil positif untuk 3 dari 4 sampel, lebih lanjut
11 pasien (35,48%) positif dalam 2 sampel dan 8 (25,81%) memiliki hasil positif
hanya untuk 1 sampel.
Konsentrasi patologi pepsin ditetapkan lebih besar dari 75 ng/mL. Total
39/39 (41,94%) sampel saliva dan 4/31 sampel kumbah lambung (12,9%) lebih
besar dari konsentrasi ini pada sampel pasien. Pada kelompok kontrol sehat ada
16 dari 42 sampel postprandial positif (38,1%). Lima belas dari sampel saliva
positif (35,7%) memiliki konsentrasi yang lebih bear dari batas 75 ng/mL.
Tidak ada satu pun pasien NAR yang mendapat skor negatif untuk deteksi
pepsin pada keseluruhan 4 sampel. Usia rata-rata mereka yang ditetapkan positif
paling tidak pada 3 sampel lebih muda dibanding mereka yang memperoleh hasil
positif pada maksimal 2 sampel (29 dibanding 39 tahun) menunjukkan bahwa usia
bukan kofaktor esensial paa studi ini.

6
Rata-rata skor RDQ pada pasien NAR adalah 5,16 dengan hanya 2 subjek
dengan skor yang sama atau lebih besar dari 12, nilai batas untuk diagnosis GERD
(Tabel 3).

Tabel 3. Skor Respon Rerata dari Evaluasi Mandiri Reflux Disease Qustionnaire
Respon rerata Total respon
0-2 10
3-5 8
6-8 6
9-12 6
13+ 1
5,16

Lima belas dari 31 (43,39%) sampel air irigai nasal dianalisa untuk
keberadaan pepsin dinyatakan positif. Rata-rata konsentrasi pepsin untuk untuk
kelompok sampel kumbah nasal rendah pada 25 ng/mL. Rata-rata konsentrasi
pepsin di dalam 3 sampel saliva berbeda secara signifikan (p=0,0324, <0,0001
dan 0,0015) terhadap konsentrasi pepsin rata-rata yang terlihat pada sampel air
irigasi nasal (Tabel 4). Gambar 2 adalah reprsentasi grafis dari konsentrasi pepsin
yang ditemukan pada pasien NAR yang disajikan dalam studi ini.
Hitung eosinofil yang diperoleh dari keseluruhan 31 pasien NAR dank or
mereka dicatat. Respon rata-rata untuk jumlah eosinfoil adalah tinggi dengan nilai
abnormal 23,84; meskipun 18 dari 31 subjek (58,06%) memiliki jumlah dalam
kisaran normal (Tabel 5).
Perbandingan antara sampel saliva postprandial kelompok kontrol sehat
dan pasien NAR menunjukkan perbedaan yang nyata, jumlah sampel positif yang
lebih besar ditemukan pada sampel pasien postprandial (22/32) dibanding dengan
kelompok kontrol sehat (n=15). Seeprti yang diprediksikan, kelompok kontrol
sehat memiliki 27 sampel negatif dimana populasi pasien memiliki 9.
Konsentrasi rata-rata sampel postprandial dari kelompok pasien NAR
dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat ditunjukkan dalam Tabel 6.

7
Tes Chi-square telah dilaksanakan dan sensitifitas, spesifisitas, positive
predictive value (PPV), dan negative predictive value (NPV) telah ditetapkan,
Tabel 7.

Tabel 4. Hasil Tes Akhir dan Perbandingan Statistik Antara Sampel Saliva
dan Kumbah Nasal

Parameter Jumlah Partisipan dengan Sampel dalam Kisaran Konsentrasi


Pagi Postprandial Setelah gejala Irigasi nasal
Kisaran
konsentrasi
(ng/mL)
0-50 17 10 15 26
51-100 5 5 4 4
101-150 4 2 4 0
151-200 0 4 3 1
201-250 2 3 1 0
251-300 1 3 1 0
301-350 0 2 1 0
351-400 1 1 0 0
401+ 0 1 2 0
Tes gagal 1 0 0 0
Konsentrasi 67 142 105 25
rerata (ng/mL)
Standar deviasi 99 126 129 38
Nilai p 0,0324 <0,0001 0,0015 N/A

Tabel 5. Jumlah Eosinofil Rerata pada Pasien dengan Rhinitis Non Alergi (n=31)
Kisaran Respon Rerata Total Respon
0 1
1-4 18
5-10 2
11-30 2
31+ 8
Respon rerata 23,48

Tabel 6. Konsentrasi Pepsin Rerata (ng/mL) pada Sampel Postprandial Pasien NAR
(n=31) Dibanding dengan Konsentrasi Pepsin Postprandial pada Kelompok Kontrol
Sehat (n=42)

Parameter N=42
Pasien NAR (n=31) 142

8
Kontrol Sehat (n=42) 45

Tabel 7. Senitivitas, spesifisitas, nilai prediksi postif dan nilai prediksi negatif pada
pasien degan rhinitis non alergi (n=31)

Variabel %
Sensitivitas 87,1
Spesifisitas 61,9
Positive predictive value (PPV) 62,8
Negative predictive value (NPV) 86,7

Diskusi
Hubungan antara NAR dan penyakit reflux sudah dapat dikonfirmasi,
indicator penting dimana terdapat asosiasi kuat melalui deteksi pepsin. Pepsin
sebagai enzim pencernaan yang hanya diproduksi di dalam lambung, dapat
terdeteksi karena ukurannya yang besar (6,7). Sebagai akibat pepsin yang hanya
diproduksi di satu lokasi dalam tubuh (12), konsentrasi yag ditemukan dalam
sampel nasaldan saliva adalah bukti kuat bahwa refluks mengambil tempat, yang
berpotensi menyebabkan GERD, LPR dan penyakit respirasi.
Dengan menggunakan Peptest, perangkat aliran lateral untuk mendeteksi
keberadaan pepsin, ini menunjukkan banyak sampel tes mengandung pepsin
(Tabel 4). Ini mengarahkan bahwa refluks dan pepsin merupakan faktor yang
dapat berkontribusi pada kondisi klinis umum seperti NAR dimana penyebab pasti
nya masih belum diketahui. Dengan demikian, data yang dikumpulkan pada studi
ini menunjkkan keuntungan dari pengujian pasien NAR untuk keberadaan GERD
dan LPR.
LPR seringkali menjadi penyebab yang mendasari semua kasus rhinitis,
progresi dan perkembangan NAR menunjukkan bahwa pasien telah menderita
penyakit terkait LPR untuk periode waktu yang lama. Hal ini dapat berpotensi
menyebabkan kesulitan yang tidak perlu terhadap terapi tidak tepat yang
digunakan. (2,15).
Karena pepsin merupakan enzim pencernaan, diharapkan bahwa asupan
makanan akan menyebabkan efek peningkatan pada konsentrasinya, selama
proses pencernaan (16). Harapan ini ditekankan oleh hasil sampel postprandial

9
pasien yang dihitung berbeda secara signifikan terhadap sampel pagi hari mereka
(Gambar 2), dengan nilai p 0,0126. Lebih lanjut, 16 dari 42 sampel kontrol sehat
memiliki hasil positif untuk pepsin, dengan 15 dari sampel ini memiliki hasil
positif >75ng/mL. Lebih lanjut ini menunjukkan pemberian makanan dan diet
dapat menyebabkan efek peningkatan terhadap level pepsin yang ditemukan di
tubuh mengikuti kejadian refluks. Penelitian telah menemukan level pepsin yang
terdapat dalam sampel bergantung pada waktu pengumpulan dan pengalaman
gejala sebelum sampel diamnil (17), berpotensi mempengaruhi hasil yang
menyebabkan perbedaan signifikan dalam sampel pasien NAR untuk muncul.
Eosinofil normal ditemukan di dalam lamina propria, kehadiran mereka
pada epitel taktus gastrointestinal menggambarkan terdapat kondisi patologi
(GERD) (18). Melalui analisa presentasi eosinofil pada subjek NAR, ini akan
menggambarkan pakah pasien mengalami GERD karena jumlah eosinofil yang
abnormal terdeteksi.
Sebagaimana tidak terdapat hubungan yang jelas antara hal itu dengan
jumlah eosinofil abnormal dan hal itu dengan konsentrasi pepsin yang tinggi
dalam sampel kumbah nasal, korelasi Pearson telah dilakukan untuk menunjukkan
lebih lanjut ketiadaan korelasi (r=0,015).
Dua puluh satu dari 36 (58,33%) sampel eosinofil abnormal positif untuk
level pepsin patologi dalam perbandingan terhadap 18 dari 56 (32,14%) level
eosinofil normal. Disamping perbedaan ini, mereka mereka anggap tidak
signifikan (p=0,9450).
Sensitifitas pepsin yang tinggi (87,1%) dan spesifisitas
(61,9%) telah ditetapkan menggunakan Peptest. Ini menunjukkan
manfaat dan kemudahan non invasive, perangkat aliran lateral,
dibandingkan dengan Reflux Disease Questionnaire yang
digunakan dalam studi ini.
Hasil RDQ menunjukkan gejala GERD klasik berdasarkan metode
diagnostic bukan merupakan metode sensitif untuk mendiagnosa LPR dengan
skor rata-rata yang dicapai (5,16) yang jauh lebih rendah dibanding batas untuk

10
menetapkan GERD (≥12), menyebabkan 29 pasien NAR berpotensi salah
diagnosis untuk GERD dan LPR.
Karena ketiadaan hubungan yang jelas antara pasien NAR yang
menggunakan alcohol dan mereka yang merokok pada saat pengambilan sampel,
data statistic tidak dilakukan pada kategori ini.
Data yang didapat dalm studi ini menunjukkan bahwa terdapat level
pepsin yang tinggi di dalam sampel saliva pasien dibanding dengan populasi
kontrol sehat, menyajikan keterkaitan dan hubungan yang jelas dari penyakit
reflux pada pasien dengan NAR. Efek dari usia, diet termasuk makanan pedas dan
hitung eosinofil merupakan faktor yang tidak berkontribusi dalam studi ini.
Kemudahan dalam penggunaan Peptest memberikan metode yang cepan
dan efisien dengan semua subjek menunjukkan positif untuk penyakit refluks
disebabkan karena kehadiran konsentrasi pepsin yang signifikan,terutama pada
sampel saliva postprandial.
Dokter yang menterapi pasien dengan NAR harus mempertimbangkan
terapi refluks untuk pasien yang menunjukkan konsentrasi pepsin yang tinggi.

11
Daftar Pustaka

1. Scarupa MD, Kaliner MA. Nonallergic rhinitis, with a focus on vasomotor


rhinitis: clinical importance, differential diagnosis, and effective treatment
recommendations. World Allergy Organ J 2009;2:20-5.

2. Kaliner MA. Classification of Nonallergic Rhinitis Syndromes With a


Focus on Vasomotor Rhinitis, Proposed to be known henceforth as
Nonallergic Rhinopathy. World Allergy Organ J 2009;2:98-101.

3. Hampel H, Abraham NS, El-Serag, HB. Meta-Analysis: Obesity and the


Risk for Gastroesophageal Reflux Disease and Its Complications. Ann
Intern Med 2005;143:199-211.

4. Wang Q, Ji J, Xie Y, et al. Lower airway inflammation and


hyperresponsiveness in non-asthmatic patients with non-allergic rhinitis. J
Thorac Dis 2015;7:1756-64.

5. Turley R, Cohen SM, Becker A, et al. Role of Rhinitis in Laryngitis:


Another Dimension of the Unified Airway. Ann Otol Rhinol Laryngol
2011;120:505-10.

6. Gelardi M, Ventura MT, Fiorella R, et al. Allergic and non-allergic rhinitis


in swimmers: clinical and cytological aspects. Br J Sports Med
2012;46:54-8.

7. Bardhan KD, Strugala V, Dettmar PW. Reflux revisited: Advancing the


Role of Pepsin. Int J Otolaryngol 2012;2012:646901.

8. Ocak E, Kubat G, Yorulmaz I. Immunoserologic pepsin detection in the


saliva as a non-invasive rapid diagnostic test for laryngopharyngeal reflux.
Balkan Med J 2015;32:46-50.

12
9. Ozmen S, Yücel OT, Sinici I, et al. Nasal Pepsin Assay and pH Monitoring
in Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope 2008;118:890-4.

10. Eren E, Arslangoǧu S, Aktaş A, et al. Factors confusing the


diagnosis of laryngopharyngeal reflux: the role of allergic rhinitis and
inter-rater variability of laryngeal findings. Eur Arch Otorhinolaryngol
2014;271:743-7.

11. Shaw M, Dent J, Beebe T, et al. The Reflux Disease Questionnaire:


a measure for assessment of treatment response in clinical trials. Health
Qual Life Outcomes 2008;6:31.
12. Harnik IG. In the Clinic: Gastroesophageal Reflux Disease. Ann
Intern Med 2015;163:ITC1.

13. Kim TH, Lee KJ, Yeo M, et al. Pepsin detection in the
sputum/saliva for the diagnosis of gastroesophageal reflux disease in
patients clinically suspected atypical gastroesophageal reflux disease
symptoms. Digestion 2008;77:201-6.

14. Clinical Haematology Atlas [computer program]. Version.


Philadelphia: Saunders Elsevier, 2009.

15. Johnston N, Dettmar PW, Strugala V, et al. Laryngopharyngeal


reflux and GERD. Ann N Y Acad Sci 2013;1300:71-9.

16. Luebke KE, Samuels TL, Johnston N. The Role of Pepsin in LPR:
Will It Change Our Diagnostic and Therapeutic Approach to the Disease?
Curr Otorhinolaryngol Rep 2016;4:55-62.

17. Hayat JO, Gabieta-Somnez S, Yazaki E., et al. Pepsin in saliva for
the diagnosis of gastro-oesophageal reflux disease. Gut 2015;64:373-80.

18. Ayazi S, Hagen JA, Chandrasoma P, et al. Esophageal


Intraepithelial Eosinophils in Dyspahgic Patients with Gastroesophageal
Reflux Disease. Dig Dis Sci 2010;55:967-72.

13

Anda mungkin juga menyukai