Anda di halaman 1dari 33

LEMBER PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA TUBERKOLOSIS


PARU DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT NON BEDAH
( IGD NON BEDAH ) RSUP DR. WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR

Oleh :

LA ALI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKes)


MALUKU HUSADA
MAKASSAR
2019
A. Konsep Medis
1. Definisi
 Tuberculosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri berbentuk batang (basil) yang bernama Mycobacterium
tuberculosis (Price, 2010).
 Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menahun menular yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Kuman
tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara
(pernapasan) ke dalam paru-paru, kemudian menyebar dari paru-paru ke
organ tubuh yang lain melalui peredaran darah, yaitu: kelenjar limfe,
saluran pernapasan atau penyebaran langsung ke organ tubuh lain
(Depkes RI, 2012).
 Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang menyerang
parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis
(Somantri, 2010).
Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan, tuberkulosis paru
adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh suatu bakteri yaitu
Microbacterium Tuberculosis yang terutama penyerang bagian paru-paru
nyang disebut parenkim.
2. Epidemiologi / Insiden Kasus
Setiap tahunnya, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah penderita TB
sekitar seperempat juta kasus baru TB dan sekitar 140.000 diantaranya
meninggal dunia. Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TB
di dunia. Sebagian besar penderita TB adalah mereka dengan usia produktif
(15-55 tahun).
TB adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular. TB
adalah penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Indonesia telah berhasil
mencapai angka keberhasilan pengobatan sesuai dengan target global yaitu
85% dan tetap dipertahankan dalam empat tahun terakhir.
Indonesia telah memberikan kemajuan yang cepat dalam penemuan kasus
baru TB menular, yaitu sebesar 52% pada tahun 2004 dan target global pada
tahun 2005 adalah sebesar 70%. Penemuan kasus baru TB menular saat ini
adalah sebesar 52% yang berarti hanya kurang 8% dari target 60% yang telah
ditetapkan didalam rencana strategis Penanggulangan TB selama 5 tahun. TB
banyak terdapat di kalangan penduduk dengan kondisi sosial ekonomi lemah
dan menyerang golongan usia produktif (15-54 tahun). Sekitar 3/4 pasien TB
adalah golongan usia produktif. TB membunuh lebih banyak kaum muda dan
wanita dibandingkan dengan penyakit menular lainnya. Di seluruh dunia
terdapat sekitar 2-3 juta orang meninggal akibat TBC setiap tahunnya.
Sesungguhnya kematian akibat TBC dapat dihindari. Setiap tahun sebesar 1%
dari seluruh penduduk dunia sudah tertular oleh kuman TBC (walaupun
belum terjangkit oleh penyakitnya).
3. Penyebab / Faktor Predisposisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri berbentuk batang (basil) yang bernama Mycobacterium tuberculosis.
Sebagian besar struktur organisme ini terdiri atas asam lemak (lipid) yang
membuat mikobakterium lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisik. Mikobakterium ini tahan hidup pada udara kering
maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es).
Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant
ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali.
Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya,
sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
Penyebab dari tuberkulosis disebabkan oleh melemahnya daya tahan
tubuh atau imun penderita sehingga mudah terserang atau terinfeksi bakteri.
Macam-macam jenis Micobacterium tubercolusae complex adalah:
 M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, M.
Bovis
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT) atypical adalah:
 M. kansasi, M. avium, M. intra cellular, M. scrofulaceum, M.malmacerse,
M. xenopi (Amin, 2011)
1. Penularan kuman tuberkulosis:
Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita, pesebaran
kuman tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB Paru
BTA positif mengeluarkan kuman-kuman keudara dalam bentuk droplet
yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil
ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman
tuberkulosis. Dan dapat bertahan diudara selama beberapa jam. Droplet
yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman
tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka
kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari
satu orang ke orang lain.
2. Cara penularan ada dua yaitu :
a. Langsung
Percikan ludah/cairan hidung berpindah sewaktu berbicara
berhadapan/bersin.
b. Tidak langsung
Bila pasien meludah disembarang tempat kemudian kering dan kuman
diterbangkan oleh angin bersama debu yang dihirup oleh orang sehat.
4. Patofisiologi Penyakit
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung
Mycobakterium tuberkulosis dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam.
Orang dapat terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan.
Setelah Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran pernapasan, masuk
ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai memperbanyak diri.
Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh
lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia. lnfeksi awal
biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemajanan. Massa jaringan baru, yang
disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang
sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif.
Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa
fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik,
membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk
skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif
karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit
aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam
bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran
penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan
parut.
Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan
terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya.
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah
ke bawah ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan.
Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit
dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui.
Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif
(Brunner dan Suddarth, 2012)
5. Klasifikasi
a. Klasifikasi I (berdasarkan bagian tubuh yang terinfeksi) (Depkes, 2010)
1) Tuberculosis paru
Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari
semua penderita. Tuberculosis yang menyerang parenkim paru ini
merupakan satu-satunya bentuk tuberculosis yang paling mudah
menular.
2) Tuberculosis ekstra paru
Merupakan bentuk Tubeculosis yang menyerang organ lain selain
paru, seperti pleura, kelenjar limfe, persendian tulang belakang,
saluran kencing, susunan saraf pusat, dan perut. Pada dasarnya
penyakit Tuberculosis ini tidak pandang bulu karena kuman ini
menyerang semua organ tubuh.
b. Klasifikasi II ( Menurut American Thoracic Society, 2010)
Class 0 Tidak ada jangkitan atau terinfeksi, riwayat terpapar, reaksi
test tuberculin (PPD) tidak bermakna.
Class 1 Terpapar TBC, tidak ada bukti infeksi, reaksi kulit tak
bermakna
Class 2 Ada infeksi TBC, reaksi kulit bermakna, pemeriksaan bakteri
(-), tidak ada bukti.
Class 3 Sedang sakit, BTA (+), test mantoux bermakna, Rontgent
Thorax (+). Lokasi tempat : Paru-paru, Pleura, Limfatik,
tulang/sendi, meninges, peritoneum.
Class 4 Sedang sakit, ada riwayat mendapat pengobatan, Rontgent
Thorax (+), test mantoux bermakna.
Class 5 dicurigai TBC, sedang dalam pengobatan
c. Klasifikasi III
1) Tuberculosis Primer
Tuberculosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang
yang belum pernah terpajan (orang yang belum pernah mengalami
TB) atau peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan
spesifik terhadap basil mikobakterium.
2) Tuberculosis Sekunder (Tuberculosis Post Primer)
Merupakan penyakit yang terjadi pada seseorang yang telah terpajan
penyakit tuberculosis atau peradangan jaringan paru oleh karena
terjadi penularan ulang di mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan
spesifik terhadap basil mikobakterium tersebut. Penyakit ini mungkin
terjadi segera setelah tuberculosis primer, tetapi umumnya muncul
karena reaktivasi lesi primer dorman beberapa dekade setelah infeksi
awal, terutama jika sistem pertahanan penjamu (seseorang yang
pernah terkena TB sebelumnya) melemah.
d. Klasifikasi IV
Klasifikasi TB Paru berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik
dan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi sebagai berikut:
1) TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
a) Dengan atau tanpa gejala klinik
b) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali
disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1
kali.
c) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
2) TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
a) Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
b) BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
3) Bekas TB Paru dengan kriteria:
a) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negative
b) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
c) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan
serial foto yang tidak berubah.
d) Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
e. Klasifikasi V
Berdasarkan tipe penderita. Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita :
1) Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari
satu bulan.
2) Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
3) Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat
pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah.
4) Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
6. Gejala Klinis
Penyakit tuberculosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu
penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga
memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita
gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang
asimtomatik.
Menurut Jhon Crofton (2010), gejala klinis yang timbul pada pasien
Tuberculosis berdasarkan adanya keluhan penderita adalah :
 Batuk lebih dari 3 minggu
Batuk adalah reflek paru untuk mengeluarkan sekret dan hasil proses
destruksi paru. Mengingat Tuberculosis Paru adalah penyakit menahun,
keluhan ini dirasakan dengan kecenderungan progresif walau agak lambat.
Batuk pada Tuberculosis paru dapat kering pada permulaan penyakit,
karena sekret masih sedikit, tapi kemudian menjadi produktif.
 Dahak (sputum)
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit,
kemudian berubah menjadi mukopurulen atau kuning, sampai purulen
(kuning hijau) dan menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan.
 Batuk darah
Batuk darah yang terdapat dalam sputum dapat berupa titik darah sampai
berupa sejumlah besar darah yang keluar pada waktu batuk. Penyebabnya
adalah akibat peradangan pada pembuluh darah paru dan bronchus
sehingga pecahnya pembuluh darah.
 Sesak napas
Sesak napas berkaitan dengan penyakit yang luas di dalam paru.
Merupakan proses lanjut akibat retraksi dan obstruksi saluran pernapasan.
 Nyeri dada
Rasa nyeri dada pada waktu mengambil napas dimana terjadi gesekan
pada dinding pleura dan paru. Rasa nyeri berkaitan dengan pleuritis dan
tegangan otot pada saat batuk.
 Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen bronkus yang disebabkan
oleh sekret, peradangan jaringan granulasi dan ulserasi.
 Demam dan menggigil
Peningkatan suhu tubuh pada saat malam, terjadi sebagai suatu reaksi
umum dari proses infeksi.
 Penurunan berat badan
Penurunan berat badan merupakan manisfestasi toksemia yang timbul
belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
 Malaise
Ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.
 Rasa lelah dan lemah
Gejala ini disebabkan oleh kurang tidur akibat batuk.
 Berkeringat banyak terutama malam hari
Keringat malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit
Tuberculosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses
telah lanjut.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Konjungtiva mata pucat karena anemia, malaise, badan kurus/ berat badan
menurun. Bila mengenai pleura, paru yang sakit terlihat agak tertinggal
dalam pernapasan. RR meningkat (>24 x/menit). Adanya dyspnea,
sianosis, distensi abdomen, batuk dan barrel chest.
b. Palpasi
Badan teraba hangat (demam), denyut nadi meningkat (>100x/menit),
turgor kulit menurun, fremitus raba meningkat disisi yang sakit. (Amin,
2011)
c. Perkusi
Terdengar suara redup terutama pada apeks paru, bila terdapat kavitas
yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonar dan timpani. Bila
mengenai pleura, perkusi memberikan suara pekak.
d. Auskultasi
Terdengar suara napas bronchial. Akan didapatkan suara napas tambahan
berupa rhonci basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrasi ini diliputi
oleh penebalan pleura, suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, auskultasi memberikan suara amforik.
Bila mengenai pleura, auskultasi memberikan suara napas yang lemah
sampai tidak terdengar sama sekali.
8. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif
penyakit.
Pemeriksaan dapat memperkirakan jumlah basil tahan asam ( AFB)
yang terdapat pada sediaan. Sediaan yang positif memberikan petunjuk
awal untuk menekankan diagnosa, tetapi suatu sediaan yang negative
tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi penyakit.
Pemeriksaan biakan harus dilakukan pada semua biakan. Mikrobakteri
akan tumbuh lambat dan membutuhkan suatu sediaan kompleks.
Koloni matur akan berwarna krem atau kekuningan, seperti kulit dan
bentuknya seperti kembang kol. Jumlah sekecil 10 bakteri/ml media
konsentrasi yang telah diolah dapat dideteksi oleh media biakan ini
(Price,2010).
 Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
 Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Tes mantoux adalah dengan
menyuntikan tuberculin (PPD) sebanyak 0,1 ml mengandung 5 unit
(TU) tuberculin secara intrakutan pada sepertiga atas permukaan volar
atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibesihkan dengan lalkohol.
Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimal diperlukan waktu antara
48 sampai 72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam
peiode tersebut. Interpretasi tes kulit menunjukan adanya beberapa tipe
reaksi:
1. Indurasi ≥ 5 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :
a) Orang dengan HIV positif.
b) Baru saja kontak dengan orang yang menderita TB.
c) Orang dengan perubahan fibrotic pada radigrafi dada yang
sesuai dengan gambaran TB lama yang sudah sembuh.
d) Pasien yang menjalani tranplanstasi organ dan pasien yang
mengalami penekanan imunitas.
2. Indurasi ≥ 10 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :
a) Baru tiba ( ≤ 5 tahun ) dari Negara yang berprevalensi tinggi.
b) Pemakai obat-obat yang disuntikkan.
c) Penduduk dan pekerja yang berkumpul pada lingkungan yang
berisiko tinggi. Penjara, rumah-rumah perawatan, panti jompo,
fasilitas yang disiapkan untuk pasien dengan AIDS, dan
penampungan untuk tuna wisma
d) Orang dengan keadaan klinis pada daerah mereka yang
berisioko tinggi.
e) Anak di bawa usia 4 tahun atau anak-anak dan remaja yang
terpajan orang dewasa kelompok risiko tinggi.
3. Indurasi ≥ 15 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :
a) Orang dengan factor risiko TB.
b) Target program-program tes kulit seharusnya hanya dilakukan
di anatara kelompok risiko tinggi. (Price,2010)
 Uji tuberculin : Menggunakan standar tuberkulin 1:10.000/5 TU PPD-S
intrakutan yang dibaca 48-72 jam dengan indurasi > 5 mm. Uji tuberkulin
negatif belum dapat menyingkirkan TB. False negatif pada pemeriksaan uji
tuberkulin sering ditemukan pada pasien HIV dan kejadiannya meningkat
sebanding dengan peningkatan imunosupresi.
 Histologi atau Culture jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan CSF,
biopsi kulit) : positif untuk Mycobacterium tuberculosis
 Pemeriksaan Darah :
a) Hb dapat ditemukan menurun. Anemia bila penyakit berjalan
menahun
b) LED meningkat terutama pada fase akut umumnya nilai tersebut
kembali normal pada tahap penyembuhan.
c) GDA : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa
kerusakan paru.
 Biopsi jarum pada jaringan paru (Needle Biopsi of Lung Tissue): Positif
untuk granuloma TB; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
 Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi;
contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat
ditemukan pada TB paru kronis luas.
 Kadar Ig: Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
 Reaksi rantai polimerase: Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada
infeksi sel perifer monoseluler.
b. Radiologi
 Foto thorax : Infiltrasi lesi awal pada area paru oleh simpanan kalsium
lesi yang sembuh primer atau efusi cairan. Perubahan
mengindikasikan TB yang lebih berat dapat mencakup area berlubang
dan fibrous. Pada foto thorax tampak pada sisi yang sakit bayangan
hitam dan diafragma menonjol ke atas.
 Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat
kerusakan bronchus atau kerusakan paru karena TB.
 Gambaran radiologi lain yang sering menyertai TBC paru adalah
penebalan pleura, efusi pleura atau empisema, penumothoraks
(bayangan hitam radio lusen dipinggir paru atau pleura).
c. Pemeriksaan fungsi paru
Penurunan kualitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara
residu: kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder
terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan
penyakit pleural.
9. Diagnosis / Kriteria Diagnosis
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA
hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen
SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita diidagnosis
sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB,
maka pemeriksaan lain, misalnya biakan. Apabila fasilitas memungkinkan,
maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila tiga spesimen
dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol
atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun
gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS :
- Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
- Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB.
- Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA
negatif rontgen positif.
- Bila hasil ropntgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
10. Therapy / Tindakan Penanganan
Pengobatan TBC
Tujuan pemberian obat pada penderita tuberculosis adalah: menyembuhkan,
mencegah kematian,dan kekambuhan, menurunkan tingkat penularan (Depkes
RI. 2012).
a. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
 Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 %
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang. Dosis harian 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg
berat badan.
 Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg berat badan. Dosis sama untuk
pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
 Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg
berat badan.
 Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.
 Etambutol (E)
Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis harian
15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan 30 mg/kg berat badan.
b. Tahap Pengobatan
Pengobatan Tuberculosis diberikan dalam 2 tahap yaitu:
 Tahap Intensif
Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti Tuberculosis
(OAT).
 Tahap Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu yang
lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistem
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
c. Evaluasi Pengobatan
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (
hilangnya keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain
), berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum menjadi
negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan
ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA
diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada
permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi
dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap
intensif dan pada awal terapi pasien yang mendapat pengobatan ulang
(retreatment).
Perawatan TBC
Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberculosis adalah :
a) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah orang
terdekat yaitu keluarga.
b) Mengetahui adanya gejala samping obat dan merujuk bila diperlukan.
c) Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita
d) Istirahat teratur minimal 8 jam per hari
e) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua,
kelima dan enam
f) Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang
baik (Depkes RI, 2012)
Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.
a) Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut (dengan
menggunakan masker) sewaktu batuk dan membuang dahak di tempat
yang disediakan dan tertutup, tidak disembarangan tempat.
b) Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap
bayi harus harus diberikan vaksinasi BCG.
c) Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit
TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang
ditimbulkannya.
d) Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat,
perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry,
tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
e) Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang
tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum
dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai
adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh
dokter.
11. Pencegahan
Ada vaksin terhadap TB. Namanya BCG, diberikan dengan suntikan
di bawah kulit. Namun vaksin ini tampaknya hanya efektif pada anak yang
baru lahir, untuk mencegah penyakit TB yang berat, termasuk meningitis TB,
pada usia kanak-kanak. BCG tidak mempunyai dampak dalam mengurangi
jumlah kasus TB pada orang dewasa. Saat ini belum ada vaksin terhadap TB
yang efektif untuk orang dewasa.
BCG dapat menyebabkan pembacaan palsu-positif pada tes tuberkulin
kulit. Jika diberikan kepada orang dewasa yang HIV positif atau anak-anak
dengan sistem kekebalan sangat lemah, BCG kadang-kadang dapat
menyebabkan penyakit BCG diseminata, yang sering fatal.

12. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2012), komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena
tersumbatnya jalan napas.
b. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.
c. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan
ginjal.
13. Prognosis
TB adalah IO yang pada urutan kedua dalam daftar frekuensi IO di
Indonesia, dan adalah penyebab kematian kebanyakan Odha. Namun TB
dapat disembuhkan dan dicegah. Perkembangan dari infeksi TBC dengan
penyakit TBC terjadi ketika bakteri TB mengatasi pertahanan sistem
kekebalan tubuh dan mulai berkembang biak. Pada TB primer 1-5% dari
kasus-penyakit ini terjadi segera setelah infeksi. Pada pasien koinfeksi M. TB
dan HIV, risiko reaktivasi meningkat sampai 10% per tahun. Pasien dengan
TB ini disebarluaskan memiliki tingkat kematian mendekati 100% jika tidak
diobati. Namun, Jika diobati, tingkat kematian berkurang hingga hampir 10%.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk
memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar
untuk membuat rencana asuhan keperawatan pasien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran
kualitatif atau GCS dan respon verbal pasien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
 Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji
tekanan nadi, dan kondisi patologis.
 Pulse rate
 Respiratory rate
 Suhu
Pola Pengkajian Gordon
1. Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Pengkajian meliputi kebiasaan pasien terhadap pemeliharaan kesehatan
baik sebelum atau sesudah sakit. Misalnya : kebiasaan merokok, minum
obat, alkohol, riwayat minum obat-obatan.
2. Nutrisi / Metabolik
Pasien mengalami penurunan nafsu makan, mual/muntah, nafsu makan
buruk/anoreksia dan ketidakmampuan untuk makan karena penurunan
nafsu makan. Gejala : adanya anoreksia (kehilangan nafsu makan), adanya
penurunan berat badan, makanan yang disediakan hanya dimakan ¼ porsi
Tanda : turgor kulit buruk, kering / bersisik, massa otot berkurang /
lemak subkutan berkurang, IMT = (kekurangan BB tingkat berat), Pasien
tampak kurus.
3. Eliminasi
Pada pasien dengan TBC kemungkinan mengalami gangguan pada system
eliminasi jika bakteri tersebut sudah menyebar sampai ke system
gastrointestinal.
4. Aktivitas dan Latihan
Pada pasien dengan TBC kemungkinan ditemukan gangguan aktivitas dan
latihan karena pasien mengalami keletihan, kelelahan, malaise,
ketidakmampuan untuk melakukan aktvitas sehari-hari karena sulit
bernapas, ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk
tinggi. Gejala: adanya kelelahan dan kelemahan, kesulitan tidur pada
malam atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat
Tanda : takikardia, takipnea / dispnea saat beraktivitas, kelelahan otot
5. Persepsi, Sensori, Kognitif
Pasien mengalami gangguan berupa rasa nyeri di daerah dada. Perasaan
takut.
Gejala : adanya faktor stres dalam waktu yang lama, adanya perasaan
berduka
Tanda : ansietas, takut, perasaan bersalah (menyalahkan diri sendiri),
keputusasaan, kesedihan, ekpresi kurang dalam penerimaan terhadap
penyakit, ekspresi kurang kedamaian, rasa bersalah
6. Tidur dan Istirahat
Pasien mengalami gangguan pada pola tidurnya karena sulit untuk tidur
karena nyeri dan sesak napas.
7. Konsep Diri
Pasien mengalami gangguan pada harga diri , karena kondisi yang terkena
TBC. Gejala : adanya perasaan rendah diri karena mengidap penyakit
menular, adanya perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran,
tidak berpartisipasi dalam kegiatan agama, perubahan pola ibadah, merasa
diabaikan dan diasingkan, menolak interaksi dengan orang lain, merasa
dipisahkan dari lingkungan sosial.
perubahan interaksi dalam keluarga, seperti: perubahan tugas dalam
keluarga, perubahan dukungan emosional, perubahan pola komunikasi
dalam keluarga, perubahan keakraban, perubahan partisipasi dalam
menyelesaikan masalah.
8. Peran dan Hubungan
Pasien mengalami gangguan pada peran dan hubungan, hubungan yang
ketergantungan dengan keluarga, kurang sistem pendukung, penyakit lama
atau ketidakmampuan membaik.
9. Seksual dan Reproduksi
Pada pasien dengan tbc kemungkinan ditemukan penurunan libido.
10. Koping Stres dan Adaptasi
Pasien kemungkinan mengalami gangguan pada pola koping stress dan
adaptasi, ansietas, ketakutan, peka rangsang.
11. Nilai dan Kepercayaan
Pada pasien dengan pada tbc kemungkinan pasien mengalami gangguan
dalam melakukan aktivitas beribadah diluar rumah (tempat-tempat
ibadah).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi
trakeobronkial yang sangat banyak ditandai dengan frekuensi napas,
irama, kedalaman tak normal, bunyi napas tak normal (ronchi, mengi),
stridor, dispneu.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan
efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, sekret
kental, tebal, edema bronkial ditandai dengan sesak, pucat, sianosis pada
bibir, napas cepat dan dangkal, RR >20x/menit, AGD abnormal, takikardi,
gelisah, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung,
pergerakan dada tidak seimbang.
c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru ditandai dengan adanya sesak, sesak semakin berat apabila stres dan
sering timbul pada malam hari, frekuensi napas >20 x/menit, napas cepat
dan dangkal, ekspansi dada tampak menurun.
d. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat
infeksi TB, ditandai dengan adanya peningkatan suhu tubuh (>37,5°C),
kulit teraba hangat, nadi meningkat (>100x/menit), kulit tampak
kemerahan, menggigil.
e. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, reaksi seluler
terhadap sirkulasi toksin, batuk menetap ditandai dengan nyeri dada, sakit
kepala, nyeri sendi, melindungi area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan kalori sekunder akibat infeksi TB ditandai
dengan nafsu makan menurun/anoreksia, kelemahan ditandai dengan berat
badan < 10%-20% BBI, gangguan sensasi pengecap, tonus otot buruk.
g. Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan
kompleksitas program terapeutik ditandai dengan pengungkapan kesulitan
dalam pengaturan pengobatan, pengungkapan ketidakdisiplinan dalam
pengobatan.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi
trakeobronkial yang sangat banyak ditandai dengan frekuensi napas,
irama, kedalaman tak normal, bunyi napas tak normal (ronchi,
mengi), stridor, dispneu.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..... x 24 jam diharapkan
bersihan jalan napas efektif, dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Respiratory Status: Airway Patency
 Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/menit)
 Irama pernapasan normal
 Kedalaman pernapasan normal
 Mampu mengeluarkan sputum secara efektif
 Tidak ada akumulasi sputum
Intervensi:
NIC Label >> Airway Management:
1. Auskultasi bunyi napas tambahan; ronchi, wheezing.
Rasional: bunyi ronchi menandakan terdapat penumpukan sekret atau
sekret berlebih di jalan napas.
2. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dispnea.
Rasional: posisi memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernapasan. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret ke jalan napas besar untuk dikeluarkan.
3. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan penghisapan sesuai
keperluan.
Rasional: mencegah obstruksi atau aspirasi. Penghisapan dapat diperlukan
bia pasien tak mampu mengeluarkan sekret sendiri.
4. Bantu pasien untuk batuk dan napas dalam.
Rasional: memaksimalkan pengeluaran sputum.
5. Ajarkan batuk efektif.
Rasional: membantu mempermudah pengeluaran sekret.
6. Anjurkan asupan cairan adekuat.
Rasional: mengoptimalkan keseimbangan cairan dan membantu
mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan.
7. Kolaborasi pemberian oksigen.
Rasional: meringankan kerja paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
8. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.
Rasional: bronkodilator meningkatkan ukuran lumen percabangan
trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan


permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-
kapiler, sekret kental, tebal, edema bronkial ditandai dengan sesak,
pucat, sianosis pada bibir, napas cepat dan dangkal, RR >20x/menit,
AGD abnormal, takikardi, gelisah, penggunaan otot bantu
pernapasan, pernapasan cuping hidung, pergerakan dada tidak
seimbang.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
gangguan pertukaran gas dapat diatasi dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Respiratory Status: Gas Exchange
 Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat
 Tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu bernapas dengan mudah)
 RR dbn (16-20 x/menit)
 Hasil AGD dbn
Intervensi :
NIC Label >> Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi.
Rasional : Mengetahui karakteristik napas pasien
2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
retraksi otot supraclavicular dan intercostal
Rasional : Penggunaan otot bantu pernapasan menandakan perburukan
kondisi pasien.
3. Pantau hasil AGD
Rasional : mengetahui status oksigenasi pasien.
4. Kolaborasi : Berikan O2 sesuai indikasi dengan masker, kanula atau
ventilasi mekanik.
Rasional : Mencegah memperbaiki hipoksemia dan gagal pernapasan.

c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan


ekspansi paru ditandai dengan adanya sesak, sesak semakin berat
apabila stres dan sering timbul pada malam hari, frekuensi napas >20
x/menit, napas cepat dan dangkal, ekspansi dada tampak menurun.
Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan
pola napas efektif dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Respiratory Status: Ventilation
 Kedalaman pernapasan normal
 Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan
 Tidak tampak retraksi dinding dada
NOC Label >> Vital Signs
 Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/menit)
Intervensi
NIC Label >> Restiratory Monitoring
1. Pantau RR, irama dan kedalaman pernapasan
Rasional: Ketidakefektifan pola napas dapat dilihat dari peningkatan atau
penurunan RR, serta perubahan dalam irama dan kedalaman pernapasan
2. Pantau adanya penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding
dada
Rasional : Penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada
menunjukkan terjadi gangguan ekspansi paru
NIC Label >> Ventilation Assitance
3. Berikan posisi semifowler
Rasional : Posisi semifowler dapat membantu meningkatkan toleransi
tubuh untuk inspirasi dan ekspirasi
4. Pantau status pernapasan dan oksigen
Rasional : Kelainan status pernapasan dan perubahan saturasi O2 dapat
menentukan indikasi terapi
5. Berikan dan pertahankan masukan oksigen sesuai indikasi
Rasional : Pemberian oksigen sesuai indikasi diperlukan untuk
mempertahankan masukan O2 saat mengalami perubahan status respirasi

d. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder


akibat infeksi TB, ditandai dengan adanya peningkatan suhu tubuh
(>37,5°C), kulit teraba hangat, nadi meningkat (>100x/menit), kulit
tampak kemerahan, menggigil.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..... x 24 jam diharapkan
suhu tubuh normal, dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Thermoregulation
 Suhu tubuh pasien normal (36-37±0,5˚C)
 Melaporkan rasa nyaman
 Tidak menggigil
NOCLabel >> Vital Signs
 Suhu : 36-37±0,5˚C
 Nadi: 60-100x/menit
 RR: 16-20 x/menit
 TD: 120/80 mmHg
Intervensi :
NIC Label >> Fever Treatment
1. Monitor suhu tubuh, tekanan darah, denyut nadi, dan respirasi rate secara
berkala.
Rasional: peningkatan suhu menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
Menggigil sering mendahului puncak suhu.

2. Berikan kompres hangat.


Rasional: membuat vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat
membantu mengurangi demam.
3. Anjurkan pasien untuk mempertahankan asupan cairan adekuat.
Rasional: untuk mencegah dehidrasi akibat penguapan cairan karena suhu
tubuh yang tinggi.
4. Kolaborasi pemberian obat antipiretik sesuai indikasi.
Rasional: digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus.
e. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, reaksi
seluler terhadap sirkulasi toksin, batuk menetap ditandai dengan
nyeri dada, sakit kepala, nyeri sendi, melindungi area yang sakit,
perilaku distraksi, gelisah.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan
nyeri dapat terkontrol dengan kriteria hasil:
NIC Label >> Pain Control
 Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
 Melaporkan perubahan gejala nyeri ke tenaga kesehatan
 Melaporkan nyeri terkontrol
NIC Label >> Pain Level
 Melaporkan nyeri berkurang
 Tidak meringis dan menangis
 Tidak kehilangan nafsu makan
 TTV dalam batas normal: Suhu : 36-37±0,5˚C, Nadi: 60-100x/menit,
RR: 16-20 x/menit, TD: 120/80 mmHg.
Intervensi:
NIC Label >> Pain Management
1. Kaji karakteristik nyeri meliputi lokasi, waktu, frekuensi, kualitas, faktor
pencetus, dan intensitas nyeri
Rasional : Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat
menentukan jenis tindakannya.
2. Kaji faktor-faktor yang dapat memperburuk nyeri pasien
Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat memperburuk
nyeri, dapat mencegah terjadinya faktor pencetus dan menentukan
intervensi apabila nyeri terjadi.
3. Monitor status TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik
Rasional : mencegah kontraindikasi dan efek samping pemberian
analgetik
4. Memastikan pasien mendapat terapi analgesik yang tepat
Rasional : Analgesik yang dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
tidak mengakibatkan adanya reaksi alergi terhadap obat.
5. Eliminasi faktor-faktor pencetus nyeri
Rasional : Dengan mengeleminasi faktor-faktor pencetus nyeri, dapat
mengurangi risiko munculnya nyeri (mengurangi awitan terjadinya nyeri)
6. Ajarkan teknik nonfarmakologi (misalnya teknik relaksasi, guided
imagery, terapi musik, dan distraksi) yang dapat digunakan saat nyeri
timbul.
Rasional : Dengan teknik manajemen nyeri, pasien bisa mengalihkan nyeri
sehingga rasa nyeri yang dirasakan berkurang.
7. Berikan dukungan selama pengobatan nyeri berlangsung
Rasional : Dukungan yang diberikan dapat membantu meningkatkan rasa
percaya terhadap perawat.
8. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Pemberian analgetik dapat memblok reseptor nyeri.
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan kalori sekunder akibat
infeksi TB ditandai dengan nafsu makan menurun/anoreksia,
kelemahan ditandai dengan berat badan < 10%-20% BBI, gangguan
sensasi pengecap, tonus otot buruk.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan … x 24 jam diharapkan pemenuhan
nutrisi adekuat, dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Nutritional Status
 Masukan nutrisi adekuat
 Masukan makanan dalam batas normal
NOC Label >> Nutritional Status: Nutrient Intake
 Masukan kalori dalam batas normal
 Nutrisi dalam makanan cukup mengandung protein, lemak, karbohidrat,
serat, vitamin, mineral, ion, kalsium, sodium
NOC Label >> Nutritional Status: Biochemical Measures
 Serum albumin dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dL)
Intervensi:
NIC Label >> Nutrition Therapy
1. Kaji status nutrisi
Rasional: pengkajian penting untuk mengetahui status nutrisi dan
menentukan intervensi yang tepat.
2. Monitor masukan makanan atau cairan dan hitung kebutuhan kalori
harian.
Rasional: dengan mengetahui masukan makanan atau cairan dapat
mengetahui apakah kebutuhan kalori harian sudah terpenuhi atau belum.
3. Tentukan jenis makanan yang cocok dengan tetap mempertimbangkan
aspek agama dan budaya pasien.
Rasional: memenuhi kebutuhan nutrisi pasien dengan tetap
memperhatikan aspek agama dan budaya pasien sehingga pasien bersedia
mengikuti diet yang ditentukan.
4. Anjurkan untuk menggunakan suplemen nutrisi sesuai indikasi.
Rasional: dapat membantu meningkatkan status nutrisi selain dari diet
yang ditentukan.
5. Jaga kebersihan mulut, ajarkan oral higiene pada pasien.
Rasional: menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Rasional: untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhan pasien.
NIC Label >> Weight Gain Assistance
7. Timbang berat badan pasien secara teratur.
Rasional: dengan memantau berat badan pasien dengan teratur dapat
mengetahui kenaikan ataupun penurunan status gizi.
8. Diskusikan dengan keluarga pasien hal-hal yang menyebabkan penurunan
berat badan.
Rasional: membantu memilih alternatif pemenuhan nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhan dan penyebab penurunan berat badan.
9. Pantau konsumsi kalori harian.
Rasional: membantu mengetahui masukan kalori harian pasien
disesuaikan dengan kebutuhan kalori sesuai usia.
10. Pantau hasil laboratorium, seperti kadar serum albumin, dan elektrolit.
Rasional: kadar albumin dan elektrolit yang normal menunjukkan status
nutrisi baik. Sajikan makanan dengan menarik.
11. Tentukan makanan kesukaan, rasa, dan temperatur makanan.
Rasional: meningkatkan nafsu makan dengan intake dan kualitas yang
maksimal.
12. Anjurkan penggunaan suplemen penambah nafsu makan.
Rasional: dapat membantu meningkatkan nafsu makan pasien sehingga
dapat meningkatkan masukan nutrisi.

g. Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik berhubungan


dengan kompleksitas program terapeutik ditandai dengan
pengungkapan kesulitan dalam pengaturan pengobatan,
pengungkapan ketidakdisiplinan dalam pengobatan.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
pasien dan keluarga memahami tata laksana pengobatan penyakit TBC
dengan kriteria hasil :
 Pasien mengungkapkan keinginan untuk segera pulih
 Pasien mengungkapkan keinginan untuk mematuhi terapi
 Keluarga mengungkapkan keinginan untuk memberikan perhatian dan
pengawasan dalam proses pengobatan pasien
Intervensi:
1. Jelaskan tanggung jawab individu/keluarga dalam proses pengobatan
TBC.
Rasional : Meningkatkan sikap positif dan partisipasi aktif individu dan
keluarga
2. Jelaskan kepada pasien pentingnya mengikuti protokol pengobatan dengan
baik.
Rasional : Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga efek dari
ketidak patuhan terhadap protocol pengobatan
3. Ceritakan tentang keberhasilan pengobatan pada orang lain dan hindari
kesan pemaksaan serta kesan memberi harapan
Rasional : Dapat meningkatkan rasa percaya dan kekuatan diri
DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, Joanne McCloskey & Bulecheck, Gloria N. 2010. Nursing Intervention


Classification. USA : Mosby.
Doenges, Marilynn E. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta: EGC
Dorland. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Guyton dan Hall. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Mansjoer, Arif. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Moorhead, Sue, dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification. USA : Mosby
NANDA. 2012. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, Suzanne C, dkk. 2002. Keperawatan Medikal - Bedah Brunner & Suddarth,
Edisi 8, Volume 3. Jakarta : EGC.
Sylvia A, dkk. 2009. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume II. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai