Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN BIOFISIKA

“PERAMBATAN BUNYI MELALUI TULANG TENGKORAK”

Disusun Oleh

1. Fajri Nur Maghfirah (16312241011)


2. Aini Putri Ratnasari (16312241012)
3. Vina Jazaul Khusna (16312241013)
4. Widya Santi Ratna D (16312241015)
5. Nurul Kamalia Habibah (16312241017)

KELOMPOK 3

KELAS PENDIDIKAN IPA A

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2019
A. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
2. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan
bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala.

B. DASAR TEORI
Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang
udara kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi pulsa listrik dan diteruskan
ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran. Jadi, telinga berfungsi
untuk menguba h gelombang suara menjadi impuls yang kemudian akan dijalarkan
ke pusat pendengaran di otak. Walaupun mekanisme mendengar tidak dapat
mencakup seluruh gelomba ng bunyi, namun keterbatasan ini tidak merupakan
hambatan bagi seseorang untuk dapat menggapi berbagai macam bunyi yang berasal
dari lingkungannya.

Telinga manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian. Telinga bagian luar terdiri
atas daun telinga dan saluran auditoris, yang mengumpulkan gelombang suara dan
menyalurkan ke membrane timpanik/ gendang teling yang memisahkan telinga luar
dan telinga bagian tengah. Di dalam telinga bagian dalam getaran dihantarkan
melalui tiga osikel (tulang kecil) -maleus, inkus, dan sanggurdi- ke telingan dalam
lewat jendela oval, suatu membrane di bawah sanggurdi. Telinga bagian dalam
membuka ke dalam saluran eustachius, yang berhubungan dengan faring. Telinga
bagian ini terdiri dari suatu labirin saluran di dalam tulang tengkorak (tulang
temporal). Saluran ini dilapisi oleh membran dan mengandung cairan yang
bergerak sebagai respon terhadap suara atau pergerakan kepala. Bagian telinga
bagian dalam yang terlibat dalam pendengaran merupakan sebuah organ berpilin
yang rumit yang dikenal sebagai koklea. Di dalamnya terdapat organ Corti yang
mengandung sel reseptor telinga yang sesungguhnya, yaitu sel- sel rambut. Neuron
sensoris bersinapsis dengan sel-sel rambut. Neuron berfungsi membawa sensasi ke
otak melalui saraf auditoris (Campbell dkk., 2004: 245-246).
Gambar 5.1. t elinga. Hubungan t elinga t engah dengan pharinx melalui
eust achii.

Sumber: John.R Cameron dan James G.Skofronick (dalam Gabriel,


Fisika Kedokteran , 1996, hal 82)

Keterangan gambar:

A = daun telinga G = syaraf pendengaran

B = saluran telinga H = round window

C = membran tympani I = tuba eustachi

D = tulang telinga: maleulus, incus, stapes J = pharinx

E = canalis semilunaris K = ruang telinga tengah

F = oval window

Telinga mentransduksi (mengubah dasar genetik energi) energi


gelombang suara ke bentuk impuls saraf yang diantarkan ke sistem pusat
pendengaran di amna suara diterjemahkan. Suara dihasilkan oleh benda yang
bergetar dalam medium fisik (udara, air, dan benda padat) dan tidak dapat melalui
ruang hampa. Telinga manusia dapat mendengar frekuensi 20-20.000 Hz
(Syaifuddin, 2009: 234).
Oleh karena telinga dalam yaitu koklea tertanam pada kavitas (cekungan
tulang) dalam os temporalis yang disebut labirin tulang, getaran seluruh tulang
tengkorak dapat menyebabkan getaran cairan pada koklea itu sendiri. Oleh karena
itu, pada kondisi yang memungkinkan garpu tala jika diletakkan pada setiap
protuberonsia tulang tengkorak dan prosessus mastoideus dapat menyebabkan
telinga mendengar getaran suara (Syaifuddin, 2009: 233).

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga
dan mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan
perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner
yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe
dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah
luar. Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan
terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan
fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium
dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklear is.
Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui
saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Tortora, 2009).

Gangguan Pendengaran

Ada 3 macam gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran karena konduksi


(tuli konduksi), gangguan pendengaran sensorineural, gangguan pendengaran
campuran.

a) Gangguan pendegaran konduksi, dimana vibrasi suara tidak dapat mencapai


telinga bagain tengah. Tuli semacam ini sifatnya hanya sementara oleh karena
adanyaa malam/wa x/serumen atau adanya cairan di dalam telinga tengah. Apabila
tuli konduksi tidak pulih kembali dapat menggunakan Hearing aid (alat
pembantu pendengaran). Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi
gelombang suara tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini
disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai
tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda,
dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikas i) biasanya
tidak ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan
pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII) (Lalwani, 2008). Gejala yang
ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi
telinga sebelumnya.
2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak
dengan perubahan posisi kepala.
3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).
4. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara
lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.
5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal
telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga
tengah. Kanal telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada
otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang
pendengaran (Lalwani, 2008).

b) Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural


Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang
ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara
percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti
suasana yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila
dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita gangguan pendengaran
jenis hantaran, khususnya otosklerosis.
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan
dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian
obat-obat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya (Soetirto, 2001).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun


selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes
bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak
lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengundang nada tinggi
(huruf konsonan) (Soetirto, 2001). Pada tes garputala Rinne positif, hantaran
udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah
telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang (Soetirto,
2001).
c) Gangguan Pendengaran Jenis Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis
konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan
pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian
berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya,
mula-mula ganggua n pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai
dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi
otitis media. Kedua ganggua n tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya
trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam
(Liston, 1997).

Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala
ganggua n pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik
atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan
pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata
baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne
negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat Schwabach memendek (Bhargava,
2002).

Tes Pendengaran

Untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli syaraf dapat dilakukan tes pendengaran
dengan mempergunakan:

a. Tes suara berbisik, telinga dapat mendengar suara berbisik dengan tone/nada
rendah. Misalnya suara konsonan, dan paralel: b, p, t, m, n pada jarak 5-10 m.
Suara berbisik dengan nada tinggi mislanya suara desis/sibiland s, z, ch, sh, shel
pada jarak 20 m.
b. Tes garputala, untuk mengetahui secara pasti apakah penderita tuli konduksi
atau persepsi, dapat mempergunakan garputala. Frekuensi garputala yang dipakai
C 128, C1024, C2048. Ada tiga macam tes yang mempergunakan garputala yakni:
tes Weber, tes Rinne, dan tes Schwabach.

1 . Tes Rinne.

Gambar 5.4. Sumber: A.G. Likhachov,M.D. (dalam Gabriel, Fisika


Kedokteran, 1996, hal 86)

Tes Rinne ini dilakukan untuk membandingkan konduksi bunyi melalui


tulang dengan konveksi bunyi melalui udara. Caranya, yaitu salah satu
garpu tala seperti yang disebutkan di atas (misalnya C128) digetarkan
kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus (di belakang telinga), setelah
tidak terdengar getaran lagi, garpu tala dipindahakan ke depan lubang telinga.

Menurut Gabriel (1996: 87) mengatakan bahwa dalam keadaan


normal konduksi bunyi/suara melalui udara 85-90 detik dan konduksi
melalui udara 45 detik. Tes Rinne positif, (Rinne +) berarti pendengaran
penderita baik, pada penderita tuli konduksi maupun tuli syaraf. Sedangkan
tes Rinne negatif (Rinne - ) berarti pada penderita tuli konduksi selang waktu
konduksi tulang mungkin sama atau lebih lama. Ada 3 interpretasi dari hasil
tes Rinne yang kita lakukan, yaitu :

a. Normal. Jika tes Rinne positif.


b. Tuli konduktif. Jika tes Rinne negatif.
c. Tuli sensorineural. Jika tes Rinne positif.
Interpretasi tes Rinne dapat false Rinne baik pseudo positif dan pseudo negatif.
Hal ini dapat terjadi manakala telinga pasien yang tidak kita tes menangkap
bunyi garpu tala karena telinga tersebut pendengarannya jauh lebih baik
daripada telinga pasien yang kita periksa.

2. Tes Webber.

Gambar 5.4. Sumber: A.G. Likhachov,M.D. (dalam Gabriel, Fisika


Kedokteran, 1996, hal 86)

Tes ini dilakukan dengan menggetarkan garpu tala, kemudian


diletakan pada vertex dahi/puncak kepala. Pada penderita tuli
konduksi (penyebab wax atau otitis media) akan terdengar bunyi
nyaring/terang pada telinga yang sakit. Misalnya pada telinga kiri terdengar
bunyi nyaring (makin keras) maka disebut Weber laterisasi ke kiri.
Begitupun jika telinga kanan sakit maka weber laterisasi ke kanan. Ada 3
interpretasi dari hasil tes Weber yang kita lakukan, yaitu :

a. Normal. Jika tidak ada lateralisasi.


b. Tuli konduktif. Jika pasien mendengar lebih keras pada
telinga yang sakit
c. Tuli sensorineural. Jika pasien mendengar lebih keras pada
telinga yang sehat.
3. Tes Schwabach
Tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui
verteks atau prosesus mastuideus penderita dengan konduksi tulang si
pemeriksa. Cara melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan,
tangkai garputala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak
terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala segera dipindahkan pada
prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila
pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila
pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara
sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa
lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach
memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya
disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Liston, 1997). Pada tuli
konduksi, konduksi tulang penderita lebih panjang daripada sipemeriksa. Pada
tuli saraf/persepsi konduksi tulang sangat pendek.

C. METODOLOGI KEGIATAN
a. Hari/Tanggal : Rabu, 6 Maret 2019
Tempat : Laboratorium PPG IPA FMIPA, UNY
b. Alat dan Bahan
1) Kapas
2) Garpu tala 112-870 Hz
3) Stopwatch
4) Mistar
c. Langkah Kerja
1. Tes Schwabach

Menutup telinga kanan naracoba dengan kapas dan memejamkan kedua mata

Menempatkan stopwatch di dekat telinga kiri naracoba, kemudian


menjauhkan stopwatch secara perlahan sampai naracoba tidak mendengar
Mengukur dan mencatat jarak antara stopwatch dengan telinga kiri naracoba

Mendekatkan kembali stopwatch secara perlahan dari jarak 150 cm dari


naracoba sampai naracoba mendengar suara lagi, kemudian mengukur jarak
antara stopwatch dengan telinga kiri

Mengulangi langkah percobaan yang sama dengan telinga kiri yang ditutup
dengan kapas sebanyak 3 kali pengulangan

Membandingkan hasil percobaan antara telinga kiri dengan telinga kanan

2. Tes Rinne

Menggetarkan garpu tala dan meletakkan di puncak kepala naracoba

Mencatat waktu naracoba dari mendengar sampai tidak mendengar suara lagi

Memindahkan garpu tala di dekat telinga kanan saat suara garpu tala di
puncak kepala naracoba tidak terdengar lagi
Mencatat waktu dari naracoba mendengar sampai tidak mendegar suara
garpu tala lagi

Mengulangi percobaan sebanyak tiga kali dan mencatat hasilnya

Mengulangi langkah percobaan di atas untuk telinga kiri

Membandingkan hasil percobaan pada telinga kanan dan telinga kiri

3. Tes Weber

Menutup lubang telinga kanan naracoba menggunakan tangan

Menggetarkan garpu tala dan meletakkannya di puncak kepala naracoba

Menanyakan kepada naracoba bagian telinga mana yang dapat mendegar


suara garpu tala lebih keras
Melakukan langkah percobaan yang sama pada telinga kiri dengan 3 kali
pengulangan

Membandingkan hasil percobaan untuk kedua telinga dan menyimpulkan


hasil percobaan (tuli/tidak)

D. DATA HASIL PERCOBAAN


1. Percobaan 1 ( Tes Pendengaran menggunakan arloji)

Telinga Kanan Telinga Kiri

No Naracoba didekatkan dijauhkan didekatkan


dijauhkan (cm) (cm)
(cm) (cm)

43 84 47 78

1 Fajri Nur M 35 89 48 80

44 93 51 79

55 40 51 58

2 Aini Putri R 48 57 35 64

63 46 40 48

45 71 61 58

Vina Jazaul 61
3 48 66 75
K
36 59 59 50

31 63 51 58
Widya Santi
4
Ratna D 41 61 52 57
44 60 62 58

100 71 41 40
Nurul
5 Kamalia 112 80 43 45

Habibah 49
110 83 42

2. Percobaan 2 Tes Rinne

Telinga Kanan Telinga Kiri

No Naracoba ditelinga ditelinga


dikepala (s) dikepala (s) (s)
(s)

6 14 8 15

1 Fajri Nur M 8 25 10 25

7 21 9 20

12 29 5 17

2 Aini Putri R 10 25 6 23

8 27 8 20

11 28 9 21

Vina Jazaul 25
3 8 21 10
K
10 25 10 32

10 20 10 20

Widya Santi 20
4 12 23 8
Ratna D
9 19 10 22

7 20 6 18
Nurul
5
Kamalia 8 20 8 22
Habibah 5 18 5 16

3. Percobaan 3 Tes Webber

Telinga Kiri Telinga Kanan


No Naracoba ditutup
ditutup

Kiri Kanan

1 Fajri Nur M Kiri Kanan

Kiri Kanan

Kiri Kanan

2 Aini Putri R Kiri Kanan

Kiri Kanan

Kiri Kanan

3 Vina Jazaul K Kiri Kanan

Kiri Kanan

Kiri Kanan

Widya Santi Ratna Kanan


4 Kiri
D
Kiri Kanan

Kiri Kanan

Nurul Kamalia Kanan


5 Kiri
Habibah
Kiri Kanan
E. ANALISIS DATA
Percobaan 1 ( Tes Pendengaran menggunakan arloji)
1 Naracoba 1 (Fajri Nur M)
a) Telinga Kanan
43+35+44
 dijauhkan, 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 3
= 40,67 𝑐𝑚
84+89+93
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 88,67 𝑐𝑚
3

b) Telinga Kiri
47+48+51
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 48,67 𝑐𝑚
3
78+80+79
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 79 𝑐𝑚
3

2. Naracoba 2 (Aini Putri R)


a) Telinga Kanan
55+48+63
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 55,33 cm
3
40+57+46
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 47,67 𝑐𝑚
3

b) Telinga Kiri
51+35+40
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 42 cm
3
58+64+48
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 56,67 𝑐𝑚
3

3. Naracoba 3 ( Vina Jazaul K)


a) Telinga Kanan
45+48+36
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 43 𝑐𝑚
3
71+66+59
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 65,33 𝑐𝑚
3

b) Telinga Kiri
61+75+59
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 65 𝑐𝑚
3
58+61+50
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 56,33 𝑐𝑚
3

4. Naracoba 4 (Widya Santi R D)


a) Telinga Kanan
31+41+44
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 38,67 𝑐𝑚
3
63+61+60
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 61,33 𝑐𝑚
3

b) Telinga Kiri
51+52+62
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 55 𝑐𝑚
3
58+57+58
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 57,67 𝑐𝑚
3

5. Naracoba 5 (Nurul Kamalia H)


a) Telinga Kanan
100+112+110
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 107,33 𝑐𝑚
3
71+80+83
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 78 𝑐𝑚
3

a) Telinga Kiri
41+43+42
 dijauhkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 42 𝑐𝑚
3
40+45+49
 didekatkan 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 44,67 𝑐𝑚
3

Percobaan 2 Tes Rinne

1. Naracoba 1 (Fajri Nur M)


a) Telinga Kanan
6+8+7
 dikepala, 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 3
=7𝑠
14+25+21
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 20 𝑠
3

b) Telinga Kiri
8+10+9
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 9𝑠
3
15+25+20
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 20 𝑠
3

2. Naracoba 2 (Aini Putri R)


a) Telinga Kanan
12+10+8
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 10 𝑠
3
29+25+27
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 27 𝑠
3

b) Telinga Kiri
4+6+8
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 6𝑠
3
17+23+20
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 20 𝑠
3

3. Naracoba 3 ( Vina Jazaul K)


a) Telinga Kanan
11+8+10
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 9,67 𝑠
3
28+21+25
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 3
= 24,67 𝑠

b) Telinga Kiri
9+10+10
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 9,67 𝑠
3
21+25+32
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 26 𝑠
3

4. Naracoba 4 (Widya Santi R D)


a) Telinga Kanan
10+12+9
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 10,33 s
3
20+23+19
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 20,67 𝑠
3

b) Telinga Kiri
10+8+10
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 9,33 𝑠
3
20+20+22
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 20,67 𝑠
3

5. Naracoba 5 (Nurul Kamalia H)


a) Telinga Kanan
7+8+5
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 6,67 𝑠
3
20+20+18
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 19,33 𝑠
3

b) Telinga Kiri
6+8+5
 dikepala 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 6,33 𝑠
3
18+22+16
 ditelinga 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 18,67 𝑠
3

F. PEMBAHASAN
G. KESIMPULAN
H. JAWABAN PERTANYAAN
1. Tes Rinne positif, (Rinne +) berarti pendengaran penderita baik, pada penderita
tuli konduksi maupun tuli syaraf. Sedangkan tes Rinne negatif (Rinne - )
berarti pada penderita tuli konduksi selang waktu konduksi tulang mungkin sama
atau lebih lama.
2. Bila terdengar lebih keras ke salah satu telinga maka terjadi lateralisasi ke telinga
tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah mana yang lebih keras maka tidak ada
lateralisasi (normal), suara terdengar pada kedua telinga atau terfokus pada
tengah-tengah kepala. Tuli sensorineural terjadi lateralisasi ke telinga yang sehat.
Pada penderita tuli konduksi (penyebab wax atau otitis media) akan terdengar
bunyi nyaring pada telinga yang sakit. Misalnya pada telinga kiri terdengar bunyi
nyaring (makin keras) maka disebut Weber laterisasi ke kiri.
Begitupun jika telinga kanan sakit maka weber laterisasi ke kanan

I. DAFTAR PUSTAKA

Bhargava, K.B., Bhargava, S.K., dan Shah, T.M., 2002. Deafness & Examination of
the Ear. Dalam: A Short Textbook of E.N.T. Diseases. 5th ed. Mumbai: Usha
Publications: 119-125 & 21-40.
Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2004. Biologi, Edisi Kelima- Jilid
3. (Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga. (Buku asli
diterbitkan tahun 1999).

Gabriel. (1996). Fisika Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Lalwani, A.K., 2008. Disoreders of Smell, Taste and Hearing Dalam:


Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. US: Mc Graw Hill: 199-
204.

Liston, S.L., dan Duvall, A.J., Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam:
Adams, G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th
ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Soetirto I, Bashiruddin J. 2001. Gangguan pendengaran akibat bising. Penyakit THT


Akibat Hubungan Kerja & Cacat Akibat Kecelakaan Kerja. Jakarta : Elex
Media Komputindo. p. 27

Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
12th ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628.

J. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai