ARSITEKTUR
PERUMAHAN
di Perkotaan
ARIEF Sabaruddin
Lembar ini kosong
[ii]
ARSITEKTUR PERUMAHAN
di Perkotaan
ARIEF Sabaruddin
[iii]
ARSITEKTUR PERUMAHAN
di Perkotaan
© puskim 2012
Panyaungan Cileunyi Wetan
Kabupaten Bandung
[iii]
Pengantar
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Rumah merupakan kebutuhan manusia setelah sandang dan pangan
disamping kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian
keberadaan rumah sangat esensial bagi kelangsungan bangsa Indonesia saat
ini maupun masa depan. Untuk itu, para memikir atau dengan julukan lain di
Badan Litbang PU ini adalah para Peneliti, hendaknya tidak berhenti berkarya
karena buah pikirannya sangat diperlukan oleh negeri ini.
Badan Litbang PU, dilengkapi dengan perangkat Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, dimana salah satu tugas dan fungsinya adalah
menghasilkan produk penelitian disektor bangunan, perumahan dan
permukiman. Buku ini adalah salah satu wujud buah pikiran dari seorang
peneliti yang sangat kritis, sehingga diharapkan dapat dirasakan manfaatnya
bagi pengembangan ilmu pengetahuan disektor perumahan.
Gerak langkah buku ini, sangatlah sejalan dengan gerak langkah Kementerian
Pekerjaan Umum, yang senantiasa mendorong penyelenggaraan infrastruktur
dan permukiman berbasis pembangunan sosial dan ekonomi, artinya
pembangunan infrastruktur dan permukiman untuk memajukan kesejahteraan
segenap bangsa Indonesia, sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 45,
yang termaktub dalam pembukaan.
Dalam pengemasan teksbook ini, peneliti sekaligus penulis buku ini juga
menyajikan hasil-hasil litbangnya yang dikemas dalam sebuah pemikiran
baru sebagai akumulasi dari pengalaman dirinya dalam menggeluti pekerjaan
penelitian di Badan Litbang, yang tentunya kaya akan pengalaman
sebagaimana ditunjukkan oleh para seniornya di Kementeria PU, yang
dikenal sebagai orang lapangan. Dengan demikian informasi ini dapat
memberikan titik terang bagi masyarakat yang bergelut dalam bidang
perumahan khususnya di perkotaan.
[iv]
Apresiasi secara khusus saya sampaikan kepada penulis, saya berharap
penulis tidak berhenti membagikan ilmu sampai dengan buku ini saja. Saya
yakin bahwa penelitian tidak harus terhenti pada laporan penelitian, yang
merupakan bentuk pertanggung jawaban anggaran kegiatan litbang, akan
tetapi harus dapat dituangkan ke dalam buku-buku iptek atau teks book
sebagai bentuk pertanggung-jawaban individu kepada Bangsa dan Tanah Air.
Apresiasi yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Ibu Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman, yang telah melakukan inisiatif
kepada para peneliti di lingkungan kerjanya, untuk menyajikan informasi
dalam bentuk buku yang dikemas secara singkat dan padat, sehingga buku ini
mudah dipahami oleh berbagai kalangan, baik dari lingkungan perguruan
tinggi, para peneliti, birokrat, maupun masyarakat secara umum.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat luas untuk kepentingan pembangunan perumahan di perkotaan
secara langsung, maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan terkait dalam penyelenggaraan perumahan. Minimnya informasi
tentang perumahan di perkotaan saat ini, diharapkan dapat terjawab melalui
buku ini.
[v]
Pengantar
Kepala Pusat Litbang Permukiman
Tujuan kami untuk menerbitkan teksbook ini adalah untuk lebih
memperkenalkan arti pentingnya peran Pusat Litbang Permukiman di sektor
perumahan dan permukiman. Diharapkan para perencana, pelaksana,
akademisi maupun para peneliti, dapat menggunakan buku ini sebagai
referensi dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan perumahan, sesuai
dengan amanat Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman No 1
Tahun 2011.
Titik berat dari amanat undang-undang tersebut adalah terpenuhinya hak
dasar rumah bagi segenap bangsa Indonesia. Sehingga pencapaian tujuan dari
pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dapat dicapai.
Teksbook ini, menunjukkan peran dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman sebagai salah satu pusat yang berada di bawah Badan Penelitian
dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum, untuk dapat
menunjukkan kiprah dan peran serta dalam penyelenggaraan infrastruktur
yang handal, hal tersebut seperti tertuang dalam visi kami, yaitu menciptakan
hasil litbang yang bermanfaat, aplikatif, inovatif, dan kompetitif serta
berwawasan lingkungan, kiranya dapat kami wujudkan.
Dalam buku ini, sdr Arief Sabaruddin sebagai salah satu peneliti yang
produkif, telah menghasilkan beberapa buku yang diterbitkan oleh penerbit
berskala nasional, telah membantu kegiatan diseminasi dan sosialisasi hasil
litbang melalui karya bukunya. Melalui buku, Saya yakin kegiatan diseminasi
dan sosialisasi yang dilakukan Puslitbang Permukiman akan lebih efektif,
selain bentuk pengemasan dan susun bahasa yang lebih sederhana juga sistem
penyebarannya yang merata ke seluruh penjuru wilayah Indonesia, yang amat
luas.
[vi]
Bagi kami, buku adalah sebuah bentuk pertanggung-jawaban dari seorang
peneliti pegawai negeri sipil, yang seluruh kegiatannya menggunakan
anggaran negara yang tidak lain adalah anggaran masyarakat, buku adalah
salah satu wujud pertanggung-jawaban kepada masyarakat. Buku juga kami
pandang sebagai salah satu indikator dari outcome hasil litbang. Semakin
banyak buku kami hasilkan samakin naik nilai dari kinerja litbang kami.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada penulis. Juga penghargaan yang
sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak Menteri Pekerjaan Umum dan
Bapak Kepala Badan Litbang, yang telah memberikan dorongan kepada
pusat-pusat litbang agar kami dapat terus berkiprah dalam penyelenggaran
permukiman yang handal.
Semoga teksbook ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
pembangunan perumahan di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai
dengan Merauke, dari Miangas sampai dengan Pulo Rote.
Kepala,
Pusat Penelitian dan Pengembangan permukiman
[vii]
Pengantar
Penulis
Rumah merupakan elemen dasar dalam konteks fungsi pemenuhan kebutuhan
hidup manusia setelah sandang dan pangan. Rumah memiliki nilai lebih, bagi
manusia dibandingkan dengan produk arsitektur lainnya. Karena dalam
rumah seseorang menjalankan kehidupan privasi secara utuh, yang tidak
dapat dilakukan pada bangunan lain.
Sekumpulan dari rumah membentuk sebuah kelompok rumah yang
dinamakan perumahan. Pada tingkat ini perumahan merupakan sebuah wadah
kehidupan dan penghidupan sebuah kelompok masyarakat (komunitas), yang
merupakan embrio dari sebuah peradaban. Dengan demikian tata nilai yang
terbentuk dalam kelompok tersebut dapat dinyatakan sebagai sebuah
masyarakat dengan kebudayaannya. Tingkatan tersebut terus berlanjut sampai
terbentuknya sebuah lingkungan permukiman desa/kota dan negara.
Pola-pola rumah senantiasa memiliki unsur yang identik dengan pola-pola
perumahan. Lingkungan permukiman pada skala kota maupun desa. Dengan
demikian rumah merupakan bagian utuh dari perumahan atau permukiman
yang lebih luas. Artinya pada kondisi rumah tidak sehat akan menghasilkan
sebuah perumahan atau permukiman yang tidak sehat. Karena kondisi
perumahan dan permukiman yang sehat ditentukan oleh kondisi rumah.
Dengan demikian rumah memegang peran penting dalam membangun suatu
kehidupan yang sejahtera.
Melihat pada pentingnya arti sebuah rumah bagi kehidupan manusia, maka
buku ini menuangkan pemikiran dan gejala-gejala yang terjadi sebagai bahan
penelitian, pertimbangan dalam pengambilan kebijakan, dan pengembangan
pengetahuan tentang perumahan perkotaan. Buku ini dilandasi oleh pemikiran
yang dilakukan melalui berbagai pengalaman dalam melaksanakan kegiatan
penelitian dan pengembangan di lingkungan Pusat Penelitian dan
[viii]
Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum, yang
merupakan tempat penyusun belajar dan mengabdikan diri pada negeri ini,
disektor arsitektur bangunan, perumahan dan permukiman.
Berangkat dari pengalaman dan pembelajaran yang selama ini dijalankan,
kiranya saya perlu menuangkan seluruh sari buah pikir tersebut ke dalam
sebuah buku, yang dapat dibaca oleh para pemikir, para peneliti, para
pendidik, maupun peserta didik yang tertarik dengan arsitektur perumahan
khususnya. Buku ini mengupas rumah dan perumahan dari sisi arsitektur,
yang terbangun dari berbagai disiplin ilmu. Sebagaimana penulis pahami
bahwa arsitektur merupakan perwujudan dari tata fisik, tata fungsi dan tata
nilai. Buku ini penulis memberikan fokus lebih banyak pada masalah
perumahan di perkotaan. Rumah susun sebagai salah satu solusi perumahan
di perkotaan lebih banyak dikupas dalam buku ini.
Ketiga unsur tersebut menjadi bahan kupasan yang disajikan secara sederhana
agar semua kalangan dapat memahami aspek-aspek perumahan di perkotaan,
kiranya tidak berlebihan bila unsur-unsur arsitektur perumahan tersebut,
dapat menjadi bahan diskusi diantara para pemerhati perumahan, mungkin
pendapat penulis terkait dengan isu arsitektur perumahan ini bersebrangan
dengan pemikiran yang selama ini kita anut. Namun dibalik itu tentunya
bukan kontroversi yang ingin dikedepankan akan tetapi ingin membuka cara
pandang baru terkait dengan isu perumahan dari kacamata seorang peneliti
bidang perumahan yang telah digeluti oleh penyusun sejak tahun 1990.
Buku ini mengupas perumahan dari tiga sisi, yakni sisi fisik, sisi fungsi dan
sisi nilai, perkenankan penulis sampaikan bahwa ketiga sisi tersebut memiliki
analogi dengan kondisi manusia, yang memiliki sisi jasmani (intelegensia),
sisi rohani (spiritual), dan sisi sosial (emosional). Seperti apa perumahan bila
kita padang dari ketiga sisi tersebut, maka akan dapat ditemukan dalam
kupasan pemikiran yang dituangkan dalam buku ini.
Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah memberi masukan, serta dukungan dalam proses
penulisan buku ini sehingga buku ini dapat hadir dihadapan pembaca.
Semoga buku ini memberikan manfaat bagi kehidupan dan penghidupan
bangsa Indonesia. Amin Ya Rabbal Alamin.
ARIEF Sabaruddin
[ix]
Daftar Isi
Pengantar Menteri PU ii
Pengantar Kepala Badan Litbang iv
Pengantar Kepala Puslitbang vi
Pengantar Penulis viii
Daftar Isi x
Daftar Tabel vi
Daftar Bagan vi
Daftar Diagram vii
Daftar Gambar vii
[1] Dimensi Sosial 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Personal Space 10
[2] Kondisi Perumahan Nasional 13
2.1. Latar Belakang 13
2.2. Fakta dan Kondisi Perumahan Rakyat 15
2.3. Fungsi Rumah 21
2.4. Sejarah Singkat Perumahan Rakyat 21
2.5. Opini Perumahan Nasional 26
2.6. Penutup 28
[3] Aspek Sosial Budaya 30
3.1. Latar Belakang 30
3.2. Pengertian Arsitektur dan Lingkungan Binaan 34
[x]
3.3. Tinjauan Sejarah Teori Sosial dan implikasinya terhadap
Arsitektur 43
3.4. Tinjauan Isu-isu Sosial Budaya 49
3.5. Interaksi antara Lingkungan Binaan dan Manusia 56
[4] Etika Arsitek 58
4.1. Latar Belakang 58
4.2. Pengertian Dasar Etika 62
4.3. Aspek-aspek etika dalam ber-arsitektur 66
4.4. Dinamika dalam ber-arsitektur 70
4.5. Kode etik hubungan arsitek 74
4.6. Penutup 82
[5] Ruang Publik Rumah Susun 85
5.1. Latar Belakang 85
5.2. Konsepsi Ruang Publik 91
[6] Manajemen Hunian Vertikal 100
6.1. Latar Belakang 100
6.2. Konsep Penanganan 104
6.3. Penutup 108
[7] Rumah Susun 110
7.1. Latar belakang 110
7.2. Rumah Susun Sebagai Solusi 111
[8] Peranan Dukungan Fiskal dan Pembiayaan Rusuna 114
8.1. Latar Belakang 114
8.2. Pemilihan Alternatif Insentif 125
8.3. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Insentif 127
[9] Kebutuhan Luas Minimum Hunian pada Rumah Susun 130
9.1. Latar belakang 130
9.2. Fenomena Ruang Pada Rumah Susun 133
9.3. Ruang Dalam Rusun 142
9.4. Penutup 144
[10] Pemaknaan Ruang Hunian 146
10.1. Latar Belakang 146
10.2. Elemen-Elemen Hunian 150
10.3. Pembentukkan Ruang pada Rumah Susun 156
10.4. Penutup 164
[11] Adaptasi dan Perubahan Perilaku Penghuni 166
11.1. Latar Belakang 166
11.2. Isu Utama Adaptasi pada Rumah Susun Milik 169
11.3. Proses Adaptasi 170
[xi]
11.4. Dinamika Perubahan 178
11.5. Penutup 186
[12] Tata Nilai Sistem Hunian Vertikal 187
12.1. Latar Belakang 187
12.2. Tingkat Kebutuhan Hunian Vertikal 188
12.3. Tinjauan Historis Hunian Vertikal 190
12.4. Dinamika Perubahan Tata Nilai 192
12.5. Pola Tata Nilai Hunian 196
12.6. Penutup 205
Daftar Pustaka 207
Indeks 211
[xii]
Daftar Tabel
Tabel 1. Pengaruh Insentif terhadap Biaya Investasi 120
Tabel 2. Analisa Efektifitas Bentuk Insentif 123
Tabel 3. Target Grup Terhadap Daya Beli Dikaitkan dengan Pola Insentif 126
Tabel 4. Prosentase Kebutuhan Rumah berdasarkan Komposisi Jumlah
Anggota Keluarga 139
Tabel 5. Model Penentuan Kebutuhan Ruang Minimal Dihitung berdasarkan
Sifat Ruang 144
Tabel 6. Perbedaan Tata Nilai Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan 199
Daftar Bagan
Bagan 1. Tipikal Rumah Susun Sederhana 88
Bagan 2. Proses Terbentuknya Simbolisasi 96
Bagan 3. Komunikasi melalui Pengolahan Elemen Arsitektur 176
Bagan 4. Dinamika Pemaknaan Ruang Dalam Arsitektur 177
Daftar Diagram
Diagram 1. Sistem Pertumbuhan Pada Lingkungan Binaan dan Manusia. 3
Diagram 2. Degradasi Sistem Sosial dan Lingkungan Binaan 5
Diagram 3. Perjalan Sejarah Arsitektur 68
Diagram 4. Alur Proses Adapatasi Dalam Arsitektur Perumahan,
Dikembangkan dari Konsepsi Lingkungan Total (Jhon S. Nimpoeno,
1981) 171
Diagram 5. Dinamika Perubahan Perilaku dalam Pembentukan Tata Nilai 194
Daftar Gambar
Gambar 1. Model Penanganan Kawasan Kumuh 108
Gambar 2. Proses Adaptasi Pembentukan Ruang Privat Pada Kondisi Ekstrim
179
Gambar 3. Bentuk Intervensi Ruang Privat Terhadap Ruang Publik 181
Gambar 4 . Tiga Pola Aktifitas Dasar Manusia Yang Mengalami Perubahan
Dalam Ruang Rumah Susun Sederhana Milik, Mengalami Transformasi
dari Aspek Kuantitas Terhadap Fungsi Ruang 184
[vii]
DR. Ir. Arief Sabaruddin, CES, bekerja di Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Permukiman, sejak tahun 1990, Ayah dua anak dari pernikahannya
dengan Sri Anggani Ariesita Gammawati, SE., menyelesaikan pendidikan S1
Jurusan Arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan (1989), Melanjutkan
program spesialis Manajemen dan Pembangunan Kota di Ecole Nationale des
Travaux Publics de l’Etat (ENTPE) Lyon, Perancis (1993), dan Pendidikan
Doktor Asitektur di Universitas Katolik Parahyangan (2013). Sejak bekerja di
Pusat Litbang Permukiman, Peneliti Utama, ini aktif melakukan berbagai
kegiatan penelitian dan pengembangan bidang arsitektur kawasan, arsitektur
bangunan gedung dan perumahan, selain buku Arsitektur Perumahan di
Perkotaan telah menerbitkan empat buah buku, yang diterbitkan oleh penerbit
nasional. Saat ini selain menjabat sebagai Kepala Balai Perumahan dan
Lingkungan, juga aktif dalam pengajaran, sebagai pengajar luar biasa di
Universitas Katolik Parahyangan Bandung, serta sebagai instruktur pada
beberapa pelatihan bidang teknologi perumahan dan arsitektur hijau.
[viii]
Buku ini telah mendapat penilaian buku terbaik di lingkungan Badan Litbang
Kementerian Pekerjaan Umum, pada tahun 2013.
[ix]
[x]
[1] Dimensi Sosial
Dalam Arsitektur Perumahan
Manusia
Kuadran IV Kuadran I
Lingkungan Binaan
O
Keterangan :
Kuadran I, adalah ketika lingkungan binaan dan manusia mengalami
peningkatan kualitas,
Kuadran II, ketika lingkungan binaan mengalami peningkatan kualitas namun
tidak diikuti oleh peningkatan kualitas dari manusianya,
Kuadran III, ketika kualitas lingkungan binaan serta kualitas manusia semakin
menurun,
Kuadaran IV, ketika kualitas lingkungan binaan terjadi penurunan akan tetapi
kualitas manusianya semakin meningkat.
O, yaitu titik ordinat dimana bila sebuah titik tidak bergerak sedikitpun pada
salah satu arah maka proses pertumbhan dinyatakan tidak terjadi
Fenomena pada kuadran I dan III mudah kita kenali, karena hal tersebut terjadi
sebagai sebuah keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, demikian juga
pada kuadrar II, yaitu pola pembangunan yang hanya berorientasi pada fisik
semata, sebagai contoh hal ini banyak terjadi pada pembangunan rumah susun
di Indonesia, dimana secara fisik akibat pembangunan rumah susun,
lingkungan binaan mengalami peningkatan kualitas akan tetapi peningkatan
kualitas lingkungan binaan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan kualitas
kehidupan dan penghidupan manusiannya. Sedangkan kuadran VI adalah
sebuah fenomena yang sulit kita dapatkan dimana kondisi lingkungan binaan
yang semakin buruk akan menghasilkan kualitas kehidupan dan penghidupan
[3]
yang lebih baik. Sistem sosial dalam konteks ini lebih pada perilaku manusia
dalam menjalankan kehidupan dan penghidupannya. Degradasi total
dikategorikan sebagai sebuah proses dimana sebuah proses pertumbuhan yang
terjadi semakin menurunkan kualitas kehidupan dan penghidupan baik
menyangkut fisik maupun menyangkut sistem sosial. Dalam telaah ini terdapat
tiga macam sistem kehidupan yang berlangsung, meliputi:
1. Terjadi proses peningkatan dari sistem kehidupan, hal ini dapat
digambarkan ibarat sebuah teknologi dalam industri, yang mudah kita
bahas karena kecenderungan perubahan memperlihatkan pada kuadran
I, seperti teknologi, semakin hari produk IT semakin simple, semakin
ringan, semakin mudah, dan semakin murah. Tentunya perkembangan
sistem kehidupan yang demikian merupakan suatu harapan yang dapat
berlangsung pada setiap pertumbuhan. Proses demikian merupakan
proses ideal yang diharapkan pada sebuah proses pertumbuhan dalam
sistem kehidupan yang benar.
2. Proses pertumbuhan lambat atau bahkan stagnan, perubahan yang
demikian cenderung stabil, hal ini banyak terjadi pada sekelompok
masyarakat tradisional di Indonesia, seperti kehidupan anak dalam di
Jambi dan Riau, mereka hampir tidak mengalami pertumbuhan pada
sistem sosial masyarakatnya, sehingga dari sejak dahulu sampai saat
ini sistem kehidupannya berjalan sama, pada kondisi demikian maka
kelompok masyarakat tersebut sistem kehidupan dan penghidupannya
jauh tertinggal dengan masyarakat lain, dimana sistem sosialnya
tumbuh mengikuti pertumbahan sistem teknologi. Pada konteks ini,
kita perlu mempertanyakan kembali makna dan nilai-nilai dari sebuah
konservasi budaya dalam arsitektur, karena bila konservasi tersebut
dapat menurunkan kuslitas dari sistem kehidupan manusiannya maka
terdapat kesalahan dalam pendekatan konservasi tersebut. Hal ini
dapat dikupas lebih dalam, bila dikaitkan sebagai sebuah pendekatan
sosial dalam disain arsitektur.
Proses degradasi dari sistem kehidupan, yaitu proses penurunan kualitas
kehidupan dan penghidupan, hal ini terjadi ketika suatu materi yang semakin
hari pertumbuhannya semakin menurun, dari sudut pandang lain hal ini dapat
dianggap sebagai sebuah gejala alamiah, yaitu suatu proses penuaan akibat
faktor usia. Proses penuaan merupakan suatu kejadian yang bersifat alamiah,
akan tetapi proses penuaan yang terlalu cepat merupakan masalah dan tentunya
kita dapat memperlambat proses penuaan tersebut. Pada proses degradasi ini
tentunya pembangunan tidak diharapkan seperti itu, akan tetapi yang terjadi
adalah bagaimana menjaga kesinambungan dalam kehidupan yang lebih baik.
Pada tingkat teologis hal tersebut dinyatakan sebagai berikut “Yang demikian
(siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
[4]
mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu
kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (QS 8 : 53)”.
Bila melihat pada ayat tersebut bahwa manusia, dalam konteks ini arsitektur
dapat menjaga, mempertahankan, serta meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupannya yang lebih baik, melalui pola pembangunan yang
berkesinambungan, yaitu pembangunan yang mempertimbangkan keadaan
generasi berikut.
Diagram 2, merupakan sebuah gambaran interaksi yang saling mendorong
perubahan lingkungan binaan dan perubahan manusia yang semakin hari
semakin buruk. Kondisi tersebut bertentangan dengan pepatah yang
menyatakan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok
harus lebih baik dari hari ini.
Telaah ini merupakan sebuah pencarian aspek-aspek disain arsitektur
perumahan yang sangat berpengaruh terhadap sistem sosial manusia, sehingga
perilaku manusia menjadi pertimbangan dalam sebuah proses disain arsitektur.
Keberhasilan dari sebuah produk disain arsitektur tidak hanya pada sebuah
keindahan fisik akan tetapi juga pada keindahan sistem kehidupan dan
penghidupan manusia yang semakin baik dibandingkan sebelum wujud
arsitektur tersebut direalisasikan.
Lingkungan Binaan
Sistem sosial
Sistem sosial dalam masyarakat terjadi pada berbagai skala, mulai dari skala
global/internasional, skala nasional, skala regional sampai dengan skala
terkecil adalah skala keluarga, yang terjadi dalam sebuah rumah sebagai wujud
arsitektur. Jadi hubungan antara fisik dan non fisik dapat kita pelajari pada
berbagai skala yang masing-masing memiliki pasangan. Pada skala sistem
sosial global kita dapat melihat lingkungan global, pada sekala sistem sosial
nasional dalam bentuk sistem kelembagaan dan politik yang diwujudkan dalam
bentuk ideolgi maka kita dapat melihatnya dalam Tata Ruang Wilayah
[5]
Nasional, yang dirumuskan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), pada sekala sistem sosial dalam sebuah keluarga maka
lingkungan binaan pembandingnya adalah rumah tinggal.
Rumah memegang peran utama dalam mewujudkan pertumbuhan sebuah
keluarga sejahtera, rumah merupakan kebutuhan dasar setelah sandang dan
pangan. Sehingga tingkat kesejahteraan dari sebuah keluarga menggunakan
tolok ukur dengan terpenuhinya sandang, pangan serta papan. ketika salah satu
kebutuhan dasar tersebut belum terpenuhi, maka kata kesejahteraan tidak
mungkin tercapai. Melihat pada peran penting dari sebuah rumah dalam
pencapaian sebuah kesejahteraan, maka telaah ini akan difokuskan pada sistem
interaksi antara rumah tinggal sebagai wujud arsitektur dengan manusianya.
Rumah tidak hanya dipandang dari sisi bangunannya saja akan tetapi
keterkaitan dengan site dan lingkungan perumahan serta permukiman. Antara
susunan bentuk arsitektur tempat tinggal, yakni rumah, site, perumahan dan
permukiman tidak dapat dilepaskan satu dari yang lainnya.
Potret sebuah lingkungan permukiman sebagai sistem utama dalam sebuah
tempat tinggal di Indonesia saat ini, memperlihatkan banyak permasalahan.
Terbatasnya infrastruktur permukiman yang dapat melayani dan menunjang
kehidupan masyarakat menunjukkan adanya penurunan aspek kualitas maupun
aspek kuantitas dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi demikian
mudah dukenali pada sistem perumahan dan permukiman, saat ini. Mangkin
memburuknya antara perbandingan antara luas tanah dan jumlah penduduk
khususnya di perkotaan. Pada sisi pemenuhan kebutuhan ruang per orang saat
ini masih jauh di bawah standar, pada kawasan padat perkotaan pemenuhan
ruang per orang sebagian besar di bawah 9 m2, sesuai standar ruang yang
berlaku menurut peraturan 403/KPTS/M/2002, sedangkan bila kita mengacu
pada standar internasional kebutuhan ruang per orang adalah 12 m2, artinya
standar nasional kita masih berada di bawah ketentuan dunia. Sedangkan
kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjadi target utama
dalam pemenuhan standar minimal tersebut adalah kelompok masyarakat yang
berpenghasilan rendah. Yang dikategorikan dalam kelompok ini adalah
masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 1.500.000,- per bulan,
berdasarkan data tahun 2004 dari HOMI, saat ini, jumlah kelompok tersebut
adalah lebih dari 70% penduduk nasional. Jumlah tersebut dari tahun ke tahun
jumlahnya meningkat dikarenakan sejak angka tersebut dikeluarkan, krisis
ekonomi tidak kunjung reda, bahkan kenaikan berkali-kali BBM telah
mendorong inflasi dan semakin tingginya biaya investasi untuk mendapatkan
tempat tinggal yang layak huni.
Kenaikan demi kenaikan harga rumah sejak tahun tersebut terjadi berkali-kali,
diawali pada tahun 2004 harga sebuah rumah sederhan sehat adalah Rp. 35
juta, selanjutnya mengalami kenaikan menjadi Rp. 45 juta, naik kembali
[6]
menjadi Rp. 54 juta dan terakhir pada awal 2012 naik menjadi 88 juta per unit,
dengan ukuran di bawah 36 m2. Pada sisi lain sejak tahun 2004 jumlah
masyarakat miskin jumlahnya cukup signifikan dengan kualitas yang jauh lebih
parah dari sebelumnya, yaitu sekitar 30 juta (BPS). Sekitar 37 juta rumah
tangga harus tinggal di ruang yang berada di bawah standar internasional
termasuk berdasarkan standar nasional. Luas kawasan adalah 47.000 ha dimana
masyarakat bertempat tinggal. Kebijakan pemerintah melalui standar ruang
yang berada di bawah standar Internasional menunjukkan kondisi sosial
ekonomi sejak tahun 1997 sampai dengan diterbitkannya standar ruang untuk
tempat tinggal yang layak huni tersebut pada tahun 2002.
Produk kebijakan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap wujud
arsitekturnya, dimana pembangunan rumah sederhana sehat yang kondisi
fisiknya belum memenuhi standar kelayakan. Demikian juga pada tempat
tinggal vertikal, kebijakan pembangunan 1000 Tower, hanyalah sebuah ambisi
politik yang kurang diimbangi dengan pertimbangan akan dampak sosial yang
ditimbulkan akibat kandungan kebijakan yang lemah dalam
mempertimbangkan perkembangan kehidupan masyarakat. Agenda 1000
Tower telah melahirkan kebijakan fisik dalam bentuk pembangunan rumah
susun sederhana milik (rusunami) bersubsidi. Pertimbangan akan standar ruang
sekali lagi tidak dipenuhi, sebagaimana kita ketahui bahwa luas unit rusunami
rata-rata di bawah 36, bahkan kebijakan di lapangan memberikan pembenaran
untuk membangun rusunami dengan luas 21 m2, 27 m2, dan 30 m2. Apa yang
dapat kita pelajari pada kebijakan tersebut adalah pertimbangan yang kurang
mempertimbangkan kebijakan sistem penghuniannya, sehingga sebuah
keluarga yang memiliki unit rusunami tersebut akan beresiko hidup di bawah
standar kebutuhan ruang per orang.
Secara alamiah sebuah keluarga akan tubuh, dari keluarga pasangan muda,
berangsur-angsur akan tumbuh menjadi keluarga kecil dengan satu atau dua
balita, dan pertumbuhan tersebut terus berjalan sampai dengan keluarga dengan
satu atau dua anak dewasa, dan rata-rata jumlah anggota keluarga di Indonesia
adalah empat jiwa per Keluarga. Artinya pertimbangan pertumbuhan sebuah
keluarga belum diantisipasi pada pertumbuhan tempat tinggalnya, dan unit
rusunami sangat sulit untuk dikembangkan baik secara vertikal maupun secara
horizontal. Apa yang terjadi ketika seorang anak yang tinggal dari sebuah
rumah yang tidak memiliki ruang yang memadai, seperti disampaikan oleh
sosiolog Parsudi Suparlan dalam kemiskinan di perkotaan, maka si anak
tersebut akan mencari ruang di luar rumahnya, ruang tersebut berada di lorong-
lorong gang, mereka-mereka akan berkumpul dengan komunitasnya, dan
jarang bersosialisasi dengan orang tua, karena si anak tidak kerasan berlama-
lama tinggal dalam rumahnya, sehingga proses pendidikan antara orang tua
kepada anak tidak terjadi, anak akan banyak mendapatkan pedidikan dari
teman yang sama-sama berkumpul di ruang sudut-sudut gang. Umumnya
[7]
mereka memiliki permasalah yang sama yaitu kurang mendapatkan privat
space dalam tempat tinggalnya. Keterbatasan ruang dapat berakibat pada
terputusnya sistem interaksi sosial dalam sebuah keluarga.
Keberadaan ruang memegang peran strategis dalam pembentukan sebuah
keluarga maupun sebuah masyarakat kota termasuk dalam pembentukan
karakter bangsa, namun apa yang akan terjadi ketika kebutuhan ruang setiap
manusia di Indonesia terabaikan. Ruang diidentifikasi pada tingkat public &
private space, dapat ditemui pada level sebuah ruang, sebuah bangunan,
maupun pada tingkat kota. Permasalahan ruang mengakibatkan permasalahan
lain tumbuh sebagai konsekuensi dari efek domino dari tidak terpenuhinya
kebutuhan akan ruang. Efek domino yang terjadi membentuk sebuah siklus
yang berputar semakin hari semakin menurun. Proses tersebut harus dengan
segera dihentikan agar tidak terus terperosok pada persoalan nasional yang
semakin jauh dan kompleks.
Ketika kondisi kehidupan yang berada di bawah standar berangsur-angsur
sangat lama bahkan melampaui beberapa generasi, maka generasi yang lahir
dan tumbuh pada kawasan tersebut, akan menjadikan perilaku dan tata cara
menjalankan kehidupan yang demikian dianggap sebagai bagian yang dianggap
biasa dan menjadi kebiasaan, pada tahap ini sistem kehidupan tersebut sudah
membentuk pada sistem budaya yaitu budaya kemiskinan. Apa yang dapat kita
lihat dengan potret budaya kemiskinan suatu masyarakat kota, tentunya hal
tersebut terekspresikan pada wujud arsitektur baik bangunan maupun arsitektur
kotanya.
Sebuah bentuk bangunan dipengaruhi oleh perwujudan dari kondisi sosial dan
ekonomi masyarakatnya, yang berlaku pada era tersebut, dalam hal ini Wujud
arsitektur tidak dapat dipisahkan dari masa dan ruang, yang mewadahi fungsi
serta memberi makna bentuk dan identitas tempat. Bentuk memiliki peran
utama dalam perwujudan sebuah karya arsitektural, yang menghasilkan
sekaligus memberi makna bagi karya arsitektur tadi. Namun aspek-aspek apa
saja yang memengaruhi perwujudan bentuk tersebut? Hal tersebut dapat
ditelaah dari Teori Bentuk Mark Gelenter (1995), yang meliputi:
1. Wujud arsitektural ditentukan oleh fungsi
2. Wujud arsitektural merupakan hasil dari imaginasi kreatif
3. Wujud arsitektural dibentuk oleh semangat jaman
4. Wujud Arsitektur ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi yang
berlaku
5. Wujud arsitektural merupakan hasil dari prinsip-prinsip bentuk yang
tak lengkang oleh waktu dan melebihi perancang tertentu, budaya dan
iklim
[8]
Bila disimpulkan menjadi satu kesatuan dari kelima teori bentuk dari Mark
Gelenter, maka wujud arsitektur dipengaruhi oleh fungsi dan semangat jaman
yang diwarnai ekspresi dari kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berlaku
pada masanya, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip bentuk yang telah teruji
kebenarannya. Yakni prinsip-prinsip yang memiliki sifat abadi dalam
membentuk pemikiran awal, berupa imaginasi kreatif sebuah disain dari
seorang perencana. Imaginasi kreatif merupakan proses berfikir secara holistik
pada seorang perencana, dari sebuah wujud imaginer menjadi wujud nyata
bentukan arsitektur.
Persoalan kompleks bangsa Indonesia saat ini adalah kemiskinan baik di
perkotaan maupun di perdesaan, semakin memburuknya kondisi ini
diperlihatkan oleh lingkungan permukiman slum area yang semakin luas dan
tumbuh tidak hanya di kota-kota besar, namun saat ini kampung kumuh sudah
dapat kita temukan di desa-desa. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan
lahan untuk menunjang kehidupan dan penghidupan manusia semakin hari
semakin berkurang, disamping penyebab lainnya, yaitu akibat pertumbuhan
penduduk, menyebabkan sebagian lahan-lahan di perdesaan berpindah
kepemilikan, sehingga banyak petani yang bekerja sebagai penggarap di atas
lahan orang lain, demikian juga di kota banyak masyarakatnya yang tidak
memiliki lahan.
Mengejalanya target-target pembangunan lebih diarahkan pada fisik semata,
indikator keberhasilan sebuah proses pembangunan selalu dikaitkan pada
pencapaian fisik belaka, ketika bangunan sebagai wujud arsitektur telah
terbangun maka tugas seorang arsitek selesai, bagaimanan wujud arsitektur
dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas kehidupan dan
penghidupan manusianya tidak digunakan sebagai sebuah keberhasilan dari
arsitektur. Kata pembangunan diterjemahkan sebatas CONSTRUCTION bukan
pada level DEVELOPMENT. Adalah sangat penting mengubah sebuah
paradigma proses perencanaan saat ini untuk melakukan perubahan, hal ini
mutlak dilakukan mengingat kerusakan lingkungan fisik saat ini semakin
mengkhawatirkan. Eksploitasi sumber daya alam yang 30% nya untuk
pembangunan gedung tidak juga memberikan dampak pada peningkatan
kesejahteraan para anak bangsa, justru semakin besar sumber daya alam yang
dieksploitasi semakin miskin masyarakatnya.
Eksploitas alam yang terjadi khususnya untuk bahan bangunan yang berasal
dari galian C maupun bahan tegakan, telah mengakibatkan kerusakan
lingkungan, sehingga sebagaimana kita ketahui bahwa alam akan melakukan
melakukan adaptasi/asimilasi terhadap perubahan tersebut untuk melakukan
keseimbangan, ketika proses penyesuaian adaptasi untuk mencapai
keseimbangan tersebut telalu besar, maka yang akan terlihat dalam proses
tersebut adalah sebuah bencana alam, mungkin kita tidak patut menyatakan
[9]
sebagai sebuah bencana alam, akan tetapi itu adalah sebuah proses pencapaian
keseimbangan dari alam, sebuah bencana justru muncul pada level manusia,
yaitu bencana manusia terhadap alam, yang mengakibatkan alam perlu
melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menjaga keseimbangan.
[10]
dengan personal space dia mengatakan bahwa “personal space refers to an
area with invisible boundaries surrounding a personal’s body into which
intruders may not come”. Sehingga personal space dapat dinyatakan sebagai
batas-batas ruang pribadi yang memiliki nilai privacy tinggi, semakin dekat
dengan dirinya semakin besar nilai privacynya, bahkan nilai privacy tersebut
dapat masuk pada tingkat psikologi, semakin dalam tingkat psikologisnya
semngkin besar nilai privacy-nya.
Ruang-ruang privacy atau personal space ini dapat dimasuki oleh individu
lainnya, ketika antara individu yang saling memiliki personal space saling
berhubungan, maka akan terjadi interaksi yang selanjutnya akan membentuk
ruang publik, semakin banyak individu yang berinteraksi maka semakin besar
nilai kepublikannya. Meskipun demikian personal Space dipandang oleh
Robert Gifford sebagai komponen geografis dari hubungan antar personal yang
saling berinteraksi, dan akan membentuk ruang publik, Gifford menjelaskan
bagaimana tingkatan pembentukan kualitas ruang tersebut diuraikan
berdasarkan tingkatan kedekatan antara personal dalam bentuk jarak dan
orientasi antara individu-individu yang berinteraksi. Secara rinci terdapat tiga
aspek personal space yang disampaikan oleh Robbert Gifford, yakni;
1. A personal, Portable territori, yaitu sebuah tempat dimana berada
pada wilayah kontrol dari personal tersebut, beberapa unsur luar
diperkenankan masuk pada wilayah personal ini. Bahwa setiap orang
memiliki personal space, kemanapun kita bergerak baik berdiri
maupun duduk, manusia selalu dikelilingi dan dibatasi oleh personal
space.
2. A Spacing Mechanism, mekanisme pengaturan ruang sebagai batasan
jarak antara individul berlangsung secara natural, bahwa setiap
individu secara alamiah memiliki batasan ruang, pada saat diantara
individu berkesempatan bergerak atau bersama dalam sebuah tempat,
maka akan secara otomatis mengatur jaraknya antara satu individu
dengan individu yang lain.
3. A Communication Channel, pada tingkat personal space terjadi
interaksi berupa komunikasi verbal maupun non verbal, maka akan
terbentuk kualitas ruang yang bergradasi, dalam hal ini Edward Hall
membagi empat jarak interaksi personal yang didasari oleh interaksi
sosial antara dua individu atau lebih, yaitu; jarak intim, jarak personal,
jarak sosial, dan jarak publik.
Personal space dalam arsitektur memberikan kontribusi yang kuat pada tahap
penyusunan program ruang dan fungsional, yang akhirnya akan memengaruhi
dimensi ruang serta penyelesaian bidang-bidang pembentuk ruang (selubung
ruang/bangunan). Hall membagi Personal space berdasarkan jarak yang
[11]
dimiliki seorang individu sampai dengan individu dengan individu lainnya,
diuraikan berdasarkan nilai atau kualitas dalam interaksi antara individu
pengguna ruang. Empat kualitas ruang, menurut Hall yaitu: Jarak intim (0–15
cm kategori dekat; 15–45 kategori jauh) jarak demikian merupakan jarak yang
masuk dalam ruang privasi individu lain, sehingga tingkat kedekatan antara
individu yang saling berinteraksi, Jarak personal (45 – 75 cm kategori dekat;
75–120 cm kategori jauh), jarak sosial (120–200 cm kategori dekat; 200–350
cm kategori jauh); dan jarak publik (350 – 700 cm kategori dekat; lebih dari
700 cm kategori jauh)
Personal space menunjukkan pada jarak antar individu dan pilihan orientasi
selama berlangsungnya interaksi sosial. Hal ini mengatur elemen-elemen dari
teritori, ruang, dan komunikasi individu. Bentuk personal space dalam sebuah
komunitas sangat sulit untuk dikuantitatifkan, karena personal space sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya setiap individu. Dalam proses disain
hal ini merupakan aspek yang harus dianalisis terlebih dahulu, sehingga ketika
kita menyiapkan sebuah disain dengan nilai privacy – public kita tidak terjebak
pada nilai-nilai yang kita (arsitek) anut sendiri, akan tetapi kita harus mampu
menuangkan nilai-nilai tersebut mengacu pada pengguna bangunan.
[12]
[2] Kondisi Perumahan Nasional
Telaah Fakta dan Data
[19]
Fakta-fakta di atas membawa kepada beberapa pertanyaan, yang bagaimana
dengan kontribusi arsitektur dalam menyikapi persoalan tersebut? disamping
persoalan lainnya pada tingkat kebijakan, dalam proses penyusunan maupun
kontrol pelaksanaannya karena akan di dalamnya akan berkaitan dengan
komitmen serta menyangkut persoalan law enforcement. Penulis akan
membatasi ulasan pada aspek, sejauhmana pengaruh arsitektur terhadap
pembentukan karakter bangsa yang digerakan oleh arsitektur perumahan dan
permukiman.
Bagaimana bentuk arsitektur perumahan dan seperti apa yang mampu menjadi
tempat dan sarana prasarana kehidupan dan penghidupan? sebagai media
dalam pembangunan masyarakat seutuhnya? kontribusi arsitektur dalam
pembentukan karakter bangsa, membangun bangsa yang sehat, kuat dan
produktif sebagai syarat dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Seperti pendapat dari para sosiolog, seperti Frederic Le Play dan Edward
Buckel, dimana kedua sosiolog tersebut beraliran kuat bahwa manusia itu
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, hal ini sejalan juga dengan pendapat dari
Jon Lang, yang menyatakan bahwa antara manusia dengan lingkungan terjadi
saling berinteraksi. Sehingga melalui penyediaan perumahan yang baik mampu
memengaruhi dan membetuk karakter masyarakat yang kuat.
Vandalisme dan kriminalitas serta tindak kejahatan juga tidak terlepas dari
pengaruh disain arsitektur bangunan, berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungan perumahan baik yang bersusun maupun yang tidak bersusun sangat
erat kaitannya dengan pola disain bangunan dan kawasan, hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Oscar Newman maupun Barry Poyner. Dalam hal ini Oscar
Newman menawarkan pendekatan Defensible Space, sebagaimana dia
sampaikan dalam ”defensible space is a model for residential environment
which inhibits crime by creating the physical expression of social fabric that
defends itself”. [Newman:1978] Selanjutnya Newman juga menyatakan bahwa
kriminalitas yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kondisi fisik
lingkungan yang buruk.
Namun demikian bahwa persoalan tidak sebatas menyangkut penghuni rumah
saja akan tetapi masuk juga pada ranah lingkungan, yaitu bagian yang menjadi
terpengaruh akibat pembangunan perumahan, sehingga persoalan
pembangunan perumahan yang bagaimana yang memungkinkan terbangunnya
kualitas rumah beserta lingkungan (alami dan binaan) tetap terjaga dan tercipta
kualitas yang lebih baik. Pola-pola pembangunan perumahan yang ramah
lingkungan serta berkelanjutan harus menjadi bagian dalam pertimbangan
setiap disain arsitektur.
[20]
2.3. Fungsi Rumah
Rumah merupakan sebuah tempat manusia dalam keluarga berkumpul untuk
berinteraksi, antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, dan diantara
anak-anak dalam satu keluarga. Sehingga rumah menjadi cerminan dan jati diri
sebuah keluarga. Demikian fungsi rumah bukan hanya sekedar benda yang
memiliki nilai investasi, akan tetapi suatu wadah tempat proses bermukim,
dimana manusia dapat menciptakan ruang kehidupan yang berinteraksi antara
sesama dan lingkungan.
Untuk mewujudkan fungsi rumah demikian, maka beberapa syarat rumah harus
memberikan jaminan yang menyangkut kehandalan bangunan, seperti tertuang
dalam Undang-Undang Bangunan Gedung No. 28/2002, yaitu meliputi;
keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Keempat aspek tersebut
manjadi kewajiban bagi sebuah tempat tinggal, berbeda dengan bangunan
gedung pada umumnya, bangunan hunian atau tempat tinggal, kiranya wajib
memenuhi keempat aspek tersebut, karena rumah merupakan karya arsitektur
yang secara langsung dapat membangun karakter penghuninya. Dari
sekumpulan rumah maka karakter komunitas akan terbentuk, demikian juga
karakter bangsa akan ditentukan oleh karekter dari permukimannya.
[22]
Kebijakan perumahan selanjutnya pada era ini masih mengacu pada Tap MPR
No. II tahun 1960, secara garis besar mengamanatkan program pembangunan
perumahan -yang memperhatikan keterwujudan penyediaan rumah sehat,
nikmat, tahan lama, murah harga jual, murah biaya sewa, serta manusiawi-
.Selanjutnya bantuan perumahan diharuskan untuk dipermudah; dan
diharapkan bahwa peran pemerintah tidak hanya menyediakan fasilitas
perumahan akan tetapi turut melakukan pembangunan perumahan untuk
disewakan maupun di jual khususnya di kawasan industri. Sejalan dengan
pembangunan industri di Indonesia mulai bergerak selain melajutkan industri
peninggalan Belanda.
Pada tahun 1962, untuk pertama kalinya Bangsa ini memiliki undang-undang
Pokok Perumahan No. 6 tahun 1962, yang berisi tentang kebijakan pemerintah
dalam pembangunan perumahan serta pengaturan perumahan bagi masyarakat
yang tidak mampu. Undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan baik,
sampai akhirnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1963, serta
mengganti undang-undang tersebut menjadi Undang-undang Pokok Perumahan
No. 1 tahun 1964, yang memberikan arahan pengadaan perumahan dimana
masyarakat berkewajiban ikut serta dalam pengadaan perumahan, serta
pemerintan berfungsi sebagai provider dan enabler dalam pemenuhan
kebutuhan perumahan dengan upaya menekan biaya pembangunan dan aspek-
aspek teknis, serta melakukan pelimpahan kewenangan pengelolaan pengadaan
perumahan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah Tingkat I dan Tingkat
II, Undang-undang ini digunakan dalam periode yang cukup panjang sampai
diterbitkannya Undang-undang Perumahan dan Permukiman No. 4 tahun 1992.
Beberapa kendala yang dihadapi oleh periode pemerintahan ini adalah
permasalahan stabilitas politik, yang ditandai dengan seringnya bongkar
pasang kabinet, selain itu pemerintah banyak mengalami rongrongan
pemberontakan, yang berkaitan langsung dengan faktor keamanan, selain itu
juga terjadi peristiwa inflasi yang terus melambung serta anggaran belanja
yang terus menerus defisit, yang akhirnya melumpuhkan usaha pemerintah
dalam menangani perumahan.
Catatan penting pada periode ini adalah pendirian empat lembaga strategis di
bidang perumahan, yaitu tahun 1952 didirikan Jawatan Perumahan Rakyat
yang berada di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik, pada tahun yang sama didirikan Yayasan Kas Pembangunan di
beberapa Daerah Tingkat II, yang bertugas membangun rumah yang harganya
di bawah harga pasaran, pada tahun 1955 didirikan Regional Housing Centre
yang mendapat bantuan dari PBB sampai saat ini dikenal dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman di bawah Kementerian Pekerjaan
Umum, serta terakhir didirikannya Badan Perancang Perumahan, yang bertugas
[23]
melakukan perancangan bangunan dan usaha-usaha pemecahan masalah
bangunan, lembaga ini diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum.
Periode Orde Baru
Periode ini memiliki catatan cukup panjang, sejalan dengan lamannya periode
pemerintahaan yang dijalankan, hal ini tercerminkan pada perjalanan
Pembangunan melalui Program Jangka Panjang (PJP) dan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repilita) yang berjalan lancar sampai dengan
Repelita V dan Repelita VI yang harusnya sudah dapat membawa bangsa ini
pada Tinggal landas, pada akhirnya harus kandas karena pembangunan fisik
yang dilakukan oleh pemerintahan pada masa ini ternyata cukup rapuh, hal ini
banyak disebabkan oleh orientasi pembangunan yang diarahkan semata-mata
hanya pada keberhasilan fisik semata, sedangkan pembangunan kualitas
manusia sedkit terabaikan.
Disektor perumahan terlihat bahwa target-target pembangunan perumahan dari
tahun ke tahun dari Repelita ke Repelita terus meningkat, hal ini tidak terlepas
dari dukungan ekternal, yang ditandai oleh peristiwa yang berkaitan dengan
dukungan program yang disusun dalam upaya memperlancar usaha yang
dilakukan, yaitu dengan berdirinya Perhimpunan Perusahaan Real Estate
Indonesia (REI) pada tanggal 1 Februari 1972 serta lokakarya Pembiayaan
Pembangunan pada tanggal 6 Mei 1972, dari hasil loka karya tersebut
dihasilkan beberapa keputusan yang menyangkut; sistem pembiayaan dan
sistem kelembagaan yang direalisasikan mulai pada Repelita II.
Dari rata-rata target pembangunan perumahan sekitar 300.000 unit sampai
dengan hampir 400.000 unit dapat terealisasikan sampai dengan di atas 80%-
nya, jumlah yang sulit direalisasikan pada periode saat ini. Namun sayang
keberhasilan pembangunan perumahan tersebut harus mengalami kejatuhan
yang luar biasa, dengan didominasinya kredit macet di sektor perumahan yang
terjadi pada periode krisis ekonomi tahun 1997, yang telah mengahiri
pemerintahan serta era ini.
Beberapa hal penting yang telah memengaruhi wujud arsitektur perumahan
pada periode ini adalah, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.
20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana
Tidak Bersusun, Permen PU No. 54/PRT/1991, tentang pedoman Teknis
Rumah Sangat Sederhana, serta Kepman PU No. 1/KPTS/1989 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Kapling Siap Bangun , yang mana ketiga
pengaturan tersebut mampu memberikan warna arsitektur perumahan pada
masa tersebut, bahkan Buku Biru BTN yang juga merupakan penterjemahan
dari kepmen dan Permen tersebut digunakan sebagai acuan dalam upaya
mendapatkan kredit dari perbankan.
[24]
Disektor pembangunan rumah swadaya, melalui Kementerian Perumahan
Rakyat juga telah digulirkan beberapa keputusan, seperti Kepmenpera No.
11/KPTS/1989, tentang Pedoman Pengadaan Perumahan dan Permukiman
dengan Fasilitas KPR-BTN oleh Koperasi, dan kebijakan ini telah melahirkan
program pembangunan perumahan yang bertumpu pada kelompok (P2BPK),
namun kenyataanya program keswadayaan ini banyak mengalami kendala,
sehingga bentuk peninggalan arsitektur perumahan dengan program ini banyak
yang tidak mampu bertahan lama, hal ini dikarenakan standar teknis bangunan
yang berada jauh di bawah ketentuan bangunan yang benar.
Periode Reformasi
Periode ini ditandai dengan hilangnya kepecayaan sebagian besar masyarakat
terhadap pemerintah, dan hal ini yang membuat suatu terobosan perubahan
sistem pemerintahan nasonal dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dengan
diterbitkannya Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999. Periode
ini dirasakan periode yang cukup berat bagi para pelaku pembangunan
perumahan serta masyarakat, karena selain harga rumah yang melambung
cukup tinggi akibat bunga Bank, serta krisis ekonomi yang mengakibatkan
peningkatan jumlah pengangguran serta mendorong peningkatan kemiskinan.
Reformasi kebijakan juga terimbas, khususnya kebijakan teknis yang
menyangkut peraturan pemerintah yang berkaitan dengan beberapa pedomen
teknis yang disusun oleh pemerintahan orde baru, turut direformasi sekaligus
dievaluasi, kebijakan-kebijakan teknis khususnya Kepmen PU No. 20/86 yang
mengatur tentang aspek teknis rumah sederhana, pada masanya yang
mengalami degradasi dalam implementasinya, sehingga menciptakan
generalasi disain, seragamisasi disain dan secara bertahap telah melemahkan
potensi dan kearifan lokal pada sektor perumahan rakyat. Selain itu evaluasi
ditindak lanjuti sampai dengan evaluasi kebijakan perumahan yang sangat
banyak dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Perubahan monumenal pada periode reformasi ini adalah, bergesernya bantuan
subsidi yang tadinya berorientasi pada bangunan (rumah sederhana yang
disubsidi) pada periode ini dialihkan pada masyarakat target grup langsung,
untuk menjamin kesesuaian target grup itu maka dirumuskan kembali standar
teknis terkait dengan perumahan, dengan diterbitkannya Kepmen Kimpraswil
No. 403/KPTS/M/2002, tentang Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat
(RSH) standar kebutuhan ruang ditingkatkan kembali dari 7,2 m2 per jiwa
menjadi 9 m2 per jiwa. Ketinggian plafond ditetapkan kembali menjadi 2,80 m,
serta diterbitkannya pengaturan mengenai Rumah Inti Tumbuh, untuk
menyiasati keterjangkauan yang menjadi persoalan era tersebut.
Tekanan ekonomi yang semakin keras, serta krisis ekonomi yang juga belum
dapat dituntaskan telah mengakibatkan perjalanan pembangunan perumahan
[25]
pada era ini belum seperti yang diharapkan, namun keinginan untuk melakukan
percepatan terus diupayakan melalui berbagai kebijakan politis dan teknis,
seperti Gerakan Nasional Pengembangan Satu Juta Rumah (GN-PSR) serta
program 1000 Tower. Persoalan lama mencuat kembali kepermukaan yaitu
keterjangkauan serta harga rumah yang semakin memperbesar gap antara daya
beli dengan harga rumah.
Sampai dengan periode ini, arsitektur perumahan di Indonesia belum dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan karakter bangsa,
karena masih banyak menyisakan persoalan perumahan, serta semakin
kompleksnya pesoalan perumahan serta kemiskinan yang semakin besar
jumlahnya.
2.6. Penutup
Pembangunan lingkungan binaan termasuk perumahan dan rumah dirancang
untuk memudahkan manusia hidup dalam meningkatkan kualitas hidup serta
kehidupannya. Kebangkitan sebuah masyarakat ketika tahap kebutuhan
manusia pada hiraki terendah mulai dapat dipenuhi yaitu kebutuhan
phisiologis, yaitu sandang, pangan dan papan. Ketika kebutuhan phisiologis
telah terpenuhi maka tahap-tahap berikutnya dari kemandirian dan
kemampanan suatu masyarakat dapat terlampaui, suatu hal yang tidak mungkin
tanpa terpenuhinya kebutuhan phisiologis bangsa ini akan menjadi bangsa yang
maju dan sejahtera, untuk itu arsitektur perumahan memegang peran penting
dalam pembangunan karakter bangsa, karena arsitektur perumahan khususnya
rumah merupakan bagian dari kebutuhan phisiologis manusia. Bentukan
arsitektur yang mampu memenuhi tuntutan dari konsekuensi pembangunan
perumahan seperti uraian fakta di atas seperti kerusakan lingkungan,
ketimpangan supply dan demand, standar ruang minimal per jiwa, serta
kepuasan konsumen, dan tingkat konsumtifitas serta kapitalisasi perumahan
menjadi satu bagian tantangan disain perumahan dimasa mendatang.
Seperti pepatah di dalam raga yang sehat terdapat jiwa yang sehat, begitu pun,
dalam rumah yang sehat terdapat keluarga yang sehat, sehat dalam arti luas
jasmani maupun rohaninya. Demikian selanjutnya, bahwa standar kesehatan
tersebut dibutuhkan sampai tingkat universal, seperti uraian di atas, dimulai
dari rumah, lingkungan, kota, dan negara. Disain merupakan alat yang mampu
menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi permasalahan adalah
sejauhmana minat arsitek-arsitek profesional untuk masuk pada ranah
kemiskinan, disain bangunan sederhana dengan luas 36 m2, konsumen yang
memiliki daya beli yang amat sangat rendah. Pada titik ini pengabdian serta
tanggung jawab moral seorang arsitek untuk dapat berkontribusi dalam
penyelesaian persoalan.
Dunia arsitek kita saat ini lebih menantang pada pembangunan fasilitas
komersial, hotel, mall, pusat hiburan café-café, yang menggiurkan dari aspek
pembayaran, hal ini berdampak juga ketika arsitek terpaksa harus memasuki
[28]
dunia rumah murah, akhirnya yang terjadi adalah komersialisasi rumah, rumah
menjadi barang kapital dan komoditas ekonomi. Dengan demikian persoalan
arsitektur perumahan rakyat harus menjadi tangung-jawab pemerintah kembali,
pemerintah harus mampu menggerakkan arsitektur perumahan rakyat, karena
dunia arsitektur perumahan penuh dengan permasalahan sosial dan
kemanusiaan bukan permasalah bisnis yang mengedepankan keuntungan.
[29]
[3] Aspek Sosial Budaya
Dalam Arsitektur Perumahan
[31]
antara individu-individu, individu-kelompok dalam masyarakat tersebut terjadi
proses interaksi yang saling memengaruhi. Syarat sebuah interaksi itu
berlangsung dengan baik dan benar bilamana terdapat persepsi yang sama
antara masyarakat yang berinteraksi tehadap sebuah objek yang menjadi fokus
interaksi.
Ketika, persepsi yang ditimbulkan dalam proses interaksi terjadi ketidak
seimbangan atau perbedaan, hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya
perdebatan, kelanjutan dari proses perdebatan tersebut, memungkinkan
berkembangnya sebuah ilmu pengetahuan. Bagaimana perbedaan persepsi
tersebut terjadi, ketika terjadi interaksi antara dua individu yang memiliki
pengalaman dan latar belakang yang berbeda. Selain itu sebuah subjek dalam
komunikasi terkadang bersifat ambigu, mungkin disebabkan oleh pesan yang
disampaikan kurang memberikan kejelasan, atau dimungkinkan oleh pesan
tersebut memang memiliki makna ganda atau lebih. Hal tersebut berpeluang
sangat besar terjadi pada proses interaksi antara objek arsitektural dan manusia.
Berdasarkan telaah yang disampaikan oleh Jean Beaman, maka pengaruh
sosiologi dalam arsitektur terjadi pada aspek interaksi antara bangunan dan
manusia. Aspek interaksi berada pada level setelah seorang perencana
menganalisis pola perilaku pengguna bangunan yang masuk dalam analisa
disain, hal ini berarti disain sangat dipengaruhi oleh kondisi manusianya,
berarti bahwa program fungsional merupakan proses analisa disain yang perlu
ditunjang oleh kajian sosial budaya. Jauh lebih dalam lagi bahwa dalam prinsip
ordering system dalam arsitektur bahwa arsitektur sangat dipengaruhi oleh
konteks tempat, pada konteks tempat ini unsur asal usul masyarakat serta
bentuk budaya masyarakat setempat sangat berpengaruh terhadap tatanan
arsitekturnya, maka pendapat Beaman yang lebih menekankan bahwa konteks
difokuskan pada aspek kemanusiaan dan menjadi pertimbangan utama sebuah
disain. Dengan demikian bahwa konteks tempat mengandung unsur geografis
dan humanis, dan unsur humanis meliputi aspek-aspek sosial, budaya,
ekonomi, politis, dan religius psikologis.
Aspek-aspek sosial budaya dengan demikian jelas memegang peran penting
dalam perwujudan arsitektur, bahwa arsitektur tidak mungkin terwujud tanpa
pertimbangan aspek kemanusiaan, sehingga tujuan akhir arsitektur tidak
semata-mata bentukan fisik semata, akan tetapi wadah dari kehidupan dan
penghidupan manusia, dimana manusia melakukan aktifitas kesehariaannya
dalam lingkungan arsitektur.
Untuk itulah konsep sustainability design dalam arsitektur dapat digunakan
dalam merancang hunian, karena dalam pendekatannya sustainability
dipengaruhi oleh tiga pilar. Ketiga pilar tersebut, adalah pembangunan
lingkungan binaan yang berkelanjutan, pembangunan ekonomi dan
pembangunan sosial. Demikian juga dalam konsep sustainability ini juga
[32]
menekankan bagaimana meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupan/penghidupan dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan untuk
generasi saat ini dan dapat dinikmati juga oleh generasi mendatang.
Namun demikian permasalah sosial di Indonesia sebagai negara berkembang,
pada saat ini menampakan semakin kompleks. Hal tersebut didorong oleh
pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, terlebih sejak era reformasi angka
kelahiran bertambah pesat karena program keluarga berencana yang tidak
dapat berjalan seperti biasanya, kondisi ledakan penduduk tersebut diperparah
dengan menurunnya ekonomi dan pendapatan masyarakat.
Akibat ledakan penduduk mendorong peningkatan konsumsi diberbagai sektor,
seperti kebutuhan perumahan, kebutuhan air bersih, kebutuhan energi serta
jumlah limbah semakin bertambah. Hal ini berkonsekuensi pada penurunan
kualitas sosial budaya masyarakat serta penurunan kualitas lingkungan hidup.
Penurunan kualitas dari dua unsur tadi pada kondisi tertentu dapat
menimbulkan kerusakan, keadaan tersebut tidak dikehendaki oleh sifat dari
arsitektur itu sendiri. Seharusnya arsitektur melalui bentukan lingkungan
binaannya mampu mengubah kualitas kehidupan dan penghidupan melalui
peningkatan sosial, ekonomi dan budaya serta lingkungan binaannya.
Berbagai permasalahan kota akibat ledakan penduduknya belum juga dapat
diselesaikan oleh berbagai program pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan, walaupun berbagai upaya yang diwujudkan dalam bentuk bantuan
langsung tunai, bantuan pembangunan infrastruktur melalui program P2KP,
juga bentuk-bentuk subsidi dan blockgrant belum memperlihatkan hasil yang
diharapkan.
Pembangunan perumahan subsidi baik yang landed house maupun rumah
bersusun, pada akhirnya bantuan-bantuan tersebut jatuh kepada kelompok
masyarakat di luar target sasaran. Akibatnya rumah hanya menjadi komoditas
investasi belaka, kelompok masyarakat yang sudah memiliki rumah sajalah
yang dapat mengakses perumahan tersebut sedangkan masyarakat
berpenghasilan rendah pada akhirnya semakin termarjinalkan. Sehingga
pencapaian target pemenuhan rumah bukan menjadi berkurang, justru malah
bertambah. Betapapun pembangunan perumahan semakin gencar. Sebagai
gambaran back log perumahan pada akhir tahun 2004 mencapai 5,8 juta dan
saat ini pada tahun 2008 angka tersebut sudah mencapai lebih dari 7,8 juta unit
rumah.
Persoalan sosial perkotaan di akhir tahun 2011 dan memasuki tahun 2012 akan
menjadi lebih berat dengan terjadi krisis global. Prosesnya bermula dari krisis
ekonomi negara di Eropa dan Amerika. Dampak awal mulai terasa pada
beberapa industri nasional yang mulai melakukan pemutusan hubungan kerja.
[33]
Kondisi sosial demikian akan sangat berdampak pada perwujudan arsitektur di
Indonesia, khususnya di dunia properti.
[35]
unsur cahaya memegang peran pada pembentukan unsur-unsur pemodifikasi
elemen arsitektur berikutnya, seperti dapat diterangkan sebagai berikut; bahwa
unsur cahaya merupakan sumber dari unsur modifikasi warna. Menurut teori
spektrum cahaya, bahwa cahaya putih terdiri dari beberapa unsur warna, dan
sebuah warna disampaikan oleh cahaya melalui kemampuan sebuah bahan
untuk memantulkan warna-warna tertentu. Sifat dari bahan bangunan misalnya,
hanya memiliki kemampuan memantulkan warna tertentu, jadi unsur warna
bukan dimiliki oleh bahan tersebut. Demikian juga unsur selanjutnya yaitu
unsur panas, panas merupakan sifat dari cahaya, dan akibat panas dapat
menimbulkan perbedaan suhu dan perbedaan suhu udara dapat menciptakan
perbedaan tekanan, akibat perbedaan tekanan udara maka terjadi aliran udara.
Pada awalnya manusia akan memberikan pengaruh terhadap bangunan dan
untuk selanjutnya pada saat penghunian manusia akan dipengaruhi oleh
bangunan, demikian Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pernah
mengatakannya. Pada tahap perencanaan bahwa bangunan tersebut melalui
proses disain akan mempertimbangkan pola perilaku manusia pengguna
bangunan tersebut. Sejalan dengan pendapat dari Jean Beaman dan beberapa
pandangan sosiolog, maka seorang arsitek harus memiliki kemampuan
eksplorasi ilmu-ilmu humaniora, baik sosiologi sebagai sebuah ilmu sosial,
yang mempelajari perilaku manusia, dan tentunya kemampuan dalam ekplorasi
ilmu sosial tersebut hanya sebagai bahan pertimbangan dalam disain bangunan.
Pada level ini seorang arsitek tentunya dapat melakukan disain sosial yang
diwujudkan dalam disain bangunan dan lingkungan binaan.
Lingkungan Binaan
Keberlanjutan suatu kehidupan manusia sangat tergantung dari bagaimana
manusia mengelola lingkungan hidupnya secara bijak demi kesejahteraan
generasi saat ini maupun generasai masa mendatang. Pengelolaan lingkungan
hidup meliputi lingkungan alami dan lingkungan binaan, kondisi lingkungan
saat ini semakin kritis, ditandai dengan krisis air bersih, tanah, udara, iklim dan
juga lingkungan biologis serta lingkungan sosial. Kritisnya lingkungan
bilologis tampak pada fenomena dimana kian banyak lahan tanah yang tidak
produktif. Bahkan beberapa daya dukung kawasan sudah tidak mampu lagi
mendukung kehidupan mahluk hidup, yang tinggal pada lingkungannya.
Beberapa kawasan kota untuk mendukung kebutuhan hidup masyarakatnya
harus didukung dari wilayah lain. Sebagai gambaran kebutuhan air bersih kota
Bandung maupun kota-kota besar lainnya harus didatangkan dari luar
daerahnya, demikian juga dengan energi serta sampah rumah tangga, sampah
udara seluruhnya tidak mampu diproses oleh wilayahnya sehingga harus
dibuang ke wilayah lain.
[36]
Kondisi masyarakat yang selalu menggantungkan kehidupannya pada
ketersediaan sumber daya alam, pada saat ini sudah tidak dapat dipertahankan
lagi, namun sudah saatnya manusia melakukan pengelolaan terhadap sumber
daya alam, agar ketersediaan sumber daya alam tersebut senantiasa dapat
menjamin keberlangsungan hidup masyarakat secara berkesinambungan.
Beruntung bahwa negeri ini memiliki sumber daya alam yang berlimpah
dibandingkan negeri tetangga, Singapura. Yang notabene untuk memenuhi
kebutuhan air bersih, energi, dan kebutuhan hidup lainnya harus didatangkan
dari luar, termasuk dari Batam dan Johor Malaysia. Walau demikian, negeri
itu ternyata mampu memberikan kemakmuran kepada masyarakatnya. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan seluruh unsur bangsa, yaitu pemerintah, swasta
serta masyaratanya tertib, disiplin, dan piawai dalam mengelola keterbatasan
sumber daya. Berbanding terbalik dengan kondisi kita, yang berlimpah sumber
daya alam, akan tetapi justru kemakmuran secara merata masih jauh dari
jangkauan. Ironisnya, kita belum menyadari bahwa sumber daya alam semakin
hari semakin menipis.
Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan lingkungan sosial manusia Indonesia
dapat dikatakan terlambat, bila kita melihat sejarah hubungan manusia dengan
lingkungan menurut Antonio Maroni, yang disadur oleh Dwi Susilo dalam
Sosiologi Lingkungan. Diungkapkan, bahwa episode hubungan manusia dan
lingkungan, terdiri dari tiga tahapan besar. Yakni tahapan keseimbangan alam,
masa ketidak seimbangan alam, dan masa sekarang.
Masa keseimbangan alam yaitu dimana manusia masih menyandarkan
kehidupannya kepada alam, tidak terdapat proses pengolahan maupun
pengelolaan, yang ada adalah proses pemanenan. Manusia mengambil hasil
dari alam tanpa harus menanam, hal ini dimungkinkan terjadi, karena sumber
daya alam masih mampu memberikan pemenuhan kebutuhan manusia untuk
hidup. Sehingga ketergantungan manusia terhadap alam pada periode ini
masih besar.
Masa ketidak seimbangan dimulai ketika terjadi perubahan lingkungan fisik
dan tata cara hidup manusia, dua perubahan besar dari kehidupan manusia ini
ditentukan oleh Revolusi Neolitikum dan Revolusi Industri. Revolusi
Neolitikum terjadi ketika perubahan suhu lingkungan yang mengakibatkan
sebagian binatang berpindah menuju daerah yang lebih dingin, dan manusia
mulai menyadari bahwa mereka berbeda dan terpisah dengan alam. Manusia
mulai merasakan perlu melakukan budi daya dan tidak lagi hanya mencari,
manusia mulai bercocok tanam, manusia mulai mengembangkan pertukangan,
saat inilah mulai terbentuk lingkungan binaan dan peradaban-peradaban baru
yang lebih maju.
Selanjutnya Revolusi Industri telah memberikan perubahan lingkungan. Era
revolusi industri telah mendorong migrasi besar-besaran dari desa ke kota,
[37]
sehingga mendorong pertumbuhan kota-kota sangat pesat. Melalui migrasi,
kota-kota tumbuh menjadi kota dengan masyarakat yang multikultural.
Sehingga memberikan wujud budaya baru dalam masyarakat perkotaan. Proses
akulturasi yang terjadi pada masyarakat perkotaan sangat berkembang pesat
pada masa industri berkembang, yang menjanjikan lapangan pekerjaan baru
yang lebih menarik masyarakat perdesaan. Pergeseran dimana banyak
masyarakat yang tertarik dengan kehidupan kota. Bahkan sudah diprediksikan
pada tahun 2025, 60% penduduk dunia tinggal di perkotaan.
Kota menjadi simbol kemajuan ekonomi yang banyak menawarkan harapan
dan kemajuan, rata-rata kehidupan di kota lebih baik dari di desa. Bahwa
seorang pemulung di kota dapat memiliki penghasilan lebih baik dari seorang
petani di desa. Hal ini merupakan faktor penarik urbanisasi masyarakat desa ke
kota. Urbanisasi yang terjadi datang dari berbagai desa dengan tipe budaya
yang berbeda, seperti kota Jakarta, kita akan sangat sulit untuk menemukan
penduduk Betawi di Jakarta, tapi kita akan menemukan berbagai suku yang ada
di Indonesia, setiap suku yang masuk ke Jakarta umumnya saling berinteraksi,
akibat proses interaksi tersebut membuat satu dengan yang lainnya untuk saling
beradaptasi, hasil dari adaptasi tersebut menghasilkan wujud budaya baru,
yaitu yang dikenal sebagai proses akulturasi dan asimilasi.
Pada tahap awal akulturasi terjadi didorong oleh proses migrasi, dari satu
negara ke negara lain atau dari satu kota ke kota lain atau dari desa ke kota.
Perpindahan antara penduduk tersebut telah mengakibatkan pertemuan dua
atau lebih unsur budaya, sebagaimana sifat manusia yang memiliki
kemampuan untuk beradaptasi, pertemuan dua unsur budaya tersebut
mendorong terbentuknya budaya-budaya baru sebagai wujud perpaduan.
Pergerakan penduduk pada tahap ini umumnya dimulai oleh kegiatan
perdagangan atau ekonomi, dimana seperti fenomena perpindahan dari desa ke
kota tadi dipicu oleh proses industrialisasi yang menawarkan kehidupan kota
yang labih baik. Selain itu perdagangan antar negara juga telah menciptakan
proses akulturasi bagaimana bangsa arab berdangan ke Indonesia, telah
melahirkan budaya perpaduan antara bangsa arab dengan masyarakat
Indonesia, demikian juga kolonilaisme diawali oleh kepentingan ekonomi,
kolonilaisme Belanda di Indonesia, atau bahkan Kolonilaisme yang dilakukan
oleh bangsa Romawi telah melahirkan perwujudan-perwujudan budaya baru di
berbagai belahan bumi ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa proses akulturasi tidak menghilangkan unsur-
unsur kebudayaan yang dipengaruhi. Maka proses perpaduan budaya di
perkotaan cukup membantu dalam hal penyesuaian diri dan sebagai pengikat
antar beberapa budaya yang bertemu dalam satu wilayah atau ruang. Selain
akulturasi pertemuan dua atau lebih budaya di perkotaan juga mengakibatkan
asimilasi budaya, yaitu suatu proses pencampuran budaya yang menghasilkan
[38]
kebudayaan baru, asimilasi tersebut terjadi manakala terjadi proses toleransi
dan tidak ada pemikiran bahwa satu budaya lebih tinggi dari budaya lalinnya.
Era saat ini yaitu era perkembangan teknologi informasi ditandai dengan
pesatnya penemuan dibidang informasi. Sebagaimana penemuan-penemuan
mesin cetak dan mesin sebagai pengganti peralatan dalam membantu
kehidupan manusia, yang ditandai dengan sebuah revolusi Guthenberg dan
Revolusi Industri, telah mendorong perubahan peradaban dunia. Saat ini
dengan perkembangan teknologi informasi, menuntut kehidupan yang serba
cepat dan efisien. Melalui perkembangan teknologi informasi telah
memungkinkan suatu peristiwa yang terjadi di belahan bumi ini dapat dengan
cepat diketahui oleh masyarakat di belahan bumi lain, dalam waktu yang
sangat singkat.
Kuatnya informasi dapat memengaruhi belahan dunia lainnya dapat juga
menjadi pendorong akulturasi dan asimilasi budaya, tanpa harus berhubungan
dan berinteraksi secara langsung, akan tetapi melalui sarana informasi proses
akulturasi dan asimilasi dapat berlangsung. Sehingga era kini suatu kelompok
yang menguasai informasi dan data akan menjadi kelompok yang kuat,
sehingga tidak salah bila persaingan dan perang informasi saat ini terjadi
diberbagai belahan bumi, antara barat dan timur kita sering mendengar
persaingan antara stasiun TV CNN dan Al Jazerra, merupakan cerminan
benturan budaya, untuk menguasai pengaruh dan pandangan publik dunia.
Bahkan negara-negara komunis yang selama ini harus menutup diri, sangat
sulit untuk membendung informasi tersebut. Sebut saja Korea Utara, terpaksa
harus memprotek perkembangan teknologi informasi di negaranya untuk
menjaga pengaruh barat melalui informasi. Dan hal ini telah mendorong
tertinggalnya sebagian besar masyarakat di Korea Utara terhadap kemampuan
mengakses informasi.
Melalui informasi perubahan gaya hidup sangat dipengaruhi oleh informasi
yang disampaikan melalui media informasi. Dan kita mesti mengakui bahwa
penguasaan informasi di Indonesia belum sebaik penguasaan informasi yang
datang dari negara-negara barat. Walaupun informasi negeri kita ini jauh lebih
baik dibandingkan negara Timor Leste, akibat lebih baiknya penguasaan
informasi terhadap negeri tersebut memungkinkan budaya Indonesia menjadi
patokan bagi masyarakat Timor Leste. Bahkan pada pemilihan Presiden Timor
Leste, budaya Dang Dut menjadi alat untuk melakukan kampanye politik,
begitu juga dengan gaya hidup masyarakat Indonesia masih digunakan sebagai
patokan bagi masyarakat Timor Leste dan bahkan ditiru. Demikian juga
dengan keberadaan bahasa Indonesia sangat sulit untuk dihilangkan di bumi
Lorosae tersebut, akibat arus informasi melalui media TV yang masuk ke
negara tersebut.
[39]
Namun yang masih disayangkan, bahwa informasi kita juga masih dikuasai
oleh barat, sehingga ada tekanan terhadap nilai-nilai budaya masyarakat
Indonesia. Pola hidup sebagian besar masyarakat Indonesia telah terpengaruh
oleh pola hidup barat tanpa upaya penyaringan, pola kehidupan tersebut juga
tercermin dalam dinamika arsitektur Indonesia. Gaya arsitektur minimalis
merupakan hasil dari perkembangan teknologi informasi.Melalui mass media
yang dibantu oleh soft ware, karya arsitektur dapat ditampilkan dengan sangat
menarik. Yaitu lewat visualisasi tiga dimensi (3D), yang diperoleh dengan
permainan komputer yang didukung oleh software-software canggih dalam
permainan image. Hasilnya mampu memengaruhi konsumen arsitektur
Indonesia, tanpa dan belum teruji oleh kondisi iklim dan konteks tempat, yang
merupakan syarat penting dalam arsitektur.
Wujud arsitektur sangat tergantung dengan tempat, selain fungsi, bentuk dan
makna, hal inilah yang membedakan antara wujud arsitektur dengan wujud
lainnya, seperti pesawat terbang, mobil, dsb, objek seperti pesawat terbang
serta mobil juga memiliki fungsi, bentuk dan makna akan tetapi dibuat tanpa
mempertimbangkan konteks tempat. Fenomena perubahan global tersebut
sangat sulit dikejar oleh Indonesia, tekanan yang kuat membuat sebagian besar
masyarakat ini dikuasai dan tunduk pada informasi yang diterima karena
kekuatannya. Hal ini sangat mengancam budaya dan karakter bangsa ini.
Sehingga bangsa ini menjadi berbudaya barat dan budaya timur semakin hari
semakin redup ditelan cahaya budaya barat.
Pada kasus arsitektur minimalis tadi, pengguna arsitektur terpengaruh oleh
media tanpa teruji oleh alam dan tempat. Lalu sesudah arsitektur minimalis
tersebut berkembang dengan pesat dengan dibangun di mana-mana, barulah
pengguna dapat merasakan bahwa arsitektur minimalisnya menjadi beban bagi
pemilik, karena bangunan tersebut memerlukan energi yang lebih banyak.
Seperti memerlukan biaya perawatan dan operasional yang lebih besar, karena
pertimbangan terhadap iklim sangat rendah. Dinding yang cepat berlumut, cat
yang cepat pudar, cahaya matahari yang berlebihan masuk kedalam ruangan,
udara dalam ruang dalam yang lebih panas, karena dindingnya tidak dilindungi
oleh teritisan, dan berbagai permasalahan tersebut muncul. Namun lagi-lagi
bahwa informasi tersebut tidak sampai kepada masyarakat umum, karena
sejumlah pengembang belum memiliki alternatif style yang dapat dijual. Bila
kita telusuri arsitektur minimalis sangat kental dengan keterbatasan dan
kemampuan dari software dalam penggambaran melalui komputerisasi.
Apakah kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam dan
kemiskinan yang semakin menjadi tersebut merupakan sebuah ekspresi dari
ketidak berdayaan kita dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam?
Bahwa lingkungan binaan yang kita bangun masih sejauh mengubah fisik, dan
tidak mampu memulihkan kondisi kelestarian lingkungan alam, yang terus
[40]
menipis akibat konsumsi manusia terhadap sumber daya alam tersebut.
Akibatnya pembangunan yang berkesinambungan masih sejauh di atas konsep
dan lisan saja, namun implementasinya masih sangat jauh dari harapan.
Sustainabillity dalam arsitektur dan lingkungan binaan, dapat dirumuskan
dalam beberapa aspek. Yaitu meliputi aspek keruangan dan aspek sumber daya.
Dalam konteks aspek sumber daya, arsitektur dipandang sebagai sebuah wujud
fisik dari suatu proses perencanaan, perancangan, pembangunan dan
pemanfaatan. Dalam proses pembangunan arsitektur tidak terlepas dari
penggunaan sumber daya alam yang digunakan dalam bentuk bahan bangunan.
Penggunaan/konsumsi bahan bangunan tersebut dipenuhi melalui bahan-bahan
yang bersumber dari galian C dan bahan tegakkan. Bahan galian C berupa
pasir, batu, baja, semen dsb. Sedangkan bahan tegakan adalah jenis
kayu/bambu. Setiap bahan bangunan yang digunakan dalam proses
pembangunan berimplikasi pada energi dan emisi. Energi dan emisi yang
dikeluarkan oleh setiap bahan bangunan tersebut berkonsekuensi terhadap
kerusakan lingkungan, ketika eksploitasi sumber daya alam melebih
kemampuan alam untuk mengembalikan pada kondisi awal.
Dari sudut keruangan, manusia dengan kehidupan di luar manusia senantiasa
terjadi perebutan ruang. Fenomena banjir merupakan sebuah gejala konflik
ruang antara manusia dengan air. Pertumbuhan penduduk dunia saat ini telah
memicu peningkatan kebutuhan ruang (lahan) untuk memenuhi kehidupan dan
penghidupannya. Dalam pemenuhan kebutuhan ruangnya manusia sangat
mendahulukan kepentingan dirinya, manusia selalu mengungkapkan
aspirasinya dalam hak asasi manusia dalam kehidupan, dan manusia tidak
pernah memperhatikan hak asasi mahluk hidup lain atau komponen kehidupan
lainnya, seperti hak asasi air, hak asasi tanaman/hutan, dan sebagainya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia selalu tumbuh dan berkembang
sedangkan tanah, udara dan air tetap. Pertumbuhan manusia telah mendorong
pertumbuhan kebutuhan akan ruang untuk memenuhi kehidupan dan
penghidupannya. Telah mengambil alih hak kebutuhan ruang dan tempat bagi
unsur-unsur alam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa air dan udara juga
membutuhkan ruang. Ruang air sebagaimana disampaikan diatur dalam
Undang-undang Sumber Daya Air, namun akibat kuatnya tekanan materialistik
dari manusia, maka kebutuhan ruang unsur alam lainnya, seperti air terabaikan
oleh tekanan kebutuhan manusia, bahkan manusia kurang menyadari berbagai
bencana yang timbul tidak terlepas dari perilakunya.
Sebagai contoh, peristiwa banjir di kawasan perumahan di sekitar kota
Bandung Selatan, sering terjadi, hal ini disebabkan oleh konflik ruang antara
air dan manusia. Bahwa pada era sebelum 1980-an kawasan tersebut
merupakan tempat yang telah direncanakan sebagai kawasan persawahan
dengan sistem irigasi yang baik. Namun pada akhir dekade 1980-an, bisnis
[41]
properti telah merambah kawasan tersebut, sistem irigasi yang berfungsi untuk
mengairi sawah diubah menjadi sistem drainase yang berfungsi untuk
mengalirkan air hujan ke sungai sampai dengan ke laut. Bahwa rekayasa irigasi
untuk mengairi dan drainase untuk membuang air adalah suatu sistem keairan
yang sangat bertolak belakang. Tentunya tidak mudah untuk mengubah
perilaku tersebut, belum lagi sifat air yang selalu mengalir ke daerah yang lebih
rendah. Perubahan sistem keairan tersebut memerlukan biaya yang sangat
besar, dan itu tidak dilakukan oleh pengembang. Jadi wajar bila perumahan
selalu banjir pada musim hujan, karena memang daerah yang dikembangkan
untuk perumahan tersebut pada awalnya direncanakan untuk dialiri oleh air.
Dengan demikian konsep keberlanjutan lingkungan hidup tidak hanya milik
manusia saja akan tetapi miliki seluruh kehidupan. Sebagaimana komponen
lingkungan hidup di atas, yang membutuhkan ruang tidak hanya manusia, akan
tetapi air, tanaman, termasuk mahluk hidup lainnya. Sehingga peran seorang
arsitek adalah bagaimana menata ruang yang mampu menampung sistem
kehidupan baik untuk manusia maupun untuk komponen kehidupan lainnya
dan hidup dalam satu ruang yang harmonis. Barangkali bila kita meneleaah
kembali bagaimana kearifan lokal suatu masyarakat tradisional yang hidup di
sungai Barito. Pada awalnya keharmonisan hidup berdampingan dengan air
tercipta dimana masyarakat membangun rumahnya tidak dengan melakukan
penutupan daerah air, melainkan dengan membuat rumah perahu agar
rumahnya dapat mengikuti keiinginan dan perilaku air. Namun akibat terus
semakin bertambahnya jumlah penduduk, keharmonisan tersebut lambat laun
semakin pudar. Air sungai-sungai akhirnya mulai tercemar oleh residu
deterjen dan bahan-bahan kimia lainnya, akibat perubahan perilaku manusia
yang tidak sedikitpun mau mempertimbangkan kondisi air sungai tersebut.
Padahal sebagian masyarakat menggantungkan kehidupan dan penghidupan
kepada sungai tersebut, karena keberadaan sungai tersebut mulai terganggu,
maka kontribusi sungai untuk memberikan kehidupan dan penghidupan bagi
manusia juga terganggu.
Proses interaksi manusia dengan lingkungan khusus nampak semakin
memudar, kearifan lokal yang telah diturunkan oleh nenek moyang sedikit
demi sedikit terkikis oleh sistem kehidupan kapitalis dan materialis. Perubahan
perilaku dalam masyarakat tersebut saat ini cenderung belum mampu ditangani
oleh sistem perencanaan kota secara konvensional, bahkan perumahan liar
semakin hari semakin banyak. Serta pembangunan yang berwawasan
lingkungan masih hanya sekedar wacana dalam level konsep belum
teraplikasikan dalam rancangan dan masuk dalam tingkat filosofis kahidupan
masyarakat.
[42]
3.3. Tinjauan Sejarah Teori Sosial dan implikasinya terhadap
Arsitektur
Dari Purba sampai Prasejarah
Peradaban pertama kali dibangunan zaman Nabi Adam a.s, yaitu ketika beliau
dan Hawa memiliki sejumlah keturunan yang dilahirkan berpasangan yaitu
wanita dan laki-laki. Aturan pertama yang dibuat saat itu, dan merupakan
pengaturan pertama kali di muka bumi ini, adalah bahwa Adam membuat
peraturan perkawinan dimana saudara pasangan kembar tidak boleh dinikahi
oleh saudara pasangan kembarnya. Untuk pertama kalinya juga bahwa
peraturan ini dilanggar oleh anaknya, yaitu oleh Qabil anak pertamannya,
karena dia tidak bersedia dinikahkan dengan pasangan dari Habil, yang tidak
secantik saudara kembarannya, pembangkangan tersebut berakhir pada
pertikaian pertama dan terjadi pembunuhan pertama kali di muka bumi ini.
Dari sejak pertama peradaban di muka bumi ini, bahwa aturan itu menjadi
sangat penting dan juga penting untuk senantiasa dipatuhi agar tercipta
kedamaian. Peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh manusia mulai
membentuk pengaturan yang semakin hari semakin kompleks, bahkan setelah
kematian Habil ditangan Qabil, proses penguburan jenazah masih digunakan
oleh manusia sampai saat ini. Bagaimana dengan bangunan, tentunya sama
bahwa bangunan yang tercipta dalam berbagai perwujudan bentuk saat ini
merupakan hasil dari buah pikiran manusia, dan hal ini yang membedakan
manusia dengan mahluk hidup lainnya, dimana manusia oleh Tuhan diberikan
kelebihan dibandingkan dengan mahluk lainnya yaitu diberi akal selain insting.
Dibandingkan dengan instingnya, dalam diri manusia, akalnyalah yang
berkembang. Sementara pada hewan, fungsi insting lebih berkembang.
Karenanya, wujud arsitektur tempat tinggal manusia mengalami
perkembangan, sedangkan wujud arsitektur bangunan binatang dari sejak
penciptaan sampai dengan saat ini tetap. Kita lihat saja bahwa sarang tawon
dari sejak penciptaannya sampai saat ini bahkan sampai akhir zaman pasti tetap
sama masing-masing sel sarang akan berbentuk segi enam. Simak juga sarang
laba-laba selalu akan memiliki bentuk, bahan konstruksi dan bangunannya
tidak pernah mengalami perubahan.
Berbeda dengan arsitektur manusia dari waktu ke waktu selalu mengalami
perubahan. Mulai dari zaman pra sejarah, zaman sejarah, yang dimulai dari
Yunani dan Romawi kuno, zaman Romawi, abad pertengahan, reinaissance,
dan modern bangunan arsitektur selalu mengalami perubahan baik secara linier
maupun secara revolusioner. Proses perkembangan arsitektur juga tidak
terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran yang berkembang sejak
zaman pra sejarah yang tidak tertulis sampai dengan peninggalan yang tertulis
mulai dari Socrates, Plato, Aristoteles, sampai dengan pemikir-pemikir masa
kini seperti Henri Bergson dan banyak lagi.
[43]
Seluruh pemikiran tersebut telah juga membawa pengaruhnya pada peradaban
manusia yang secara berangsur memengaruhi perwujudan arsitektur seperti
disampaikan oleh teori bentuk dari Mark Gelenter, bahwa wujud arsitektur
dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya pada zamannya. Dengan demikian
objek utama wujud arsitektur adalah fungsi yang dipengaruhi oleh kondisi
sosial-budaya dan ekonomi yang berlaku pada masa-nya. Fenomena tersebut
sebagai cerminan dari sebuah semangat yang berlaku pada zaman-nya. Bila
menelaah lebih dalam, maka kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berlaku
merupakan unsur utama dalam pembentukan wujud arsitektur. Demikian juga
suatu fungsi ditentukan oleh kondisi sosial-budaya dan ekonomi, artinya bahwa
fungsi sebagai wadah dari sebuah atau beberapa aktifitas manusia tidak terlepas
dari kondisi sosial-budaya dan ekonomi manusianya.
Kondisi sosial-budaya merupakan cerminan pola pikir yang memengaruhi cara
hidup seseorang, atau sebuah masyarakat, dan menjadikan kebiasaan-kebiasaan
yang mentradisi pada individu atau masyarakat. Pada kondisi sosial budaya
tertentu, akan terbentuk aktifitas tertentu pula, pada kelompok masyarakatnya.
Sebagai contoh pada masyarakat suku Batak, yang memiliki tingkat
kekerabatan yang cukup erat dan memiliki jumlah keluarga yang relatif besar.
Mereka senantiasa kerap melakukan aktivitas pertemuan dan kumpul keluarga.
Sistem kekerabatan tersebut merupakan cerminan sistem sosial sebuah suku
yang ada di Indonesia. Selanjutnya sistem sosial tersebut diwujudkan dalam
fungsi ruang kumpul keluarga, sehingga dalam perwujudan arsitekturnya
terlihat, bahwa pada umumnya rumah masyarakat Batak memiliki ruang tamu
dan ruang keluarga yang menyatu. Dengan ukuran yang cukup luas untuk
menampung pertemuan keluarga besarnya.
Dari Karl Mark sampai Posmodernism
Rasionalisme yang diusung oleh Rene Descrates seorang filsuf abad modern
(1595 – 1650) adalah aliran filsafat yang sangat mementingkan rasio, dimana
dalam rasio terdapat ide-ide yang memungkinkan ilmu pengetahuan itu
berkembang, dalam hal ini Descrates menyampai dua masalah utama yaitu:
masalah substansi dan masalah hubungan antara jiwa dan tubuh. Dia
merupakan filsuf yang mengkritisi filsafat abad pertengahan yang didominasi
oleh sinkretasi antara akal dan wahyu, antara rasio dan agama, yang
menguatkan unsur dogmatis.
Penentangan abad pertengahan yang telah membawa Copernicus mengakhiri
hidupnya di tiang gantungan akibat pernyataanya bahwa bumi ini bukan
sebagai pusat alam semesta dan Bumi itu berputar mengelilingi Matahari,
pernyataanya telah mengganggu dogma agama, sehingga dikawatirkan akan
menyesatkan kaum muda. Hal ini juga terjadi pada Gelileo Galilei yang harus
menderita di tahanan akibat mendukung pemikiran dari Copernicus. Pada abad
pertengahan ini Eropa dikuasai oleh kaum negarawan dan kaum Agamawan.
[44]
Pemikiran Descrates sebenarnya berkiblat pada Copernicus dan Gelileo tentang
perputaran bumi yang bukunya tidak diterbitkan demi menjaga kewibawaan
agama dengan judul Le Monde, selanjutnya dia terkenal dengan dalilnya
Cogito ergo sum yang artinya saya menyadari bahwa saya sangsikan,
kesangsian langsung menyatakan saya ada. Pemikiran era pencerahan
(reinaissance) yang dipelopori oleh Descrates, Immanuel Kant, John Locke,
Voltaire, dsb telah membawa pada peradaban dunia agar tidak saja menerima
begitu saja kebenaran tersebut sebelum kebenaran itu dapat dibuktikan. Hal ini
merupakan titik balik pemikiran abad pertengahan kembali pada kejayaan
Yunani dan Romawi Kuno, berpikir, rasional, atau pikiran menjadi identitas
kesadaran akan eksistensi manusia.
Hal ini sejalan dengan beberapa ayat dalam kitab suci seperti “Dan Dia
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berpikir (QS : Al Jaatsiyah 45 : 13)”. Pemikiran-pemikiran para filsuf
Islam pada abad VII telah masuk ke Eropa melalui Al Andalus (Spanyol),
rasionalitas para pemikiran tersebut telah melahirkan al Kindi, al Farabi, Ibnu
Siena di bidang kedokteran, atau pemikiran Islam lain sebelum Descrates yaitu
Al Ghazali yang mengedepankan rasionalitas tanpa mengabaikan unsur
keberadaan Tuhan.
Rasionalisme merupakan paham yang mengatakan bahwa sumber dari segala
kebenaran adalah pikiran manusia, dimana rasio menjadi acuan dalam
kebenaran, rasionalismen telah memberikan pencerahan kembali dari abad
pertengahan, dan meninggalkan norma-norma yang membelenggu dalam
bentuk dogma dan manusia mulai mencari nilai-nilai baru, sehingga dalam
waktu singkat pengetahuan yang besifat rasional berkembang pesat dengan
metoda positivistik.
Perkembangan pesat kota-kota di Eropa terjadi pada masa abad pertengahan
sedangkan kota-kota yang saat ini sebagai negara berkembang pada saat itu
masih dalam kolonilaisme, yang selanjutnya negara-negara berkembang
tersebut mengadopsi teknologi pada abad XX. Perkembangan industrialisasi
telah mendorong perkembangan penduduk di perkotaan, dimana sejumlah
tenaga kerja diperlukan dalam jumlah besar, hal ini telah mendorong arus
urbanisasi.
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat pesat pada era tersebut tidak
dapat diimbangi dengan penyediaan perumahan dan infrastruktur yang layak,
sehingga penduduk perkotaan semakin padat dan tidak diimbangi dengan
penyediaan infrastruktur yang memadai sehingga menimbulkan persoalan baru,
yaitu tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh, pertumbuhan kawasan perkotaan
tersebut tidak dapat terelakkan. Hal itu disebabkan oleh pertumbuhan industri
[45]
yang sangat pesat, hingga pada akhirnya kota-kota industri mengalami surplus
kapital, surplus teknologi, sumber daya dan pemasaran. Akibat berbagai
surplus tersebut, merupakan tahap awal terbentuknya kota-kota global (Global
City), seperti New York, Tokyo, Paris, London.
Terbentuknya kota-kota global tersebut telah memengaruhi wujud arsitektur,
yang tidak lagi menekankan pada elemen-elemen estetika, akan tetapi aspek
fungsional yang menjadi penekanan, sehingga banyak wujud arsitektur akibat
perkembangan kota-kota global ini menjadi kehilangan identitas dan jati diri.
Wujud arsitekur pun turut menggelobal, pada periode ini telah melahirkan
arsitektur modern yang sangat fungsional.
Demikian hal nya dengan arsitektur perumahan, bangunan-bangunan
perumahan dibangun secara masal dengan tujuan mengejar target merumahkan
masyarakat urban yang bekerja di sektor industri, dan sebagian besar adalah
kaum buruh. Pembangunan rumah besar-besaran tersebut tidak lagi
mempertimbangkan aspek sosial dan budaya, akan tetapi rumah menjadi
sangat fungsional, tempat untuk tinggal dan tidur, sedangkan kebutuhan
manusia sebagai mahluk sosial mulai terabaikan.
Keadaan perumahan pada periode ini dibangun dalam bentuk blok-blok sangat
besar dengan tingkat kepadatan yang sangat tinggi, sebut saja konsep
perumahan di Perancis yang diusung oleh Le Corbusier dengan Grande
Ensemble, yang pada akhirnya, ketika memasuki era akhir tahun 60-an dan
awal 70-an telah menimbulkan persoalan sosial yang tidak dapat dielakkan,
munculnya kriminalitas, vandalisme, dsb pada bangunan tersebut.
Target-target pembangunan perumahan di negara-negara industri pada periode
awal industrialisasi, khususnya di belahan Eropa dibuat target secara
boombastis oleh pemerintah saat itu tentunya didorong oleh tingkat kebutuhan
yang sangat besar akibat ledakan penduduk di perkotaan yang sebagian besar
adalah kaum buruh. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan potret Indonesia
pada saat ini, target-target boom bastis dengan gerakan nasional pengembangan
satu juta rumah (GN-PSR), yang dicanangkan pada era Reformasi tahun 2003.
Selanjutnya pada tahun 2007 pemerintah juga mencanangkan pembangunan
1000 Tower, kebijakan yang tampak tergesa-gesa, kurang mengambil
pembelajaran dari negara-negara yang pernah mengalami hal serupa pada
periode sekitar empat puluh tahun yang lalu atau lebih.
Berbagai persoalan mendasar telah diputuskan dalam bentuk berbagai
keputusan pemerintah, dengan sedikit pertimbangan aspek sosial budaya yang
berkembang pada saat ini maupun di masa mendatang, serta keengganan
menggali terlebih dahulu aspek-aspek sosial yang mungkin akan mencuat
dalam program dan kebijakan tersebut. Kondisi demikian tidak jauh berbeda
[46]
dengan kepanikan bangsa Eropa di awal perkembangan industri yang sangat
pesat.
Persoalan bangsa ini tidak terlepas hanya sebatas kebijakan perumahan saja,
akan tetapi pada era globalisasi serta liberalisasi saat ini, tidak saja dengan
mudah kita mengadopsi pendekatan dan teori-teori yang pernah dilakukan di
belahan Eropa (negara-negara Barat). Akan tetapi kita harus mau menyadari,
bahwa pada politik liberalisasi dan kapitalisasi ini, masyarakat hanya berperan
dominan sebagai konsumen. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana negeri ini
yang kaya dengan sumber daya alam, tidak mampu mengelola dengan baik.
Dan ironisnya lagi, beberapa negara yang mengelola sumber daya alam negeri
ini pada akhirnya menjadikan bangsa ini sebagai target konsumen utama.
Ambil saja contoh pabrik baja terbesar Korea Selatan, yaitu Posco, industri ini
merupakan salah satu pabrik baja terbesar di dunia, pabrik ini mengolah bahan
baku baja yang didatangkan lebih dari 70% bahan baja mentah dari Indonesia
sisanya dari negara-negara berkembang lainnya, selanjutnya energi untuk
menggerak industri ini diambil dari Indonesia hampir 90%, dan pada akhirnya
pasar terbesar dari Posco adalah masyarakat Indonesia, dalam bentuik baja
olahan seperti plat baja, baja tulangan atau dalam bentuk bahan jadi seperti
mobil, kapal, dan barang-barang elektronik.
Kondisi ini seharusnya dapat kita jadikan alat untuk pembelajaran dalam sektor
perencanaan kota maupun perencanaan bangunan khususnya bangunan
perumahan, karena pada aspek fungsi rumah terdapat fungsi sosial yang dapat
memengaruhi perkembangan bangsa ini di masa depan, sebagaimana kita
ketahui rumah merupakan tempat berinteraksi antara orang tua dan anak,
rumah tempat pembentukan karakter anak sebelum sekolah dan lingkungannya,
bila tempat anak berkembang dan tumbuh tidak mampu mewadahi
perkembangan tersebut, maka ada kemungkinan perkembangan anak akan
terhambat, dan anak-anak adalah generasi penerus yang menjadi tulang
punggung kemajuan negeri ini di masa depan. Dalam penanganan perumahan
seharusnya aspek sosial budaya menjadi unsur-unsur utama yang memengaruhi
disain serta kebijakan di sektor perumahan nasional.
Dari Revolusi Guthenberg sampai Revolusi Informasi
Untuk menelaah permasalahan tersebut, dapat dimulai dari perjalanan sejarah
perubahan-perubahan sosial-budaya yang cukup ekstrim, diantaranya ditandai
oleh perjalanan revolusi yang dimulai dari revolusi Gutenberg, Revolusi
Industri dan mungkin Revolusi Informasi saat ini. Dimulai pada abad ke –15
merupakan tanda dimulainya satu revolusi Gutenberg, dengan dimulainya
penemuan mesin pencetakan tulisan ke dalam bentuk buku, Johannes
Gutenberg dianggap sebagai pelopornya. Revolusi Gutenberg ini membuka
peluang baru dalam penyebaran ilmu pengetahuan, banyak ilmu pengetahuan
[47]
yang telah ditemukan sebelumnya telah diterbitkan dalam bentuk buku partai
banyak untuk disebar luaskan.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan telah memungkinkan ilmu pengetahuan itu
dibaca dan dikembangkan oleh orang lain, karena ilmu pengetahuan itu sendiri
telah berkembang jauh sebelum revolusi Gutenberg, seperti buku aljabar
pertama ditulis oleh Diophantus di Alexandria pada tahun 250 M, bahkan
ketinggian matahari telah dihitung di Cina sebelum kelahiran Nabi Isa.
Dengan penemuan mesin cetak ini, telah mempercepat perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga penemuan-penemuan baru lainnya banyak ditemukan,
sehingga akhirnya banyak mesin-mesin baru ditemukan dan digunakan dalam
produksi untuk industri.
Abad ke–18 merupakan masa yang memisahkan cara dan gaya kehidupan,
pemisahan tersebut diawali di Inggris yang selanjutnya diikuti oleh daerah-
daerah lain, tepatnya pada abad ke-18. Pada tahun 1769 tersebut, telah
ditemukan mesin uap sebagai awal dari Revolusi Industri. Sebelum revolusi
industri, manusia mengerjakan pekerjaannya dengan alat-alat sederhana yang
merupakan kepanjangan dari anggota tubuhnya. Setelah revolusi industri
semua pekerjaan dikerjakan oleh mesin, yang mampu melakukan pekerjaan
dengan lebih efisien dan efektif.
Dampak sosial yang paling menonjol akibat dari revolusi Industri adalah
ledakan penduduk. Sehingga pada saat itu dibangun kota-kota industri sarana
sirkulasi yang memadai untuk pengangkutan hasil produksi merupakan faktor
penting dalam menunjang kegiatan industri. Urbanisasi merupakan dampak
yang sangat menonjol dari periode revolusi indutri, akibat adanya jaringan-
jaringan jalan baru, umumnya pelaku urbanisasi ini adalah para buruh, mereka
tinggal di pusat-pusat kota yang padat penduduk. Sehingga banyak melahirkan
kawasan slum dipusat kota yang dihuni oleh kelompok buruh.
Perubahan lain yang paling menonjol adalah perubahan sistem perekonomian,
dari sistem perekonomian agraris menjadi sistem ekonomi industrial yang
memiliki karakteristik produksi masal, termasuk dalam pengadaan komponen
arsitektural. Dibidang arsitektur, revolusi industri juga amat berpengaruh.
Tampak dari gaya arsitektur yang selama itu dianut mulai berubah, arsitektur
menjadi suatu karya mesin, dengan produksi masal yang mementingkan
kecepatan dalam produksi.
Kondisi ini menimbulkan kejenuhan suatu kota maupun karya arsitektural,
dimana segala sesuatu halnya menjadi tidak manusiawi yang memperlihatkan
penurunan kesehatan, kesenjangan sosial, kenyamanan dari kehidupan buruh
pada umumnya. Hal ini telah menimbulkan beberapa reaksi keras. Yaitu
terhadap munculnya perumahan kumuh, perumahan buruh yang
mengkhawatirkan, tidak tersedianya taman-taman/ruang terbuka, buruknya
[48]
jaringan jalan di lingkungan permukiman buruh, jarak antara tempat tinggal
dan tempat kerja serta kemiskinan moral para buruh. Kritik-kritik ini telah
melahirkan berbagai konsep arsitektur kota yang anti revolusi indutri, dimana
konsep-konsep ini pada awalnya masih bersifat utopia.
[54]
merah) untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, yang senantiasa
mengkonsumsi sumber daya alam tidak dapat tergantikan.
Akulturasi Budaya
Globalisasi juga melanjutkan proses akulturasi budaya serta asimilasi budaya
yang berdampak pada perwujudan arsitektur, bahwa bangunan-bangunan mall,
atau komersial lainnya terjadi proses akulturasi, seperti restoran-restoran siap
saji ambil saja contoh Mc Donal, menjadi cerminan akulturasi dimana
beberapa bangunannya harus tetap mempertahankan karakter aslinya serta
beberapa bagian menyesuaikan dengan karekter lokal.
Dalam proses etnifikasi di perkotaan tidak terlepas dari proses akulturasi dan
asimilasi, yang keduanya dapat memberikan warna pada budaya masyarakat
kota. Akulturasi merupakan proses sosial yang terjadi dimana manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga
lambat laun unsur-unsur tadi diolah ke dalam kebudayaannya, tanpa
menyebabkan kehilangan kebudayaannya sendiri. Sedangkan asimilasi adalah
percampuran satu atau lebih unsur budaya, kedua proses pembentukan budaya
akibat pertemuan budaya dalam suatu kota sangat menentukan pembangunan
kedamaian politik kota. Dalam proses akulturasi cenderung satu kebudayaan
yang dipengaruhi oleh budaya lain yang lebih dominan, sedangkan asimilasi
lebih disebabkan oleh tumbuhnya toleransi dan rasa kesetaraan budaya diantara
budaya yang saling bertemu, tidak adanya perasaan yang satu lebih unggul dari
yang lain, sehingga melalui proses asimilasi lebih memungkinkan tercapainya
kedamaian sebuah kota.
Akulturasi pada era globalisasi ini tidak akan terhenti pada periode ini,
kehancuran perekonomian negara super power saat ini akan menjadi titik balik
arah perubahan sosial budaya, khususnya bagi Indonesia. Kita melihat
beberapa investor saat ini mulai berdatangan dari negeri minyak, dan bahkan
kesempatan kerja juga lebih dibuka oleh negeri-negeri minyak di Timur
Tengah. Bahwa ini akan menjadi sejarah baru dan akulturasi dengan pengaruh
baru, yang sebelumnya sempat terjadi juga di negeri ini dimana para pedagang
dari timur tengah berdatangan untuk melakukan perdagangan dengan Indonesia
dan telah meningggalkan proses akulturasi budaya.
Hal ini memberikan pemahaman bahwa arsitektur kita sangat dinamis,
dikarenakan sifat dari sosial budaya itu sendiri yang dinamis, sehingga
pertimbangan utama sebuah disain seharus tidak melepaskan unsur sosial
budaya, dimensi sosial budaya merupakan bagian penting dalam proses disain
arsitektur.
[55]
3.5. Interaksi antara Lingkungan Binaan dan Manusia
Wujud karya arsitektural bukan hanya sebatas bentuk dan fungsi yang
dirancang melalui proses disain keteknikan yang menyangkut masa dan ruang,
sistem struktur dan konstruksi, sistem utilitas bangunan yang diolah dan
memberikan keindahan, akan tetapi sebuah wadah yang mampu menampung
aktifitas manusia di dalamnya dalam memenuhi kehidupan dan penghidupan
yang selalu meningkat, jadi seorang arsitek yang baik adalah ketika dalam
proses disain dia melakukan perencanaan perilaku dan kehidupan manusia
sebagai pengguna bangunan. Jadi arsitektural bukan hanya semata karya fisik
akan tetapi karya non fisik yang tidak kasat mata, terjadi di dalam dan
sekitarnya adalah sangat penting, untuk itu esensi dari sebuah pembangunan
adalah bukan wujud fisik akan tetapi membangun manusia dalam wujud
arsitektur.
Akibat kapitalisme dan metarialisme yang tumbuh saat ini di Indonesia, telah
melemahkan posisi para arsitek di Indonesia yang berada di bawah pengaruh
ekternal yang kuat (owner, market, dsb). Banyak oknum arsitek yang rela
menawarkan jasa profesi dengan harga murah bahkan menjanjikan biaya gratis
untuk sebuah perencanaan. Hal ini tentunya karena didorong oleh tekanan
persaingan dalam lingkup ekonomi/kapital. Yang penting merencanakan dan
membangun, tidak lagi memedulikan idealisme. Sehingga tidak perlu
diherankan, jika saat ini banyak karya arsitektur yang tidak memiliki nilai
atau bangunan tanpa ROH. Cara pandang sebuah disain hanya dilihat dari
output berupa fisik bangunan, tidak memedulikan soal nantinya bakal berujung
terjadi atau tidak terjadinya peningkatan kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Bahkan pola demikian juga menjadi satu alasan mengapa
perekonomian Amerika saat ini mengalami krisis, hal ini tidak terlepas dari
kapitalisme yang turut dibangun oleh arsitekturnya. Kita dapat menawarkan
sebuah masyarakat yang konsumtif melalui sebuah wujud arsitektur, seperti
halnya saat ini, kota-kota besar banyak dibanjiri oleh bangunan mall atau
fungsi komersial lainnya.
Perlu diperhatikan seberapa besar pertimbangan sebuah disain yang
mempersiapkan penggunanya untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitasnya yang sedikit demi sedikit semakin meningkat. Oleh karena itu,
telaah ini memberikan sebuah pandangan arti pentingnya sebuah wujud
arsitektur terhadap peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupan manusia,
yang menjadi dasar kekuatan sebuah bangsa kelak. Kita melihat bahwa wujud
arsitektur memiliki peran dalam pembentukan karakter bangsa, tentunya ini
sebuah peran yang sangat mulia, yang harus dipahami oleh setiap oleh arsitek.
Dengan pemahaman tersebut, kita semakin sadar bahwa aspek manusia
merupakan aspek utama dalam pertimbangan sebuah disain bangunan maupun
disain kota. Melalui telaah ini kita buka mata pada aspek sosial dari pengguna
[56]
arsitektur, sebagai sebuah perubahan cara pandang seorang arsitek yang
mempertimbangkan karyanya sebagai sebuah mesin perubahan menuju
kebaikan kualitas kehidupan dan penghidupan.
Bagaimana arsitektur saat ini dalam menghadapi persoalan kemiskinan, pada
tingkat persoalan kemiskinan yang semakin kompleks saat ini, seorang arsitek
dituntut dalam setiap proses disainnya mempertimbangkan untuk membangun
setiap bangunannya senantiasa memiliki nilai produkstifitas atau minimal dapat
meningkatkan produkstifitas pada tingkat fungsi bangunan atau produktifitas
penghuni bangunannya.
Aspek-aspek sosial budaya memberikan pengaruh yang besar pada perwujudan
arsitektur, sebagaimana isu-isu sosial yang disampaikan sejak Socrates, Plato,
Aristotelas dan pemikir abad ini, bahwa kehidupan sosial dan budaya manusia
senantiasa meninggalkan jejak dalam bentuk peninggalan yang tertanam pada
bentuk arsitektur bangunan maupun perkotaan, bentuk kesenian seperti bentuk
musik, puisi, drama, lukis dan sebagainya.
Pada akhirnya bahwa aspek-aspek sosial budaya pada era kini, telah
memengaruhi peradaban global, dimana kecenderungan terbentuknya satu
peradaban yang memiliki kekuatan adalah peradaban yang didominasi oleh
Barat. Sehingga semakin hari tampak semakin pudarnya peradaban lokal,
apakah ini harus diterima sebagai suatu proses alamiah, atau kita harus
bertahan dengan peradaban lokal yang diangkat dari nilai-nilai lokal yang
tetanam dalam unsur sosial budaya? Lantas masih adakah nilai-nilai lokal
bangsa ini, sehingga kita perlu mempertahankannya? Yang menjadi persoalan
bangsa terhadap nilai-nilai lokal tersebut kini , adalah kurangnya pemahaman
terhadap unsur budaya lokal, yang tertuliskan dalam suatu naskah akademis,
yang dapat digunakan sebagai rujukan.
[57]
[4] Etika Arsitek
Bidang Perumahan dan Permukiman
[59]
kehandalan. Untuk mencapai kehandalan tersebut tentunya seorang arsitek
harus secara total bertanggung-jawab terhadap kualitas bangunan, bentuk
pertanggung jawaban tersebut berkonsekuensi pada bentuk etika seorang
arsitek. Ketika ketentuan dalam perundangan di atas secara tidak sengaja atau
tidak sengaja dilanggar oleh perencananya, maka seorang perencana dalam hal
ini dapat dituntut atas tindak pidana dan perdata, dengan kurungan, penjara dan
denda yang nilainya tidak sedikit, bahkan lebih besar dari prosentase
pembayaran seorang arsitek. Akibat kesalahan dalam proses perencanaan
seorang arsitek harus membayar lebih dari apa yang dia dapatkan dari hasil
perencanaannya.
Pada pasal 9 Pedoman Hubungan Kerja antara Arsitek dan Pemberi Tugas,
menyatakan bahwa arsitek bertanggung-jawab atas kerugian akibat kesalahan-
kesalahan yang dibuat arsitek, hal ini diberikan ancaman juga pada UUBG Bab
VIII, Pasal 44, bahwa kesalahan yang diperbuat tersebut merupakan kesalahan
yang disebabkan oleh kelalaian maka akan terkena sangsi sebesar-besarnya 1
tahun kurungan dan 1% dari harga bangunan bila kelalaiannya tersebut
mengakibatkan kerugian harta benda, dan kurungan 2 tahun dan/atau 2% dari
nilai bangunan bila akibat kelalaiannya mengakibatkan cacat seumur hidup,
serta 3 tahun kurungan dan/atau 3% nilai bangunan bila mengakibatkan korban
jiwa. Namun bila kesalahan tersebut diakibatkan karena kesengajaan maka
dikenai sangsi sebesar-besarnya 5 tahun penjara dan/atau 20% dari nilai
bangunan bilamana akibat kesalahannya tersebut mengakibatkan korban jiwa.
Melihat pada sangsi-sangsi tersebut, manakala kita amati peristiwa menara
Jamsostek dan gedung ITC di Jakarta, yang telah mengakibatkan korban jiwa
akibat terjunnya sebuah mobil dari tempat parkir pada lantai atas bangunan
tersebut. Bila terdapat kesalahan perencanaan dinding pengaman lantai parkir
tersebut, hal ini merupakan indikasi dari kesalahan perencana dalam
merencanakan dinding pengaman yang tidak sesuai dengan standar keamanan
lantai parkir bangunan. Atau cerita seorang bocah yang terjatuh dari lantai
sebuah pusat perdagangan dikarenakan celah antara railing dengan mesin
escalator terlalu besar, atau terjatuhnya seorang bocah dari sebuah apartemen
akibat mekanisme pembukaan jendela yang tidak memenuhi standar
keselamatan. Melihat pada peristiwa-peristiwa di atas, peran dan tanggung-
jawab seorang arsitek semakin besar dan memerlukan tingkat kehati-hatian
yang lebih besar dengan memperluas pengetahuan dan keterampilan dalam
merancang.
Kondisi demikian sudah selayaknya setiap individu yang berprofesi sebagai
seorang perencana bangunan, lebih berhati-hati, dan membutuhkan sebuah
kekuatan yang lebih memberikan pemantauan, pembinaan, pengelolaan dalam
menjalankan profesinya. Proses pembinaan, pengelolaan, serta pemantauan
tersebut layaknya digerakkan oleh sebuah asosiasi yang dibentuk oleh
[60]
kumpulan arsitek tersebut dalam suatu wadah yang kita kenal dengan Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI). Saat ini sangat tepat bilamana kita melakukan
strangtening terhadap lembanga IAI dalam mengantisipasi tuntutan
perlindungan konsumen arsitek yang diwujudkan dalam UUBG di atas, serta
membangun kesadaran untuk segera menggulirkan Undang-undang Profesi
Arsitek, yang mampu mengimbangi tuntutan berupa Hak pengguna bangunan
melalui UUBG.
Pengertian etika menurut KBBI adalah “kumpulan azas atau nilai yang
berkenaan akhlak atau nilai-nilai yang benar atau salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat”. Maka dalam kehidupan setiap orang diatur oleh
aturan-aturan yang membentuk sebuah tatakrama, aturan tersebut dapat berupa
aturan tertulis maupun tidak tertulis. Yang tertulis dalam bentuk Undang-
undang, Peraturan Pemerintah, dsb, sedangkan peraturan tidak tertulis seperti
adat istiadat. Pelanggaran terhadap sebuah aturan tertulis maka akan dikenakan
sangsi dalam bentuk hukuman badan sesuai dengan peraturan yang ada
sedangkan pelanggaran pada peraturan tidak tertulis biasanya sangsinya berupa
sangsi sosial, dalam bentuk keterkucilan bagi yang melanggarnya.
Sangsi sosial berlaku juga pada pelangaran-pelanggaran pada tingkat
kemasyarakat yang diatur melalui paraturan tidak tertulis yang berlaku di
masyarakat. Bagaimana dengan peraturan tertulis seperti diuraikan pada uraian
di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana peran IAI dalam
perlindungan arsitek, dalam mengatur kode etik dan tata perilaku profesi.
Bahwa sangat disayangkan tata atur dan kode profesi yang disusun oleh IAI
hampir tidak memiliki kekuatan terhadap perilaku perencanaan di Indonesia,
bahkan sekalipun oleh para anggotanya. Dan bagaimana membangun kekuatan
kode etik serta tata perilaku arsitek dapat mengatur seluruh arsitek baik yang
terdaftar sebagai anggota IAI maupun yang berada di luar keanggotaan IAI.
Sebagaimana amanat UUBG yaitu dalam menjamin terbit administrasi dan
tertib teknis berupa kehandalan bangunan, maka dalam suatu proses
penyelenggaraan bangunan gedung harus dibentuk Tim Ahli Bangunan Gedung
(TABG), selanjutnya petunjuk oprasionalisasi dari TABG tersebut dituangkan
dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2007, tentang
Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung, walaupun pedoman ini lebih ditujukan
kepada Pemerintah Daerah, namun dalam pembentukannya dipersyaratakan
unsur swasta harus mengisi keanggotaan sebanyak 50% nya, yang diantaranya
berasal dari unsur profesi, masyarakat ahli dan unsur perguruan tinggi.
Ketersediaan slot unsur profesi merupakan pembuka jalan bagi IAI untuk
mengkaitkan kode etiknya dengan regulasi yang berlaku secara nasional
tersebut.
Dalam TABG azas kode etik yang diusung ada 8, yang meliputi : azas
kepastian hukum, azas tertib penyelenggaran negara, azas kepentingan umum,
[61]
azas keterbukaan, azas profesionalisme, azas akuntabilitas, azas efisiensi dan
azas efektifitas. Dari kedelapan azas tersebut bagaimana kita mengsingkronkan
kembali kode etik IAI, agar peran IAI ke depan dapat betul-betul menjadi
sebuah wadah yang memiliki peran besar terhadap sistem pembangunan
gedung-gedung di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan Barry Wasserman dalam memberikan pegangan bagi
para arsitek dan praktisi dalam membuat disain arsitektur yang baik, yaitu
melalui proses perancangan yang beretika, secara tegas Wasserman
menyatakan being “good” at designing sebagai acuan awal dalam etika dalam
ber-arsitektur dan sebagai aktivitas utama dalam arsitektur. Ada tahap awal
seorang arsitek akan berurusan dengan client yang telah membawa beberapa
keinginan dan ide tentang bangunan dan tempat yang akan didisainnya. Hal
tersebut harus dapat dirumuskan oleh arsitek bagaimana menerjemahkan
keinginan dan ide-ide tersebut menjadi dokumen pelaksanaan yang siap
dilaksanakan oleh kontraktor.
Dari Diagram 3. kita dapat lihat bahwa antara satu periode dengan periode
lainnya saling menggugat, hal ini menunjukkan bahwa seorang arsitek tidak
hanya cukup berpedoman pada nilai-nilai saja pada saat mengambil keputusan
disain, akan tetapi yang paling penting dibalik nilai-nilai tersebut adalah
keputusan disain yang di latar belakangi oleh moral dari asriteknya dalam
menjunjung tinggi kebenaran dan kebaikan yang hakiki.
Aspek Sosial-Budaya
Sebagai tindak lanjutan dari amanah kode etik mukadimah alenia kedua“di
dalam berkarya, selalu menerapkan taraf profesional tertinggi disertai
integritas dan kepeloporannya untuk mempersembahkan karya terbaiknya
kepada pengguna jasa dan masyarakat, memperkaya lingkungan, dan
khasanah budaya”, sebagai gambaran kondisi kepedulian profesi terhadap
keadaan sosial politik diperlihatkan oleh Architects and Planner for Justice in
Palestine (APJP) berbasis di London, yaitu organisasi yang beranggotakan para
perencana bangunan dari Inggris dan Israel, kelompok ini mendesak agar
rekan-rekan seprofesi mereka di Israel serta dimana di belahan bumi ini agar
senantiasa dapat menolak proyek-proyek yang apa kata mereka sebut sebagai
“penjajahan sosial, ekonomi, dan sosial”, dan bagi siapapun perencana yang
[68]
melakukan kegiatan tersebut dinyatakan sebagai penjajah, hal ini dinyatakan
oleh APJP bahwa “Para arsitek dan perencana bangunan, dengan sadar atau
tidak, telah menjadi bagian dari situasi ini. Permukiman-permukiman Israel
yang dibangun setelah perang tahun 1967 dan dianggap ilegal berdasarkan
hukum internasional, tidak akan terwujud tanpa bantuan arsitek”. Bahkan
menurut laporan APJP bahwa Israel telah menghapuskan beberapa situs sejarah
milik rakyat Palestina, yang keberadaannya dihapus oleh Israel dari peta.
Beberapa tahun yang lalu dikabarkan bahwa kelompok ini telah melakukan
kampanye boikot terhadap arsitek Israel yang mengambil bagian dari proyek-
proyek pemerintah Israel tersebut.
Hal ini juga secara tidak langsung mendapat dukungan dari IAI, dimana kode
etiknya mengatur hal tersebut, pokok pengaturan tersebut sesuai dengan
standar etika 1.4. kode etik arsitek dimana dinyatakan bahwa “arsitek sebagai
budayawan selalu berupaya mengangkat nilai-nilai budaya melalui karya,
serta wajib menhargai dan membantu pelestarian, juga berupaya
meningkatkan kualitas lingkungan hidupnya yang tidak semata-mata
menggunakan pendekatan teknis-ekonomis tetapi juga menyertakan azas
pembangunan yang berkelanjutan”, namun apakah dengan adanya pokok
pengatur ini bahwa di negeri ini tidak terjadi proses penghapusan situs sejarah
atau situs lingkungan seperti yang terjadi di Israel.
Sebagai satu gambaran kita akan bahas kasus Proyek Babakan Siliwangi,
dalam konteks ini terjadi penjajahan ekonomi, dimana proyek tersebut oleh
pengembang dan arsiteknya lebih mengedepankan aspek ekonomi ketimbang
aspek lingkungan dan budaya. Jadi jelas perkotaan dan arsitektur saat ini sangat
dikuasai oleh kepentingan bisnis, sadar atau tidak pertentangan Babakan
Siliwangi antara sekelompok masyarakat yang mengusung kehidupan sosial
yang diwakili oleh para seniman dan kepedulian lingkungan harus berkonflik
dengan pengembang, dan peran pemerintah kota Bandung yang gamang,
merupakan pencermikanan kekuatan dalam sistem kehidupan yang
berpengaruh dalam perwujudan kota dan arsitektur. Pada kasus tersebut dapat
kita lihat bahwa pengembang dalam hal ini lebih mengedepankan kepentingan
ekonomi dan bisnisnya dalam pengembangan kawasan dan arsitektur Babakan
Siliwangi, sedangkan kelompok masyarakat sangat peduli dengan kepentingan
sosial masyarakat kota Bandung, Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka
hijau, sebagai nilai Historis berkaitan dengan Perjuangan Pasukan Siliwangi.
Dalam konteks pengembangan-pengembangan tersebut wujud arsitektur
digunakan sebagai sarana untuk menjadi kaya, entah siapa yang kaya
arsiteknya atau pemilik dan pengelola Babakan Siliwangi tersebut, yang jelas
bahwa dalam kasus ini seorang arsitek seharusnya mampu menjadi penengah
antara kepentingan politik, ekonomi dan sosial, karena kemampuan menengahi
[69]
tersebut dapat memberikan image arsiteknya yang pintar, baik dan kekayaan
serta keterkenalannya juga dapat diraih.
[71]
Fenomena demikian tidak terlepas dari sistem kapital yang mencengkeram
perilaku masyarakat, seperti kita ketahui bahwa sistem kapitalisme saat ini
terbukti hanya mampu membangun gap antara kaya dan miskin serta
menguatkan produsen dan menguatkan ketergantungan konsumen, sehingga
produk arsitektur dengan sistem kapitalis pun hanya akan menyediakan dan
memenuhi kesenangan-kesenangan kelompok masyarakat tertentu, arsitektur
pada kondisi ini menjadi bagian dari hedonisme, sebagaimana aliran
hedonisme ini memiliki kaidah dasar “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga
engkau mencapai jumlah nikmat yang paling besar. Dan hindarilah segala
macam yang dapat menimbulkan rasa sakit darimu”, demikian hal tersebut
seperti disampaikan oleh DR. Juhaya dalam Filsafat dan Etika. Dengan
demikian karya arsitektur di era kapitalis ini telah melahirkan diskriminasi,
mengacu pada pemikiran Plato, bahwa kebahagiaan tersebut tercapai ketika
keadilan dapat direalisasikan, sifat diskriminasi tentunya sangat bertolak
belakang dengan sifat keadilan. Arsitek memegang peran kunci dalam
menciptakan keadilan di perkotaan.
Selanjutnya bagaimana memutus mata rantai degradasi profesi arsitek dalam
sistem kapitalisme yang semakin kuat, tentunya dalam melihat fenomena
tersebut kita harus melepaskan terlebih dahulu hal-hal yang berpengaruh dari
lingkungan eksternal arsitek, seperti sistem kapitalime, hal ini bukan berarti
aspek eksternal tersebut dapat dengan mudah kita abaikan, hal ini hanya untuk
membatasi permasalahan dalam upaya untuk menggiring penyelesaian yang
lebih diarahkan pada lingkungan internal saja. Apa yang dapat diupayakan
tentunya melalui pengaturan jasa profesi pada level hukum nasional, seperti
melalui Undang-undang Jasa Profesi Arsitek. Sehingga tindakan yang
melanggar undang-undang tersebut dapat diperkarakan pada lembaga hukum
formal, pelanggaran berkonsekuensi pada sangsi, yang dapat menimbulkan jera
bagi pelaku maupun bagi individul lain sebagai pembelajaran untuk
menjalankan profesi secara baik dan benar.
Sejalan dengan kasus APJP yang berbasis di London, dimana ada fungsi etika
yang dikaitkan dengan moral, bahkan pada tingkat lokal beberapa kasus di
tanah air mencuat peran perencana dan arsitek yang mendapat tekanan kuat
oleh kapitalisme dengan mendahulukan kepentingan ekonomi dan
mengabaikan kepentingan-kepentingan sosial dan budaya, dalam hal ini,
seorang perencana dapat memberikan peran sebagai penengah antar berbagai
kepentingan, karena pada esensinya sebuah disain adalah melakukan suatu
pengolahan untuk mendapatkan hasil terbaik, hasil terbaik ini tentunya sangat
berkaitan dengan moral dan etika seorang arsiteknya.
Politik Arsitektur
Kata politik tidak selalu dikaitkan dengan partai-partai yang dikaitkan dengan
kekuasaan di lembaga legislatif saja, akan tetapi politik diartikan sebagai siasat
[72]
atau bersiasat. Pada era saat ini, dimana perkembangan teknologi informasi
ditambah dengan semakin kuatnya kapitalisme yang secara berangsur-angsur
telah membawa suatu bentuk peradaban materialisme pada masyarakat.
Perkembangan materialisme saat ini secara berangsur telah memperlihatkan
dampaknya yaitu pola pembangunan yang kurang mempertimbangkan kondisi
lingkungan dan sumber daya alam yang tersedia. Manusia cenderung
mengkonsumsi sebanyak-banyaknya sumber daya alam tanpa
mempertimbangkan upaya-upaya untuk melakukan pemulihan.
Ketika kita memperhatikan bagaimana proses produksi terpenuhi di era
modernism dan telah mengalami pada tingkat kejenuhannya, maka secara
bertahap terjadi pergeseran pemikiran tentang bagaimana benda hasil produksi
dapat diserap oleh pasar, melalui peningkatan penerimaan oleh konsumen.
Pada era ini pandangan hidup dunia lebih difokuskan pada bagaimana
mengelola konsumen pada tingkat konsumsi dari produksi, bukan lagi pada
tahap produksi yang menjadi fokus perhatian. Pemahaman tersebut dituangkan
oleh seorang sosiolog Featherstone (1991), dengan pernyataannya “bahwa
masyarakat saat ini adalah sebuah masyarakat yang memiliki ciri konsumtif”.
Ciri-ciri tersebut diperlihatkan melalui fenomena pergeseran pola pikir
masyarakat kapitalis yang bergeser dari berorientasi produksi ke arah
masyarakat yang konsumtif. Para kapitalis menitik tidak lagi menitik-beratkan
pada kontrol atas produksi secara umum dan pekerja produksi secara khusus.
Titik perhatiaan saat ini telah beralih pada pengontrolan konsumsi secara
umum, terutama pandangan hidup dan aksi-aksi konsumen yang diarahkan
pada perilaku konsumtif, perhatian besar dicurahkan untuk mendorong
masyarakat mengkonsumsi sesuatu yang lebih banyak dengan variasi yang
lebih besar. Sehingga era ini ditandai dengan meningkatnya peran penting
aspek promosi melalui media.
Ketika terjadi pergeseran fokus perhatian dari produksi ke komsumen, maka
masyarakat sebagai konsumen menjadi pusat perhatian dalam berbagai
keputusan, dan selain menawarkan kecepatan sebagaimana yang diusung oleh
pemikiran modernis, juga dikembangkan unsur kesenangan yang menjadi daya
tarik konsumen. Di era budaya, saat ini, masyarakat mengeluarkan dananya
bukan karena kebutuhan untuk memenuhi kehidupan dan penghidupannya akan
tetapi oleh lebih pada aspek kesenangan belaka, sebagai gambaran budaya
yang dapat dicontohkan disini adalah budaya makan di restoran cepat saji,
muculnya simbol-simbol dari pengguna restoran cepat saji tersebut sebagai
penyataan bahwa penggunanya sebagai bagian dari peradaban yang dianggap
memiliki posisi paling baik, karena ketika kita bicara citra rasa dari menu,
cenderung monoton dari masa, waktu dan tempat yang berbeda. Restoran cepat
saji tersebut pada awalnya adalah sebuah hasil dari pemikiran indutrialisasi
yang menuntut kecepatan waktu, namun saat ini produk tersebut sudah
disajikan dalam bentuk kesenangan penggunannya, penciptaan simbolis-
[73]
simbolis tertentu untuk meraih kesenangan bagi pemakainya. Lahirnya efek-
efek simbolis merupakan cerminan dari pemikiran yang melihat jauh pada
sudut pandang metafisik dan dapat mendorong ambiguitas yang cukup
menonjol.
Pada uraian di atas dapat dilihat ada siasat yang dicitrakan oleh kelompok
kapitalis untuk tetap mempertahankan eksistensinya, bahkan dirasakan atau
tidak dirasakan oleh para arsitek, bahwa banyak arsitek di tanah air ini yang
terbawa oleh siasat atau politik kapitalis tadi, sehingga banyak fungsi arsitek
yang hanya mengamini keinginan pelaku kapitalis. Sebagai gambaran pada saat
akan diadakan pembangunan sebuah mall di satu wilayah yang sebenarnya
wilayah tersebut sudah mencapai titik kejenuhan dari fungsi mall, tersebut,
maka ketika order tersebut jatuh kepada seorang arsitek, dia tidak berdaya
untuk memberikan solusi terhadap apa yang akan terjadi ketika mall tersebut
dibangun, ketika ada peluang mematikan mall yang lain atau mall yang sedang
dirancangnya pun akan segera mati sebelum berfungsi.
Beberapa kemungkinan yang membuat seorang arsitek tidak berdaya
menghadapi hal ini, mungkin dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan, atau
yang dikhawatirkan bila arsitek itu sendiri sudah terperangkap oleh kondisi
kapitalisme dan metarialisme, sehingga yang dianut hanya nilai-nilai yang
penting dapat proyek, yang penting dapat uang, bila hal ini sudah berkembang
pada pemikiran para arsitek di Indonesia maka kita hanya tinggal menunggu
kerusakan dan kekacauan yang akan dihasilkan. Sebagai gambaran fenomena
ini mungkin sudah terjadi, kita bisa saksikan saat ini banyak mall-mall yang
barus dibangun beberapa tahun akan tetapi ocupancy-nya belum terpenuhi,
bahkan beberapa mall terpaksa gulung tikar (di Holis, di Jatinangor, di By
Pass, dsb).
Pada persoalan ini seorang arsitek dituntut mampu berpolitik dengan client dan
regulator agar objek pembangunan yang ditangani dapat memberikan nilai-nilai
baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tanggung jawab kepada
sesama manusia, lingkungan serta Tuhannya. Bila tidak mampu melakukannya,
maka kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin bertambah parah,
bahkan lingkungan binaan yang menjadi produk arsitek akan menjadi senjata
kehancuran bumi ini, setidaknya turut berkontribusi terhadap kerusakan
lingkungan.
[75]
Indonesia, bahkan kebanyakan arsitek Indonesia berada pada posisi lemah bila
berhadapan dengan Client, hal ini ditandai oleh kemudahan para clien untuk
memaksakan kehendaknya terhadap disain, tanpa mempertimbangkan aspek
disain secara menyeluruh, sehingga dapat saja mengorbankan sesuatu hal yang
sifatnya di luar kepentingan client, sebagai contoh kembali disampaikan kasus
Babakan Siliwangi, bagaimana seorang arsitek harus tunduk pada keinginan
pengembang, yang memprioritaskan keuntungan ekonomi di atas kepentingan
lingkungan ekologis dan lingkungan budaya.
Client seorang arsitek tidak sebatas seorang individu, kelompok, swasta,
bahkan client seorang arsitek dapat juga unsur pemerintah, pemerintah melalui
kegiatan-kegiatannya sering juga memaksakan kekuasaannya sebagai yang
menguasai seorang arsitek, kita ambil saja sebagai contoh bagaimana rencana
pembangunan Mesjid di kawasan kantor pemerintahan di Gedung Sate
Bandung, yang sempat menggemparkan masyarakat kota dan dunia profesi
arsitek. Pada saat pembangunan itu sedang dilaksanakan dan dihentikan,
tentunya disain tampak bahwa arsitek berada pada posisi lemah, arsitek tunduk
pada keinginan penguasa, arsitek tidak mampu memberikan sebuah
pertimbangan rasional terhadap keberadaan mesjid di dalam kompleks tersebut,
bahkan pertimbangan rasional berkaitan dengan pelayanan yang disarankan
oleh SNI 03-1733-2004, tidak mampu diterapkan oleh arsitek dan disampaikan
kepada penguasa. Sebagaimana aturan dalam SNI tersebut bahwa setia fungsi
sarana peribadatan sebuah kota atau wilayah memiliki batasan jumlah
penduduk dan lingkup layanan, sedangkan pada letak mesjid kompleks tersebut
tidak jauh dari kompleks pemerintahan kita ketahui terdapat dua buah mesjid
yang tingkat pelayanannnya cukup luas, yaitu Mesjid Istiqomah dan Mesjid
Pusd’ai.
Pada era demokrasi saat ini, masih terlihat bahwa profesi arsitek belum
mencapai tingkat demokratisasi, banyak arsitek yang masih terkungkung oleh
kelemahan posisinya dibandingkan client. Seharusnya hal ini tidak terjadi
mengingat disain merupakan sebuah alat, yang dapat menyelesaikan berbagai
konflik kepentingan dan dirumuskan dalam disain, kemampuan penyelesaian
berbagai konflik tadi menjadi bagian dari pesan moral dan etika seorang
arsitek, ketika seorang arsitek berkehendak untuk menyelesaikan konflik tadi
kedalam sebuah disain maka ia dapat dikategorikan sebagai arsitek yang telah
beretika.
Untuk menghadapi hal tersebut sepatutnya setiap arsitek harus selalu
meningkatkan kemampuan serta pengetahuan disain, selain jam terbang dalam
ber-arsitektur. Mau tidak mau hal ini harus dilakukan mengingat
perkembangan teknologi serta ilmu pengetahuan lainnya senantiasa
berkembang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut telah mendorong
kebutuhan dan keinginan client selalu berubah-ubah.
[76]
Hubungan kerja antara arsitek dan client-nya diatur dalam surat kontrak dan
perjanjian kerja, dimana didalamnya mengatur mengenai hak dan kewajiban
dari keduabelah pihak. Termasuk didalamnya diatur ketika terjadi perselisihan
maka langkah apa yang harus ditempuh.
Hubungan Arsitek dengan Sejawat
Arsitek harus meningkatkan semangat kesejawatan antara sesama arsitek dalam
bentuk saling mengingatkan dengan cara silih asih, asuh, dan asah, tanpa harus
membeda-bedakan ras, suku, agama, maupun gender. Pembinaan dari arsitek
senior kepada arsitek muda perlu dilakukan untuk mengembangkan kecakapan
dalam profesionalismenya.
Kaidah tata laku 5.202 menyatakan bahwa “Arsitek tidak diperkenankan untuk
mengambil alih hak intelektual atau memanfaatkan karya/kreasi atau ide dari
arsitek lain tanpa ijin yang jelas dari arsitek pemilik gagasan tersebut” untuk
itu juga seorang arsitek harus dapat memberikan apresiasi terhadap karya
arsitek lain serta untuk dirinya harus membangun profesionalisme dan citra diri
melalui kemampuan diri bukan dengan memanfaatkan arsitek lain.
Hubungan sejawat saat ini difasilitasi melalui berbagai wadah seperti IAI,
PSAI, AMI, atau lembaga-lembaga lainnya, namun yang terpenting ketika
wadah-wadah yang mengayomi perkumpulan para arsitek tersebut tidak saling
bersingungan akan tetapi harus menjadi sinergi, satu dengan yang lainnya
mampu mengisi kekosongan dari yang lain dan saling melengkapi sehingga
terwujud warna arsitektur nusantara yang senantiasa diidam-idamkan.
Hubungan sejawat ini perlu dipahami bahwa profesi arsitek saat ini tersebar
pada berbagai profesi, seperti arsitek yang bergerak dalam perencanaan dan
perancangan bangunan dan bekerja dalam biro atau konsultan arsitektur, arsitek
yang bergerak sebagai pendidik yaitu yang berada di lembaga-lembaga
pendidikan perguruan tinggi, arsitek yang berfungsi sebagai birokrat, arsitek
yang bergerak sebagai kontraktor, dan arsitek yang bergerak sebagai peneliti.
Jalinan antara sejawat tersebut seharusnya dapat melingkupi berbagai profesi
tersebut, sebagaimana kita ketahui apa yang dilakukan dalam disain tentunya
harus dapat dilakukan pada tingkat pelaksanaan, demikian juga apa yang
dilakukan oleh para peneliti arsitek (baik yang berada di bawah lembaga
pendidikan maupun di bawah lembaga litbang), produk litbangnya harus dapat
digunakan dan oleh para arsitek profesional yang bergerak di lingkup disain
serta arsitek yang bergerak dilingkup kontraktor.
Hubungan yang baik antara berbagai profesi yang digeluti para arsitek
memungkinkan pengembangan ilmu arsitektur berjalan dengan baik, bahwa
wadah-wadah yang mampu menyatukan hubungan lintas profesi diantara
arsitek tadi boleh dikatakan masih kurang, sehingga kita masih berpikir dan
bergerak sektoral, seorang arsitek di sebuah konsultan perencanaan mungkin
[77]
enggan berkomunikasi dengan arsitek yang bergerak di kelitbangan, demikian
juga sebaliknya arsitek yang bergerak di kelitbangan tidak membuka
komunikasi dengan arsitek yang bergerak sebagai praktisi baik di konsultan
perencanan maupun di sebuah kontraktor pembangunan. Selama para arsitek
dalam berhubungan dengan sejawat membatasi pada kelompok-kelompok kecil
dalam IAI, AMI, PSAI, HAKI, INKINDO, dan Forum Kelitbangan, maka
boleh yakin bahwa perubahan ilmu arsitektur sangat sulit terwujud. Kondisi
demikian sangat sulit bagi para arsitek di tanah air untuk dapat berkiprah dalam
ilmu arsitektur pada skala internasional, atau kita sebagai penggerak keilmuan
di bidang arsitektur. Tidak salah bila kita selalu mengadopsi ilmu-ilmu
arsitektur dari luar, sangat sedikit dan kurang ilmu arsitektur yang kita
kembangkan sendiri.
Peluang untuk penggalian ilmu arsitektur kita sangat terbuka, dan kita memiliki
sumber daya arsitektur yang berlimpah, yaitu yang berasal dari arsitektur
tradisional maupun arsitektur vernakular kita. Kita harus mulai menggali dan
menuliskan bentuk-bentuk kearifan lokal ke dalam wadah keilmuan arsitektur
nasional kita. Sehingga generasi ke depan tidak akan kehilangan jejak-jejak
arsitektur nusantara, yang semakin hari semakin pudar dimakan oleh waktu dan
ideologi luar yang masuk dengan kuat memengaruhi bangsa dan keilmuan kita.
Hubungan Arsitek dengan Regulator
Lembaga eksekutif dan legislatif saat ini boleh dikatakan sebagai lembaga
regulator, namun secara substansi regulasi lebih banyak disiapkan oleh
lembaga eksekutif dalam hal ini pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Hal apa yang menjadi catatan penting dalam kaitan
hubungan antara arsitek dengan regulator, tentunya fungsi regulator itu sendiri
yang berpengaruh terhadap bentukan arsitektur melalui ketentuan-ketentuan
yang membatasi sebuah disain
Fungsi regulator utama saat ini diperankan oleh pemerintah dan lembaga
perwakilan rakyat di DPR, baik itu pada tingkat pusat maupun daerah pada
tingkat propinsi mapun kota atau kabupaten dan bagaimana peran arsitek
masuk pada proses penyusunan sebuah regulasi. Untuk memahami ini, kita
harus terlebih dahulu mengacu pada Undang-Undang No. 10/2004, tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana secara garis besar
diamanatkan bahwa terdapat hirarki peraturan perundangan di Indonesia,
dimana Undang-Undang Dasar 45 menjadi udang-undang tertinggi yang harus
diacu oleh undang-undang lainnya, dilanjutkan oleh peraturan pemerintah,
peraturan presiden dan peraturan daerah.
Pada hal perundangan-undangan yang berkaitan dengan arsitektur saat ini
terdapat dua undang-undang yang mengatur dengan cukup kuat, yaitu Undang-
Undang Bangunan Gedung No. 28/2002 serta Undang-Undang Jasa Konstruksi
[78]
No. 18/1999. Kedua undang-undang tersebut beberapa telah ditindak lanjuti
dalam peraturan pemerintah dan keputusan menteri terkait, selanjutnya
Undang-Undang Bangunan Gedung (UUBG) seharusnya ditindak lanjuti pada
tingkat daerah menjadi Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung, karena
setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dengan daerahnya, maka
diwajibkan setiap daerah menyiapkan Peraturan Daerah berkaitan dengan
Bangunan Gedung.
Yang menjadi pokok permasalahan sejauh mana arsitek terlibat didalam
penyusunan Undang-undang maupun Peraturan Daerah tersebut. Peran aktif
seperti apa yang diharapkan arsitek baik secara individu maupun secara
lembaga yang diwakili oleh IAI, PSAI, atau yang lainnya dapat memberikan
pengaruhnya. Dapat disampaikan bahwa perannya sampai saat ini sangat
kurang, hal ini dapat dirasakan ketika dilakukan rapat Konvensi (konsensus)
sebuah peraturan yang berkaitan dengan aspek teknis maupun aspek non teknis
berkaitan dengan bangunan gedung, yang dilakukan oleh lembaga ad-Hoc yang
dibentuk oleh Pemerintah, tingkat partisipasi dan peran serta aktif dari
masyarakat arsitektur sangat kurang.
Pada sisi lain, bahwasanya inisiasi regulasi yang berkaitan dengan peraturan
bangunan baik dalam bentuk Peraturan Menteri, peraturan daerah, atau pun
peraturan Teknis yang dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI),
lebih banyak di inisiasi oleh pemerintah, dan hampir kurang lembaga asosiasi
profesi menyampaikan atau mengajukan usulan pengaturan teknis tersebut.
Pada beberapa negara maju bahwa asosiasi profesi berperan aktif mengusulkan
pengaturan-pengaturan khususnya yang bersifat teknis.
Ketidak aktifan dalam penyusunan regulasi dari sebuah profesi arsitek tentunya
secara tidak langsung telah melemahkan posisinya dalam pembangunan ini,
khususnya pembangunan bangunan gedung, terlepas kita dapat mengelak
dengan menyatakan bahwa aturan di negeri ini masih dapat diatur. Akan tetapi
tetap bahwa posisi arsitek akan menjadi lemah secara normatif.
Peluang arsitek masuk dalam keanggotaan masyarakat standar (Mastan)
merupakan satu jalan masuk untuk mulai memengaruhi kebijakan teknis dalam
penyusuanan pengaturan. Bagaimana IAI mulai membuka diri dengan
anggotanya untuk melibatkan diri dalam penyusunan berbagai peraturan yang
diberlakukan di Indonesia, bagaimana IAI mulai mempersiapkan standar-
standar teknis di bidang arsitektur, sehingga akan membuka peluang penguatan
posisi arsitek dalam kancah pembangunan nasional.
[80]
dalam kaida-kaidah etika dan sebagai bentuk pertanggung jawaban moril
terhadap lingkungannya.
Bahwa suatu lingkungan binaan yang baik ketika lingkungan tersebut dapat
memberikan pembelajaran kepada manusia sebagai pengguna dalam
pembentukan perilaku, khususnya perilaku yang lebih baik dalam tata
kehidupan yang kelak dapat menunjang kehidupan dirinya serta kelangsungan
lingkungan hidupnya, yang tidak terlepas dari lingkungan alamiah dan
lingkungan binaan, untuk itu fungsi lingkungan binaan seharusnya dapat
menggantikan fungsi lingkungan alamiah yang telah diubah oleh arsitek.
Standar etika 2.2 tentang pelayanan untuk kepentingan masyarakat umum
mengamanatkan bahwa “arsitek selayaknya melibatkan diri dalam berbagai
kegiatan masyarakat, sebagai bentuk pengabdian profesinya, terutama
membangun pemahaman masyarakat akan arsitektur, fungsi, dan tanggung
jawab arsitek”, bahwa setiap bangunan dan lingkungan binaan tersebut dapat
menjadi wadah pembelajaran bagi penggunanya dan menjadi pengguna
mendapatkan kualitas kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.
Arsitek dan bangunan maupun lingkungan binaan memiliki keterkaitan kuat
baik hubungan positif ketika bangunan dan lingkungan binaan tersebut
memberikan dampak yang baik atau sebaliknya ketika karya arsitek tersebut
menjadi cemooh masyarakat bahkan dapat saja memakan korban seperti
gedung Jamsostek dan menara ITC di Jakarta yang memakan korban dan harta
benda, yaitu peristiwa terjatuhnya sebuah mobil dari tempat parkir di lantai atas
banguanan tersebut.
[81]
Dalam hal ini banyak karya-karya abadi yang tercipta dari seorang yang
memiliki kecintaan kepada Sang Penciptanya, seperti Michelle Angelo, dia
melukis dinding plafond dari gereja St. Sitine, hanya mengharap kerido’an
Tuhannya, dalam satu kisah diriwayatkan ketika Michelle Angelo terus bekerja
bertahun-tahun melukis plafond gereja, sang Paus, pemimpin gereja saat itu
memerintahkan untuk segera menghentikan pekerjaan Angelo, karena menurut
dia lukisannya sudah terlalu bangus untuk dilihat dari bawah, tapi Sang Pelukis
tetap tidak mau menghentikan dengan alasan, dia melukis dipersembahkan
untuk Tuhan, dan dia yakin Tuhan dapat melihat lebih detail lukisannya,
sehingga kesempurnaan dia terus bekerja sampai sedetail mungkin. Alhasil
karya tersebut sampai saat ini menjadi karya yang abadi, dan masuk ke dalam
salah satu keajaiban dunia, sehingga selalu dipelihara dan diabadikan bahkan
dikenang sampai akhir jaman tentunya.
Banyak karya-karya yang kemudian hari menjadi karya abadi ketika pada
proses penciptaannya melibatkan emosi CINTA, seperti bangunan Taj Mahal
di India. Nama Taj Mahal berasal dari nama istri Raja Syech Jeihan yang
mendirikannya, Mumtaz Mahal. Bangunan yang diciptakan karena cinta
kepada Sang Maha Pencipta ini, juga diberi nama pada pujaan hati
(permaisuri) yang sangat disayanginya ,Mumtaz Mahal. Ungkapan CINTA
tersebut dapat diwujudkan tidak sebatas manusia dengan manusia, tapi juga
manusia dengan Tuhan-nya, bahkan CINTA seorang pemimpin terhadap
Bangsanya, seperti karya Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, merupakan
ungkapan rasa CINTA Bung Karno terhadap Indonesia, negeri yang
dipimpinnya.
Cinta hanya terlahir dari sebuah ketulusan dan dibangun dalam diri dan oleh
dirinya, sangat sulit sekali cinta dipengaruhi oleh fantor ekternal, tentunya
dalam konteks ini cinta terhadap profesi, seperti kata mutiara yang menyatakan
“kerjakan pekerjaan yang harus kamu kerjakan bukan pekerjaan yang kamu
suka mengerjakannya”.
4.6. Penutup
Etika memegang peran utama dalam perkembangan profesi asritektur, etika
mampu membuka dalam pengembangan ilmu arsitektur, melalui etika
kehidupan ber-arsitektur akan berjalan dengan baik, etika merupakan suatu tata
nilai yang tidak saja tertulis dalam kode etika akan tetapi harus melekat dalam
sikap disain seorang arsitek. Etika dan praktek arsitektur dari periode ke
periode selalu berubah, hal ini diakibatkan oleh tata nilai yang juga selalu
berubah, namun demikian pada tingkatan tata nilai tersebut masih ada tata nilai
yang sulit dan mungkin perubahan hampir tidak terjadi, tata nilai tersebut
biasanya yang menyangkut kemanusiaan, sedangkan tata nilai yang sifatnya
[82]
fisik dan itu melekat pada tata nilai teknis dan teknologi, perubahan sangat
pesat.
Etika memberikan tata atur dalam kehidupan ber-arsitektur, baik itu yang
menyangkut tata perilaku arsitek, tata perilaku disain dan karya arsitek, tata
dan perilaku yang berkaitan dengan pembangunan dengan hubungannya
dengan client, regulator serta profesi lain yang berkaitan dengan dunia disain,
seperti kelitbangan, kontraktor, maupun edukasi, seluruh tata atur dan perilaku
tersebut bermuara pada perwujudan moralitas dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai, nilai-nilai yang diangkat dari nilai-nilai sosial budaya, maupun nilai-nilai
yang disusun dalam bentuk norma-norma yang tertulis dalam bentuk regulasi
teknis maupun regulasi administratif.
Pada akhir tulisan ini diungkapkan dua point utama yaitu tatangan masa depan
yang semakin berat dengan isu kerusakan lingkungan dimana arsitektur
dianggap sebagai salah satu kontributor terbesar dari kerusakan tersebut serta
bagaimana sikap profesional arsitek menghadapi berbagai persoalan yang tidak
kunjung tuntas.
Tantangan Masa Depan
Dua tantangan besar profesi arsitek saat ini, yaitu kerusakan lingkungan serta
menurunnya kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Tantangan utama arsitek
saat ini adalah liberalisme yang berkembang diseluruh lini masyarakat
Indonesia, namun sayangnya bahwa meterialisme yang berkembang saat ini
bangsa Indonesia hanya berperan sebagai konsumen terbesar.
Melalui pendekatan disain yang baik dengan menjujung tinggi moral arsitek
sebagai pelaku disain seharus dapat melakukan perubahan-perubahan yang
cukup signifikan, bagaimana moralitas tersebut dijunjung tinggi melalui
kepedulian terhadap kondisi sosial yang semakin hari menunjukkan
dekandensi, dan disain harus dapat mengubahnya untuk meningkatkan kembali
nilai-nilai kemanusian, sebagaimana seorang sosiolog Perancis Le Play
sampaikan bahwa “kehidupan manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan”
demikian juga Jon Lang menyatakan bahwa “antara manusia dan lingkungan
terjadi interaksi”, dengan demikian arsitek memegang peran penting dalam
perwujudan lingkungan binaan yang baik yang mampu penempatkan manusia
pada kedudukannnya sebagai manusia dan hidup berdampingan dengan
lingkungan secara harmonis.
Suatu lingkungan binaan yang baik tidak akan terlepas dari tindakan arsitek
yang profesional yaitu bertindak penuh tangung-jawab. Seorang perencana
yang cerdas dan berbudi-pekerti yang baik, dimana pekerjaan perencanaan
merupakan bagian dari amanah, sebagaimana manusia merupakan khalifah di
muka bumi.
[83]
Sikap Profesi yang Profesional
Sikap profesional pada profesi arsitek adalah sikap penuh tanggung jawab
terhadap karya disainnya, dan sikap profesional dakam bentuk pertangung
jawaban tersebut tidak sebatas pada penyelesaian permasalahan bila terjadi
masalah pada disainnnya, akan tetapi sikap profesional yang diharapkan dari
seorang arsitek adalah sikap mengantisipasi permasalahan yang muncul dari
konsekuensi disain, sebelum permasalahan itu terjadi. Akhirnya bahwa seorang
arsitek selalu mempertimbangkan kemungkinan atau dampak yang terjadi dari
disainnya, sehingga ketika disain itu dilakasanakan tidak terjadi dampak
negatif, baik dampak negatif yang terjadi pada pengguna bangunan maupun
dampak negatif yang terjadi pada lingkungan.
Untuk dapat bersikap demikian seorang arsitek senantiasa harus selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam lingkungan sosial budaya
serta spiritual dari arsiteknya, untuik itu setiap arsitek senantiasa harus mampu
mengembangkan tiga kemampuan diri yaitu meningkatkan kecerdasan
spiritual, kecerdasan emosional serta kecerdasan intelegensia. Ketiga
kecerdasan tersebut memungkinkan seorang arsitek melakukan tindakan disain
dengan metoda dan cara berpikir yang komprehensif holistik dan menyeluruh.
[84]
[5] Ruang Publik Rumah Susun
Dalam pembentukan karakter budaya
[87]
Single-loaded double-loaded
centre
Bagan 1. Tipikal bentuk rumah susun sederhana
[88]
Penelitian tentang ruang publik pada rumah susun sedarhana, sesuai dengan
fungsinya bahwa ruang publik tersebut diperuntukan untuk menampung
kegiatan-kegiatan bersama penghuni dalam rumah susun, sehinga di dalamnya
terdapat unsur-unsur pola perilaku penghuni, yang mengalami perubahan, dari
pola ruang publik di atas tanah menjadi ruang publik dalam sebuah bangunan.
Sehingga dalam proses pemahaman perilaku penhuni tersebut diperlukan
penggalian terhadap pola perilkua masyarakat sebelum tinggal di rumah susun,
yang dapat diambil dari pola perilaku masyarakat yang tinggal di kampung
kota sebagai pembanding dengan pola perilaku masyarakat yang tinggal di
rumah susun. Hal ini untuk mengamati perilaku apa saja yang dibawa ke rumah
susun dan perilaku apa saja yang dibentuk oleh rumah susun, seluruh perilaku
tersebut akan menbentuk sebuah perilaku masyarakat rumah susun (budaya
rumah susun).
Atas dasar tersebut, maka sebagai dasar pemikiran penelitian ini adalah “ruang-
ruang publik pada rumah susun membentuk perilaku penghuni dalam rumah
susun, sebagai sebuah proses adaptasi penghuni yang kelak dapat menjadi
sebuah bentuk budaya rumah susun”. Untuk itu disusun sebuah tesa : bahwa
ruang dalam rumah susun memberikan pengaruh terhadap perilaku penghuni
yang secara bertahap akan mengalami perubahan, sebagai proses adaptasi
sosial budaya terhadap spasial, sehingga perencanaan ruang dalam rumah
susun tidak hanya sebatas fisik semata akan tetapi non fisik menjadi
pertimbangan sebuah disain.
Untuk menjawab hipotesa di atas, maka perlu memahami terlebih dahulu
bagaimana sebuah ruang memberikan nilai dan kualitas ruang, sebagaimana
ruang dapat memberikan berbagaimacam perasaan kepada manusia, ada ruang
yang memberikan rasa takut, mencekam, juga ada ruang yang memberikan rasa
nyaman, tenang. Kondisi dan kualitas ruang tersebut akan berdampak bagi
manusia, ruang yang menimbulkan perasaan menyeramkan akan membuat
manusia menjadi stres, sehingga akan membuat manusia itu sakit. Perasaan-
perasaan demikian akan muncul pada bangunan rumah susun, karena penghuni
rumah susun akan mengalami suatu perubahan kebiasaan hidup, dari kebiasaan
hidup di atas tanah menjadi dalam bangunan. Kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan di atas tanah menjadi di dalam bangunan.
Pada tahap awal pertanyaan yang harus dapat terjawab adalah bagaimana
masyarakat memanfaatkan ruang-ruang publik? Apakah ruang-ruang publik
tersebut telah mampu mewadahi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan
kehidupannya dalam rumah susun? Dan kegiatan-kegiatan apa saja yang terjadi
pada ruang publik di rumah susun baik itu yang terbentuk akibat tempat tinggal
di rumah susun ataupun kegiatan-kegiatan yang dibawa dari tempat sebalum
tinggal di rumah susun, serta kegiatan-kegiatan apa saja yang hilang dari
tempat tinggal sebelum tinggal di rumah susun?. Pada proses adaptasi itu dapat
[89]
diperkirakan akan terjadi pembentukan kegiatan baru dan penghapusan
kegiatan lama termasuk kegiatan lama yang tetap bertahan akan tetapi
mengalami adaptasi.
Untuk itu perlu dipahami bagaimana ruang dapat memengaruhi perasaan
manusia?, dan bagaimana dampak dari perasaan yang terjadi pada diri manusia
tersebut dapat memengaruhi pada perubahan perilaku manusia, sebagaimana
kita ketahui pola perilaku kehidupan manusia dalam lingkungan perumahan
dan permukiman memiliki pola-pola tertentu yang dibentuk oleh pola ruang
yang selama ini membentuk dirinya, namun ketika pola-pola ruang tersebut
harus berubah, tentunya akan berpengaruh terhadap perilaku manusia.
Selanjutnya perlu dikenali aspek-aspek ruang apa saja yang memengaruhi
perubahan perasaan yang ditandak lanjuti oleh perilaku manusia?, dalam hal
ini, ruang memiliki dimensi fisik dalam satuan luas, volume, warna, tekstur,
dsb dan non fisik seperti kenyamanan, yang keseluruhannya akan diterima oleh
manusia melalui inderawi.
Setelah memahami bagaimana ruang dapat memengaruhi perilaku manusia dan
aspek-aspek ruang saja yang dapat memengaruhi perubahan tersebut,
pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sebuah ruang publik dalam rumah
susun dapat membentuk perilaku penghuni? yang akhirnya akan menciptakan
sebuah budaya rumah susun.
Bagaimana pengaruh berbagai pola ruang terhadap pembentukan perilaku
masyarakat dalam pembentukan karakter budaya hidup di rumah susun,
merupakan sebuah pertanyaan yang segera mendapatkan jawabannya.
Bagaimana pengetahuan toretis tentang pengaruh ruang public dalam rumah
susun terhadap pola pembentukan budaya berkehidupan di rumah susun, untuk
itu perlu kita memiliki beberapa pemahaman diantaranya:
Pemahaman pola-pola ruang publik dalam rumah susun
Pemahaman bagaimana masyarakat memfungsikan fungsi ruang
public sebagai penunjang aktifitas komunitas
Pemahaman tentang pengaruh ruang terhadap perubahan perilaku
manusia, ruang bagaimana yang memberikan pengaruh positif
sehingga menghasilkan perilaku baik dan sebaliknya pengaruh negatif
ruang terhadap perilaku buruk seperti vandalisme, kriminalitas, dsb
Pemahaman tentang ruang-ruang positif yang membentuk perilaku
masyarakat dalam berbudaya rumah susun
Pemahaman tentang kebutuhan ruang publik pada sebuah rumah
susun, sebagai pegangan seorang perencana dalam penyusunan disain
[90]
sebuah rumah susun yang mempu memberikan peningkatan kualitas
kehidupan dan penghidupan penghuninya.
[91]
Menurut Gottdiener yang memberikan konsep kunci dari pembangunan kota,
menyatakan bahwa “All social activities are also about space. Space is integral
factor in everything we do. Understanding this idea means that, when we
explore built environment, we must pay as much attentions to the way space
helps define our behavior as other variables of a social or interctive kind.
Attention to the spatial aspects of humam life means that design and
architecture all play an important role in the way people interact.”, tata ruang
lingkungan memiliki kandungan simbol-simbol dan tanda-tanda yang
merepresentasikan pikiran-pikiran masyarakat. Ruang memiliki makna dari
kehidupan dan penghidupan manusianya merupakan hal yang sangat penting
dalam uraiannya Gottdiener.
Komunikasi dalam Arsitektur
Mengapa komunikasi dalam arsitektur ini perlu dikembangkan, hal ini
dikarenakan, manakala wujud arsitektur mampu memberikan informasi sebagai
alat dalam komunikasi, kepada manusia yang menggunakan arsitektur
tersebut, dan informasi yang disampaikan itu baik, maka manusia akan
merespon baik terhadap komunikasi tersebut. Proses ini merupakan hal yang
wajar, sebagai contoh manakala seorang pedagang menawarkan barangnya
kepada pembeli dengan bahasa yang santun, maka pembeli akan mudah
tertarik, dengan ucap santun pedagang tadi, maka akan direspon dengan
kesantutan kembali. Yang menjadi permasalahan dalam arsitektur bahasa yang
santun tersebut terwujud dalam bentuk apa?. Untuk sementara penyusun
mencoba menyampaikan dengan istilah simbol yang ditangkap oleh manusia
sebagai makna. Seperti halnya komunikasi antara manusia agar direspon
dengan baik maka keduanya harus saling menjaga etika, selanjutnya etika
seperti apa yang diperlukan dalam bahasa arsitektural.
Simbolisasi yang akan dikupas dalam telaah ini, penyusun coba lebih dari pada
simbolisasi-simbolisasi yang dibawa oleh bangunan untuk menunjukan fungsi,
akan tetapi simbolisasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi intensif
antara manusia dengan arsitektur sepanjang waktu. Ada dua aspek yang akan
digali dalam bahasa komunikasi arsitektur, yaitu bahasa yang disampaikan oleh
ruang dan bahasa yang disampaikan oleh masa, ibarat bahasa non verbal dan
verbal dalam ilmu komunikasi secara umum. Tentunya kedua unsur bahasa
yang digunkan dalam komunikasi tersebut saling berkaitan. Bahwa ungkapan
kata-kata akan bermakna lain manakala disampaikan dengan cara mimik wajah
dan gerak tubuh yang berbeda.
Kumunikasi terjadi dimana-mana, antara hewan dengan hewan terjadi
komunikasi, antara tanaman dengan tanaman lainnya juga terjadi komunikasi,
bahkan menurut Prof. Hafid Cangara bahwa “ Seseorang yang sedang duduk
sendirian membaca buku dan mendengarkan radio dalam kamar dapat
digolongkan sebagai komunikasi, hal ini disebabkan manusia menerima pesan-
[92]
pesan dari buku dan radiao tadi”. Artinya satu aspek terpenting adalah dalam
komunikasi itu harus ada pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi
arsitektural ini pesan harus ada. Bagaimana pesan itu ada, dan pesan itu
beretika sehingga menghasilkan komunikasi yang baik, maka peran perencana
sangat tinggi.
Pesan (meaning) harus disampaikan oleh bangunan kepada manusia dan
diterima dan direspon oleh manusia. Melalui pesan yang ingin disampaikan
diharapkan terjadi perubahan tingkah laku dari sipenerima pesan, hal ini
ditegaskan oleh sosiolog Everest M Rogers yang dikutip oleh Prof. Hafid “
komunikasi adalah proses dimana suatu ide/pesan dialihkan dari sumber
kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
mereka”. Faktor kuat dalam komunikasi antara arsitektur dan manusia adalah
bagaimana penggalian pesan-pesan arsitektur dapat disampaikan.
Simbolisasi sebagai Bahasa Arsitektur dalam Pemaknaan
Dalam ilmu arsitektur pesan tidak terlepas dari makna, yang merupakan hasil
pemaknaan, makna tersebut ditangkap oleh manusia karena manusia memiliki
simbol-simbol dan kode-kode yang tumbuh dalam pikiran manusia, hal ini
tumbuh karena sesuai dengan perkembangan manusia, Van Peursen membangi
menjadi empat tahapan, yaitu tahapan mistis, onthologis, dan fungsional.
Sejalan dengan perkembangan filsafat ilmu pengetahuan maka tahapan tadi
juga dapat digambarkan sebagai tahapan onthologis, epistemologi dan
aksiologis. simbol dan kode dalam arsitektur diciptakan oleh kemampuan
manusia akibat dari keterampilan pikirannya, yaitu yang dikatakan dengan
akal.
Simbol merupakan suatu proses komunikasi yang dipengaruhi oleh kondisi
sosial budaya masyarakatnya, sehingga setiap suku budaya biasanya memiliki
simbol-simbol tertentu, tentunya tidak dengan arsitektur, dalam arsitektur kita
masih dapat menemukan simbol-simbol yang sifatnya universal. Karena bila
simbol-simbol dalam arsitektur hanya terbatas pada kondisi sosial tertentu saja
maka arsitektur belum dapat menjadi ilmu yang universal. Selajutnya
diungkapkan bahwa “simbol terkait dengan arsitektur adalah pemaknaan dari
suatu benda, konsep, atau peristiwa yang membawa dampak pada bentukan
arsitektur”. Dengan demikian telaah lebih jauh simbol ini melalui ilmu
komunikasi.
Untuk mulai memahami pengertian dari simbol, kita perlu mengupas beberapa
pendapat ahli dalam mendefinisikan simbol. Salah satu definisi symbolism
disampaikan oleh A.N. Whitehead dalam bukunya “Symbolism”, sebagai
berikut “pikiran manusia berfungis secara simbolis manakala beberapa
komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan,
dan gambaran mengenai komponen komponen lain dari pengalamannya.
[93]
Perangkat komponen yang awal adalah simbol dan perangkat komponen yang
selanjutnya membentuk/memberikan makna dari simbol. Keberfungsian
organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu
dinyatakan sebagai referensi”. Makna merupakan pesan yang akan
disampaikan dalam setiap simbol, dengan demikian terdapat unsur persepsi
manusia terhadap sesuatu yang bersifat benda maupun bukan kebendaan.
Deskripsi Simbol sementara dapat disimpulkan sebagai sebuah kata atau benda
yang mewakili atau mengingatkan pada suatu entitas yang lebih besar. Kata
yang terdiri dari beberapa untaian hurup akan memberikan makna, seperti kata
“MAKAN” dan “MAKNA”, kedua kata tersebut merupakan komposisi dari
lima buah hurup yang sama, namun dikarenakan susunan hurup-hurup tersebut
berbeda, maka kedua susunan tersebut memberikan makna yang berbeda,
meskipun perbedaan susunannya hanya pada hurup terakhir antara hurup A dan
N. Demikian juga makna dapat dihadirkan oleh tanda, dalam tata bahasa kita
kenal adanya tanda dalam sebuah kalimat, seperti tanda tanya dan tanda seru,
kedua tanda tersebut dapat memberikan makna yang berbeda apabila
ditempatkan pada kata atau kalimat yang sama, sebagai contoh : “Makan ?”
dan “Makan !” pada kata makan dengan tanda tanya mengandung makna
apakah anda sedang makan, sedangkan pada makan dengan kata seru, lebih
menunjukan kalimat perintah untuk melakukan pekerjaan makan. Selanjutnya
bila kata MAKAN tadi kita kaitkan dengan benda, maka akan memberikan
makna yang berbeda, seperti suatu benda akan dimaknai MAKAN oleh orang
Jawa Barat manaka kala dalam sebuah “piring terdapat nasi” dengan lauk
pauknya yang didominasi dengan daun-daun segar, namun makna makan oleh
suku yang tinggal di Wamena akan diwujudkan dalam bentuk “Ubi Bakar”
pada genggaman tangannya.
Dengan demikian setiap benda atau susunan benda, setiap kata dan kalimat
dapat memberikan makna kepada setiap manusia, namun apakah setiap
manusia dapat menangkap setiap makna dari sebuah atau susunan kata atau
benda dengan makna yang sama ?. seperti pendapat Whitehead, bahwa dalam
pemaknaan tersebut ada unsur experience component, dan setiap suku bangsa,
setiap masyarakat akan memilki pengalaman yang berbeda-beda. Pada uraian
selanjutnya unsur-unsur simbol akan dibahas pada konteks tradisional, artinya
simbol dilihat dari pemahaman universal, belum mengarah pada arsitektural,
melalui nilai-nilai universal dari simbol diharapkan dapat ditarik benang
merahnya untuk mendapatkan nilai-nilai simbol yang menjadi landasan dalam
dunia arsitektur.
Bagaimana simbol tersebut dapat digunakan dan terjadi pada konteks keilmuan
arsitektural. Secara universal unsur simbol terdiri dari lima unsur utama, yaitu:
Tanah, Air, Api, Udara, dan Tubuh. Empat unsur tersebut dikelompok menjadi
dua, yaitu unsur dinamis dan unsur statis. Tanah, air, udara, dan api masuk
[94]
kedalam kelompok statis, karena ketiga unsur tersebut sifatnya tidak bertambah
ataupun berkurang, akan tetapi tersimpan dalam wujud yang berubah-ubah.
Sebagai contoh unsur air dapat berwujud cair, berwujud uap, atau berwujud
padat (es), dan mekanisme siklus hidrologi merupakan alat dalam perubahan
wujud dari air tersebut, demikian juga unsur api tersimpan dalam energi,
sebagai wujud dari hukum kekekalan energi, yang sewaktu-waktu dia dapat
membesar ataupun mengecil, bahkan tidak nampak. Tubuh dikelompokkan
sebagai unsur yang dinamis, karena sifatnya yang selalu diperbaharui, sebagai
contoh tanaman, manusia, hewan, dan mahluk hidup lainnya senantiasa selalu
berganti, berbeda sekali dengan tiga unsur yang tadi.
Melihat pada posisinya maka unsur tubuh dapat dipengaruhi atau memengaruhi
ketiga unsur lainnya, terdapat perbedaan yang mencolok antara tiga unsur api,
air, udara dan tanah, tiga unsur tersebut tidak memiliki insting maupun akal,
sedangkan pada unsur tubuh memiliki insting dan akal, namun setiap mahluk
berbeda tingkat kemampuan insting dan akalnya. Akal sempurna diberikan
kepada manusia sedangkan mahluk lainnya umumnya hanya memiliki insting,
walaupun beberapa penelitian tentang Simpanse yang masih memiliki tingkat
akal yang paling tinggi dari seluruh hewan, manunjukkan bahwa hewan ini
dapat mengembangkan peralatan sederhana untuk kehidupannya, simpanse,
sebagai contoh mampu menggunakan batu untuk memecahkan makanan.
Sedangkan yang lainnya lebih banyak menggunakan insting, seperti kita lihat
bagaimana tanaman pemakan serangga menangkap serangga, menggunakan
insting yang ditanamkan dalam mekanisme tubuh, dimana terdapat serabut-
serabut halus dengan menebar bau tertentu untuk memancing serangga
mendekati, manakala serabut halus tersebut tersentuh oleh tubuh serangga,
maka serabut tersebut memberikan sinyal dan menggerakkan kelopak daunnya
untuk menjepit serangga dan menyerap sari tubuh serangga sebagai bahan
makanan dari tanaman tersebut.
Simbolisasi merupakan sebuah proses dari interaksi antara dua atau lebih unsur
atau sub unsur dalam sistem kehidupan, dan interaksi merupakan bagian dari
proses komunikasi, komunikasi tidak mungkin terjadi manakala tidak terjadi
interaksi, namun dari sebuah sebuah interaksi belum dapat dipastikan terjadi
komunikasi. Komunikasi merupakan unsur utama dalam sistem sosial, manusia
tidak mungkin dapat hidup sendiri, manusia memerlukan mahluk hidup lainnya
termasuk dengan manusia sendiri. Jadi proses simbolisasi merupakan suatu
hasil dari konsekuensi sosial mansyarakat, secara diagramatik proses
simbolisasi dapat dijelaskan oleh Bagan 2 di bawah ini:
[95]
Simbolisasi Makna Tubuh Respon
[97]
diimbangi dengan pertumbuhan masyarakatnya. Sehingga kita tidak perlu
pempertanyakan lagi mengapa RULI (rumah liar) tumbuh sangat pesat di
Batam, hal ini merupakan salah satu contoh produk kebijakan ekonomi pada
era Orde Baru. RULI merupakan sebagai sebuah hasil dari tata ruang perkotaan
merupakan sebuah produk diskriminatif yang dibentuk oleh system kapitalis.
Berdasarkan pendekatan socio spacial pola pembentukan kota lebih ditunjang
oleh pola sosial masyarakat yang membentuk kehidupan kota, bukan
merupakan sebuah produk dari kekuatan-kekuatan tertentu atau badan-badan
usaha yang memiliki kepentingan individu maupun kelompok sosial tertentu
secara nyata, yang dituangkan dalam membangun sebuah sistem kehidupan
yang dibentuk oleh kepentingan tertentu tadi dan kota menjadi bagian dari
konsumsi bagi masyarakatnya. Hal ini merupakan sebuah produk dari sistem
kapitalis industri, dimana masyarakat dibawa dalam pemikiran konsumtif. Sifat
konsumtif saat ini menjadi perhatian khusus setelah mekanisme industri
terkendali, baik yang menyangkut kualitas, ketepatan, serta tenaga kerjanya,
perhatian para kapitalis bergeser pada konsumen, bagaimana memelihara
konsumen.
Dalam lingkungan perkotaan yang merupakan sebuah produk kapitalis banyak
menumbuhkan permasalahan ketidak-adilan hak masyarakat dan distribusi
kesejahteraan masyarakat tidak seimbang. Demikian juga seperti pengamatan
dari Friedrich Engels (1973), menyatakan bahwa kota-kota saat ini
memperlihatkan gap yang sangat tinggi antara kaya dan miskin, walaupun
beberapa pendapat berusaha melakukan pembelaan, dengan menyatakan bahwa
kelompok masyarakat yang termarjinalkan tersebut merupakan sebuah
konsekuensi dari ketidak berdayaan seseorang atau masyarakat tersebut
terhadap perubahan dan keengganannya ditentukan oleh harga dirinya dan
bekerja-keras, hal tersebut sudah menjadi bagian pemikiran yang melekat pada
pola kapitalisme.
Telaah yang dapat ditarik dalam pendekatan arsitektural, tidak jauh dari
pendekatan Gottiener dalam pendekatan perkotaan, bahwa perencanaan sebuah
bangunan arsitektural harus mempertimbangkan dimensi sosial, dimana salah
satu unsur dalam dimensi sosial tersebut adalah perilaku pengguna, baik
pengguna langsung maupun penggguna tidak langsung. Bahwa sebuah objek
arsitektur harus dapat merepresentasikan penggunannya bukan arsitekya.
Estetika tumbuh dari keharmonisan antara manusia dalam berperilaku sebagai
pengguna dengan perwujudan fisik masa dan ruang, sehingga perwujudan fisik
dapat membangun manusia (pengguna bangunan) tahap demi tahap mengalami
peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupannya.
[98]
Rujukan Arsitektur Rumah Susun
Rumah susun di Indonesia saat ini yang sudah terbangun baru sekitar 30 ribu
unit, yang dibangun sejak tahun 1974, dan umumnya untuk lima kota yang
dikategorikan sebagai kota-kota besar di Indonesia telah memiliki rumah
susun, kelima kota tersebut, DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan
Makassar, dengan rata-rata jumlah lantai berkisara antara 4 sampai dengan 5
lantai.
Karakteristik rumah susun tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan periode
pembangunannya, karena setiap periode meunjukan spirit masa yang berbeda,
periode awal adalah dimulai sekitar tahun 1974, yang merupakan rumah susun
model yang dikembangkan oleh lembaga penelitian, selanjutnya era tahun 80-
an, yaitu pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh beberapa pemerintah
daerah dengan spirit untuk menyelesaikan masalah kawasan kumuh yang pada
tahun tersebut meunjukan gejalan perkembangan kawasan kumuh yang cukup
pesat, selanjutnya era 2000-an yaitu era persoalan kota yang semakin
kompleks, dimana diawali oleh krisis keuangan serta pertumbuhan masyarakat
kota yang semakin pesat dan kota-kota semakin luas akibat pembangunan
kearah horizontal.
Penelitian yang berkaitan dengan rumah susun umumnya sudah cukup banyak
akan tetapi masih sejauh kajian dan penelitian yang berkaitan dengan fisik
yang berupa teknis teknologi, selanjutnya kajian kelembagaan dan pembiayaan,
sedangkan kajian yang berkaitan dengan socio-spatial pada rumah susun
melalui pendekatan disain arsitektur masih belum dilakukan, karena persoalan
saat ini kita masih difokuskan pada penyelesaiaan fisik yang berkaitan dengan
efisinsi disain serta kelembagaan dan pembiayaan untuk mempertemukan
antara harga jual (sisi supply) dan daya beli masyarakat (sisi demand).
Penelitian-penelitian tersebut belum masuk pada ranah pembangunan manusia,
yaitu rumah susun mampu menciptakan kualitas manusia yang lebih baik dari
sisi kehidupan dan penghidupannya.
[99]
[6] Manajemen Hunian Vertikal
Dalam Prespektif Sosial
[102]
meningkat dan semakin hari semakin parah, penyediaan infrastruktur
transportasi dan moda transportasi yang dibangun saat ini bukan menjadi solusi
akan tetapi menjadikan kawasan kota yang semakin besar namun kropos/rapuh
yang dapat mengakibatkan kelumpuhan pada kota tersebut, fenomena
kelumpuhan tersebut dapat dilihat dari sebagian besar masyarakat kota seperti
di Jakarta. Masyarakat kota akan menghabiskan sebagian waktunya di jalan.
Para pekerja produktif masyarakat ibu Kota Jakarta harus tinggal jauh di
Bekasi, Tanggerang, Depok, atau Bogor, sehingga waktu yang diperlukan
untuk menuju tempat kerja pulang pergi sekitar 3 sampai dengan 4 jam,
artinya 50% dari waktu produktifitas dihabiskan di jalan raya dengan
kemacetan, menurut WHO jam kerja ideal bagi pekerja adalah 8 jam, lebih dari
itu sisanya untuk waktu istirahat. Bila waktu transportasi 3 – 4 jam maka, akan
banyak waktu yang terkurangi dari istirahat atau produktifitas, bila waktu
istirahat juga dikurangi untuk memenuhi waktu kerja maka dengan kekurangan
istrahat juga akan mengakibatkan menurunnya produktifitas. Penurunan masal
tersebut mengakibatkan penurunan produktifitas kawasan dari sisi
masyarakatnya.
Kawasan permukiman kota seharusnya dirancang sebagai satu sistem yang
komprehensif antar berbagai aspek; baik fisik, sosial, maupun ekonomi.
Keterkaitan antara persoalan di atas menunjukkan bahwa sistem fisik kawasan
permukiman dan sistem sosial kawasan merupakan aspek penentu tingkat
produktifitas kawasan permukiman tersebut, pada akhirnya ketiga akan saling
berkaitan. Pada bahasan ini akan dicari keterkaitan-keterkaitan tersebut,
sehingga ke depan dapat digunakan sebagai acuan dalam pembangunan
kawasan permukiman yang lebih sesuai dengan karakter budaya bangsa
Indonesia, penanganan kawasan permukiman tidak hanya diangkat dari
konsep-konsep barat saja akan tetapi digali dari potensi bangsa yang ada, dan
pengamatan sementara kegagalan dalam pembangunan kawasan permukiman
kota selama ini disebabkan pemaksaan konsep penanganan kawasan
permukiman dengan pendekatan konsep dan teori yang dicuplik dari barat,
tanpa ada upaya penggalian yang lebih dalam terhadap karakter budaya lokal.
Apakah ini merupakan indikasi dari awal kehancuran kota-kota besar di
Indonesia, melalui kajian yang telah dilakukan memperlihatkan daya dukung
kawasan yang semakin menurun dan timbulnya gap yang semakin besar
terhadap daya dukung kawasan permukiman kota dan kebutuhan masyarakat.
Kajian awal yang dilakukan dari sumber data tahun 1985 (data sekunder), data
2004 dan 2007 (data primer) menunjukan titik-titik kawasan kota menjadi
beban bagi kawasan lainnya, yang pada akhirnya kawasan kota akan menjadi
beban bagi kawasan disekitar kota, atau perdesaan, bilamana kawasan kota dan
desa sudah tidak memiliki produktifitas lagi, maka kota dan desa menjadi
beban nasional, maka negara ini akan menjadi negara yang menjadi beban
negara lain. Negara akan hidup di atas dukungan negara lain, tentunya kita
[103]
tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Upaya penanganan harus segera
dilakukan agar Negara ini terhindar dari kebangkrutan.
Dalam kupasan ini disajikan suatu konsep pembangunan hunian vertikal
melalui pendekatan kemasyarakat (sosiologi arsitektural), seperti kita ketahui
bahwa antara bangunan sebagai lingkungan binaan selalu berinteraksi dengan
masyarakat penghuninya. Menurut ilmu sosial interaksi antara lingkungan
binaan dan manusia dapat tercipta pengembangan masyarakat, seperti
disampaikan oleh seorang sosiolog Perancis Frederik Le Play, bahwa
pengembangan sosial budaya itu dipengaruhi oleh lingkungan fisik. Melalui
rekayasa sosial dalam pembangunan hunian dapat membentuk kawasan
permukiman yang produktif dan handal.
Perkembangan kota-kota besar saat ini, menunjukkan suatu fenomena
terjadinya degredasi daya dukung, sebagai gambaran dari kasus kawasan
Cigugur Tengah Cimahi pada tahun 1985 memiliki daya dukung untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bahkan kawasan tersebut surplus yang
akhirnya mampu memberikan pelayanan untuk kawasan di luarnya, hasil
pertanian pada kawasan tersebut didistribusikan pada kawasan lain, namun
tahun demi tahun kemampuan kawasan untuk mendukung penghuninya
semakin menurun, dan sekitar awal tahun 1990 an, kawasan tersebut mulai
deficit sampai dengan tahun 2002 ternyata kawasan tersebut tidak mampu lagi
mendukung penghuninya, beberapa kebutuhan dasar semakin hari semakin
berkurang, air bersih manjadi antrian sepanjang hari, bahkan kawasan tersebut
semakin hari diserang polusi yang datang dari pabrik dan kendaraan yang
mengantri dengan kemacetannya. Tidak ada ruang yang berfungsi menetralkan
CO2 yang ditimbulkan oleh kawasan, CO2 menjadi bagian yang mengikis
kesehatan masyarakatnya. Melangkah pada tahun 2008 ini, dapat dikatakan
bahwa kawasan tersebut menjelang sekarat. Bila fenomena ini terus berlanjut
pada tingkat kota, maka akan menjadikan kota mati, dan meningkat lagi pada
tingkat negara maka negara ini mati/bangkrut (nauzubillah minzalik).
[104]
2. Intensifikasi kawasan, membangkitkan nilai kawasan untuk meningkatkan
produktifitas kawasan melalui infrastruktur permukiman yang handal.
Kedua poin konsep di atas dapat diilustrasikan ibarat ayam bertelur emas, maka
masyarakat sebaiknya memelihara ayamnya agar dapat menghasilkan telur
emas yang baik, telurnya yang dijual bukan ayamnya. Ayam bertelur emas ini
ibarat tanah masyarakat diperkotaan, namun kondisinya yang tidak tertata
dengan baik, bahkan cenderung menurun terus kualitasnya.
Peluang keberhasilan konsep tersebut dilihat dari akar budaya masyarakat
Indonesia yang lebih mengedepankan konsep gotong-royong, diharapkan
dengan terciptanya kawasan permukiman yang handal, mampu mendorong
kawasan yang lebih produktif, kawasan produktif menciptakan lahan yang
produktif, dan pada akhirnya membangun masyarakat produktif.
Konsep penataan kembali Perumahan Kumuh di perkotaan, melalui
peningkatan ekonomi rakyat merupakan kunci dalam penanganan yang
berkesinambungan, baik sebelum, saat sampai dengan sesudah penanganan.
Pola ekonomi kawasan adalah kawasan tersebut mampu menciptakan peluang
usaha baik dalam bentuk usaha perumahan, sebagai rumah sewa, atau fungsi
komersial lain. Sehingga penanganan kawasan tersebut tidak hanya mewadahi
perumahan sebatas tempat tinggal saja, namun harus sinergi dengan aktifitas
lainnya yang mewadahi pemenuhan kehidupan dan perikehidupan. Tingginya
nilai lahan pada kawasan kumuh perkotaan, harus mampu dikelola secara
optimal. Perencanaan Mix use kawasan merupakan tuntutan dasar dalam
penanganan kawasan kumuh, yaitu melalui penggabungan dan kombinasi
diantara Perumahan, Ruang Usaha Perdagangan maupun Perkantoran, serta
fungsi sosial lainnya (dalam hal ini termasuk fasilitas pendidikan). Konsep
Perbaikan perumahan kumuh tanpa harus mengsusur penduduk lama, masih
merupakan isu yang masih relevan, namun penanganan yang telah dilakukan
saat ini masih belum optimal, bahkan hasil dari pembangunan kawasan kumuh
lebih terlihat pada aspek fisik saja, belum mampu mengangkat kesejahteraan
masyarakat.
Tahap awal dalam penanganan model Penataan Kembali Kawasan Kumuh
melalui Keswadayaan Masyarakat (KM) adalah upaya melembaga
masyarakat dengan menyatukan masyarakat yang menguasai lahan, yaitu
kelompok penghuni lama dalam suatu wadah/lembaga yang memiliki aset
kawasan, aset lahan masyarakat yang telah disatukan sebagai aset bersama
(community asset), selanjutnya dipegang oleh satu badan yang dibentuk
bersama, Badan ini kelak dapat diperankan oleh masyarakat profesional badan
ini dinamakan sebagai Badan Penyerta Modal (BPM). Dalam pembentukan
badan ini tentunya peran besar dari Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten)
memegang peran besar sebagai fasilitator. Penyatuan lahan masyarakat sebagai
modal pada prinsipnya masih sejalan dengan aturan yang ada, yaitu PP No.
[105]
80/99 tentang Kasiba dan Lisiba BS, dimana pada pasal 20, dinyatakan
“konsolidasi lahan masyarakat untuk selanjutnya diganti dengan lahan baru,
atau unit rusun”. Dalam konteks pendekatan model Keswadayaan Masyarakat
istilah “penggantian” (diganti; dalam konteks PP tersebut) diganti dengan
Lembaran Saham, yang memiliki nilai sesuai dengan pengaturan tersendiri,
dimana surat ini merupakan surat berharga yang nantinya dapat diagunkan ke
Bank maupun dapat diperjual-belikan termasuk dapat diwariskan, dengan
harapan surat ini mampu berperan seperti sertifikat Hak Milik Atas Tanah.
Penggalangan potensi ekonomi masyarakat tersebut harus mampu dengan
mudah dan secara rutin memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat, dalam kajian ini banyak pendekatan yang dapat dilakukan,
baik melalui cara Konvensional maupun Syariah. Menarik untuk diterapkan
dan berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut yaitu dengan menerapkan
“Likuiditas Saham Syariah” yang sangat bergantung kepada fluktuasi bagi
hasil, tiga kriteria sah-nya Saham Syariah, yaitu:
1. Dikeluarkan oleh lembaga yang bersih, sehat, dan transparan baik itu oleh
Perseroaan Terbatas, Bank/Lembaga Keuangan Konvensional, atau
Koperasi.
2. Saham syariah dijual at maturity par value-nya (harga nominal pelunasan
jatuh tempo) dipasar perdana
3. Pengembaliaannya didukung dengan penetapan aktiva produktif spesifik
perusahaan yang mengeluarkan saham.
Dalam penggalangan usaha disektor perumahan dan sarana komersial
dikawasan kota, tentunya sangat diperlukan untuk mengantisipasi kekuatan-
kekuatan pesaing yang juga berkembang disekitar kawasan. Pola penyatuan
modal masyarakat dalam bentuk lahan di satu hamparan kawasan strategis
diperlukan suatu mekanisme yang harus berkenan diseluruh masyarakat serta
mekanisme yang menjamin keamanan usaha masyarakat, karena akan
melibatkan banyak masyarakat dalam satu kawasan dalam satu lembaga akan
berhadapan dengan konsumen, baik itu calon penyewa unit rumah maupun
penyewa unit toko atau kantor, diperlukan suatu perangkat dalam bentuk
perjanjian, yang mengatur jelas hak dan kewajiban masing-masing. Menurut
Martono Mardjono (Republika), seorang praktisi hukum Perbankan Syariah,
ada sembilan syarat substansial agar perjanjian yang dibuat memiliki nilai
ibadah. meliputi:
1. Niatkan perbuatan kita sebagai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Dalam membuat perjanjian, kedua belah pihak harus memandang
keduanya setara kedudukannya
3. Perjanjian itu harus dipandang sebagi wujud kerjasama (ta’awun)
[106]
4. Objek yang diperjanjikan harus jelas dan halal
5. Para pihak harus lebih saling mendahulukan kewajiban
6. Isi perjanjian harus benar-benar adil dan para pihak terkait tidak boleh
saling menekan satu sama lain
7. Para pihak terkait harus saling ridho
8. Terjadinya resiko diluar kesalahan para pihak menjadi tanggungan
bersama
9. Apabila dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terdapat sengketa,
penyelesaian harus dilakukan berdasarkan syariat Islam.
Sedangkan berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata menetapkan empat syarat
bagi syahnya suatu perjanjian, yaitu:
1. Adanya kesepakatan
2. Para pihak terkait yang berkemampuan secara hukum untuk melakukan
hukum
3. Ada objek yang jelas diperjanjikan
4. Perjajian dibuat karena adanya sebab yang dibenarkan menurut undang-
undang.
Dalam menjalankan saham di atas, baik yang berbasis Syariah maupun
Konvensional, harus dilakukan perjanjian antara masyarakat yang saling
melakukan penyatuan modal dalam bentuk lahan dengan memenuhi
persyaratan substansial yang dibungkus dengan sarat formal menurut KUH
Perdata 1320. Melalui pendekatan ini diharapkan perbaikan perumahan kumuh
tidak saja hanya meningkatkan fisik lingkungan akan tetapi lebih dari pada itu
untuk lebih meningkatkan ekonomi masyarakat yang akan diikuti oleh
peningkatan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Target fisik penataan Rumah Susun Sederhana Sewa merupakan suatu tujuan
antara, yang justru target utamanya adalah membangun masyarakat dalam
bentuk peningkatan ekonomi masyarakat secara nyata. Alternatif pembangunan
pengadaan perumahan susun, bagi penduduk berpenghasilan rendah di
lingkungan perkotaan sudah mutlak adanya, karena tidak dapat dipaksakan
pola perdesaan diterapkan di perkotaan, dimana harga lahan sangat tinggi,
selain itu juga ketersediaan lahan sangat terbatas. Hal ini akibat dari
ketimpangan antara kebutuhan rumah yang meningkat sangat pesat, sedangkan
lahan di perkotaan semakin hari semakin sangat terbatas dan mahal. Sehingga
apabila pembangunan perumahan murah dilaksanakan jauh dari pusat kota
merupakan juga suatu kendala bagi penduduk yang berpenghasilan rendah
dengan biaya transportasi yang mahal serta waktu tempuh yang cukup lama.
[107]
Gambar 1. Model penangannan kawasan kumuh Cigugur Tengah Cimahi
6.3. Penutup
Fokus penanganan hunian vertikal adalah masyarakat, berbagai permasalahan
dalam penyediaan hunian vertikal sampai saat ini belum terselesaikan
manakala tujuan pembangunan, yaitu masyarakat sudah sesuai dengan target
dan terjadi peningkatan ekonomi dengan indikator kesejahteraan masyarakat.
[108]
Kompleksnya permasalahan hunian vertikal khususnya bagi kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah, menuntut dilakukan rekayasa sosial terlebih
dahulu sebelum berangkat pada aspek teknologi. Hingga saat ini teknologi
dalam penanganan fisik sudah jauh lebih maju dari pada penanganan
masyarakatnya.
Kegagalan dalam penataan kawasan kumuh utamanya adalah pembangunan
kawasan yang tidak diarahkan langsung dalam membangun masyarakat.
Padahal jika kita pahami lebih dalam, kawasan kumuh merupakan lahan
potensial perkotaan yang penggunaannya belum optimal.
Solusi pembangunan perumahan dengan memilih lahan dipinggiran kota
bukanlah satu solusi yang baik untuk masa mendatang, karena pendekatan
demikian pada akhirnya kurang memberikan kesejahteraan masyarakat, dimana
pada akhirnya mereka harus membayar dengan mahal. Mereka harus
mengeluarkan biaya hidup yang lebih tinggi, karena sarana transportasi dan
infrastruktur yang kurang memadai. Belum lagi akibat menjauhkan hunian
dengan pusat aktivitas menimbulkan kemacetan, yang pada akhirnya
membutuhkan energi dan waktu yang lebih besar.
Filosofi gotong-royong, yang telah tumbuh dalam akar budaya masyarakat,
ditransformasikan dengan pola Konsolidasi Lahan, dapat membuka peluang
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan dukungan. PP 80/99
tentang Kasiba dan Lisiba BS, lahan masyarakat disatukan dan dijadikan modal
dalam pengembangan ekonomi kawasan, merupakan konsep dasar dari model
Keswadayaan Masyarakat.
[109]
[7] Rumah Susun
Sebagai Solusi Perumahan Rakyat
[112]
menguntungkan semua pihak, terutama agar dapat tercapai penyediaan rumah
susun sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang layak huni.
Penyediaan rusunami merupakan suatu proses yang memiliki pertimbangan
kedapan yang lebih panjang dibandingkan dengan rusunawa, mengingat tingkat
waktu hunian dari pemilik lebih lama, dibandingkan di rusunawa, dimana pada
rusunami sangat dimungkinkan pemilik/penghuni pengalami pertumbuhan dan
perkembangan keluarga, baik dari fisik maupun dari jumlah anggota keluarga,
namun sesara ruang sarusun tidak dapat dikembangkan, untuk itu perlu ditinjau
kembali luasan minimal dari sarusun, dan bila mengacu pada ketentuan
kebutuhan ruang untuk rumah sehat dalam kepmen Kimpraswil No. 403/2002
maka luas minimal rumah sederhana sehat adalah 36 m2, bahwa sarusunami
adalah merupakan rumah sederhana sehat yang dibangun secara vertikal.
Sehingga penyediaan rusunami seyogyanya, melalu beberapa proses yang
berbeda dengan penyediaan rusunawa, adapun proses secara global dari
penyediaan rusunami adalah sebagai berikut:
Melakukan studi kelayakan, yang menggali terhadap potensi pasar,
apakah keberadaan pasar untuk menjangkau rusunami sudah ada,
apakah masih terdapat kompetiter yang menyangkut pasar tersebut.
Selanjutya bila seluruh kajian sudah memenuhi persyaratan , maka
tahap berikutnya adalah tahap penentuan lokasi yang sesuai dengan
kebutuhan pasar.
Penyusunan proposal pengembangan rusunami, yang disampaikan
kepada Pemerintah Pusat maupun Daerah, dan bila memenuhi kriteria
yang disyaratkan maka berbagai insentif dapat diberikan kepada
penyediaan rusunami tersebut.
Penyusunan perencanaan dan perancangan, yang disampaikan juga
dalam proposal, agar terdapat kesesuaian.
Menindak lanjuti dengan pengurusan perizinan dan permohonan
insentif yang berkaitan dengan perizinan dan perpajakan.
Melaksanakan pembangunan fisik melalui proses pengadaan barang
dan jasa secara benar.
Melaksanakan proses penjualan dan penghunian
Membentuk lembaga pengelola yang menyangkut oparsionalisasi da
perawatan bangunan saat penghuniaan.
[113]
[8] Peranan Dukungan Fiskal dan
Pembiayaan Rusuna
[115]
adalah untuk kebutuhan perumahan, termasuk didalamnya untuk biaya-biaya
operasionalisasi dan maintenance bangunan, aspek biaya ini dalam rumah susun
menjadi komponen yang harus diperhitungkan karena terdapat bagian-bagian
bersama, system bangunan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu
kesatuan.
Apakah daya beli tersebut sesuai dengan besarnya biaya investasi dalam
penyediaan rusunami, untuk menjawab hal tersebut tentunya tidak cukup dengan
membandingkan antara biaya konstruksi yang diperlukan dalam proses
pembangunan dari proses perencanaan sampai dengan biaya konstruksi, ada
beberapa komponen biaya yang diperlukan dan menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dengan nilai investasi rusunami, yaitu biaya yang diperlukan pada
saat proses penyusunan rencana umum, kelayakan serta perolahan lahan. Tahap
ini sangat menentukan tingkat keberhasilan pasar dari program penyediaan
rusunami. Sebagian besar pengembang tahapan ini menjadi kunci keberhasilan
dalam sistem pemasaran.
Kunci pada tiga tahapan awal tersebut merupakan bagian dari studi kelayakan
apakah pasar sudah betul-betul memerlukan rusunami, apakah ada kompetiter
lain yang memungkinkan keberadaan rusunami tersisihkan, dikarenakan pasar
masih mampu menyediakan perumahan dengan memiliki nilai ekonomis yang
lebih tinggi. Sebagai gambaran pembangunan rusunami dapat mengalami
kegagalan besar bilamana disekitar rusunami terdapat pembangunan RSH, maka
RSH merupakan faktor kompetiter utama, karena dengan harga yang relative
lebih rendah dibandingkan dengan rusunami sekalipun tersubsidi, maka
masyarakat akan lebih memilih untuk mengakses RSH dibandingkan dengan
rusunami.
Faktor lokasi memegang peran penting terhadap keberhasilan dari pasar
rusunami, dan lokasi yang diminati umumnya harga lahannya pun tinggi, hal ini
yang dapat memebrikan nilai tambah dari pendekatan harga, pada rusunami bila
dibandingkan dengan pembangunan RSH, pembangunan rusunami untuk setiap
unit tipe 36 pada rusunami 20 lantai hanya mengkonsumsi sekitar 8 – 9 m2 luas
lahan, dibandingkan dengan pendekatan RSH yang mengkonsumsi lahan per unit
minimal 60 m2. Atau dengan luas lahan yang sama antara RSH 36 dan Rusunami
36, perbandingan daya dukung lahannya adalah 1 : 7, satu RS untuk 7 Rusunami.
Hal lain yang didapat tentunya adalah luas ruang terbuka pada kawasan rusunami
akan lebih besar, hal ini akan lebih sejalan dengan amanat Undang-undang No.
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana setiap kota disyaratkan memiliki
ruang terbuka hijau minimal 30%.
Namun untuk mencapai proses tersebut memerlukan suatu penelaahan pasar
yang tidak sedikit membutuhkan biaya, bila dilakukan oleh pengembang
tentunya biaya tersebut akan dibebankan kepada konsumen atau harga jual.
Namun bila komponen biaya tersebut tidak pernah diperhitungkan kedalam biaya
[116]
investasi penyediaan perumahan susun milik, maka pengembang enggan dan
ragu untuk memulai, karena kondisi pasar yang tidak terdefinisi, dua hal yang
mungkin terjadi pada kondisi pasar tidak terdefinisi, yaitu rendahnya peminat
rusunami dikarenakan ketidak sesuaian antara pasar dan rumah. Ketidak sesuai
tersebut dapat berupa gap antara harga rusunami dan daya beli masyarakat, masih
tumbuhnya kompetiter RSH dengan harga yang lebih menjanjikan dibandingkan
dengan harga Rusunami, sehingga pasar lebih memilih RSH, atau adanya gap
sosial ekonomi, dimana tinggal di rusunami menjadikan biaya hidup lebih mahal,
dan hal ini tidak pernah terdefinisikan, sebagai gambaran bahwa ketentuan
perbankan bahwa daya beli masyarakat sebesar 1/3 pendapatan adalah besarnya
cicilan atau sewa. Faktanya bahwa biaya OM untuk tinggal di rumah susun
meningkat lebih besar dibandingkan di RSH, sehingga biaya untuk perumahan
akan lebih dari 1/3 dari pendapatan, dan hal ini yang menjadikan terjadinya
pergeseran penghuni pada rusun secara umum. Dengan beban 1/3 ditambah
dengan biaya OM tersebut, umumnya kehidupan kelompok sasaran menjadi
lebih berat. Hal ini perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, sehingga akan
didapatkan angka target kelompok sasaran yang lebih tepat dengan
memperhitungkan seluruh aspek pembiayaan dalam penyediaan rusunami.
Delapan tahapan secara umum dapat dirumuskan menjadi enam yaitu: survai,
investigasi, disain, konstruksi, operasionalisasi, dan maintenance/perawatan
(SIDCOM).
Pada tahap pra-pembangunan beberapa alternative insentif yang mungkin
dilakukan, melalui pertimbangan sumber daya yang ada perlu dilakukan dengan
pendekatan sebagai berikut:
1. Penyediaan peta kebutuhan perumahan perkotaan, yang digunakan oleh
pengembang dalam pembangunan rusunami, sehingga pengembang tidak
perlu lagi melakukan studi kelayakan berkaitan dengan pembangunan,
karena pemerintah sudah menjamin dengan adanya peta kebutuhan
perumahan tersebut. Peta kebutuhan tersebut agar memiliki power tentunya
perlu ditidak lanjuti menjadi Peraturan Daerah yang disahkan oleh DPRD.
Pada proses penyediaan peta kebutuhan perumahan perkotaan tersebut, perlu
dilakukan pengkajian secara komprehensif dan digunakan sebagai Road
Map pembangunan rusunami kota. Konsekuensi pembiayaan tersebut
menjadi nilai insentif dalam proses penyediaan rusunami.
Pada tahap ini pelu dukungan rugulasi yang tegas, sehingga mendorong
masyarakat kota menerima untuk tinggal di rumah susun karena tidak ada
alternative lain. Pendekatan seperti ini, merupakan salah satu metoda dalam
sosialisasi membangun dan mengubah pola struktur budaya masyarakat
perkotaan, karena untuk tinggal di perkotaan nilai lahan sudah banyak
bergeser, tanah di perkotaan bukan lagi menjadi barang investasi untuk
produksi pertanian, akan tetapi menjadi investasi untuk produksi jasa,
[117]
dimana bila dibandingkan antara aktivitas jasa dan pertanian, peran lahan
menjadi tidak langsung, sehingga untuk menampung kegiatan jasa sebanyak
mungkin diupayakan mengkonsumsi lahan seminimal mungkin, hal ini
bertolak belakang dengan fungsi lahan untuk pertanian, dengan menguasai
lahan sebesar mungkin membuka peluang memperbesar produsi
pertaniannya.
Melalui peta kebutuhan perumahan kota, diharapkan setiap bagian dan
wilayah kota sudah memiliki status, yang menyangkut peruntukan,
ketinggian, jenis rusun, luas rusun, serta sarana dan prasarana yang
mendukung terbentuknya satuan sistem permukiman yang memungkinkan
tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang lebih madani, yaitu kawasan
perumahan yang memberikan peluang pertumbuhan mendasar dari manusia
yaitu sosial, ekonomi, dalam menyongsong masa depan yang lebih gemilang
dan sejahtera.
Disadari atau tidak bahwa peyediaan peta kebutuhan perumahan akan
menjadi kendali sistem ruang (spatial sistem), yang mampu membangun
sistem perekonomian yang lebih seimbang, dan hal ini akan berangsung-
angsung terbentuknya sistem ruang kota yang lebih tertata, serta sebagian
dari aspek untuk mengendalikan harga tanah di perkotaan, yang cenderung
terus meningkat dan tidak terkendali, tanah di perkotaan saat ini menjadi
santapan empuk bagi spekulan-spekulan tanah dalam mencari keuntungan,
yang tentunya merugikan pada sektor penyediaan perumahan, dan hal yang
menjadikan rumah di perkotaan saat ini semakin mahal dan jauh
meninggalkan daya beli masyarakat.
2. Tidak lanjut dalam proses penyediaan Peta kebutuhan perumahan adalah,
terciptanya blok-blok kawasan perumahan yang menjadi prioritas
penanganannya, penciptaan blok-blok tersebut akan mendorong kebutuhan
penyusunan rencana kawasan perumahan yang lebih tertata secara sehat dan
estetik. Namun sebagaimana diketahui bahwa blok-blok kawasan perkotaan
yang akan menjadi kawasan rusun tersebut, fakta dilapangan sebagiannya
merupakan kawasan yang sudah terbangun dan di bawah penguasaan
masyarakat. Pada tahap ini mendorong regulator untuk menindak lanjuti
menjadi pembentukan KASIBA dan LISIBA, yang akhirnya bahwa
KASIBA dan LISIBA tersebut harus juga dijadikan Peraturan Daerah. Pada
tahap ini sangat dimungkinkan untuk berkembang pada pendekatan Land
Sharing dan Konsolidasi Tanah. Peran berbagai lembaga dan stakeholder
dalam menyiapkan program ini diperlukan, dalam bentuk lintas instansi
perlu ditindak lanjuti, agar penyediaan rusunami kelak tidak menjadi
monumen dari gerakan 1000 Tower. Untuk itu perlu segera disiapkan
pembentukan lembaga dan regulasi baru yang lebih mendukung, yang
diperkuat oleh sumber daya yang professional. Pada pendekatan ini beberapa
[118]
izin dalam penyediaan perumahan susun milik sekaligus dapat dipangkas,
seperti izin prinsip dan izin lokasi, karena mekanisme dalam KASIBA dan
LISIBA sudah dapat tercover.
3. Kebijakan pasar lahan perlu dipersiapkan sebagai bagian dari insentif dalam
penyediaan rusunami. Seperti pada uraian di atas bahwa seluruh komponen
pada tahap awal bermuara pada penyediaan lahan yang tepat lokasi dan tepat
pasar. Suatu kondisi lahan yang sudah terdefinisi pada akhirnya akan
mendorong pertumbuhan lahan yang diminati oleh para spekulan tanah.
Untuk itu perlu dibentuk mekanisme yang mengatur pasar lahan untuk
perumahan.
Bentuk insentif pada tahap awal ini lebih menentukan terhadap tingkat
keberhasilan dalam penyediaan perumahan susun, ukuran keberhasilan tersebut
dicapai bilamana, antara rumah yang disediakan sesuai dengan daya beli
masyarakat, bahwa rumah yang disediakan merupakan satu-satunya solusi yang
tepat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak huni, sehingga tidak
menumbuhkan kembali alternative lain yang memiliki kekuatan sama sehingga
menciptakan distorsi pasar. Dalam pasar property nilai komersialisasi menjadi
kekuatan besar dalam keberhasilan bagi pengembang maupun masyarakat
pemiliknya. Artinya bahwa pengembang akan mendapatkan keuntungan yang
besar dalam proses penyediaan perumahan tersebut juga masyarakat akan
merasakan keuntunganya, demikian pula dengan memiliki dan meninggali rumah
tersebut, pada tahap tersebutlah tingkat keberhasilan property dicapai.
Pada proses awal, pasar umumnya tidak memahami keuntungan atau
konsekuensi biaya yang ditimbulkannya. Gambaran secara umum, bahwa proses
awal dalam dunia produksi dapat digolongkan sebagai biaya maketing, dimana
proses marketing itu dilakukan tidak hanya pada saat barang itu jadi, tapi pada
saat barang itu diciptakan, dimana produsen akan terlebih dahulu membaca
kebutuhan pasar terhadap produksi kedapan. Seperti pada penggunaan Hand
Phone, bahwa upaya marketing dengan pengiklanan tidak cukup, akan tetapi
kebutuhan masyarakat akan hand phone tersebut pada awalnya dilakukan
pengkajian. Dan tentunya biaya proses pengkajian awal ini bila harus dilakukan
oleh pengembang akan sangat berat, untuk itulah peran Pemerintah menjadi
sangat dominan karena perumahan masyarakat berpenghasilan rendah
merupakan sektor public, yang menuntut peran Pemerintah lebih utama
dibandingkan dengan swasta.
Bila penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini
diserahkan swasta sepenuhnya tanpa intervensi Pemerintah, maka harga rumah
akan menjadi lebih mahal dan jauh dari keterjangkauan. Seperti keberadan hand
phone sudah melalui studi kelayakan pasar yang cukup panjang, demikian halnya
keberadaan rusunami apakah diperlukan proses kajian pasar seperti produk lain
[119]
dan bila diperlukan siapa yang harus melakukan, tentu kajian awal tersebut tidak
hanya menyangkut soft ware akan tetapi hard ware diperlukan juga kajian,
penentuan luasan atau tipe unit, penetuan jumlah lantai bangunan, penentuan
jumlah unit maksimum perlantai, penentuan kepadatan penghunian tiap lantai
dan blok bangunan, harus melalui suatu pengkajian diawal.
[120]
Melihat pada table hasil analisa di atas terlihat bahwa, insentif dalam bentuk fisik
yang meliputi perencanaan, perizinan, PSU dan lahan lebih banyak membantu
masyarakat, dengan penurunan harga KPR mencapai 34% dibandingkan
penurunan KPR akibat subsidi adminstrasi yang hanya mencapai 15% artinya
kurang dari 50% dampak insentif pada fisik bangunan. Selain itu insentif yang
diberikan pada fisik bangunan dapat juga meringankan uang muka dan angsuran
bagi masyarakat, yaitu besarnya penurunan uang muka hanya 64% dari
pembayaran normal tanpa subsidi maupun pada uang muka bangunan yang
diberi insentif pada aspek administrasi.
Uang muka yang dikeluarkan pada bangunan yang tidak mendapatkan insentif
sebersar Rp. 47.000.000,- sedangan uang muka yang dikeluarkan pada bangunan
yang mendapatkan insentif administrasi sebesar Rp. 25.000.000,- dan uang
muka yang dikeluarkan pada bangunan yang mendapatkan insentif pada sektor
fisik uang muka yang dikeluarkan sebesar Rp. 16.000.000,-. Jelas bahwa
dukungan insentif pada fisik bangunan memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap daya beli masyarakat. Namun timbul pertanyaan, bagaimana
sumsidi tersebut dapat diberikan tanpa harus membebani anggaran Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Dalam sektor perencanaan insentif tidak langsung dapat diberikan tanpa harus
mengabaikan aspek-aspek perencanaan inti, yaitu melalui penyediaan Disain
Prototipe, tentunya dengan penyediaan Disain Prototipe ini tidak mengabaikan
aspek keselamatan serta aspek kesesuaian dengan kondisi lokal seperti
penyelidikan tanah yang berkairan erat dengan kekuatan pondasi bangunan serta
penyesuaian disain dengan koteks lokal. Artinya biaya perencanaan tidak perlu
dipangkas total, akan tetapi tetap disediakan sejauh untuk penyiapan site dan
mengsingkronkan dengan kondisi budaya.
Tampaknya Prototype Disain merupakan solusi yang akan berbenturan dengan
daerah, mengingat daerah menginginkan keunikan dari bangunan yang didirikan
di daerahnya, namun demikian, bilamana kita masih harus membangun sambil
menyediakan perencanaan, pada saat ini masih kurang tepat berkaitan dengan
besarnya kebutuhan rumah di perkotaan, karenan proses perencanaan yang sama
sekalipun memerlukan sumber daya dan waktu yang tidak sedikit.
Komponen kegiatan perencanaan dan perancangan dalam penyediaan rusunami,
memberikan kontribusi pembiayaan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 3% – 4%
dari nilai investasi fisik bangunan, atau rata-rata biaya perencanaan untuk satu
blok bangunan rusunami 20 lantai, tipe 36 m2 dalam satu blok dengan jumlah
hunian 228 unit membutuhkan biaya perencanaan sekitar Rp. 600 juta sampai
dengan Rp. 700 juta, angka ini setara dengan 6 unit hunian, atau 2% dari nilai
jual rusunami. Bilamana subsidi perencanaan dapat dilakukan maka dari target
pembangunan rumah susun sampai dengan 2011 sebanyak 249.926 unit akan
[121]
bertambah sebanyak 5.000 unit, tentunya jumlah yang cukup besar dari total
target pembangunan dan percepatan pembangunan rumah susun 1000 tower.
Insentif pada aspek perzinan lebih membutuhkan peran daerah untuk
melaksanakannya. Fungsi perizinan memiliki landasan dalam menegakkan
keteraturan dan ketertiban dalam pembangunan, yang sekaligus memiliki nilai
ekonomis terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun perlu ditekankan
bahwa perizinan seyogyanya berfungsi sebagai alat kendali dalam pembangunan,
dan aspek ini harus dapat digunakan sebagai landasan utama dalam
pembangunan rusunami. Kontribusi izin terhadap nilai total investasi fisik
bangunan mencapai 2.7% dari total biaya.
Insentif yang cukup besar dalam pembangunan rusunami adalah insentif untuk
memenuhi PSU, yaitu sebesar 22% dari nilai investasi rusunami yang memenuhi
kehandalan bangunan. Dampak dari nilai investasi PSU ini adalah meningkatkan
daya beli masyarakat, dampak insentif pada PSU menyebabkan harga bangunan
sarusun meningkat 15% dari harga jual bangunan yang PUS nya diberikan
insentif.
Lahan merupakan pada rumah susun memiliki nilai kontribusi sebasar 5% untuk
menurunkan harga jual sarusun, nilai tambah dari lahan pada rusunami adalah
efektifitas konsumsi lahan yang lebih tinggi dimana rata-rata setiap unit sarusun
tipe 36 m2 hanya mengkonsumsi lahan seluas 8 m2, dengan ketentuan Building
Coverage mencapai 30%, artinya efisiensi lahan tersebut juga diimbangi dengan
terbukanya pengembangan ruang terbuka hijau perkotaan.
Bila ditinjau dari aspek konsumsi lahan rusunami 20 lantai dengan tipe 36
dibandingkan dengan RSH tipe 36 lahan 60 m2, pendekatan rusunami jelas
memiliki keunggulan, namun demikian kunci keunggulan tersebut dapat saja
sirna bilamana pendekatan perencanaan kawasan Rusunami memiliki tata
rancangan site yang buruk. Untuk itu peran pengembangan rusunami pada
pengembangan kawasan yang lebih luas merupakan aspek yang mendukung
keberhasilan pembangunan rusunami.
Walaupun kontribusi terhadap reduksi harga KPR rusunami hanya 5%, namun
dalam proses penyediaan lahan merupakan aspek yang paling kompleks. Hal ini
perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dalam aspek penyediaan lahan,
mengingat lahan di perkotaan semakin hari semakin langka dan harganya teruis
meningkat.
Kembali pada pembahasan dimuka bahwa penyediaan lahan melalui KASIBA
dan LISIBA dapat merupakan solusi yang efektif dalam penyediaan rusunami,
sekaligus penataan ruang perkotaan yang umumnya pada sebgian besar
perkotaan di Indonesia belum tertata secara baik, ruang kota umumnya tumbuh
secara spontan bukan dari perencanaan yang komprehensif.
[122]
Insentif terhadap Daya Beli Masyarakat
Daya beli masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kendalan dalam
merealisasi pembangunan rusunami, dimana menurut Peraturan menteri
Perumahan Rakyat No. 7/Pemen/M/2007 kelompok sasaran untuk rumah susun
milik adalah masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp. 2,5 juta sampai
dengan Rp. 4,5 Juta, dengan angka rata-rata penghasilan adalah Rp. 3,5 juta.
Dibandingkan dengan harga jual rusunami tanpa subsidi mencapai Rp.
160.000.000,- per unit artinya, kelompok sasaran yang dapat menjangkau
rusunai adalah kelompok masyarakat berpenghasilan di atas Rp. 7.000.000,-
per bulan, dengan anggsuran per bulan lebih dari Rp. 2,3 juta. Besarnya
angsuran hampir mendekati angka penghasilan kelompok sasaran terendah
yaitu Rp. 2,5 juta.
Sebagaimana uraian di atas, berbagai formula mencari bentuk subsidi
dilakukan, seperti pemberian insentif pada aspek fisik dan administrasi, namun
dengan insentif administrasi yang dilakukan melalui perhitungan didapat angka
target grup masyarakat adalah Rp. 5,6 juta per bulan artinya melampaui target
grup maksimum yang telah ditentukan dalam Permen yaitu sebesar Rp. 4,5
juta.
Peluang rusunami masih terbuka lebar bilamana kita lihat pada analisa insentif
pada fisik bangunan, melalui insentif ini target grup yang cocok adalah
masyarakat yang berpenghasilan Rp. 3,7 juta per bulan, angka ini mendekati
angka tengah dari target grup yang dituangkan dalam Permen Pera 7/07. Perlu
kiranya dilakukan kajian ulang terhadap prosentase kelompok sasaran yang
ditargetkan dalam penyediaan rusunami, hal ini dikarenakan prosentase
kelompok masyarakat berpenghasilan redah, jumlahnya masih sangat tinggi
yaitu lebih dari 70%.
Tabel 2. Analisa efektifitas bentuk insentif
komponen Nilai
sat ALTERNATIF bentuk subsidi Regulasi
biaya dasar
insentif Insentif
1 50% Bunga
adm fisik
Uang Muka 8,206,532 rp 8,206,532 12,309,798 11,575,606 11,942,702 12,309,798 Permen Pera No.
- -
03/PERMEN/M/2
PPN - rp - - - - - 007
administrasi
Kimpraswil No.
Perizinan 4,516,611 rp 4,516,611 4,516,611 - 2,258,306 4,516,611 403/2002
Bangunan 44,770,710 rp 44,770,710 44,770,710 4,770,710 44,770,710 44,770,710 perlu kajian lanjut
Lahan 32,400,000 rp 32,400,000 32,400,000 32,400,000 2,400,000 32,400,000 harga lahan
Suku bunga Subsidi selisih
bank 12 % 0 0 0 0 5 Bunga
Sumber Analisis oleh Arief Sabaruddin, tahun 2013
[123]
Bahwa dari Tabel 2 di atas tidak terdapat perbedaan penurunan target grup
pada insentif adminstrasi, yang terjadi hanyalah bantuan dalam upaya menekan
biaya awal yang harus dikeluarkan oleh konsumen. Dukungan insentif pada
biaya-biaya administrasi lebih banyak memberikan bantuan pada skala pendek,
sedangkan bantuan pada insentif fisik bangunan lebih banyak memberikan
bantuan pada skala yang lebih panjang. Karena dapat menurunkan besarnya
angsuran serta biaya pembayaran di muka.
Selain itu subsidi uang muka serta selisih bunga dapat memberikan bantuan
yang Pemberian insentif pada semua komponen perpajakan dan perizinan
secara konseptual dapat diberikan kepada MBR. Tetapi pendekatan ini
memerlukan pengujian komposisi kontribusi tiap komponen terhadap harga
jual rumah, agar dapat diperoleh hasil yang bermanfaat, baik bagi masyarakat
maupun bagi penerimaan negara.
Alternatif insentif dimulai dan diutamakan pada komponen perpajakan yang
kontribusinya paling besar terhadap harga rumah. Alternatif besar insentif
dikembangkan secara gradual untuk dinilai manfaatnya. Peringkat perpajakan
menurut kontribusinya kepada harga jual rumah adalah :
1. Pajak Pertambahan Nilai
2. BPHTB
3. Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan juga dikenakan kepada pengembang selama
menguasai tanah, yaitu sejak pembelian tanah sampai rumah laku terjual.
Dilihat dari nilainya, rata-rata besar PBB hanya 0,2% dari harga jual rumah,
sehingga tidak signifikan untuk dihitung manfaatnya. Kecuali jika ingin
langsung dihapus dengan pertimbangan lebih kepada kepraktisan dalam proses
bisnis pengembang.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% adalah dua kali dari besar BPHTB yang
ditetapkan 5% dari NJOP. BPHTB lebih kecil jumlahnya, tetapi seperti halnya
perizinan, memerlukan pelayanan yang lebih lama, rumit dan keahlian
lapangan dengan mengeluarkan biaya lebih banyak dari pada pelayanan Pajak
Pertambahan Nilai. Dengan demikian pemberian insentifnya memiliki
keterbatasan lebih banyak dari pada pemberian insentif untuk Pajak
Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, pemberian insentif dalam persentase
tunggal secara bersama dengan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu,
pemberian insentif dalam persentase tunggal secara bersama dengan Pajak
Pertambahan Nilai dipandang kurang tepat.
Selain beban pajak yang dihitung dengan pendekatan di atas, sebenarnya masih
terdapat pajak yang kurang tepat sasaran, antara lain karena dipungut secara
berantai atau dipungut secara tidak proporsional, sehingga menjadi beban
berlebih bagi pembeli rumah dari pengembanga. Bagi MBR beban ini menjadi
[124]
salah satu sumber biaya tinggi yang memberikan dan membuat mereka
semakin sulit untuk menjangkau harga akhir rumah sederhana sehat.
Pajak yang secara berantai atau secara tidak proporsional menjadi beban bagi
pembeli rumah dari pengembang antara lain terjadi pada :
1. Pajak Pertambahan Nilai atas tanah yang dipungut pada saat
pengembang membeli dari pemilik tanah sebelumnya. Pajak ini oleh
pengembang secara bisnis dihitung sebagai biaya penyediaan rumah dan
pada akhirnya menjadi beban bagi pembeli. Pajak Pertambahan Nilai
untuk tanah yang akhirnya menjadi lahan untuk prasarana dan sarana
pelayanan umum serta fasilitas sosial dan fasilitas umum seluas 40%
dari lahan yang dibebaskan juga menjadi beban pembeli, pada hal
pembeli rumah tidak memilikinya secara pribadi meskipun dapat
menikmati secara tidak terus menerus melalui penggunaan fasilitas
sosial dan fasilitas umum serta prasarana lainnya.
2. Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa yang dipungut pada saat
pengembang membeli untuk kepentingan penyediaan rumah. Pajak ini
oleh pengembang secara bisnis juga dihitung sebagai biaya penyediaan
rumah dan pada akhirnya menjadi beban pembeli. Pajak Pertambahan
Nilai juga akan dipungut lagi pada saat pengembang menjual rumah
kepada MBR.
3. PBB selama masa menganggur sejak pembelian tanah oleh pengembang
sampai dengan transaksi penjualan. Pajak ini oleh pengembang secara
bisnis dihitung sebagai biaya penyediaan rumah dan pada akhirnya
menjadi beban pembeli. PBB untuk tanah yang akhirnya menjadi lahan
untuk prasarana dan sarana pelayanan umum serta fasilitas sosial dan
fasilitas umum seluas 40% dari lahan yang dibebaskan juga menjadi
beban pembeli yang masuk dalam kategori MBR.
4. BPHTB yang diatur oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
dikenakan kepada pengembang dihitung atas dasar seluruh luas lahan
yang dibebaskan, padahal pengembang hanya akan menjual kembali
seluas 60% dari luas lahan. Sisa luas lahan 40% tidak dapat dijual, tetapi
diserahkan kepada publik dalam bentuk lahan untuk prasarana dan
sarana pelayanan umum serta fasilitas sosial dan fasilitas umum.
[125]
Tabel 3. Target grup terhadap daya beli dikaitkan dengan pola insentif
Nilai Alternatif Pola Insentif
Komponen Biaya Dasar Sat 1 2 Fisik Total DP Regulasi
Harga dasar 82,065,321 82,065,321 82,065,321 77,170,710 79,618,015 82,065,321 masukan Permen
Harga KPR 73,858,789 73,858,789 69,755,523 65,595,103 67,675,313 9,755,523 batas maksimum
terhadap daya beli
anggsuran I penghasilan
dampak insentif
Mengacu pada Tabel 3, terlihat bahwa insentif finasial terhadap aspek fisik lebih
besar memberikan dukungan bagi tercapainya penyediaan rusunami yang layak
huni dan terjangkau, untuk itu bentuk-bentuk insentif finasdial tersebut yang
harus dikembangkan lebih lanjut adalah :
1. Insentif perancangan bangunan, pada program pembangunan rusunami
ditahap awal ini harus dapat menggunakan prototype disain, dimana
Pemerintah harus menjadi pemegang hak cipta, agar penggunaan disain
prototype tersebut, sehingga konsekuensi biaya yang akan dikeluarkan
dikemudian hari hanya biaya untuk penyesuaian disain berkaitan denfgan
karakter arsitektur lokal serta penyesuaian terhadap disain pondasi.
Sedangkan disain bagian utama merupakan prototype yang dapat digunkan
langsung. Untuk menyiasati berbagai kekhasan lokasi dan daerah dapat
disaranka idsain prototype tersebut dibuat lebih dari satu pola (mis: pola
blok memanjang/linier, pola cluster/radial, atau pola lainnya).
2. Insentif PSU, insenti ini merupakan kelengkapan yang menunjang
keberfungsian dari bangunan, sepertihalnya bagian-bagaian milik bersama
dari rumah susun, termasuk bagian lantai dasar yang dikosongkan, dem8kian
juga dengan koridor. Untuk lebih berkesinambungan fungsi-fungsi besama
biaya OM sebaiknya juga diberikan insentif, dengan membebankan kepada
fasilitas umum, seperti penerangan koridor dan taman dimasukkan dalam
kategori PJU (penerangan Jalan Umum), yang dibaiaya oleh masyarakat
secara luas dan sudah terkelola oleh PLN.
3. Insentif Lahan dan sarana dan prasarana lingkungan, penyediaan lahan
secara terorganisasi dan terencana akan mampu memberikan nilai positive
terhadap daya jual bangunan sarusunami, mengingat pembangunan
rusunami tidak dapat dilakukan secara parsial akan tetapi dapat berhasil
bilamana dibangun secara komprehensi yang membentuk kawasan
permukiman yang terpadu pada skala kawasan. Dalam mewujudkan
masyarakat perkotaan dengan pola tinggal dikawasan perumahan secara
bersusun, perlu diciptakan terlebih dahulu kawasan yang mendukung dengan
memiliki suasana kawasan dengan pembangunan vertical. Akan sulit sekali
bila keberadaan rusunami berada pada kawasan yang didominasi oleh
lingkungan perumahan yang dibangun secara horizontal. Hal ini akan
[126]
menimbulkan keunikan dan pusat perhatian yang kurang menguntungkan
bagi penghuni rumah susun.
Berbeda bilamana keberadaan rumah susun tersebut dapat mendominasi
lingkungan perumahan sekitar, sehingga keberadaan rumah-rumah susun
tersebut menjadi bagian yang biasa. Dapat kita perhatikan keberadaan
kelompok rumah susun Perumna di Kemayoran yang keberadaannya
disekitar kawasan adalah kumpulan dari rumah-rumah susun lainnya serta
bangunan rumah tinggal susun menengah atas (apartemen), tidak
menciptakan suatu gap, akan tetapi menciptakan keharmonisan lingkungan
sebagai wujud dari lingkungan kota. Keharmonisan lebih dilengkapi lagi
dengan keberadaan bangunan-bangunan gedung yang rata-rata dibangun
secara vertical.
Sejalan dengan harmonisasi kawasan rumah susun tersebut, maka peran
Pemerintah sangat besar, dalam hal penyediaan lahan yang siap bangun,
dalam hal ini program KASIBA dan LISIBA, dapat merupakan wujud dari
insentif bagi penyediaan rumah susun. Kesulitan lahan untuk pembangunan
rusunami juga dapat dikurangi bila program pembangunan KASIBA dan
LISIBA digalakkan kedepan. Jadi program penyediaan rusunami harus
disejalankan dengan program pembangunan KASIBA dan LISIBA.
4. Insentif Perizinan, insentif pada proses perizinan nilainya tidak terlalu
signifikan terhadap harga jual, kurang labih sekitar 3% saja. Namun
komponen perijinan turut juga berpengaruh pada bentuk bantuan yang lebih
berkelanjutan, dimana komponen perizinan melekat pada harga investasi
bangunan. Hal ini berdampak pada pengurangan besarnya cicilin per bulan.
5. Insentif Adminstrasi, dukungan administrasi ini meliputi perpajakan,
BPHTB, sertifikat/HM sarusun, proses kredit dan transaksi PPAT. Insentif
yang diberikan disini lebih banyak membantu pada aspek pembiayaan yang
dikeluarkan dimuka pada saat kredit/ pembelian. Dapak keberlanjutanya
kurang dapat dirasakan oleh masyarakat, karena pada akhirnya besar cicilan
akan tetap tinggi.
[128]
8. Insentif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga
diberikan, karena signifikan kontribusinya (5% harga jual) dan berpotensi
meningkatkan daya beli. Insentif BPTHB diberikan pada kisaran angka
konservatif 25% sampai 75% dari bea yang berlaku untuk bagian harga di
atas Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
9. insentif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diberikan
100% atas tanah dan bangunan yang dijadikan fasilitas sosial dan
prasarana umum, agar tidak menjadi mempertinggi harga jual rumah bagi
MBR.
10. Nilai finansial insentif perpajakan dan perizinan formal untuk MBR secara
nominal sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi sangat bermanfaat bagi
mereka.
[129]
[9] Kebutuhan Luas Minimum
Hunian pada Rumah Susun
[131]
Dengan demikian, isu yang diangkat pada telaah ini adalah konflik ruang pada
unit hunian, dengan kasus rumah susun di Indonesia. Mengingat isu ini
merupakan persoalan pokok dari penyelenggaraan perumahan, yang masih
terkendala oleh keterbatasan daya beli, serta keterbatasan kemampuan
pemerintah untuk mengintervensi lebih jauh dalam mendongkrak daya beli.
Telaah ini memberikan sebuah peluang, sebagai jalan tengah dalam mengurai
penyediaan ruang bagi setiap jiwa, yang memenuhi kebutuhan minimal ruang,
dengan keterbatasan daya beli.
Pemenuhan aspek kesehatan adalah terpenuhinya kebutuhan ruang bagi setiap
jiwa, dalam sebuah keluarga maupun dalam sebuah komunitas. Kualitas ruang
-baik ruang dalam maupun ruang luar, ruang individu maupun ruang sosial,
ruang terbuka maupun ruang tertutup- adalah merupakan kebutuhan dari
keberlangsungan kehidupan manusia. Daimana dimungkinkan terjadi interaksi
, yang membawa pengaruh pada peningkatan kualitas hidup dari manusia.
Untuk menjawab berbagai persoalan ruang kota, maka rumah susun merupakan
alternatif yang tidak dapat dihindari. Untuk itu upaya-upaya percepatan
dilakukan oleh pemerintah, melalui pembentukan tim percepatan dan jargon
1000 tower. Namun persoalan klasik gap supply dan demand masih menjadi
kendala. Keputusan berani diambil oleh pemerintah dengan pengaturan luas
unit hunian yang sangat kecil bagi sebuah keluarga.
Tipe 18, 21, 27, 30 dan 36 merupakan gambaran luas unit hunian yang berada
di bawah standar, baik acuan pada standar nasional maupun internasional.
Persoalan selanjutnya tampak ketika luasan unit tersebut digunakan oleh tipe
rumah milik pada rumah susun (rusunami). Berdasarkan Kepmen Kimpraswil
No. 403/2002, luas minimum kebutuhan ruang adalah 9 m2 per jiwa, sedangkan
standar Internasional adalah 12 m2 per jiwa. Ketika merujuk pada kedua
ketentuan tersebut, maka kebutuhan luas unit hunian adalah 36 m2 sampai
dengan 45 m2, bila dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga 4 – 4,5 jiwa.
Berapa kebutuhan ruang setiap individu pada sebuah hunian yang mampu
membangun sebuah keluarga yang sehat, berkualitas dan produktif ?. Persoalan
luas ruang belum dikaitkan terhadap pemaknaan ruang oleh penghuni unit
rumah tinggal pada kasus rumah susun, selain itu sampai saat ini masih belum
ada dukungan telaah yang mendalam mengenai penetapan luas ruang unit
hunian. Bila ada, itupun tampak ditetapkan dengan sangat emosional, serta
masih jauh dari cita-cita dan visi nasional yang dituangkan dalam undang-
undangnya.
Masalahnya kini, adalah belum terpenuhinya kebutuhan ruang bagi setiap
individu dalam sebuah hunian rakyat, khususnya pada rumah susun. Secara
akademis, penetapan luas unit hunian yang diperhitungkan berdasarkan
kebutuhan ruang per jiwa, masih mengacu pada bangunan landed house. Cara
[132]
tersebut tidak dapat diterapkan pada perhitungan luas unit hunian bersusun,
mengingat terdapat perbedaan parameter disain diantara keduannya.
Akibatnya masyarakat yang tinggal pada unit rumah bersusun, mendapatkan
ruang (space), tapi belum mendapatkan tempat (place). Sehingga keluarga
yang tinggal di rumah susun saat ini, belum banyak memperoleh sebuah
proses perkembangan dan pertumbuhan keluarga sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian rumah susun baru berfungsi sebagai ruang
tinggal, fungsi rumah susun bagi masyarakat saat ini hanya sebatas memiliki “a
house” belum berfungsi sebagai “a home”. Dengan demikian untuk
mengfungsikan sebuah rumah sebagai tempat tinggal yang mampu mewadahi
aktifitas sosial budaya keluarga maka harus dilihat dari aspek fungsi ruang
hunian untuk ditelaah terhadap interaksi kehidupan sebuah keluarga, baik
secara individu maupun secara komunitas.
[134]
Pada kondisi ini, pengendalian jumlah penghuni dalam sebuah blok rumah
susun harus dapat dikendalikan. Proses pengendalian jumlah hunian ini tidak
dapat dilepaskan dari pengaturan kebutuhan ruang per jiwa pada rumah susun.
Pengaturan ruang tersebut meliputi ruang individu maupun ruang ruang sosial.
Artinya bahwa pada bangunan rumah susun, haruslah dibuat ketentuan standar
ruang individu, di dalam satuan unit rumah susun dan di luar satuan unit
rumah susun, namun masih tetap dalam bangunan rumah susun tersebut.
Kebutuhan ruang-ruang sosial dalam rumah susun sangat ditentukan oleh pola
disain dari rumah susun itu sendiri, dimana disain rumah susun dengan sistem
koridor memanjang memberi peluang terjadi interaksi antara komunitas lebih
intensif, dibandingkan dengan dengan pola ruang rumah susun dengan sistem
terpusat. Namun demikian bahwa apapun bentuk dan pola ruang dalam rumah
susun, bahwa kebutuhan ruang sosial tersebut sangat ditentukan juga oleh
perilaku penghuni, yang dibentuk oleh sosial budaya yang melatar-belakangi
penghuninya.
Perilaku sosial budaya tersebut, ditentukan oleh status sosial, dalam hal ini
bentuk pekerjaan, tingkat pendapatan, serta faktor usia, yang sangat
menentukan bentukan aktivitas sosial yang dilakukan oleh komunitas penghuni
rumah susun.
Kehidupan sosial pada rumah susun terjadi tidak saja hanya dalam bangunan,
akan tetapi pada ruang luar bangunan. Untuk itu tingkat crowded pada rumah
susun, juga akan ditentukan oleh ketersedian ruang terbuka di sekitar
bangunan rumah susun tersebut. Dengan demikian ketentuan menyangkut
koefisien dasar bangunan (KDB) memiliki peran yang tinggi pada
pembentukan kualitas hunian pada rumah susun.
Semi-public space, dibandingkan dengan ruang publik, ruang semi publik ini
memiliki tingkat kontrol yang kuat terhadap pembatasan akses, melalui
pembatasan waktu penggunaan yang dibatasi sampai dengan jam-jam
tertentu.Misalnya tangga atau elevator, hanya digunakan sampai dengan jam
10.00 malam. Untuk selanjutnya pengguna harus melalui pengontrolan yang
ketat setelah melampaui jam tersebut.
Selain itu pada ruang semi publik ini biasanya pengelola dapat menentukan
siapa-siapa saja yang dapat menggunakan ruang ini. Ruang semi publik dalam
rumah susun diidentifikasikan berupa ruang hall, tangga dan atau elevator,
serta koridor yang terdapat pada setiap lantai menuju unit hunian. Ruang semi
publik pada rumah susun ini memiliki fungsi sebagai penyangga terhadap
tindakan dan ancaman kriminalitas yang datang dari luar.
Pada umumnya rumah susun di Indonesia saat ini, cukup mumpuni akan
keberadaan ruang semi-publik ini, dimana koridor dan tangga sebagai ruang
yang mewakili keduannya. Namun yang menjadi persoalan adalah keberadaan
[135]
koridor yang senantiasa diintervensi oleh ruang individu, dan tentunya dengan
hadirnya individu-individu yang memiliki tingkat tekanan yang tinggi, selalu
melakukan intervensi ruang yang mengganggu kegiatan sosial pada rumah
susun saat ini.
Beberapa fakta yang terjadi adalah setiap penghuni selalu melakukan
pengurangan ruang koridor sebagai fungsi aksesibilitas, dari lebar
minimal dan rata-rata 1,20 m, menjadi berkurang.
Hal ini tentunya sangat mengurangi
kenyamanan bagi pengguna
koridor tersebut.
Dan yang
juga
cukup
penting,
adalah bila
terjadi keadaan
darurat seperti
kebakaran, sisa ruang
koridor tidak memenuhi
persyaratan lagi sebagai sarana
aksesibilitas untuk melakukan
evakuasi penghuni keluar dari
bangunan.
Semi-private space, ruang semi privat pada rumah susun saat ini sulit untuk
didefinisikan maupun diidentifikasikan, mengingat amat jarang sekali sebuah
rumah susun yang dilengkapi dengan teras, hall, atau patio, yang berfungsi
sebagai ruang penerima sebelum masuk pada unit satuan rumah susun.
Private space, ruang akhir sebagai ruang privat bersifat tertutup, yang
digunakan sebagai unit satuan rumah susun oleh pengguna, dalam hal ini
pemilik satuan rumah susun tersebut.
Ruang privat juga dapat hadir dalam bentuk ruang pengelola, dan ruang lainnya
yang mendukung fungsi bangunan rumah susun. Pada tingkat ini, pembagian
ruang dapat diuraikan lebih lanjut menurut timgkatan yang sama, yaitu ; public
space, semi-public space, semi-private space, dan private space. Ruang privat
pada tingkat sebuah hunian merupakan eksistensi dari pembentukan ruang
personal.
Bagaimana proses pembentukan ruang privat dan ruang publik dalam rumah
susun, hal tersebut diawali oleh keberadaan ruang individu dari penghuni
rumah susun (personal space).
[136]
Pengertian sederhana dari personal space menurut Gifford (2002) bahwa
“personal space refers to an area with invisible boundaries surrounding a
personal’s body into which intruders may not come”. Sehingga personal space
dapat dinyatakan sebagai batas-batas ruang pribadi yang memiliki nilai privacy
tinggi, semakin dekat dengan dirinya semakin besar nilai privacy tersebut,
bahkan nilai privacy tersebut dapat masuk pada tingkat psikologi, semakin
dalam tingkat psikologisnya semakin besar nilai privacy-nya. Sehingga kualitas
ruang sangat ditentukan oleh kemampuan mewadahi ruang individu, agar
senantiasa terjaga. Kondisi ini sangat bertentangan sekali dengan fakta ruang
dalam rumah susun, dimana kondisi crowded akibat dari tingginya density
akibat terbatasnya ruang, menjadi persoalan utama.
Ruang-ruang privacy atau personal space ini dapat dimasuki oleh individu
lainnya, ketika antara individu yang saling memiliki personal space saling
berhubungan, maka akan terjadi interaksi yang membangun ruang publik,
semakin banyak individu yang berinteraksi maka semakin besar nilai
kepublikannya. Meskipun demikian personal Space dipandang oleh Robert
Gifford (2002) sebagai komponen geografis, dari hubungan antar personal
yang saling berinteraksi, yang pada akhirnya akan membentuk ruang publik.
Gifford juga menjelaskan bagaimana tingkatan pembentukan kualitas ruang
tersebut diuraikan berdasarkan tingkat kedekatan antara personal, dalam bentuk
jarak dan orientasi diantara individu-individu yang berinteraksi. Tiga aspek
personal space memurut Robbert Gifford;
A personal, Portable territori, yaitu sebuah tempat dimana berada pada
wilayah kontrol dari personal tersebut, beberapa unsur luar diperkenankan
masuk pada wilayah personal ini.
A Spacing Mechanism, mekanisme pengaturan ruang sebagai batasan jarak
antara individul berlangsung secara natural, bahwa setiap individu secara
alamiah memiliki batasan ruang, ketika antara individu berkesempatan
bergerak atau bersama dalam sebuah tempat, maka akan secara otomatis
mengatur jaraknya antara satu individu dengan individu yang lain.
A Communication Channel, pada tingkat personal space terjadi interaksi
berupa komunikasi verbal maupun non verbal, maka akan terbentuk
kualitas ruang yang bergradasi, dalam hal ini Edward Hall membagi empat
jarak interaksi personal yang didasari oleh interaksi sosial antara dua
individu atau lebih, yaitu; jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan
jarak publik.
Pada tingkatan sarusun ruang publik dapat diterjemahkan pada ruang penerima
berupa teras, walau pada kasus rumah susun nasional kita sangat langka kita
temui sebuah unit rumah susun memiliki teras, selanjutnya ruang semi-publik
ditampung pada ruang tamu, yang keberadaan dari ruang tamu ini juga
[137]
terkadang bergabung dengan ruang keluarga yang berada pada level ruang
semi-privat, sehingga keberadaan ruang semi-publik dan ruang semi-privat
pada satuan rumah susun keberadaanya menjadi tidak jelas.
Selanjutnya ruang privat pada rumah susun terdapat pada ruang tidur orang tua
maupun ruang tidur anak, termasuk ruang dapur, serta fasilitas servis lainnya
yang dapat dikategorikan sebagai ruang semi-privat.
Pada tingkat rumah yang fungsinya merupakan sebuah wadah, dimana proses
tumbuh kembang sebuah keluarga, memungkinkan terjadinya peningkatan
kualitas kehidupan dan penghidupannya. Peran orang tua mendidik seorang
anak, proses pertumbuhan seorang anak, sangatlah berperan dalam sebuah
rumah. Anak adalah masa depan bangsa. Seorang ibu memiliki peran dalam
proses pendidikan seorang anak selain di sekolah. Keberlangsungan fungsi
rumah sebagaimana uraian tersebut dapat berjalan ketika pembagian ruang
yang jelas dapat terbentuk dari sebuah rumah.
Persoalan utama dalam rumah susun adalah pembagian tingkatan ruang-ruang
di atas sangat tidak jelas, bahkan sangat tipis. Lalu pada tingkatan tertentu
dapat dinyatakan terjadi pembauran, sehingga kualitas ruang privat terganggu
kualitasnya, yang mengakibatkan penurunan kualitas ruang. Hal ini
disebabkan oleh interferensi ruang dan kebocoran dari ruang yang tingkat
kepublikannya lebih tinggi.
Pada beberapa kasus, ruang tidur yang memiliki kualitas ruang privat sangat
tinggi mengalami penurunan kualitas ruang, karena ruang ini sangat terbuka
dari ruang tamu yang bersifat semi-publik. Demikian juga satuan rumah susun
yang seharusnya secara keseluruhan memiliki kualitas ruang privat, akhirnya
terganggu oleh ruang semi-publik pada koridor. Secara umum setiap satuan
unit rumah susun berada langsung di muka koridor bangunan tanpa ruang
perantara yang berfungsi sebagai ruang semi-privat, bahkan pada beberapa
sarusun dibuat bukaan ke arah koridor berupa jendela dan pintu masuk.
Koridor pada rumah susun merupakan daerah terjadinya konflik ruang, antara
tuntutan ruang semi-privat dan ruang semi-publik. Hal ini disebabkan oleh
sikap penghuni satuan rumah susun yang menjadikan koridor sebagai ruang
semi-privat dan komunitas rumah susun menjadikan koridor sebagai ruang
semi-publik. Satuan unit rumah susun merupakan wilayah ruang privat bagi
sebuah keluarga, harus senantiasa terjaga kualitas privacy dari sarusun tersebut,
hal ini untuk menjaga proses pembentukan sebuah keluarga yang kuat, sehat
dan produktif.
Siklus Kehidupan Manusia
Rumah merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan kehidupan
manusia, yang diawali oleh pembentukan sebuah keluarga. Rata-rata
[138]
pertumbuhan keluarga baru di Indonesia setiap tahun adalah 1.400.000
keluarga baru (BPS 2000). Perubahan sebuah keluarga selanjutnya mulai
diterjadi setelah lima tahun dari pembentukan keluarga, dimana pada masa ini
sebuah keluarga telah bertambah seorang anggota keluarga yang dikategorikan
sebagai anak balita (bayi di bawah lima tahun). Tahap-tahap daur hidup
manusia menurut Heimsath yang dikutip dari Petra (2003), terdapat tujuh
tahapan, yang meliputi : tahapan bayi, tahapan anak-anak, tahapan remaja,
tahapan perkawinan, tahapan reproduksi – merawat anak, tahapan usia
pertengahan, dan tahapan dewasa – lanjut usia.
Selanjutnya tahapan tersebut dikaitkan dengan kebutuhan rumah, maka dapat
dibagi berdasarkan, tahapan pasangan muda, tahapan pasangan dengan anak
balita, tahapan pasangan dengan anak dewasan, dan tahapan lansia dimana
orang tua kembali pada kondisi semula yaitu pasangan suami istri dimana
anak-anak telah lepas dari orang tua.
Berdasarkan data BPS yang telah diolah maka komposisi kebutuhan rumah
berdasarkan empat tingkatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Mengikat pada
tahapan pertumbuhan sebuah keluarga tersebut, bahwa tahapan dimana sebuah
keluarga yang telah memiliki anak dewasa antara usia 5 sampai dengan 24
tahun merupakan sebuah potret dimana kebutuhan rumah bagi keluarga
tersebut harus utuh, yaitu memiliki ruang privat berupa ruang tidur milik orang
tua, serta ruang anak minimum satu buah, namun bila komposisi anak terdiri
dari anak laki-laki dan wanita maka minimal ruang tidur anak harus berjumlah
dua buah. Pemisahan antara anak laki-laki dan wanita tersebut
dipertimbangkan terhadap pertumbuhan sosial yang lebih sehat bagi keduanya.
Tabel 4. Prosentase kebutuhan rumah berdasarkan komposisi jumlah anggota
keluarga
[140]
untuk pekerja serta pasangan muda, rumah susun mahasiswa, rumah susun
keluarga kecil, rumah susun keluarga besar, serta rumah susun lansia.
Selanjutnya rumah susun-rumah susun demikian dikelola dengan sistem sewa,
agar memudahkan sistem penghuniannya.
Perilaku Manusia
Kecenderungan perkembangan perumahan di perkotaan terus menyebar kearah
horizontal, sehingga kota terus berkembang menjadi megapolitan. Namun
perkembangan perkotaan tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan antara
komposisi perumahan, dengan sarana dan prasarana permukiman. Akibatnya
timbul kecenderungan masyarakat yang tinggal di pinggiran kota setiap harinya
senantiasa masuk keperkotaan, karena fasilitas kerja, serta prasarana
permukiman lainnya masih terkonsentrasi diperkotaan.
Kondisi demikian menimbulkan pergerakan manusia setiap harinya, pada pagi
hari dari pinggiran ke pekotaan, dan pada sore hari dari perkotaan ke
pinggiran, rata-rata total waktu yang diperlukan oleh masyarakat diperjalanan
mencapai paling sedikit 3 – 4 jam per hari. Hal ini selain dapat mengurangi
waktu kerja, juga dapat mengurangi waktu berkumpul dengan keluarga di
rumah.
Intensitas pertemuan keluarga di rumah bagi sebagian masyarakat perkotaan
menjadi sangat minim, sebagaimana kita ketahui, rata-rata masyarakat di
perkotaan setiap harinya harus sudah meninggalkan rumah pada jam 6.00 pagi,
baik untuk pelajar maupun pekerja, dan baru sampai rumah rata-rata jam 8.00 –
9.00 malam atau lebih. Menurut salah satu sumber dari Depag sebagian besar
perceraian disebabkan oleh minimnya intensitas pertemuan dalam pasangan
tersebut, dan umumnya perceraian terjadi pada pasangan muda yang baru
melangsungkan pernikahan beberapa tahun.
Keluarga merupakan sebuah komunitas terkecil dalam masyarakat, di
dalamnya terjadi interaksi sosial antara orang tua dengan anak. Rata-rata
jumlah anggota keluarga di Indonesia menurut BPS adalah 4,5 jiwa sedangkan
di perkotaan 4 jiwa, walaupun angka tersebut mulai mengalami pergeseran saat
ini. Sebuah keluarga secara alamiah akan mengalami pertumbuhan dengan
hadirnya satu persatu anak-anak dari sepasang suami istri. Lalu pada
perkembangan selanjutnya akan kembali pada pasangan suami istri, setelah
anak-anak menginjak dewasa dan membangun keluarga baru.
Sebuah keluarga senantiasa memiliki ruang privatnya sendiri, yaitu dalam
bentuk rumah. Rumah bagi keluarga dapat memberikan ruang privat, ketika
rumah tersebut memiliki batas-batas yang kuat yang memisahkan antara teritori
keluarga tersebut, dengan teritori keluarga yang lainnya, dan juga terhadap
ruang publik.
[141]
Sejauhmana rumah susun memiliki batas-batas sebagai penunjuk teritori saat
ini, umumnya sangat lemah. Batas-batas teritori sebuah rumah susun
umumnya mengalami interferensi ruang dari ruang publik, sehingga
sekelompok unit rumah pada rumah susun mengalami gangguan. Akibatnya
rumah sebagai fungsi pembinaan sebuah keluarga akan berkurang nilai
fungsinya tersebut, bahkan dapat hilang sama sekali. Pada kondisi demikian
fungsi rumah pada rumah susun hanya sekedar tempat bernaung, yaitu wadah
yang terbentuk secara fisik, dan tidak berfungsi sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya sebuah keluarga.
Kondisi ketika teritori rumah pada rumah susun dalam bentuk batas yang
bergeser masuk kedalam wilayah teritori, maka fungsi rumah susun tersebut
hanya sekedar sebuah house bukan sebuah home.
Perubahan setiap individu itu senantiasa terjadi sebagai bagian dari sistem
kehidupan yang hakiki. Perubahan terjadi dikarenakan tumbuhnya sebuah
persepsi pada setiap individu, dan persepsi setiap individu ini terbentuk dari
latar-belakang serta pengalaman hidup yang berbeda.
Ruang memberi makna, nilai makna berkembang sejalan dengan pengalaman
serta latar belakang yang berbeda, perbedaan makna menghasilkan sebuah
persepsi baru dan kesepakatan baru terhadap nilai-nilai ruang.
Ruang-ruang dalam rumah susun terdiri dari ruang living street, ruang unit
hunian, ruang-ruang penunjang, dan ruang luar. Sedangkan pada ruang dari
setiap unit hunian terdiri dari ruang keluarga yang dirangkap sebagai ruang
penerima tamu serta aktifitas keluarga secara bersama, ruang tidur, ruang dapur
serta ruang servis yang meliputi ruang mandi, cuci, dan jemur. Living street
merupakan ruang koridor rumah susun yang menghubungkan unit-unit hunian
rumah susun.
[143]
menimbulkan interfensi ruang publik dan ruang privat. Melihat pada uraian-
uraian di atas maka dalam penentuan luas minimal ruang hunian rumah susun
ditentukan oleh lima tingkatan ruang Tabel 5., yang meliputi;
9.4. Penutup
Kebutuhan ruang minimum harus mempertimbangkan kebutuhan ruang
personal, kebutuhan ruang sosial, kebutuhan ruang komunitas yang ditandai
melalui keberadaan teritorial dalam setiap pemenuhan ruang tersebut.
Ruang privat merupakan faktor penentu utama terbentuknya sebuah keluarga
yang sehat, dimana proses sosial sebuah keluarga dapat berlengsung dan tidak
mengalami interferensi ruang dari ruang publik di luar unti hunian rumah
susun. Rumah harus memiliki teritori yang membentuk batas. Semakin kuat
batas yang membentuk teritori tersebut, semakin utuh kualitas ruang rumah
tersebut. Kenyataan pada rumah susun, batas teritori ini terkadang samar,
dibandingkan dengan rumah landed.
[144]
Dapat disimpulkan bahwa kondisi penyediaan satuan unit rumah susun saat ini
secara umum, dapat dinyatakan belum memenuhi syarat kesehatan rumah
sesuai dengan yang ditargetkan dalam tujuan pembangunan perumahan dan
permukiman nasional. Mengingat ruang-ruang yang tersedia dalam sarusun
belum mampu mewadahi kehidupan sebuah keluarga secara utuh, khususnya
rumah susun milik dengan luasan antara 30 sampai dengan 36 m2. Dengan
demikian disarankan untuk menangani persoalan keterjangkauan,
pembangunan rumah susun saat ini difokuskan pada pembangunan rumah
susun sewa. Dengan demikian dimungkinkan terjadi pergeseran penghuni,
antara penghuni pasangan muda, pasangan dengan anak dan pasangan lansia.
Persoalan ruang pada rumah susun bukan pada tingginya kepadatan rumah
susun, akan tetapi terjadi akibat terbatasnya ruang dalam bangunan rumah
susun yang tersedia. Kekacauan ruang (crowded) akibat standar penyediaan
ruang pada rumah susun berada pada angka yang jauh dari ketentuan minimal.
Ketentuan minimal dalam hal ini tidak terdapat pada Keputusan Menteri
Kimpraswil no. 403/2002, karena standar ruang tersebut diperuntukkan bagi
rumah landed. Yang menjadi persoalan bahwa kebutuhan luas satuan rumah
susun tidak dapat disamakan dengan kebutuhan luas bangunan landed house,
hal ini disebabkan terdapat perbedaan yang cukup signifikan, dimana
keberadaan ruang semi-privat pada landed house masih dapat diperoleh
melalui keberadaan halaman depan bangunan, sedangkan pada rumah susun
keberadaan ruang-semi privat ini tidak diperoleh.
Bila luasan kebutuhan ruang akan disamakan antara luasan rumah susun
dengan rumah landed, maka persyaratan ruang menyangkut: tingkatan ruang
privat, semi-privat, semi-publik dan publik, harus dapat dipenuhi oleh disain.
Pada pendekatan disain rumah susun dengan sistem terpusat, sangat membuka
peluang terbentuknya tingkatan ruang-ruang tersebut, sehingga standar
kebutuhan luas ruang per jiwa dapat saja disamakan dengan standar ruang
rumah landed.
[145]
[10] Pemaknaan Ruang Hunian
[146]
Telaah ini ditujukan untuk mengenali dinamika pemaknaan ruang serta
konsekuensi dari persepsi penghuni tersebut terhadap pola kehidupan dan
penghidupan masyarakat di perkotaan, khususnya yang tinggal dalam rumah
susun sederhana milik.
Akhir telaah ini menunjukkan adanya penurunan kualitas ruang, yang malahan
diterima masyarakat sebagai sebuah kewajaran, dalam kehidupannya. Padahal
akibat langsung dari keadaan tersebut, telah menyebabkan kehidupan
masyarakat jauh lebih berat. Dan berakibat penurunan kualitas kehidupan serta
penghidupan. Telaah ini merupakan penggalian isu-isu proses pemaknaan
ruang, pada arsitektur rumah susun dengan status hak milik. Dengan
peruntukan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah. Rumah
susun tipe ini dikenal dengan istilah Rusunami (rumah susun sederhana milik).
Keterlibatan pemerintah dalam penyediaan tipe hunian ini adalah pada bentuk
bantuan fiskal maupun finansial lansung. Untuk itu pemerintah memberikan
beberapa ketentuan yang terkait dengan spesifikasi teknis, maupun terkait
kriteria target sasaran calon penghuni. Ketentuan-ketentuan tersebut ditetapkan
berdasarkan pada kemampuan pemerintah dalam penyediaan sumber daya,
serta daya beli masyarakat, yang menjadi target sasaran.
Penyediaan perumahan dengan pola bersusun di perkotaan saat ini, sudah tidak
dapat dihindari. Kerusakan lingkungan akibat konversi lahan, merupakan isu
utama yang menjadi landasan dalam penyediaan perumahan vertikal di
perkotaan. Pembangunan kota secara compact, dapat mengurangi kerusakan
lingkungan. Yaitu dalam bentuk mengurangi konsumsi lahan untuk hunian,
mengurangi konsumsi energi akibat berkurangnya kemacetan, dan
memperpendek jarak tempuh. Dan juga berbagai persoalan lingkungan
lainnya, yang dapat terselesaikan berkat penyediaan hunian vertikal, sebagai
bagian dari konsep compact city.
Salah satu ketentuan teknis terkait di atas, adalah pembatasan luas unit hunian.
Yang mana hal tersebut , justru mengakibatkan belum/tidak terpenuhinya
kebutuhan ruang, walau bagi sebuah keluarga inti sekalipun. Maksudnya,
ruang yang diperlukan untuk menjalankan aktifitas kehidupan dan
penghidupan, yang lebih baik bagi sebuah keluarga. Keterbatasan ruang tidak
saja terjadi pada ruang-ruang sebuah unit hunian, akan tetapi juga terjadi pada
ruang-ruang yang menjadi fasilitas bersama, di dalam mapun di luar bangunan.
Salah satu langkah kebijakan pemerintah (dalam upaya melakukan percepatan
penyediaan perumahan), adalah pencanangan gerakan pembangunan 1000
tower, yang dicanangkan pada awal tahun 2007, ditandai dengan peluncuran
pembangunan Rusunami, dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi di
beberapa kota besar, yakni Rusunami dengan karekteristik jumlah lantai yang
lebih banyak, dan disepakati di atas delapan lantai sampai dengan dua puluh
[147]
lantai. Luas unit hunian kurang dari 36 m2 dengan rata-rata luas yang dibangun
adalah 21 m2, dengan peruntukan bagi sebuah keluarga rata-rata empat anggota
keluarga.
Mengenai ketentuan teknis rusunami di atas, masih terdapat beberapa
pertentangan dengan regulasi teknis, yang selama ini diberlakukan. Salah
satunya menyangkut kebutuhan ruang minimum per jiwa. Baik ruang luar
maupun ruang dalam. Hal tersebut telah menimbulkan konflik ruang, pada
tingkat ruang personal maupun ruang sosial.
Sejalan dengan hal tersebut, bisa dilakukan kajian yang mengacu kepada
literatur, yaitu tentang sejarah perumahan pada abad pertengahan di Eropa,
serta era tahun 1965-an di Amerika Serikat. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ali Madanipour dan Oscar Newman, bahwa telah terjadi
berbagai persoalan konflik ruang pada lingkungan perumahan. Kedua penulis
tersebut mengisyaratkan, bahwa antara manusia dengan bangunan maupun
lingkungan terjadi interaksi yang sangat kuat. Proses interaksi terjadi akibat
adanya aktivitas manusia di dalam lingkungannya. Dilanjutkan oleh
pembentukan persepsi oleh manusia yang membangun makna dalam
pikirannya. Antara keduanya terjadi interaksi timbal balik, yang
mengakibatkan dinamika pemaknaan ruang yang selalu berubah.
Dinamika yang terjadi dalam proses pemaknaan, selanjutnya ditelaah melalui
ekplorasi teori makna ruang, pada sebuah disain arsitektur perumahan. Disain
yang dibangun melalui perwujudan arsitektur, yaitu; form - structure, meaning
- context dan function – mores.
Berangkat dari titik acuan bentuk (form) yang digali dari disain-disain prototipe
Rusunami, dapat digunakan sebagai variabel tetap untuk penelaah selanjutnya.
Dari variabel tetap tersebut, penghuni akan membangun persepsi ruang yang
menghasilkan pemaknaan ruang. Dalam pembentukan makna ruang, seseorang
juga akan dipengaruhi oleh nilai-nilai makna ruang yang telah dimiliki
sebelumnya (environmental cognition).
Pembentukan makna ruang akan diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai sosial
yang memengaruhi perilaku dalam beraktivitas. Aktifitas keluarga juga terjadi
akibat tuntutan kebutuhan (need), yang umumnya akan mengalami pergeseran
menjadi keinginan (want) yang sulit dibatasi. Sehingga fungsi ruang harus
dapat mewadahi minimal kebutuhan dasar manusia dalam hunian.
Namun yang menjadi persoalan adalah keterbatasan luas ruang, yang
disediakan pada unit Sarusun, ternyata belum dapat mewadahi seluruh aktifitas
keluarga dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan terjadi konflik ruang.
Sehingga memengaruhi proses pemaknaan ruang oleh penghuni. Selanjutnya
penghuni berusaha melakukan adaptasi terhadap ruang tersebut.
[148]
Masyarakat sebagai sebuah komunitas - yang terdiri dari individu-individu
heterogen, akan berupaya mempertahankan keberlangsungan hidup pada
keterbatasan ruang. Namun manusia memiliki kemampuan untuk melakukan
adaptasi terhadap kondisi lingkungan tempat mereka tinggal. Proses adaptasi
tersebut timbul sebagai sebuah konsekuensi dari adanya konflik pemaknaan
ruang, pada individu maupun komunitas.
Isu-isu di atas, merupakan potret penyediaan perumahan bersusun di Indonesia
saat ini. Bahkan beberapa kajian rumah susun yang telah dibangun pada era 85-
an di beberapa kota besar, telah menunjukkan gejala yang sama dengan sejarah
perumahan di belahan dunia. Yang telah lebih dahulu menerapkan pola rumah
vertikal. Namun kajian-kajian tersebut belum banyak memberikan kontribusi
terhadap kebijakan teknis menyangkut penyediaan Rusunami pada saat ini.
Dibandingkan dengan era 80-an, tampak bahwa kompleksitas disain dan sosial
era kini lebih besar tantangannya.
Keterbatasan ruang pada sebuah blok, termasuk unit rumah susun, akan
mendorong penghuni untuk tetap mengupayakan penyediaan ruang-ruang dasar
(need) yang diperlukan.
Bentuk upaya-upaya penyediaan ruang tersebut disikapi oleh masyarakat
secara beragam. Kemudian menghasilkan variasi ruang, yang dapat digunakan
sebagai acuan, dan titik tolak dalam proses disain sebuah rumah susun. Telaah
ini mengangkat bentuk upaya adaptif manusia terhadap ruang, melalui
dinamika pemaknaan ruang, oleh seorang individu sampai dengan komunitas.
Persoalan lainnya yang juga akan memengaruhi proses pemaknaan ruang
hunian, adalah pergeseran fungsi rumah di perkotaan. Mulai dari needs menjadi
wants, yang mengarah pada rumah sebagai komoditas ekonomi (investasi dan
komersil). Hal ini terjadi karena adanya peluang komersialisasi rumah di kota-
kota besar, yang kian hari harga per unitnya semakin tinggi. Sehingga terjadi
penurunan (pergeseran) nilai-nilai rumah sebagai fungsi sosial. Rumah tak lagi
utama sebagai fungsi sosial. Fungsi sosial maksudnya, bahwa rumah
merupakan sarana dalam pengaktualan diri penghuni, sebagai wadah interaksi
sosial, antara penghuni dalam sebuah keluarga, serta interaksi antara satu
keluarga dengan keluarga lainnya.
Telaah ini merupakan sebuah upaya mengungkap dinamika pemaknaan
terhadap rumah, pada masyarakat perkotaan yang tinggal di Rusunami.
Fenomena adaptasi penghuni Rusunami terhadap keterbatasan ruang, dalam
menciptakan ruang sesuai dengan nilai pemaknaan ruang hunian yang
dianutnya. Proses pembentukan ruang pada satuan unit rumah susun,
berdasarkan luas ruang yang belum memenuhi kebutuhan ruang minimal,
dalam memenuhi aktifitas keluarga.
[149]
Pada komponen arsitektur perumahan, yang menjadi fokus telaah adalah
proses pemaknaan ruang oleh penghuni, yang nantinya berimplikasi pada
modifikasi disain, untuk memenuhi kebutuhan aktifitas dalam sebuah hunian,
sesuai dengan persepsi yang dibawa dari pengalaman tinggal sebelumnya.
Isu Pemaknaan Ruang
Proses pemaknaan ruang oleh individu maupun keluarga atau masyarakat,
terhadap sebuah hunian, merupakan sebuah peristiwa sosial yang berlangsung
secara almiah. Di situ seseorang akan selalu mempertahankan atau membentuk
ruang individu, sampai dengan ruang sosial dalam sebuah kelompok. Mulai
pada tingkat keluarga, sampai dengan pada tingkat komunitas. Pembentukan
komunitas tersebut dilakukan melalui penentuan wilayah, yang disampaikan
melalui pembentukan teritorialitas, yang berupa batas fisik maupun batas
psikologis.
Pada tingkat keluarga dalam satu unit hunian, terjadi pula pembentukan batas-
batas ruang. Sebagai perwujudan pemaknaan ruang individu, yang memiliki
sifat private. Dan ruang komunitas, yang memiliki sifat public. Hal tersebut
merupakan sebuah tuntutan dari sebuah kehidupan manusia, yang merupakan
unsur sebuah keluarga.
Namun bagaimana upaya-upaya tersebut terwujud, ketika sebuah unit hunian
memiliki keterbatasan luas ruang, dalam menampung aktifitas keluarga?.
Bagaimana keberadaan ruang dalam sebuah blok, dan satuan unit rumah
susun, dimaknai oleh penghuni menjadi ruang-ruang minimal yang tetap dapat
memenuhi kebutuhan dasar akan ruang?. Apakah upaya-upaya tersebut dapat
menghasilkan elemen ruang arsitektur sebagaimana seharusnya? Lalu bila
tidak, tentunya terdapat elemen arsitektur yang hilang dalam sebuah hunian di
Rusunami?
Unit hunian tetap dimaknai oleh penghuni secara simbolis dan membangun
persepsi pada tingkat individu, maupun kelompok masyarakat. Hal tersebut
akan membangun kebiasaan baru penghuni rumah susun. Tentunya sebagai
konsekuensi dari dinamika pemaknaan ruang, yang dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang tempat tinggal sebelumnya (environmental cognition dan
environmental perception). Kemudian dikondisikan pada disain rumah susun
itu sendiri. Proses selanjutnya adalah interaksi antara manusia dengan
bangunan sebagai bentuk penyatuan lingkungan spasial hunian baru.
[153]
Rumah merupakan sebuah tempat yang memberikan nilai-nilai sosial, serta
memberikan makna kuat terhadap individu penghuni. Rumah sebagai sebuah
unit yang memberikan nilai privacy terhadap keluarga dan individu. Privacy
merupakan sebuah kebutuhan dasar dari setiap manusia.
Kualitas kehidupan tercapai ketika seseorang atau keluarga dapat memenuhi
kebutuhan psikologis dan rasa aman dari rumahnya. Kondisi tersebut tercapai
ketika tingkat privacy dari sebuah rumah tercapai. Tingkat ke-privacy-an
sebuah rumah sangat tergantung pada kemampuan proteksi tempat tersebut
terhadap keadaan crowding dari lingkungan dimana tempat tersebut terletak.
Melalui telaah sejarah, perumahan pada abad pertengahan di Jazirah Eropa.
Rumah pada saat itu, memiliki konsep sebagai wadah sosial dari sebuah
komunitas yang sangat besar. Di situ tidak terdapat batasan yang kuat antara
tempat kerja, dengan kehidupan private pemiliknya. Bekerja dan tinggal dalam
rumah, tanpa pembagian ruang yang jelas. Yaitu tinggal dalam sebuah ruang
besar, dengan sedikit perabotan, yang menampung seluruh aktifitas keluarga,
termasuk aktifitas kerja.
Pada saat itu juga rumah menjadi sebuah public space menurut Madanipour
(2003). Sampai akhirnya terjadi tuntutan perubahan konsep rumah. Hal itu
disebabkan oleh adanya perubahan sikap dari anak-anak pada masa tersebut.
Ketika keberadaan anak-anak bercampur dengan orang dewasa, mengakibatkan
anak-anak lebih cepat dewasa sebelum waktunya. Bahkan hubungan antara
orang tua dan anak menjadi lebih jarang, sehingga pembentukan moral dan
sosial tidak terjadi dalam rumah. Kondisi tersebut berlangsung sampai dengan
abad ke-17, dimana kondisi anak-anak yang sangat memprihatinkan menjadi
perhatian dalam kehiduopan berkeluarga. Terutama yang menyangkut;
kesehatan, pendidikan, dan kehidupannya di masa depan.
Hal tersebut telah mendorong perubahan konsep rumah. Fungsi rumah dari
pusat kehidupan publik , menjadi pusat pengembangan kehidupan private dari
individu dan keluarga inti.
Namun, fenomena kehidupan pada unit hunian rumah susun, khususnya rumah
susun milik, saat ini tidak terlepas dari analogi kondisi perumahan di Eropa
pada abad pertengahan tadi. Ketika unit-unit rumah susun kehilangan fungsi
rumah sebagai simbol ruang private. Kualitas privasi dari sebuah rumah saat
ini banyak yang menurun, karena menjadi ruang publik. Rumah-rumah
tersebut, selain menjadi tempat berkumpulnya sebuah komunitas, juga menjadi
tempat kerja oleh sebagian penghuninya.
Bila ditelaah kembali, bahwa sejarah perumahan di Eropa telah mencatat
dampak sosial yang sangat berat. Keberadaan anak-anak di rumah susun saat
ini, tampak juga terabaikan. Anak-anak telah kehilangan hak hidup-nya,
[154]
padahal perubahan signifikan perumahan di Eropa difokuskan pada penguatan
keberadaan anak-anak tersebut.
Menjadi catatan penting dalam telaah ini, adalah fokus konsep hunian
didudukkan kembali pada eksistensi anak-anak yang tinggal di dalam-nya.
Ketika kesehatan, pendidikan, serta masa depan menjadi perhatian utama, agar
supaya proses kedekatan hubungan antara orang tua dan anak lebih baik.
Artinya bahwa kesehatan anak tergantung orang tua. Tentang pendidikan anak,
orang tua juga menentukan, walau pendidikan formal turut membentuk.
Namun jumlah waktu yang dilewati anak-anak, nota bene justru sebagian
besarnya adalah di rumah. Ini menjadi sebuah dasar dan alasan kuat, mengapa
rumah memiliki peran begitu penting, dalam proses pendidikan. Khususnya
melalui learning by doing. Selain itu peran orang tua dalam menyiapkan masa
depan anak sangat besar sekali.
Pada bangunan atau rumah, aspek kesehatan berkaitan erat dengan sistem air
bersih dan sistem sanitasi. Di samping juga penting kebutuhan akan
pencahayaan, udara, serta suara-suara gaduh yang dijamin berada minimum,
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Peran pendidikan tentunya tidak hanya dibebankan pada pendidikan formal
yang disampaikan oleh sekolah. Pendidikan dalam hal ini peran orang tua
dalam berinteraksi dengan anak-anak. Bahwa interaksi yang baik, merupakan
proses pendidikan dalam pembentukan karakter anak-anak. Yang pada
akhirnya, ketika kedua aspek tadi tercapai, maka orang tua secara tidak
langsung telah mempersiapkan masa depan anak dengan baik. Seluruh
aktifitas tadi terjadi dalam rumah, oleh karena itu fungsi rumah sebagai simbol
privacy menjadi sangat penting.
Kualitas Lingkungan Fisik
Pola disain rumah susun yang dikembangkan saat ini adalah pola linier dengan
sistem koridor tunggal (single loaded). Dengan tata masa dua buah blok yang
saling berhadapan, pola tata masa tersebut diberi istilah twin block. Sehingga
pada bagian koridor yang saling berhadapan akan membentuk ruang yang
membatasi antara dua koridor tersebut. Akibatnya antara kedua koridor
tersebut masih dimungkinkan terjadi interaksi visual, namun tidak
dimungkinkan terjadi interaksi fisik.
Hal ini sedikit berbeda dibandingkan dengan pola lingkungan permukiman
sebelumnya (landed house), dimana koridor sebagai ruang publik mengalami
pergeseran kualitas ruang sebagai ruang interaksi sosial secara fisik maupun
non fisik.
Koridor sebagai ruang publik, memiliki fungsi utama sebagai ruang sirkulasi.
Yang menghubungkan akses terhadap unit-unit hunian. Dan merupakan satu-
[155]
satunya akses yang dimiliki penghuni bangunan. Ini berbeda dengan pola
sirkulasi pada perumahan yang dibangun di atas tanah, yang memiliki beberapa
alternatif pencapaian.
Akibatnya kualitas ruang sirkulasi pada koridor bangunan rusuna lebih
memiliki nilai private dibandingkan dengan ruang sirkulasi pada perumahan di
atas tanah. Ketika ruang publik menjadi lebih private, maka akan sangat mudah
diintervensi oleh ruang private, hal ini didorong juga oleh keterbatasan ruang
private yang dimiliki oleh sistem hunian.
Rumah sebagai sistem hunian merupakan simbol privacy, perlu dipahami pada
tingkat individu, keluarga, maupun komunitas. Dalam mengkonstruksikan
ruang privacy diperlukan proses pemahaman terhadap ruang-ruang dari sebuah
unit hunian, yang meliputi: halaman, ruang tamu, ruang keluarga, ruang
makan, dapur, ruang tidur orang tua, ruang tidur anak, ruang tidur tamu, kamar
mandi, gudang, ruang cuci, ruang jemur, halaman belakang.
Keterbatasan ruang pada sistem hunian vertikal rusunami, menjadi faktor
utama yang menurunkan kualitas lingkungan fisik dari sebuah sistem hunian.
Hal ini disebabkan oleh upaya-upaya penghuni untuk mempertahan kehidupan,
dengan melakukan beberapa modifikasi lingkungan, disertai pembentukan
pemaknaan ruang yang dipersepsikan oleh penghuni secara kolektif.
[156]
waktu singkat, akhirnya setelah menemukan orientasinya, laba-laba tersebut
membangun sarang laba-laba yang tidak berbeda dengan di bumi.
Bagaimana proses pembentukan pemaknaan manusia terhadap sebuah ruang,
tidak dapat dilepaskan dari proses pengalaman. Pengalaman individu
memengaruhi persepsi pada diri manusia. Pengalaman sangat erat kaitannya
dengan dunia spiritual yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dianutnya kelak.
Dunia spiritual sangat erat hubungannya dengan hal-hal gaib yang diyakini
oleh manusia, sebagai contoh hubungan manusia dengan Tuhan-nya (pada sisi
positif) atau hal-hal yang tidak berwujud seperti kehidupan mahluk halus, roh
nenek moyang, dsb (sisi negatif). Juga pengalaman horizontal berkaitan dengan
masa lalu dan masa kini yang erat kaitannya dengan dunia fisik. Seperti
bentukan ruang artifisial masa lalu, yang telah berubah dengan ruang artifisial
saat ini.
Contohnya ketika kelompok masyarakat memaknai ruang halaman rumah
sebagai ruang milik yang memungkinkan diintervensi oleh ruang private. Maka
ketika persepsi tersebut dibawa kedalam hunian vertikal, maka batas-batas
hunian sebagai ruang private tidak dapat dikembangkan lagi. Atas alasan
tersebut, penghuni pada rusun melakukan intervensi ruang privat pada ruang-
ruang publik, seperti koridor, tangga, atau hall.
Pengalaman berbeda pada setiap waktu akan memberikan/membentuk persepsi
yang berbeda pada setiap manusia yang berbeda generasi. Sehingga generasi
selanjutnya akan memaknai ruang-ruang publik tersebut menjadi ruang private.
Pembentukan persepsi pada manusia tahap demi tahap, akan membentuk nilai-
nilai yang dianut sebagai nilai-nilai kebenaran. Sehingga tidak heran, ketika
seorang anak yang lahir dan dibesarkan di kawasan padat dan kumuh, kelak
setelah besar dia akan merasakan bahwa nilai-nilai sosial dan kesehatan yang
berada pada kawasan padat dan kumuh tersebut merupakan hal yang normal.
Dalam proses tersebut telah terjadi pergeseran nilai baik yang terukur (standar)
maupun nilai-nilai yang tidak terukur. Hal ini sejalan dengan tingkatan unsur-
unsur budaya yang disampaikan oleh Koentjaraningrat. Bahwa ketika teknologi
merupakan unsur budaya yang paling mudah berubah, dibandingkan dengan
nilai-nilai agama yang merupakan unsur budaya paling sulit berubah.
Nilai privacy dapat menjadi sebuah petunjuk dari sebuah kepemilikan atau
penguasaan ruang, yang berlaku pada tingkat individu, keluarga, atau
kelompok yang lebih besar. Pada sebuah rumah tinggal di atas tanah, rumah
menjadi simbol privacy. Maka ketika penghuni akan melakukan
pengembangan ruang privacy tersebut, masih dimungkinkan dilakukan secara
horizontal, pada daerah halaman maupun pada arah vertikal.
[157]
Berbeda pada rumah susun, ruang privacy tidak dimungkinkan untuk dapat
dikembangkan lagi. Dalam kondisi demikian, penghuni harus dapat
mempertahankan kehidupannya sesuai dengan tata nilai yang dianut. Ketika
nilai-nilai kehidupan tidak terwadahi oleh sistem hunian yang ada, maka
penghuni akan melakukan modifikasi ruang, untuk memastikan
keberlangsungan hidup manusia dapat dilaksanakan.
Pada tahap ini, tumbuh makna-makna baru terhadap ruang yang ada dalam
sistem rumah susun. Bagaimana koridor dimaknai oleh penghuni sebagai
ruang private, dengan menempatkan sebuah sofa, yang merupakan sebuah
penandaan penguasaan ruang public menjadi private. Tentunya kondisi
demikian dapat menimbulkan konflik pada ruang public.
Begitu juga bagaimana penghuni melakukan pemaknaan ruang-ruang public
menjadi ruang-ruang servis. Misalnya seperti memfungsikan atap teritis
sebagai tempat jemur pakaian, menempatkan gudang pada bagian langit-langit
dari koridor. Atau daerah utilitas bangunan seperti ruang panel listrik, meter
air, dan tempat box hidrant yang dianggap tidak bertuan, menjadi ruang yang
diperebutkan untuk digunakan sebagai gudang.
Demikian juga pada unit hunian, bahka konflik ruang private – public juga
terjadi. Hal tersebut lebih disebabkan oleh peran individu-individu dalam
sebuah keluarga, juga membutuhkan ruang private.
Unit hunian merupakan sebuah wadah sosialisasi keluarga, untuk itu
membutuhkan ruang-ruang bersama yang tidak mengganggu ruang private.
Yang memiliki intensitas penggunaannya dari sisi kualitas waktu lebih lama,
namun ketersediaannya sangat minim. Keterbatasan ruang interaksi keluarga
ini, yang menyebabkan kontak sosial antara orang tua dan anak intensitasnya
menjadi sangat rendah. Anak-anak cenderung tak betah di rumah, lalu mencari
kenyamanan udara dan ruang di luar rumah. Dan menjadi unsur utama yang
mendorong persoalan sosial dalam hunian vertikal, seperti vandalisme,
kriminalitas, yang akhirnya menurunkan produktifitas penghuni.
Dengan demikian telaah ini merupakan sebuah langkah menuju pembuktian
bahwa melalui penguatan fungsi rumah sebagai simbol privacy, maka akan
menciptakan sebuah bangsa yang kuat dan produktif.
Pembentukan ruang yang dilakukan oleh penghuni ditandai/disimbolkan
melalui penempatan perabot, menggunakan partisi sederhana dalam bentuk
tirai atau dinding kayu lapis. Juga dengan membedakan bahan dan warna pada
dinding, lantai maupun plafond. Fenomena yang cukup dominan pola
pembatasan ruang-ruang tersebut, banyak menggunakan perabot. Selain itu
juga, penempatan perabot pada ruang public dianggap sangat jitu dalam upaya
untuk menyatakan kepenguasaan yang cederung pada kepemilikan secara tidak
formal.
[158]
Makna Ruang
Dalam pembentukan ruang, seorang perencana akan menentukan terlebih
dahulu bagaimana ruang itu digunakan. Dalam sebuah perencanaan kebutuhan
ruang, dimensi ruang serta hubungan ruang, dipertimbangkan terhadap aktifitas
pengguna. Hal tersebut terjadi pada kondisi ideal, ketika seorang perencana
tidak dibatasi oleh persoalan keterjangkauan dari pengguna. Ketika perencana
sangat dibatasi oleh biaya, maka ruang-ruang diupayakan memiliki fungsi
ganda (multy functions). Dengan harapan pengguna akan melakukan adaptasi
terhadap ketersediaan ruang.
Hal ini adalah fenomena proses disain rumah susun saat ini, dan telah
mendorong pengambil kebijakan untuk menetapkan luasan satuan unit rumah
susun, yang berada di bawah kebutuhan ruang minimum untuk hidup layak.
Gap yang belum ditemukan penyelesaiannya.
Adanya keterbatasan ruang pada satuan unit rumah susun, tidak menjadikan
begitu saja dengan mudah penghuni akan kehilangan makna rumah. Makna
rumah tetap kuat pada penghuni yang menempatkan rumah sebagai fungsi
sosial, yaitu wadah untuk melakukan sosialisasi antara anggota keluarga,
rumah juga sebagai ungkapan jati diri di samping sebagai tempat berlindung
dari gangguan ekternal.
Makna dalam arsitektur merupakan komunikasi non verbal, sehingga objek
yang dimaknai oleh perencana dapat saja mengubah makna yang diterima oleh
pengguna bangunan. Kemungkinan tersebut sangat tinggi, ketika terdapat
perbedaan latar belakang antara perancang dan pengguna. Hal tersebut
mengakibatkan perbedaan sudut pandang, sehingga menghasilkan persepsi
yang berbeda. Dengan demikian terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara
kutub makna dan kutub persepsi. Antara makna dan persepsi berada pada dua
kutub yang berbeda, makna disampaikan oleh tampilan arsitektural
(transmiter) dan persepsi disusun oleh penghuni (receiver). Komunikasi yang
benar bila antara makna dan persepsi memiliki nilai yang sama, maka proses
komunikasi itu dianggap benar.
Dalam rumah susun , proses komunikasi yang terjadi tidak seperti apa yang
diharapkan. Berangkat dari spatial cognition dari penghuni, yang dibawa dari
pengalaman ruang sebelumnya, kemudiabn dibawa ke dalam rumah susun.
Namun setelah melalui identifikasi dan melakukan relevansi, tata nilai ruang
yang dianut sebelumnya tidak dapat ditemukan secara utuh dalam lingkungan
hunian barunya. Pada level ini, penghuni secara kolektif akan membangun
nilai-nilai baru, melalui proses adaptasi dengan melakukan modifikasi aktifitas,
yang bermuara pada perubahan sosial-budaya, maupun modifikasi ruang-ruang
fisik.
[159]
Apakah sama antara makna dengan nilai dalam arsitektur? Makna merupakan
pesan-pesan arsitektur yang sarat dengan nilai. Yakni nilai yang memengaruhi
psikologis si penerima pesan. Pesan yang baik akan menghasilkan respon yang
baik, hal ini lah yang melahirkan karya-karya yang besar dan abadi. Karena
dalam karya tersebut sarat dengan muatan pesan-pesan nilai yang luhur.
Dalam konteks ini karya arsitektur tidak jauh berbeda dengan karya puisi atau
sastra, yang dapat menyentuh perasaan manusia penerima pesan terhadap
batinnya. Hal tersebut belum dapat diwujudkan dalam arsitektur rumah susun
saat ini.
Sebuah karya sastra yang sarat dengan nilai, senantiasa selalu dikumandangkan
dan dikenang sepanjang masa. Walaupun kondisi psikologis penyairnya
berbeda dengan kondisi psikologi masyarakat penikmat sastra, tentunya
kondisi psikologi masyarakat penikmat sastra tersebut sangat heterogen.
Keberhasilan mengkondisikan suasana psikologi masyarakat heterogen
terhadap penerimaan yang sama terhadap karya sastra tersebut, menjadi sangat
penting dikuasai oleh seorang perencana bangunan.
Makna itu penting, tapi yang lebih penting adalah kemampuan mengenali
makna yang dianut oleh calon penghuni untuk dileburkan ke dalam sebuah
rancangan. Tentunya dengan mempertimbangkan kondisi psikologis pengguna
yang heterogen. Untuk itu seorang perencana harus memahami nilai-nilai
makna yang dianut oleh calon penghuni, yang menjadi bagian pertimbangan
dalam penyelesaian disain hunian. Tentunya telaah ini diharapkan akan
membantu perencana dalam memahami nilai-nilai sebuah hunian.
Simbolisasi Ruang
Untuk mulai memahami pengertian simbol, kita perlu mengupas beberapa
pendapat ahli dalam mendefinisikan simbol. Salah satu definisi symbolism
menurut A.N. Whitehead dalam bukunya “Symbolism”, sebagai berikut
“pikiran manusia berfungsi secara simbolis manakala beberapa komponen
pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan
gambaran mengenai komponen komponen lain dari pengalamannya.
Perangkat komponen yang awal adalah simbol dan perangkat komponen yang
selanjutnya membentuk/memberikan makna simbol. Keberfungsian organis
yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu
dinyatakan sebagai referensi”. Makna merupakan pesan yang akan
disampaikan dalam setiap simbol, dengan demikian terdapat unsur persepsi
manusia terhadap sesuatu yang bersifat benda maupun bukan kebendaan.
Deskripsi Simbol sementara dapat disimpulkan sebagai sebuah kata atau benda,
yang mewakili atau mengingatkan pada suatu identitas yang lebih besar. Ketika
sebuah keluarga menempatkan sebuah keset pada sisi depan pintu masuk utama
ke dalam unit hunian, maka penampatan keset itu merupakan sebuah simbol
[160]
terhadap wilayah penguasaan. Demikian juga ketika menempatkan sebuah
kursi pada koridor, maka kursi digunakan juga sebagai simbol penguasaan
wilayah. Dengan demikian simbol-simbol sebagai penanda batas penguasaan
ruang dalam rumah susun menjadi sangat penting.
Bagaimana fenomena pembentukan simbol yang membedakan antara ruang
private dan ruang publik di dalam unit hunian? Penghuni biasanya
membedakan, dengan simbolisasi bahan yang digunakan. Misalkan untuk
menandai daerah private sebagai ruang tidur pada ruang utama, menggunakan
bahan karpet halus seperti karpet berbulu. Sedangkan pada ruang publik cukup
dengan menggunakan karpet plastik, atau dibiarkan bahan apa adanya, sesuai
dengan spesifikasi lantai yang disediakan pengembang. Fenomena ini pun
menunjukkan bahwa untuk membangun ruang private menggunakan bahan-
bahan yang dianggap mahal dan memiliki nilai prestisius.
Demikian juga makna dapat dihadirkan oleh tanda atau simbol. Simbol dapat
terlihat melalui ruang maupun tempat. Dalam unit hunian, manusia pada
umumnya sangat peduli terhadap pemaknaan ruang-ruang dan tempat yang
dihadirkan dengan membangun simbol. Beberapa hal yang menjadi syarat
pembentukan ruang dan tempat adalah adanya batas-batas, yang dapat dibentuk
secara fisik maupun non fisik. Setelah kehadiran batas dari ruang tersebut,
ruang selanjutnya didefinisikan berdasarkan fungsi dan pemakainya, yang
ditandai oleh ruang personal, ruang sosial, dan ruang komunitas.
Bahwa sebuah ruang hunian bagi penghuninya harus dapat memberikan
stimulus, keamanan serta identitas . Hal ini yang memberikan kejelasan akan
perlunya teritorial dari penghuni maupun individu. Bagaimana sebuah ruang
memberikan stimulus bagi penghuni untuk melakukan, mendapatkan dan
merasakan satu kehidupan yang lebih baik. Di samping itu, bahwa unit hunian
juga dapat memberikan rasa aman bagi penghuninya dari ganguan lingkungan.
Selanjutnya sebuah hunian juga mampu menunjukkan identitas dari penghuni
dan individu penggunanya.
Upaya-upaya untuk menerjemahkan sebuah hunian, banyak dilakukan oleh
penghuni rumah susun dengan berbagai keterbatasan ruang, dan ketersediaan
tempat dari sebuah hunian ideal. Upaya-upaya tersebut telah melahirkan
berbagai bentuk yang diterjemahkan dalam wujud simbol keberadaan ruang.
Walaupun berbagai konflik pada awalnya dapat terjadi. Hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan persepsi ruang, yang dibawa oleh setiap keluarga, terdapat
perbedaan dalam proses pemaknaan.
Dengan demikian setiap benda atau susunan benda, setiap kata dan kalimat,
dapat memberikan makna kepada setiap manusia. Namun apakah setiap
manusia dapat menangkap setiap makna sebuah atau susunan kata atau benda
dengan makna yang sama? Seperti pendapat Whitehead, bahwa dalam
[161]
pemaknaan tersebut ada unsur experience component, dan setiap suku bangsa,
setiap masyarakat akan memiliki pengalaman yang berbeda-beda.
Makna akan hunian yang diperjuangkan oleh penghuni untuk mendapatkan
kualitas ruang hidup dari sebuah hunian, akan meliputi beberapa proses
pencarian/pengenalan. Proses tersebut adalah: Liveablity, yaitu upaya
menciptakan ruang yang relatif nyaman bagi setiap penghuninya. Indentity and
control, yaitu upaya membangun identitas dari batas-batas kepemilikannya,
serta kontrol yang mana miliknya dan yang mana bukan bagiannnya, atau
bagian bersama; Access to opportunities, imagination, and joy, yaitu upaya
mencari peluang-peluang dalam pengembangan keluarga dan individunya,
serta mendapatkan kesenangan dari tempat tinggalnya; Authentical and
meaning, yaitu penghuni segera mencari dan mengenali rumah dan
lingkunganya terhadap hal-hal apa saja yang dapat memberikan peluang untuk
dikembangkan; Private life, yaitu upaya untuk menciptakan rumah sebagai
simbol privacy dan ruang-ruang di dalamnya, yang mampu mewadahi privacy
setiap anggota keluarga.
Persepsi Ruang
Rumah merupakan sebuah simbol privacy sebuah keluarga, termasuk individu-
individu di dalam-nya. Rumah merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya
seorang manusia, sejak lahir, menjadi balita, anak-anak, remaja, dewasa,
sampai dengan tua. Seseorang membutuhkan tempat dimana di dalamnya
mendapatkan rasa aman, nyaman, terlindung akan kepentingan-kepentingan
pribadinya. Rumah menjadi identitas tempat bagi seseorang terhadap
keberadaannya di dunia ini. Keberadaan rumah bagi masyarakat Indonesia
secara umum sangat kuat, hal ini yang telah mendorong suatu fenomena pulang
kampung halaman. Ketika musim hari raya keagamaan, hari besar nasional,
bahkan pada saat pencontrengan dalam pemilihan anggota legislatif yang lalu,
fenomena pulang kampung halaman sangat melekat pada sebagai besar
masyarakat Indonesia.
Sebuah keluarga atau individu, memiliki kebutuhan mendasar untuk sekedar
‘tarik nafas’ (dalam satu ruang dan waktu privacy ) di antara kesibukan dan
kesehariannya. Hal ini berarti menikmati ‘kebebasan’ merdeka diantara
aktifitasnya menjalani hidup. Utamanya berupa ruang (dan waktu), dimana
seseorang bisa menemukan ‘kebebasan’. Merasa merdeka dalam keleluasaan,
istirahat yang nyaman, dan ‘kebebasan’ ini bisa ditemukan di rumah sendiri.
Kebutuhan tadi cukup vital dan mendasar, sebagai alat refreshing psikologis
dan fisik. Penting bagi sesosok individu dan keluarga, sebagai unsur
masyarakat, dan sumber daya manusia.
‘Kebebasan’ tersebut hanya dapat di peroleh dari ruang-ruang pribadi dan
waktu di rumah sendiri. Ketika seorang individu keluar dari rumah, maka
[162]
kebebasan itu akan hilang, dan dia harus patuh pada aturan sosial yang berlaku
secara normatif, untuk itu fungsi rumah sebagai tempat dan ruang yang
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi seorang individu ini
menjadikan rumah sebagai simbol dari kemerdekaan, simbol dari privacy.
Ketika nilai-nilai kebebasan dan privacy tersebut terganggu maka kualitas
kemerdekaan dan privacy tersebut secara otomatis berkurang.
Rumah yang merupakan private space akan berhubungan dengan dunia luar
yang merupakan public space. Dunia luar yang terdiri dari kelompok-
kelompok hunian yang dibangun oleh manusia yang heterogen. Sebuah hunian
saling berhubungan, yang dihubungkan oleh jalan, ruang terbuka, dan sarana
serta prasarana yang ada dalam lingkungan permukiman. Hal tersebut
membentuk sebuah layout lingkungan permukiman, yang memungkinkan
terbentuknya tingkat kualitas ruang private-public yang tegas.
Rumah dapat dilihat sebagai ruang khusus, tempat setiap individu bergabung
bersama membangun hubungan yang lebih dekat. Lalu melakukan kendali
terhadap ruang untuk mendapatkan privacy dan kenyamanan. Kontrol ruang
privat sebuah keluarga dilakukan oleh keluarga itu sendiri. Sedangkan kontrol
ruang privat individu dikontrol oleh individu bersangkutan. Seperti pada ruang
tidur orang tua, kontrol privasi tersebut dilakukan oleh orang tua itu sendiri.
Sementara kontrol ruang privat anak, dalam hal ini ruang tidur anak, dilakukan
oleh anak itu sendiri. Semakin dewasa seorang anak semakin besar peran
kontrol ruang tersebut. Jadi kontrol privacy sebuah ruang sangat tergantung
pada tingkat usia pengguna-nya.
Kontrol ruang public private menurut Madanipour (2003) sangat tergantung
dari budaya dan pola perilaku dari keluarga tersebut. Selanjutnya, syarat
rumah agar memiliki fungsi sebagai tempat hunian, yang mampu membangun
keluarga menuju kehidupan yang lebih baik, maka haruslah memiliki tingkatan
hirarki teritori, sebagaimana Newman nyatakan, yaitu:
1. Pembentukan Ruang Publik, ruang publik dalam rumah susun meliputi
sarana dan prasarana yang dimiliki bersama mulai dari jalan menuju
bangunan, lahan tempat bangunan itu berdiri serta prasarana yang
menyangkut fasilitas sosial.
2. Pembentukan Ruang Semi-publik, pembentukan ruang semi publik pada
rumah susun , adalah ruang-ruang yang merupakan fasilitas sosial akan
tetapi berada dalam bangunan, seperti ruang bersama yang terletak pada
lantai dasar, tangga, lift bagi bangunan yang lebih dari lima lantai serta
koridor yang menghubungkan satuan rumah susun.
3. Pembentukan Ruang Semi-privat, ruang ini sulit dicapai pada sistem rumah
susun di Indonesia saat ini. Ruang semi publik ini merupakan wilayah yang
menjadi sekat antara area semi publik dengan area private pada hunian.
[163]
Pada hunian dengan sistem landed house maka ruang ini difasilitasi oleh
halaman. Sedangkan pada sistem rumah susun saat ini, yang telah
dibangun, kita sulit untuk menemukannya. Dari koridor langsung masuk ke
dalam hunian.
4. Pembentukan Ruang Privat, Pembentukan ruang inti yang memiliki tingkat
penguasaan personal yang tinggi. Ruang ini didominasi oleh kegiatan
individu, yang sifatnya sangat pribadi/private. Kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan tingkat ketenangan yang sangat tinggi, yang meliputi
kegiatan keluarga inti, kegiatan tidur, kegiatan interaksi suami istri, dan
kegiatan lainnya. Yang menyangkut rumah sebagai simbol dari privacy.
5. Pembentukan Ruang Servis, Merupakan kegiatan yang bersifat penunjang
kegiatan keluarga, maupuan kegiatan lingkungan. Ruang-ruang servis ini
diperlukan pada tingkat unit hunian , maupun tingkat komunitas sebagai
urban space.
10.4. Penutup
Keberlangsungan kehidupan masyarakat dalam rumah susun merupakan suatu
perjuangan. Antara konflik kebutuhan, yang didasarkan pada nilai-nilai sebuah
hunian, serta keterbatasan ruang yang ditentukan oleh kebijakan teknis. Yang
dituangkan dalam bentuk standar hunian bagi masyarakat berpenghasilan
rendah. Bahwa standar-standar tersebut disusun berdasarkan pertimbangan
kemampuan dari pemerintah serta masyarakat, yang sampai saat ini dinilai
sangat rendah. Dalam menghadirkan penghuni pada sisi kemanusiaan (human
being) dalam rusunami, dimana penghuni senantiasa memiliki kehendak-
kehendak yang selalu bergerak dari upaya memenuhi kebutuhan (need), sampai
dengan keinginan (want), senantiasa terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan
yang ada (constraints) pada bangunan rusun tersebut.
Namun dalam keterbatasan (constraint) dan konflik di atas, rata-rata penghuni
rumah susun melakukan suatu adaptasi, dan memperjuangkan agar
kebutuhannya dapat terealisasi melalui upaya-upaya adaptasi, yang
diterjemahkan dalam bentuk pemaknaan ruang, serta memberikan simbolisasi.
Namun demikian, upaya simbolisasi tersebut belum juga dapat dirasakan
optimum. Sebab kualitas ruang yang seharusnya tercapai, amat sangat sulit
sekali dalam keterbatasan ruang. Hal ini dapat ditunjukkan pada hilangnya
beberapa fungsi tempat dari sebuah rumah tinggal, dalam sebuah unit rumah
susun, maupun pada bangunan rumah susun itu sendiri.
Implikasi dari telaah ini tentunya dapat memberikan sumbangsih pada telaah
lebih lanjut. Terkait dengan kriteria disain minimal berdasarkan kemampuan
masyarakat dalam pengembangan unit hunian, yang tersedia menjadi sebuah
rumah tinggal, yang mampu membangun pengembangan kualitas hidup dan
[164]
penghidupan bagi seluruh anggota keluarga. Khususnya bagi anak-anak, untuk
mendapatkan hak kesehatan, pendidikan dan masa depan yang lebih baik.
Dinamika pemaknaan ruang pada rusunami terjadi akibat perbedaan persepsi
ruang terhadap pesan yang disampaikan oleh lingkungan hunian. Lalu
dihadapkan pada ekspektasi tata nilai-nilai yang dianut oleh penghuni, yaitu
tata nilai yang dibawa oleh pengalaman ruang sebelumnya.
Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kemampuan untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup, melalui tindakan modifikasi sosial-budaya maupun
modifikasi ruang arsitektural. Sifat adaptif telah menghasilkan rekayasa pesan
lingkungan, untuk mencapai kesesuaian dengan tata nilai yang juga mengalami
pergeseran. Selanjutnya bahwa telaah proses adaptasi dalam rumah susun
tersebut, perlu dilakukan telaah lebih lanjut, untuk mampu menjawab persoalan
dasar disain rumah susun agar lebih memiliki nilai, khususnya pada sisi
kemanusiaan.
[165]
[11] Adaptasi dan Perubahan
Perilaku Penghuni
11.1. Latar Belakang
Telaah ini, merupakan kajian tentang cara manusia mengatasi tekanan
lingkungan rumah susun milik, agar dapat mempertahankan keberlangsungan
hidup. Sebagaimana diketahui dalam dunia ekologi, suatu organisme ketika
tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya, maka akan mengakibatkan
kepunahan atau kelangkaan. Pada konteks rumah susun sederhana milik
(Rusunami), luas ruang sangat terbatas. Karenanya mengharuskan penghuni
untuk melakukan adaptasi. Baik adaptasi pada penghuninya (asimilasi),
maupun adaptasi perubahan fisik unit huniannya (akomodatif).
Ketika kemampuan asimilatif dari penghuni tidak juga mencapai titik temu
dengan upaya-upaya akomodatif dari unit sarusun (satuan rumah susun), maka
hukum mendel akan berlaku. Dimana akan terjadi seleksi alam, yang mampu
bertahan akan tetap tinggal, sedangkan yang tidak mampu bertahan akan
mengalami pergeseran (gentrifikasi). Bentuk pergeseran tersebut dapat
berlangsung secara fisik atau non fisik. Secara fisik penghuni tersebut akan
meninggalkan unit huniannya, sedangkan secara non fisik akan terjadi
pergeseran sosial-budaya dari penghuninnya.
Dari telaah ini dapat disimpulkan bahwa unit sarusunami (satuan rumah susun
sederhana milik) perlu ditangani kembali pada tingkat konsep hunian, yakni
dimana penyediaan unit hunian harus mampu mewadahi perkembangan
penghuni. Tentunya dalam memenuhi fungsi kehidupan dan penghidupan yang
layak. Dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu kemampuan manusia dalam
berasimilasi dengan lingkungan hunian baru, serta sifat akomodatif dari unit
hunian. Sehingga telaah ini dapat digunakan sebagai acuan dalam proses disain
rusunami (rumah susun sederhana milik).
[166]
Lingkup telaah ini, meliputi penggalian isu-isu, seputar proses modifikasi
ruang unit hunian, yang merupakan proses adaptasi penghuni, terhadap
lingkungan fisik unit hunian di rumah susun sederhana milik.
Kebijakan penyediaan rusunami tidak terlepas dari persoalan lahan di
perkotaan yang semakin hari semakin terbatas. Padahal kebutuhan akan rumah
terus meningkat, karenanya pembangunan Rusunami merupakan salah satu
solusi yang tidak dapat dihindarkan.
Rusunami dikelompokan menjadi dua tipe, yaitu rusunami bersubsidi dan
rusunami tidak bersubsidi. Telaah ini dibatasi hanya pada bangunan rusunami
bersubsidi, dengan beberapa batasan teknis dan administratif.
Aspek teknis diatur dengan Spesifikasi Teknis Bangunan, yang menyangkut
pengaturan dalam penggunaan bahan bangunan serta ketentuan luas bangunan
yang dibatasi. Pembatasan selanjutnya adalah target grup, yaitu kelompok/grup
yang diperkenankan memiliki serta mendapatkan akses fasilitas subsidi. Grup
tersebut ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan. Selanjutnya ketentuan
tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan teknis rusunami tersebut meliputi:
- Jumlah lantai rumah susun lebih dari 6 lantai, dari sisi pengembang
menginginkan jumlah lantai lebih dari 15 lantai untuk menekan investasi,
dikarenakan harga lahan untuk rusunami sangat mahal.
- Luas lantai unit hunian antara 27 m2 sampai dengan 36 m2, namun rata-
rata pengembang membangun rusunami dengan luas 30 m2.
- Diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah atas, yaitu
mereka yang berpenghasilan antara Rp. 1,2 juta sampai dengan Rp. 4,5
juta per bulan.
- Dengan harga Rusunami dipatok tidak lebih dari Rp. 144 juta rupiah per
unit (patokan harga tahun 2007).
- Insentif diberikan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, yang
disampaikan melalui pengembang maupun masyarakat calon penghuni
rusunami.
Terlepas dari persoalan insentif, fakta di lapangan menunjukkan adanya gejala
penyimpangan target grup. Nyatanya unit-unit hunian bersubsidi merupakan
rumah kedua atau lebih bagi pembelinya. Bahkan terjadi kepemilikan beberapa
unit hunian oleh seseorang. Rusunami dilihat sebagai sebuah komoditas
ekonomi yang menguntungkan bagi seseorang. Baik sebagi investasi masa
depan, maupun usaha sewa menyewa tempat tinggal yang sangat
menguntungkan di perkotaan.
[167]
Telah terjadi pergeseran nilai esensial dari rusunami. Rumah tidak lagi
dipandang sebagai asepek untuk pemenuh kebutuhan dasar akan tempat
tinggal, akan tetapi sebagai benda investasi, yang dikuasai oleh para spekulan,
yang bukan merupakan orang yang betul-betul membutuhkan rumah. Fakta-
fakta tersebut menunjukkan adanya persoalan disain yang dipengaruhi kuat
oleh kebijakan, yang mempertimbangkan daya beli masyarakatnya. Akibatnya,
pembatasan-pembatasan disain tersebut mendatangkan persoalan, yaitu
masalah kesesuaian antara kebutuhan pengguna dengan disain hunian dan
lingkungannya.
Gejalanya dapat dijelaskan sebagai berikut, misalkan pada luas unit hunian
dengan ukuran di bawah 30 m2, dengan harga Rp. 144 juta, bahwa kelompok
masyarakat dengan tingkat daya beli yang mampu menjangkau harga tersebut,
biasanya memiliki kriteria tersendiri soal luas bangunan. Umumnya, bagi
kelompok tersebut, luas bangunan 30 m2 dianggap terlalu kecil. Sedangkan bila
luas unit hunian ditambah, maka harga per unit bangunan menjadi naik. Begitu
juga ketika target grup diturunkan (daya belinya lebih rendah), maka harga
tersebut tidak dapat terjangkau.
Persoalan utama rumah susun adalah mahalnya harga sebuah rumah susun serta
rendahnya daya beli masyarakat. Harga sebuah rumah susun saat ini masih
lebih mahal dibandingkan dengan harga rumah landed, sehingga rumah tipe ini
masih menjadi kompetitor bagi rumah susun untuk dapat berkembang.
Sebagai perbandingan, dengan harga yang sama masyarakat akan mampu
mendapatkan satu unit hunian di atas kapling dengan spesifikasi bangunan di
atas rumah sederhana sehat (RSH). Hal tersebut yang menjadikan alasan
beberapa rusunami tingkat penghuniannya sangat rendah. Sehingga diperlukan
peran kebijakan yang lebih berpihak kepada pengembang sekaligus juga
kepada penghuni, hal tersebut merupakan suatu posisi yang sulit untuk dapat
dijalankan.
Geliat pembangunan rusunami dimulai sejak tahun 2007 dengan
dicanangkannya pembangunan 1000 tower, hal tersebut ditandai dengan
diputuskannya Kepres No. 22/2006, ditetapkan pada tanggal 6 Desember 2006.
Merupakan konsep baru dalam sektor penyediaan perumahan yang memiliki
tingkat kepadatan tinggi serta bangunan hunian dengan jumlah lantai lebih dari
enam. Ini merupakan sesuatu yang baru bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia, sekaligus merupakan isu seksi untuk dapat diangkat dalam berbagai
forum seminar maupun lokakarya.
Berkaitan dengan penyediaan perumahan ini, adalah pola-pola modifikasi
ruang dan modifikasi perilaku penghuni, yang disebabkan oleh adanya proses
interaksi antara manusia dengan lingkungan, dalam hal ini lingkungan hunian
rusunami. Proses modifikasi tersebut berlangsung dalam upaya manusia untuk
[168]
mempertahankan keberlangsungan hidup, pada lingkungan baru di rumah
susun, yang memiliki berbagai keterbatasan.
Metoda yang digunakan untuk menggali bentuk modifikasi tersebut adalah
teori adaptasi yang terjadi pada individu maupun kolektif. Proses adaptasi
merupakan juga suatu proses yang dinamis. Hal itu disebabkan oleh unsur-
unsur manusia dan alam yang senantiasa mengalami perubahan. Baik
perubahan manusia maupun lingkungannya tidak ada yang bersifat konstan.
Pandangan penulis yang diangkat pada telaah ini adalah adanya ketidak
cocokan (unsuitable) antara disain arsitektur rusunami dengan kebutuhan
penghuni. Dengan tesa bahwa antara manusia dengan lingkungan terjadi proses
interaksi, yang memungkinkan manusia melakukan upaya penyesuaian diri
(adaptasi). Guna mempertahankan keberlangsungan hidup.
Melalui telaah ini, diharapkan menemukan kembali kaidah disain pada sistem
perumahan bersusun di Indonesia, yang berimplikasi pada peningkatan kualitas
desaian rusunami, melalui perkuatan kebijakan dan standar teknis di masa
depan.
ARSITEKTUR
PERUMAHAN
Pembentukan Simbol Pembentukan Perilaku
Perilaku Struktur
Fungsi
Keterangan :
Jalur adaptif :
Jalur pengembangan :
[171]
Pada telaah wawasan lingkungan total menurut John S. Nimpoeno (1992),
sistem-sistem lingkungan terdiri dari sistem lingkungan hidup, sistem sosial
dan sistem konsep. Hal ini dapat disejalankan dengan pengetahuan dasar
arsitektur dalam ordering system menurut Capon, yang dikutip dari Purnama
Salura, yaitu bahwa arsitektur memiliki tiga dimensi yang terdiri dari form,
meaning, dan function.
Ketiga aspek tersebut memiliki kesetaraan dengan lingkungan total John S.
Nimpoeno. Yaitu, sistem lingkungan sebagai wujud dari bentuk, sistem konsep
sebagai wujud meaning serta sistem sosial sebagai fungsi, ketiga elemen
tersebut digerakkan oleh adanya kehendak dari sistem masyarakat. Dalam
ketika sistem tersebut menurut Nimpoeno kembali terjalin suatu
interdependensi. Yang memperlihatkan dua jalur arah proses, yaitu jalur
adaptif dan jalur pengembangan.
Selanjutnya dimensi arsitektur tersebut, fungsi, makna dan bentuk menurut
Capon yang dikembangkan oleh Purnama Salura, memiliki pasangan primary –
secondary, yaitu; fungsi berpasangan dengan konteks, makna berpasangan
dengan tampilan pesan, serta bentuk berpasangan dengan struktur. Dalam
telaah ini sebagaimana telaah arsitektur perumahan yang diuraikan dalam
bahasan ini sebatas pada kasus arsitektur rusunami.
Dengan isu utama fungsi-fungsi dasar sebuah hunian belum terwadahi secara
utuh dalam ruang arsitektur rusunami. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
keterbatasan ruang (form), yang diperuntukkan sebagai wadah aktifitas
manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Yaitu aktifitas (function)
yang digerakkan sesuai dengan tata nilai (meaning) yang dianut oleh
masyarakat. Atas dasar tersebut penghuni akan melakukan berbagai upaya
modifikasi perilaku dengan mengubah tata nilai (meaning) maupun modifikasi
ruang sebagai representasi dari bentuk (form). Sehingga antara bentuk dan
makna terjadi dinamika , yang disebabkan oleh pergeseran persepsi, yang
dibangun antara bentuk serta makna.
Dinamika pengaruh bentuk terhadap perubahan sistem makna, terjadi
dikarenakan antara kedua elemen arsitektur ini terjadi pembentukan persepsi.
Dimana persepsi bentuk akan menghasilkan makna. Demikian juga dengan
makna, akan dipersepsikan juga terhadap bentuk, melalui proses relevansi
bentuk terhadap makna.
Proses-proses tersebut, menghasilkan penormaan atau pembentukan tata nilai
.Yang akan di tempatkan terhadap bentuk (form), sebagai simbol dari tata nilai
yang diterima secara kolektif.
Proses pemaknaan bentuk arsitektur dilakukan melalui dua tahapan. Yaitu
tahap identifikasi bentuk dan tahap relevansi bentuk. Dalam proses relevansi
penghuni akan membandingkan (merelevankan) dengan pengetahuan
[172]
lingkungan sebelumnya (spatial cognition). Pada saat proses identifikasi
belangsung spatial cognition dari penghuni sudah mulai memengaruhi, dimana
kejadiannya senantiasa bersamaan dengan proses relevansi dengan tata nilai
yang dibawa.
Dinamika yang terjadi dalam proses pemaknaan akan berpengaruh terhadap
aktifitas, sebagai wujud dari sistem fungsi. Proses-proses antara kedua sistem
ini merupakan proses sosiokultural. Yaitu ketika pemaknaan yang dihasilkan
dari proses identifikasi-relevansi di atas tidak ditemukan adanya kecocokan
dengan tata nilai yang dianut.
Maka tahap adaptasi dimulai dengan melakukan modifikasi perilaku (aktifitas)
dalam wujud pola kegiatannya. Proses perubahan tersebut berlangsung sebagai
proses sosialisasi yang terjadi pada diri seseorang sebagai individu sampai
dengan tingkat kolektif, dan berlangsung juga pada skala waktu yakni dari
generasi ke generasi melalui proses sosialisasi di atas.
Proses sosialisasi bila mengusung suatu objek yang benar, maka akan
menghasilkan generasi yang lebih baik. Namun bila objek sosialisasi itu
memiliki kekeliruan, maka akan terjadi degradasi sosial budaya.
Dampak dari persoalan tersebut adalah menurunnya kualitas sumber daya
manusia di kemudian hari, yang terlahir dari lingkungan demikian. Selanjutnya
tampak bahwa peran rumah sebagai tempat hunian, harus memiliki wadah yang
cocok dengan tata nilai. Yang juga ditentukan oleh pemenuhan minimum dari
kebutuhan dasar manusia, dalam melakukan aktifitas-aktifitas kehidupan dan
penghidupan . Dalam sebuah keluarga di antara komunitas perumahan.
Kegiatan-kegiatan dasar manusia sangat ditentukan oleh adanya kebutuhan
(need) dalam dirinya. Pemenuhan kebutuhan tersebut akan menjelma dalam
bentuk aktifitas manusia, yang direpresentasikan dalam pemenuhan kebutuhan
ruang. Kebutuhan manusia memiliki sifat dinamis, sehingga pada titik tertentu
kebutuhan tersebut akan berubah menjadi keinginan (want). Ketika hal tersebut
terjadi pada sistem hunian, maka rumah sebagai pemenuhan kebutuhan
mengalami perubahan menjadi keinginan, maka fungsi rumah akan bergeser
menjadi wadah ekspresi jati diri pemiliknya.
Dimensi arsitektur perumahan yang meliputi fungsi, bentuk, dan makna
mengalami pergeseran sangat dinamis dibandingkan dengan fungsi-fungsi lain.
Hal ini disebabkan oleh adanya sifat pertumbuhan dari pengguna. Ini dapat
dijelaskan sebagai berikut; “Sebuah rumah yang pada awalnya dihuni oleh
sebuah pasangan muda. Selanjutnya beberapa tahun kemudian pasangan
tersebut akan berkembang menjadi pasangan muda dengan satu atau beberapa
balita. Demikian selanjutnya, tumbuh menjadi pasangan dengan beberapa anak
remaja sampai dewasa, dan pada akhirnya kembali menjadi pasangan lansia
dengan komposisi dua anggota saja”.
[173]
Dinamika perubahan tersebut disebabkan diikuti oleh kebutuhan yang juga
bergerak dinamis. Sehingga perubahan tata nilai yang terjadi, akan mengubah
aktifitas, yang diikuti dengan perubahan lingkungan, agar kebutuhan yang
berkembang tersebut dapat terwadahi. Proses perubahan tersebut berlangsung
dengan diikuti oleh pembentukan persepsi, intepretasi, pemaknaan, dan adanya
adaptasi.
Persepsi
Persepsi merupakan proses penerimaan seseorang terhadap sebuah tanda,
sebagai bagian dari sebuah pesan, yang dalam hal ini disampaikan oleh
bangunan atau lingkungan. Persepsi berlangsung dikarenakan kemampuan
manusia , untuk menangkap sebuah tanda melalui media inderawi manusia.
Persepsi menurut Giffond yang dikutip dari Helen Ross, menyatakan bahwa
“we know a great deal about the perception of one-eyed man with his head in a
clamp whaching glowing lights in a dark room, but surprisingly little about his
perceptual abilities in a real-life situation”.
Persepsi lingkungan, meliputi kumpulan informasi , yang diproses secara
bertahap, dan dimaknai secara cognitif melalui media inderawi. Persepsi dapat
timbul berbeda terhadap suatu objek , ketika sebelumnya mengalami suatu
pengalaman yang lain. Seperti dapat dilihat pada theori Gestalt, akibat latar
belakang yang berbeda seseorang akan mempersepsikan sesuatu berbeda
dengan umumnya.
Demikian halnya pada penghuni rusunami, dimana sejumlah penghuni
berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebagai sebuah karakter
masyarakat perkotaan, maka pada tahap awal kelompok masyarakat tersebut
akan masuk secara bersamaan ke dalam bangunan bersama. Lalu perbedaan
persepsi pada tahap awal akan terjadi. Selanjutnya perbedaan persepsi individu
tersebut akan berinteraksi antara sesama, sebagai proses sosialisasi, yang akan
berakhir pada pembentukan persepsi kolektif. Peristiwa tersebut merupakan
tahap awal dalam proses adaptasi sosial-budaya, dimana akan terjadi proses
asimilasi maupun akulturasi diantara berbagai bentuk persepsi yang berbeda-
beda tadi.
Pada tahap selanjutnya, ketika persepsi kolektif terbentuk, maka akan
membangun tata nilai bersama, yang memengaruhi perilaku kolektif sebagai
wujud budaya. Hal ini sangat memungkinkan budaya yang terbentuk dalam
lingkungan rumah susun merupakan perwujudan dari budaya rumah susun.
Budaya rumah susun yang dilandasi oleh tata nilai kolektif di atas, akan
memengaruhi perwujudan lingkungan rumah susun itu sendiri. Baik pada skala
ruang dalam maupun ruang luar. Dikarenakan adanya ketidak cocokan tata
nilai yang dibangun secara kolektif dengan ketersedian ruang yang ada, maka
[174]
masyarakat akan melakukan modifikasi terhadap arsitektur rusunami, yang
disediakan oleh pengembang.
Proses modifikasi elemen-elemen arsitektur juga disampaikan oleh Simon
Unwin, tentang elemen arsitektur dan mengelola serta mengolah elemen
arsitektur. Bahwa elemen arsitektur terdari dari dua aspek utama yaitu, wujud
fisik dan wujud non fisik. Wujud fisik yang dijelaskan dalam bentuk tempat,
yang memiliki batas-batas yang jelas dalam bentukan fisik, yang terdiri wujud
masa dan ruang. Selanjutnya elemen arsitektur non fisik diwujudkan dalam
bentuk energi. Keduanya saling berinteraksi membentuk sebuah proses
pengolahan dan pembentukan wujud fisik dan saling berinteraksi satu dengan
yang lainnya, sehingga terciptanya sebuah atau beberapa persepsi.
Syarat utama terbentuknya persepsi adalah adanya interaksi, dan proses
interaksi yang benar adalah ketika terjadi proses komunikasi. Komunikasi
antara receiver ( dalam hal ini penghuni ) dan hunian beserta lingkungannya
sebagai transmiter harus memiki pesan. Kemudian pesan itu yang akan
diterima oleh penghuni dalam bentuk persepsi. Ketika persepsi yang diterima
penghuni memiliki kecocokan dengan pesan yang disampaikan oleh bangunan,
maka wujud arsitektur tersebut telah membuat proses adaptasi berjalan dengan
baik. Namun kenyataan yang kerap terjadi adalah, pesan dari rumah susun
tidak memiliki kecocokan dengan persepsi yang dibangun oleh penghuni.
Wujud fisik arsitektur dalam bentuk tempat memiliki batas-batas yang
membentuk ruang. Batas-batas tersebut dapat berupa batas fisik maupun non
fisik. Batas fisik dari suatu material tertentu, yang memiliki tekstur. Dengan
karakter masif atau transparan. Sebuah ruang yang terbentuk akibat adanya
batas-batas yang dibentuk oleh elemen pembagi tersebut, yang akan memiliki
kualitas ruang , yang dipengaruhi oleh faktor cahaya, warna, temperatur, suara,
dan pergerakan udara.
Dalam proses komunikasi arsitektur, wujud masa dan ruang yang memiliki
tekstur dan sifat transparan masif tersebut, dinyatakan pengolah pesan sebagai
sumber komunikasi.
Sedangkan cahaya, warna, temperatur, suara, dan pergerakan udara merupakan
media komunikasi, pesan tersebut diterima oleh panca indera manusia dan
membangun persepsi pada manusia. Proses komunikasi dalam arsitektur dapat
jelaskan melalui Bagan 3.
Identifikasi tempat sebagai sebuah pesan dalam komunikasi arsitektur,
dibentuk oleh elemen-elemen dasar arsitektur yang bersifat fisik. Seperti unsur
masa (berat/ringan), unsur ruang yang dibentuk oleh batasan fisik (dinding,
tanaman, dsb), tekstur (kasar/halus), elemen-elemen tersebut merupakan
elemen dasar yang memberikan identitas sebuah tempat. Selanjutnya melalui
media, pesan tersebut disampaikan kepada penerima , dan diterima melalui
[175]
inderawi manusia. Media utama dalam penyampai pesan arsitektur adalah,
unsur visual melalui media cahaya, pendengaran melalui unsur udara, dan rasa
melalui media kulit/tubuh.
Inderawi manusia memiliki peran penting dalam penerimaan pesan. Pesan yang
diterima tersebut akan dipersepsikan oleh manusia. Setiap individu memiliki
kemampuan penerimaan persepsi yang berbeda-beda. Dan persepsi tersebut
dapat berkembang pada setiap individu dengan tingkat perkembangan yang
berbeda-beda. Perbedaan persepsi tersebut memancing interaksi antara
manusia. Proses interaksi tersebut mendorong ilmu pengetahuan berkembang.
Hal ini lah yang memungkinkan pengembangan ilmu arsitektur terjadi.
Pemaknaan
Menurut KBBI, makna adalah “menekankan arti/meaning, sebagai maksud
yang dikandung”. Ketika arsitektur membahas kata makna, terdapat beberapa
pandangan akan makna, antara pro dan kontra terhadap pemaknaan dalam
arsitektur, karena sifat makna tersebut dapat dipersepsikan berbeda-beda oleh
pengguna bangunan. Bahkan makna yang ditanamkan ke dalam bangunan oleh
perancangnya , dapat dipersepsikan berbeda oleh pengguna bangunan. Para
pendukung aliran makna seperti Ferdinand de Saussure, Roland Barthes,
Jaques Derrida, dll makna banyak dikaitkan dengan bahasa. Dalam pengertian
bahasa makna terdapat pada komunikasi verbal maupun non verbal.
Makna dilihat dari sudut psikologi lingkungan, menurut Gifford “meaning is
used broadly to characterize research on environmental perception,
description, evaluation, or emotion, ….. that place meaning is intricatetly
connected to an individuall’s planned activities”. Selanjutnya Giffond
menjelaskan terdapat empat perbedaan berdasarkan proses, yaitu:
Place attachment, pengalaman yang luar biasa (ekstrem) pada
keadaan suatu tempat, terjadi setelah berjalan lama, seseorang akan
memberikan penilaian suatu tempat akan memberikan pengalaman
ruang yang berupa kualitas, keindahan, atau memberikan perubahan
dan pilihan untuk mendapatkan manfaatnya.
[176]
Ideological communication, terjadi melalui bangunan atau tempat
yang memberikan arti dalam tingkat filosofi, arsitektur, politik
terhadap siapa saja yang melihat objek bangunan atau ruang tadi.
Personal communication, apa yang dikatakan bangunan untuk diamati
terhadap penggunaan
Architectural purpose, penilaian terhadap suatu fungsi bangunan
dalam hubungan terhadap bentuk atau penampilan.
Pada tahap ini tingkat kesamaan antara makna dan persepsi tidak menjadi
sangat penting. Bahwa seorang perencana tidak perlu memaksakan pesannya
diterima sama oleh si penerima. Yang terpenting adalah bahwa setiap pesan
yang disampaikan dalam bangunan dapat memberikan respon sesuai dengan
yang diharapkan oleh si perencana.
Sebuah nilai-lah yang membuat wujud arsitektur akan menjadi bagian bagi
pengguna bangunan. Seolah-olah bahwa pengguna bangunan tersebut tidak
dapat melepaskan dari bangunannya. Hal ini seperti tahapan Mitis yang
disampaikan oleh Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan. Ketika wujud
arsitektur sangat memiliki keterikatan yang kuat dengan penggunannya, hal ini
menunjukkan bahwa wujud arsitektur tersebut memiliki nilai-nilai positif, yang
dapat memberikan pengaruh positif terhadap pengguna bangunan tersebut.
[177]
Adaptasi
Terdapat dua macam perubahan yang terjadi pada manusia. Pertama adalah
perubahan yang terjadi dari sebuah konsekuensi manusia sebagai mahluk
hidup, yang mengalami pertumbuhan secara genetik. Mulai dari embrio,
tumbuh menjadi bayi yang siap lahir, setelah lahir tumbuh menjadi anak-anak,
kemudian remaja, dewasa, lansia dan akhirnya kematian. Perubahan kedua
adalah perubahan yang berkaitan dengan psikologi, yaitu perubahan yang
disebabkan oleh kebutuhan untuk mempertahan kehidupan. Dalam proses
mempertahankan kehidupan tersebut, manusia akan berusaha untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Seperti kebutuhan akan
nutrisi, air, udara, maupun perlindungan.
Dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, manusia melakukan
upaya-upaya penyesuaian /adaptasi dengan alam. Demikian halnya pada saat
ini, ketika sebuah masyarakat memasuki lingkungan hunian baru, maka akan
melakukan proses adaptasi pada dirinya dan lingkungannya .Melalui perubahan
perilaku maupun intervensi manusia untuk mengubah lingkungannya , sesuai
dengan kondisi fisik manusia-nya. Jadi perubahan-perubahan tersebut terjadi
pada lingkungan fisik, disertai dengan lingkungan sosial-budaya
masyarakatnya.
Gudang :
penyimpanan barang-
barang memiliki nilai
[179]
kelamin sama, maka tempat tidur susun ini juga sering digunakan sebagai
ruang tidur orang tua di bawah dan tempat tidur anak di atas.
Modifikasi ruang pada ruang-ruang private ini banyak yang mengabaikan
aspek kesehatan maupun kenyaman. Karena volume ruang yang tersedia bagi
setiap jiwa menjadi sangat minim, selain itu juga aspek pencahayaan serta
sirkulasi udara tidak dapat berlangsung dengan baik.
Bagi orang tua yang merasakan kenyamannya tergganggu akibat pembagian
ruang secara vertikal pada tempat tidur susun, akhirnya membiarkan anak-anak
untuk menempati ruang private-nya pada ruang duduk. Sehingga anak-anak
tidur di atas sofa atau menggelar karpet/tikar di atas lantai.
Namun berbeda perlakuan pada anak perempuan, orang tua ada upaya untuk
menempatkan ruang yang lebih private, terutama bagi anak perempuan yang
sudah remaja. Hal ini menunjukkan sifat anak perempuan yang lebih
membutuhkan privacy tinggi. Dengan demkian terdapat perbedaan kebutuhan
ruang yang cukup signifikan antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
Pembentukan ruang private pada pasangan muda, memiliki pola penanganan
yang lebih sederhana. Yaitu cukup dengan menempatkan bahan-bahan lapisan
lantai yang memiliki sifat lembut, seperti karpet berbulu, lampit, kasur, sampai
dengan menempatkan tempat tidur di atas lantai. Penempatan tempat tidur oleh
masyarakat digunakan juga sebagai pembentukan ruang secara vertikal, bila di
atas tadi tempat tidur susun dapat membagi ruang menjadi dua bagian, yaitu
ruang tidur atas dan ruang tidur bawah, juga pada bagian kolong tempat tidur
masih dipersepsikan sebagai ruang gudang (tempat penyimpanan bara-barang).
Sehingga dengan ketinggian ruang rata-rata 2.80, penghuni mampu
memanfaatkan menjadi tiga lapisan ruang. Dalam persepsi penghuni tentunya
luas ruang menjadi lebih luas, namun volume ruang tetap. Kecenderungan arah
modifikasi ruang pada unit hunian bergerak pada arah vertikal, sedikit sekali ke
arah horizontal , yang memiliki resiko konflik tinggi bila dilakukan.
Pemilihan perabot rumah tangga pada masyarakat yang tinggal dalam rumah
susun, sudah banyak yang mampu memilih dengan perabot-perabot yang lebih
kecil tapi muatan besar. Serta bahan-bahan yang ringan serta praktis, seperti
perabot yang dapat dibongkar pasang baik dari bahan plastik maupun dari
bahan partikel board. Pada sisi ini banyak penghuni yang mengeluhkan
ketersediaan perabot di pasaran yang cocok dengan rumah susun.
Membangun semi-private space, ruang ini adalah ruang-ruang yang
menampung aktifitas keluarga inti. Seperti makan-minum bersama, rekreasi
rumah dalam hal ini menonton televisi atau sekedar berbincang antara anggota
keluarga. Atau menerima tamu dari keluarga dekat. Ruang-ruang ini pada
umumnya masih diperjuangkan keberadaannya oleh penghuni, karena pada
ruang tersebut jumlah waktu tinggal-nya lebih lama. Walaupun nilai privacy-
[180]
nya lebih rendah dari ruang tidur, namun peran ruang ini oleh penghuni
dimaknai lebih tinggi dibandingkan dengan ruang tidur.
Pada ruang tidur akhirnya penghuni bersikap pasrah, sudah merasa cukup
apabila ruang tersebut dapat menampung aktifitas dalam posisi merebahkan
diri, meskipun hal ini menurunkan makna akan ruang tidur secara umum,
dimana ruang tidur juga dapat digunakan sebagai ruang yang menampung
aktifitas manusia dalam posisi duduk atau berdiri, seperti berhias, ganti
pakaian, dsb.
Akibat dari aktifitas private yang tertampung dalam ruang tidur hanya kegiatan
dengan posisi merebah, maka kegiatan private lainnya dilakukan di ruang
semi-private. Untuk itu, ruang tengah memiliki nilai yang lebih bermakna bagi
penghuni. Ruang tengah mengalami transpormasi menjadi ruang multi fungsi.
Dimana selanjutnya akan menjadi ruang tamu, juga merupakan bagian dari
ruang semi-publik. Karakteristik ruang multi fungsi ini juga ditandai dengan
pola aktifitas manusia yang terjadi di dalam-nya, yaitu aktifitas berdiri, aktifitas
duduk, sampai dengan aktiftas rebah.
Membangun semi-public space diterjemahkan sebagai teras dan ruang tamu
pada unit hunian yang lebih besar. Umumnya ruang-ruang ini tidak ditemukan
pada rusunami. Hal ini mengakibatkan konflik ruang. Akibatnya ruang tamu
menjadi sangat tidak penting maknanya bagi penghuni rumah susun. Apabila
diperlukan, maka tamu akan ditempatkan di ruang semi-private (ruang
keluarga), atau pada teras imaginer, yaitu koridor sebagai ruang publik yang
diintervensi menjadi ruang private sebuah rumah. Dengan demikian ruang
semi-publik pada rumah susun memiliki dimensi yang sangat tipis, sulit untuk
didefinisikan, bahkan dapat dinyatakan hilang (hidden space) , karena tidak
memiliki batas yang jelas. Bahkan perwujudannya kadang ada kadang tidak
ada.
Membangun public space, teras dan halaman pada sistem hunian landed
merupakan area yang didefinisikan sebagai ruang publik. Pada kasus rumah
susun, umumnya tidak ditemukan teras, dan tidak memiliki halaman pribadi
tentunya.
Hilangnya public space pada unit hunian rumah susun, menuntut penghuni
untuk tetap membangunnya dalam skala persepsi ruang. Maka koridor yang
berada pada batas ruang semi-public diintervensi menjadi ruang publik hunian,
sehingga para penghuni mempersepsikan koridor sebagai milik. Hal ini
bertentangan dengan fungsi koridor sebagai ruang miliki bersama.
[181]
Gambar 3. Bentuk intervensi ruang
privat terhadap ruang publik
[182]
Modifikasi ruang untuk membentuk gudang, ditempatkan pada bagian kolong
tempat tidur atau kursi tamu. Selain itu banyak pembentukan ruang gudang ini
pada bagian langit-langit. Seperti menggantungkan pada pipa-pipa utilitas
bangunan atau membuat rak. Penempatannya tidak saja di dalam unit hunian
yang berada dalam penguasaannya, akan tetapi di tempatkan pada ruang-ruang
bersama. Misalkan di koridor, bordes tangga, tangga darurat, atau ruang
utilitas bangunan seperti tempat meter air, panel listrik dsb.
Keterbatasan ruang dalam rumah susun tidak menghentikan upaya penghuni
untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Kemudian untuk itu penghuni tetap
membangun ruang-ruang tersebut pada skala persepsi, artinya ruang
didefinisikan dengan batas yang tidak jelas. Bahkan dapat dinyatakan tidak
berwujud, akan tetapi ruang tersebut ada ketika penghuni membutuhkannya.
Ruang-ruang pada rumah susun seperti bunglon, akan selalu beradaptasi sesuai
dengan kebutuhan. Warna ruang akan ditentukan oleh aktifitas yang
berlangsung pada skala waktu. Ketika malam ruang keluarga akan menjadi
ruang tidur, dan pada saat siang ruang tersebut juga akan menjadi ruang setrika
atau kegiatan dapur.
Juga pada saat sore ketika seluruh anggota keluarga berkumpul, maka akan
menjadi ruang keluarga. Jadi pola-pola ruang pada rumah susun dengan
keterbatasan ruang tidak sepenuhnya dinyatakan sebagi ruang multi fungsi,
akan tetapi terjadi perubahan pada level persepsi.
Perubahan perilaku yang tidak diharapkan adalah apa yang terjadi pada anak-
anak. Akibat keterbatasan ruang private bagi anak-anak, maka mereka tidak
kerasan tinggal berlama-lama dalam rumah. Ini mengakibatkan komunikasi
antara anak dan orang tua semakin jarang. Anak akan mencari tempatnya di
luar rumah, yang lambat laun hal tersebut dapat menimbulkan kenakalan pada
anak-anak dan remaja. Tentunya perubahan-perubahan yang demikian tidak
diharapkan terjadi pada lingkungan rumah susun.
Telaah modifikasi perilaku ini merupakan ranah telaah sosial, sehingga
pembahasan perubahan perilaku ini perlu dikebangkan lebih lanjut dengan
pendekatan sisi sosial. Perubahan perilaku yang berlangsung dalam waktu
tertentu akan membentuk kebiasaan kolektif yang menjadi budaya.
Pembentukan Budaya pada Rumah Susun
Walaupun telaah ini lebih difokuskan pada telaah ruang, namun
konsekuensinya tidak terlepas dari perubahan perilaku, yang merupakan dasar
pembentukan sebuah budaya baru, yaitu budaya rumah susun. Budaya tersebut
terbentuk dikarenakan oleh lingkungan fisik rumah susun.
Pola-pola budaya seperti apa yang terbentuk dalam lingkungan rumah susun di
Indonesia, diperlukan telaah lebih lanjut. Namun pada telaah ini, hanya dapat
ditarik sebuah hipotesa. Bahwa dalam keterbatasan rumah susun, akan
terbangun sebuah budaya baru, budaya rumah susun, yang merupakan hasil
dari sebuah proses adaptasi.
[184]
Upaya-upaya mempertahankan keberlangsungan hidup masyarakat dalam
keterbatasan ruang rumah susun, dilakukan melalui modifikasi ruang serta
modifikasi perilaku. Proses modifikasi tersebut akan berlangsung terus secara
dinamis. Kemudian akan berlangsung dari generasi ke generasi. Namun pada
tahap awal dinamika adaptasi tersebut, akan terjadi sangat intensif (cepat).
Sampai dengan menemukan titik kecocokan, antara perilaku pengguna dengan
kondisi ruang. Untuk selanjutnya dinamika adaptasi tersebut akan berlangsung
lebih lambat.
Wujud ruang rumah susun dapat menghasilkan nilai-nilai kehidupan baru pada
penghuni. Manakala penghuni berada pada posisi ruang sirkulasi antara unit
hunian, maka kualitas ruang yang terlalu intim antara ruang sirkulasi dengan
unit hunian, akan membangun suatu kedekatan antara kedua ruang tersebut. Ini
dapat mengakibatkan ruang unit hunian terganggu privacy-nya, juga ruang
koridor yang terganggu oleh ruang-ruang private, dari unit hunian yang
dilaluinya.
Beberapa pola dasar aktifitas yang dapat menjadi landasan perubahan budaya,
selain dipengaruhi oleh interaksi antara penghuni yang hererogen, juga
disebabkan oleh pola ruang. Hal tersebut dapat menimbulkan suatu kebiasaan
baru pada penghuni rusunami. Kebiasan baru yang berlaku pada suatu
komunitas akan membentuk suatu nilai-nilai yang menjadi landasan dalam
berperilaku. Proses tersebut yang merupakan embrio dari pembentukan budaya
dalam rusunami. Pembentukan budaya tersebut akan semakin kuat mengakar,
bila prosesnya berlangsung lama dan turun temurun. Khususnya pada generasi
berikutnya yang terlahir di lingkungan rusunami, dimana pada generasi
berikutnya nilai-nilai yang telah diadaptasikan oleh generasi sebelumnya
menjadi nilai-nilai kehidupan yang berlaku pada lingkungan tersebut.
Walaupun pada sisi lain , nilai-nilai tersebut juga dapat dipengaruhi oleh nilai-
nilai yang dibangun di atas regulasi, yang dibuat oleh pengelola ataupun oleh
pemerintah.
Pengalaman ruang yang berbeda antara unit hunian bersusun dengan tidak
bersusun, mengakibatkan terjadinya proses pemaknaan-pemaknaan baru.
Pemaknaan yang dihasilkan oleh pengalaman mengalami ruang, yang terjadi
berulang-ulang, serta berlangsung lama. Keterbatasan ruang merupakan sebuah
tantangan kehidupan manusia, untuk dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi
lingkungan yang cukup statis. Dimana keterbatasan fisik menurunkan
kemampuannya untuk dikembangkan.
Aspek-aspek tersebut yang merupakan landasan pembentukan sebuah budaya
rumah susun. Pembentukan budaya tersebut erat kaitannya dengan pengaruh
wujud disain. Sehingga telaah ini dapat digunakan sebagai landasan dalam
penggalian konsep disain rusunami, yang mampu memberikan peluang
[185]
pengembangan budaya yang lebih baik, dalam menghadapi tantangan dunia
yang lebih kompleks.
11.5. Penutup
Keterbatasan ruang pada rumah susun, tidak menjadikan begitu saja penghuni
pasrah terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi penghuni
akan senantiasa menghadirkan ruang-ruang yang diperlukan, sebagaimana
untuk memenuhi kebutuhan dasar akan ruang.
Ruang sebagai sarana dalam memenuhi aktifitas dasar manusia untuk
mempertahankan hidup. Adaptasi adalah sebuah proses perubahan yang
dilakukan oleh manusia terhadap diri dan lingkungan, perubahan tersebut
dilakukan melalui pola perilaku serta modifikasi lingkungan dengan
memanfaatkan teknologi.
Proses adaptasi yang dilakukan oleh penghuni pada rumah susun pada akhirnya
menghasilkan dua buah ruang esensial, yaitu ruang private yang menampung
aktifitas tidur/istirahat, serta ruang interaksi keluarga, di luar ruang servis.
Sedangkan untuk ruang-ruang lainnya cenderung diabaikan oleh penghuni,
artinya unit hunian cukup dikelompokkan menjadi dua kelompok saja,
sedangkan sisanya dikembangkan pada ruang-ruang milik bersama.
Dari fenomena proses adaptasi yang terjadi pada rumah susun, dapat
disimpulkan untuk sementara bahwa kebutuhan akan ruang pada rumah susun
belum dapat memenuhi kebutuhan manusia untuk menjalankan kehidupan yang
lebih layak, yaitu kebutuhan ruang yang mampu meningkatkan produktifitas
manusia. Terbangunnya kualitas manusia yang lebih baik, masih jauh untuk
dicapai . Hal ini mengingat pola adaptasi ruang yang dilakukan oleh penghuni,
cenderung mengabaikan aspek kesehatan secara fisik, maupun psikologis.
Keterbatasan ruang, selain menghasilkan pola ruang yang cenderung tidak
sehat, juga tingkat kepadatan yang terlalu tinggi untuk sebuah lingkungan
mengakibatkan seseorang dapat kehilangan ruang private. Hilangnya ruang
private pada tingkat individu maupun tingkat keluarga, akan mengakibatkan
keluarga atau individu tersebut stress, yaitu mengalami tekanan psikologis
yang terus menerus, pada rumah susun, akan menimbulkan persoalan sosial
dan kejiwaan. Hal ini perlu ditelaah lebih lanjut.
[186]
[12] Tata Nilai Sistem Hunian
Vertikal
Pada Permukiman Kota
[189]
12.3. Tinjauan Historis Hunian Vertikal
Embrio Hunian Vertikal
Sejarah perumahan mencatat bahwa hunian vertikal telah dimulai sejak jaman
Romawi, ketika Romawi mengalami puncak kejayaan, yang menjadi faktor
penarik untuk masyarakat lain pindah ke Romawi, hal tersebut mendorong
pertumbuhan penduduk sangat pesat. Pertumbuhan penduduk tersebut
mengakibatkan kekurangan perumahan, air bersih. Sampai dengan abad ke-3
SM telah dibangun 45.000 blok rumah-rumah secara bersusun dan 4.000 rumah
pribadi.
Perjalanan peradaban terus bergerak saling bergantian, terjadi pasang-surut
peradaban, sampai dengan ditemukannya mesin cetak, yang mendorong
penemuan berikutnya, yaitu mesin uap, sebagai pemicu terjadinya revolusi
industri. Dengan ditemukannya mesin uap, telah mendorong ditemukannya
berbagai peralatan mekanik yang digunakan pada bangunan, seperti mesin lif
oleh Otis, penemuan mensin lif ini mendorong pembangunan rumah bersusun
menjadi lebih tinggi. Selain itu teknologi bangunan terus berkembang pada
berbagai komponen bangunan yang memungkinkan membangun gedung
menjadi lebih tinggi lagi.
Untuk menalaah permasalahan tersebut, dapat dimulai dari perjalanan sejarah
perubahan-perubahan sosial-budaya yang cukup ekstrim, diantaranya ditandai
oleh perjalanan revolusi yang dimulai dari revolusi Gutenberg, Revolusi
Industri dan mungkin Revolusi Informasi saat ini. Dimulai pada abad ke –15
merupakan tanda dimulainya revolusi Gutenberg, dengan dimulainya
penemuan mesin pencetakan tulisan kedalam bentuk buku, Johannes
Gutenberg dianggap sebagai pelopornya.
Revolusi Gutenberg ini membuka peluang baru dalam penyebaran ilmu
pengetahuan termasuk pengembangan teknologi bangunan, banyak ilmu
pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya, pada akhirnya dapat
diterbitkan dalam bentuk buku dengan jumlah besar untuk disebar luaskan
keseluruh pelosok. Perkembangan teknologi bangunan melalui penyebarluasan
ini memungkinkan ditemukannya berbagai metoda dan peralatan bangunan
yang memungkinkan dibangunnya hunian vertikal.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan telah memungkinkan ilmu pengetahuan itu
dibaca dan dikembangkan oleh orang lain, karena ilmu pengetahuan itu sendiri
telah berkembang jauh sebelum revolusi gutenberg, seperti buku aljabar
pertama ditulis oleh Diophantus di Alexandria pada tahun 250 M, bahkan
ketinggian matahari telah dihitung di Cina sebelum kelahiran Kristus.
Abad ke –18 merupakan masa yang memisahkan cara dan gaya kehidupan,
pemisahan tersebut diawali di Inggris yang selanjutnya diikuti oleh daerah-
[190]
daerah lain, tepatnya pada abad ke-18 pada tahun 1769 telah ditemukan mesin
Uap sebagai awal dari Revolusi Industri. Sebelum revolusi industri manusia
mengerjakan pekerjaannya dengan alat-alat sederhana yang merupakan
kepanjangan dari anggota tubuhnya. Setelah revolusi industri semua pekerjaan
dikerjakan oleh mesin, yang mampu melakukan pekerjaan dengan lebih efisien
dan efektif.
Pada sisi perumahan, dampak sosial yang paling menonjol dari revolusi
Industri adalah ledakan penduduk. Sehingga pada saat itu dibangun kota-kota
industri, yang mengakibatkan perubahan dalam sistem mata pencaharian, dari
agraris menjadi industri dan jasa. Sehingga keberadaan lahan menjadi unsur
yang tidak terlalu penting dalam menunjang kehidupan masyarakatnya.
Urbanisasi merupakan dampak yang sangat menonjol dari periode revolusi
industri, akibat adanya jaringan-jaringan jalan baru, umumnya pelaku
urbanisasi ini adalah para buruh, mereka meninggali pusat-pusat kota yang
padat penduduk. Sehingga banyak melahirkan kawasan slum di pusat kota
yang dihuni oleh kelompok buruh.
Revolusi industri ini telah melahirkan industri perumahan yang dibuat secara
masal. Industrialisasi perumahan saat itu lebih memprioritaskan percepatan
pembangunan, agar supaya para buruh mendapatkan perumahan yang layak
dengan segera. Setara dengan kondisi di Indonesia saat itu, melalui percepatan
pembangunan rusuna, melalui program pembangunan 1000 Tower.
Dibidang arsitektur revolusi industri juga telah memengaruhi gaya arsitektur
yang selama itu dianut berubah, arsitektur menjadi suatu karya mesin, dengan
produksi masal yang mementingkan kecepatan dalam produksi. Era ini
merupakan era kejayaan arsitektur modern, yang dipelopori oleh Mies van der
Rohe dengan “less is more” yang menekankan pada fungsi, kesederhanaan dan
abstrak. Masa ini berlangsung cukup lama, yaitu antara abad ke-16 sampai
dengan awal abad ke-20. Ironisnya di Indonesia era modernisme ini masih
berlangsung.
Kehancuran era modernisme ditandai dengan kondisi yang menimbulkan
kejenuhan suatu kota maupun karya arsitektural, dimana segala sesuatu
menjadi tidak manusiawi yang memperlihatkan penurunan kesehatan,
kesenjangan sosial, kenyamanan dari kehidupan buruh pada umumnya.
Pembongkaran apartemen Pruitt-Igoe, St Louis karya Minoru Yamasaki (1952-
1955) telah dibongkar pada tahun 1972, yang disiarkan oleh beberapa stasiun
TV. Charles Jenck menyatakan bahwa arsitektur modern telah memiskinkan
bahasa arsitektur pada tingkat form (bentuk) serta memiskinkan arsitektur pada
level content (isi) dari tujuan sosial dibangunya karya arsitektur. Arsitektur
modern dianggap gagal berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Venturi juga akhirnya memathkan teori modernism dengan “less is bore”.
[191]
Tahapan Kehidupan menuju Hunian Vertikal
Tata nilai hunian terbentuk dari pola-pola beradaban, menurut HM Boodish
terdapat lima tahap proses pembentukan masyarakat, yang meliputi; (1) tahap
hunting and fishing, dimana pada tahapan ini kebutuhan manusia masih
dipenuhi oleh alam sepenuhnya, kegiatan memanen, memburu masih
merupakan kegiatan utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. (2) tahap
pastoral, yaitu tahap dimana manusia mulai tinggal menetap pada suatu daerah
untuk memanfaatkan sumber daya alam di tempatnya dalam memenuhi
kebutuhan. (3) tahap agricultural dimana manusia mulai mengulah lahan untuk
menuhi kebutuhan hidup, (4) tahap handicraft, yaitu ketika manusia
mengembangkan peralatan untuk melakukanan eksploitasi sumber daya alam.
(5) tahap industrial, merupakan tahap dimana kelebihan hasil sumber daya
alam sangat berlimpah dan manusia perlu peralatan untuk mengolah sumber
daya alam tersebut, pada tahap ini mendorong kegiatan pasar, dimana
kelebihan sumber daya tersebut dipertukarkan dengan kelompok lain yang
memeliki sumber daya yang berbeda.
Merujuk pada fenomena budaya yang terjadi dari perjalanan sejarah
kebudayaan, maka saat ini, dapat dinyatakan sebagai kelanjutan tahapan-
tahapan pembentukan karakter budaya tadi, yaitu; pada tahap postindustrial,
dimana produk industri melebihi kebutuhan, maka pada tahap ini diciptakanlah
pasar, yang membawa pada Tahap consumption, dimana kebutuhan manusia
bergeser menjadi keinginan-keinginan, yang mengakibatkan tingkat konsumsi
tinggi terhadap sumber daya alam. Pada akhirnya budaya instan menjadi
fenomena disetiap lini kehidupan, yang membentuk tata nilai kepraktisan
(hidup prakatis), kecepatan, kemudahan, dan sebaginya.
Pola kehidupan demikian memiliki kecocokan dengan kehidupan masyarakat
di perkotaan, tentunya untuk mendapatkan segala kebutuhan dan keinginannya
dengan cepat, dengan mudah, dan praktis, akan mudah didapat pada suatu
lingkungan perumahan yang compact. Pola-pola perumahan campuran dalam
suatu kawasan atau dalam sebuah blok lebih memberikan sarana tata nilai saat
ini.
[193]
Keterangan :
LA, lingkungan alamiah
LB, lingkungan binaan
P, perilaku
T – t, teknologi
e, ekonomi; p, politik; s, standar; no, norma
n, kebutuhan; f, fear; w, want; am, amazed
ilm, ilmu pengetahuan
A – a, akal
ist, insting
Tahap awal pembentukan tata nilai pada sebuah masyarakat, diawali oleh
perasaan takut yang menyelimuti kehidupan sebuah kelompok, rasa takut
tersebut ditimbulkan oleh fenomena alam, seperti petir, hujan, gunung merapi,
gempa bumi dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa alam tersebut dimaknai
oleh masyarakat sebagai sebuah kekuatan yang timbul dari luar dirinya (makro
kosmos).
Tahap respon terhadap fenomena alam
Perasaan takut (fear) merupakan aspek pertama yang membentuk perilaku
manusia, mahluk hidup seperti halnya manusia memiliki insting yang
merupakan alat yang menjadi bagian dari tubuh, yang juga digunakan dalam
upaya untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupannya. Kecuali satu
hal yang membedakan manusia dengan mahluk hidup lainnya, yaitu manusia
dilengkapi dengan akal, yang memungkinkan manusia mengembangan ilmu
[194]
pengetahuan dan teknologi dalam upaya mempertahakan kehidupan dan
penghidupannya.
Tahap modifikasi terhadap lingkungan (pembentukan lingkungan binaan tahap
awal)
Upaya mahluk hidup untuk dapat mempertahankan kehidupan dan
penghidupan adalah melalui proses adaptasi terhadap lingkungan fisik. Proses
adaptasi pada manusia dengan mahluk hidup lainnya dibedakan pada akal dan
insting. Variabel-variabel alam dan pengembangan ilmu pengetahuan termasuk
pengembangan teknologi telah memengaruhi tata nilai manusia dalam proses
kehidupan dan penghidupan. Proses adaptasi demikian tidak terlepas dari
lingkungan fisik, lingkungan psikologis manusia, serta teknologi sebagai
produk dari ilmu pengetahuan, dinamika proses adaptasi yang memengaruhi
pembentukan tata nilai.
Tahap pengembangan teknologi untuk memudahkan kehidupan
Perilaku merupakan produk dari perpaduan antara teknologi dengan kebutuhan
manusia, teknologi berkembang selain disebabkan oleh kebutuhan manusia
untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan kehidupan ini,
juga disebabkan oleh tuntutan ekonomi, atau kehidupan yang lebih ekonomis
dalam arti efisien. Pada tahap perkembangan peredaban manusia, rasa takut
akan mengalami pergeseran menjadi kebutuhan, ketika manusia telah mempa
menangani rasa takut tersebut dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dikembangkannya. Oleh kerena itu teknologi diciptakan untuk memudahkan
manusia hidup.
Terdapat dua sisi yang saling memengaruhi dalam pembentukan lingkungan
binaan, yaitu sisi perilaku manusia serta sisi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua sisi tersebut dikategorikan sebagai pengaruh internal dan pengaruh
ekternal. Pada pendekatan ini, menempatkan manusia menjadi unsur utama
dalam pembentukan lingkungan binaan.
Beberapa variabel yang selalu melengkapi dalam proses pembentukan
lingkungan binaan, yaitu sisi teknologi dan sisi perilaku. Pada sisi perlaku tidak
terlepas dari sub variabel rasa takut (fear), insting (instinct) dan akal,
kebutuhan (need) , keinginan (want) serta ketakjuban (amazed). Sedangkan
pada sub variabel lain dari sisi teknologi adalah; adanya ilmu pengetahuan,
norma, standar, ekonomi dan politik.
Proses berkembangnya sebuah akal dan penggunaan insting dalam
pembentukan lingkungan binaan tidak terlepas dari proses dinamis yang terjadi
dalam lingkungan psikologis manusia diantar sub variabel, rasa takut,
kebutuhan, keinginan dan rasa takjub. Empat sub variabel tersebut memiliki
nilai yang berbeda-beda diantara kelompok masyarakat. Demikian juga dengan
[195]
variabel teknologi, dimungkinkan berkembang karena terjadi proses dinamis
antara sub variabel yang saling memengaruhi, yaitu norma, standar, ekonomi
dan politik. Kedua kutub sub variabel tersebut yang membentuk lingkungan
binaan beserta tata nilai-nya.
Pada proses perkembangan tata nilai pada diagram di atas, secara bersamaan
membentuk sebuah tata cara, kebiasaan, tata kelakuan serta adat istiadat.
Keempat komponan tata nilai tersebut berkembang sesuai dengan tiga faktor
utama di atas. Salah satu arah pertumbuhan tata nilai tersebut adalah tata nilai
yang terbangun akibat pola lingkungan hunian vertikal.
Pertumbuhan dua variabel utama tersebut di atas berbeda, seperti dijelaskan
oleh Soekamto [1982], bahwa teknologi berkembang secara linier sedangkan
perilaku manusia tumbuh secara anguler dan lingkungan tumbuh secara
angular bercabang (yang mengakibatkan terbentuknya keragaman arsitektur).
Perbedaan ketiga pola pertumbuhan tersebut mengakibatkan perilaku manusia
selalu mengikuti pertumbuhan teknologi dan lingkungan. Walaupun teknologi
dan lingkungan binaan merupakan sebuah produk dari pengembangan ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia.
[196]
Pertumbuhan perkotaan, yang tidak mempertimbangkan daya dukung
lingkungan, pada akhirnya kembali menjadi beban sosial masyarakat kota,
dimana masyarakat kota menjadi cenderung mendapat tekanan yang sangat
tinggi dari lingkungnya. Dengan demikian fungsi rumah mengalami degradasi
akibat perubahan dari perilaku penghuninya. Belum lagi dari sisi penyediaan
perumahan di perkotaan yang mengakibatkan rumah hanya sekedar ruang fisik
tanpa makna.
Kondisi tersebut seperti disampaikan oleh John Ruskin yang dikutip dari
Gifford (2002) , “This is the true nature of home – it is the place of peace; the
shelter, not only from injury, but from all terror, doubt, and division. In so far
as it is not this, it is not home ….. it is then only a part of the outer world which
you have roofed over”.
Bagaimana sebuah hunian vertikal dapat memberikan nilai sebagai Home,
ketika berbagai kebutuhan hidup manusia tidak sepenuhnya terpenuhi, akibat
dari keterbatasan ruang pada sistem hunian vertikal di rumah susun. Rumah
sebagai tempat yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Memiliki peran
besar dalam membantu proses pertumbuhan penghuninya serta mengatasi
ancaman dari luar untuk menjamin kelangsungan hidup penghuninya. Kata
rumah dalam rusuna diartikan sebagai suatu ruangan, yang terdiri dari satu atau
beberapa ruang yang membentuk sebuah shelter tanpa halaman.
Peran tanah bagi sebuah hunian pada sebagian besar masyarakat memiliki nilai
penting dalam pembentukan ruang privat. Ruang privat pada sebagian besar
masyarakat diartikan sebagai sebuh bentuk penguasaan, besarnya penguasaan
terhadap sebuah tempat menunjukkan nilai privacy yang lebih besar, begitu
juga sebaliknya, bila penguasaan terhadap sebuah tempat rendah maka tingkat
privacy-nya pun menjadi rendah. Pada sistem hunian vertikal tanah merupakan
milik bersama, sehingga terdapat perubahan pola tata nilai terhadap lahan/tanah
pada rumah susun.
Pola-pola demikian telah muncul sejak pertama kehidupan manusia, perilaku
demikian juga terlihat pada kehidupan dunia binatang, yang akan memiliki
wilayah penguasaan, bila wilayah tersebut dimasuki oleh kelompok binatang
lainnya, maka akan terjadi pertahan maupun perlawanan dalam
mempertahakan wilayah kekuasaannya.
Sehingga tidak heran ketika sebagian besar masyarakat, senantiasa akan
mengaktualisasikan dirinya dalam indentitas tempat yang ditandai dengan
keberadaan lahan. Tanah sebagai simbol, Secara universal simbolisasi banyak
dikaitkan dengan unsur tanah, air, udara, dan api. Kekuatan tanah sebagai
simbol dapat dirasakan sampai saat ini, unsur tanah lebih diperkuat oleh
teritorialisme sebagai batas dari kekuasaan dan kepemilikan. Sehingga menjadi
sangat penting dalam membangun sistem hunian vertikal saat ini, adalah
[197]
bagaimana menciptakan teritorialisme pada sebuah unit hunian yang tidak
diberi buffering halaman, merupakan sebuah kunci dari keberhasilan sebuah
sistem hunian vertikal.
Pada beberapa masyarakat pedalaman atau daerah-daerah yang belum terlalu
berkembang, tanah yang masih berbentuk hutan belantara atau pun padang
rumput banyak yang dikuasai sebagai tanah adat, meskipun sebagian dari
masyarakat tersebut belum dapat dieksploitasi tetap dipertahankan. Sebagai
contoh, pada saat penulis menangani perumahan bagi pengungsi eks
masyarakat Timor Timur pasca jajak pendapat, masalah tanah adalah yang
paling kompleks, sekalipun tanah yang kita hadapi adalah tanah yang hanya
ditumbuhi oleh padang rumput yang gersang, masyarakat tidak dengan mudah
melepas status penguasaan tanahnya.
Tanah bagi masyarakat tertentu menjadikan simbol kelompoknya, manakala
tanah tersebut dikuasai oleh masyarakat lain, masyarakat merasa kehilangan
kekuatan dari wilayahnya. Pada masyarakat perkotaan, tanah pun memberikan
simbol dari status sosial. Pada kasus perkotaan, tanah lebih dilihat dari sudut
nilai ekonomis lokasi, manakala seseorang menujukkan penguasaan tanah di
daerah Pondok Indah, Cendana, Dago, atau Cipaganti, maka ada satu
pemahaman pada setiap individu, pemahaman mengenai status sosial dari
pemilik. Dalam dunia hewan, bahwa tanah di hutan belantara dikuasai dalam
bentuk wilayah-wilayah kelompok binatang. Dalam dunia hewan tanah juga
sebagai simbol dari kekuasaan.
Dengan demikian, persoalan lahan merupakan persoalan esensial dalam
kehidupan sebuah mahluk. Demikian juga persoalan ini mengemuka pada
masyarakat perdesaan terpencil, sekalipun masyarakatnya melakukan sistem
pertanian beringsut, bahwa lahan yang digunakan senantiasa bergerak pada
lahan-lahan tertentu, dan setiap kelompok masyarakat memiliki wilayah
penguasaan-nya masing-masing. Dengan demikian bila kelompok masyarakat
dengan tipologi seperti ini, maka akan terjadi lompatan tata nilai yang terlalu
ekstrim, sehingga kelompok ini sangat berat bila harus menghuni rusuna.
Pada masyarakat perdesaan yang miliki pola kehidupan sebagai masyarakat
agraris, lahan juga sangat penting, lahan menjadi indikator utama dalam
perwujudan sebuah kemapanan, demikian juga lahan merupakan bentuk
penguasaan yang menunjukkan wilayah privacy yang lebih tinggi. Pola tata
nilai kepemilikan lahan ini masih cukup besar terbawa oleh masyarakat urban,
dimana orientasi kehidupan masyarakat urban di Indonesia, selalu berorientasi
kepemilikan sebuah lahan. Hal ini membuka peluang dalam hal penguatan
sistek hunian vertikal, karena sebagian masyarakat berorientasi hidup di kota
bersifat temporal, maka ada kecenderungan hunian di perkotaan dimungkinkan
terjadi pengurangan nilai rasa kepemilikan, yang selama ini cukup tinggi.
[198]
Sehingga terdapat kecenderungan pada sebagian besar masyarakat urban
memiliki orientasi hidup di atas tanah, pada kondisi penguasaan tanah di
perkotaan sangat mahal sehingga tidak terjangkau, maka masyarakat urban
ketika memasuki usia non produktif, rata-rata di atas 56 tahun, akan kembali ke
kampung halaman, dimana dia menempatkan kepemilikan lahannya di
perdesaan.
Dengan demikian terdapat kecenderungan perkotaan di Indonesia sebagian
besar penduduknya adalah usia-usia produktif, yaitu antara 25 – 56 tahun.
Berbeda dengan perdesaan yang menunjukkan pertumbuhan usia non produktif
lebih tinggi dibandingkan dengan usia produktif. Tentunya karekteristik
penduduk demikian menunjukkan proses industrialisasi yang masih
berlangsung.
Hal tersebut di atas, yang menyebabkan terjadinya perbedaan tata nilai antara
masyarakat perkotaan dan perdesaan, perbedaan tersebut seperti disampaikan
oleh Soekanto, pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbedaan tata nilai masyarakat perdesaan dan perkotaan
Warga memiliki hubungan yang lebih erat Jumlah penduduknya tidak tentu
Umumnya hidup dari pertanian Pekerjaan lebih bervariasi, lebih tegas batasnya
dan lebih sulit mencari pekerjaan
Golongan orang tua memegang peranan Perubahan sosial terjadi secara cepat,
penting menimbulkan konflik antara golongan muda
dengan golongan orang tua
Dari sudut pemerintahan, hubungan antara Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan
penguasa dan rakyat bersifat informal daripada faktor pribadi
Banyak berubanisasi ke kota karena ada Banyak migran yang berasal dari daerah dan
faktor yang menarik dari kota berakibat negatif di kota, yaitu pengangguran,
naiknya kriminalitas, persoalan rumah, dan lain-
lain
[200]
Sedangkan halaman pada masyarakat kampung kota nyaris tidak tersedia, hal
ini disebabkan oleh terbatasnya penguasaan lahan oleh masyarakat di
perkotaan, selain keterbatasan lahan juga harga lahan di perkotaan sangat
tinggi, sehingga masyarakat cukup mencari lahan sebatas kebutuhan memeuhi
ruang dalam saja. Hal ini menyebabkan beberapa tata nilai masyarakat
terhadap pekarangan mengalami pergeseran. Sehingga kegiatan berkebun dan
beternak bergeser menjadi kegiatan berdagang, atau waktua luang pada
akhirnya banyak digunkan untuk kegiatan sosial, kumpul-kumpul antara
masyarakat lebih ditingkatka waktunya.
Berbeda dengan lingkungan perumahan vertikal, keberadaan halaman yang
hilang di kampung kota, akhirnya dapat dihadirkan kembali dalam bentuk
halaman bersama, walaupun keberadaan halaman dapat diwujudkan dalam pola
hunian vertikal, akan tetapi kegiatan berkebun dan beternak tentunya tidak
dapat dilakukan. Akan tetapi halaman sabagai sarana mengisi waktu luang
tetap eksis.
Teras; Peran teras dalam sistem hunian memiliki peran penting dalam
kaitannya dengan kontak sosial diantara komunitas sebuah masyarakat. Teras
juga digunakan oleh penghuni sebagai tempat untuk menerima tamu yang
berasal dari komunitasnya. Peran teras sangat penting bagi tokoh masyarakat,
dalam hal ini, tokoh masyarakat yang berasal dari perdesaan adalah sesepuh
karena usiannya, atau tokoh agama, atau tokoh adat. Keberadaan teras para
tokoh masyarakat ini menjadi sangat penting karena intensitas penerimaan
tamu dari warganya sangat tinggi.
Pada masyarakat perkotaan, seperti halnya masyarakat di kampung kota, pola-
pola ketokohan masih sangat kental, dimana peran ketokohan banyak
diperankan oleh pimpinan lembaga kemasyarakat secara administratif, seperti
ketua RT, ketua RW, atau seorang lurah. Kedekatan diantara tokoh-tokoh
tersebut pada lingkungan kampung kota masih sangat kuat, sehingga peran
ruang kebersamaan yang mampu menampung pertemuan warga sangat penting.
Berbeda sekali dengan kondisi di perdesaan pertemuan warga dengan para
tokoh tersebut dapat dilakukan di rumah seorang tokoh, karena kondisi rumah
seorang tokoh sangat memungkinkan dapat menerima tamu, hal ini disebabkan
oleh ketersediaan ruang, dimana lahan pekarangan dan ruang bangunan yang
sangat mumpuni.
Berbeda dengan kondisi masyarakat perkotaan, karena keterbatasan ruang, baik
itu lahan maupun ruang-ruang dalam unit hunian, maka setiap pertemuan
dilakukan pada setiap ruang terbuka yang mungkin ada, bahkan dapat
dilakukan di warung-warung kopi, atau pos jaga RT/RW. Beruntung bagi RT
atau RW tersebut memiliki ruang serba guna, maka pertemuam tersebut
dilakukan di gedung serba guna tersebut.
[201]
Ruang Tamu; fungsi ruang tamu pada sistem hunian di perdesaan pada
umumnya kurang memiliki makna, karena tamu pada masyarakat desa adalah
yang berasal dari warga satu desa, dan bagi mereka dianggap menjadi bagian
keluarga-nya, sehingga tamu tersebut dapat datang kapan saja dan langsung
memasuki ruang teras. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tingkat kekerabatan
antara warga sangat kuat. Sedangkan tamu yang datang dari luar desa biasanya
adalah kerabat yang dekat yang tinggal tidak dalam satu desa, sehingga tipe
keluarga ini biasanya juga turut menginap, dan diterima di ruang keluarga.
Pola-pola demikian yang menjadikan rumah-rumah di perdesaan tidak
memiliki ruang tamu secara spesifik akan tetapi ruang tamu tersebut bergabung
dengan ruang keluarga.
Ruang tamu hanya ditemui pada masyarakat perkotaan yang telah tumbuh sifat
individualis-nya. Namun, pada lingkungan kota yang masyarakatnya masih
memegang pola-pola tradisi perdesaan maka keberadaan ruang tamu sering
dihilangkan sama sekali atau digabung dengan ruang keluarga. Tata nilai
demikian biasanya masih dapat kita temui pada masyarakat Batak, dimana
tingkat kekerabatannya sangat tinggi walaupun sudah menjadi masyarakat
perkotaan. Juga demikian pada masyarakat kota yang masih memegang tata
nilai perdesaan yang dibawanya, kebiasaan masyarakat melakukan acara
kenduri, pada berbagai even, mendorong masyarakat untuk menginginkan
ruang keluarga yang besar. Pola tata nilai seperti ini bagi kelompok masyarakat
yang masih memegangnya, biasanya keberadaan ruang tamu memiliki
intensitas penggunaan sangat rendah.
Pada hunian vertikal, dengan alasan keterbatasan ruang, maka ruang tamu pada
akhirnya sama sekali hilang, penerimaan tamu pada hunian vertikal
ditempatkan pada ruang keluarga. Atau pada koridor yang banyak mengalami
pergeseran fungsi, dari fungsi publik menjadi fungsi privat. Pada sistem hunian
vertikal sederhana, keberadaan ruang publik seperti bordes tangga, koridor, hall
tangga biasanya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu.
Ruang keluarga; ruang ini dalam sistem tata nilai sebuah hunian adalah
merupakan ruang inti bagi sebuah rumah, dimana pada ruang ini seluruh
aktifitas keluarga ditampung. Ruang keluarga pada berbagai kelompok
masyarakat senantiasa memiliki nilai utama, sehingga pada lingkungan
perdesaan, perkotaan, maupun pada sistem hunian vertikal ruang keluarga
selalu ada.
Pemahaman kosmologi yang sangat kuat bagi sebagian besar masyarakat,
menjadikan banyaknya acara-acara yang berkaitan dengan keyakinan, baik itu
yang bersumber dari religi maupun dari keyakinan yang mengakar pada sistem
budaya masyarakat secara turun temurun, sehingga banyak even-even
upacara/kenduri yang dilakukan oleh masyarakat. Pelaksanaan kenduri tersebut
[202]
dapat berlangsung pada berbagai tingkatan, baik itu tingkatan keluarga maupun
komunitas.
Peran ruang keluarga sangat penting artinya untuk mewadahi aktifitas-aktifitas
tersebut. Namun pada masyarakat perkotaan, akibat keterbatasan ruang
termasuk lahan, mengakibatkan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan pada
fasilitas publik, dan paling banyak adalah dengan menggunkan fasilitas jalan
raya, baik itu di atas trotoar sampai dengan menutup sebagian atau seluruh
badan jalan. Berbeda dengan masyarakat perdesaan kegiatan terwsebut
dilakukan di halaman atau ruang terbuka. Peristiwa tersebut dapat dilihat pada
berbagai upacara adat atau tarian-tarian umumnya dilakukan pada ruang
terbuka.
Ruang makan; ruang ini bagi sebagian besar masyarakat tidak terlalu banyak
memberikan arti, karena kegiatan ini banyak dilakukan pada ruang keluarga,
keberadaan ruang makan secar khusus hadir pada kelompok masyarakat
dengan tingkat sosial yang lebih tinggi, sedangkan pada sebagian besar
masyarakat keberadaanya bergabung dengan dapur. Peran dapur memiliki arti
yang lebih kuat dibandingkan dengan ruang makan.
Dapur; dapur merupakan hal yang sangat penting pada kelompok masyarakat
perdesaan, dimana pada dapur ini peran wanita sebagai penguasa sangat
dominan, dapur juga menjadi sarana interaksi antara kaum wanita di perdesaan.
Dapur bagi kelompok masyarakat khusus di lingkungan para wanita dijadikan
sebagai simbol kemakmuran. Yang ditunjukkan melalui berbagai jenis
peralatan masak yang dimiliki sampai dengan jenis masakan yang dibuat setiap
harinya.
Dapur sebagai lambang kemakmuran secara tidak langsung dapat dilihat dari
para wanita yang sudah berkeluarga pada kelompok masyarakat melayu,
dimana postur tubuh gemuk bagi seorang wanita yang sudah berkeluarga
melambangkan kemakmuran.
Lambang kemakmuran dapur ini, secara kosmologi juga diimbangi dengan
penyediaan ruang persembahan bagi kekuatan yang telah memberikan
kemakmuran tersebut, ruang Goah pada masyarakat sunda misalnya, atau
masyarakat melayu yang menjadikan dapur didekatkan dengan lumbung.
Pergeseran tata nilai dapur pada masyarakat perdesaan terjadi, seiring dengan
tingkat aktifitas keseharian yang semakin meningkat, menyebabkan peran
dapur menjadi berkurang, masyarakat perkotaan bahkan mulai enggan
menggunakan dapur, karena penyediaan makan didapat dengan membeli
masakan jadi atau mengkonsumsi makanan-makanan jadi (instan). Sehingga
ketika terjadi pembatasan ruang maka menjadikan bagian yang tersisihkan.
Namun lain halnya pada kelompok masyarakat perkotaan dengan tingkat sosial
yang lebih tinggi, maka keberadaan dapur juga menjadi simbol keluarga. Pada
[203]
beberapa tata nilai masyarakat barat, ketika sebuah keluarga memperkenalkan
keluarganya kepada tamunya, dapur menjadi bagian yang selalu diperlihatkan.
Sehingga perkembangannya dapur terbagi menjadi dua dapur kering dan dapur
basah.
Gudang; keberadaan gudang dalam sistem hunian di sebagian besar
masyarakat Indonesia sangat penting, dimana masyarakat masih memiliki
keterikatan yang sangat kuat dengan benda-benda yang dimilikinya. Manusia
demikian oleh Van Peursen dikategorikan sebagai masyarakat dengan tingkat
budaya mitik, dimana kehidupannya masih dikuasai oleh benda-benda yang
berada disekitarnya, tentunya pada skala yang lebih luas, benda-benda tersebut
termasuk tanah dan bangunannya serta lingkungan tempat tinggal, pada skala
mikro benda-benda yang dimiliki seperti meuble, oleh masyarakat dianggap
memiliki nilai bangi kehidupannya, sehingga masyarakat selalu tetap
menyimpan barang-barang-nya walaupun sudah tidak terpakai.
Penguasaan barang-barang terhadap kehidupan individu tersebut berlangsung
sangat lama, sampai dengan barang tersebut musnah dimakan usia. Sehingga
kebutuhan akan tempat penyimpanan barang-barang ini sangat diperlukan
dalam sebuah tata nilai keluarga baik itu di perkotaan maupun di perdesaan.
Ruang basah, kamar mandi, cuci, dan kakus; fungsi-fungsi ruang basah pada
masyarakat desa biasanya jauh dilepaskan dari bangunan utama, kegiatan
tersebut dilakukan di luar bangunan dan juga dapat dilakukan secara komunal.
Pada lingkungan perdesaan ruang basah juga dapat menjadi sarana berinteraksi
antara anggota masyarakat. Ruang basah ini ditempatkan di jalur sungai yang
memallui wilayahnya atau membangun kolam bersama sebagai tempat mandi,
cuci, dan kakus.
Kondisi demikian juga pernah terjadi di belahan Eropa, dimana banyak
bangunan yang tidak dilengkapi dengan kamar mandi, namun akibat
pertimbangan kesehatan maka di Eropa sekalipun pernah dilakukan program
kamar-mandi-sasi (dibangunkan kamar mandi pada hunian). Demikian halnya
denga masyarakat kita kesadaran akan kesehatan membuat kamar mandi
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan bangunan. Tentunya
dengan pertimbangan kesehatan pula keberadaan kamar mandi komunal pada
bangunan hunian vertikal perlu ditinjau kembali karena jaminan kesehatan
sangat rendah.
Namun demikian, keberadaan kamar mandi komunal juga banyak terjadi pada
permukiman kampung kota, dimana kondisi demikian terjadi akibat tekanan
keterbatasan ruang di perkotaan, sehingga masyarakat menyiapkan kamar
mandi dan kakus secara komunal.
[204]
12.6. Penutup
Kota telah menjadi episentrum kemiskinan, serta kontribusi kerusakan
lingkungan banyak terjadi diperkotaan, sehingga keberadaan rumah susun di
perkotaan tidak dapat dihindarkan lagi. Fenomena perubahan pola tata nilai
juga mendukung bagi sebagian masyarakat perkotaan untuk bergeser pada
sistem hunian vertikal. Walaupun secara psikologis dan budaya bagi sebagian
besar masyarakat merasakan belum siap.
Adaptasi merupakan unsur dalam kehidupan yang memungkinkan manusia
dapat bertahan hidup dengan berbagai perubahan dan tekanan yang terjadi.
Didalam proses adaptasi tersebut tidak terlepas dari tiga aspek pembentuk,
yaitu lingkungan fisik, lingkungan psikologis manusia serta ilmu pengetahuan.
Tata nilai pada sistem hunian dapat dilihat pada wujud arsitektur dalam bentuk
tata nilai yang berpengaruh pada bentukan arsitektur secara vertikal, yaitu;
adanya kepala, badan dan kaki, serta sejauh mana tata nilai tersebut masih kuat
dianut oleh sebagian besar masyarakat. Selanjutnya tata nilai bentukan
arsitektur secara horizontal, pada level tapak, dan denah bangunan. Pada arah
horizontal ini masih banyak tata nilai yang masih dipegang oleh masyarakat,
termasuk pengaruhnya pada sistem kelembagaan, sistem sosial, sistem
ekonomi masyarakat.
Tata nilai sebuah hunian sangat dipengaruhi oleh sistem mata pencaharian
masyarakatnya. Sebuah masyarakat dapat melakukan proses adaptasi terhadap
lingkungannya untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupannya,
sehingga sistem mata pencahariaan suatu masyarakat merupakan pengaruh
pertama dalam sistem tata nilai kehidupan yang juga diwijudkan dalam
bentukan arsitektur huniannya termasuk pola lingkungan hunian.
Rasa takut terhadap kemampuan untuk menguasai sumber daya kehidupan,
telah membangun kepercayaan (kosmologi) yang berpengaruh terhadap pola
tata lingkungan perumahan serta bangunanya, serta dalam pemilihan bahan-
bahan bangunan yang digunakan, akibat dari pemilihan bahan bangunan
tersebut berpengaruh pada eujud arsitektur, sehingga dalam telaah ini tampak
bahwa tata nilai itu ada dalam sebuah hunian pada berbagai kelompok
masyarakat.
[205]
[206]
Daftar Pustaka
[207]
Data Statistika, BPS (2009), http://www.datastatistik-
indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,112/Itemid,16
5/ , diunduh pada 9 Maret 2009.
Deutschman Alan, (2007), Change or Die, tiga kunci untuk perubahan dalam
pekerjaan dan kehidupan, Momentum
Dillistone F.W, Daya Kekuatan Simbol, THE POWER OF SYMBOL, Penerbit
Kanisius
Dillistone, F.W., (1986), : The Power of Symbols, London, SCM Press.
Faisal Sanapiah, (2007), Format-format Penelitian Sosial, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Fu Tuan, Y. (1989) : Space and Place, the Perspective of Experience,
Minneapolis, University of Minnesota Press.
Giffond Robert, (2002), Environmental Psichology Principles and Practice,
Optimal Books
Gilbert, A. dan Gugler, J. (1987) : Urbanization in the Third World
dalam“Cities, Poverty, and Developmen”, Great Britain, Oxford
University Press, 116 - 127.
Gottdiener M & Budd Leslie, (2005), Key Concepts in Urban Studies, SAGE
Publication, Londong, New Delhi
Habraken, J.N. (1980) ; Design for Adaptability, Change, and User
Participation, dalam Housing Process and Physical Form, Riaz Hasan,
Aga Khan Award for Architecture.
Hall, T.E. (1966), The Hidden Dimension, London, Doubleday & Company,
Inc.
Hasan, R. (1980) ; Housing and Society: Some Thoughts on the Role of
Housing in Social Reproduction, dalam Housing Process and Physical
Form, Riaz Hasan, Aga Khan Award for Architecture.
Hutagalung, S.H (2007) : Kondominium Permasalahannya, Edisi Revisi,
Kampus UI Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonmesia, 9 - 18.
Jenks, M., Burton, E., Williams, K. (2002) ; The Compact City, a Sustainable
Urban Form ?, Oxford Bookes University, Oxford, UK.
Kuntowijoyo, (2008), Penjelasan Sejarah, Tiara Wacana
[208]
Lang Jon, (1987), Creating Architectural Theoty, the role of the behavioral
Sciences in environmental design, Van Nostrand Reinhold Company,
New York.
Lawson, B. (2001) : The Language of Space, Great Britain, Architectural Press,
14 – 35
Madanipour Ali, (2003), Public and Private Space of the City, Routledge,
Londong and New York
Madanipour, A. (2003), : Public and Privat Space, “Chapter 3 Intimate Space
of the Home”, London & New York, Routledge Taylor & Francis
Group, 71 – 106.
Monto, M., Ganesh, L.S. & Vargese, K. (2005) : Sustainability and Human
Settlements, Fundamental Issues, Modeling and Simulations, New
Delhi, Sage Publications.
Nelkon M & Parker P, (1966), Advance Level Physics, Heinemann Educational
Book LTD, London.
Newman, O. (1978), : Defensible Space, Crime Prevention through Urban
Design, New York, Collier Books,
Petra. (2002) : Rumah Susun di Surabaya, Universitas Kristen Petra,
http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ars4/2003/jiunkpe-ns-s1-2003-
22499020-5764-rumah_susun-chapter3.pdf., diunduh pada 9 Maret 2009
Pitts Andrian, (2004), Planning and Design Strategies for SUSTAINABILITY
AND PROFIT, Elsevier
Rapopot, A. (1969); House Form and Culture, Foundation of Culture
Geography Series, Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J.
Ridwan Muzir Inyiak, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, Ar-Ruzz
Media Group
Salura Purnama, (2001), ber-arsitektur, membuat, menggunakan, mengalami,
dan memahami arsitektur, Architecture & Communication
Salura, Purnama. (2001), : Ber-Arsitektur, Membuat, Menggunakan,
Mengalami dan Memahami Arsitektur, Bandung, Architecture &
Communication, 51 – 56.
Snodgrass Andrian & Coyne Richard, (2006), Interpretation in Architecture
design as a way of thinking, Routledge, Londong and New York
Soekamto,S. (1982) ; Sosiologi, Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.
[209]
Stanislav Kolenicov, (1998) : The Methods of the Quality of Life Assessment,
http://www.komkon.org/~tacik/science/skolenik_nes_thesis.pdf ,
diunduh 7 April 2009
Suisyanto, Suhud, M.A, & Waryono. (2007), :, “kedilan sosial dan
kesejahteraan sosial dalam Islam” dalam Model-model Kesejahtrean
Sosial Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 29 – 49
Susilo Rachman K. Dwi, (2008), Sosiologi Lingkungan, Radjawali Press,
Jakarta
Syafei Inu Kencana, (2004), Pengantar Filsafat, Refika Aditama
Unwin, Simon (1997), : Analysing Architecture, Routledge, London.
Ward, B. (1976) ; The Home of Man, Andre Deutsch Limited, Great Britain.
[210]
INDEKS
[212]
hunian, 130, 131, 132, 133, 134, 135, J
136, 142, 143, 144, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, Jakarta, 17, 38, 60, 81, 82, 87, 88, 101,
156, 157, 158, 160, 161, 162, 163, 103, 208, 209, 211
164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, Jean Beaman, 31, 32, 36
172, 173, 175, 178, 179, 180, 181, Jepang, 27, 101
182, 183, 185, 186, 187, 188, 189, John Locke, 45
190, 192, 196,197, 198, 200, 201,
202, 204, 205
Hunian, 130, 146, 187, 188, 190, 192, K
200 kapitalisme, 19, 56, 72, 73, 74, 97, 98
KASIBA, 118, 122, 127
I kawasan, 6, 8, 18, 20, 22, 23, 26, 36,
41, 45, 48, 49, 63, 68, 69, 71, 76,
IAI, 59, 61, 62, 69, 71, 75, 77, 78, 79 80, 86, 87, 97, 99, 100, 101, 102,
Ibnu Siena, 45 103, 104, 105, 106, 109, 110, 111,
Immanuel Kant, 45, 62, 65 116, 118, 122, 126, 127
India, 82 kawasan kumuh, 188
individu, 130, 131, 132, 133, 134, 135, KDB, 135
136, 137, 142, 144, 149, 150, 151, keluarga, 5, 6, 7, 8, 14, 15, 16, 17, 21,
152, 154, 156, 157, 158, 161, 162, 28, 33, 44, 49, 86, 110, 111, 113,
163, 164, 169, 170, 171, 173, 174, 115
176, 182, 186, 192, 198, 204 kemudahan, 21, 76, 101, 131, 140,
Indonesia, i, v, vii, ix, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 192, 195
8, 9, 13, 16, 21, 23, 24, 26, 33, 34, kenyamanan, 21, 48, 51, 52, 58, 90,
35, 37, 38, 39, 40, 44, 47, 49, 50, 101, 131, 136, 140, 158, 163, 191
53, 54, 55, 56, 59, 61, 62, 65, 74, kepadatan, 18, 46, 49, 120
76, 78, 79, 80, 82, 83, 86, 87, 99, kesehatan, 2, 13, 14, 16, 21, 28, 48, 50,
100, 101, 102, 103, 105, 110, 111, 80, 85, 101, 102, 104, 120, 130,
122 131, 132, 140, 145, 152, 154, 155,
industrial, 192 157, 165, 180, 182, 186, 189, 191,
industrialisasi, 27, 35, 38, 45, 46, 50, 204
53, 68 kesejarahan, 35, 67
infrastruktur, 6, 17, 18, 33, 45, 49, 86, keselamatan, 21, 60, 101, 120, 121,
100, 103, 105, 109 131, 140, 152, 153
INKINDO, 78 kode etik, 59, 61, 62, 64, 65, 67, 68,
insentif, 113, 114, 115, 117, 119, 120, 69, 70, 71
121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, Kolonialisme, 21, 38
128, 129 komunikasi, 11, 12, 32, 78, 91, 92, 93,
instinct, 195 95, 101, 137, 159, 160, 175, 176,
intelegensia, ix, 65, 66, 84 184
interferensi ruang, 138, 142, 144 komunitas, 131, 132, 133, 134, 135,
investasi, 6, 17, 19, 21, 22, 33, 86, 97, 138, 141, 142, 143, 144, 146, 149,
100, 111, 114, 116, 117, 121, 122, 150, 152, 154, 155, 156, 161, 164,
125, 127 169, 173, 182, 185, 189, 201, 203
konservasi, 4
konstruksi, 16, 34, 43, 56, 59, 70, 80,
114, 116, 117
[213]
Korea Selatan, 28, 47, 101 157, 160, 162, 163, 164, 165, 167,
Korea Utara, 39 168, 169, 171, 172, 174, 175, 178,
koridor, 134, 135, 136, 138, 142, 143, 179, 180, 182, 183, 185, 187, 188,
155, 156, 157, 158, 161, 164, 181, 189, 190, 191, 192, 194, 195, 196,
182, 183, 185, 202 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203,
KPR, 25, 120, 121, 122 204, 205
kriminalitas, 20, 27, 46, 53, 86, 90 materialistik, 41, 50
kumuh, 7, 9, 16, 18, 26, 27, 45, 48, 49, MBR, 124, 125, 128, 129
51, 68, 86, 87, 97, 99, 100, 101, meaning, 148, 162, 172, 176
102, 105, 107, 109, 110, 112 Merauke, vii
Miangas, vii
Michelle Angelo, 82
L miskin, 1, 7, 9, 49, 51, 53, 63, 72, 98,
la cite Industrielle,, 50 100, 101
landed house, 133, 145, 156, 164 modifikasi, 150, 156, 158, 160, 165,
landed., 145 167, 168, 169, 170, 172, 173, 175,
layak huni, 6, 7, 15, 18, 26, 49, 85, 86, 180, 184, 185, 186, 195
97, 100, 111, 113, 115, 119, 126 mores, 148, 188
Le Corbusier, 46
Le Monde, 45 N
Lee Kuan Yeu, 26
legislatif, 73, 78 N.V. Volkshuisvesting, 22
lingkungan, 131, 134, 146, 147, 148, Nabi Adam a.s, 43
149, 150, 151, 152, 153, 154, 156, need, 148, 149, 164, 173, 195
160, 161, 163, 164, 165, 166, 167, needs, 149, 154
168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, neo-liberalisasi, 15
176, 178, 182, 183, 184, 185, 186, Neolitikum, 37
187, 188, 189, 192, 193, 195, 196, New York, 46, 208, 210
197, 200, 201, 202, 203, 204, 205 NKRI, 13
lingkungan binaan, 1, 3, 5, 6, 28, 32, norma sosial, 192
35, 36, 37, 40, 41, 56, 74, 80, 81,
83, 91, 104
lingkungan hidup, 131, 151, 152, 172,
O
188 Orde Baru, 21, 25, 97
LISIBA, 118, 122, 127 Orde Lama, 21
living street, 142 ordering system, 32
London, 46, 68, 72, 210 ornamen, 68
Louis XVI, 53 Oscar Newman, 20, 27
Lyon, 50 ozon, 80
M P
maison individuelle, 27 P2BPK, 25
makna, 1, 4, 8, 10, 27, 32, 34, 40, 51, P2KP, 33
92, 93, 94, 96 Paris, 46
Malaysia, 37 patio, 136, 144
masyarakat, 131, 133, 134, 140, 141, peneliti, vi, vii
143, 146, 147, 149, 150, 151, 152,
[214]
Perancis, 27, 46, 53, 83, 104 R
permukiman, viii, 6, 9, 14, 16, 17, 18,
20, 22, 49, 68, 69, 85, 87, 90, 100, Reformasi, 21, 25, 46
101, 102, 103, 104, 105, 111, 112, Regional Housing Centre, 23
118, 126 regulator, 74, 78, 83, 118
persepsi, 142, 146, 147, 148, 150, 156, REI, 24
157, 159, 161, 162, 165, 172, 174, Reinaissance, 53
175, 176, 177, 180, 181, 182, 183 Rene Descrates, 44
Persepsi, 156, 162, 174 revolusi, 21, 27, 37, 39, 47, 48, 49, 50,
personal space, 10, 11, 12 53
personal Space, 137 revolusi industri, 190, 191
Personal Space, 10 Romawi, 190
perumahan, viii, ix, 6, 14, 15, 16, 17, RSH, 25, 116, 117, 122, 128
18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, RTRWN, 6
27, 28, 29, 33, 41, 42, 45, 46, 47, ruang publik, 134, 135, 136, 137, 141,
48, 49, 50, 54, 59, 63, 85, 86, 87, 142, 144, 153, 154, 156, 157, 161,
88, 90, 100, 101, 105, 106, 107, 163, 181, 182, 202
109, 110, 111, 112, 114, 115, 116, Ruang sosial, 143
117, 118, 119, 126, 127, 128, 131, Rumah, viii, 6, 14, 15, 16, 19, 21, 24,
132, 134, 140,141, 145, 147, 148, 25, 26, 85, 87, 88, 99, 100, 104,
149, 150, 151, 152, 154, 155, 156, 107, 110, 111, 130, 131, 133, 138,
168, 169, 170, 171, 173, 182, 187, 140, 141, 144, 147, 149, 154, 156,
188, 189, 190, 191, 192, 197, 198, 162, 163, 168, 184, 197, 210
200, 201, 205 Rumah Inti Tumbuh, 25
PJU, 126 rumah sederhana sehat, 7, 113, 124
place, 133, 154, 176, 197 Rumah sehat, 131
Plato, 43, 52, 57, 72 rumah susun, 3, 7, 17, 19, 27, 85, 87,
politik, 5, 7, 23, 39, 47, 55, 67, 68, 70, 88, 89, 90, 97, 99, 111, 112, 114,
73, 74 115, 117, 121, 122, 123, 126, 127,
post modern, 34 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,
postindustrial, 192 137, 138, 140, 142, 143, 144, 145,
privacy, viii, 10, 11, 12, 137, 138, 153, 146, 147, 149, 150, 151, 154, 155,
154, 155, 156, 158, 162, 163, 164, 156, 158, 159, 160, 161, 163, 164,
179, 180, 185, 197, 198 165, 166, 167, 168, 170, 174, 175,
privat space, 8 178, 180, 181, 182, 183, 184, 185,
properti, 26, 34, 42 186, 197, 200, 205
provider, 23 Rumah Susun, 130, 133, 184, 210
PSAI, 75, 77, 78, 79 rusunami, 132, 156, 164, 165, 167,
psikologis, 10, 32, 35 168, 169, 170, 172, 174, 175, 181,
PSU, 111, 112, 120, 121, 122, 126, 185, 186
127 Rusunami, 19, 87, 111, 114, 115, 116,
Pulo Rote, vii 117, 122
RUSUNAMI, 17
Rusunawa, 87, 111
Q
Qabil, 43 S
Sabang, vii
[215]
scuptural, 52 tempat tinggal, 6, 7, 17, 18, 22, 26, 43,
selter, 153, 189 49, 50, 89, 101, 105, 115, 119, 130,
simbol, 35, 38, 73, 92, 93, 94, 96, 97, 131, 133, 143, 144, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156, 158, 160, 161, 167, 168, 189, 204
162, 163, 164, 169, 172, 179, 189, teritori, 141, 142, 144, 163
197, 198, 203 Timor Leste, 39
simbolis, 150, 152, 160 Tokyo, 46
Singapura, 26, 27, 37 Tony Garnier, 50
slum, 9, 18, 48 twin block, 87
SNI, 76, 120
social space, 134
Socrates, 43, 57, 58
U
Soekarno, 35 Undang-undang Bangunan Gedung,
Sosial, 152, 196, 211 21, 59, 79, 131
sosial,, 131, 132, 135, 137, 142, 144, unsuitable, 152, 169
149, 151, 152, 159, 161, 184, 189, urbanisasi, 21, 38, 45, 48, 68, 86, 110,
191, 201, 205 111
sosiologi, 10, 30, 31, 32, 36, 104 Urbanisasi, 38, 48
space, 133, 134, 135, 136, 137, 151, usage, 188
153, 154, 163, 164, 180, 181, 182 UUBG, 59, 60, 61, 79
spiritual, ix, 62, 64, 65, 66, 71, 84 UUD’45, 13
St. Sitine, 82
standar, 6, 7, 8, 16, 17, 18, 22, 25, 27,
28, 49, 58, 60, 63, 64, 69, 71, 75, V
79 Van Peursen, 93
structure, 148 vandalisme, 27, 46, 51, 53, 86, 90,
struktur, 1, 53, 56, 96, 117 153, 158, 189
subsidi, 19, 25, 33, 114, 121, 123, 124 Voltaire, 45
supply, 130, 132
Supply, 15
sustainability, 32 W
sustainability design, 32
want, 148, 164, 173, 195
swasembada, 17, 54
wants, 149
WHO, 6, 16, 17, 27, 103
T wilayah, 134, 137, 138, 142, 144, 150,
151, 161, 164, 188, 192, 197, 198,
TABG, 61 200
Taj Mahal, 82 Winston Churchill, 36, 58
Tata nilai, 187, 188, 192, 202, 205
teknologi, 4, 10, 13, 14, 16, 39, 40, 45,
46, 53, 73, 76, 83, 99, 100, 109 Y
Yunani, 14, 31, 43, 45, 58
[216]
[217]
[218]
[219]
ARSITEKTUR
PERUMAHAN
di Perkotaan
ARIEF Sabaruddin
[220]