Anda di halaman 1dari 240

[Year]

ARSITEKTUR
PERUMAHAN
di Perkotaan

ARIEF Sabaruddin
Lembar ini kosong

[ii]
ARSITEKTUR PERUMAHAN
di Perkotaan

ARIEF Sabaruddin

[iii]
ARSITEKTUR PERUMAHAN
di Perkotaan

Oleh : ARIEF Sabaruddin.

Terbitan pertama 2012


ISBN : 978-602-8330-36-7

© puskim 2012
Panyaungan Cileunyi Wetan
Kabupaten Bandung

Hak Cipta dilindungi Undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Pengantar
Menteri Pekerjaan Umum

Rumah merupakan hak dasar bagi masyarakat dan bangsa Indonesia,


sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 45, keberadaannya
harus dapat ditopang oleh infrastruktur permukiman, oleh karena itu,
Kementerian Pekerjaan Umum telah melakukan bebagai upaya untuk
mendorong tercapainya hak-hak dasar akan perumahan, melalui
penyelenggaraan infrastruktur yang hadal diharapkan akan tercapai
kesejahteraan masyarakat Indonesia secara utuh.
Lahirnya Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman No. 1
Tahun 2011, yang menggantikan Undang-Undang Perumahan dan
Permukiman No. 4 Tahun 1992, disamping Undang-Undang Bangunan
Gedung No. 28 Tahun 2002, merupakan landasan kerja Kementerian PU
untuk berkiprah dalam sektor penyelenggaraan perumahan khususnya pada
aspek teknis fisik maupun sosial budaya. Peran Badan Penelitian dan
Pengembangan PU, merupakan generator penggerak bagi Kementerian PU
melalui dukungan kepada direktorat-direktorat teknis yang ada, sehingga
penyelenggaraan infrastruktur senantiasa berbasis inovasi dan teknologi
terkini, yang handal, efisien dan efektif. Sebagai generator Kementerian PU
juga telah melengkapi infrastruktur kelitbangan dengan peralatan canggih dan
senantiasa ditingkat dari tahun ke tahun, selain itu juga mendorong para
peneliti untuk senantiasa meningkatkan kapasitas diri, baik melalui
pendidikan formal maupun pendidikan informal.
Saya sangat berbangga hati dan memberikan apresiasi yang sangat tinggi
terhadap lahirnya buku Arsitektur Perumahan di Perkotaan. Buku ini sangat
berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan, yangmana ilmu pengetahuan
dijadikan landasan utama dalam pembangunan infrastruktur oleh
[ii]
Kementerian Pekerjaan Umum. Buku ini, telah membuka iklim akademis
tidak hanya di lingkungan Badan Litbang saja, akan tetapi juga telah
membuka mata kita semua bahwa peran Badan Litbang sangatlah kuat bagi
keberhasilan penyelenggaraan infrastruktur di Indonesia.
Tatangan kedepan bagi Kementerian PU, khususnya bagi Badan Litbang PU
adalah bagaimana melahirkan pemikiran-pemikiran kritis dan bertanggung-
jawab, penuh dengan inovasi dan kebaruan sebagai kontribusi dalam
penyelesaian masalah-masalah nasional. Saya mengamati secara mendalam,
harapan tersebut akan dapat dicapai manakala Badan Litbang PU dapat
menjaga kelangsungan budaya menulis dan budaya berpikir cermat dari para
peneliti, dan iklim tersebut senantiasa harus dapat terjaga terus
keberlangsungannya. Pemikiran cermat dan kritis tersebut saya rasakan ada
pada buku ini.
Buku ini, merupakan upaya diseminasi dan sosialisasi yang efektif, yang
dapat disampaikan dari generasi ke generasi berikutnya. Melalui buku,
capaian kemajuan Kementerian PU dapat diketahui oleh generasi berikut,
buku dapat tersimpan, dan menyimpan informasi dalam batas waktu yang
cukup lama.
Harapan Saya kepada penulis untuk terus berjuang tanpa henti, karena
persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia masih menunjukkan
segudang masalah. Lanjutkan dengan berpikir cermat dan lahirkan pemikiran-
pemikiran inovatif untuk memberikan kemanfaatan bagi Negeri dan Bangsa
Indonesia. Badan Litbang PU diharapkan dapat terus mendorong kelahiran
buku kritis sebagai buah pikiran yang dapat disumbangkan bagi pencapaian
kesejahteraan masyarakat.

Jakarta, 3 Desember 2013


Menteri Pekerjaan Umum

DR (HC). Ir. Djoko Kirmanto, Dipl.HE.

[iii]
Pengantar
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Rumah merupakan kebutuhan manusia setelah sandang dan pangan
disamping kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian
keberadaan rumah sangat esensial bagi kelangsungan bangsa Indonesia saat
ini maupun masa depan. Untuk itu, para memikir atau dengan julukan lain di
Badan Litbang PU ini adalah para Peneliti, hendaknya tidak berhenti berkarya
karena buah pikirannya sangat diperlukan oleh negeri ini.
Badan Litbang PU, dilengkapi dengan perangkat Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, dimana salah satu tugas dan fungsinya adalah
menghasilkan produk penelitian disektor bangunan, perumahan dan
permukiman. Buku ini adalah salah satu wujud buah pikiran dari seorang
peneliti yang sangat kritis, sehingga diharapkan dapat dirasakan manfaatnya
bagi pengembangan ilmu pengetahuan disektor perumahan.
Gerak langkah buku ini, sangatlah sejalan dengan gerak langkah Kementerian
Pekerjaan Umum, yang senantiasa mendorong penyelenggaraan infrastruktur
dan permukiman berbasis pembangunan sosial dan ekonomi, artinya
pembangunan infrastruktur dan permukiman untuk memajukan kesejahteraan
segenap bangsa Indonesia, sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 45,
yang termaktub dalam pembukaan.
Dalam pengemasan teksbook ini, peneliti sekaligus penulis buku ini juga
menyajikan hasil-hasil litbangnya yang dikemas dalam sebuah pemikiran
baru sebagai akumulasi dari pengalaman dirinya dalam menggeluti pekerjaan
penelitian di Badan Litbang, yang tentunya kaya akan pengalaman
sebagaimana ditunjukkan oleh para seniornya di Kementeria PU, yang
dikenal sebagai orang lapangan. Dengan demikian informasi ini dapat
memberikan titik terang bagi masyarakat yang bergelut dalam bidang
perumahan khususnya di perkotaan.
[iv]
Apresiasi secara khusus saya sampaikan kepada penulis, saya berharap
penulis tidak berhenti membagikan ilmu sampai dengan buku ini saja. Saya
yakin bahwa penelitian tidak harus terhenti pada laporan penelitian, yang
merupakan bentuk pertanggung jawaban anggaran kegiatan litbang, akan
tetapi harus dapat dituangkan ke dalam buku-buku iptek atau teks book
sebagai bentuk pertanggung-jawaban individu kepada Bangsa dan Tanah Air.
Apresiasi yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Ibu Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman, yang telah melakukan inisiatif
kepada para peneliti di lingkungan kerjanya, untuk menyajikan informasi
dalam bentuk buku yang dikemas secara singkat dan padat, sehingga buku ini
mudah dipahami oleh berbagai kalangan, baik dari lingkungan perguruan
tinggi, para peneliti, birokrat, maupun masyarakat secara umum.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat luas untuk kepentingan pembangunan perumahan di perkotaan
secara langsung, maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan terkait dalam penyelenggaraan perumahan. Minimnya informasi
tentang perumahan di perkotaan saat ini, diharapkan dapat terjawab melalui
buku ini.

Jakarta, 30 Nopember 2013


Kepala,
Badan Penelitian dan Pengembangan PU

Ir. Graita Sutadi, MSc.

[v]
Pengantar
Kepala Pusat Litbang Permukiman
Tujuan kami untuk menerbitkan teksbook ini adalah untuk lebih
memperkenalkan arti pentingnya peran Pusat Litbang Permukiman di sektor
perumahan dan permukiman. Diharapkan para perencana, pelaksana,
akademisi maupun para peneliti, dapat menggunakan buku ini sebagai
referensi dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan perumahan, sesuai
dengan amanat Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman No 1
Tahun 2011.
Titik berat dari amanat undang-undang tersebut adalah terpenuhinya hak
dasar rumah bagi segenap bangsa Indonesia. Sehingga pencapaian tujuan dari
pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dapat dicapai.
Teksbook ini, menunjukkan peran dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman sebagai salah satu pusat yang berada di bawah Badan Penelitian
dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum, untuk dapat
menunjukkan kiprah dan peran serta dalam penyelenggaraan infrastruktur
yang handal, hal tersebut seperti tertuang dalam visi kami, yaitu menciptakan
hasil litbang yang bermanfaat, aplikatif, inovatif, dan kompetitif serta
berwawasan lingkungan, kiranya dapat kami wujudkan.
Dalam buku ini, sdr Arief Sabaruddin sebagai salah satu peneliti yang
produkif, telah menghasilkan beberapa buku yang diterbitkan oleh penerbit
berskala nasional, telah membantu kegiatan diseminasi dan sosialisasi hasil
litbang melalui karya bukunya. Melalui buku, Saya yakin kegiatan diseminasi
dan sosialisasi yang dilakukan Puslitbang Permukiman akan lebih efektif,
selain bentuk pengemasan dan susun bahasa yang lebih sederhana juga sistem
penyebarannya yang merata ke seluruh penjuru wilayah Indonesia, yang amat
luas.
[vi]
Bagi kami, buku adalah sebuah bentuk pertanggung-jawaban dari seorang
peneliti pegawai negeri sipil, yang seluruh kegiatannya menggunakan
anggaran negara yang tidak lain adalah anggaran masyarakat, buku adalah
salah satu wujud pertanggung-jawaban kepada masyarakat. Buku juga kami
pandang sebagai salah satu indikator dari outcome hasil litbang. Semakin
banyak buku kami hasilkan samakin naik nilai dari kinerja litbang kami.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada penulis. Juga penghargaan yang
sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak Menteri Pekerjaan Umum dan
Bapak Kepala Badan Litbang, yang telah memberikan dorongan kepada
pusat-pusat litbang agar kami dapat terus berkiprah dalam penyelenggaran
permukiman yang handal.
Semoga teksbook ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
pembangunan perumahan di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai
dengan Merauke, dari Miangas sampai dengan Pulo Rote.

Kepala,
Pusat Penelitian dan Pengembangan permukiman

Prof. DR. Ir. Anita Firmanti, MT.

[vii]
Pengantar
Penulis
Rumah merupakan elemen dasar dalam konteks fungsi pemenuhan kebutuhan
hidup manusia setelah sandang dan pangan. Rumah memiliki nilai lebih, bagi
manusia dibandingkan dengan produk arsitektur lainnya. Karena dalam
rumah seseorang menjalankan kehidupan privasi secara utuh, yang tidak
dapat dilakukan pada bangunan lain.
Sekumpulan dari rumah membentuk sebuah kelompok rumah yang
dinamakan perumahan. Pada tingkat ini perumahan merupakan sebuah wadah
kehidupan dan penghidupan sebuah kelompok masyarakat (komunitas), yang
merupakan embrio dari sebuah peradaban. Dengan demikian tata nilai yang
terbentuk dalam kelompok tersebut dapat dinyatakan sebagai sebuah
masyarakat dengan kebudayaannya. Tingkatan tersebut terus berlanjut sampai
terbentuknya sebuah lingkungan permukiman desa/kota dan negara.
Pola-pola rumah senantiasa memiliki unsur yang identik dengan pola-pola
perumahan. Lingkungan permukiman pada skala kota maupun desa. Dengan
demikian rumah merupakan bagian utuh dari perumahan atau permukiman
yang lebih luas. Artinya pada kondisi rumah tidak sehat akan menghasilkan
sebuah perumahan atau permukiman yang tidak sehat. Karena kondisi
perumahan dan permukiman yang sehat ditentukan oleh kondisi rumah.
Dengan demikian rumah memegang peran penting dalam membangun suatu
kehidupan yang sejahtera.
Melihat pada pentingnya arti sebuah rumah bagi kehidupan manusia, maka
buku ini menuangkan pemikiran dan gejala-gejala yang terjadi sebagai bahan
penelitian, pertimbangan dalam pengambilan kebijakan, dan pengembangan
pengetahuan tentang perumahan perkotaan. Buku ini dilandasi oleh pemikiran
yang dilakukan melalui berbagai pengalaman dalam melaksanakan kegiatan
penelitian dan pengembangan di lingkungan Pusat Penelitian dan
[viii]
Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum, yang
merupakan tempat penyusun belajar dan mengabdikan diri pada negeri ini,
disektor arsitektur bangunan, perumahan dan permukiman.
Berangkat dari pengalaman dan pembelajaran yang selama ini dijalankan,
kiranya saya perlu menuangkan seluruh sari buah pikir tersebut ke dalam
sebuah buku, yang dapat dibaca oleh para pemikir, para peneliti, para
pendidik, maupun peserta didik yang tertarik dengan arsitektur perumahan
khususnya. Buku ini mengupas rumah dan perumahan dari sisi arsitektur,
yang terbangun dari berbagai disiplin ilmu. Sebagaimana penulis pahami
bahwa arsitektur merupakan perwujudan dari tata fisik, tata fungsi dan tata
nilai. Buku ini penulis memberikan fokus lebih banyak pada masalah
perumahan di perkotaan. Rumah susun sebagai salah satu solusi perumahan
di perkotaan lebih banyak dikupas dalam buku ini.
Ketiga unsur tersebut menjadi bahan kupasan yang disajikan secara sederhana
agar semua kalangan dapat memahami aspek-aspek perumahan di perkotaan,
kiranya tidak berlebihan bila unsur-unsur arsitektur perumahan tersebut,
dapat menjadi bahan diskusi diantara para pemerhati perumahan, mungkin
pendapat penulis terkait dengan isu arsitektur perumahan ini bersebrangan
dengan pemikiran yang selama ini kita anut. Namun dibalik itu tentunya
bukan kontroversi yang ingin dikedepankan akan tetapi ingin membuka cara
pandang baru terkait dengan isu perumahan dari kacamata seorang peneliti
bidang perumahan yang telah digeluti oleh penyusun sejak tahun 1990.
Buku ini mengupas perumahan dari tiga sisi, yakni sisi fisik, sisi fungsi dan
sisi nilai, perkenankan penulis sampaikan bahwa ketiga sisi tersebut memiliki
analogi dengan kondisi manusia, yang memiliki sisi jasmani (intelegensia),
sisi rohani (spiritual), dan sisi sosial (emosional). Seperti apa perumahan bila
kita padang dari ketiga sisi tersebut, maka akan dapat ditemukan dalam
kupasan pemikiran yang dituangkan dalam buku ini.
Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah memberi masukan, serta dukungan dalam proses
penulisan buku ini sehingga buku ini dapat hadir dihadapan pembaca.
Semoga buku ini memberikan manfaat bagi kehidupan dan penghidupan
bangsa Indonesia. Amin Ya Rabbal Alamin.

ARIEF Sabaruddin

[ix]
Daftar Isi

Pengantar Menteri PU ii
Pengantar Kepala Badan Litbang iv
Pengantar Kepala Puslitbang vi
Pengantar Penulis viii
Daftar Isi x
Daftar Tabel vi
Daftar Bagan vi
Daftar Diagram vii
Daftar Gambar vii
[1] Dimensi Sosial 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Personal Space 10
[2] Kondisi Perumahan Nasional 13
2.1. Latar Belakang 13
2.2. Fakta dan Kondisi Perumahan Rakyat 15
2.3. Fungsi Rumah 21
2.4. Sejarah Singkat Perumahan Rakyat 21
2.5. Opini Perumahan Nasional 26
2.6. Penutup 28
[3] Aspek Sosial Budaya 30
3.1. Latar Belakang 30
3.2. Pengertian Arsitektur dan Lingkungan Binaan 34

[x]
3.3. Tinjauan Sejarah Teori Sosial dan implikasinya terhadap
Arsitektur 43
3.4. Tinjauan Isu-isu Sosial Budaya 49
3.5. Interaksi antara Lingkungan Binaan dan Manusia 56
[4] Etika Arsitek 58
4.1. Latar Belakang 58
4.2. Pengertian Dasar Etika 62
4.3. Aspek-aspek etika dalam ber-arsitektur 66
4.4. Dinamika dalam ber-arsitektur 70
4.5. Kode etik hubungan arsitek 74
4.6. Penutup 82
[5] Ruang Publik Rumah Susun 85
5.1. Latar Belakang 85
5.2. Konsepsi Ruang Publik 91
[6] Manajemen Hunian Vertikal 100
6.1. Latar Belakang 100
6.2. Konsep Penanganan 104
6.3. Penutup 108
[7] Rumah Susun 110
7.1. Latar belakang 110
7.2. Rumah Susun Sebagai Solusi 111
[8] Peranan Dukungan Fiskal dan Pembiayaan Rusuna 114
8.1. Latar Belakang 114
8.2. Pemilihan Alternatif Insentif 125
8.3. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Insentif 127
[9] Kebutuhan Luas Minimum Hunian pada Rumah Susun 130
9.1. Latar belakang 130
9.2. Fenomena Ruang Pada Rumah Susun 133
9.3. Ruang Dalam Rusun 142
9.4. Penutup 144
[10] Pemaknaan Ruang Hunian 146
10.1. Latar Belakang 146
10.2. Elemen-Elemen Hunian 150
10.3. Pembentukkan Ruang pada Rumah Susun 156
10.4. Penutup 164
[11] Adaptasi dan Perubahan Perilaku Penghuni 166
11.1. Latar Belakang 166
11.2. Isu Utama Adaptasi pada Rumah Susun Milik 169
11.3. Proses Adaptasi 170
[xi]
11.4. Dinamika Perubahan 178
11.5. Penutup 186
[12] Tata Nilai Sistem Hunian Vertikal 187
12.1. Latar Belakang 187
12.2. Tingkat Kebutuhan Hunian Vertikal 188
12.3. Tinjauan Historis Hunian Vertikal 190
12.4. Dinamika Perubahan Tata Nilai 192
12.5. Pola Tata Nilai Hunian 196
12.6. Penutup 205
Daftar Pustaka 207
Indeks 211

[xii]
Daftar Tabel
Tabel 1. Pengaruh Insentif terhadap Biaya Investasi 120
Tabel 2. Analisa Efektifitas Bentuk Insentif 123
Tabel 3. Target Grup Terhadap Daya Beli Dikaitkan dengan Pola Insentif 126
Tabel 4. Prosentase Kebutuhan Rumah berdasarkan Komposisi Jumlah
Anggota Keluarga 139
Tabel 5. Model Penentuan Kebutuhan Ruang Minimal Dihitung berdasarkan
Sifat Ruang 144
Tabel 6. Perbedaan Tata Nilai Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan 199

Daftar Bagan
Bagan 1. Tipikal Rumah Susun Sederhana 88
Bagan 2. Proses Terbentuknya Simbolisasi 96
Bagan 3. Komunikasi melalui Pengolahan Elemen Arsitektur 176
Bagan 4. Dinamika Pemaknaan Ruang Dalam Arsitektur 177
Daftar Diagram
Diagram 1. Sistem Pertumbuhan Pada Lingkungan Binaan dan Manusia. 3
Diagram 2. Degradasi Sistem Sosial dan Lingkungan Binaan 5
Diagram 3. Perjalan Sejarah Arsitektur 68
Diagram 4. Alur Proses Adapatasi Dalam Arsitektur Perumahan,
Dikembangkan dari Konsepsi Lingkungan Total (Jhon S. Nimpoeno,
1981) 171
Diagram 5. Dinamika Perubahan Perilaku dalam Pembentukan Tata Nilai 194

Daftar Gambar
Gambar 1. Model Penanganan Kawasan Kumuh 108
Gambar 2. Proses Adaptasi Pembentukan Ruang Privat Pada Kondisi Ekstrim
179
Gambar 3. Bentuk Intervensi Ruang Privat Terhadap Ruang Publik 181
Gambar 4 . Tiga Pola Aktifitas Dasar Manusia Yang Mengalami Perubahan
Dalam Ruang Rumah Susun Sederhana Milik, Mengalami Transformasi
dari Aspek Kuantitas Terhadap Fungsi Ruang 184

[vii]
DR. Ir. Arief Sabaruddin, CES, bekerja di Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Permukiman, sejak tahun 1990, Ayah dua anak dari pernikahannya
dengan Sri Anggani Ariesita Gammawati, SE., menyelesaikan pendidikan S1
Jurusan Arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan (1989), Melanjutkan
program spesialis Manajemen dan Pembangunan Kota di Ecole Nationale des
Travaux Publics de l’Etat (ENTPE) Lyon, Perancis (1993), dan Pendidikan
Doktor Asitektur di Universitas Katolik Parahyangan (2013). Sejak bekerja di
Pusat Litbang Permukiman, Peneliti Utama, ini aktif melakukan berbagai
kegiatan penelitian dan pengembangan bidang arsitektur kawasan, arsitektur
bangunan gedung dan perumahan, selain buku Arsitektur Perumahan di
Perkotaan telah menerbitkan empat buah buku, yang diterbitkan oleh penerbit
nasional. Saat ini selain menjabat sebagai Kepala Balai Perumahan dan
Lingkungan, juga aktif dalam pengajaran, sebagai pengajar luar biasa di
Universitas Katolik Parahyangan Bandung, serta sebagai instruktur pada
beberapa pelatihan bidang teknologi perumahan dan arsitektur hijau.

[viii]
Buku ini telah mendapat penilaian buku terbaik di lingkungan Badan Litbang
Kementerian Pekerjaan Umum, pada tahun 2013.

[ix]
[x]
[1] Dimensi Sosial
Dalam Arsitektur Perumahan

1.1. Latar Belakang


Dimensi sosial dalam arsitektur perumahan merupakan sebuah konsep tentang
keterkaitan antara bentuk arsitektur (baik bangunan maupun kota) dengan
perilaku masyarakat penggunanya. Perilaku yang dilandasi oleh tata nilai sosial
masyarakat di dalam lingkungan binaan. Telaah ini dilatar-belakangi oleh
permasalahan sosial di Indonesia yang kian hari semakin mengkhawatirkan,
khususnya permasalahan-permasalahan di perkotaan, baik masalah sosial
budaya, masalah lingkungan fisik, maupun masalah ekonomi. Arsitektur
bangunan dan arsitektur kota adalah merupakan sebuah cerminan dari kondisi
sebuah masyarakat. Arsitektur kota dan arsitektur perumahan kita saat ini
cenderung memperlihatkan kesenjangan antara kaya dan miskin, kesenjangan
yang semakin hari semakin tajam. Konflik lingkungan fisik dan manusia
semakin jelas mengemuka, pada saat ini.
Pada tingkat teori, dinyatakan bahwa antara manusia dan lingkungan terjadi
sebuah interaksi, yang dapat menentukan kualitas dari manusia serta kualitas
lingkungan, keduanya saling bertransaksi, untuk mendapatkan kualitas yang
optimal, melalui perwujudan sistem perilaku masing-masing. Umumnya dalam
tingkat transaksi ini, manusia banyak belajar dari alam sedangkan alam akan
berusaha mendapatkan haknya melalui proses perubahan untuk mencapai
keseimbangan ekosistem yang berlangsung.
Secara alamiah wujud arsitektur terdiri dari eleman bentuk, fungsi dan makna,
dimana antara ketiga elemen tersebut terjadi proses interaksi yang saling
berkaitan, interaksi yang terjadi tersebut tidak hanya sebatas wujud fisik dari
arsitektur itu sendiri, akan tetapi manusia sebagai pengguna dari fungsi
arsitektur turut memberikan makna yang disampaikan oleh bentuk. Dengan
[1]
demikian antara manusia dan tiga elemen dasar arsitektur tadi terjadi interaksi.
Manusia sebagai mahluk sosial melakukan interaksi sesamanya dan
membentuk lembaga-lembaga dalam masyarakat dalam sebuah sistem sosial.
Sehingga kondisi sosial tertentu memberikan kontribusi pada pembentukkan
wujud arsitektur, hal ini seperti disampaikan oleh Mark Gelenter, bahwa dari
lima aspek yang memengaruhi bentuk arsitektur diantaranya adalah
dipengaruhi oleh sistem sosial dan ekonomi yang berlaku dan terjadi pada
masanya, sehingga dengan demikian bahwa perwujudan kota-kota di Indonesia
saat ini dapat diterjemahkan sebagai wujud sosial yang mencerminkan perilaku
manusianya.
Apa yang sedang terjadi dengan masyarakat Indonesia, melalui telaah ini kita
dapat mentafsirkan kondisi sosial masyarakat melalui perwujudan arsitektur
bangunan maupun arsitektur kota, selanjutnya disetarakan dengan sistem sosial
yang terjadi. Kota-kota kita saat ini umumnya sedang memperlihatkan suatu
proses pertumbuhan, ibarat seorang anak menjelang dewasa, apakah
pertumbuhan yang terjadi dari arsitektur kita sudah berada pada jalur yang
benar? Yaitu suatu pertumbuhan yang sehat, yang mencerminkan jasmani dan
rohani yang sehat, kesehatan tercapai manakala pertumbuhan antara jasmani
dan rohani sejalan secara seimbang. Namun juga harus diperhatikan bahwa
pertumbuhan tersebut jangan diterjemahkan sebagai pertumbuhan fisik dalam
konteks membangun (construction) akan tetapi pertumbuhan harus dilihat
sebagai pengembangan (development). Bahwa pertumbuhan yang sehat
terwujud pada saat manusia yang menjadi tujuan pembangunan, arsitektur
berkembang lebih baik dari sisi kehidupan dan penghidupannya. Potret sebuah
kota modern dengan bangunan dan gedung tinggi, atau sebuah bangunan yang
indah dan berteknologi tinggi belum tentu mencerminkan sebuah pertumbuhan
kehidupan manusia yang lebih baik. Apakah indikator keberhasilan sebuah
disain arsitektur selama ini diukur terhadap manusia sebagai pengguna
bangunan, nampaknya belum, keberhasilan sebuah karya arsitektur saat ini
lebih banyak dilihat dari perwujudan fisik arsitekturnya, ketika sebuah
arsitektur menunjukkan keanehan yang dianggap sebagai terobosan baru dalam
arsitektur kita selalu menganggapnya berhasil, sebagi contoh Dynamic Tower
dari David Ficher, atau pada saat kita melihat sebuah bangunan yang
memperlihatkan kemewahan, maka dengan mudah kita nyatakan bahwa
arsitekturnya bagus. Telaah ini tidak menginginkan wujud arsitektur dipandang
hanya dari sisi fisik semata, akan tetapi dari dua sisi secara seimbang yaitu sisi
manusia sebagai pengguna dan sisi fisik bangunan itu sendiri.
Sebagai indikator keberhasilan dari wujud arsitektur adalah terwujudnya
perubahan manusia sebagai pengguna bangunan pada tingkat kualitas
kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Karena kita menyadari adanya
interaksi antara bangunan dan manusia, sehingga antara keduanya dapat
menjadi sebuah potret bagi yang lain. Ketika sistem sosial mengalami
[2]
penurunan kualitas maka akan berdampak pada wujud arsitektur, demikian
juga ketika wujud arsitektur yang terpuruk juga akan mengakibatkan pada
penurunan sistem sosial, hal ini dapat dilihat pada Diagram 1. Degradasi
lingkungan binaan senantiasa sejalan dengan degradasi sistem sosial secara
umum ini dinyatakan sebagai sebuah pertumbuhan yang dapat berada pada
kuadran positif atau kuadran negatif yang berada pada sumbu-sumbu
koordinat, dan ketika titik pertumbuhan tersebut terdapat pada titik ordinat
maka pertumbuhan tersebut tidak terjadi.

Manusia
Kuadran IV Kuadran I

Lingkungan Binaan
O

Kuadran III Kuadran II

Keterangan :
Kuadran I, adalah ketika lingkungan binaan dan manusia mengalami
peningkatan kualitas,
Kuadran II, ketika lingkungan binaan mengalami peningkatan kualitas namun
tidak diikuti oleh peningkatan kualitas dari manusianya,
Kuadran III, ketika kualitas lingkungan binaan serta kualitas manusia semakin
menurun,
Kuadaran IV, ketika kualitas lingkungan binaan terjadi penurunan akan tetapi
kualitas manusianya semakin meningkat.
O, yaitu titik ordinat dimana bila sebuah titik tidak bergerak sedikitpun pada
salah satu arah maka proses pertumbhan dinyatakan tidak terjadi

Diagram 1. Sistem pertumbuhan pada lingkungan binaan dan manusia.

Fenomena pada kuadran I dan III mudah kita kenali, karena hal tersebut terjadi
sebagai sebuah keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, demikian juga
pada kuadrar II, yaitu pola pembangunan yang hanya berorientasi pada fisik
semata, sebagai contoh hal ini banyak terjadi pada pembangunan rumah susun
di Indonesia, dimana secara fisik akibat pembangunan rumah susun,
lingkungan binaan mengalami peningkatan kualitas akan tetapi peningkatan
kualitas lingkungan binaan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan kualitas
kehidupan dan penghidupan manusiannya. Sedangkan kuadran VI adalah
sebuah fenomena yang sulit kita dapatkan dimana kondisi lingkungan binaan
yang semakin buruk akan menghasilkan kualitas kehidupan dan penghidupan
[3]
yang lebih baik. Sistem sosial dalam konteks ini lebih pada perilaku manusia
dalam menjalankan kehidupan dan penghidupannya. Degradasi total
dikategorikan sebagai sebuah proses dimana sebuah proses pertumbuhan yang
terjadi semakin menurunkan kualitas kehidupan dan penghidupan baik
menyangkut fisik maupun menyangkut sistem sosial. Dalam telaah ini terdapat
tiga macam sistem kehidupan yang berlangsung, meliputi:
1. Terjadi proses peningkatan dari sistem kehidupan, hal ini dapat
digambarkan ibarat sebuah teknologi dalam industri, yang mudah kita
bahas karena kecenderungan perubahan memperlihatkan pada kuadran
I, seperti teknologi, semakin hari produk IT semakin simple, semakin
ringan, semakin mudah, dan semakin murah. Tentunya perkembangan
sistem kehidupan yang demikian merupakan suatu harapan yang dapat
berlangsung pada setiap pertumbuhan. Proses demikian merupakan
proses ideal yang diharapkan pada sebuah proses pertumbuhan dalam
sistem kehidupan yang benar.
2. Proses pertumbuhan lambat atau bahkan stagnan, perubahan yang
demikian cenderung stabil, hal ini banyak terjadi pada sekelompok
masyarakat tradisional di Indonesia, seperti kehidupan anak dalam di
Jambi dan Riau, mereka hampir tidak mengalami pertumbuhan pada
sistem sosial masyarakatnya, sehingga dari sejak dahulu sampai saat
ini sistem kehidupannya berjalan sama, pada kondisi demikian maka
kelompok masyarakat tersebut sistem kehidupan dan penghidupannya
jauh tertinggal dengan masyarakat lain, dimana sistem sosialnya
tumbuh mengikuti pertumbahan sistem teknologi. Pada konteks ini,
kita perlu mempertanyakan kembali makna dan nilai-nilai dari sebuah
konservasi budaya dalam arsitektur, karena bila konservasi tersebut
dapat menurunkan kuslitas dari sistem kehidupan manusiannya maka
terdapat kesalahan dalam pendekatan konservasi tersebut. Hal ini
dapat dikupas lebih dalam, bila dikaitkan sebagai sebuah pendekatan
sosial dalam disain arsitektur.
Proses degradasi dari sistem kehidupan, yaitu proses penurunan kualitas
kehidupan dan penghidupan, hal ini terjadi ketika suatu materi yang semakin
hari pertumbuhannya semakin menurun, dari sudut pandang lain hal ini dapat
dianggap sebagai sebuah gejala alamiah, yaitu suatu proses penuaan akibat
faktor usia. Proses penuaan merupakan suatu kejadian yang bersifat alamiah,
akan tetapi proses penuaan yang terlalu cepat merupakan masalah dan tentunya
kita dapat memperlambat proses penuaan tersebut. Pada proses degradasi ini
tentunya pembangunan tidak diharapkan seperti itu, akan tetapi yang terjadi
adalah bagaimana menjaga kesinambungan dalam kehidupan yang lebih baik.
Pada tingkat teologis hal tersebut dinyatakan sebagai berikut “Yang demikian
(siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan

[4]
mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu
kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (QS 8 : 53)”.
Bila melihat pada ayat tersebut bahwa manusia, dalam konteks ini arsitektur
dapat menjaga, mempertahankan, serta meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupannya yang lebih baik, melalui pola pembangunan yang
berkesinambungan, yaitu pembangunan yang mempertimbangkan keadaan
generasi berikut.
Diagram 2, merupakan sebuah gambaran interaksi yang saling mendorong
perubahan lingkungan binaan dan perubahan manusia yang semakin hari
semakin buruk. Kondisi tersebut bertentangan dengan pepatah yang
menyatakan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok
harus lebih baik dari hari ini.
Telaah ini merupakan sebuah pencarian aspek-aspek disain arsitektur
perumahan yang sangat berpengaruh terhadap sistem sosial manusia, sehingga
perilaku manusia menjadi pertimbangan dalam sebuah proses disain arsitektur.
Keberhasilan dari sebuah produk disain arsitektur tidak hanya pada sebuah
keindahan fisik akan tetapi juga pada keindahan sistem kehidupan dan
penghidupan manusia yang semakin baik dibandingkan sebelum wujud
arsitektur tersebut direalisasikan.

Lingkungan Binaan
Sistem sosial

Lingkungan Binaan Sistem sosial

Diagram 2. Degradasi sistem sosial dan lingkungan binaan (kondisi tidak


diinginkan)

Sistem sosial dalam masyarakat terjadi pada berbagai skala, mulai dari skala
global/internasional, skala nasional, skala regional sampai dengan skala
terkecil adalah skala keluarga, yang terjadi dalam sebuah rumah sebagai wujud
arsitektur. Jadi hubungan antara fisik dan non fisik dapat kita pelajari pada
berbagai skala yang masing-masing memiliki pasangan. Pada skala sistem
sosial global kita dapat melihat lingkungan global, pada sekala sistem sosial
nasional dalam bentuk sistem kelembagaan dan politik yang diwujudkan dalam
bentuk ideolgi maka kita dapat melihatnya dalam Tata Ruang Wilayah
[5]
Nasional, yang dirumuskan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), pada sekala sistem sosial dalam sebuah keluarga maka
lingkungan binaan pembandingnya adalah rumah tinggal.
Rumah memegang peran utama dalam mewujudkan pertumbuhan sebuah
keluarga sejahtera, rumah merupakan kebutuhan dasar setelah sandang dan
pangan. Sehingga tingkat kesejahteraan dari sebuah keluarga menggunakan
tolok ukur dengan terpenuhinya sandang, pangan serta papan. ketika salah satu
kebutuhan dasar tersebut belum terpenuhi, maka kata kesejahteraan tidak
mungkin tercapai. Melihat pada peran penting dari sebuah rumah dalam
pencapaian sebuah kesejahteraan, maka telaah ini akan difokuskan pada sistem
interaksi antara rumah tinggal sebagai wujud arsitektur dengan manusianya.
Rumah tidak hanya dipandang dari sisi bangunannya saja akan tetapi
keterkaitan dengan site dan lingkungan perumahan serta permukiman. Antara
susunan bentuk arsitektur tempat tinggal, yakni rumah, site, perumahan dan
permukiman tidak dapat dilepaskan satu dari yang lainnya.
Potret sebuah lingkungan permukiman sebagai sistem utama dalam sebuah
tempat tinggal di Indonesia saat ini, memperlihatkan banyak permasalahan.
Terbatasnya infrastruktur permukiman yang dapat melayani dan menunjang
kehidupan masyarakat menunjukkan adanya penurunan aspek kualitas maupun
aspek kuantitas dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi demikian
mudah dukenali pada sistem perumahan dan permukiman, saat ini. Mangkin
memburuknya antara perbandingan antara luas tanah dan jumlah penduduk
khususnya di perkotaan. Pada sisi pemenuhan kebutuhan ruang per orang saat
ini masih jauh di bawah standar, pada kawasan padat perkotaan pemenuhan
ruang per orang sebagian besar di bawah 9 m2, sesuai standar ruang yang
berlaku menurut peraturan 403/KPTS/M/2002, sedangkan bila kita mengacu
pada standar internasional kebutuhan ruang per orang adalah 12 m2, artinya
standar nasional kita masih berada di bawah ketentuan dunia. Sedangkan
kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjadi target utama
dalam pemenuhan standar minimal tersebut adalah kelompok masyarakat yang
berpenghasilan rendah. Yang dikategorikan dalam kelompok ini adalah
masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 1.500.000,- per bulan,
berdasarkan data tahun 2004 dari HOMI, saat ini, jumlah kelompok tersebut
adalah lebih dari 70% penduduk nasional. Jumlah tersebut dari tahun ke tahun
jumlahnya meningkat dikarenakan sejak angka tersebut dikeluarkan, krisis
ekonomi tidak kunjung reda, bahkan kenaikan berkali-kali BBM telah
mendorong inflasi dan semakin tingginya biaya investasi untuk mendapatkan
tempat tinggal yang layak huni.
Kenaikan demi kenaikan harga rumah sejak tahun tersebut terjadi berkali-kali,
diawali pada tahun 2004 harga sebuah rumah sederhan sehat adalah Rp. 35
juta, selanjutnya mengalami kenaikan menjadi Rp. 45 juta, naik kembali

[6]
menjadi Rp. 54 juta dan terakhir pada awal 2012 naik menjadi 88 juta per unit,
dengan ukuran di bawah 36 m2. Pada sisi lain sejak tahun 2004 jumlah
masyarakat miskin jumlahnya cukup signifikan dengan kualitas yang jauh lebih
parah dari sebelumnya, yaitu sekitar 30 juta (BPS). Sekitar 37 juta rumah
tangga harus tinggal di ruang yang berada di bawah standar internasional
termasuk berdasarkan standar nasional. Luas kawasan adalah 47.000 ha dimana
masyarakat bertempat tinggal. Kebijakan pemerintah melalui standar ruang
yang berada di bawah standar Internasional menunjukkan kondisi sosial
ekonomi sejak tahun 1997 sampai dengan diterbitkannya standar ruang untuk
tempat tinggal yang layak huni tersebut pada tahun 2002.
Produk kebijakan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap wujud
arsitekturnya, dimana pembangunan rumah sederhana sehat yang kondisi
fisiknya belum memenuhi standar kelayakan. Demikian juga pada tempat
tinggal vertikal, kebijakan pembangunan 1000 Tower, hanyalah sebuah ambisi
politik yang kurang diimbangi dengan pertimbangan akan dampak sosial yang
ditimbulkan akibat kandungan kebijakan yang lemah dalam
mempertimbangkan perkembangan kehidupan masyarakat. Agenda 1000
Tower telah melahirkan kebijakan fisik dalam bentuk pembangunan rumah
susun sederhana milik (rusunami) bersubsidi. Pertimbangan akan standar ruang
sekali lagi tidak dipenuhi, sebagaimana kita ketahui bahwa luas unit rusunami
rata-rata di bawah 36, bahkan kebijakan di lapangan memberikan pembenaran
untuk membangun rusunami dengan luas 21 m2, 27 m2, dan 30 m2. Apa yang
dapat kita pelajari pada kebijakan tersebut adalah pertimbangan yang kurang
mempertimbangkan kebijakan sistem penghuniannya, sehingga sebuah
keluarga yang memiliki unit rusunami tersebut akan beresiko hidup di bawah
standar kebutuhan ruang per orang.
Secara alamiah sebuah keluarga akan tubuh, dari keluarga pasangan muda,
berangsur-angsur akan tumbuh menjadi keluarga kecil dengan satu atau dua
balita, dan pertumbuhan tersebut terus berjalan sampai dengan keluarga dengan
satu atau dua anak dewasa, dan rata-rata jumlah anggota keluarga di Indonesia
adalah empat jiwa per Keluarga. Artinya pertimbangan pertumbuhan sebuah
keluarga belum diantisipasi pada pertumbuhan tempat tinggalnya, dan unit
rusunami sangat sulit untuk dikembangkan baik secara vertikal maupun secara
horizontal. Apa yang terjadi ketika seorang anak yang tinggal dari sebuah
rumah yang tidak memiliki ruang yang memadai, seperti disampaikan oleh
sosiolog Parsudi Suparlan dalam kemiskinan di perkotaan, maka si anak
tersebut akan mencari ruang di luar rumahnya, ruang tersebut berada di lorong-
lorong gang, mereka-mereka akan berkumpul dengan komunitasnya, dan
jarang bersosialisasi dengan orang tua, karena si anak tidak kerasan berlama-
lama tinggal dalam rumahnya, sehingga proses pendidikan antara orang tua
kepada anak tidak terjadi, anak akan banyak mendapatkan pedidikan dari
teman yang sama-sama berkumpul di ruang sudut-sudut gang. Umumnya
[7]
mereka memiliki permasalah yang sama yaitu kurang mendapatkan privat
space dalam tempat tinggalnya. Keterbatasan ruang dapat berakibat pada
terputusnya sistem interaksi sosial dalam sebuah keluarga.
Keberadaan ruang memegang peran strategis dalam pembentukan sebuah
keluarga maupun sebuah masyarakat kota termasuk dalam pembentukan
karakter bangsa, namun apa yang akan terjadi ketika kebutuhan ruang setiap
manusia di Indonesia terabaikan. Ruang diidentifikasi pada tingkat public &
private space, dapat ditemui pada level sebuah ruang, sebuah bangunan,
maupun pada tingkat kota. Permasalahan ruang mengakibatkan permasalahan
lain tumbuh sebagai konsekuensi dari efek domino dari tidak terpenuhinya
kebutuhan akan ruang. Efek domino yang terjadi membentuk sebuah siklus
yang berputar semakin hari semakin menurun. Proses tersebut harus dengan
segera dihentikan agar tidak terus terperosok pada persoalan nasional yang
semakin jauh dan kompleks.
Ketika kondisi kehidupan yang berada di bawah standar berangsur-angsur
sangat lama bahkan melampaui beberapa generasi, maka generasi yang lahir
dan tumbuh pada kawasan tersebut, akan menjadikan perilaku dan tata cara
menjalankan kehidupan yang demikian dianggap sebagai bagian yang dianggap
biasa dan menjadi kebiasaan, pada tahap ini sistem kehidupan tersebut sudah
membentuk pada sistem budaya yaitu budaya kemiskinan. Apa yang dapat kita
lihat dengan potret budaya kemiskinan suatu masyarakat kota, tentunya hal
tersebut terekspresikan pada wujud arsitektur baik bangunan maupun arsitektur
kotanya.
Sebuah bentuk bangunan dipengaruhi oleh perwujudan dari kondisi sosial dan
ekonomi masyarakatnya, yang berlaku pada era tersebut, dalam hal ini Wujud
arsitektur tidak dapat dipisahkan dari masa dan ruang, yang mewadahi fungsi
serta memberi makna bentuk dan identitas tempat. Bentuk memiliki peran
utama dalam perwujudan sebuah karya arsitektural, yang menghasilkan
sekaligus memberi makna bagi karya arsitektur tadi. Namun aspek-aspek apa
saja yang memengaruhi perwujudan bentuk tersebut? Hal tersebut dapat
ditelaah dari Teori Bentuk Mark Gelenter (1995), yang meliputi:
1. Wujud arsitektural ditentukan oleh fungsi
2. Wujud arsitektural merupakan hasil dari imaginasi kreatif
3. Wujud arsitektural dibentuk oleh semangat jaman
4. Wujud Arsitektur ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi yang
berlaku
5. Wujud arsitektural merupakan hasil dari prinsip-prinsip bentuk yang
tak lengkang oleh waktu dan melebihi perancang tertentu, budaya dan
iklim

[8]
Bila disimpulkan menjadi satu kesatuan dari kelima teori bentuk dari Mark
Gelenter, maka wujud arsitektur dipengaruhi oleh fungsi dan semangat jaman
yang diwarnai ekspresi dari kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berlaku
pada masanya, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip bentuk yang telah teruji
kebenarannya. Yakni prinsip-prinsip yang memiliki sifat abadi dalam
membentuk pemikiran awal, berupa imaginasi kreatif sebuah disain dari
seorang perencana. Imaginasi kreatif merupakan proses berfikir secara holistik
pada seorang perencana, dari sebuah wujud imaginer menjadi wujud nyata
bentukan arsitektur.
Persoalan kompleks bangsa Indonesia saat ini adalah kemiskinan baik di
perkotaan maupun di perdesaan, semakin memburuknya kondisi ini
diperlihatkan oleh lingkungan permukiman slum area yang semakin luas dan
tumbuh tidak hanya di kota-kota besar, namun saat ini kampung kumuh sudah
dapat kita temukan di desa-desa. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan
lahan untuk menunjang kehidupan dan penghidupan manusia semakin hari
semakin berkurang, disamping penyebab lainnya, yaitu akibat pertumbuhan
penduduk, menyebabkan sebagian lahan-lahan di perdesaan berpindah
kepemilikan, sehingga banyak petani yang bekerja sebagai penggarap di atas
lahan orang lain, demikian juga di kota banyak masyarakatnya yang tidak
memiliki lahan.
Mengejalanya target-target pembangunan lebih diarahkan pada fisik semata,
indikator keberhasilan sebuah proses pembangunan selalu dikaitkan pada
pencapaian fisik belaka, ketika bangunan sebagai wujud arsitektur telah
terbangun maka tugas seorang arsitek selesai, bagaimanan wujud arsitektur
dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas kehidupan dan
penghidupan manusianya tidak digunakan sebagai sebuah keberhasilan dari
arsitektur. Kata pembangunan diterjemahkan sebatas CONSTRUCTION bukan
pada level DEVELOPMENT. Adalah sangat penting mengubah sebuah
paradigma proses perencanaan saat ini untuk melakukan perubahan, hal ini
mutlak dilakukan mengingat kerusakan lingkungan fisik saat ini semakin
mengkhawatirkan. Eksploitasi sumber daya alam yang 30% nya untuk
pembangunan gedung tidak juga memberikan dampak pada peningkatan
kesejahteraan para anak bangsa, justru semakin besar sumber daya alam yang
dieksploitasi semakin miskin masyarakatnya.
Eksploitas alam yang terjadi khususnya untuk bahan bangunan yang berasal
dari galian C maupun bahan tegakan, telah mengakibatkan kerusakan
lingkungan, sehingga sebagaimana kita ketahui bahwa alam akan melakukan
melakukan adaptasi/asimilasi terhadap perubahan tersebut untuk melakukan
keseimbangan, ketika proses penyesuaian adaptasi untuk mencapai
keseimbangan tersebut telalu besar, maka yang akan terlihat dalam proses
tersebut adalah sebuah bencana alam, mungkin kita tidak patut menyatakan

[9]
sebagai sebuah bencana alam, akan tetapi itu adalah sebuah proses pencapaian
keseimbangan dari alam, sebuah bencana justru muncul pada level manusia,
yaitu bencana manusia terhadap alam, yang mengakibatkan alam perlu
melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menjaga keseimbangan.

1.2. Personal Space


Pengaruhnya terhadap Proses Interaksi dalam Arsitektur
Pendekatan arsitektur melalui sosiologi merupakan sebuah pendekatan baru
dalam proses perencanaan dan perancangan arsitektur, khususnya arsitektur
perumahan. Pendekatan disain perumahan perlu memadukan antara ilmu
pengetahuan tentang humaniora dengan metoda disain. Berkembangnya
pemikiran mengenai sosiologi dalam arsitektur dilatar belakangi oleh
kecenderungan arsitek, yang hanya melihat karya arsitektur sebagai sebuah
karya seni dan teknologi saja, kurang mempertimbangkan perilaku dan
kebutuhan psikologis manusia sebagai pengguna bangunan. Bahwa pendekatan
disain perumahan harus memandang bahwa manusia dalam bangunan sama
pentingnya dari bangunannya itu sendiri.
Arsitektur perumahan pada tingkat humaniora, adalah menyangkut cara
pandang arsitektur dari sisi nilai-nilai yang tumbuh dari seorang individu atau
sebuah kumunitas, fungsi bangunan merupakan kebutuhan psikologi manusia
pada tingkat individu dan antar individu. Pada tingkat individu kebutuhan
psikologi yang dibutuhkan adalah privacy, sedangkan antar individu dimana
nilai-nilai privacy semakin menipis maka mewujudkan kualitas kepublikan.
Kualitas ruang dalam wujud arsitektur perumahan memegang peran utama
dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia sebagai pengguna
bangunan tersebut. Sejauhmana pengguna membutuhkan nilai-nilai ruang yang
lebih bersifat privat atau lebih bersifat publik. Kualitas ruang dalam arsitektur
memiliki gradasi dari yang sangat bersifat privat sampai dengan yang sangat
publik. Wujud arsitektur terdiri dari fungsi, bentuk, dan makna yang
memberikan kualitas dan nilai masa dan ruang, kualitas masa dan ruang dalam
arsitektur disampaikan melalui tingkat kedalaman dari sifat privacy dan sifat
publik, yang dapat dirasakan oleh manusia. Kualitas privacy lebih melekat
pada seorang individu sedangkan kualitas publik lebih terjadi pada tingkat
kelompok manusia.
Bagaimana proses pembentukan ruang pivat dan ruang publik, hal tersebut
dimulai dari keberadaan ruang individu (personal space). Pengertian sederhana
dari personal space disampaikan oleh Robert Sommer, ia adalah salah seorang
penggagas dari studi tentang personal space, social design dan banyak telaah
yang telah dilakukan berkaitan dengan setting perilaku manusia. Berkaitan

[10]
dengan personal space dia mengatakan bahwa “personal space refers to an
area with invisible boundaries surrounding a personal’s body into which
intruders may not come”. Sehingga personal space dapat dinyatakan sebagai
batas-batas ruang pribadi yang memiliki nilai privacy tinggi, semakin dekat
dengan dirinya semakin besar nilai privacynya, bahkan nilai privacy tersebut
dapat masuk pada tingkat psikologi, semakin dalam tingkat psikologisnya
semngkin besar nilai privacy-nya.
Ruang-ruang privacy atau personal space ini dapat dimasuki oleh individu
lainnya, ketika antara individu yang saling memiliki personal space saling
berhubungan, maka akan terjadi interaksi yang selanjutnya akan membentuk
ruang publik, semakin banyak individu yang berinteraksi maka semakin besar
nilai kepublikannya. Meskipun demikian personal Space dipandang oleh
Robert Gifford sebagai komponen geografis dari hubungan antar personal yang
saling berinteraksi, dan akan membentuk ruang publik, Gifford menjelaskan
bagaimana tingkatan pembentukan kualitas ruang tersebut diuraikan
berdasarkan tingkatan kedekatan antara personal dalam bentuk jarak dan
orientasi antara individu-individu yang berinteraksi. Secara rinci terdapat tiga
aspek personal space yang disampaikan oleh Robbert Gifford, yakni;
1. A personal, Portable territori, yaitu sebuah tempat dimana berada
pada wilayah kontrol dari personal tersebut, beberapa unsur luar
diperkenankan masuk pada wilayah personal ini. Bahwa setiap orang
memiliki personal space, kemanapun kita bergerak baik berdiri
maupun duduk, manusia selalu dikelilingi dan dibatasi oleh personal
space.
2. A Spacing Mechanism, mekanisme pengaturan ruang sebagai batasan
jarak antara individul berlangsung secara natural, bahwa setiap
individu secara alamiah memiliki batasan ruang, pada saat diantara
individu berkesempatan bergerak atau bersama dalam sebuah tempat,
maka akan secara otomatis mengatur jaraknya antara satu individu
dengan individu yang lain.
3. A Communication Channel, pada tingkat personal space terjadi
interaksi berupa komunikasi verbal maupun non verbal, maka akan
terbentuk kualitas ruang yang bergradasi, dalam hal ini Edward Hall
membagi empat jarak interaksi personal yang didasari oleh interaksi
sosial antara dua individu atau lebih, yaitu; jarak intim, jarak personal,
jarak sosial, dan jarak publik.
Personal space dalam arsitektur memberikan kontribusi yang kuat pada tahap
penyusunan program ruang dan fungsional, yang akhirnya akan memengaruhi
dimensi ruang serta penyelesaian bidang-bidang pembentuk ruang (selubung
ruang/bangunan). Hall membagi Personal space berdasarkan jarak yang

[11]
dimiliki seorang individu sampai dengan individu dengan individu lainnya,
diuraikan berdasarkan nilai atau kualitas dalam interaksi antara individu
pengguna ruang. Empat kualitas ruang, menurut Hall yaitu: Jarak intim (0–15
cm kategori dekat; 15–45 kategori jauh) jarak demikian merupakan jarak yang
masuk dalam ruang privasi individu lain, sehingga tingkat kedekatan antara
individu yang saling berinteraksi, Jarak personal (45 – 75 cm kategori dekat;
75–120 cm kategori jauh), jarak sosial (120–200 cm kategori dekat; 200–350
cm kategori jauh); dan jarak publik (350 – 700 cm kategori dekat; lebih dari
700 cm kategori jauh)
Personal space menunjukkan pada jarak antar individu dan pilihan orientasi
selama berlangsungnya interaksi sosial. Hal ini mengatur elemen-elemen dari
teritori, ruang, dan komunikasi individu. Bentuk personal space dalam sebuah
komunitas sangat sulit untuk dikuantitatifkan, karena personal space sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya setiap individu. Dalam proses disain
hal ini merupakan aspek yang harus dianalisis terlebih dahulu, sehingga ketika
kita menyiapkan sebuah disain dengan nilai privacy – public kita tidak terjebak
pada nilai-nilai yang kita (arsitek) anut sendiri, akan tetapi kita harus mampu
menuangkan nilai-nilai tersebut mengacu pada pengguna bangunan.

[12]
[2] Kondisi Perumahan Nasional
Telaah Fakta dan Data

2.1. Latar Belakang


Cita-cita luhur para pendiri negeri ini telah dituangkan dalam kesepakatan
Undang-Undang Dasar 1945, secara garis besar tersurat pada bagian
mukadimah sebagai berikut “... kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
…“,[UUD’45] selanjutnya dalam batang tubuhnya pasal 28 C dinyatakan
bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dan Pasal 28 H
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”[UUD’45].
Adapun visi pembangunan Nasional dalam Renstra Kabinet Indonesia Bersatu,
adalah “mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis,
berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah NKRI yang
didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan,
[13]
menguasai ilmu pengetahuan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta
berdisiplin” [Renstra 2004 – 2009]. Sebagaimana diketahui kata kunci dari
Visi di atas adalah kata damai, sejahtera dan sehat digunakan sebagai indikator
out come dari hasil pembangunan, sehingga untuk mencapai kondisi tersebut
dapat terwujud ketika kebutuhan dasar masyarakat sudah terpenuhi, yang
meliputi sandang, pangan dan papan. Namun demikian sesuai dengan Renstra
bahwa pembangunan tersebut harus dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan.
Rumah dapat menjadi aspek penting dalam pembentukan karakter sebuah
bangsa, karena dari rumah manusia tumbuh dan belajar. Fungsi rumah tidak
hanya sebagai tempat untuk tidur, makan, menonton TV dsb, akan tetapi
tempat manusia tumbuh dan berkembang mendapatkan pendidikan dan
melakukan pembentukan sosial dalam sebuah keluarga, pendidikan yang di
dapat dari orang tua, dalam hal ini rumah sebagai fungsi sosial dalam sebuah
keluarga. Manusia sebagai mahluk sosial tentunya tidak dapat hidup sendiri,
demikian halnya dengan sebuah keluarga tidak dapat hidup sendiri, sebuah
keluarga memerlukan keluarga lainnya, dengan demikian berikutnya yang juga
cukup penting adalah lingkungan perumahan dan permukiman, yaitu sebagai
tempat manusia membentuk komunitas. Dengan demikian, pembangunan
perumahan dan lingkungan permukiman merupakan sebuah sarana dalam
membangun sebuah komunitas, lingkungan perumahan dan permukiman yang
sehat akan membentuk masyarakat yang sehat, hal tersebut sejalan dengan
pepatah Yunani yang menyatakan “mens sana in corpore sano” yaitu di dalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula. Dengan demikian dalam rumah
yang sehat akan tumbuh keluarga yang sehat, dalam lingkungan perumahan
dan permukiman yang sehat akan tumbuh masyarakat yang sehat dan pada
negeri yang sehat akan tumbuh bangsa yang sehat. Kata sehat tidak diartikan
pada pengertian yang sempit, akan tetapi yang lebih luas, bukan hanya
menyangkut kesehatan fisik semata, akan tetapi menyeluruh seperti sehat
dalam berpikir, sehat dalam berusaha, sehat dalam berbagai hal yang
menunjang kemanusian.
Fakta pembangunan perumahan dan permukiman saat kini, ketika telah lebih
dari 68 tahun (terhitung tahun 2013) usia negeri ini, masih memperlihatkan
berbagai permasalahan nasional, krisis rasa kebangsaan mulai banyak
dipertanyakan, budaya barat mendominasi sistem kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Serapan budaya yang dilakukan, sayang hanya sebatas melakukan
imitasi budaya barat tanpa melakukan penyaringan yang baik, sehingga
karakter sosial budaya kita tercerabut dari akarnya. Imitasi tanpa adaptasi
hanya akan menghilangkan identitas, dan imitasi tidak akan pernah lebih baik
dari aslinya, terutama bila yang dimitasi adalah aspek-aspek yang tidak sesuai
atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang dianut sebagian besar
masyarakat Indonesia.
[14]
Tentunya bahwa kehidupan pada saat ini, kita tidak dapat melepaskan dari arus
globalisasi yang sangat kuat, namun sayang bahwa era globalisasi yang
dimotori oleh kepentingan ekonomi pada akhirnya hanya mampu membawa
masyarakat ini menjadi konsumen, dan dijadikan target pasar bagi negara-
negara maju. Dengan demikian akan sangat berat bagi bangsa ini untuk dapat
mempertahankan identitas, di era globalisasi dan neo-liberalisasi yang harus
ditingkatkan adalah ketahanan masyarakat, agar terlepas dari perannya sebagai
konsumen terbesar, kita harus mampu menjadi pelaku utama atau menjadi
produsen/aktor secara seimbang dengan negeri-negeri lain, bahkan harus dapat
melampaui negara lainnya, hal tersebut cukup beralasan, karena negeri ini
memiliki sumber daya alam yang amat sangat berlimpah.
Perlu dilakukan upaya membangun masyarakat yang produktif, untuk
mencapai kondisi tersebut persyaratan awal yang harus dipenuhi adalah
terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) manusia, yaitu sandang, pangan,
dan papan yang oleh Maslow ketiga kebutuhan dasar tersebut dimasukkan pada
physiological needs (hunger, rest, thirst, shelter) yang merupakan hirarki
paling awal dari kebutuhan manusia. Rumah dapat memenuhi seluruh hirarki
kebutuhan yang dituangkan dalam segitiga Maslow, setelah terpenuhinya
physiological needs; selanjutnya adalah safety, dalam hal ini rumah dapat
memenuhi kebutuhan rasa aman dari gangguan alam disekitarnya; Belonging
and Love; Esteem; dan Self-Actualisation, seluruh tingkat kebutuhan
berdasarkan teori Maslow dapat dipenuhi seluruhnya di dalam rumah. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi rumah sangat penting dalam pembentukan diri
seorang manusia maupun keluarga.

2.2. Fakta dan Kondisi Perumahan Rakyat


Supply dan Demand
Dua sisi kritis permasalahan perumahan saat ini, yaitu dari sisi Demand dan
sisi Supply. Sisi demand kita masih sangat terkendala dengan rendahnya daya
beli masyarakat, khususnya masyarakat yang berpenghasilan rendah, saat ini
lebih dari 70% berpenghasilan di bawah dua juta rupiah, sedangkan di sisi
supply akibat berbagai krisis nasional maupun global telah mengakibatkan
harga rumah semakin hari semakin melambung, hal ini disebabkan selain oleh
peningkatan harga bahan bangunan juga disebabkan oleh semakin terbatasnya
lahan untuk perumahan, terutama lahan di perkotaan.
Tantangan ke depan masih sangat besar untuk melaksanakan penyediaan
perumahan rakyat yang layak huni dan terjangkau, dari tahun ke tahun terjadi
peningkatan kebutuhan rumah sampai dengan tahun 2007, telah terjadi backlog
perumahan lebih dari 7 juta unit rumah, tahun 2013 menjadi 12,5 juta unit
belum lagi pertumbuhan kebutuhan rumah baru akibat pertambahan penduduk
setiap tahun mencapai 800.000 unit. Disamping itu hampir mencapai 14 juta
[15]
unit rumah berada dalam kondisi kurang layak huni, yakni tidak kurang dari
10.065 lokasi merupakan permukiman kumuh dengan luas 47.393 ha dan
dihuni oleh tidak kurang dari 17,2 juta jiwa.
Gerakan Nasional ”Pengembangan Satu Juta Rumah”, (GN-PSR) dan
”Pembangunan 1000 Tower” merupakan upaya pemerintah dalam percepatan
penyediaan perumahan rakyat di perkotaan maupun perdesaan, namun upaya
ini menuntut effort yang gigih. Bila kita kalkulasikan waktu yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan rumah nasional, dengan program satu juta rumah,
maka untuk memenuhi kebutuhan rumah baru sekitar 800.000 unit tersisa
200.000 unit untuk mengejar backlog (untuk hitungan 7 juta unit). Tujuh juta
unit bila tiap tahunnya dibangun 200.000 unit maka kita akan membutuhkan
waktu 35 tahun ke depan, baru seluruh rakyat Indonesia akan bertempat
tinggal. Fakta lain dari target pembangunan perumahan sederhana, pada tahun
2002, dari target 130.000 unit yang terealisasi hanya 39.979 unit, begitu juga di
tahun 2003 direncanakan akan dibangun 90.000 unit, tetapi yang tercapai
59.275 unit. Tampaknya akan menjadi suatu penantian yang sangat panjang,
sampai dengan beberapa generasi, bila pembangunan perumahan diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme seperti saat ini.
Standar Ruang per Orang
Sejak tahun 2002, melalui Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, telah
melakukan reformasi di bidang perumahan rakyat, dengan diterbitkannya
Keputusan Menteri No. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Rumah
Sederhana Sehat, yang merupakan pengganti kebijakan lama Kepmen PU No.
20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana
Tidak Bersusun (RS) dan Permen PU No. 54/PRT/1991 tentang Rumah Sangat
Sederhana (RSS). Bila ditelaah kembali dalam kedua kebijakan yang lama
tersebut, terdapat konflik menyangkut standar teknis; seperti standar kebutuhan
ruang minimal per jiwa, standar luas lahan minimal, dan pembatasan teknologi
konstruksi yang tidak dapat mewadahi potensi dan karakter lokal di beberapa
daerah yang beragam. Sehingga tidak dapat disalahkan bila kedua kebijakan
tersebut belum mampu menyelesaikan masalah perumahan rakyat dengan
efektif.
Melalui Kepmen Kimpraswil No.403/KPTS/M/2002 persoalan kembali
muncul, ketika standar kebutuhan rumah minimal yang ditentukan masih di
bawah standar Internasional, dimana menurut Standar Internasional bahwa
kebutuhan ruang per jiwa adalah 12 m2, sedangkan standar ruang menurut
Kepmen tersebut adalah 9 m2. Hal tersebut lebih dikarenakan oleh keterbatasan
daya beli masyarakat, diharapkan dengan standar ruang tersebut didapat luas
rumah sehat adalah 36 m2 dengan catatan komposisi jumlah keluarga rata-rata
empat orang per keluarga. Dengan alasan seperti itu para stakeholder dapat
menerima luas minimal tersebut, sebagai rumah sederhana aspek kesehatan.
[16]
Diawal tahun 2007, Pemerintah mendorong percepatan pembangunan
perumahan khususnya di perkotaan, dengan menyusun suatu program
pembangunan 1000 tower, yang meliputi pembangunan rumah susun sederhana
milik maupun sewa. Ironisnya bahwa dalam upaya kelancaran pelaksanan
pembangunan serta mewadahi daya beli masyarakat, maka telah disusun suatu
disain prototipe untuk kedua jenis rumah susun tersebut, dari kedua prototipe
tersebut yang perlu disimak adalah prototipe rumah susun sederhana milik
(RUSUNAMI), karena luas unit rumah susun tersebut rata-rata di bawah
standar minimal luas rumah sehat; yaitu unit-unit dengan luas 21 m2, 27 m2,
dan 30 m2.
Dengan luasan tersebut fungsi rumah sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya sebuah keluarga, tidak lagi memberikan kesempatan terjadinya
proses tumbuh dan berkembang, artinya bahwa rumah milik dengan tipe 21 m2
yang dihuni oleh pasangan muda tentunya dalam waktu lima tahun ke depan,
rata-rata sudah menjadi keluarga utuh dengan dua orang anak, namun dengan
luas tadi, tidak memberikan kesempatan kepada keluarga tersebut tumbuh dan
berkembang dengan sehat, artinya bahwa setiap jiwa hanya mendapatkan luas
5,2 m2, luas ini setengah dari standar yang ditetapkan oleh kesepakatan
Internasional.
Kerusakan Lingkungan
Persoalan lingkungan yang terkait dengan pembangunan perumahan dan
permukiman adalah konversi lahan produktif menjadi lahan perumahan diikuti
konsumsi bahan bangunan yang telah mengeksploitasi sumber daya alam yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Seiring dengan pesatnya pertambahan
penduduk, khususnya diperkotaan, memberikan pengaruh besar pada
peningkatan kebutuhan dan pembangunan rumah. Ironisnya pola pembangunan
yang dilakukan pada akhirnya telah banyak memusnahkan lahan produktif.
Konversi lahan pertanian menjadi perumahan tersebut telah mengubah fungsi
irigasi menjadi drainase dan sewerage permukiman, yang berakibat pada
banyaknya permukiman yang terkena bencana banjir. Selain itu dampak
makronya adalah rentannya ketahanan pangan, yang seharusnya bangsa yang
mampu melakukan swasembada pangan justru menjadi bangsa pengimpor
beras. Sedangkan untuk membuka lahan baru untuk pertanian akan menuntut
biaya yang cukup besar karena harus membangun kembali infrastruktur irigasi
baru.
Selain itu arah pembangunan perumahan terus bergerak ke arah pinggiran kota,
menuntut biaya investasi tinggi, karena setiap pembangunan perumahan harus
dibarengi dengan infrastruktur, sarana dan prasarana yang memadai. Pada
akhirnya juga akan meningkatkan biaya pengeluaran keluarga dikarenakan
terjadinya peningkatan biaya transportasi, akibat dari tempat tinggal jauh dari
tempat kerja. Fenomena tersebut tampak di kota-kota besar, seperti Jakarta,
[17]
Bandung, Surabaya, termasuk Medan. Banyak tenaga kerja di Jakarta yang
bertempat tinggal di luar kota, seperti Bekasi, Tangerang, atau bahkan Bogor.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai tempat kerja banyak yang tidak kurang
dari 1½ - 2 jam, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan rata-rata 4
jam, artinya 50% dari waktu kerja yang 8 jam. Betapa tidak efisiennya pola
kehidupan seperti ini. Satu jawaban dari penyebab tersebut adalah belum
optimalnya pengelolaan lahan perkotaan. Makna permukiman telah bias,
permukiman yang diartikan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan,
sudah tidak dapat dimaknai oleh sebagian besar masyarakat perkotaan.
Umumnya kota-kota besar belum memberikan pelayanan sebagai tempat
tinggal yang memadai bagi warganya, bahkan sebagian kawasannya berada
dalam kawasan yang tidak layak huni dengan tingkat kepadatan yang sangat
tinggi di atas 500 jiwa/ha, dengan infrastruktur perumahan di bawah standar,
kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan kumuh/slum area.
Peringatan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tuntutan pemenuhan
kebutuhan manusia tersebut juga telah diperingatkan oleh kitab suci sebagai
berikut “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-
pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum `Aad dan memberikan tempat
bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan
kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-
nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat
kerusakan.[QS : Al A’raaf 7 : 74]”. Menurut kajian penulis, bahwa setiap
rumah sederhana tembok dengan luas 36 m2 menghasilkan emisi CO2 sebesar
2.373,64 Kg CO2. Ketika kita akan mengejar target penyediaan rumah baru
sesuai dengan pertumbuhan kebutuhan rumah baru setiap tahun, maka akan
menghasilkan kadungan emisi CO2 sebesar 1.898.914.138,07 Kg CO2.
Sehingga tidak heran ketika bencana banjir bandang, tanah longsor,
kekeringan, dan akhirnya kelaparan dan kemiskinan senantiasa mengiringi
kehidupan negeri ini. Bahkan setiap tahunnya kita harus kehilangan 2,4 juta m3
kayu, hal ini setara dengan 100.000 ha hutan dieksploitasi per tahunnya,
kerusakan tersebut belum lagi bila kita hitung terhadap kebutuhan galian C,
seperti pasir, batu, atau bahan bangunan olahan yang bersumber dari galian
seperti semen, baja, dsb. Bila pendekatan disain arsitektur perumahan tidak
segera merespon keterbatasan sumber daya, maka kerusakan lingkungan akan
terjadi dan terus terjadi semakin parah.
Consumers Satisfaction
Sulit untuk menyatakan bahwa prototipe rumah yang disediakan oleh
pengembang sudah dapat diterima oleh konsumen, karena faktanya bahwa 80%
rumah yang dihuni pada akhirnya harus dirubah oleh penghuninya kurang dari
dua tahun setelah di huni. Kondisi demikian tidak dipertimbangkan bahwa
[18]
status rumah tersebut masih dalam kredit bank. Sehingga masyarakat harus
melakukan investasi ulang dengan membuang bahan bangunan lama dan
diganti dengan bahan banguna baru, artinya bahwa investasi yang lama
terbuang dan melakukan investasi baru. Pola pembangunan demikian tidak
efisien, selain merusak lingkungan karena sejumlah bahan bangunan baru akan
menambah emisi, juga bahan bangunan lama yang dibuang masih dalam
kondisi kredit bank, bukankah ini hanya akan menambah beban masyarakat
dalam pembiayaan perumahan.
Perubahan tersebut tidak terlepas dari pengaruh kapitalisme dan materialisme
dari masyarakat penghuni rumah sederhana. Ada keengganan masyarakat
memiliki rumah dengan wajah yang sama dengan rumah tetangga, dan
masyarakat berusaha menunjukkan jati diri melalui ekspresi rumah, rumah
dijadikan lambang prestisius dari penghuninya, masyarakat berlomba-lomba
untuk memenangkan pertarungan eksistensi dalam lingkungannya. Kesuksesan
diukur melalui materi dan rumah salah satunya, setelah kendaraan dan pakaian.
Aktualisasi diri yang menurut Maslow merupakan hirarki tertinggi dari
kebutuhan pada kenyataannya menjadi target bagi masyarakat yang kebutuhan
dasarnya saja masih kurang. Pada persoalan ini nampak ada persoalan budaya
yang tumbuh dari sebagian besar masyarakat Indonesia yaitu akibat dari
pengaruh kapitalisme.
Rumah sebagai Benda Investasi ?
Harga rumah setiap tahun selalu mengalami kenaikan, hal ini selain disebabkan
oleh naiknya harga bahan bangunan juga disebabkan oleh terbatasnya lahan
untuk perumahan. Kenaikan harga rumah yang pasti terjadi setiap tahunnya
mengakibatkan sebagian besar masyarakat menjadikan rumah sebagai barang
investasi. Ironisnya perumahan yang diperuntukkan untuk memenuhi
pertumbuhan rumah baru pada akhirnya dijadikan barang komoditas oleh
kelompok masyarakat tertentu, sehingga berbagai bantuan serta subsidi yang
dikucurkan oleh pemerintah pada akhirnya jatuh ketangan kelompok di luar
sasaran.
Kondisi ini menciptakan gap sosial yang semakin hari semakin parah, sebagai
ilustrasi bahwa pada beberapa unit rumah susun sederhana sewa disalah satu
lokasi di DKI Jakarta, disewakan per unit Rp 75.000,- kepada masyarakat oleh
pengelolanya, selanjunya masyarakat menyewakan kembali unit sarusun yang
disewanya kepada pihak lain dengan biaya sewa Rp. 500.000,- s.d Rp.
750.000,- per bulan bahkan lebih. Demikian juga fenomena ini menggejala
kembali pada program 1000 Tower khususnya pada Rusunami, yang saat ini
cukup laku terjual dan sayangnya bahwa banyak yang membeli rusunami
tersebut dengan membeli beberapa unit untuk kelak disewa-sewakan kembali,
sekali lagi bahwa bantuan jatuh ke tangan di luar kelompok target sasaran.

[19]
Fakta-fakta di atas membawa kepada beberapa pertanyaan, yang bagaimana
dengan kontribusi arsitektur dalam menyikapi persoalan tersebut? disamping
persoalan lainnya pada tingkat kebijakan, dalam proses penyusunan maupun
kontrol pelaksanaannya karena akan di dalamnya akan berkaitan dengan
komitmen serta menyangkut persoalan law enforcement. Penulis akan
membatasi ulasan pada aspek, sejauhmana pengaruh arsitektur terhadap
pembentukan karakter bangsa yang digerakan oleh arsitektur perumahan dan
permukiman.
Bagaimana bentuk arsitektur perumahan dan seperti apa yang mampu menjadi
tempat dan sarana prasarana kehidupan dan penghidupan? sebagai media
dalam pembangunan masyarakat seutuhnya? kontribusi arsitektur dalam
pembentukan karakter bangsa, membangun bangsa yang sehat, kuat dan
produktif sebagai syarat dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Seperti pendapat dari para sosiolog, seperti Frederic Le Play dan Edward
Buckel, dimana kedua sosiolog tersebut beraliran kuat bahwa manusia itu
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, hal ini sejalan juga dengan pendapat dari
Jon Lang, yang menyatakan bahwa antara manusia dengan lingkungan terjadi
saling berinteraksi. Sehingga melalui penyediaan perumahan yang baik mampu
memengaruhi dan membetuk karakter masyarakat yang kuat.
Vandalisme dan kriminalitas serta tindak kejahatan juga tidak terlepas dari
pengaruh disain arsitektur bangunan, berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungan perumahan baik yang bersusun maupun yang tidak bersusun sangat
erat kaitannya dengan pola disain bangunan dan kawasan, hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Oscar Newman maupun Barry Poyner. Dalam hal ini Oscar
Newman menawarkan pendekatan Defensible Space, sebagaimana dia
sampaikan dalam ”defensible space is a model for residential environment
which inhibits crime by creating the physical expression of social fabric that
defends itself”. [Newman:1978] Selanjutnya Newman juga menyatakan bahwa
kriminalitas yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kondisi fisik
lingkungan yang buruk.
Namun demikian bahwa persoalan tidak sebatas menyangkut penghuni rumah
saja akan tetapi masuk juga pada ranah lingkungan, yaitu bagian yang menjadi
terpengaruh akibat pembangunan perumahan, sehingga persoalan
pembangunan perumahan yang bagaimana yang memungkinkan terbangunnya
kualitas rumah beserta lingkungan (alami dan binaan) tetap terjaga dan tercipta
kualitas yang lebih baik. Pola-pola pembangunan perumahan yang ramah
lingkungan serta berkelanjutan harus menjadi bagian dalam pertimbangan
setiap disain arsitektur.

[20]
2.3. Fungsi Rumah
Rumah merupakan sebuah tempat manusia dalam keluarga berkumpul untuk
berinteraksi, antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, dan diantara
anak-anak dalam satu keluarga. Sehingga rumah menjadi cerminan dan jati diri
sebuah keluarga. Demikian fungsi rumah bukan hanya sekedar benda yang
memiliki nilai investasi, akan tetapi suatu wadah tempat proses bermukim,
dimana manusia dapat menciptakan ruang kehidupan yang berinteraksi antara
sesama dan lingkungan.
Untuk mewujudkan fungsi rumah demikian, maka beberapa syarat rumah harus
memberikan jaminan yang menyangkut kehandalan bangunan, seperti tertuang
dalam Undang-Undang Bangunan Gedung No. 28/2002, yaitu meliputi;
keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Keempat aspek tersebut
manjadi kewajiban bagi sebuah tempat tinggal, berbeda dengan bangunan
gedung pada umumnya, bangunan hunian atau tempat tinggal, kiranya wajib
memenuhi keempat aspek tersebut, karena rumah merupakan karya arsitektur
yang secara langsung dapat membangun karakter penghuninya. Dari
sekumpulan rumah maka karakter komunitas akan terbentuk, demikian juga
karakter bangsa akan ditentukan oleh karekter dari permukimannya.

2.4. Sejarah Singkat Perumahan Rakyat


Sejarah perumahan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam empat periode
utama, yaitu periode kolonilaisme, periode Orde Lama, Periode Orde Baru, dan
Periode Reformasi, dan setelah periode terakhir tersebut belum menampakkan
perubahan yang dapat dimasukkan pada kategori periode baru, karena bentuk
kebijakan serta kondisi penanganan perumahan masih relatif tetap walau
tantangannya sudah jauh berubah dibandingkan dengan perode sebelumnya.
Periode Kolonilaisme
Upaya-upaya penyediaan perumahan oleh pemerintah secara formal di
Indonesia masih dikategorikan baru, dibandingkan dengan negara-negara
Eropa, yang sudah dimulai sejak awal revolusi industri, yang ditandai dengan
pertumbuhan pesat penduduk perkotaan akibat urbanisasi para buruh. Pada
abad ke 18, sementara bangsa Indonesia masih mengalami kolonilaisme.
Untuk pertama kalinya pemerintahan di Indonesia yang dikuasai oleh
Pemerintahan Belanda, menyediakan kebijakan pembangunan perumahan,
dengan tujuan meningkatkan produktifitas kerja bagi para pegawai
pemerintahan Belanda dan pekerja-pekerja pada perusahaan milik Belanda,
dengan harapan melalui penyediaan kebutuhan dasar akan perumahan dapat
memberikan timbal balik terhadap kinerja pegawainya. Beberapa program
yang dilaksanakan pada saat itu diantaranya adalah program perbaikan
kampung dan upaya penyuluhan untuk menekan penyebaran penyakit menular.
[21]
Cikal bakal pembangunan perumahan secara formal di awali sekitar tahun 1866
oleh Pemerintah Belanda, pembangunan kota-kota baru mulai dilaksanakan
serta masyarakat dijadikan menjadi bagian utuh dengan kota. Pola
pembangunan kota-kota baru di luar permukiman yang ada dengan mengikuti
pola kota Renaissance. Permukiman tersebut disediakan sejauh untuk
memenuhi para pendatang dari Eropa khususnya Belanda, konsep penataan
pada saat itu diarahkan pada kawasan baru namun tetap berdekatan dengan
kampung-kampung yang ada.
Lembaga formal yang dibentuk untuk pertama kalinya pada tahun 1926, yaitu
suatu badan usaha yang berfungi untuk melakukan pembangunan perumahan
rakyat, yaitu N.V. Volkshuisvesting, perusahaan ini selain melakukan
pembangunan juga melaksanakan pengaturan berkaitan dengan sewa menyewa
kepada masyarakat khususnya pegawai pemerintah.
Periode Orde Lama
Periode berikutnya adalah periode pasca kemerdekaan, yaitu antara tahun 1945
sampai dengan tahun 1950 yang merupakan masa-masa sulit serta transisi,
yang mengakibatkan konsentrasi pemerintah pada aspek perumahan menjadi
terabaikan, pergolakan dan pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan
telah menyita perhatian besar pemerintah dan sebagian besar masyarakat,
sehingga bukannya proses pembangunan perumahan yang terjadi akan tetapi
kehancuran rumah-rumah akibat perang, bahkan di beberapa kota proses bumi
hangus telah terjadi, sebagai contoh peristiwa Bandung Lautan Api, dimana
sebagian besar masyarakat kota Bandung Utara telah membakar rumahnya
sebelum ditinggalkan mengungsi ke wilayah Bandung selatan.
Untuk pertama kalinya Pemerintahan sekitar tahun 50-an melakukan kongres
Perumahan di Bandung, yang dibuka oleh Wakil Presiden RI Bung Hatta,
untuk menyiapkan pembangunan perumahan kembali akibat kerusakan setelah
perang, namun sejalan dengan rencana program pembangunan perumahan
secara nasional pada saat itu krisis finansial juga sedang melanda negeri ini,
maka kongres perumahan kali ini diarahkan untuk menyiapkan standar
perumahan yang bertujuan untuk melakukan efisiensi yang berkaitan dengan
disain bangunan. Sebagian besar disain bangunan rumah tinggal saat itu masih
mengacu pada disain-disain yang dibuat oleh Pemerintahan Belanda, yang
dirasakan terlalu boros, seperti yang berkaitan dengan ukuran pintu dan
jendela, ketinggian plafond, serta kebutuhan ruang per jiwa. Hasil kongres
yang cukup fenomenal pada saat itu antara lain, diterbitkannya ketentuan
minimal luas ruang hunian sebagai tempat tinggal yang sehat, yaitu sebesar
53,5 m2 dengan ketinggian plafond 2,75 m, dengan demikian biaya investasi
sebuah rumah dapat dipangkas oleh ketentuan disain.

[22]
Kebijakan perumahan selanjutnya pada era ini masih mengacu pada Tap MPR
No. II tahun 1960, secara garis besar mengamanatkan program pembangunan
perumahan -yang memperhatikan keterwujudan penyediaan rumah sehat,
nikmat, tahan lama, murah harga jual, murah biaya sewa, serta manusiawi-
.Selanjutnya bantuan perumahan diharuskan untuk dipermudah; dan
diharapkan bahwa peran pemerintah tidak hanya menyediakan fasilitas
perumahan akan tetapi turut melakukan pembangunan perumahan untuk
disewakan maupun di jual khususnya di kawasan industri. Sejalan dengan
pembangunan industri di Indonesia mulai bergerak selain melajutkan industri
peninggalan Belanda.
Pada tahun 1962, untuk pertama kalinya Bangsa ini memiliki undang-undang
Pokok Perumahan No. 6 tahun 1962, yang berisi tentang kebijakan pemerintah
dalam pembangunan perumahan serta pengaturan perumahan bagi masyarakat
yang tidak mampu. Undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan baik,
sampai akhirnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1963, serta
mengganti undang-undang tersebut menjadi Undang-undang Pokok Perumahan
No. 1 tahun 1964, yang memberikan arahan pengadaan perumahan dimana
masyarakat berkewajiban ikut serta dalam pengadaan perumahan, serta
pemerintan berfungsi sebagai provider dan enabler dalam pemenuhan
kebutuhan perumahan dengan upaya menekan biaya pembangunan dan aspek-
aspek teknis, serta melakukan pelimpahan kewenangan pengelolaan pengadaan
perumahan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah Tingkat I dan Tingkat
II, Undang-undang ini digunakan dalam periode yang cukup panjang sampai
diterbitkannya Undang-undang Perumahan dan Permukiman No. 4 tahun 1992.
Beberapa kendala yang dihadapi oleh periode pemerintahan ini adalah
permasalahan stabilitas politik, yang ditandai dengan seringnya bongkar
pasang kabinet, selain itu pemerintah banyak mengalami rongrongan
pemberontakan, yang berkaitan langsung dengan faktor keamanan, selain itu
juga terjadi peristiwa inflasi yang terus melambung serta anggaran belanja
yang terus menerus defisit, yang akhirnya melumpuhkan usaha pemerintah
dalam menangani perumahan.
Catatan penting pada periode ini adalah pendirian empat lembaga strategis di
bidang perumahan, yaitu tahun 1952 didirikan Jawatan Perumahan Rakyat
yang berada di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik, pada tahun yang sama didirikan Yayasan Kas Pembangunan di
beberapa Daerah Tingkat II, yang bertugas membangun rumah yang harganya
di bawah harga pasaran, pada tahun 1955 didirikan Regional Housing Centre
yang mendapat bantuan dari PBB sampai saat ini dikenal dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman di bawah Kementerian Pekerjaan
Umum, serta terakhir didirikannya Badan Perancang Perumahan, yang bertugas

[23]
melakukan perancangan bangunan dan usaha-usaha pemecahan masalah
bangunan, lembaga ini diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum.
Periode Orde Baru
Periode ini memiliki catatan cukup panjang, sejalan dengan lamannya periode
pemerintahaan yang dijalankan, hal ini tercerminkan pada perjalanan
Pembangunan melalui Program Jangka Panjang (PJP) dan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repilita) yang berjalan lancar sampai dengan
Repelita V dan Repelita VI yang harusnya sudah dapat membawa bangsa ini
pada Tinggal landas, pada akhirnya harus kandas karena pembangunan fisik
yang dilakukan oleh pemerintahan pada masa ini ternyata cukup rapuh, hal ini
banyak disebabkan oleh orientasi pembangunan yang diarahkan semata-mata
hanya pada keberhasilan fisik semata, sedangkan pembangunan kualitas
manusia sedkit terabaikan.
Disektor perumahan terlihat bahwa target-target pembangunan perumahan dari
tahun ke tahun dari Repelita ke Repelita terus meningkat, hal ini tidak terlepas
dari dukungan ekternal, yang ditandai oleh peristiwa yang berkaitan dengan
dukungan program yang disusun dalam upaya memperlancar usaha yang
dilakukan, yaitu dengan berdirinya Perhimpunan Perusahaan Real Estate
Indonesia (REI) pada tanggal 1 Februari 1972 serta lokakarya Pembiayaan
Pembangunan pada tanggal 6 Mei 1972, dari hasil loka karya tersebut
dihasilkan beberapa keputusan yang menyangkut; sistem pembiayaan dan
sistem kelembagaan yang direalisasikan mulai pada Repelita II.
Dari rata-rata target pembangunan perumahan sekitar 300.000 unit sampai
dengan hampir 400.000 unit dapat terealisasikan sampai dengan di atas 80%-
nya, jumlah yang sulit direalisasikan pada periode saat ini. Namun sayang
keberhasilan pembangunan perumahan tersebut harus mengalami kejatuhan
yang luar biasa, dengan didominasinya kredit macet di sektor perumahan yang
terjadi pada periode krisis ekonomi tahun 1997, yang telah mengahiri
pemerintahan serta era ini.
Beberapa hal penting yang telah memengaruhi wujud arsitektur perumahan
pada periode ini adalah, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.
20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana
Tidak Bersusun, Permen PU No. 54/PRT/1991, tentang pedoman Teknis
Rumah Sangat Sederhana, serta Kepman PU No. 1/KPTS/1989 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Kapling Siap Bangun , yang mana ketiga
pengaturan tersebut mampu memberikan warna arsitektur perumahan pada
masa tersebut, bahkan Buku Biru BTN yang juga merupakan penterjemahan
dari kepmen dan Permen tersebut digunakan sebagai acuan dalam upaya
mendapatkan kredit dari perbankan.

[24]
Disektor pembangunan rumah swadaya, melalui Kementerian Perumahan
Rakyat juga telah digulirkan beberapa keputusan, seperti Kepmenpera No.
11/KPTS/1989, tentang Pedoman Pengadaan Perumahan dan Permukiman
dengan Fasilitas KPR-BTN oleh Koperasi, dan kebijakan ini telah melahirkan
program pembangunan perumahan yang bertumpu pada kelompok (P2BPK),
namun kenyataanya program keswadayaan ini banyak mengalami kendala,
sehingga bentuk peninggalan arsitektur perumahan dengan program ini banyak
yang tidak mampu bertahan lama, hal ini dikarenakan standar teknis bangunan
yang berada jauh di bawah ketentuan bangunan yang benar.
Periode Reformasi
Periode ini ditandai dengan hilangnya kepecayaan sebagian besar masyarakat
terhadap pemerintah, dan hal ini yang membuat suatu terobosan perubahan
sistem pemerintahan nasonal dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dengan
diterbitkannya Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999. Periode
ini dirasakan periode yang cukup berat bagi para pelaku pembangunan
perumahan serta masyarakat, karena selain harga rumah yang melambung
cukup tinggi akibat bunga Bank, serta krisis ekonomi yang mengakibatkan
peningkatan jumlah pengangguran serta mendorong peningkatan kemiskinan.
Reformasi kebijakan juga terimbas, khususnya kebijakan teknis yang
menyangkut peraturan pemerintah yang berkaitan dengan beberapa pedomen
teknis yang disusun oleh pemerintahan orde baru, turut direformasi sekaligus
dievaluasi, kebijakan-kebijakan teknis khususnya Kepmen PU No. 20/86 yang
mengatur tentang aspek teknis rumah sederhana, pada masanya yang
mengalami degradasi dalam implementasinya, sehingga menciptakan
generalasi disain, seragamisasi disain dan secara bertahap telah melemahkan
potensi dan kearifan lokal pada sektor perumahan rakyat. Selain itu evaluasi
ditindak lanjuti sampai dengan evaluasi kebijakan perumahan yang sangat
banyak dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Perubahan monumenal pada periode reformasi ini adalah, bergesernya bantuan
subsidi yang tadinya berorientasi pada bangunan (rumah sederhana yang
disubsidi) pada periode ini dialihkan pada masyarakat target grup langsung,
untuk menjamin kesesuaian target grup itu maka dirumuskan kembali standar
teknis terkait dengan perumahan, dengan diterbitkannya Kepmen Kimpraswil
No. 403/KPTS/M/2002, tentang Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat
(RSH) standar kebutuhan ruang ditingkatkan kembali dari 7,2 m2 per jiwa
menjadi 9 m2 per jiwa. Ketinggian plafond ditetapkan kembali menjadi 2,80 m,
serta diterbitkannya pengaturan mengenai Rumah Inti Tumbuh, untuk
menyiasati keterjangkauan yang menjadi persoalan era tersebut.
Tekanan ekonomi yang semakin keras, serta krisis ekonomi yang juga belum
dapat dituntaskan telah mengakibatkan perjalanan pembangunan perumahan

[25]
pada era ini belum seperti yang diharapkan, namun keinginan untuk melakukan
percepatan terus diupayakan melalui berbagai kebijakan politis dan teknis,
seperti Gerakan Nasional Pengembangan Satu Juta Rumah (GN-PSR) serta
program 1000 Tower. Persoalan lama mencuat kembali kepermukaan yaitu
keterjangkauan serta harga rumah yang semakin memperbesar gap antara daya
beli dengan harga rumah.
Sampai dengan periode ini, arsitektur perumahan di Indonesia belum dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan karakter bangsa,
karena masih banyak menyisakan persoalan perumahan, serta semakin
kompleksnya pesoalan perumahan serta kemiskinan yang semakin besar
jumlahnya.

2.5. Opini Perumahan Nasional


Berangkat dari fakta serta sejarah perjalanan pembangunan perumahan
nasional di Indonesia, satu hal pembelajaran dari sejarah perumahan di Eropa
maupun beberapa negara maju lainnya, adalah saat-saat titik kritis pemenuhan
perumahan bagi rakyatnya terlampaui, yaitu dimana saat seluruh rakyatnya
sudah mendapatkan tempat tinggal yang layak huni. Sebagai gambaran tidak
terlalu jauh dari negeri ini, pengalaman Singapura yang sebelumnya
mengalami hal yang sama dengan persoalan perumahan di Indonesia, yaitu
perumahan kumuh serta arsitektur yang semerawut, pada tahap awal sekitar
akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an, Perdana Menteri Lee Kuan Yeu, telah
melaksanakan program pembangunan rumah besar-besaran, sampai dengan
tahun 80 an seluruh rakyat Singapura telah memiliki tempat tinggal, hingga
akhirnya Singapura mengalami kemajuan yang signifikan setelah kebutuhan
dasar rakyatnya terpenuhi. Pada akhirnya Singapura dapat disejajarkan dengan
negara maju lainnya. Walau dalam perjalanannya persoalan perumahan baru
tersebut mengalami berbagai persoalan sosial dan budaya, seperti banyaknya
kaum ibu yang melakukan bunuh diri dikarenakan perubahan perilakuan dalam
arsitektur perumahan yang baru belum terakomodasi dalam proses adaptasi
masyarakatnya dengan baik, sehingga disain arsitektur mengalami perubahan
melalui program remodeling, pembangunan ruang-ruang terbuka sebagai
sarana rekreasi dan membangun kawasan rekreasi nasional di Sentosa, hal
tersebut untuk menyempurnakan arsitektur perumahan di Singapura.
Namun persoalan di negeri ini lain, sejak berdirinya negeri ini persoalan
perumahan rakyat adalah belum terpenuhinya kebutuhan dasar akan papan
secara menyeluruh, sejak dimulainya era reformasi backlog perumahan sekitar
5 juta unit saat ini sudah melampaui 7 juta unit lebih, aling-aling jumlahnya
berkurang malah terus bertambah, sedangkan tekanan krisis global saat ini
mulai menampakkan kembali, ditandai dengan runtuhnya beberapa perusahaan
properti di Amerika Serikat.
[26]
Dari pengalaman sejarah perumahan nasional bangsa ini memperlihatkan dari
periode ke periode selalu berpotensi untuk mengalami penurunan kualitas fisik
bangunan, dengan pemangkasan beberapa kriteria disain, dalam upaya untuk
mendekatkan harga jual rumah terhadap daya beli masyarakat, seperti luas
standar rumah dari 53,5 m2 menjadi 36 m2, walaupun sempat mengalami
peningkatan kembali, namun standar ruang sampai saat ini masih jauh di
bawah standar WHO. Dengan kondisi demikian saja kita masih sulit mengejar
ketinggalan akan pemenuhan kebutuhan rumah.
Dengan pembangunan perumahan saat ini berharap akan mengurangi backlog
perumahan malah, rumah-rumah baru yang telah dibangun oleh pemerintah
sebelum tuntas seluruhnya telah menjadi masalah baru, tumbuhnya kekumuhan
baru di lingkungan perumahan sederhana, kumuh baru di lingkungan rumah
susun, seolah persoalan ini jalan ditempat bahkan mudur. Fenomena ini
senagkin parak bila kita telaah perilaku masyarakat yang sangat konsumtif dan
cara berpikir kapitalis. Tumbuhnya mall mall yang menyediakan sarana dalam
pelampiasan hawa napsu untuk memenuhi keinginan yang bukan merupakan
kebutuhan dalam memenuhi kehidupannya.
Belajar dari pengalaman Singapura, atau beberapa negara di belahan Eropa
pada tahap revolusi Industri yang telah meninggalkan persoalan perumahan
pada akhirnya dapat dituntaskan melalui pentahapan, yang mana tahap pertama
adalah membangun perumahan pada skala besar-besaran, dimana peran
pemerintah menjadi utama, setelah kebutuhan perumahan terpenuhi, berbagai
persoalan lanjutan yang ditimbulkan oleh dampak arsitektur bangunan, tahap
demi tahap diselesaikan, Perancis telah memenggal sebagian bangunan des
Grands Ensembles hamper mirip dengan program 1000 Tower saat ini, apa
yang terjadi kemudian bahwa bangunan-bangunan sebagian didemolis dan
diganti dengan yang lebih manusiawi, bahkan masa 1965 – 1975 kembali pada
rumah individual (maison individuelle).
Namun proses yang dialami oleh beberapa negara Eropa tersebut sebagai
sebuah proses dari era modernisasi akibat perkembangan industrialisasi yang
merambah pada arsitektur perumahan. Dampak penyediaan perumahan dengan
tingkat percepatan yang luarbiasa meninggalkan masalah sosial, seperti
vandalisme, kriminalitas dan pornografi yang terus menerus, Oscar Newman
menyebutnya sebagai koridor panjang tanpa makna, tanpa memperhatikan
ruang privat, dan memiliki bahasa yang polos.
Melihat pada perjalanan sejarah arsitektur perumahan di Eropa dan beberapa
negara maju lainnya seperti Singapura dan Jepang, bahwa proses tersebut
menjadi bagian dari proses pembangunan perumahan, yaitu tahap percepatan
peyediaan perumahan dengan menyediakan disain minimal, untuk selanjutnya
tahap pemulihan dari dampak percepatan pembangunan perumahan, melalui
remodeling, demolisi, atau pemenggalan bangunan.
[27]
Mungkin tahap percepatan yang dilakukan oleh bangsa ini belum optimal, atau
pertambahan penduduk yang melaju dengan pesat, keduanya ibarat telur dan
ayam, kita tidak dapat mempersalahkan yang satu dan memenangkan yang lain,
namun kewajiban arsitek adalah bagaimana mengawal proses percepatan
penyediaan perumahan agar dapat mengurangi resiko dampak percepatan
seperti yang telah dialami oleh beberapa negara Eropa misalnya. Langkah saat
ini, dapat kita lihat sedang dilakukan oleh negara Korea Selatan, yang sangat
pesat kebangkitan ekonominya yang dibarengi dengan percepatan
pembangunan perumahannya.

2.6. Penutup
Pembangunan lingkungan binaan termasuk perumahan dan rumah dirancang
untuk memudahkan manusia hidup dalam meningkatkan kualitas hidup serta
kehidupannya. Kebangkitan sebuah masyarakat ketika tahap kebutuhan
manusia pada hiraki terendah mulai dapat dipenuhi yaitu kebutuhan
phisiologis, yaitu sandang, pangan dan papan. Ketika kebutuhan phisiologis
telah terpenuhi maka tahap-tahap berikutnya dari kemandirian dan
kemampanan suatu masyarakat dapat terlampaui, suatu hal yang tidak mungkin
tanpa terpenuhinya kebutuhan phisiologis bangsa ini akan menjadi bangsa yang
maju dan sejahtera, untuk itu arsitektur perumahan memegang peran penting
dalam pembangunan karakter bangsa, karena arsitektur perumahan khususnya
rumah merupakan bagian dari kebutuhan phisiologis manusia. Bentukan
arsitektur yang mampu memenuhi tuntutan dari konsekuensi pembangunan
perumahan seperti uraian fakta di atas seperti kerusakan lingkungan,
ketimpangan supply dan demand, standar ruang minimal per jiwa, serta
kepuasan konsumen, dan tingkat konsumtifitas serta kapitalisasi perumahan
menjadi satu bagian tantangan disain perumahan dimasa mendatang.
Seperti pepatah di dalam raga yang sehat terdapat jiwa yang sehat, begitu pun,
dalam rumah yang sehat terdapat keluarga yang sehat, sehat dalam arti luas
jasmani maupun rohaninya. Demikian selanjutnya, bahwa standar kesehatan
tersebut dibutuhkan sampai tingkat universal, seperti uraian di atas, dimulai
dari rumah, lingkungan, kota, dan negara. Disain merupakan alat yang mampu
menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi permasalahan adalah
sejauhmana minat arsitek-arsitek profesional untuk masuk pada ranah
kemiskinan, disain bangunan sederhana dengan luas 36 m2, konsumen yang
memiliki daya beli yang amat sangat rendah. Pada titik ini pengabdian serta
tanggung jawab moral seorang arsitek untuk dapat berkontribusi dalam
penyelesaian persoalan.
Dunia arsitek kita saat ini lebih menantang pada pembangunan fasilitas
komersial, hotel, mall, pusat hiburan café-café, yang menggiurkan dari aspek
pembayaran, hal ini berdampak juga ketika arsitek terpaksa harus memasuki
[28]
dunia rumah murah, akhirnya yang terjadi adalah komersialisasi rumah, rumah
menjadi barang kapital dan komoditas ekonomi. Dengan demikian persoalan
arsitektur perumahan rakyat harus menjadi tangung-jawab pemerintah kembali,
pemerintah harus mampu menggerakkan arsitektur perumahan rakyat, karena
dunia arsitektur perumahan penuh dengan permasalahan sosial dan
kemanusiaan bukan permasalah bisnis yang mengedepankan keuntungan.

[29]
[3] Aspek Sosial Budaya
Dalam Arsitektur Perumahan

3.1. Latar Belakang


Berangkat dari pemahaman bahwa wujud arsitektur dipengaruhi oleh kondisi
sosial budaya pada masanya, kondisi sosial dipelajari dalam ilmu sosial atau
sosiologi. Pada studi tentang keterkaitan antara aspek-aspek sosial dengan
arsitektur didefinisikan sebagai sosiologi arsitektur, dari definisi Sosiologi
Arsitektur yang diutarakan oleh oleh Ronald Smith dan Valeria Bugni,
sebagaimana dinyatakan sebagai berikut “sociology in architecture is the
application of social theory and methodes to the architectural design procces”,
dengan demikian sosiologi dalam arsitektur dapat diartikan sebagai suatu
pendekatan disain yang memadukan antara ilmu pengetahuan tentang
humaniora dengan metoda dan proses disain arsitektur. Pemikiran mengenai
aspek-aspek sosial budaya dalam arsitektur dilatar belakangi berbagai
permasalahan sosial yang selalu hadir dari setiap periode. Karenanya,
bagaimana membangun paradigma dalam proses disain arsitektur, yang
membawa cara berpikir arsitek tidak hanya melihat karya arsitekturnya sebagai
sebuah karya seni yang kurang mempertimbangkan perilaku manusia sebagai
pengguna bangunan. Smith memandang bahwa manusia dalam bangunan sama
pentingnya dari bangunannya itu sendiri.
Aspek-aspek sosial dalam arsitektur digunakan sebagai landasan dalam proses
disain arsitektur yang diwujudkan di atas teori disain sosial. Bagaimana
menerapkan aspek-aspek sosial dalam suatu metoda penelitian disain perilaku
manusia dalam berinteraksi dalam bangunan, yaitu dapat dilakukan melalui
proses survai, wawancara, pengamatan lapangan, pengolahan data sekunder,
pengamatan literatur (teks book, internet, media lain). Dalam hal ini Bugni
seperti dikutip Beaman menjelaskan bagaimana mengamati manusia dalam
[30]
mengatur dirinya secara alami, hal ini dapat digunakan sebagai petujuk dalam
mengenali bagaimana interaksi sosial yang terjadi, khususnya ruang lingkup
dimana metode riset membantu seorang arsitek dalam penggunaan ruang oleh
manusia, antara lingkungan dan pengguna dalam pilihan-pilihan, serta evaluasi
pasca penggunaan.
Sosiologi sebagai sebuah ilmu dapat memberikan informasi dan petujuk
kepada arsitek seluruh tahapan-tahapan dari proses disain, termasuk pradisain,
pemrograman, disain, pembangunan dan pasca pembangunan. Petunjuk yang
diberikan oleh sosiologi dalam bentuk saling keterkaitan dan interaksi antara
manusia secara individu serta manusia secara kelompok yang dinyatakan
sebagai masyarakat berinteraksi dengan bangunan dan lingkungan sekitarnya.
Melalui sosiologi kita dapat melihat dampak-dampak potensi dalam bentuk
manfaat dari sebuah disain bangunan terhadap peningkatan kualitas hidup dan
kehidupan manusia. Akhirnya Smith seperti dikutip oleh Jean Beaman
mengatakan “I am convinced that sociology has a huge contribution to make to
a new way of thingking in architecture and that sociology will also further
expand upon some of its theories as a result of this work. As with all new
paradigms, architecture will not change easily. Nevertheless, architectural
sociology has a promising future.”
Aspek-aspek sosial budaya dalam arsitektur dapat ditelusuri melalui ilmu
sosial, yaitu sosiologi secara khusus sosiologi dalam arsitektur, agar dapat kita
kaitkan antara manusia dan bangunan, secara rinci dalam proses
pengamatannya telaah ini akan ditelusuri melalui pengamatan sosiologi dan
antropologi. Antara sosiologi dan antropologi, dapat dikatakan, hanya terdapat
perbedaan tipis antara kedua ilmu tersebut, sosiologi lebih mempelajari pada
pola kehidupan manusia, sedangkan antropologi pada asal usul manusia itu
sendiri, dan keduanya mempelajari karakteristik dari sifat manusia. Melihat
pada implikasi disain, kajian sosial lebih bersifat dinamis, sifat sosial manusia
senatiasa berubah dan perubahan tersebut tidak terlepas dari proses interaksi
antara manusia dengan lingkungannya, hal ini menuntut telaah ini diarahkan
pada telaah aspek sosial, melalui tema yang diajukan di atas bahwa sosiologi
arsitektur merupakan pendekatan baru dalam proses disain yang
menggabungkan teori-teori sosial ke dalam proses disain bangunan.
Sosiologi adalah sebuah ilmu yang membahas tentang kehidupan masyarakat,
yang untuk pertama kalinya ilmu sosiologi disampaikan oleh Auguste Comte
(1798 – 1853), walaupun bukan berarti ilmu-ilmu yang menyangkut sosial
belum ada sebelumnya, Comte lah yang untuk pertama kalinya menggunakan
kata sosiologi, yang berasal dari kata Yunani, yaitu “socius” yang berarti
kawan dan “logos” yang berarti ilmu, jadi sosiologi adalah ilmu yang
membahas tentang kemasyarakatan. Sebagaimana kita ketahui pada tingkat
epsitemologi bahwa dalam sebuah masyarakat terjadi proses interaksi, yaitu

[31]
antara individu-individu, individu-kelompok dalam masyarakat tersebut terjadi
proses interaksi yang saling memengaruhi. Syarat sebuah interaksi itu
berlangsung dengan baik dan benar bilamana terdapat persepsi yang sama
antara masyarakat yang berinteraksi tehadap sebuah objek yang menjadi fokus
interaksi.
Ketika, persepsi yang ditimbulkan dalam proses interaksi terjadi ketidak
seimbangan atau perbedaan, hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya
perdebatan, kelanjutan dari proses perdebatan tersebut, memungkinkan
berkembangnya sebuah ilmu pengetahuan. Bagaimana perbedaan persepsi
tersebut terjadi, ketika terjadi interaksi antara dua individu yang memiliki
pengalaman dan latar belakang yang berbeda. Selain itu sebuah subjek dalam
komunikasi terkadang bersifat ambigu, mungkin disebabkan oleh pesan yang
disampaikan kurang memberikan kejelasan, atau dimungkinkan oleh pesan
tersebut memang memiliki makna ganda atau lebih. Hal tersebut berpeluang
sangat besar terjadi pada proses interaksi antara objek arsitektural dan manusia.
Berdasarkan telaah yang disampaikan oleh Jean Beaman, maka pengaruh
sosiologi dalam arsitektur terjadi pada aspek interaksi antara bangunan dan
manusia. Aspek interaksi berada pada level setelah seorang perencana
menganalisis pola perilaku pengguna bangunan yang masuk dalam analisa
disain, hal ini berarti disain sangat dipengaruhi oleh kondisi manusianya,
berarti bahwa program fungsional merupakan proses analisa disain yang perlu
ditunjang oleh kajian sosial budaya. Jauh lebih dalam lagi bahwa dalam prinsip
ordering system dalam arsitektur bahwa arsitektur sangat dipengaruhi oleh
konteks tempat, pada konteks tempat ini unsur asal usul masyarakat serta
bentuk budaya masyarakat setempat sangat berpengaruh terhadap tatanan
arsitekturnya, maka pendapat Beaman yang lebih menekankan bahwa konteks
difokuskan pada aspek kemanusiaan dan menjadi pertimbangan utama sebuah
disain. Dengan demikian bahwa konteks tempat mengandung unsur geografis
dan humanis, dan unsur humanis meliputi aspek-aspek sosial, budaya,
ekonomi, politis, dan religius psikologis.
Aspek-aspek sosial budaya dengan demikian jelas memegang peran penting
dalam perwujudan arsitektur, bahwa arsitektur tidak mungkin terwujud tanpa
pertimbangan aspek kemanusiaan, sehingga tujuan akhir arsitektur tidak
semata-mata bentukan fisik semata, akan tetapi wadah dari kehidupan dan
penghidupan manusia, dimana manusia melakukan aktifitas kesehariaannya
dalam lingkungan arsitektur.
Untuk itulah konsep sustainability design dalam arsitektur dapat digunakan
dalam merancang hunian, karena dalam pendekatannya sustainability
dipengaruhi oleh tiga pilar. Ketiga pilar tersebut, adalah pembangunan
lingkungan binaan yang berkelanjutan, pembangunan ekonomi dan
pembangunan sosial. Demikian juga dalam konsep sustainability ini juga
[32]
menekankan bagaimana meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupan/penghidupan dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan untuk
generasi saat ini dan dapat dinikmati juga oleh generasi mendatang.
Namun demikian permasalah sosial di Indonesia sebagai negara berkembang,
pada saat ini menampakan semakin kompleks. Hal tersebut didorong oleh
pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, terlebih sejak era reformasi angka
kelahiran bertambah pesat karena program keluarga berencana yang tidak
dapat berjalan seperti biasanya, kondisi ledakan penduduk tersebut diperparah
dengan menurunnya ekonomi dan pendapatan masyarakat.
Akibat ledakan penduduk mendorong peningkatan konsumsi diberbagai sektor,
seperti kebutuhan perumahan, kebutuhan air bersih, kebutuhan energi serta
jumlah limbah semakin bertambah. Hal ini berkonsekuensi pada penurunan
kualitas sosial budaya masyarakat serta penurunan kualitas lingkungan hidup.
Penurunan kualitas dari dua unsur tadi pada kondisi tertentu dapat
menimbulkan kerusakan, keadaan tersebut tidak dikehendaki oleh sifat dari
arsitektur itu sendiri. Seharusnya arsitektur melalui bentukan lingkungan
binaannya mampu mengubah kualitas kehidupan dan penghidupan melalui
peningkatan sosial, ekonomi dan budaya serta lingkungan binaannya.
Berbagai permasalahan kota akibat ledakan penduduknya belum juga dapat
diselesaikan oleh berbagai program pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan, walaupun berbagai upaya yang diwujudkan dalam bentuk bantuan
langsung tunai, bantuan pembangunan infrastruktur melalui program P2KP,
juga bentuk-bentuk subsidi dan blockgrant belum memperlihatkan hasil yang
diharapkan.
Pembangunan perumahan subsidi baik yang landed house maupun rumah
bersusun, pada akhirnya bantuan-bantuan tersebut jatuh kepada kelompok
masyarakat di luar target sasaran. Akibatnya rumah hanya menjadi komoditas
investasi belaka, kelompok masyarakat yang sudah memiliki rumah sajalah
yang dapat mengakses perumahan tersebut sedangkan masyarakat
berpenghasilan rendah pada akhirnya semakin termarjinalkan. Sehingga
pencapaian target pemenuhan rumah bukan menjadi berkurang, justru malah
bertambah. Betapapun pembangunan perumahan semakin gencar. Sebagai
gambaran back log perumahan pada akhir tahun 2004 mencapai 5,8 juta dan
saat ini pada tahun 2008 angka tersebut sudah mencapai lebih dari 7,8 juta unit
rumah.
Persoalan sosial perkotaan di akhir tahun 2011 dan memasuki tahun 2012 akan
menjadi lebih berat dengan terjadi krisis global. Prosesnya bermula dari krisis
ekonomi negara di Eropa dan Amerika. Dampak awal mulai terasa pada
beberapa industri nasional yang mulai melakukan pemutusan hubungan kerja.

[33]
Kondisi sosial demikian akan sangat berdampak pada perwujudan arsitektur di
Indonesia, khususnya di dunia properti.

3.2. Pengertian Arsitektur dan Lingkungan Binaan


Arsitektur
Arsitektur merupakan sebuah produk karya buah tangan seorang arsitek.
Wujud arsitektur tidak terlepas dari bentuk, fungsi dan makna, yang
memberikan identitas sebuah tempat. Indentitas sebuah tempat yang
menjadikan karya arsitektural dapat dikenali perbedaannya dengan karya-karya
lain. Seperti kita perhatikan bahwa sebuah pesawat terbang yang indah
memiliki bentuk, fungsi, termasuk makna pada setiap komponen-
komponennya. Namun sebuah pesawat terbang tidak dapat dinyatakan sebagai
sebuah karya arsitektur. Arti arsitektur yang sebenarnya bukan seperti
ungkapan arsitektur pesawat, arsitektur sirkuit, arsitektur bentang alam, atau
penggunaan kata arsitektur yang menjadikan kehilangan makna katanya.
Sebagai contoh pesawat terbang yang tidak dapat dikategorikan sebagai wujud
arsitektur karena pesawat terbang tidak memberikan identitas tempat. Hal ini
menujukkan bahwa pesawat terbang dirancang untuk memenuhi kebutuhan
seluruh kelompok masyarakat apa pun, baik kelas, ras, asal-usul tidak menjadi
pertimbangan dalam sebuah proses disain, hal ini yang membedakan dengan
arsitektur bangunan. Dalam arsitektur bangunan kita tidak dapat melepaskan
aspek kemanusiaan, tidak akan sama arsitektur yang disediakan untuk
masyarakat Jogjakarta dengan masyarakat Eskimo, sehingga boleh dikritisasi
rumah dome yang dibangun di Klaten, apakah arsitektur dome telah
mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakatnya.
Aspek-aspek sosial budaya yang menjadikan sebuah disain menjadi disain
arsitektur, sehingga pada tahap ini dapat kita katakan bahwa arsitektur adalah
ilmu disain yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam proses
perancangannya, baik itu ilmu-ilmu sains maupun ilmu humaniora, yang
diselaraskan secara komprehensif dan holistik. Dengan demikian
dimungkinkan melalui ilmu arsitektur terjadi proses perkembangan ilmu sains
yang mencakup teknis dan teknologis dibidang konstruksi, bahan, utilisa serta
bentuk bangunan serta perkembangan ilmu humaniora seperti perubahan
unsur-unsur budaya, perubahan nilai-nilai kemasyarakatan yang
memungkinkan setiap manusia berubah akibat bentukan arsitekturnya. Hal ini
tidak menutup kemungkinan arsitektur dapat dipandang sebagai sumber ilmu
yang memengaruhi disiplin ilmu lain, seperti post modern memberikan
pencerahan pada ilmu sosial.
Arsitektur sebagai wujud budaya, menurut Mark Gelentar “Wujud arsitektur
merupakan hasil dari prinsip-prinsip bentuk yang tak lekang oleh waktu, dan
melebihi perancang tertentu, budaya, dan iklim. Wujud arsitektur juga dibentuk
[34]
oleh semangat zamannya”. Berkaitan dengan kesejarahan, sosok bangunan
yang sudah dikenal secara universal dan merupakan warisan masa lalu dan
selalu diapresiasi setiap masa. Setiap zaman memiliki semangat tertentu atau
sikap bersama, sampai batas-batas tertentu. Demikian juga dengan era per era
dalam kehidupan dunia ini, era industrialisasi juga telah meninggalkan
pengaruh pada perwujudan arsitektur yang sampai saat ini masih dapat dilihat
kejayaannya.
Pengaruh perubahan demi perubahan setiap masa sebagai satu sejarah saat ini
masih dapat dirasakan melalui peninggalan arsitektur. Khususnya bangunan
arsitektur pada setiap era selalu ada kedekatan antara penguasa dan arsitektur,
keinginan untuk meninggalkan monumen ada setiap era kekuasaan senantiasa
melibatkan seorang arsitek. Sebagai contoh era orde lama, Soekarno melalui
arsiteknya Silaban banyak membuat peninggalan yang merupakan monumen
zaman dan erat kaitannya dengan era orde lama.
Arsitektur peninggalan orde lama seperti proyek-proyek mercusuar Soekarno
dalam upaya menunjukkan power dan eksistensi Indonesia di mata dunia, telah
membangun Sarana Olah Raga di senayan serta Hotel Indonesia, dan bagunan-
bangunan lainnya, memperlihatkan bahwa wujud arsitektur digunakan sebagai
simbol dari modernitas dan kemajuan suatu bangsa.
Wujud arsitektur jauh menggemban sebuah amanat arsitektur, yaitu
memberikan peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupan penggunannya,
baik pengguna secara langsung maupun pengguna tidak langsung. Sebuah
wujud arsitektur dapat dinyatakan berhasil ketika penggunannya mengalami
perubahan kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Output arsitektur
mutlak adanya harus memberikan perbaikan fisik lingkungan binaan, dari tidak
ada menjadi ada, dari sudah ada menjadi keadaan yang lebih baik, sedangkan
out come dari arsitektur adalah terwujudnya kualitas manusia yang lebih baik
setelah terbentuknya lingkungan binaan tersebut. Target manusia dari
perwujudan arsitektur tersebut adalah manusia sebagai pengguna langsung
maupun manusia sebagai pengguna tidak langsung, bahkan tidak berhubungan.
Wujud arsitektur merupakan sebuah objek yang akan memberikan pengaruh
keberadaannya terhadap kehidupan dan penghidupan manusia, pengaruh yang
tumbuh pada tingkat psikologis tersebut menuntut suatu keadaan psikologis
dengan kondisi tertentu. Bagaimana mengkondisikan wujud arsitektur ini,
maka peran kualitas masa dan ruang memegang peran utama. Pembentukkan
kualitas masa dan ruang dalam arsitektur sangat dipengaruhi oleh pengolahan
dan memodifikasi elemen-elemen dasar arsitektur.
Seperti disampaikan oleh Simon Unwin bahwa modifikasi elemen-elemen
arsitektur sangat ditentukan oleh unsur cahaya. Setelah melalui penelaah faktor
penentu kualitas arsitektural melalui modifikasi elemen-elemen dasarnya, maka

[35]
unsur cahaya memegang peran pada pembentukan unsur-unsur pemodifikasi
elemen arsitektur berikutnya, seperti dapat diterangkan sebagai berikut; bahwa
unsur cahaya merupakan sumber dari unsur modifikasi warna. Menurut teori
spektrum cahaya, bahwa cahaya putih terdiri dari beberapa unsur warna, dan
sebuah warna disampaikan oleh cahaya melalui kemampuan sebuah bahan
untuk memantulkan warna-warna tertentu. Sifat dari bahan bangunan misalnya,
hanya memiliki kemampuan memantulkan warna tertentu, jadi unsur warna
bukan dimiliki oleh bahan tersebut. Demikian juga unsur selanjutnya yaitu
unsur panas, panas merupakan sifat dari cahaya, dan akibat panas dapat
menimbulkan perbedaan suhu dan perbedaan suhu udara dapat menciptakan
perbedaan tekanan, akibat perbedaan tekanan udara maka terjadi aliran udara.
Pada awalnya manusia akan memberikan pengaruh terhadap bangunan dan
untuk selanjutnya pada saat penghunian manusia akan dipengaruhi oleh
bangunan, demikian Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pernah
mengatakannya. Pada tahap perencanaan bahwa bangunan tersebut melalui
proses disain akan mempertimbangkan pola perilaku manusia pengguna
bangunan tersebut. Sejalan dengan pendapat dari Jean Beaman dan beberapa
pandangan sosiolog, maka seorang arsitek harus memiliki kemampuan
eksplorasi ilmu-ilmu humaniora, baik sosiologi sebagai sebuah ilmu sosial,
yang mempelajari perilaku manusia, dan tentunya kemampuan dalam ekplorasi
ilmu sosial tersebut hanya sebagai bahan pertimbangan dalam disain bangunan.
Pada level ini seorang arsitek tentunya dapat melakukan disain sosial yang
diwujudkan dalam disain bangunan dan lingkungan binaan.

Lingkungan Binaan
Keberlanjutan suatu kehidupan manusia sangat tergantung dari bagaimana
manusia mengelola lingkungan hidupnya secara bijak demi kesejahteraan
generasi saat ini maupun generasai masa mendatang. Pengelolaan lingkungan
hidup meliputi lingkungan alami dan lingkungan binaan, kondisi lingkungan
saat ini semakin kritis, ditandai dengan krisis air bersih, tanah, udara, iklim dan
juga lingkungan biologis serta lingkungan sosial. Kritisnya lingkungan
bilologis tampak pada fenomena dimana kian banyak lahan tanah yang tidak
produktif. Bahkan beberapa daya dukung kawasan sudah tidak mampu lagi
mendukung kehidupan mahluk hidup, yang tinggal pada lingkungannya.
Beberapa kawasan kota untuk mendukung kebutuhan hidup masyarakatnya
harus didukung dari wilayah lain. Sebagai gambaran kebutuhan air bersih kota
Bandung maupun kota-kota besar lainnya harus didatangkan dari luar
daerahnya, demikian juga dengan energi serta sampah rumah tangga, sampah
udara seluruhnya tidak mampu diproses oleh wilayahnya sehingga harus
dibuang ke wilayah lain.

[36]
Kondisi masyarakat yang selalu menggantungkan kehidupannya pada
ketersediaan sumber daya alam, pada saat ini sudah tidak dapat dipertahankan
lagi, namun sudah saatnya manusia melakukan pengelolaan terhadap sumber
daya alam, agar ketersediaan sumber daya alam tersebut senantiasa dapat
menjamin keberlangsungan hidup masyarakat secara berkesinambungan.
Beruntung bahwa negeri ini memiliki sumber daya alam yang berlimpah
dibandingkan negeri tetangga, Singapura. Yang notabene untuk memenuhi
kebutuhan air bersih, energi, dan kebutuhan hidup lainnya harus didatangkan
dari luar, termasuk dari Batam dan Johor Malaysia. Walau demikian, negeri
itu ternyata mampu memberikan kemakmuran kepada masyarakatnya. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan seluruh unsur bangsa, yaitu pemerintah, swasta
serta masyaratanya tertib, disiplin, dan piawai dalam mengelola keterbatasan
sumber daya. Berbanding terbalik dengan kondisi kita, yang berlimpah sumber
daya alam, akan tetapi justru kemakmuran secara merata masih jauh dari
jangkauan. Ironisnya, kita belum menyadari bahwa sumber daya alam semakin
hari semakin menipis.
Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan lingkungan sosial manusia Indonesia
dapat dikatakan terlambat, bila kita melihat sejarah hubungan manusia dengan
lingkungan menurut Antonio Maroni, yang disadur oleh Dwi Susilo dalam
Sosiologi Lingkungan. Diungkapkan, bahwa episode hubungan manusia dan
lingkungan, terdiri dari tiga tahapan besar. Yakni tahapan keseimbangan alam,
masa ketidak seimbangan alam, dan masa sekarang.
Masa keseimbangan alam yaitu dimana manusia masih menyandarkan
kehidupannya kepada alam, tidak terdapat proses pengolahan maupun
pengelolaan, yang ada adalah proses pemanenan. Manusia mengambil hasil
dari alam tanpa harus menanam, hal ini dimungkinkan terjadi, karena sumber
daya alam masih mampu memberikan pemenuhan kebutuhan manusia untuk
hidup. Sehingga ketergantungan manusia terhadap alam pada periode ini
masih besar.
Masa ketidak seimbangan dimulai ketika terjadi perubahan lingkungan fisik
dan tata cara hidup manusia, dua perubahan besar dari kehidupan manusia ini
ditentukan oleh Revolusi Neolitikum dan Revolusi Industri. Revolusi
Neolitikum terjadi ketika perubahan suhu lingkungan yang mengakibatkan
sebagian binatang berpindah menuju daerah yang lebih dingin, dan manusia
mulai menyadari bahwa mereka berbeda dan terpisah dengan alam. Manusia
mulai merasakan perlu melakukan budi daya dan tidak lagi hanya mencari,
manusia mulai bercocok tanam, manusia mulai mengembangkan pertukangan,
saat inilah mulai terbentuk lingkungan binaan dan peradaban-peradaban baru
yang lebih maju.
Selanjutnya Revolusi Industri telah memberikan perubahan lingkungan. Era
revolusi industri telah mendorong migrasi besar-besaran dari desa ke kota,
[37]
sehingga mendorong pertumbuhan kota-kota sangat pesat. Melalui migrasi,
kota-kota tumbuh menjadi kota dengan masyarakat yang multikultural.
Sehingga memberikan wujud budaya baru dalam masyarakat perkotaan. Proses
akulturasi yang terjadi pada masyarakat perkotaan sangat berkembang pesat
pada masa industri berkembang, yang menjanjikan lapangan pekerjaan baru
yang lebih menarik masyarakat perdesaan. Pergeseran dimana banyak
masyarakat yang tertarik dengan kehidupan kota. Bahkan sudah diprediksikan
pada tahun 2025, 60% penduduk dunia tinggal di perkotaan.
Kota menjadi simbol kemajuan ekonomi yang banyak menawarkan harapan
dan kemajuan, rata-rata kehidupan di kota lebih baik dari di desa. Bahwa
seorang pemulung di kota dapat memiliki penghasilan lebih baik dari seorang
petani di desa. Hal ini merupakan faktor penarik urbanisasi masyarakat desa ke
kota. Urbanisasi yang terjadi datang dari berbagai desa dengan tipe budaya
yang berbeda, seperti kota Jakarta, kita akan sangat sulit untuk menemukan
penduduk Betawi di Jakarta, tapi kita akan menemukan berbagai suku yang ada
di Indonesia, setiap suku yang masuk ke Jakarta umumnya saling berinteraksi,
akibat proses interaksi tersebut membuat satu dengan yang lainnya untuk saling
beradaptasi, hasil dari adaptasi tersebut menghasilkan wujud budaya baru,
yaitu yang dikenal sebagai proses akulturasi dan asimilasi.
Pada tahap awal akulturasi terjadi didorong oleh proses migrasi, dari satu
negara ke negara lain atau dari satu kota ke kota lain atau dari desa ke kota.
Perpindahan antara penduduk tersebut telah mengakibatkan pertemuan dua
atau lebih unsur budaya, sebagaimana sifat manusia yang memiliki
kemampuan untuk beradaptasi, pertemuan dua unsur budaya tersebut
mendorong terbentuknya budaya-budaya baru sebagai wujud perpaduan.
Pergerakan penduduk pada tahap ini umumnya dimulai oleh kegiatan
perdagangan atau ekonomi, dimana seperti fenomena perpindahan dari desa ke
kota tadi dipicu oleh proses industrialisasi yang menawarkan kehidupan kota
yang labih baik. Selain itu perdagangan antar negara juga telah menciptakan
proses akulturasi bagaimana bangsa arab berdangan ke Indonesia, telah
melahirkan budaya perpaduan antara bangsa arab dengan masyarakat
Indonesia, demikian juga kolonilaisme diawali oleh kepentingan ekonomi,
kolonilaisme Belanda di Indonesia, atau bahkan Kolonilaisme yang dilakukan
oleh bangsa Romawi telah melahirkan perwujudan-perwujudan budaya baru di
berbagai belahan bumi ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa proses akulturasi tidak menghilangkan unsur-
unsur kebudayaan yang dipengaruhi. Maka proses perpaduan budaya di
perkotaan cukup membantu dalam hal penyesuaian diri dan sebagai pengikat
antar beberapa budaya yang bertemu dalam satu wilayah atau ruang. Selain
akulturasi pertemuan dua atau lebih budaya di perkotaan juga mengakibatkan
asimilasi budaya, yaitu suatu proses pencampuran budaya yang menghasilkan

[38]
kebudayaan baru, asimilasi tersebut terjadi manakala terjadi proses toleransi
dan tidak ada pemikiran bahwa satu budaya lebih tinggi dari budaya lalinnya.
Era saat ini yaitu era perkembangan teknologi informasi ditandai dengan
pesatnya penemuan dibidang informasi. Sebagaimana penemuan-penemuan
mesin cetak dan mesin sebagai pengganti peralatan dalam membantu
kehidupan manusia, yang ditandai dengan sebuah revolusi Guthenberg dan
Revolusi Industri, telah mendorong perubahan peradaban dunia. Saat ini
dengan perkembangan teknologi informasi, menuntut kehidupan yang serba
cepat dan efisien. Melalui perkembangan teknologi informasi telah
memungkinkan suatu peristiwa yang terjadi di belahan bumi ini dapat dengan
cepat diketahui oleh masyarakat di belahan bumi lain, dalam waktu yang
sangat singkat.
Kuatnya informasi dapat memengaruhi belahan dunia lainnya dapat juga
menjadi pendorong akulturasi dan asimilasi budaya, tanpa harus berhubungan
dan berinteraksi secara langsung, akan tetapi melalui sarana informasi proses
akulturasi dan asimilasi dapat berlangsung. Sehingga era kini suatu kelompok
yang menguasai informasi dan data akan menjadi kelompok yang kuat,
sehingga tidak salah bila persaingan dan perang informasi saat ini terjadi
diberbagai belahan bumi, antara barat dan timur kita sering mendengar
persaingan antara stasiun TV CNN dan Al Jazerra, merupakan cerminan
benturan budaya, untuk menguasai pengaruh dan pandangan publik dunia.
Bahkan negara-negara komunis yang selama ini harus menutup diri, sangat
sulit untuk membendung informasi tersebut. Sebut saja Korea Utara, terpaksa
harus memprotek perkembangan teknologi informasi di negaranya untuk
menjaga pengaruh barat melalui informasi. Dan hal ini telah mendorong
tertinggalnya sebagian besar masyarakat di Korea Utara terhadap kemampuan
mengakses informasi.
Melalui informasi perubahan gaya hidup sangat dipengaruhi oleh informasi
yang disampaikan melalui media informasi. Dan kita mesti mengakui bahwa
penguasaan informasi di Indonesia belum sebaik penguasaan informasi yang
datang dari negara-negara barat. Walaupun informasi negeri kita ini jauh lebih
baik dibandingkan negara Timor Leste, akibat lebih baiknya penguasaan
informasi terhadap negeri tersebut memungkinkan budaya Indonesia menjadi
patokan bagi masyarakat Timor Leste. Bahkan pada pemilihan Presiden Timor
Leste, budaya Dang Dut menjadi alat untuk melakukan kampanye politik,
begitu juga dengan gaya hidup masyarakat Indonesia masih digunakan sebagai
patokan bagi masyarakat Timor Leste dan bahkan ditiru. Demikian juga
dengan keberadaan bahasa Indonesia sangat sulit untuk dihilangkan di bumi
Lorosae tersebut, akibat arus informasi melalui media TV yang masuk ke
negara tersebut.

[39]
Namun yang masih disayangkan, bahwa informasi kita juga masih dikuasai
oleh barat, sehingga ada tekanan terhadap nilai-nilai budaya masyarakat
Indonesia. Pola hidup sebagian besar masyarakat Indonesia telah terpengaruh
oleh pola hidup barat tanpa upaya penyaringan, pola kehidupan tersebut juga
tercermin dalam dinamika arsitektur Indonesia. Gaya arsitektur minimalis
merupakan hasil dari perkembangan teknologi informasi.Melalui mass media
yang dibantu oleh soft ware, karya arsitektur dapat ditampilkan dengan sangat
menarik. Yaitu lewat visualisasi tiga dimensi (3D), yang diperoleh dengan
permainan komputer yang didukung oleh software-software canggih dalam
permainan image. Hasilnya mampu memengaruhi konsumen arsitektur
Indonesia, tanpa dan belum teruji oleh kondisi iklim dan konteks tempat, yang
merupakan syarat penting dalam arsitektur.
Wujud arsitektur sangat tergantung dengan tempat, selain fungsi, bentuk dan
makna, hal inilah yang membedakan antara wujud arsitektur dengan wujud
lainnya, seperti pesawat terbang, mobil, dsb, objek seperti pesawat terbang
serta mobil juga memiliki fungsi, bentuk dan makna akan tetapi dibuat tanpa
mempertimbangkan konteks tempat. Fenomena perubahan global tersebut
sangat sulit dikejar oleh Indonesia, tekanan yang kuat membuat sebagian besar
masyarakat ini dikuasai dan tunduk pada informasi yang diterima karena
kekuatannya. Hal ini sangat mengancam budaya dan karakter bangsa ini.
Sehingga bangsa ini menjadi berbudaya barat dan budaya timur semakin hari
semakin redup ditelan cahaya budaya barat.
Pada kasus arsitektur minimalis tadi, pengguna arsitektur terpengaruh oleh
media tanpa teruji oleh alam dan tempat. Lalu sesudah arsitektur minimalis
tersebut berkembang dengan pesat dengan dibangun di mana-mana, barulah
pengguna dapat merasakan bahwa arsitektur minimalisnya menjadi beban bagi
pemilik, karena bangunan tersebut memerlukan energi yang lebih banyak.
Seperti memerlukan biaya perawatan dan operasional yang lebih besar, karena
pertimbangan terhadap iklim sangat rendah. Dinding yang cepat berlumut, cat
yang cepat pudar, cahaya matahari yang berlebihan masuk kedalam ruangan,
udara dalam ruang dalam yang lebih panas, karena dindingnya tidak dilindungi
oleh teritisan, dan berbagai permasalahan tersebut muncul. Namun lagi-lagi
bahwa informasi tersebut tidak sampai kepada masyarakat umum, karena
sejumlah pengembang belum memiliki alternatif style yang dapat dijual. Bila
kita telusuri arsitektur minimalis sangat kental dengan keterbatasan dan
kemampuan dari software dalam penggambaran melalui komputerisasi.
Apakah kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam dan
kemiskinan yang semakin menjadi tersebut merupakan sebuah ekspresi dari
ketidak berdayaan kita dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam?
Bahwa lingkungan binaan yang kita bangun masih sejauh mengubah fisik, dan
tidak mampu memulihkan kondisi kelestarian lingkungan alam, yang terus

[40]
menipis akibat konsumsi manusia terhadap sumber daya alam tersebut.
Akibatnya pembangunan yang berkesinambungan masih sejauh di atas konsep
dan lisan saja, namun implementasinya masih sangat jauh dari harapan.
Sustainabillity dalam arsitektur dan lingkungan binaan, dapat dirumuskan
dalam beberapa aspek. Yaitu meliputi aspek keruangan dan aspek sumber daya.
Dalam konteks aspek sumber daya, arsitektur dipandang sebagai sebuah wujud
fisik dari suatu proses perencanaan, perancangan, pembangunan dan
pemanfaatan. Dalam proses pembangunan arsitektur tidak terlepas dari
penggunaan sumber daya alam yang digunakan dalam bentuk bahan bangunan.
Penggunaan/konsumsi bahan bangunan tersebut dipenuhi melalui bahan-bahan
yang bersumber dari galian C dan bahan tegakkan. Bahan galian C berupa
pasir, batu, baja, semen dsb. Sedangkan bahan tegakan adalah jenis
kayu/bambu. Setiap bahan bangunan yang digunakan dalam proses
pembangunan berimplikasi pada energi dan emisi. Energi dan emisi yang
dikeluarkan oleh setiap bahan bangunan tersebut berkonsekuensi terhadap
kerusakan lingkungan, ketika eksploitasi sumber daya alam melebih
kemampuan alam untuk mengembalikan pada kondisi awal.
Dari sudut keruangan, manusia dengan kehidupan di luar manusia senantiasa
terjadi perebutan ruang. Fenomena banjir merupakan sebuah gejala konflik
ruang antara manusia dengan air. Pertumbuhan penduduk dunia saat ini telah
memicu peningkatan kebutuhan ruang (lahan) untuk memenuhi kehidupan dan
penghidupannya. Dalam pemenuhan kebutuhan ruangnya manusia sangat
mendahulukan kepentingan dirinya, manusia selalu mengungkapkan
aspirasinya dalam hak asasi manusia dalam kehidupan, dan manusia tidak
pernah memperhatikan hak asasi mahluk hidup lain atau komponen kehidupan
lainnya, seperti hak asasi air, hak asasi tanaman/hutan, dan sebagainya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia selalu tumbuh dan berkembang
sedangkan tanah, udara dan air tetap. Pertumbuhan manusia telah mendorong
pertumbuhan kebutuhan akan ruang untuk memenuhi kehidupan dan
penghidupannya. Telah mengambil alih hak kebutuhan ruang dan tempat bagi
unsur-unsur alam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa air dan udara juga
membutuhkan ruang. Ruang air sebagaimana disampaikan diatur dalam
Undang-undang Sumber Daya Air, namun akibat kuatnya tekanan materialistik
dari manusia, maka kebutuhan ruang unsur alam lainnya, seperti air terabaikan
oleh tekanan kebutuhan manusia, bahkan manusia kurang menyadari berbagai
bencana yang timbul tidak terlepas dari perilakunya.
Sebagai contoh, peristiwa banjir di kawasan perumahan di sekitar kota
Bandung Selatan, sering terjadi, hal ini disebabkan oleh konflik ruang antara
air dan manusia. Bahwa pada era sebelum 1980-an kawasan tersebut
merupakan tempat yang telah direncanakan sebagai kawasan persawahan
dengan sistem irigasi yang baik. Namun pada akhir dekade 1980-an, bisnis
[41]
properti telah merambah kawasan tersebut, sistem irigasi yang berfungsi untuk
mengairi sawah diubah menjadi sistem drainase yang berfungsi untuk
mengalirkan air hujan ke sungai sampai dengan ke laut. Bahwa rekayasa irigasi
untuk mengairi dan drainase untuk membuang air adalah suatu sistem keairan
yang sangat bertolak belakang. Tentunya tidak mudah untuk mengubah
perilaku tersebut, belum lagi sifat air yang selalu mengalir ke daerah yang lebih
rendah. Perubahan sistem keairan tersebut memerlukan biaya yang sangat
besar, dan itu tidak dilakukan oleh pengembang. Jadi wajar bila perumahan
selalu banjir pada musim hujan, karena memang daerah yang dikembangkan
untuk perumahan tersebut pada awalnya direncanakan untuk dialiri oleh air.
Dengan demikian konsep keberlanjutan lingkungan hidup tidak hanya milik
manusia saja akan tetapi miliki seluruh kehidupan. Sebagaimana komponen
lingkungan hidup di atas, yang membutuhkan ruang tidak hanya manusia, akan
tetapi air, tanaman, termasuk mahluk hidup lainnya. Sehingga peran seorang
arsitek adalah bagaimana menata ruang yang mampu menampung sistem
kehidupan baik untuk manusia maupun untuk komponen kehidupan lainnya
dan hidup dalam satu ruang yang harmonis. Barangkali bila kita meneleaah
kembali bagaimana kearifan lokal suatu masyarakat tradisional yang hidup di
sungai Barito. Pada awalnya keharmonisan hidup berdampingan dengan air
tercipta dimana masyarakat membangun rumahnya tidak dengan melakukan
penutupan daerah air, melainkan dengan membuat rumah perahu agar
rumahnya dapat mengikuti keiinginan dan perilaku air. Namun akibat terus
semakin bertambahnya jumlah penduduk, keharmonisan tersebut lambat laun
semakin pudar. Air sungai-sungai akhirnya mulai tercemar oleh residu
deterjen dan bahan-bahan kimia lainnya, akibat perubahan perilaku manusia
yang tidak sedikitpun mau mempertimbangkan kondisi air sungai tersebut.
Padahal sebagian masyarakat menggantungkan kehidupan dan penghidupan
kepada sungai tersebut, karena keberadaan sungai tersebut mulai terganggu,
maka kontribusi sungai untuk memberikan kehidupan dan penghidupan bagi
manusia juga terganggu.
Proses interaksi manusia dengan lingkungan khusus nampak semakin
memudar, kearifan lokal yang telah diturunkan oleh nenek moyang sedikit
demi sedikit terkikis oleh sistem kehidupan kapitalis dan materialis. Perubahan
perilaku dalam masyarakat tersebut saat ini cenderung belum mampu ditangani
oleh sistem perencanaan kota secara konvensional, bahkan perumahan liar
semakin hari semakin banyak. Serta pembangunan yang berwawasan
lingkungan masih hanya sekedar wacana dalam level konsep belum
teraplikasikan dalam rancangan dan masuk dalam tingkat filosofis kahidupan
masyarakat.

[42]
3.3. Tinjauan Sejarah Teori Sosial dan implikasinya terhadap
Arsitektur
Dari Purba sampai Prasejarah
Peradaban pertama kali dibangunan zaman Nabi Adam a.s, yaitu ketika beliau
dan Hawa memiliki sejumlah keturunan yang dilahirkan berpasangan yaitu
wanita dan laki-laki. Aturan pertama yang dibuat saat itu, dan merupakan
pengaturan pertama kali di muka bumi ini, adalah bahwa Adam membuat
peraturan perkawinan dimana saudara pasangan kembar tidak boleh dinikahi
oleh saudara pasangan kembarnya. Untuk pertama kalinya juga bahwa
peraturan ini dilanggar oleh anaknya, yaitu oleh Qabil anak pertamannya,
karena dia tidak bersedia dinikahkan dengan pasangan dari Habil, yang tidak
secantik saudara kembarannya, pembangkangan tersebut berakhir pada
pertikaian pertama dan terjadi pembunuhan pertama kali di muka bumi ini.
Dari sejak pertama peradaban di muka bumi ini, bahwa aturan itu menjadi
sangat penting dan juga penting untuk senantiasa dipatuhi agar tercipta
kedamaian. Peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh manusia mulai
membentuk pengaturan yang semakin hari semakin kompleks, bahkan setelah
kematian Habil ditangan Qabil, proses penguburan jenazah masih digunakan
oleh manusia sampai saat ini. Bagaimana dengan bangunan, tentunya sama
bahwa bangunan yang tercipta dalam berbagai perwujudan bentuk saat ini
merupakan hasil dari buah pikiran manusia, dan hal ini yang membedakan
manusia dengan mahluk hidup lainnya, dimana manusia oleh Tuhan diberikan
kelebihan dibandingkan dengan mahluk lainnya yaitu diberi akal selain insting.
Dibandingkan dengan instingnya, dalam diri manusia, akalnyalah yang
berkembang. Sementara pada hewan, fungsi insting lebih berkembang.
Karenanya, wujud arsitektur tempat tinggal manusia mengalami
perkembangan, sedangkan wujud arsitektur bangunan binatang dari sejak
penciptaan sampai dengan saat ini tetap. Kita lihat saja bahwa sarang tawon
dari sejak penciptaannya sampai saat ini bahkan sampai akhir zaman pasti tetap
sama masing-masing sel sarang akan berbentuk segi enam. Simak juga sarang
laba-laba selalu akan memiliki bentuk, bahan konstruksi dan bangunannya
tidak pernah mengalami perubahan.
Berbeda dengan arsitektur manusia dari waktu ke waktu selalu mengalami
perubahan. Mulai dari zaman pra sejarah, zaman sejarah, yang dimulai dari
Yunani dan Romawi kuno, zaman Romawi, abad pertengahan, reinaissance,
dan modern bangunan arsitektur selalu mengalami perubahan baik secara linier
maupun secara revolusioner. Proses perkembangan arsitektur juga tidak
terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran yang berkembang sejak
zaman pra sejarah yang tidak tertulis sampai dengan peninggalan yang tertulis
mulai dari Socrates, Plato, Aristoteles, sampai dengan pemikir-pemikir masa
kini seperti Henri Bergson dan banyak lagi.
[43]
Seluruh pemikiran tersebut telah juga membawa pengaruhnya pada peradaban
manusia yang secara berangsur memengaruhi perwujudan arsitektur seperti
disampaikan oleh teori bentuk dari Mark Gelenter, bahwa wujud arsitektur
dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya pada zamannya. Dengan demikian
objek utama wujud arsitektur adalah fungsi yang dipengaruhi oleh kondisi
sosial-budaya dan ekonomi yang berlaku pada masa-nya. Fenomena tersebut
sebagai cerminan dari sebuah semangat yang berlaku pada zaman-nya. Bila
menelaah lebih dalam, maka kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berlaku
merupakan unsur utama dalam pembentukan wujud arsitektur. Demikian juga
suatu fungsi ditentukan oleh kondisi sosial-budaya dan ekonomi, artinya bahwa
fungsi sebagai wadah dari sebuah atau beberapa aktifitas manusia tidak terlepas
dari kondisi sosial-budaya dan ekonomi manusianya.
Kondisi sosial-budaya merupakan cerminan pola pikir yang memengaruhi cara
hidup seseorang, atau sebuah masyarakat, dan menjadikan kebiasaan-kebiasaan
yang mentradisi pada individu atau masyarakat. Pada kondisi sosial budaya
tertentu, akan terbentuk aktifitas tertentu pula, pada kelompok masyarakatnya.
Sebagai contoh pada masyarakat suku Batak, yang memiliki tingkat
kekerabatan yang cukup erat dan memiliki jumlah keluarga yang relatif besar.
Mereka senantiasa kerap melakukan aktivitas pertemuan dan kumpul keluarga.
Sistem kekerabatan tersebut merupakan cerminan sistem sosial sebuah suku
yang ada di Indonesia. Selanjutnya sistem sosial tersebut diwujudkan dalam
fungsi ruang kumpul keluarga, sehingga dalam perwujudan arsitekturnya
terlihat, bahwa pada umumnya rumah masyarakat Batak memiliki ruang tamu
dan ruang keluarga yang menyatu. Dengan ukuran yang cukup luas untuk
menampung pertemuan keluarga besarnya.
Dari Karl Mark sampai Posmodernism
Rasionalisme yang diusung oleh Rene Descrates seorang filsuf abad modern
(1595 – 1650) adalah aliran filsafat yang sangat mementingkan rasio, dimana
dalam rasio terdapat ide-ide yang memungkinkan ilmu pengetahuan itu
berkembang, dalam hal ini Descrates menyampai dua masalah utama yaitu:
masalah substansi dan masalah hubungan antara jiwa dan tubuh. Dia
merupakan filsuf yang mengkritisi filsafat abad pertengahan yang didominasi
oleh sinkretasi antara akal dan wahyu, antara rasio dan agama, yang
menguatkan unsur dogmatis.
Penentangan abad pertengahan yang telah membawa Copernicus mengakhiri
hidupnya di tiang gantungan akibat pernyataanya bahwa bumi ini bukan
sebagai pusat alam semesta dan Bumi itu berputar mengelilingi Matahari,
pernyataanya telah mengganggu dogma agama, sehingga dikawatirkan akan
menyesatkan kaum muda. Hal ini juga terjadi pada Gelileo Galilei yang harus
menderita di tahanan akibat mendukung pemikiran dari Copernicus. Pada abad
pertengahan ini Eropa dikuasai oleh kaum negarawan dan kaum Agamawan.
[44]
Pemikiran Descrates sebenarnya berkiblat pada Copernicus dan Gelileo tentang
perputaran bumi yang bukunya tidak diterbitkan demi menjaga kewibawaan
agama dengan judul Le Monde, selanjutnya dia terkenal dengan dalilnya
Cogito ergo sum yang artinya saya menyadari bahwa saya sangsikan,
kesangsian langsung menyatakan saya ada. Pemikiran era pencerahan
(reinaissance) yang dipelopori oleh Descrates, Immanuel Kant, John Locke,
Voltaire, dsb telah membawa pada peradaban dunia agar tidak saja menerima
begitu saja kebenaran tersebut sebelum kebenaran itu dapat dibuktikan. Hal ini
merupakan titik balik pemikiran abad pertengahan kembali pada kejayaan
Yunani dan Romawi Kuno, berpikir, rasional, atau pikiran menjadi identitas
kesadaran akan eksistensi manusia.
Hal ini sejalan dengan beberapa ayat dalam kitab suci seperti “Dan Dia
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berpikir (QS : Al Jaatsiyah 45 : 13)”. Pemikiran-pemikiran para filsuf
Islam pada abad VII telah masuk ke Eropa melalui Al Andalus (Spanyol),
rasionalitas para pemikiran tersebut telah melahirkan al Kindi, al Farabi, Ibnu
Siena di bidang kedokteran, atau pemikiran Islam lain sebelum Descrates yaitu
Al Ghazali yang mengedepankan rasionalitas tanpa mengabaikan unsur
keberadaan Tuhan.
Rasionalisme merupakan paham yang mengatakan bahwa sumber dari segala
kebenaran adalah pikiran manusia, dimana rasio menjadi acuan dalam
kebenaran, rasionalismen telah memberikan pencerahan kembali dari abad
pertengahan, dan meninggalkan norma-norma yang membelenggu dalam
bentuk dogma dan manusia mulai mencari nilai-nilai baru, sehingga dalam
waktu singkat pengetahuan yang besifat rasional berkembang pesat dengan
metoda positivistik.
Perkembangan pesat kota-kota di Eropa terjadi pada masa abad pertengahan
sedangkan kota-kota yang saat ini sebagai negara berkembang pada saat itu
masih dalam kolonilaisme, yang selanjutnya negara-negara berkembang
tersebut mengadopsi teknologi pada abad XX. Perkembangan industrialisasi
telah mendorong perkembangan penduduk di perkotaan, dimana sejumlah
tenaga kerja diperlukan dalam jumlah besar, hal ini telah mendorong arus
urbanisasi.
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat pesat pada era tersebut tidak
dapat diimbangi dengan penyediaan perumahan dan infrastruktur yang layak,
sehingga penduduk perkotaan semakin padat dan tidak diimbangi dengan
penyediaan infrastruktur yang memadai sehingga menimbulkan persoalan baru,
yaitu tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh, pertumbuhan kawasan perkotaan
tersebut tidak dapat terelakkan. Hal itu disebabkan oleh pertumbuhan industri
[45]
yang sangat pesat, hingga pada akhirnya kota-kota industri mengalami surplus
kapital, surplus teknologi, sumber daya dan pemasaran. Akibat berbagai
surplus tersebut, merupakan tahap awal terbentuknya kota-kota global (Global
City), seperti New York, Tokyo, Paris, London.
Terbentuknya kota-kota global tersebut telah memengaruhi wujud arsitektur,
yang tidak lagi menekankan pada elemen-elemen estetika, akan tetapi aspek
fungsional yang menjadi penekanan, sehingga banyak wujud arsitektur akibat
perkembangan kota-kota global ini menjadi kehilangan identitas dan jati diri.
Wujud arsitekur pun turut menggelobal, pada periode ini telah melahirkan
arsitektur modern yang sangat fungsional.
Demikian hal nya dengan arsitektur perumahan, bangunan-bangunan
perumahan dibangun secara masal dengan tujuan mengejar target merumahkan
masyarakat urban yang bekerja di sektor industri, dan sebagian besar adalah
kaum buruh. Pembangunan rumah besar-besaran tersebut tidak lagi
mempertimbangkan aspek sosial dan budaya, akan tetapi rumah menjadi
sangat fungsional, tempat untuk tinggal dan tidur, sedangkan kebutuhan
manusia sebagai mahluk sosial mulai terabaikan.
Keadaan perumahan pada periode ini dibangun dalam bentuk blok-blok sangat
besar dengan tingkat kepadatan yang sangat tinggi, sebut saja konsep
perumahan di Perancis yang diusung oleh Le Corbusier dengan Grande
Ensemble, yang pada akhirnya, ketika memasuki era akhir tahun 60-an dan
awal 70-an telah menimbulkan persoalan sosial yang tidak dapat dielakkan,
munculnya kriminalitas, vandalisme, dsb pada bangunan tersebut.
Target-target pembangunan perumahan di negara-negara industri pada periode
awal industrialisasi, khususnya di belahan Eropa dibuat target secara
boombastis oleh pemerintah saat itu tentunya didorong oleh tingkat kebutuhan
yang sangat besar akibat ledakan penduduk di perkotaan yang sebagian besar
adalah kaum buruh. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan potret Indonesia
pada saat ini, target-target boom bastis dengan gerakan nasional pengembangan
satu juta rumah (GN-PSR), yang dicanangkan pada era Reformasi tahun 2003.
Selanjutnya pada tahun 2007 pemerintah juga mencanangkan pembangunan
1000 Tower, kebijakan yang tampak tergesa-gesa, kurang mengambil
pembelajaran dari negara-negara yang pernah mengalami hal serupa pada
periode sekitar empat puluh tahun yang lalu atau lebih.
Berbagai persoalan mendasar telah diputuskan dalam bentuk berbagai
keputusan pemerintah, dengan sedikit pertimbangan aspek sosial budaya yang
berkembang pada saat ini maupun di masa mendatang, serta keengganan
menggali terlebih dahulu aspek-aspek sosial yang mungkin akan mencuat
dalam program dan kebijakan tersebut. Kondisi demikian tidak jauh berbeda

[46]
dengan kepanikan bangsa Eropa di awal perkembangan industri yang sangat
pesat.
Persoalan bangsa ini tidak terlepas hanya sebatas kebijakan perumahan saja,
akan tetapi pada era globalisasi serta liberalisasi saat ini, tidak saja dengan
mudah kita mengadopsi pendekatan dan teori-teori yang pernah dilakukan di
belahan Eropa (negara-negara Barat). Akan tetapi kita harus mau menyadari,
bahwa pada politik liberalisasi dan kapitalisasi ini, masyarakat hanya berperan
dominan sebagai konsumen. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana negeri ini
yang kaya dengan sumber daya alam, tidak mampu mengelola dengan baik.
Dan ironisnya lagi, beberapa negara yang mengelola sumber daya alam negeri
ini pada akhirnya menjadikan bangsa ini sebagai target konsumen utama.
Ambil saja contoh pabrik baja terbesar Korea Selatan, yaitu Posco, industri ini
merupakan salah satu pabrik baja terbesar di dunia, pabrik ini mengolah bahan
baku baja yang didatangkan lebih dari 70% bahan baja mentah dari Indonesia
sisanya dari negara-negara berkembang lainnya, selanjutnya energi untuk
menggerak industri ini diambil dari Indonesia hampir 90%, dan pada akhirnya
pasar terbesar dari Posco adalah masyarakat Indonesia, dalam bentuik baja
olahan seperti plat baja, baja tulangan atau dalam bentuk bahan jadi seperti
mobil, kapal, dan barang-barang elektronik.
Kondisi ini seharusnya dapat kita jadikan alat untuk pembelajaran dalam sektor
perencanaan kota maupun perencanaan bangunan khususnya bangunan
perumahan, karena pada aspek fungsi rumah terdapat fungsi sosial yang dapat
memengaruhi perkembangan bangsa ini di masa depan, sebagaimana kita
ketahui rumah merupakan tempat berinteraksi antara orang tua dan anak,
rumah tempat pembentukan karakter anak sebelum sekolah dan lingkungannya,
bila tempat anak berkembang dan tumbuh tidak mampu mewadahi
perkembangan tersebut, maka ada kemungkinan perkembangan anak akan
terhambat, dan anak-anak adalah generasi penerus yang menjadi tulang
punggung kemajuan negeri ini di masa depan. Dalam penanganan perumahan
seharusnya aspek sosial budaya menjadi unsur-unsur utama yang memengaruhi
disain serta kebijakan di sektor perumahan nasional.
Dari Revolusi Guthenberg sampai Revolusi Informasi
Untuk menelaah permasalahan tersebut, dapat dimulai dari perjalanan sejarah
perubahan-perubahan sosial-budaya yang cukup ekstrim, diantaranya ditandai
oleh perjalanan revolusi yang dimulai dari revolusi Gutenberg, Revolusi
Industri dan mungkin Revolusi Informasi saat ini. Dimulai pada abad ke –15
merupakan tanda dimulainya satu revolusi Gutenberg, dengan dimulainya
penemuan mesin pencetakan tulisan ke dalam bentuk buku, Johannes
Gutenberg dianggap sebagai pelopornya. Revolusi Gutenberg ini membuka
peluang baru dalam penyebaran ilmu pengetahuan, banyak ilmu pengetahuan

[47]
yang telah ditemukan sebelumnya telah diterbitkan dalam bentuk buku partai
banyak untuk disebar luaskan.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan telah memungkinkan ilmu pengetahuan itu
dibaca dan dikembangkan oleh orang lain, karena ilmu pengetahuan itu sendiri
telah berkembang jauh sebelum revolusi Gutenberg, seperti buku aljabar
pertama ditulis oleh Diophantus di Alexandria pada tahun 250 M, bahkan
ketinggian matahari telah dihitung di Cina sebelum kelahiran Nabi Isa.
Dengan penemuan mesin cetak ini, telah mempercepat perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga penemuan-penemuan baru lainnya banyak ditemukan,
sehingga akhirnya banyak mesin-mesin baru ditemukan dan digunakan dalam
produksi untuk industri.
Abad ke–18 merupakan masa yang memisahkan cara dan gaya kehidupan,
pemisahan tersebut diawali di Inggris yang selanjutnya diikuti oleh daerah-
daerah lain, tepatnya pada abad ke-18. Pada tahun 1769 tersebut, telah
ditemukan mesin uap sebagai awal dari Revolusi Industri. Sebelum revolusi
industri, manusia mengerjakan pekerjaannya dengan alat-alat sederhana yang
merupakan kepanjangan dari anggota tubuhnya. Setelah revolusi industri
semua pekerjaan dikerjakan oleh mesin, yang mampu melakukan pekerjaan
dengan lebih efisien dan efektif.
Dampak sosial yang paling menonjol akibat dari revolusi Industri adalah
ledakan penduduk. Sehingga pada saat itu dibangun kota-kota industri sarana
sirkulasi yang memadai untuk pengangkutan hasil produksi merupakan faktor
penting dalam menunjang kegiatan industri. Urbanisasi merupakan dampak
yang sangat menonjol dari periode revolusi indutri, akibat adanya jaringan-
jaringan jalan baru, umumnya pelaku urbanisasi ini adalah para buruh, mereka
tinggal di pusat-pusat kota yang padat penduduk. Sehingga banyak melahirkan
kawasan slum dipusat kota yang dihuni oleh kelompok buruh.
Perubahan lain yang paling menonjol adalah perubahan sistem perekonomian,
dari sistem perekonomian agraris menjadi sistem ekonomi industrial yang
memiliki karakteristik produksi masal, termasuk dalam pengadaan komponen
arsitektural. Dibidang arsitektur, revolusi industri juga amat berpengaruh.
Tampak dari gaya arsitektur yang selama itu dianut mulai berubah, arsitektur
menjadi suatu karya mesin, dengan produksi masal yang mementingkan
kecepatan dalam produksi.
Kondisi ini menimbulkan kejenuhan suatu kota maupun karya arsitektural,
dimana segala sesuatu halnya menjadi tidak manusiawi yang memperlihatkan
penurunan kesehatan, kesenjangan sosial, kenyamanan dari kehidupan buruh
pada umumnya. Hal ini telah menimbulkan beberapa reaksi keras. Yaitu
terhadap munculnya perumahan kumuh, perumahan buruh yang
mengkhawatirkan, tidak tersedianya taman-taman/ruang terbuka, buruknya
[48]
jaringan jalan di lingkungan permukiman buruh, jarak antara tempat tinggal
dan tempat kerja serta kemiskinan moral para buruh. Kritik-kritik ini telah
melahirkan berbagai konsep arsitektur kota yang anti revolusi indutri, dimana
konsep-konsep ini pada awalnya masih bersifat utopia.

3.4. Tinjauan Isu-isu Sosial Budaya


Kemiskinan Kota dan Arsitektur
Kemiskinan bila dilihat dari sektor perumahan, kita dapat menggunakan acuan
Internasional Standard berkaitan dengan ukuran kebutuhan ruang per jiwa 12
m2, atau juga kita dapat mengacu pada standar nasional, dimana kebutuhan
ruang per jiwa adalah 9 m2, bahwa setiap keluarga bila pemenuhan ruang per
jiwanya masih di bawah standar tersebut, dapat dikategorikan sebagai
kelompok masyarakat miskin, karena belum dapat memenuhi kebutuhan akan
ruang yang sehat dan layak huni. Menurut data BPS tahun 2000, di Indonesia
masih sekitar 22,8% atau sekitar 11,2 juta rumah belum memenuhi standar
layak huni. Sedangkan teori menyatakan, bahwa rumah merupakan kebutuhan
dasar manusia setelah sandang dan pangan. Bahwa tidak mungkin tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat itu tercapai ketika salah satu dari kebutuhan
dasar manusia tersebut belum terpenuhi.
Permasalahan permukiman pada skala universal adalah dengan menggejalanya
dunia yang mengkota. Pada beberapa negara maju penduduk perkotaan telah
mencapai 70% sampai dengan 90%. Hal itu disebabkan pengembangan sektor
ekonomi di negara-negara tersebut adalah pada sektor industri. Sedangkan di
negara berkembang, penduduk perkotaan pada umumnya sekitar 40%, dan
penduduk perkotaan di Indonesia sudah hampir 50%. Di Indonesia khususnya
pertumbuhan industri telah mendorong migrasi penduduk perdesaan ke
perkotaan, pembangunan kawasan-kawasan industri saat ini tdak pernah diikuti
oleh penyediaan perumahan yang memadai untuk menampung para pekerja
yang datang dari desa. Kondisi ini telah mendorong pertumbuhan perumahan
liar (di Batam kita kenal RULI singkatan dari rumah liar), yang dibangun tanpa
melalui suatu perencanaan dan berdiri di atas lahan-lahan marginal (bantaran
sungai, ruang terbuka hijau, sempadan jalan kereta api, sempadan sungai dsb).
Tumbuhnya perindustrian umumnya telah mendorong pertumbuhan kawasan
kumuh di sekitarnya.
Permasalahan tersebut pernah dialami oleh negara-negara di belahan Eropa,
pada awal perkembangan industri pada akhir abad XVII atau awal abad XIX,
fenomena yang diperlihatkan pada kawasan kota industri tersebut adalah
kemiskinan dengan ditandai oleh rendahnya pemenuhan kebutuhan ruang bagi
setiap individu (tingkat kepadatan yang sangat tinggi) diikuti dengan tingkat
pelayanan infrastruktur perumahan yang sangat rendah, seperti air bersih,
sanitasi, dan udara bersih. Pada awal perkembangan industri di Eropa saat itu
[49]
satu unit hunian dengan luas di bawah 20 m2 banyak yang dihuni oleh 10 jiwa.
Selain permasalahan yang ditimbulkan oleh lingkungan perumahan itu sendiri,
permasalahan dimunculkan juga oleh polusi yang datang dari industri, yang
mengganggu kesehatan masyarakat. Kesadaran akan permasalahan tersebut
telah disikapi oleh seorang arsitek Prancis Tony Garnier melalui konsep la cite
Industrielle, yaitu melalui suatu konsep perencanaan kota industri dengan
pengaturan tata ruang kota industri.
Tony Garnier adalah salah seorang arsitek utama dan arsitek perkotaan di abad
XX, sebagai salah satu arsitek beraliran modernism, dia telah menghasilkan
karya idealnya mengenai an Industrial City, Tony Garnier lahir di Lyon pada
13 Agustus 1869. Ayahnya adalah seorang pekerja industri sutra, Tony kecil
sudah bergelut dengan kehidupan dan persoalan pekerja industri, hal ini telah
memberikan pengaruh besar manakala dia dewasa. Karya kota idealnya yang
dituangkan dalam “la Cite-industrielle” merupakan konsep kota modern yang
membagi berdasarkan konsep zoning, melalui pembagian kota berdasarkan
fungsi-fungsi utama, yang meliputi: zoning tempat kerja, perumahan,
kesehatan dan rekreasi. Kota tersebut dibangun di antara daerah berbatuan dan
aliran sungai. Empat prinsip yang diusung oleh Tony Garnier, yaitu : aspek
fungsi, aspek ruang, ruang hijau dan pengelolaan cahaya matahari secara
optimal. Seluruh konsep yang diusung dalam konsep an Industrial City
tersebut sangat mempertimbangkan aspek kehidupan dan penghidupan para
pekerja industri, yang sebelumnya sangat bermasalah dari aspek kelayakan
tempat tinggal dan kerjanya.
Konsep-konsep yang lahir dari pemikiran Tony Garnier tidak luput dari
revolusi industri, dimana adanya pergeseran sistem kehidupan dan
penghidupan, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, dimana
pada awal pertumbuhan industrialisasi banyak menyimpan permasalahan,
konsep tersebut salah satunya yang telah menyelesaikan permasalahan tersebut.
Ironisnya pengalaman industrialisasi yang telah dialami oleh bangsa Eropa
tidak dijadikan sebagai pembelajaran oleh Bangsa Indonesia, pengalaman
mereka pada masa awal perkembangan industrialisasi justru tidak digunakan
oleh Indonesia untuk mengantisipasinya, bahkan kita saat ini mengalami
permasalahan yang beberapa puluh tahun lalu telah terjadi di belahan bumi
lainnya, saat ini kita alami.
Vandalisme dalam Arsitektur
Melalui tekanan pengaruh media massa yang memengaruhi gaya hidup
masyarakat sehingga menjadi materialistik, telah mendorong perilaku
konsumtif dan hedonisme. Masyarakat membelanjakan uangnya bukan lagi
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan tetapi keinginan-keinginan yang
tiada henti, keinginan yang didorong oleh gengsi. Akibat tekanan tersebut
sangat jarang arsirek yang mau masuk dalam ruang sosial, seperti yang telah
[50]
dilakukan oleh Romo Mangun dan Johan Silas. Kelangkaan arsitek yang mau
masuk dalam ruang sosial tersebut membuat permasalahan utama
pembangunan kota-kota terbengkalai bahkan telah menciptakan ketimpangan
antara kaya dan miskin, ketimpangan tersebut semakin hari semakint ekstrim,
dapat kita rasakan ketika kita berbelanja di sebuah super market besar di
Bandung ini, dan kita membawa keranjang belanja menuju tempat parkir yang
berbatasan dengan sederetan rumah-rumah kumuh yang hanya dibatasai oleh
sebuah dinding pagar. Karenanya masih terdapat kontak visual dari sebuah
jendela rumah kumuh yang dapat memandang seseorang dengan keranjang
penuh dengan belanjaan dipandang oleh sekelompok orang yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apakah karya super mall tersebut dipandang sebagai wujud gengsi dan prestasi
sebuah kota, untuk menunjukkan keberadaannya atau wujud arsitektur tersebut
akan menjadi sebuah pemicu konflik sosial. Apakah seorang arsitek dan
pengembang juga pengelola kota melihat hal tersebut sebagai sebuah prestasi ?
Bahwa dalam pembentukan ruang yang tertata sekaligus itu secara tak
langsung juga menyiapkan bom konflik yang sewaktu-waktu dapat mencuat
kepermukaan. Konflik yang dibakar oleh kecemburuan sosial, karena
kesenjangan ekonomi. Apapun kondisinya ,kita sangat tidak berharap terjadi,
bahwa dua bentuk kehidupan yang sangat kontras akan menyimpan
pertentangan. Dan pertentangan tersebut bila terpendam cukup lama , maka
akan menjadi energi potensial, yang sewaktu-waktu energi tersebut dapat
dilepaskan, ibarat jebolnya sebuah bendungan. Pelepasan energi yang tidak
ditangani dengan baik akan menjadi bencana. Untuk itu penanganan energi
yang sedang terhimpun , secara bertahap harus segera ditangani oleh para
pengelola kota, melalui bantuan seorang arsitek perkotaan yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu.
Menilik pada kasus super mall di atas, dapat di bagi menjadi dua kelompok
manusia, satu kelompok dapat merasakan langsung space (human space)
dengan berjalan-jalan di dalam suatu ruang ber-AC, pencahayaan yang
memadai, bersih dan nyaman, bahkan menempatkan mobilnya di tempat parkir
yang leluasa, kelompok masyarakat yang menikmati ruang tersebut adalah
masyarakat yang menguasai ekonomi , setidaknya tidak termarjinalkan sistem
ekonominya. Kelompok kedua adalah masyarakat yang berada di balik jendela
menengok dan melihat super mall tersebut sebagai sebuah façade (facial
sculptural), mereka tidak dapat merasakan nyamannya ruang ber-AC, atau
kenyamanan yang diberikan oleh bangunan dan ruang di dalam maupun di luar
bangunan. Hal ini menunjukkan gejala vandalisme bangunan, sebagaimana arti
makna dari kata vandalisme menurut KBBI, yaitu terdapat dua arti, yang
pertama adalah perbuatan merusak dan menghacurkan karya seni dan barang
berharga lainnya (keindahan alam, dsb), arti kedua adalah perusakan dan
penghancuran secara ganas. Dengan demikian bila melihat pada pemikiran
[51]
Plato mengenai keseimbangan dan keadilan, maka pada kasus mall di atas
terdapat gejala perusakan nilai-nilai sosial dan dapat dikatakan vandalisme
sosial, yang dilakukan oleh sebuah disain. Seharusnya disain terlebih dahulu
menyelesaikan permasalahan sosial yang mungkin terjadi dengan terlebih
dahulu menyiapkan disain sosial ,baru ditindak lanjuti dengan disain
arsitektural.
Lantas cukup fairkah sebuah arsitektur hanya dapat dinikmati secara visual saja
atas keindahannya, tanpa dapat dirasakan kenyamanan ruang dan beraktifitas
dengan wujud arsitektur tersebut. Dalam uraian ini tampak bahwa konflik
dalam arsitektur tersebut tercipta manakala arsitektur tidak melihat untuk siapa,
dan sekelompok masyarakat yang berinteraksi dengan arsitektur tersebut tidak
mendapatkan ruang (human spatial) untuk melakukan aktifitasnya. Di sini
nampak bahwa peran ruang dalam arsitektur cukup besar, ruang dalam arti
human space dimana manusia dapat melakukan aktifitas kehidupan dan
penghidupannya, bukan ruang yang hanya sebagai scuptural (scuptural dilihat
dari masa dan ruang). Mengapa ruang dalam konteks super mall ini di
kategorikan sebagai ruang scuptural, hal ini dikarenakan ruang tersebut hanya
dapat dinikmati secara visual saja, tidak dapat dirasakan oleh inderawi lainnya.
Jadi arsitektur adalah perwujudan antara space (human space) dan façade
(facial scuptural) yang dapat digunakan dalam menjalankan aktifitas kegiatan
manusia, sehingga space dan façade tersebut mewadahi sebuah atau beberapa
fungsi kagiatan manusia dalam memenuhi kehidupan dan penghidupan
manusia. Kegiatan menyusun ruang, facade, dan fungsi tersebut merupakan
kegiatan arsitek, dan wujud yang dihasilkannya adalah wujud arsitektural, hal
tersebutlah yang membedakan arsitektur dan wujud karya seni lainnya atau
wujud pesawat terbang yang memiliki fungsi seperti wujud arsitektur.
Kemampuan seorang arsitek dalam mengolah ruang, façade, fungsi tersebut
menghasilkan sebuah estetika, estika terlahir manakala penataan masa dan
ruang serta fungsi-fungsi di dalamnya terhadap aktivitas manusia yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dapat terwadahi, dan mampu
menciptakan kualitas kehidupan dan penghidupan dari manusia/pengguna yang
terus menerus meningkat.
Pada kasus mall di atas perlu dipahami persoalan utama dari dampak sebuah
disain adalah terbentuknya gap sosial, dan ini merupakan suatu permasalahan
yang disisakan oleh sebuah disain. Yang sewaktu-waktu permasalahan tersebut
akan mencuat kepermukaan sebagai sebuah tekanan yang tidak tertahakan,
tentunya hal ini yang tidak diinginkan oleh sebuah disain. Disain seharusnya
mampu memberikan kenyamanan yang berkelanjutan. Hal ini juga
disampaikan oleh Barry Poyner dalam Crime Free Housing bahwa “the
predominat view about crime is that it is caused primarily by social factor”
selanjutnya dia mencontohkan faktor-faktor sosial tersebut dalam bentuk
[52]
kemiskinan pendidikan, pengangguran, rendahnya struktur komunitas,
rendahnya fasilitas rekreasi, dan aktifitas komunitas adalah sebagai bagian
yang mendorong terbentuknya kriminalitas.
Kasus vandalisme dalam arsitektur dapat digambarkan lebih lanjut melalui
suatu gejala pembangunan mall-mall di beberapa kota besar di Indonesia saat
ini. Bagaimana akibat pembangunan sebuah mall dapat mematikan mall yang
lain, atau mall yang baru dibangun sudah mati sebelum beroperasi. Hal ini
dapat dinyatakan sebagai suatu vandalisme arsitektural, karena arsiteknya tidak
pernah mempertimbangkan konsekuensi sebuah disain terhadap karya disain
yang lain, yang sudah terlebih dahulu ada. Kita dapat menyaksikan bagaimana
beberapa bangunan mall di Bandung harus mati dan mengganggu
pemandangan kota. Beberapa mall tidak dapat difungsikan karena tidak ada
pasarnya, hal ini dapat disetarakan dengan proses kanibalisme dalam arsitektur.
Globalisasi Pengaruhnya terhadap Arsitektur
Setelah berlalunya abad pertengahan dengan kungkungan normatif dan
dogmatis dari penguasa, maka masuk pada periode abad pencerahan yang
dikenal dengan Reinaissance, pada periode ini memungkinkan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dan berlanjut sampai saat ini dengan
perkembangan pesat teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi
ini mengakibatkan semakin menipisnya jarak, waktu dan tempat. Ibaratnya
periode ini menjadikan dunia ini hanya sebatas genggaman tangan kita, apapun
yang kita perlukan dan inginkan pada saat itu juga dapat kita peroleh.
Reinaissance telah membawa perkembangan zaman yang mendorong
terjadinya revolusi industri, hal ini merupakan titik balik peradaban yang
banyak memberikan warna perubahan dalam berbagai aspek, termasuk wujud
arsitektural. Perkembangan industri ini oleh Berman diutarakan sebagai tahap
awal dari proses modernisme yang melahirkan kota Industri dan arsitektur
modern.
Perkembangan revolusi industri yang dimulai pada abad XVII telah banyak
ditemukan berbagai alat dan teknologi yang menunjang kehidupan,
industrialisasi berkembang secara pesat pada abad XVII sampai dengan saat
ini. Sayang pada abad tersebut industrialisasi hanya dinikmati oleh segelintir
orang, yaitu kelompok penguasa dan kaum borjuis, teknologi tidak dapat
dirasakan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Industrialisasi telah mendorong gap antara kaum kaya dan kaum miskin. Kaum
kaya saat itu didominasi oleh penguasa dan kaum borjuis. Kesenjangan
tersebut telah mendorong revolusi sosial di Perancis pada tahun 1789, pada saat
itu raja Perancis Louis XVI kekuasaannya digulingkan oleh rakyat jelata
dengan diawali pembangkanngan untuk tidak mengikuti permintaan raja, yaitu
rakyat diminta untuk membayar hutang negara. Pembangkangan tersebut
[53]
dilatarbelakangi oleh cara hidup raja yang berfoya-foya di atas penderitaan
rakyatnya. Peristiwa ini telah mengubah tatanan kehidupan dari kekuasaan
mutlak absolut kepada bentuk baru yang berpihak kepada kerakyatan.
Globalisasi mengacu pada peningkatan dari antar kebebasan pada
perekonomian dunia yang diperlihatkan melalui sirkulasi informasi, keuangan,
dan masyarakat tanpa batas. Hal ini memperlihatkan terjadinya proses
kemunduran rasa nasionalisme dari keterkaitan utama pada keuntungan dari
sejumlah pilihan antara hubungan lintas bangsa yang dilakukan tanpa
mempertimbangkan bagaimana penerapan dari keputusannya pada tempat yang
spesifik diantara lingkup global.
Sepanjang periode ini telah memperlihatkan peningkatan sistem pasar global
lintas bangsa-bangsa, yang telah membawa internasionalisasi sistem
perekonomian, aspek globalisasi melahirkan global city yang menghadirkan
ketidak seimbangan pengembangan, perkembangan arsitekturpun didominasi
oleh kepentingan ekonomi global, hal ini yang berkonsekuensi pesatnya
pembangunan mall-mall di kota-kota besar Indonesia, karena fungsi-fungsi
tersebut mendukung perkembangan pesat dari perekonomian dunia, industri
dan perekonomian khususnya pada negara maju memerlukan pasar yang luas,
untuk itu konsumerisme diciptakan dan dipelihara.
Pembangunan mall-mall serta fungsi-fungsi yang mendukung perekonomian
tersebut sedikitnya telah banyak mengabaikan pembangunan dan penyediaan
fungsi-fungsi sosial yang lebih manusiawi, dan sayangnya bahwa hampir
sebagian masyarakat telah terbawa oleh peradaban globalisasi tadi, sehingga
manusia sekarang selalu ingin tampil dengan mobil terbaru, HP terbaru,
komputer terbaru, tidak lagi melihat pada fungsionalitas akan tetapi
ketergantungan akan produk baru menjadi membudaya.
Sehingga tidak salah bila arsitektur kota dan bangunan turut menyediakan pola
hidup yang demikian. Akankah bangsa ini juga terus bergerak pada tingkat
konsumsi yang tinggi dari industri, atau akan dapat berubah menjadi negeri
yang produktif. Lahan-lahan pertanian yang menjadi andalan semakin hari
semakin redup dimakan kapitalis, daerah-daerah yang pada awalnya menjadi
lumbung padi Indonesia berangsung-angsur menjadi mall dan impor beras, dari
swasembada pangan menjadi importir pangan, dari negeri yang terkenal
dengan tenaga tempenya, pada akhirnya harus mengimpor kedelai dari luar
untuk memenuhi konsumsi kedelai nasional.
Masyarakat desa mulai meninggalkan desanya untuk bekerja di kota-kota besar
sebagai buruh industri, desa ditinggalkan, sektor agrobisnis ditinggalkan. Dan
sawah mulai terbengkalai yang secara bertahap akan menjadi lebih mudah
dikonversikan menjadi fungsi-fungsi perumahan, industri, atau mall, bahkan
sawah tidak lagi menghasilkan padi akan tetapi menghasilkan batu bata (bata

[54]
merah) untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, yang senantiasa
mengkonsumsi sumber daya alam tidak dapat tergantikan.
Akulturasi Budaya
Globalisasi juga melanjutkan proses akulturasi budaya serta asimilasi budaya
yang berdampak pada perwujudan arsitektur, bahwa bangunan-bangunan mall,
atau komersial lainnya terjadi proses akulturasi, seperti restoran-restoran siap
saji ambil saja contoh Mc Donal, menjadi cerminan akulturasi dimana
beberapa bangunannya harus tetap mempertahankan karakter aslinya serta
beberapa bagian menyesuaikan dengan karekter lokal.
Dalam proses etnifikasi di perkotaan tidak terlepas dari proses akulturasi dan
asimilasi, yang keduanya dapat memberikan warna pada budaya masyarakat
kota. Akulturasi merupakan proses sosial yang terjadi dimana manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga
lambat laun unsur-unsur tadi diolah ke dalam kebudayaannya, tanpa
menyebabkan kehilangan kebudayaannya sendiri. Sedangkan asimilasi adalah
percampuran satu atau lebih unsur budaya, kedua proses pembentukan budaya
akibat pertemuan budaya dalam suatu kota sangat menentukan pembangunan
kedamaian politik kota. Dalam proses akulturasi cenderung satu kebudayaan
yang dipengaruhi oleh budaya lain yang lebih dominan, sedangkan asimilasi
lebih disebabkan oleh tumbuhnya toleransi dan rasa kesetaraan budaya diantara
budaya yang saling bertemu, tidak adanya perasaan yang satu lebih unggul dari
yang lain, sehingga melalui proses asimilasi lebih memungkinkan tercapainya
kedamaian sebuah kota.
Akulturasi pada era globalisasi ini tidak akan terhenti pada periode ini,
kehancuran perekonomian negara super power saat ini akan menjadi titik balik
arah perubahan sosial budaya, khususnya bagi Indonesia. Kita melihat
beberapa investor saat ini mulai berdatangan dari negeri minyak, dan bahkan
kesempatan kerja juga lebih dibuka oleh negeri-negeri minyak di Timur
Tengah. Bahwa ini akan menjadi sejarah baru dan akulturasi dengan pengaruh
baru, yang sebelumnya sempat terjadi juga di negeri ini dimana para pedagang
dari timur tengah berdatangan untuk melakukan perdagangan dengan Indonesia
dan telah meningggalkan proses akulturasi budaya.
Hal ini memberikan pemahaman bahwa arsitektur kita sangat dinamis,
dikarenakan sifat dari sosial budaya itu sendiri yang dinamis, sehingga
pertimbangan utama sebuah disain seharus tidak melepaskan unsur sosial
budaya, dimensi sosial budaya merupakan bagian penting dalam proses disain
arsitektur.

[55]
3.5. Interaksi antara Lingkungan Binaan dan Manusia
Wujud karya arsitektural bukan hanya sebatas bentuk dan fungsi yang
dirancang melalui proses disain keteknikan yang menyangkut masa dan ruang,
sistem struktur dan konstruksi, sistem utilitas bangunan yang diolah dan
memberikan keindahan, akan tetapi sebuah wadah yang mampu menampung
aktifitas manusia di dalamnya dalam memenuhi kehidupan dan penghidupan
yang selalu meningkat, jadi seorang arsitek yang baik adalah ketika dalam
proses disain dia melakukan perencanaan perilaku dan kehidupan manusia
sebagai pengguna bangunan. Jadi arsitektural bukan hanya semata karya fisik
akan tetapi karya non fisik yang tidak kasat mata, terjadi di dalam dan
sekitarnya adalah sangat penting, untuk itu esensi dari sebuah pembangunan
adalah bukan wujud fisik akan tetapi membangun manusia dalam wujud
arsitektur.
Akibat kapitalisme dan metarialisme yang tumbuh saat ini di Indonesia, telah
melemahkan posisi para arsitek di Indonesia yang berada di bawah pengaruh
ekternal yang kuat (owner, market, dsb). Banyak oknum arsitek yang rela
menawarkan jasa profesi dengan harga murah bahkan menjanjikan biaya gratis
untuk sebuah perencanaan. Hal ini tentunya karena didorong oleh tekanan
persaingan dalam lingkup ekonomi/kapital. Yang penting merencanakan dan
membangun, tidak lagi memedulikan idealisme. Sehingga tidak perlu
diherankan, jika saat ini banyak karya arsitektur yang tidak memiliki nilai
atau bangunan tanpa ROH. Cara pandang sebuah disain hanya dilihat dari
output berupa fisik bangunan, tidak memedulikan soal nantinya bakal berujung
terjadi atau tidak terjadinya peningkatan kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Bahkan pola demikian juga menjadi satu alasan mengapa
perekonomian Amerika saat ini mengalami krisis, hal ini tidak terlepas dari
kapitalisme yang turut dibangun oleh arsitekturnya. Kita dapat menawarkan
sebuah masyarakat yang konsumtif melalui sebuah wujud arsitektur, seperti
halnya saat ini, kota-kota besar banyak dibanjiri oleh bangunan mall atau
fungsi komersial lainnya.
Perlu diperhatikan seberapa besar pertimbangan sebuah disain yang
mempersiapkan penggunanya untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitasnya yang sedikit demi sedikit semakin meningkat. Oleh karena itu,
telaah ini memberikan sebuah pandangan arti pentingnya sebuah wujud
arsitektur terhadap peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupan manusia,
yang menjadi dasar kekuatan sebuah bangsa kelak. Kita melihat bahwa wujud
arsitektur memiliki peran dalam pembentukan karakter bangsa, tentunya ini
sebuah peran yang sangat mulia, yang harus dipahami oleh setiap oleh arsitek.
Dengan pemahaman tersebut, kita semakin sadar bahwa aspek manusia
merupakan aspek utama dalam pertimbangan sebuah disain bangunan maupun
disain kota. Melalui telaah ini kita buka mata pada aspek sosial dari pengguna
[56]
arsitektur, sebagai sebuah perubahan cara pandang seorang arsitek yang
mempertimbangkan karyanya sebagai sebuah mesin perubahan menuju
kebaikan kualitas kehidupan dan penghidupan.
Bagaimana arsitektur saat ini dalam menghadapi persoalan kemiskinan, pada
tingkat persoalan kemiskinan yang semakin kompleks saat ini, seorang arsitek
dituntut dalam setiap proses disainnya mempertimbangkan untuk membangun
setiap bangunannya senantiasa memiliki nilai produkstifitas atau minimal dapat
meningkatkan produkstifitas pada tingkat fungsi bangunan atau produktifitas
penghuni bangunannya.
Aspek-aspek sosial budaya memberikan pengaruh yang besar pada perwujudan
arsitektur, sebagaimana isu-isu sosial yang disampaikan sejak Socrates, Plato,
Aristotelas dan pemikir abad ini, bahwa kehidupan sosial dan budaya manusia
senantiasa meninggalkan jejak dalam bentuk peninggalan yang tertanam pada
bentuk arsitektur bangunan maupun perkotaan, bentuk kesenian seperti bentuk
musik, puisi, drama, lukis dan sebagainya.
Pada akhirnya bahwa aspek-aspek sosial budaya pada era kini, telah
memengaruhi peradaban global, dimana kecenderungan terbentuknya satu
peradaban yang memiliki kekuatan adalah peradaban yang didominasi oleh
Barat. Sehingga semakin hari tampak semakin pudarnya peradaban lokal,
apakah ini harus diterima sebagai suatu proses alamiah, atau kita harus
bertahan dengan peradaban lokal yang diangkat dari nilai-nilai lokal yang
tetanam dalam unsur sosial budaya? Lantas masih adakah nilai-nilai lokal
bangsa ini, sehingga kita perlu mempertahankannya? Yang menjadi persoalan
bangsa terhadap nilai-nilai lokal tersebut kini , adalah kurangnya pemahaman
terhadap unsur budaya lokal, yang tertuliskan dalam suatu naskah akademis,
yang dapat digunakan sebagai rujukan.

[57]
[4] Etika Arsitek
Bidang Perumahan dan Permukiman

4.1. Latar Belakang


Etika merupakan bagian dari filsafat ilmu yang membahas mengenai
kewajiban-kewajiban manusia dan tingkah lakunya, yang ditinjau dari baik dan
buruknya dampak dari perilaku manusia tadi, sehingga etika pada level ini
membahas mengenai norma-norma yang berlaku dan diterima secara konvensi.
Sifat etika tersebut menuntut manusia untuk bersikap rasional. Sehingga
melalui etika kita dapat memisahkan antara yang benar dan yang salah, antara
yang hak dan yang batil, antara yang sah dan tidak sah, antara yang legal dan
tidak legal. Pada konteks pembahasan ini etika profesi arsitek adalah untuk
membuka tabir secara rinci dari tindakan seorang arsitek profesional berkaitan
dengan tindakan yang dibenarkan dan tindakan yang tidak dibenarkan di dalam
menjalankan keprofesiaannya.
Perkembangan etika dalam arsitektur sudah sejak lama diungkapkan oleh para
filsuf, catatan awal yang mengungkap pemikiran mengenai etika diawali sejak
abad keempat sebelum masehi. Seperti disampaikan oleh Barry Wasserman
pada pengantar menuju etika dalam arsitektur, dimulainya dari pemikiran
seorang filsuf Yunani Socrates. Bahwa Socrates telah melemparkan sebuah isu
menantang pada era tersebut, yakni mengenai kepuasan diri sendiri dan
kenyamanan melalui kebiasaan, yang dibangun melalui standar-standar yang
cocok dengan kebiasaan hidup manusia. Menuju kehidupan manusia secara
utuh, yaitu kehidupan yang paripurna, hidup dengan beretika. Selanjutnya pada
abad modern perdana menteri Inggris Winston Churchill, pada saat
pembangunan kembali kantor parlemen melalui pernyataannya “We shape our
buildings, and afterwards, they shape us”. Pernyataan Socrates dan pengamatan
Churchil tersebut membawa pada sebuah padangan bahwa antara arsitektur dan
etika merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bahwa seorang
[58]
arsitek perlu menjujung etika dalam mewujudkan bangunan yang baik dan
benar.
Etika dalam arsitektur di Indonesia saat ini, sedikitnya diatur melalui Kode Etik
Arsitek yang dikeluarkan oleh Ikatan Arsitek Indonesia, namun kekuatan
hukumnya sampai saat ini kurang menggigit. Disampaikan dalam kode etik
tersebut, disadari atau pun belum oleh para arsitek di tanah air, untuk pelaku
pembangunan bangunan gedung saat ini kita sudah memiliki Building Code,
yaitu Peraturan Menteri PU No. 29 tahun 2006, yang mengacu pada Undang-
undang Bangunan Gedung No. 28/2002 beserta turunannya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri teknis terkait, yaitu Kementerian
Pekerjaan Umum, sedangkan dalam aspek penyelenggaraan jasa konstruksi
Undang-undang Jasa Konstruksi telah terlebih dahulu hadir ditengah-tengah
kehidupan konstruksi saat ini dengan No.18/1999. Nilai positifnya dari kedua
undang-undang tersebut telah mencantumkan sangsi bagi yang melanggar,
dengan sangsi yang cukup berat, hal ini berarti bahwa kedua undang-undang
tersebut akan memiliki kekuatan di masyarakat. Dalam konteks tulisan ini akan
ditelaah sejauh mana etika harus dibawa oleh seorang arsitek di tengah-tengah
ancaman sangsi undang-undang, manakala kita lalai atau bahkan melanggar,
belum lagi tekanan globalisasi yang semakin deras.
Secara umum etika kita kenal sebagai tata atur hubungan antara manusia yang
menyangkut hubungan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di dalam
berbagai lini kehidupan, baik dalam sebuah rumah tangga, dalam lingkungan
perumahan, dalam lingkungan kerja maupun dalam lingkungan bernegara.
Etika yang menjadi fokus dalam telaah ini adalah etika yang berkaitan dengan
profesi seorang arsitek. Lingkup pengaturan ini berupa hubungan antara arsitek
dengan owner, arsitek dengan sesama arsitek, arsitek dengan profesi lain yang
memiliki keterkaitan pekerjaan. Sedangkan menyangkut kode etik arsitek saat
ini tidak hanya dipantau oleh lembaga IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), juga
negara mulai memasuki pada wilayah ini sejak diberlakukannya Undang-
undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 tahun 1999 dan Undang-undang
Bangunan Gedung (UUBG) No. 28 tahun 2002, serta beberapa peraturan
pemerintah dan petujuk operasionalisasi kedua Undang-undang tersebut, saat
ini turut mengatur kode etik secara tidak langsung. Serta harapannya ke depan
bahwa Undang-Undang Arsitek dapat mengimbangi pada sisi lain. Karena bila
melihat pada kedua undang-undang tadi maka lebih memfokuskan kewajiban
dari seorang arsitek dan belum mengatur hak-hak arsitek. Tentunya kondisi
perundangan yang demikian saat ini merupakan sebuah kelemahan
perlindungan terhadap seorang perencana.
Beberapa amanat dalam kedua Undang-undang tersebut memiliki konsekuensi
terhadap profesi seorang arsitek, khususnya pada UUBG, bahwa seorang
arsitek harus menjamin bangunan yang dirancangnya memiliki tingkat

[59]
kehandalan. Untuk mencapai kehandalan tersebut tentunya seorang arsitek
harus secara total bertanggung-jawab terhadap kualitas bangunan, bentuk
pertanggung jawaban tersebut berkonsekuensi pada bentuk etika seorang
arsitek. Ketika ketentuan dalam perundangan di atas secara tidak sengaja atau
tidak sengaja dilanggar oleh perencananya, maka seorang perencana dalam hal
ini dapat dituntut atas tindak pidana dan perdata, dengan kurungan, penjara dan
denda yang nilainya tidak sedikit, bahkan lebih besar dari prosentase
pembayaran seorang arsitek. Akibat kesalahan dalam proses perencanaan
seorang arsitek harus membayar lebih dari apa yang dia dapatkan dari hasil
perencanaannya.
Pada pasal 9 Pedoman Hubungan Kerja antara Arsitek dan Pemberi Tugas,
menyatakan bahwa arsitek bertanggung-jawab atas kerugian akibat kesalahan-
kesalahan yang dibuat arsitek, hal ini diberikan ancaman juga pada UUBG Bab
VIII, Pasal 44, bahwa kesalahan yang diperbuat tersebut merupakan kesalahan
yang disebabkan oleh kelalaian maka akan terkena sangsi sebesar-besarnya 1
tahun kurungan dan 1% dari harga bangunan bila kelalaiannya tersebut
mengakibatkan kerugian harta benda, dan kurungan 2 tahun dan/atau 2% dari
nilai bangunan bila akibat kelalaiannya mengakibatkan cacat seumur hidup,
serta 3 tahun kurungan dan/atau 3% nilai bangunan bila mengakibatkan korban
jiwa. Namun bila kesalahan tersebut diakibatkan karena kesengajaan maka
dikenai sangsi sebesar-besarnya 5 tahun penjara dan/atau 20% dari nilai
bangunan bilamana akibat kesalahannya tersebut mengakibatkan korban jiwa.
Melihat pada sangsi-sangsi tersebut, manakala kita amati peristiwa menara
Jamsostek dan gedung ITC di Jakarta, yang telah mengakibatkan korban jiwa
akibat terjunnya sebuah mobil dari tempat parkir pada lantai atas bangunan
tersebut. Bila terdapat kesalahan perencanaan dinding pengaman lantai parkir
tersebut, hal ini merupakan indikasi dari kesalahan perencana dalam
merencanakan dinding pengaman yang tidak sesuai dengan standar keamanan
lantai parkir bangunan. Atau cerita seorang bocah yang terjatuh dari lantai
sebuah pusat perdagangan dikarenakan celah antara railing dengan mesin
escalator terlalu besar, atau terjatuhnya seorang bocah dari sebuah apartemen
akibat mekanisme pembukaan jendela yang tidak memenuhi standar
keselamatan. Melihat pada peristiwa-peristiwa di atas, peran dan tanggung-
jawab seorang arsitek semakin besar dan memerlukan tingkat kehati-hatian
yang lebih besar dengan memperluas pengetahuan dan keterampilan dalam
merancang.
Kondisi demikian sudah selayaknya setiap individu yang berprofesi sebagai
seorang perencana bangunan, lebih berhati-hati, dan membutuhkan sebuah
kekuatan yang lebih memberikan pemantauan, pembinaan, pengelolaan dalam
menjalankan profesinya. Proses pembinaan, pengelolaan, serta pemantauan
tersebut layaknya digerakkan oleh sebuah asosiasi yang dibentuk oleh

[60]
kumpulan arsitek tersebut dalam suatu wadah yang kita kenal dengan Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI). Saat ini sangat tepat bilamana kita melakukan
strangtening terhadap lembanga IAI dalam mengantisipasi tuntutan
perlindungan konsumen arsitek yang diwujudkan dalam UUBG di atas, serta
membangun kesadaran untuk segera menggulirkan Undang-undang Profesi
Arsitek, yang mampu mengimbangi tuntutan berupa Hak pengguna bangunan
melalui UUBG.
Pengertian etika menurut KBBI adalah “kumpulan azas atau nilai yang
berkenaan akhlak atau nilai-nilai yang benar atau salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat”. Maka dalam kehidupan setiap orang diatur oleh
aturan-aturan yang membentuk sebuah tatakrama, aturan tersebut dapat berupa
aturan tertulis maupun tidak tertulis. Yang tertulis dalam bentuk Undang-
undang, Peraturan Pemerintah, dsb, sedangkan peraturan tidak tertulis seperti
adat istiadat. Pelanggaran terhadap sebuah aturan tertulis maka akan dikenakan
sangsi dalam bentuk hukuman badan sesuai dengan peraturan yang ada
sedangkan pelanggaran pada peraturan tidak tertulis biasanya sangsinya berupa
sangsi sosial, dalam bentuk keterkucilan bagi yang melanggarnya.
Sangsi sosial berlaku juga pada pelangaran-pelanggaran pada tingkat
kemasyarakat yang diatur melalui paraturan tidak tertulis yang berlaku di
masyarakat. Bagaimana dengan peraturan tertulis seperti diuraikan pada uraian
di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana peran IAI dalam
perlindungan arsitek, dalam mengatur kode etik dan tata perilaku profesi.
Bahwa sangat disayangkan tata atur dan kode profesi yang disusun oleh IAI
hampir tidak memiliki kekuatan terhadap perilaku perencanaan di Indonesia,
bahkan sekalipun oleh para anggotanya. Dan bagaimana membangun kekuatan
kode etik serta tata perilaku arsitek dapat mengatur seluruh arsitek baik yang
terdaftar sebagai anggota IAI maupun yang berada di luar keanggotaan IAI.
Sebagaimana amanat UUBG yaitu dalam menjamin terbit administrasi dan
tertib teknis berupa kehandalan bangunan, maka dalam suatu proses
penyelenggaraan bangunan gedung harus dibentuk Tim Ahli Bangunan Gedung
(TABG), selanjutnya petunjuk oprasionalisasi dari TABG tersebut dituangkan
dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2007, tentang
Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung, walaupun pedoman ini lebih ditujukan
kepada Pemerintah Daerah, namun dalam pembentukannya dipersyaratakan
unsur swasta harus mengisi keanggotaan sebanyak 50% nya, yang diantaranya
berasal dari unsur profesi, masyarakat ahli dan unsur perguruan tinggi.
Ketersediaan slot unsur profesi merupakan pembuka jalan bagi IAI untuk
mengkaitkan kode etiknya dengan regulasi yang berlaku secara nasional
tersebut.
Dalam TABG azas kode etik yang diusung ada 8, yang meliputi : azas
kepastian hukum, azas tertib penyelenggaran negara, azas kepentingan umum,
[61]
azas keterbukaan, azas profesionalisme, azas akuntabilitas, azas efisiensi dan
azas efektifitas. Dari kedelapan azas tersebut bagaimana kita mengsingkronkan
kembali kode etik IAI, agar peran IAI ke depan dapat betul-betul menjadi
sebuah wadah yang memiliki peran besar terhadap sistem pembangunan
gedung-gedung di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan Barry Wasserman dalam memberikan pegangan bagi
para arsitek dan praktisi dalam membuat disain arsitektur yang baik, yaitu
melalui proses perancangan yang beretika, secara tegas Wasserman
menyatakan being “good” at designing sebagai acuan awal dalam etika dalam
ber-arsitektur dan sebagai aktivitas utama dalam arsitektur. Ada tahap awal
seorang arsitek akan berurusan dengan client yang telah membawa beberapa
keinginan dan ide tentang bangunan dan tempat yang akan didisainnya. Hal
tersebut harus dapat dirumuskan oleh arsitek bagaimana menerjemahkan
keinginan dan ide-ide tersebut menjadi dokumen pelaksanaan yang siap
dilaksanakan oleh kontraktor.

4.2. Pengertian Dasar Etika


Etika pada Tingkat Filosofis
Berangkat dari pemikiran seorang filsuf Barat Immanuel Kant (1724 – 1804
M), dari empat ilmu pokok dari filsafat, salah satunya adalah etika,
disampaikan pertanyaan berkaitan dengan etika, yaitu; APAKAH YANG
BOLEH KITA KERJAKAN ?.Etika sebagai bagian dari filsafat ilmu , dan ilmu
itu senantiasa selalu berkembang mengikuti perkembangan jaman, maka kita
harus mampu mendeskripsikan dari bentuk etika seperti apa? Yang harus
disusun pada era ini, sebelum memasuki bentukan-bentukan etika, pada tahap
telaah ini akan diuraikan terlebih dahulu pemahaman etika dasar, sebagai
patokan dalam mengupas etika yang lebih jauh berkaitan dengan profesi
arsitek, sehingga telaah ini dapat menjadi masukan bagi kode etik arsitek yang
telah disusun oleh IAI. Pengertian dasar etika pada level spiritual dijelaskan
oleh seorang Bhikshu Sudhammacaro sebagai berikut “Etika artinya moralitas
atau prilaku yang baik dan pantas-patut, secara luasnya ialah tata-krama,
tata-tertib, disiplin-aturan, sopan-santun, mau menghormati orang lain, tunduk
dan patuh pada hukum-aturan pemerintah, juga aturan di masyarakat dan
adat”, Etika memiliki pengertian yang sangat luas, dapat dipandang dari sudut
spiritualitas agama, budaya, dan sosial. Etika merupakan ajaran moral-moral
manusia dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesama manusia atau
dengan lingkungan hidup lainnya.
Etika yang disampaikan oleh Immanuel Kant ini menarik karena dibandingkan
dengan pemikir-pemikir sebelum dirinya, etika dirumuskan dalam mencari arti
[62]
kebahagiaan, sedangkan bagi dia etika lebih dilihat dari sisi moralitas
manusianya. Selanjutnya menurut Kant juga bahwa kebahagiaan belum tentu
memberikan kebaikan, dan kebaikan itu lebih bersumber pada moralitas. Kant
menyatakan bahwa keadaan baik di dunia ini dapat saja disalah artikan. Seperti
pada suatu kegiatan pembangunan sebuah perumahan di kawasan daerah rawan
genangan air (contoh Bandung Selatan), kebaikan dapat disalah artikan oleh
segelintir orang, seorang perencana pada prinsipnya dapat saja membangun
kawasan perumahan yang direncanakannya dibuat agar tidak banjir, dengan
mengadakan pengurugan dan mengejar ketinggian yang lebih tinggi dari rata-
rata ketinggian perumahan disekitarnnya, akan tetapi sebagaimana kita ketahui
bahwa debit air yang mengalir kekawasan itu tidak dapat dengan begitu saja
dapat dihilangkan. Bahwa debit air ketika musim penghujan akan tetap ada,
sehingga apa yang akan terjadi? Bahwa air hujan tadi akan beralih untuk
menggenangi kawasan perumahan yang sudah lebih dulu dibangun, sehingga
air akan mengaliri daerah perumahan lama. Dalam hal ini perencana secara
tidak langsung hanya memindahkan air dari kawasan perumahannya ke
kawasan perumahan yang lain. Pada konteks demikian benar apa yang
dinyatakan Kant, bahwa kebaikan yang dilakukan oleh seorang perencana tadi
hanya sejauh kebaikan bagi kelompoknya saja namun mengabaikan bahkan
mengorbankan kelompok lainnya. Hal ini yang menguatkan teori Kant , bahwa
kebaikan dan kebahagiaan tidak dapat digunakan sebagai landasan dalam etika,
etika lebih pada moralitas.
Pemahaman moral yang akan membawa seorang perencana dalam bertindak
dengan mempertimbangkan kebaikan secara holistik, yaitu kebaikan yang dapat
dirasakan oleh kelompoknya maupun kelompok lain. Kebaikan dari hasil
rancangan suatu bangunan yang dibangun di atas moralitas perencanannya akan
memberikan kebaikan bagi seluruh manusia.
Etika merupakan pengejawantahan dari hubungan antara sesama, banyak
disampaikan dalam kita suci sebagai contoh “Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekuntukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. 4:36, Annisa). Ayat tersebut
menguatkan pemikiran dari Kant, bahwa kebaikan seharusnya tengok kiri dan
kanan serta tengok diri sendiri, bahkan tengok atas. Tampaklah nilai-nilai etika
menyatakan hubungan horizontal dan vertikal. Jadi manakala kita berbicara
pada level etika dalam arsitektur maka, pada tingkat filosofinya seorang arsitek
harus mempertanggung-jawabkan hasil karyanya selain kepada owner juga
kepada Tuhan-nya. Hal ini sejalan dengan Kode Etik Arsitek pada standar Etika
1.1 Pengabdian Diri bahwa “Arsitek melakukan tugas profesi sebagai bagian
dari pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengutamakan
[63]
kepentingan negara dan bangsa”. Pada pasal-pasal berikutnya juga
menekankan kepada arsitek untuk senantiasa mengingkatkan ilmu pengetahuan
dan keahliannya serta sikap profesionalitas sesuai dengan moral-moral maupun
spiritual.
Terbukanya beberapa penawaran jasa arsitek pada iklan baris di beberapa
media cetak saat ini, merupakan sebuah fenomena dimana persaingan jasa
arsitek ini sudah semakin ketat. “Arsitek tidak akan menyampaikan maupun
mempromosikan dirinya atau jasa profesionalnya secara menyesatkan, tidak
benar, atau menipu”, hal ini sesaui dengan standar etika 3.3. tentang kejujuran
dan kebenaran, bahwa seorang arsitek dituntut untuk menyampaikan informasi
yang benar. Agar dalam penyampaian informasi tersebut senantiasa dapat
menjunjung tinggi kebenaran, maka seorang perencana harus selalu
meningkatkan ilmu pengetahuannya, karena kebenaran itu melekat pada ilmu
pengetahuan walaupun nilai kebenaran itu sendiri sangat relatif, hari ini benar
belum tentu hari esok masih benar. Sehingga seorang arsitek ,karena nilai
kebenaran tersebut, dapat saja suatu saat dia digugat, karena nilai kebenaran
dalam dunia arsitektur dapat berubah-ubah. Kebenaran dalam arstektur ibarat
sebuah roda yang berputar, saat ini sisinya terdapat di depan kelak akan berada
di belakang, di atas, atau di bawah, hal ini yang oleh Wasserman dinyatakan
sebagai Uneasy Profession. Untuk menghindari kesalahan dalam penerapan
ilmu pengetahuan maka sebuah ilmu pengetahuan dalam penerapannya harus
dibarengi dengan pemahaman.
Peningkatan kemampuan baik ilmu pengetahuan maupun keahlian,
disampaikan juga oleh seorang pemikir Islam Moderat Hasan Al Banna yang
ditulis oleh Thahan Musthafa, dimana beliau mengutarakan bahwasanya sebuah
ilmu harus dipahami dan pemahaman merupakan sebuah landasan dasar yang
akan menuntun kita dalam mengemban amanat di muka bumi, hal ini
sebagaimana yang diungkapkan beliau bahwa “Al’ilm (ilmu) dan Al fahm
(pemahaman) merupakan syarat asasi dalam merealisasikan kebaikan”
selajutnya bahwa “akal belum dianggap berpikir dengan baik jika tidak
berujung pada sebuah pemahaman yang benar”. Selanjutnya berkaitan dengan
profesi seorang arsitek bentuk pemahaman seperti apa yang diperlukan?.
Mengacu pada kode etik arsitek maka standar keunggulan yang harus terus
menerus diperdalam oleh seorang arsitek adalah, upaya meningkatkan mutu
karyanya, antara lain melalui pendidikan, penelitian, pengembangan, dan
penerapan arsitektur.
Etika pada Tingkat Konsep Tradisional
Secara tradisional etika telah berkembang dalam wujud nilai-nilai tradisi yang
dianut oleh sekelompok masyarakat di manapun di belahan bumi ini. Dan
setiap kelompok masyarakat tersebut memiliki nilai-nilai yang berbeda. Untuk
itu etika pada tingkat ini menuntut seorang arsitek agar peka terhadap nilai-
[64]
nilai tradisi yang berlaku pada daerah dimana dia membuat rancangannya.
Tetapi etika yang dijunjung adalah etika terhadap geografis dan
masyarakatnya. “Seorang profesional di samping harus memiliki komitmen
beretika, atau secara pribadi untuk bertindak sesuai etika, juga harus memiliki
kepedulian dan kompetensi beretika. Kepedulian beretika ini adalah
kemampuan seseorang untuk membedakan tindakan yang salah dari yang
benar, sedangkan kompetensi beretika adalah kemampuan seorang profesional
untuk menegakkan nilai-nilai moral dan mempertimbangkan secara lebih
seksama dampak berbagai tindakannya”, kepedulian pada tingkat ini menuntut
penegakan moral, moral merupakan akar dasar dari sebuah etika.
Kearifan lokal merupakan nilai-nilai etika yang berakar pada seuatu
masyarakat dan terbangun dari pengalaman yang telah teruji oleh berbagai
rintangan. Etika pada tingkat lokal lebih mudah diterapkan pada masyarakat,
karena masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap nilai-nilai yang
telah dianut oleh leluhurnya. Nilai-nilai etika yang diangkat pada nilai-nilai
tradisi sebuah kelompok masyarakat secara umum tidak terwujudkan dalam
aturan tertulis akan tetapi tertanam dalam tingkat pemikiran dan kepercayaan
yang pada tahap tertentu terdapat pergeseran.
Pada level ini etika merupakan bagian dari filsafat, hal ini seperti disampaikan
oleh Immanuel Kant yang melakukan pengamatan batas-batas kemampuan
rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan manusia, gagasan Immanuel Kant
ditunjukkan melalui pertanyan-pertanyan mendasar, yang meliputi; apakah
yang dapat saya ketahui?, apa yang harus saya lakukan?, dan apa yang boleh
saya harapkan?. Pada tiga pertayaan mendasar tersebut nampak bahwa
ketiganya mememperlihatkan peran etika, khususnya menyangkut pertanyaan
kedua, yaitu apa yang harus saya lakukan.
Ketiga pertanyaan Kant tersebut menunjukkan sifat kritis dari seorang filsuf,
bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menggeser sifat ilmu pengetahuan
yang tadinya bersifat dogmatis menjadi kritis yang berusaha membuka sifat
objektivitas dari ilmu pengetahuan.
Etika pada Tingkat Emosional, Spiritual, dan Intelengensia
Sebuah etika tidak terlepas dari tiga pilar kecerdasan manusia, yaitu kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelegensia, walaupun dalam
hal ini sangat sulit sekali dipastikan prosentase dari ketiganya yang menunjang
keberhasilan seorang arsitek. Keberhasilan seorang arsitek tercapai ketika
karyanya dapat memberikan hal terbaik bagi manusia dan lingkungan, baik saat
ini maupun di masa depan.
Kecerdasan spiritual menjadi catatan penting dalam kode etik arsitek
Indonesia, hal ini seperti diamanatkan oleh kode etik arsitek pada mukadimah,
bahwasanya sebagai “seorang profesional, arsitek selalu menaati perangkat
[65]
etika, yang bersumber dari nilai luhur keyakinan spiritual yang dianutnya,
sebagai pedoman berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam menunaikan
kewajiban dan tanggung jawab profesional”, bahwa setiap landasan kode etik
arsitek berangkat dari spiritual sebagai landasan yang membentuk dua
kecerdasan selajutnya yaitu kecerdasan emosional yang dicerminkan melalui
bersikap, serta kecerdasan intelegensia yang diekspresikan dalam berpikir.
Sehingga bila kita gambarkan lebih lanjut sepatutnyalah bahwa seorang arsitek
di Indonesia harus memiliki landasan spiritual yang kuat, yang berasal dari
agama yang dianutnya.
Disain sebagi sebuah produk dari etika akan memberikan nilai kebaikan bagi
manusia dengan lingkungannya, ketika dalam proses disain etika arsitek
tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, hal ini disampaikan juga oleh
Andrian S dan Richard C yaitu “Architecture provides the quintessential
interpretation of divinity, or at least of the relationship between the human and
the divine”. Bahwa aspek ketuhanan merupakan nilai-nilai terdalam dari wujud
arsitektur, sehingga kelahiran estetika tidak dapat dilepaskan dari aspek nilai-
nilai ketuhanan, dalam hal ini bahwa dalam proses disain, seorang perencana
harus memiliki tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan spiritual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan intelegensia (ESIQ), ESIQ seharus menjadi modal
dasar dari seorang perencana untuk dapat menuangkan karya-karya yang
memiliki keabadian, walaupun dalam hal ini keabadian diterjemahkan bukan
keabadian mutlak, karena tak satu pun produk manusia memiliki keabadian
mutlak, karena hanya satu yang memiliki sifat abadi dan Maha Abadi, yaitu
Tuhan yang memiliki sifat kekal “Al Badii” atau “The Everlasting”. Namun
bukan berarti manusia tidak boleh memiliki keabadian, hanya keabadian yang
sifatnya tidak mutlak, masih ada batas-batas.
Level etika pada tingkat ketuhanan menunjukkan pada bentuk pertanggung-
jawaban dari sebuah karya seorang arsitek, melalui nilai-nilai spiritual bahwa
setiap tindakan manusia senantiasa akan diperhitungkan tidak saja hanya di
dunia akan tetapi akan diminta pertanggung-jawabannya di akhirat nanti.
Ketika keyakinan ini dijalankan ketika berkarya dengan memegang etika disain
bagi seorang arsitek profesional.

4.3. Aspek-aspek etika dalam ber-arsitektur


Aspek Historis
Sejarah perjalanan dunia ini dipenuhi oleh pembelajaran atas kejayaan dan
kehancuran suatu bangsa, sebagaimana kita ketahui dari berbagai peristiwa
masa lalu bahwasanya kejayaan umumnya dibangun dari dasar etika yang
dijunjung tinggi dalam bentuk moralitas. Namun pada perkembangannya
ketika kejayaan itu berada pada puncaknya sering sekali bangsa pada
zamannya tersebut lupa akan nilai-nilai moral yang telah membangun kejayaan
[66]
pada bangsanya ,dan telah dibangun oleh generasi sebelumnya. Ketika
moralitas baik ditinggalkan ,maka titik awal kehancuran suatu bangsa itulah
yang menjadi catatan sejarah.
Demikian halnya dengan kejayaan arsitektur, merupakan pengejawantahan dari
kejayaan nilai-nilai moral yang dianut oleh suatu bangsa, seperti kita ketahui
bahwa beberapa bangunan megah yang masih memiliki keabadian, seperti
Partenon, Piramida, Candi Borobudur dibangun oleh suatu bangsa yang
bercita-cita untuk meraih nilai-nilai pengabdian pada ketuhanan, walaupun
berbagai jenis tuhan yang dicari berbeda, akan tetapi keyakinan kepada super
kekuatan yang diwujudkan dalam ketuhanan tersebut, telah membangun moral
para pemimpin dan masyarakatnya untuk melakukan pembangunan.
Proses pembangunan tersebut telah membangun peradaban dalam bentuk nilai-
nilai etika dan moral baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti kita dapat
pahami nilai-nilai Feng Shui dapat saja sebagai sebuah pengejawantahan dari
etika mendirikan bangunan pada masyarakat Cina, yang berkembang dan
terasah oleh perjalanan waktu. Pada tahap ini dapat diperhatikan adanya
keterkaitan antara geografis yang memengaruhi nilai-nilai tersebut, dimana
dalam Feng Shui tersebut keberadaan alam menjadi pertimbangan disain, hal
ini sejalan dengan pemahaman bahwa sebuah etika tidak hanya berlaku bagi
kepentingan hubungan antara manusia saja akan tetapi hubungan manusia
dengan alam juga hubungan manusia dengan Tuhan-nya.
Atas dasar amanat kode etik arsitek pada mukadimah alenia ketiga, dimana
“Profesi arsitek mengacu ke masa depan dan bersama anggota profesi lainnya
selalu memelihara dan mengacu perkembangan kebudayaan dan
peradabannya demi keberlanjutan habitat”, demikian juga dalam kisi-kisi mata
kuliah Etika Profesi dan Praktek Arsitektur menyatakan perkembangan etika
tidak terlepas dari kesejarahan, seperti berikut “etika tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan sejarah budaya dan peradaban”. Yang juga
tidak terlepas dari sisi geografis dan budaya yang dimiliki oleh konteks tempat
tersebut.
Etika sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, dan nilai-nilai sangat tergantung
terhadap kondisi sosial budaya yang dibatasi oleh waktu dan tempat, sehingga
nilai-nilai yang dianut dalam etika dari satu tempat ke tempat lain dari satu
waktu ke waktu lain dapat terjadi pergeseran. Terjadinya pergeseran nilai-nilai
tersebut dapat memicu gugatan terhadap tindakan yang telah dilakukan
berdasarkan nilai-nilai terdahalu, sebagai suatu gambaran etika yang digunakan
dalam suatu keputusan disain yang dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai yang
berlaku pada masanya, dan periode tersebut bila diwakili oleh periode kekuatan
politik tertentu dan ketika kekuatan politik tersebut berganti maka keputusan
disain yang diambil atas dasar arahan dari kekuatan politik lama, maka akan
membuka peluang gugatan dari kekuatan politik baru.
[67]
Kondisi ini yang dinyatakan oleh Wasserman sebagai Uneasy Profession,
dimana keputusan disain yang saat ini dianggap benar menurut nilai-nilai yang
dianut oleh masanya belum tentu kelak masih dianggap benar. Seperti para
arsitek yang beraliran modernism pada akhirnya digugat oleh generasi
berikutnya yang menyatakan sebagai aliran post-modernism. Pada era kondisi
sosial budaya saat itu sangat memungkinkan terbangunnya gerakan
modernism, akibat perkembangan industrialisasi yang mengakibatkan
urbanisasi besarbesaran serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan yang
bekerja disektor industri, telah mendorong berkembangnya kawasan-kawasan
kumuh dan menurunnya kondisi kesahatan lingkungan permukiman saat itu,
akibatnya banyak keputusan disain yang dibuat untuk menyelesaikan masalah
sosial tersebut dengan mengabaikan unsur-unsur yang sifatnya humanisme
serta estetika yang berlebihan. Bahkan para modernist sedikit mengharamkan
ornamen pada bangunan, ornamen dianggap unsur-unsur tidak penting.

Diagram 3. Perjalan dan tahapan sejarah perkembangan arsitektur

Dari Diagram 3. kita dapat lihat bahwa antara satu periode dengan periode
lainnya saling menggugat, hal ini menunjukkan bahwa seorang arsitek tidak
hanya cukup berpedoman pada nilai-nilai saja pada saat mengambil keputusan
disain, akan tetapi yang paling penting dibalik nilai-nilai tersebut adalah
keputusan disain yang di latar belakangi oleh moral dari asriteknya dalam
menjunjung tinggi kebenaran dan kebaikan yang hakiki.
Aspek Sosial-Budaya
Sebagai tindak lanjutan dari amanah kode etik mukadimah alenia kedua“di
dalam berkarya, selalu menerapkan taraf profesional tertinggi disertai
integritas dan kepeloporannya untuk mempersembahkan karya terbaiknya
kepada pengguna jasa dan masyarakat, memperkaya lingkungan, dan
khasanah budaya”, sebagai gambaran kondisi kepedulian profesi terhadap
keadaan sosial politik diperlihatkan oleh Architects and Planner for Justice in
Palestine (APJP) berbasis di London, yaitu organisasi yang beranggotakan para
perencana bangunan dari Inggris dan Israel, kelompok ini mendesak agar
rekan-rekan seprofesi mereka di Israel serta dimana di belahan bumi ini agar
senantiasa dapat menolak proyek-proyek yang apa kata mereka sebut sebagai
“penjajahan sosial, ekonomi, dan sosial”, dan bagi siapapun perencana yang
[68]
melakukan kegiatan tersebut dinyatakan sebagai penjajah, hal ini dinyatakan
oleh APJP bahwa “Para arsitek dan perencana bangunan, dengan sadar atau
tidak, telah menjadi bagian dari situasi ini. Permukiman-permukiman Israel
yang dibangun setelah perang tahun 1967 dan dianggap ilegal berdasarkan
hukum internasional, tidak akan terwujud tanpa bantuan arsitek”. Bahkan
menurut laporan APJP bahwa Israel telah menghapuskan beberapa situs sejarah
milik rakyat Palestina, yang keberadaannya dihapus oleh Israel dari peta.
Beberapa tahun yang lalu dikabarkan bahwa kelompok ini telah melakukan
kampanye boikot terhadap arsitek Israel yang mengambil bagian dari proyek-
proyek pemerintah Israel tersebut.
Hal ini juga secara tidak langsung mendapat dukungan dari IAI, dimana kode
etiknya mengatur hal tersebut, pokok pengaturan tersebut sesuai dengan
standar etika 1.4. kode etik arsitek dimana dinyatakan bahwa “arsitek sebagai
budayawan selalu berupaya mengangkat nilai-nilai budaya melalui karya,
serta wajib menhargai dan membantu pelestarian, juga berupaya
meningkatkan kualitas lingkungan hidupnya yang tidak semata-mata
menggunakan pendekatan teknis-ekonomis tetapi juga menyertakan azas
pembangunan yang berkelanjutan”, namun apakah dengan adanya pokok
pengatur ini bahwa di negeri ini tidak terjadi proses penghapusan situs sejarah
atau situs lingkungan seperti yang terjadi di Israel.
Sebagai satu gambaran kita akan bahas kasus Proyek Babakan Siliwangi,
dalam konteks ini terjadi penjajahan ekonomi, dimana proyek tersebut oleh
pengembang dan arsiteknya lebih mengedepankan aspek ekonomi ketimbang
aspek lingkungan dan budaya. Jadi jelas perkotaan dan arsitektur saat ini sangat
dikuasai oleh kepentingan bisnis, sadar atau tidak pertentangan Babakan
Siliwangi antara sekelompok masyarakat yang mengusung kehidupan sosial
yang diwakili oleh para seniman dan kepedulian lingkungan harus berkonflik
dengan pengembang, dan peran pemerintah kota Bandung yang gamang,
merupakan pencermikanan kekuatan dalam sistem kehidupan yang
berpengaruh dalam perwujudan kota dan arsitektur. Pada kasus tersebut dapat
kita lihat bahwa pengembang dalam hal ini lebih mengedepankan kepentingan
ekonomi dan bisnisnya dalam pengembangan kawasan dan arsitektur Babakan
Siliwangi, sedangkan kelompok masyarakat sangat peduli dengan kepentingan
sosial masyarakat kota Bandung, Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka
hijau, sebagai nilai Historis berkaitan dengan Perjuangan Pasukan Siliwangi.
Dalam konteks pengembangan-pengembangan tersebut wujud arsitektur
digunakan sebagai sarana untuk menjadi kaya, entah siapa yang kaya
arsiteknya atau pemilik dan pengelola Babakan Siliwangi tersebut, yang jelas
bahwa dalam kasus ini seorang arsitek seharusnya mampu menjadi penengah
antara kepentingan politik, ekonomi dan sosial, karena kemampuan menengahi

[69]
tersebut dapat memberikan image arsiteknya yang pintar, baik dan kekayaan
serta keterkenalannya juga dapat diraih.

4.4. Dinamika dalam ber-arsitektur


Bisnis dalam Arsitektur
Berdasarkan kaidah tata laku 2.102, dinyatakan bahwa “Arsitek tidak
diperkenankan untuk memasang iklan atau sasaran promosi yang menyanjung
atau memuji diri sendiri, apalagi bersifat menyesatkan dan mengambil bagian
dari kegiatan publikasi dengan imbalan jasa, yang mempromosikan,
merekomendasikan bahan-bahan bangunan atau perelengkapan peralatan”,
Sebuah fenomena yang semakin kuat, seorang arsitek mengiklankan jasa
profesinya untuk sebuah perencanaan bangunan, dengan upaya-upaya banting
harga, sebuah perencanaan dihargai dengan hanya lima ratus ribu rupiah saja,
bahkan beberapa arsitek memberikan jasa perencanaan secara gratis, entah dari
mana penghargaan atau penggantian jasa didapat untuk sebuah perencanaan
tersebut, namun logika berkata lain, bahwa tidak mungkin jasa yang sudah di
upayakan tidak terbayar. Konon jasa akan terbayar oleh biaya fisik
pembangunan, artinya iklan tadi menawarkan jasa konstruksi menjadi target
utama sedangkan jasa perencanaan disembunyikan dalam kegiatan
pembangunan fisik, artinya nilai-nilai kejujuran dalam kode etik perencanaan
sudah diabaikan.
Hal tersebut merupakan sebuah tindakan ketidak jujuran dalam proses
penyediaan jasa profesi, dan sebuah tindakan ketidak jujuran merupakan
sebuah tindakan pelanggaran moral. Diawali dengan sebuah ketidak jujuran
akan membuka peluang tindakan-tindakan ketidak jujuran lebih lanjut. Seorang
pemborong yang menawarkan jasa perencanaan secara gratis atau dengan
membanting harga, maka ia akan berusaha melakukan mark-up terhadap item
pekerjaan yang kelak digunakan sebagai kempensasi jasa perencanaan yang
digratiskan tadi.
Konsekuensi dari tindakan demikian akan berdampak pada arsitek-arsitek lain
yang tidak melakukan upaya seperti itu, dimana bagi seorang arsitek yang
berupaya menawarkan pembayaran atas jasa perencanaannya, sering sekali
ditawar dengan harga murah dengan alasan rujukan sebuah iklan, sehingga
tindakan iklan tersebut secara langsung menjatuhkan profesi yang berdampak
pada ribuan arsitek yang menjalankan profesinya, dibandingkan sejumlah iklan
yang rata-rata tidak lebih dari sepuluh penawar jasa murahan tersebut, namun
kasus tersebut dapat berakibat pada sejumlah arsitek yang jumlahnya jauh lebih
besar.
Sampai saat ini belum ada suatu mekanisme untuk menertibkan iklan jasa
profesi yang melakukan banting harga tersebut. Demikian juga IAI sebagai
[70]
sebuah asosiasi profesi dengan alasan bahwa yang melakukan tindakan banting
harga tersebut bukan anggota dari IAI. Organisasi profesi ini hanya mengatur
anggotanya di luar anggota tidak dapat disentuh oleh kode etik dari IAI.
Walaupun dalam kode etik IAI jelas bahwa tindakan mengiklankan jasa
perencanaan adalah suatu tindakan yang dilarang dalam kode etik arsitek.
Secara rinci dampak-dampak yang dapat ditimbulkan akibat iklan jasa profesi
serta upaya banting harga, adalah sebagai berikut :
a. Merusak mekanisme dan standar fee jasa perencanaan, yang pada
akhirnya masyarakat umum, di luar kelembagaan sulit untuk menerima
sebuah penawaran harga jasa perencanaan yang sesuai dengan harga
satuan resmi seperti dari Bapenas, atau yang ditentukan oleh IAI.
b. Kualitas perencanaan tersebut sulit untuk dapat dipertanggung-jawabkan,
khususnya berkaitan dengan kelaikan standar teknis serta nilai-nilai
sebuah karya arsitektur yang seharusnya dapat menjadikan sebuah wadah
dalam pembentukan kualitas manusia yang semakin baik. Iklan
mendorong sebuah produk perencanan instan dengan minimnya
pertimbangan-pertimbangan disain sebagaimana mestinya.
c. Berpeluang membangun kebohongan yang diciptakan oleh sebuah
lembaga penyedia jasa maupun arsitek, sedangkan kebohongan
merupakan sumber kerusakan sebuah sistem, bahkan kebohongan dalam
dunia kelitbangan merupakan suatu hal yang harus dihindari. Dan dalam
kacamata spiritual kebohongan merupakan sumber dari kehancuran.
Arsitektur merupakan sumber estetika dan estetika tidak mungkin
terwujud di atas kebohongan atau ketidak-jujuran.
d. Merupakan cikal bakal dari kehancuran sebuah idealisme dalam
arsitektur, seorang arsitek akan mengorbankan idealismenya demi
menyelesaikan sebuah produk perencanaan yang sedang dibuatnya,
arsitek tersebut akan menghindari perdebatan dengan owner dan berusaha
mengikuti keinginan seorang owner, dengan mengorbankan kepentingan
lain; seperti lingkungan, atau aspek-aspek yang paling essensial dalam
sebuah proses disain.
Berangkat dari uraian di atas dapat diambil kasus pada sebuah perencanaan
yang dilakukan oleh sebuah pengembang di Bandung, yang sedang menyusun
sebuah perencanaan objek wisata di kawasan Babakan Siliwangi, tampak
bahwa saat ini muncul perencana-perencana yang mengorbankan idealismenya
demi sebuah projek arsitektur, dampak dari kerusakan lingkungan, kerusakan
nilai budaya dan nilai sejarah suatu kawasan sudah tidak menjadi pertimbangan
dalam proses perencanaannya, yang menjadi target perencanaan hanyalah nilai-
nilai kapital dari sebuah objek arsitektur.

[71]
Fenomena demikian tidak terlepas dari sistem kapital yang mencengkeram
perilaku masyarakat, seperti kita ketahui bahwa sistem kapitalisme saat ini
terbukti hanya mampu membangun gap antara kaya dan miskin serta
menguatkan produsen dan menguatkan ketergantungan konsumen, sehingga
produk arsitektur dengan sistem kapitalis pun hanya akan menyediakan dan
memenuhi kesenangan-kesenangan kelompok masyarakat tertentu, arsitektur
pada kondisi ini menjadi bagian dari hedonisme, sebagaimana aliran
hedonisme ini memiliki kaidah dasar “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga
engkau mencapai jumlah nikmat yang paling besar. Dan hindarilah segala
macam yang dapat menimbulkan rasa sakit darimu”, demikian hal tersebut
seperti disampaikan oleh DR. Juhaya dalam Filsafat dan Etika. Dengan
demikian karya arsitektur di era kapitalis ini telah melahirkan diskriminasi,
mengacu pada pemikiran Plato, bahwa kebahagiaan tersebut tercapai ketika
keadilan dapat direalisasikan, sifat diskriminasi tentunya sangat bertolak
belakang dengan sifat keadilan. Arsitek memegang peran kunci dalam
menciptakan keadilan di perkotaan.
Selanjutnya bagaimana memutus mata rantai degradasi profesi arsitek dalam
sistem kapitalisme yang semakin kuat, tentunya dalam melihat fenomena
tersebut kita harus melepaskan terlebih dahulu hal-hal yang berpengaruh dari
lingkungan eksternal arsitek, seperti sistem kapitalime, hal ini bukan berarti
aspek eksternal tersebut dapat dengan mudah kita abaikan, hal ini hanya untuk
membatasi permasalahan dalam upaya untuk menggiring penyelesaian yang
lebih diarahkan pada lingkungan internal saja. Apa yang dapat diupayakan
tentunya melalui pengaturan jasa profesi pada level hukum nasional, seperti
melalui Undang-undang Jasa Profesi Arsitek. Sehingga tindakan yang
melanggar undang-undang tersebut dapat diperkarakan pada lembaga hukum
formal, pelanggaran berkonsekuensi pada sangsi, yang dapat menimbulkan jera
bagi pelaku maupun bagi individul lain sebagai pembelajaran untuk
menjalankan profesi secara baik dan benar.
Sejalan dengan kasus APJP yang berbasis di London, dimana ada fungsi etika
yang dikaitkan dengan moral, bahkan pada tingkat lokal beberapa kasus di
tanah air mencuat peran perencana dan arsitek yang mendapat tekanan kuat
oleh kapitalisme dengan mendahulukan kepentingan ekonomi dan
mengabaikan kepentingan-kepentingan sosial dan budaya, dalam hal ini,
seorang perencana dapat memberikan peran sebagai penengah antar berbagai
kepentingan, karena pada esensinya sebuah disain adalah melakukan suatu
pengolahan untuk mendapatkan hasil terbaik, hasil terbaik ini tentunya sangat
berkaitan dengan moral dan etika seorang arsiteknya.
Politik Arsitektur
Kata politik tidak selalu dikaitkan dengan partai-partai yang dikaitkan dengan
kekuasaan di lembaga legislatif saja, akan tetapi politik diartikan sebagai siasat
[72]
atau bersiasat. Pada era saat ini, dimana perkembangan teknologi informasi
ditambah dengan semakin kuatnya kapitalisme yang secara berangsur-angsur
telah membawa suatu bentuk peradaban materialisme pada masyarakat.
Perkembangan materialisme saat ini secara berangsur telah memperlihatkan
dampaknya yaitu pola pembangunan yang kurang mempertimbangkan kondisi
lingkungan dan sumber daya alam yang tersedia. Manusia cenderung
mengkonsumsi sebanyak-banyaknya sumber daya alam tanpa
mempertimbangkan upaya-upaya untuk melakukan pemulihan.
Ketika kita memperhatikan bagaimana proses produksi terpenuhi di era
modernism dan telah mengalami pada tingkat kejenuhannya, maka secara
bertahap terjadi pergeseran pemikiran tentang bagaimana benda hasil produksi
dapat diserap oleh pasar, melalui peningkatan penerimaan oleh konsumen.
Pada era ini pandangan hidup dunia lebih difokuskan pada bagaimana
mengelola konsumen pada tingkat konsumsi dari produksi, bukan lagi pada
tahap produksi yang menjadi fokus perhatian. Pemahaman tersebut dituangkan
oleh seorang sosiolog Featherstone (1991), dengan pernyataannya “bahwa
masyarakat saat ini adalah sebuah masyarakat yang memiliki ciri konsumtif”.
Ciri-ciri tersebut diperlihatkan melalui fenomena pergeseran pola pikir
masyarakat kapitalis yang bergeser dari berorientasi produksi ke arah
masyarakat yang konsumtif. Para kapitalis menitik tidak lagi menitik-beratkan
pada kontrol atas produksi secara umum dan pekerja produksi secara khusus.
Titik perhatiaan saat ini telah beralih pada pengontrolan konsumsi secara
umum, terutama pandangan hidup dan aksi-aksi konsumen yang diarahkan
pada perilaku konsumtif, perhatian besar dicurahkan untuk mendorong
masyarakat mengkonsumsi sesuatu yang lebih banyak dengan variasi yang
lebih besar. Sehingga era ini ditandai dengan meningkatnya peran penting
aspek promosi melalui media.
Ketika terjadi pergeseran fokus perhatian dari produksi ke komsumen, maka
masyarakat sebagai konsumen menjadi pusat perhatian dalam berbagai
keputusan, dan selain menawarkan kecepatan sebagaimana yang diusung oleh
pemikiran modernis, juga dikembangkan unsur kesenangan yang menjadi daya
tarik konsumen. Di era budaya, saat ini, masyarakat mengeluarkan dananya
bukan karena kebutuhan untuk memenuhi kehidupan dan penghidupannya akan
tetapi oleh lebih pada aspek kesenangan belaka, sebagai gambaran budaya
yang dapat dicontohkan disini adalah budaya makan di restoran cepat saji,
muculnya simbol-simbol dari pengguna restoran cepat saji tersebut sebagai
penyataan bahwa penggunanya sebagai bagian dari peradaban yang dianggap
memiliki posisi paling baik, karena ketika kita bicara citra rasa dari menu,
cenderung monoton dari masa, waktu dan tempat yang berbeda. Restoran cepat
saji tersebut pada awalnya adalah sebuah hasil dari pemikiran indutrialisasi
yang menuntut kecepatan waktu, namun saat ini produk tersebut sudah
disajikan dalam bentuk kesenangan penggunannya, penciptaan simbolis-
[73]
simbolis tertentu untuk meraih kesenangan bagi pemakainya. Lahirnya efek-
efek simbolis merupakan cerminan dari pemikiran yang melihat jauh pada
sudut pandang metafisik dan dapat mendorong ambiguitas yang cukup
menonjol.
Pada uraian di atas dapat dilihat ada siasat yang dicitrakan oleh kelompok
kapitalis untuk tetap mempertahankan eksistensinya, bahkan dirasakan atau
tidak dirasakan oleh para arsitek, bahwa banyak arsitek di tanah air ini yang
terbawa oleh siasat atau politik kapitalis tadi, sehingga banyak fungsi arsitek
yang hanya mengamini keinginan pelaku kapitalis. Sebagai gambaran pada saat
akan diadakan pembangunan sebuah mall di satu wilayah yang sebenarnya
wilayah tersebut sudah mencapai titik kejenuhan dari fungsi mall, tersebut,
maka ketika order tersebut jatuh kepada seorang arsitek, dia tidak berdaya
untuk memberikan solusi terhadap apa yang akan terjadi ketika mall tersebut
dibangun, ketika ada peluang mematikan mall yang lain atau mall yang sedang
dirancangnya pun akan segera mati sebelum berfungsi.
Beberapa kemungkinan yang membuat seorang arsitek tidak berdaya
menghadapi hal ini, mungkin dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan, atau
yang dikhawatirkan bila arsitek itu sendiri sudah terperangkap oleh kondisi
kapitalisme dan metarialisme, sehingga yang dianut hanya nilai-nilai yang
penting dapat proyek, yang penting dapat uang, bila hal ini sudah berkembang
pada pemikiran para arsitek di Indonesia maka kita hanya tinggal menunggu
kerusakan dan kekacauan yang akan dihasilkan. Sebagai gambaran fenomena
ini mungkin sudah terjadi, kita bisa saksikan saat ini banyak mall-mall yang
barus dibangun beberapa tahun akan tetapi ocupancy-nya belum terpenuhi,
bahkan beberapa mall terpaksa gulung tikar (di Holis, di Jatinangor, di By
Pass, dsb).
Pada persoalan ini seorang arsitek dituntut mampu berpolitik dengan client dan
regulator agar objek pembangunan yang ditangani dapat memberikan nilai-nilai
baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tanggung jawab kepada
sesama manusia, lingkungan serta Tuhannya. Bila tidak mampu melakukannya,
maka kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin bertambah parah,
bahkan lingkungan binaan yang menjadi produk arsitek akan menjadi senjata
kehancuran bumi ini, setidaknya turut berkontribusi terhadap kerusakan
lingkungan.

4.5. Kode etik hubungan arsitek


Hubungan Arsitek dengan Client
Hubungan utama seorang arsitek adalah hubungan antara arsitek dengan client-
nya, yaitu bentuk hubungan antara pemberi tugas dan penerima tugas.Yang
menjadi permasalahan adalah seorang pemberi tugas belum tentu sepenuhnya
[74]
memahami tugas apa yang disampaikan kepada seorang arsitek, dan kebutuhan
apa yang benar-benar diperlukan oleh pemberi tugas, untuk itu seorang arsitek
perlu memberikan penjelasan serta melakukan analisis berkaitan dengan
penugasannya dan menginformasikan serta menjelaskan kepada pemberi tugas
tersebut.
Melalui pemahaman yang mendalam dari kebutuhan seorang pemberi tugas ,
yang dirinci oleh arsiteknya, memberikan konsekuensi bahwa seluruh
informasi yang berkaitan dengan bangunan tersebut, maka akan diketahui
sangat detail oleh arsiteknya. Pengetahuan dan informasi tersebut tentunya
tidak terbatas pada bangunan saja, akan tetapi juga pada pengguna bangunan
serta pemberi tugas. Untuk itu informasi yang demikian terbuka bagi seorang
arsitek, dia berkewajiban menjaga informasi tersebut sebagai sebuah
kerahasiaan.
Kewajiban seorang arsitek adalah menjaga kerahasiaan yang diberikan oleh
pemberi tugas, baik yang berkaitan dengan identitas pemberi jasa maupun
terhadap objek arsitektur yang dirancangnya. Seperti diatur pada standar etika
3.2 kaidah tata laku 3.201 dinyatakan “Arsitek akan menjaga kerahasiaan,
kepentingan pengguna jasa, dan tidak dibenarkan memberitahukan informasi
rahasia, kecuali seijin pengguna jasa atau yang memperoleh kewenangan
hukum, misalnya didasarkan atau keputusan pengadilan”, menjaga
kerahasiaan merupakan sikap etika yang mengusung moralitas seorang arsitek.
Melalui upaya menjaga nilai-nilai tersebut seorang arsitek dapat memberikan
karyanya yang terbaik.
Selain itu bahwa dalam upaya menjaga kerahasiaan, juga seorang arsitek harus
mampu memberikan informasi yang benar kepada client, aristek harus mampu
memberikan solusi terbaik terhadap keinginan client tanpa harus mengabaikan
kepentingan-kepentingan masyarakat lainnya di luar pemiliki dan pengguna
bangunan. Bahwa seorang arsitek harus mampu memberikan kebaikan melalui
karyanya terhadap kehidupan dan penghidupan seluruh mahluk hidup dan
lingkungannya, kelak wacana ini kita kenal dengan pembangunan yang
berwawasan lingkungan yang telah melahirkan eco-architecture, eco-
settlement, eco-housing, atau pun eco-building.
Apakah pendekatan ekologi tersebut hanya sebatas wacana dan utopia saja,
tentunya hal ini sangat tergantung dari tingkat moralitas dari para arsitek saat
ini dan arsitek di masa yang akan datang. Moralitas ini tentunya dikaitkan
dengan etika-etika yang harus dibangun oleh masyarakat arsitektur, yang saat
ini diwadahi oleh IAI, PSAI, AMI, atau mungkin wadah-wadah lain yang kelak
akan bermunculan.
Bagaimana menciptakan hubungan yang seimbang antara arsitek dan pemberi
tugas, saat ini masih merupakan kendala bagi sebagian besar arsitek di

[75]
Indonesia, bahkan kebanyakan arsitek Indonesia berada pada posisi lemah bila
berhadapan dengan Client, hal ini ditandai oleh kemudahan para clien untuk
memaksakan kehendaknya terhadap disain, tanpa mempertimbangkan aspek
disain secara menyeluruh, sehingga dapat saja mengorbankan sesuatu hal yang
sifatnya di luar kepentingan client, sebagai contoh kembali disampaikan kasus
Babakan Siliwangi, bagaimana seorang arsitek harus tunduk pada keinginan
pengembang, yang memprioritaskan keuntungan ekonomi di atas kepentingan
lingkungan ekologis dan lingkungan budaya.
Client seorang arsitek tidak sebatas seorang individu, kelompok, swasta,
bahkan client seorang arsitek dapat juga unsur pemerintah, pemerintah melalui
kegiatan-kegiatannya sering juga memaksakan kekuasaannya sebagai yang
menguasai seorang arsitek, kita ambil saja sebagai contoh bagaimana rencana
pembangunan Mesjid di kawasan kantor pemerintahan di Gedung Sate
Bandung, yang sempat menggemparkan masyarakat kota dan dunia profesi
arsitek. Pada saat pembangunan itu sedang dilaksanakan dan dihentikan,
tentunya disain tampak bahwa arsitek berada pada posisi lemah, arsitek tunduk
pada keinginan penguasa, arsitek tidak mampu memberikan sebuah
pertimbangan rasional terhadap keberadaan mesjid di dalam kompleks tersebut,
bahkan pertimbangan rasional berkaitan dengan pelayanan yang disarankan
oleh SNI 03-1733-2004, tidak mampu diterapkan oleh arsitek dan disampaikan
kepada penguasa. Sebagaimana aturan dalam SNI tersebut bahwa setia fungsi
sarana peribadatan sebuah kota atau wilayah memiliki batasan jumlah
penduduk dan lingkup layanan, sedangkan pada letak mesjid kompleks tersebut
tidak jauh dari kompleks pemerintahan kita ketahui terdapat dua buah mesjid
yang tingkat pelayanannnya cukup luas, yaitu Mesjid Istiqomah dan Mesjid
Pusd’ai.
Pada era demokrasi saat ini, masih terlihat bahwa profesi arsitek belum
mencapai tingkat demokratisasi, banyak arsitek yang masih terkungkung oleh
kelemahan posisinya dibandingkan client. Seharusnya hal ini tidak terjadi
mengingat disain merupakan sebuah alat, yang dapat menyelesaikan berbagai
konflik kepentingan dan dirumuskan dalam disain, kemampuan penyelesaian
berbagai konflik tadi menjadi bagian dari pesan moral dan etika seorang
arsitek, ketika seorang arsitek berkehendak untuk menyelesaikan konflik tadi
kedalam sebuah disain maka ia dapat dikategorikan sebagai arsitek yang telah
beretika.
Untuk menghadapi hal tersebut sepatutnya setiap arsitek harus selalu
meningkatkan kemampuan serta pengetahuan disain, selain jam terbang dalam
ber-arsitektur. Mau tidak mau hal ini harus dilakukan mengingat
perkembangan teknologi serta ilmu pengetahuan lainnya senantiasa
berkembang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut telah mendorong
kebutuhan dan keinginan client selalu berubah-ubah.

[76]
Hubungan kerja antara arsitek dan client-nya diatur dalam surat kontrak dan
perjanjian kerja, dimana didalamnya mengatur mengenai hak dan kewajiban
dari keduabelah pihak. Termasuk didalamnya diatur ketika terjadi perselisihan
maka langkah apa yang harus ditempuh.
Hubungan Arsitek dengan Sejawat
Arsitek harus meningkatkan semangat kesejawatan antara sesama arsitek dalam
bentuk saling mengingatkan dengan cara silih asih, asuh, dan asah, tanpa harus
membeda-bedakan ras, suku, agama, maupun gender. Pembinaan dari arsitek
senior kepada arsitek muda perlu dilakukan untuk mengembangkan kecakapan
dalam profesionalismenya.
Kaidah tata laku 5.202 menyatakan bahwa “Arsitek tidak diperkenankan untuk
mengambil alih hak intelektual atau memanfaatkan karya/kreasi atau ide dari
arsitek lain tanpa ijin yang jelas dari arsitek pemilik gagasan tersebut” untuk
itu juga seorang arsitek harus dapat memberikan apresiasi terhadap karya
arsitek lain serta untuk dirinya harus membangun profesionalisme dan citra diri
melalui kemampuan diri bukan dengan memanfaatkan arsitek lain.
Hubungan sejawat saat ini difasilitasi melalui berbagai wadah seperti IAI,
PSAI, AMI, atau lembaga-lembaga lainnya, namun yang terpenting ketika
wadah-wadah yang mengayomi perkumpulan para arsitek tersebut tidak saling
bersingungan akan tetapi harus menjadi sinergi, satu dengan yang lainnya
mampu mengisi kekosongan dari yang lain dan saling melengkapi sehingga
terwujud warna arsitektur nusantara yang senantiasa diidam-idamkan.
Hubungan sejawat ini perlu dipahami bahwa profesi arsitek saat ini tersebar
pada berbagai profesi, seperti arsitek yang bergerak dalam perencanaan dan
perancangan bangunan dan bekerja dalam biro atau konsultan arsitektur, arsitek
yang bergerak sebagai pendidik yaitu yang berada di lembaga-lembaga
pendidikan perguruan tinggi, arsitek yang berfungsi sebagai birokrat, arsitek
yang bergerak sebagai kontraktor, dan arsitek yang bergerak sebagai peneliti.
Jalinan antara sejawat tersebut seharusnya dapat melingkupi berbagai profesi
tersebut, sebagaimana kita ketahui apa yang dilakukan dalam disain tentunya
harus dapat dilakukan pada tingkat pelaksanaan, demikian juga apa yang
dilakukan oleh para peneliti arsitek (baik yang berada di bawah lembaga
pendidikan maupun di bawah lembaga litbang), produk litbangnya harus dapat
digunakan dan oleh para arsitek profesional yang bergerak di lingkup disain
serta arsitek yang bergerak dilingkup kontraktor.
Hubungan yang baik antara berbagai profesi yang digeluti para arsitek
memungkinkan pengembangan ilmu arsitektur berjalan dengan baik, bahwa
wadah-wadah yang mampu menyatukan hubungan lintas profesi diantara
arsitek tadi boleh dikatakan masih kurang, sehingga kita masih berpikir dan
bergerak sektoral, seorang arsitek di sebuah konsultan perencanaan mungkin
[77]
enggan berkomunikasi dengan arsitek yang bergerak di kelitbangan, demikian
juga sebaliknya arsitek yang bergerak di kelitbangan tidak membuka
komunikasi dengan arsitek yang bergerak sebagai praktisi baik di konsultan
perencanan maupun di sebuah kontraktor pembangunan. Selama para arsitek
dalam berhubungan dengan sejawat membatasi pada kelompok-kelompok kecil
dalam IAI, AMI, PSAI, HAKI, INKINDO, dan Forum Kelitbangan, maka
boleh yakin bahwa perubahan ilmu arsitektur sangat sulit terwujud. Kondisi
demikian sangat sulit bagi para arsitek di tanah air untuk dapat berkiprah dalam
ilmu arsitektur pada skala internasional, atau kita sebagai penggerak keilmuan
di bidang arsitektur. Tidak salah bila kita selalu mengadopsi ilmu-ilmu
arsitektur dari luar, sangat sedikit dan kurang ilmu arsitektur yang kita
kembangkan sendiri.
Peluang untuk penggalian ilmu arsitektur kita sangat terbuka, dan kita memiliki
sumber daya arsitektur yang berlimpah, yaitu yang berasal dari arsitektur
tradisional maupun arsitektur vernakular kita. Kita harus mulai menggali dan
menuliskan bentuk-bentuk kearifan lokal ke dalam wadah keilmuan arsitektur
nasional kita. Sehingga generasi ke depan tidak akan kehilangan jejak-jejak
arsitektur nusantara, yang semakin hari semakin pudar dimakan oleh waktu dan
ideologi luar yang masuk dengan kuat memengaruhi bangsa dan keilmuan kita.
Hubungan Arsitek dengan Regulator
Lembaga eksekutif dan legislatif saat ini boleh dikatakan sebagai lembaga
regulator, namun secara substansi regulasi lebih banyak disiapkan oleh
lembaga eksekutif dalam hal ini pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Hal apa yang menjadi catatan penting dalam kaitan
hubungan antara arsitek dengan regulator, tentunya fungsi regulator itu sendiri
yang berpengaruh terhadap bentukan arsitektur melalui ketentuan-ketentuan
yang membatasi sebuah disain
Fungsi regulator utama saat ini diperankan oleh pemerintah dan lembaga
perwakilan rakyat di DPR, baik itu pada tingkat pusat maupun daerah pada
tingkat propinsi mapun kota atau kabupaten dan bagaimana peran arsitek
masuk pada proses penyusunan sebuah regulasi. Untuk memahami ini, kita
harus terlebih dahulu mengacu pada Undang-Undang No. 10/2004, tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana secara garis besar
diamanatkan bahwa terdapat hirarki peraturan perundangan di Indonesia,
dimana Undang-Undang Dasar 45 menjadi udang-undang tertinggi yang harus
diacu oleh undang-undang lainnya, dilanjutkan oleh peraturan pemerintah,
peraturan presiden dan peraturan daerah.
Pada hal perundangan-undangan yang berkaitan dengan arsitektur saat ini
terdapat dua undang-undang yang mengatur dengan cukup kuat, yaitu Undang-
Undang Bangunan Gedung No. 28/2002 serta Undang-Undang Jasa Konstruksi

[78]
No. 18/1999. Kedua undang-undang tersebut beberapa telah ditindak lanjuti
dalam peraturan pemerintah dan keputusan menteri terkait, selanjutnya
Undang-Undang Bangunan Gedung (UUBG) seharusnya ditindak lanjuti pada
tingkat daerah menjadi Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung, karena
setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dengan daerahnya, maka
diwajibkan setiap daerah menyiapkan Peraturan Daerah berkaitan dengan
Bangunan Gedung.
Yang menjadi pokok permasalahan sejauh mana arsitek terlibat didalam
penyusunan Undang-undang maupun Peraturan Daerah tersebut. Peran aktif
seperti apa yang diharapkan arsitek baik secara individu maupun secara
lembaga yang diwakili oleh IAI, PSAI, atau yang lainnya dapat memberikan
pengaruhnya. Dapat disampaikan bahwa perannya sampai saat ini sangat
kurang, hal ini dapat dirasakan ketika dilakukan rapat Konvensi (konsensus)
sebuah peraturan yang berkaitan dengan aspek teknis maupun aspek non teknis
berkaitan dengan bangunan gedung, yang dilakukan oleh lembaga ad-Hoc yang
dibentuk oleh Pemerintah, tingkat partisipasi dan peran serta aktif dari
masyarakat arsitektur sangat kurang.
Pada sisi lain, bahwasanya inisiasi regulasi yang berkaitan dengan peraturan
bangunan baik dalam bentuk Peraturan Menteri, peraturan daerah, atau pun
peraturan Teknis yang dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI),
lebih banyak di inisiasi oleh pemerintah, dan hampir kurang lembaga asosiasi
profesi menyampaikan atau mengajukan usulan pengaturan teknis tersebut.
Pada beberapa negara maju bahwa asosiasi profesi berperan aktif mengusulkan
pengaturan-pengaturan khususnya yang bersifat teknis.
Ketidak aktifan dalam penyusunan regulasi dari sebuah profesi arsitek tentunya
secara tidak langsung telah melemahkan posisinya dalam pembangunan ini,
khususnya pembangunan bangunan gedung, terlepas kita dapat mengelak
dengan menyatakan bahwa aturan di negeri ini masih dapat diatur. Akan tetapi
tetap bahwa posisi arsitek akan menjadi lemah secara normatif.
Peluang arsitek masuk dalam keanggotaan masyarakat standar (Mastan)
merupakan satu jalan masuk untuk mulai memengaruhi kebijakan teknis dalam
penyusuanan pengaturan. Bagaimana IAI mulai membuka diri dengan
anggotanya untuk melibatkan diri dalam penyusunan berbagai peraturan yang
diberlakukan di Indonesia, bagaimana IAI mulai mempersiapkan standar-
standar teknis di bidang arsitektur, sehingga akan membuka peluang penguatan
posisi arsitek dalam kancah pembangunan nasional.

Hubungan Arsitek dengan Bangunan dan Lingkungan Binaan


Berangkat dari kerusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim,
yang mengakibatkan terjadi peningkatan curah hujan di kawasan utara
[79]
sepanjang abad 20 dan pengurangan curah hujan pada daerah sub stropikal,
fenomena El Nino adalah disebabkan oleh gejala perubahan permukaan air laut
dapat terjadi dalam waktu singkat akibat dari perubahan iklim yang ditandai
oleh perubahan fisik air laut dan atmosfer. Gejala ini dapat terjadi ketika
puncak suatu musim sedang berlangsung yang ditandai oleh angin kuat atau
turunnya tekanan udara yang menyebabkan masa air laut juga bereaksi
bergerak ke suatu titik yang menyebabkan muka air laut turun naik. Dinamika
perairan yang melibatkan perubahan ekstrim pada suhu dan sanitasi
menyebabkan perubahan volume dan pergerakan masa air laut pada skala luas
yang ditandai pula dengan perubahan paras muka laut.
Mata rantai dampak penipisan lapisan ozon berikutnya adalah terjadinya
pemanasan global (global warming). Gas karbon dioksida (CO2) memiliki
kontribusi paling besar sekitar 50 persen, diikuti chloroflourocarbon (CFC) 25
persen, gas methan 10 persen, dan sisanya gas lain terhadap pemanasan global.
Pemanasan global juga menyebabkan mencairnya lapisan es di Benua
Antartika. Akibatnya, muka air laut global naik sampai 25 cm di akhir abad ke-
20. Sehingga terjadi ketidakseimbangan iklim, dimana di suatu tempat terjadi
bencana kekeringan, dan di tempat lainnya terjadi bencana banjir. Dalam
periode seratus tahun mendatang Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) memprediksi kenaikan temperatur mencapai 2,5 sampai 10,4o C dan
mengindikasikan bahwa akan terjadi kenaikan permukaan air laut akibat dari
cadangan es di kutub utara dan selatan bumi yang mencair.
Perubahan iklim saat ini sudah sangat menghawatirkan, dimana Karbon
dioksida (CO2) merupakan gas utama penyebab pemanasan global, yang akan
berakibat pada perubahan iklim yang menyebabkan banjir dan kekeringan,
perubahan ekosistem hutan dan daratan, dan kemudian berpengaruh pada
kesehatan manusia. Tahun 1994, 83% peningkatan radiasi gas rumah kaca
disebabkan oleh CO2, 15 % CH4 dan sisanya N2O dan CO (Ministry of
Environment, 2001). Jumlah emisi CO2 terbesar di Indonesia disebabkan oleh
deforestasi dan konversi lahan (74%), diikuti konsumsi energi (23%) dan
proses industri (3%).
Jumlah terbesar dalam kontribusi kerusakan lingkungan tadi adalah sektor
bangunan, sebagai gambaran bangunan telah menkonsumsi sejumlah lahan
untuk bangunan, bangunan telah mengkonsumsi sumber daya alam untuk
konstruksi dalam bentuk bahan galian C dan bahan tegakan yang bersumber
dari hutan, bangunan pula yang membutuhkan energi pada saat
penghunian/pengoperasian, serta bangunan dan kota yang menghasilkan
sampah dan pencemaran, hal ini tidak terlepas dari fungsi bangunan sebagai
wadah dari aktifitas manusia. Dalam kaitan ini arsitek memegang peran
penting dalam pemulihan serta mempertahakan kondisi lingkungan agar tidak
menjadi semakin parah. Tangung jawab arsitek terhadap lingkungan ini diatur

[80]
dalam kaida-kaidah etika dan sebagai bentuk pertanggung jawaban moril
terhadap lingkungannya.
Bahwa suatu lingkungan binaan yang baik ketika lingkungan tersebut dapat
memberikan pembelajaran kepada manusia sebagai pengguna dalam
pembentukan perilaku, khususnya perilaku yang lebih baik dalam tata
kehidupan yang kelak dapat menunjang kehidupan dirinya serta kelangsungan
lingkungan hidupnya, yang tidak terlepas dari lingkungan alamiah dan
lingkungan binaan, untuk itu fungsi lingkungan binaan seharusnya dapat
menggantikan fungsi lingkungan alamiah yang telah diubah oleh arsitek.
Standar etika 2.2 tentang pelayanan untuk kepentingan masyarakat umum
mengamanatkan bahwa “arsitek selayaknya melibatkan diri dalam berbagai
kegiatan masyarakat, sebagai bentuk pengabdian profesinya, terutama
membangun pemahaman masyarakat akan arsitektur, fungsi, dan tanggung
jawab arsitek”, bahwa setiap bangunan dan lingkungan binaan tersebut dapat
menjadi wadah pembelajaran bagi penggunanya dan menjadi pengguna
mendapatkan kualitas kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.
Arsitek dan bangunan maupun lingkungan binaan memiliki keterkaitan kuat
baik hubungan positif ketika bangunan dan lingkungan binaan tersebut
memberikan dampak yang baik atau sebaliknya ketika karya arsitek tersebut
menjadi cemooh masyarakat bahkan dapat saja memakan korban seperti
gedung Jamsostek dan menara ITC di Jakarta yang memakan korban dan harta
benda, yaitu peristiwa terjatuhnya sebuah mobil dari tempat parkir di lantai atas
banguanan tersebut.

Hubungan Arsitek dengan Dirinya


Pada tingkat etika dalam profesi arsitek, seorang arsitek berkewajiban untuk
senantiasa mengembangkan kemampuan diri serta berupaya turut berpartisipasi
dalam pengembangan pengetahuan arsitektur, sehingga apa yang dilakukan
dalam disain senantiasa memberikan kontribusi yang baik terhadap lingkungan
dan dirinya. Bangaimana seorang arsitek membangun dan menjadikan
pekerjaannya sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Maha Pencipta, serta
bagaimana dia senantiasa berpikir sebagai pelaku perubahan kehidupan pada
arah perubahan yang lebih baik, seorang arsitek harus selalu membangun
kecintaan pada pekerjaannya, karena menurut berbagai pengalaman, bahwa
banyak karya-karya abadi serta monumental terlahir dari tangan-tangan arsitek
yang bekerja dengan penuh kecintaan terhadap pekerjaannya. Keindahan
tercipta ketika manusia berkarya dengan sepenuh hati, manusia berkarya
dengan penuh keCINTAan, dan manusia berkarya dengan mengharap
penilaian dan kerido’an dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

[81]
Dalam hal ini banyak karya-karya abadi yang tercipta dari seorang yang
memiliki kecintaan kepada Sang Penciptanya, seperti Michelle Angelo, dia
melukis dinding plafond dari gereja St. Sitine, hanya mengharap kerido’an
Tuhannya, dalam satu kisah diriwayatkan ketika Michelle Angelo terus bekerja
bertahun-tahun melukis plafond gereja, sang Paus, pemimpin gereja saat itu
memerintahkan untuk segera menghentikan pekerjaan Angelo, karena menurut
dia lukisannya sudah terlalu bangus untuk dilihat dari bawah, tapi Sang Pelukis
tetap tidak mau menghentikan dengan alasan, dia melukis dipersembahkan
untuk Tuhan, dan dia yakin Tuhan dapat melihat lebih detail lukisannya,
sehingga kesempurnaan dia terus bekerja sampai sedetail mungkin. Alhasil
karya tersebut sampai saat ini menjadi karya yang abadi, dan masuk ke dalam
salah satu keajaiban dunia, sehingga selalu dipelihara dan diabadikan bahkan
dikenang sampai akhir jaman tentunya.
Banyak karya-karya yang kemudian hari menjadi karya abadi ketika pada
proses penciptaannya melibatkan emosi CINTA, seperti bangunan Taj Mahal
di India. Nama Taj Mahal berasal dari nama istri Raja Syech Jeihan yang
mendirikannya, Mumtaz Mahal. Bangunan yang diciptakan karena cinta
kepada Sang Maha Pencipta ini, juga diberi nama pada pujaan hati
(permaisuri) yang sangat disayanginya ,Mumtaz Mahal. Ungkapan CINTA
tersebut dapat diwujudkan tidak sebatas manusia dengan manusia, tapi juga
manusia dengan Tuhan-nya, bahkan CINTA seorang pemimpin terhadap
Bangsanya, seperti karya Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, merupakan
ungkapan rasa CINTA Bung Karno terhadap Indonesia, negeri yang
dipimpinnya.
Cinta hanya terlahir dari sebuah ketulusan dan dibangun dalam diri dan oleh
dirinya, sangat sulit sekali cinta dipengaruhi oleh fantor ekternal, tentunya
dalam konteks ini cinta terhadap profesi, seperti kata mutiara yang menyatakan
“kerjakan pekerjaan yang harus kamu kerjakan bukan pekerjaan yang kamu
suka mengerjakannya”.

4.6. Penutup
Etika memegang peran utama dalam perkembangan profesi asritektur, etika
mampu membuka dalam pengembangan ilmu arsitektur, melalui etika
kehidupan ber-arsitektur akan berjalan dengan baik, etika merupakan suatu tata
nilai yang tidak saja tertulis dalam kode etika akan tetapi harus melekat dalam
sikap disain seorang arsitek. Etika dan praktek arsitektur dari periode ke
periode selalu berubah, hal ini diakibatkan oleh tata nilai yang juga selalu
berubah, namun demikian pada tingkatan tata nilai tersebut masih ada tata nilai
yang sulit dan mungkin perubahan hampir tidak terjadi, tata nilai tersebut
biasanya yang menyangkut kemanusiaan, sedangkan tata nilai yang sifatnya

[82]
fisik dan itu melekat pada tata nilai teknis dan teknologi, perubahan sangat
pesat.
Etika memberikan tata atur dalam kehidupan ber-arsitektur, baik itu yang
menyangkut tata perilaku arsitek, tata perilaku disain dan karya arsitek, tata
dan perilaku yang berkaitan dengan pembangunan dengan hubungannya
dengan client, regulator serta profesi lain yang berkaitan dengan dunia disain,
seperti kelitbangan, kontraktor, maupun edukasi, seluruh tata atur dan perilaku
tersebut bermuara pada perwujudan moralitas dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai, nilai-nilai yang diangkat dari nilai-nilai sosial budaya, maupun nilai-nilai
yang disusun dalam bentuk norma-norma yang tertulis dalam bentuk regulasi
teknis maupun regulasi administratif.
Pada akhir tulisan ini diungkapkan dua point utama yaitu tatangan masa depan
yang semakin berat dengan isu kerusakan lingkungan dimana arsitektur
dianggap sebagai salah satu kontributor terbesar dari kerusakan tersebut serta
bagaimana sikap profesional arsitek menghadapi berbagai persoalan yang tidak
kunjung tuntas.
Tantangan Masa Depan
Dua tantangan besar profesi arsitek saat ini, yaitu kerusakan lingkungan serta
menurunnya kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Tantangan utama arsitek
saat ini adalah liberalisme yang berkembang diseluruh lini masyarakat
Indonesia, namun sayangnya bahwa meterialisme yang berkembang saat ini
bangsa Indonesia hanya berperan sebagai konsumen terbesar.
Melalui pendekatan disain yang baik dengan menjujung tinggi moral arsitek
sebagai pelaku disain seharus dapat melakukan perubahan-perubahan yang
cukup signifikan, bagaimana moralitas tersebut dijunjung tinggi melalui
kepedulian terhadap kondisi sosial yang semakin hari menunjukkan
dekandensi, dan disain harus dapat mengubahnya untuk meningkatkan kembali
nilai-nilai kemanusian, sebagaimana seorang sosiolog Perancis Le Play
sampaikan bahwa “kehidupan manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan”
demikian juga Jon Lang menyatakan bahwa “antara manusia dan lingkungan
terjadi interaksi”, dengan demikian arsitek memegang peran penting dalam
perwujudan lingkungan binaan yang baik yang mampu penempatkan manusia
pada kedudukannnya sebagai manusia dan hidup berdampingan dengan
lingkungan secara harmonis.
Suatu lingkungan binaan yang baik tidak akan terlepas dari tindakan arsitek
yang profesional yaitu bertindak penuh tangung-jawab. Seorang perencana
yang cerdas dan berbudi-pekerti yang baik, dimana pekerjaan perencanaan
merupakan bagian dari amanah, sebagaimana manusia merupakan khalifah di
muka bumi.

[83]
Sikap Profesi yang Profesional
Sikap profesional pada profesi arsitek adalah sikap penuh tanggung jawab
terhadap karya disainnya, dan sikap profesional dakam bentuk pertangung
jawaban tersebut tidak sebatas pada penyelesaian permasalahan bila terjadi
masalah pada disainnnya, akan tetapi sikap profesional yang diharapkan dari
seorang arsitek adalah sikap mengantisipasi permasalahan yang muncul dari
konsekuensi disain, sebelum permasalahan itu terjadi. Akhirnya bahwa seorang
arsitek selalu mempertimbangkan kemungkinan atau dampak yang terjadi dari
disainnya, sehingga ketika disain itu dilakasanakan tidak terjadi dampak
negatif, baik dampak negatif yang terjadi pada pengguna bangunan maupun
dampak negatif yang terjadi pada lingkungan.
Untuk dapat bersikap demikian seorang arsitek senantiasa harus selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam lingkungan sosial budaya
serta spiritual dari arsiteknya, untuik itu setiap arsitek senantiasa harus mampu
mengembangkan tiga kemampuan diri yaitu meningkatkan kecerdasan
spiritual, kecerdasan emosional serta kecerdasan intelegensia. Ketiga
kecerdasan tersebut memungkinkan seorang arsitek melakukan tindakan disain
dengan metoda dan cara berpikir yang komprehensif holistik dan menyeluruh.

[84]
[5] Ruang Publik Rumah Susun
Dalam pembentukan karakter budaya

5.1. Latar Belakang


Pentingnya Mengetahui Peran Ruang Publik pada Rumah Susun
terhadap Perilaku Penghuni
Rumah merupakan elemen penting dalam agenda pembangunan nasional,
seperti halnya kesehatan, pendidikan, dan banyak aspek kehidupan manusia
lainnya. Rumah merupakan kebutuhan dasar setelah sandang dan pangan.
Rendahnya daya beli masyarakat saat ini, serta tingginya pertumbuhan
kebutuhan rumah saat ini masih merupakan masalah utama dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat sebagai Visi Nasional, sesuai dengan amanat Undang-
undang Dasar 45. secara formal hal ini telah dicetuskan didalamnya yaitu pasal
28 h ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”. Hal ini
dirumuskan kembali dalam Undang-undang No.1 tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman, menyatakan bahwa ” bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan
kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis
dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya
membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan
produktif”. pemerintah berupaya mendorong perwujudan cita-cita bangsa
khususnya disektor penyediaan perumahan dan permukiman yang sehat, aman,
nyaman, layak huni dan terjangkau serta produktif.
Mengacu pada cita-cita luhur negeri ini, sebagai out come dari pembangunan
perumahan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, hal ini
[85]
mengandung arti bahwa diharapkan terjadi perubahan sosial yang dibentuk
oleh pembangunan perumahan. Bahwa penyediaan perumahan yang layak huni
dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah saat ini terkendala oleh
gap antara daya beli masyarakat dengan biaya investasi dalam pembangunan
rumah. Tingginya harga rumah disebabkan oleh kenaikan bahan bangunan
serta harga lahan. Lahan merupakan persoalan yang semakin hari semakin
sulit, selain harganya terus meningkat juga ketersediaan lahan untuk
perumahan semakin sulit, khususnya di perkotaan. Konversi lahan produktif
tidak dapat dihindarkan, pertumbuhan kota ke arah horizontal (urban sprawl)
telah menjadi beban tersendiri dikarenakan oleh biaya penyedian infrastruktur,
dan living cost akan menjadi mahal serta kerusakan lingkungan akan semakin
parah. Pada kondisi demikian pola penyediaan perumahan secara vertikal
mutlak untuk diterapkan agar pembangunan kota lebih ringkas dapat semakin
(compact city). Kesadaran ini telah dirasakan oleh Pemerintah, untuk itu
program 1000 tower dicanangkan untuk melakukan percepatan penyediaan
perumahan secara vertikal.
Pada sisi lain kebutuhan rumah terus menerus meningkat tiap tahunnya, hal ini
disebabkan oleh peningkataan jumlah penduduk di perkotaan terutama
diakibatkan oleh urbanisasi. Hal ini telah mendorong pertumbuhan rumah baru
saat ini telah mencapai 800.000 unit per tahun serta pertumbuhan keluarga baru
mencapai 1.400.000 keluarga muda per tahunnya [BPS 2000], menurut
undang-undang perkawinan tahun 1974, usia perkawinan minimal bagi wanita
adalah 16 tahun sedangkan laki-laki adalah 19 tahun, dengan demikian tigkat
kebutuhan perumahan sejalan dengan pertumbuhan pasangan baru indentik
dengan angka 1.400.000 unit, dan bila ditinjau dengan angka tersebut maka
cukup besar kebutuhan perumahan di Indonesia, belum lagi backlog sampai
dengan tahun 2005 ini telah mencapai 7,2 juta unit rumah, ditambah lagi
dengan 14 juta unit rumah masyarakat berada dalam kondisi yang kurang layak
huni serta tidak kurang dari 10.065 lokasi perumahan merupakan kawasan
kumuh dengan luas 47.393 ha atau dihuni oleh kurang lebih 16,2 juta jiwa.
Besarnya kebutuhan perumahan yang belum dapat terfasilitasi saat ini,
menunjukan bahwa penyediaan perumahan memegang peran strategis dalam
pembentukan karakter bangsa. Dan penyediaan perumahan secara vertikal
sudah menjadi solusi yang dipilih di beberapa kota besar di dunia termasuk
Indonesia saat ini. Berangkat dari pengalaman beberapa negara-negara Barat
(Eropa dan Amerika) yang telah lebih dahulu melakukan program penyediaan
perumahan secara vertikal pada skala masal, pada akhirnya dalam proses
perjalanan waktu banyak mengalami persoalan sosial yang berkaitan dengan
perubahan perilaku dari penghuni, banyak yang berakhir dengan meninggalkan
vandalisme, kriminalitas, maupun pornografi [Newman 1978]. Berangkat dari
pengalaman tersebut, kiranya pola serupa yang sedang berjalan saat ini di
Indonesia dalam penyediaan rumah vertikal secara masal dalam program 1000
[86]
tower, masih belum dilakukan penelitian mengenai pembentukan budaya
masyarakat di rumah susun. Penelaahan ini akan menggali sejauhmana ruang-
ruang publik dalam rumah susun sederhana membentuk perilaku penghuni
dalam kegiatan sehari-hari sebagai individu maupun sebagai komunitas, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan rujukan dalam penyusunan
kebijakan dalam penyediaan perumahan bersusun dengan mengantisipasi
perubahan budaya masyarakat penghuni ke arah yang lebih baik, dalam
peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupannya.
Tantangan Perumahan Vertikal
Rintisan pembangunan rumah susun di Indonesia telah dimulai sejak tahun
1974, dimana flat housing untuk pertama kalinya telah diuji-cobakan oleh
Puslitbang permukiman di Turangga, selanjutnya pada tahun 1980 an
pembangunan mulai marak dilakukan oleh kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, dan Medan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah daerah maupun
oleh Perumnas, pembangunan lebih banyak diarahkan pada penataan kembali
kawasan kumuh, sampai dengan awal tahun 2002, pemerintah pusat mulai
memberikan perhatian besar pada pembangunan perumahan secara vertikal,
yang tidak hanya ditujukan pada penataan kawasan kumuh, akan tetapi lebih
pada penyediaan perumahan dengan pertimbangan efisiensi lahan, yang
disebabkan oleh semakin sulit dan mahal harga lahan. Dari hasil lokakarya
Rumah Susun Sederhana di Jatinagor pada tahun tersebut telah menghasilkan
kesepakatan antara berbagai stakholder untuk berupaya menggulirkan program
pembangunan Rumah Susun Sederhana, dukungan tersebut ditunjukan melalui
keterlibatan sebagai peserta sayembara disain Rumah Susun Sederhana
(Rusunawa) pada tahun tersebut, selanjutnya pada tahun 2003 dimulai
pembangunan rumah susun di 10 kota besar di Indonesia yang sebagian besar
diangkat dari hasil sayembara tersebut, program tersebut walau sedikit terseok-
seok akan tetapi terus berjalan, selanjutnya pemerintah melakukan percepatan
kembali dengan mencanangkan program 1000 tower pada tahun 2007, dengan
penambah program tidak sebatas rumah susun sederhana sewa (Rusunawa)
akan tetapi rumah susun sederhana milik (Rusunami).
Tipikal arsitektur rumah susun sederhana pada program tersebut umumnya
menggunakan model disain twin block, dengan pola masa single-loaded,
sedangkan pada era 80an, tipikal rumah susun yang dibangun selain single-
loaded, juga ada double-loaded serta terpusat dengan void atau tanpa void.

[87]
Single-loaded double-loaded

centre
Bagan 1. Tipikal bentuk rumah susun sederhana

Berdasarkan kebijakan pembangunan perumahan susun yang diarahkan pada


kota-kota besar di atas, maka penelitian ini akan di fokuskan pada rumah susun
sederhana baik sewa maupun milik di 10 kota yang menjadi pilot projek
pemerintah, dengan melakukan pengelompokan terlebih dahulu berdasarkan :
 Rumah susun yang dihuni telah minimal dua tahun, dengan
pertimbangan bahwa bangunan kurang dari dua tahun proses
pembentukan budaya belum memadai.
 Rumah susun yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang
berpenghasilan rendah, dengan memisahkan antara penghunian dengan
status kepemilikan dan status sewa.
 Rumah susun dengan ketinggian tidak lebih dari enam lantai, dengan
pertimbangan bahwa ada perbedaan antara bangunan kurang dari enam
lantai dan lebih dari enam lantai, yaitu dari sistem sirkulasi, selain itu
pembangunan rumah susun lebih dari enam lantai, masih terbatas,
sejauh di DKI Jakarta, sementara kota-kota lain belum menerapkan.
 Bagian yang akan diteliti adalah ruang-ruang publik pada bangunan
rumah susun, mulai dari ruang pencapaian sampai dengan ruang
peralihan menuju unit-unit rumah susun.
Pada setiap ruang-ruang publik tersebut akan dilakukan pengamatan terhadap
bagaimana masyarakat mengfungsikan ruang tersebut, dan fungsi-fungsi apa
saja yang ditampung dalam ruang publik yang diamati, selanjutnya melihat
bagaimana proses pembentukan perilaku yang disebabkan oleh setiap bentukan
ruang tersebut.

[88]
Penelitian tentang ruang publik pada rumah susun sedarhana, sesuai dengan
fungsinya bahwa ruang publik tersebut diperuntukan untuk menampung
kegiatan-kegiatan bersama penghuni dalam rumah susun, sehinga di dalamnya
terdapat unsur-unsur pola perilaku penghuni, yang mengalami perubahan, dari
pola ruang publik di atas tanah menjadi ruang publik dalam sebuah bangunan.
Sehingga dalam proses pemahaman perilaku penhuni tersebut diperlukan
penggalian terhadap pola perilkua masyarakat sebelum tinggal di rumah susun,
yang dapat diambil dari pola perilaku masyarakat yang tinggal di kampung
kota sebagai pembanding dengan pola perilaku masyarakat yang tinggal di
rumah susun. Hal ini untuk mengamati perilaku apa saja yang dibawa ke rumah
susun dan perilaku apa saja yang dibentuk oleh rumah susun, seluruh perilaku
tersebut akan menbentuk sebuah perilaku masyarakat rumah susun (budaya
rumah susun).
Atas dasar tersebut, maka sebagai dasar pemikiran penelitian ini adalah “ruang-
ruang publik pada rumah susun membentuk perilaku penghuni dalam rumah
susun, sebagai sebuah proses adaptasi penghuni yang kelak dapat menjadi
sebuah bentuk budaya rumah susun”. Untuk itu disusun sebuah tesa : bahwa
ruang dalam rumah susun memberikan pengaruh terhadap perilaku penghuni
yang secara bertahap akan mengalami perubahan, sebagai proses adaptasi
sosial budaya terhadap spasial, sehingga perencanaan ruang dalam rumah
susun tidak hanya sebatas fisik semata akan tetapi non fisik menjadi
pertimbangan sebuah disain.
Untuk menjawab hipotesa di atas, maka perlu memahami terlebih dahulu
bagaimana sebuah ruang memberikan nilai dan kualitas ruang, sebagaimana
ruang dapat memberikan berbagaimacam perasaan kepada manusia, ada ruang
yang memberikan rasa takut, mencekam, juga ada ruang yang memberikan rasa
nyaman, tenang. Kondisi dan kualitas ruang tersebut akan berdampak bagi
manusia, ruang yang menimbulkan perasaan menyeramkan akan membuat
manusia menjadi stres, sehingga akan membuat manusia itu sakit. Perasaan-
perasaan demikian akan muncul pada bangunan rumah susun, karena penghuni
rumah susun akan mengalami suatu perubahan kebiasaan hidup, dari kebiasaan
hidup di atas tanah menjadi dalam bangunan. Kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan di atas tanah menjadi di dalam bangunan.
Pada tahap awal pertanyaan yang harus dapat terjawab adalah bagaimana
masyarakat memanfaatkan ruang-ruang publik? Apakah ruang-ruang publik
tersebut telah mampu mewadahi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan
kehidupannya dalam rumah susun? Dan kegiatan-kegiatan apa saja yang terjadi
pada ruang publik di rumah susun baik itu yang terbentuk akibat tempat tinggal
di rumah susun ataupun kegiatan-kegiatan yang dibawa dari tempat sebalum
tinggal di rumah susun, serta kegiatan-kegiatan apa saja yang hilang dari
tempat tinggal sebelum tinggal di rumah susun?. Pada proses adaptasi itu dapat

[89]
diperkirakan akan terjadi pembentukan kegiatan baru dan penghapusan
kegiatan lama termasuk kegiatan lama yang tetap bertahan akan tetapi
mengalami adaptasi.
Untuk itu perlu dipahami bagaimana ruang dapat memengaruhi perasaan
manusia?, dan bagaimana dampak dari perasaan yang terjadi pada diri manusia
tersebut dapat memengaruhi pada perubahan perilaku manusia, sebagaimana
kita ketahui pola perilaku kehidupan manusia dalam lingkungan perumahan
dan permukiman memiliki pola-pola tertentu yang dibentuk oleh pola ruang
yang selama ini membentuk dirinya, namun ketika pola-pola ruang tersebut
harus berubah, tentunya akan berpengaruh terhadap perilaku manusia.
Selanjutnya perlu dikenali aspek-aspek ruang apa saja yang memengaruhi
perubahan perasaan yang ditandak lanjuti oleh perilaku manusia?, dalam hal
ini, ruang memiliki dimensi fisik dalam satuan luas, volume, warna, tekstur,
dsb dan non fisik seperti kenyamanan, yang keseluruhannya akan diterima oleh
manusia melalui inderawi.
Setelah memahami bagaimana ruang dapat memengaruhi perilaku manusia dan
aspek-aspek ruang saja yang dapat memengaruhi perubahan tersebut,
pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sebuah ruang publik dalam rumah
susun dapat membentuk perilaku penghuni? yang akhirnya akan menciptakan
sebuah budaya rumah susun.
Bagaimana pengaruh berbagai pola ruang terhadap pembentukan perilaku
masyarakat dalam pembentukan karakter budaya hidup di rumah susun,
merupakan sebuah pertanyaan yang segera mendapatkan jawabannya.
Bagaimana pengetahuan toretis tentang pengaruh ruang public dalam rumah
susun terhadap pola pembentukan budaya berkehidupan di rumah susun, untuk
itu perlu kita memiliki beberapa pemahaman diantaranya:
 Pemahaman pola-pola ruang publik dalam rumah susun
 Pemahaman bagaimana masyarakat memfungsikan fungsi ruang
public sebagai penunjang aktifitas komunitas
 Pemahaman tentang pengaruh ruang terhadap perubahan perilaku
manusia, ruang bagaimana yang memberikan pengaruh positif
sehingga menghasilkan perilaku baik dan sebaliknya pengaruh negatif
ruang terhadap perilaku buruk seperti vandalisme, kriminalitas, dsb
 Pemahaman tentang ruang-ruang positif yang membentuk perilaku
masyarakat dalam berbudaya rumah susun
 Pemahaman tentang kebutuhan ruang publik pada sebuah rumah
susun, sebagai pegangan seorang perencana dalam penyusunan disain

[90]
sebuah rumah susun yang mempu memberikan peningkatan kualitas
kehidupan dan penghidupan penghuninya.

5.2. Konsepsi Ruang Publik


Interaksi antara Manusia dan Lingkungan
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat sendiri, dia perlu teman, manakala
manusia harus hidup sendiri maka manusia itu segera akan musnah, karena
tidak mampu hidup sendiri, berbeda dengan hewan. Hal ini disebabkan bahwa
manusia dilengkapi dengan akal, dimana akal manusia sedikitnya telah
melemahkan insting yang dimilikinya. Sebagai mahluk sosial manusia
melakukan interaksi sesama manusia lainnya, dan proses interaksi tersebut
merupakan sebuah proses komunikasi. Terdapat beberapa cara manusia
berkomunikasi, diantaranya melalui lisan, melalui tulisan, atau melalui isyarat.
Penalaah yang dilakukan dalam penelitian ini bukan sebatas komunikasi antara
manusia, akan tetapi komunikasi antara wujud arsitektur dan manusia,
bagaimana sebetulnya proses komunikasi itu berlangsung, sehingga
membuahkan perkembangan ilmu arsitektur serta perkembangan masyarakat
dalam berbudaya ”Menurut pandangan Prederik Le Play dan Edward Buckle
bahwa “sistem sosial masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan dan geografis”.
Pandangan tersebut mengilhami penelitian ini untuk merumuskan kembali hal-
hal yang menjadi pendorong terjadinya proses interaksi sehingga saling
pengaruh memengaruhi.
Perkembangan arsitektur yang terjadi selama ini tidak terlepas dari pengaruh-
pengaruh perubahan perilaku, serta tidak menutup kemungkinan bahwa antara
perubahan perilaku dan perubahan arsitektur keduanya saling bersinergi, hal ini
sejalan dengan asumsi yang dikembangkan oleh John Lang dalam bukunya
Creating Architectural Theory menyatakan “regarding the effect of the
characteristics of the built environment on human behavior. Community
facilities are said to create communities, park to reduce vandalism,
architectural magnificence to lift spirits”. Arsitektur sebagai wujud dari
kehidupan sosial budaya manusia dicerminkan melalui interaksi antara manusia
dengan lingkungan (natural maupun binaan), hal ini lebih kita kenal sebagai
proses asimilasi manusia terhadap lingkungan serta akomodasi lingkungan
terhadap manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk berasimilasi mengikuti
kondisi lingkungannya demikian juga alam memiliki kemampuan untuk
memperbaiki lingkungan untuk mencapai kondisi keseimbangan alam agar
ekosistem tetap berjalan. Perubahan merupakan tujuan dari arsitektur,
perubahan dinyatakan berhasil ketika terjadi peningkatan kualitas lingkungan
binaan dan pengguna bangunan.

[91]
Menurut Gottdiener yang memberikan konsep kunci dari pembangunan kota,
menyatakan bahwa “All social activities are also about space. Space is integral
factor in everything we do. Understanding this idea means that, when we
explore built environment, we must pay as much attentions to the way space
helps define our behavior as other variables of a social or interctive kind.
Attention to the spatial aspects of humam life means that design and
architecture all play an important role in the way people interact.”, tata ruang
lingkungan memiliki kandungan simbol-simbol dan tanda-tanda yang
merepresentasikan pikiran-pikiran masyarakat. Ruang memiliki makna dari
kehidupan dan penghidupan manusianya merupakan hal yang sangat penting
dalam uraiannya Gottdiener.
Komunikasi dalam Arsitektur
Mengapa komunikasi dalam arsitektur ini perlu dikembangkan, hal ini
dikarenakan, manakala wujud arsitektur mampu memberikan informasi sebagai
alat dalam komunikasi, kepada manusia yang menggunakan arsitektur
tersebut, dan informasi yang disampaikan itu baik, maka manusia akan
merespon baik terhadap komunikasi tersebut. Proses ini merupakan hal yang
wajar, sebagai contoh manakala seorang pedagang menawarkan barangnya
kepada pembeli dengan bahasa yang santun, maka pembeli akan mudah
tertarik, dengan ucap santun pedagang tadi, maka akan direspon dengan
kesantutan kembali. Yang menjadi permasalahan dalam arsitektur bahasa yang
santun tersebut terwujud dalam bentuk apa?. Untuk sementara penyusun
mencoba menyampaikan dengan istilah simbol yang ditangkap oleh manusia
sebagai makna. Seperti halnya komunikasi antara manusia agar direspon
dengan baik maka keduanya harus saling menjaga etika, selanjutnya etika
seperti apa yang diperlukan dalam bahasa arsitektural.
Simbolisasi yang akan dikupas dalam telaah ini, penyusun coba lebih dari pada
simbolisasi-simbolisasi yang dibawa oleh bangunan untuk menunjukan fungsi,
akan tetapi simbolisasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi intensif
antara manusia dengan arsitektur sepanjang waktu. Ada dua aspek yang akan
digali dalam bahasa komunikasi arsitektur, yaitu bahasa yang disampaikan oleh
ruang dan bahasa yang disampaikan oleh masa, ibarat bahasa non verbal dan
verbal dalam ilmu komunikasi secara umum. Tentunya kedua unsur bahasa
yang digunkan dalam komunikasi tersebut saling berkaitan. Bahwa ungkapan
kata-kata akan bermakna lain manakala disampaikan dengan cara mimik wajah
dan gerak tubuh yang berbeda.
Kumunikasi terjadi dimana-mana, antara hewan dengan hewan terjadi
komunikasi, antara tanaman dengan tanaman lainnya juga terjadi komunikasi,
bahkan menurut Prof. Hafid Cangara bahwa “ Seseorang yang sedang duduk
sendirian membaca buku dan mendengarkan radio dalam kamar dapat
digolongkan sebagai komunikasi, hal ini disebabkan manusia menerima pesan-
[92]
pesan dari buku dan radiao tadi”. Artinya satu aspek terpenting adalah dalam
komunikasi itu harus ada pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi
arsitektural ini pesan harus ada. Bagaimana pesan itu ada, dan pesan itu
beretika sehingga menghasilkan komunikasi yang baik, maka peran perencana
sangat tinggi.
Pesan (meaning) harus disampaikan oleh bangunan kepada manusia dan
diterima dan direspon oleh manusia. Melalui pesan yang ingin disampaikan
diharapkan terjadi perubahan tingkah laku dari sipenerima pesan, hal ini
ditegaskan oleh sosiolog Everest M Rogers yang dikutip oleh Prof. Hafid “
komunikasi adalah proses dimana suatu ide/pesan dialihkan dari sumber
kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
mereka”. Faktor kuat dalam komunikasi antara arsitektur dan manusia adalah
bagaimana penggalian pesan-pesan arsitektur dapat disampaikan.
Simbolisasi sebagai Bahasa Arsitektur dalam Pemaknaan
Dalam ilmu arsitektur pesan tidak terlepas dari makna, yang merupakan hasil
pemaknaan, makna tersebut ditangkap oleh manusia karena manusia memiliki
simbol-simbol dan kode-kode yang tumbuh dalam pikiran manusia, hal ini
tumbuh karena sesuai dengan perkembangan manusia, Van Peursen membangi
menjadi empat tahapan, yaitu tahapan mistis, onthologis, dan fungsional.
Sejalan dengan perkembangan filsafat ilmu pengetahuan maka tahapan tadi
juga dapat digambarkan sebagai tahapan onthologis, epistemologi dan
aksiologis. simbol dan kode dalam arsitektur diciptakan oleh kemampuan
manusia akibat dari keterampilan pikirannya, yaitu yang dikatakan dengan
akal.
Simbol merupakan suatu proses komunikasi yang dipengaruhi oleh kondisi
sosial budaya masyarakatnya, sehingga setiap suku budaya biasanya memiliki
simbol-simbol tertentu, tentunya tidak dengan arsitektur, dalam arsitektur kita
masih dapat menemukan simbol-simbol yang sifatnya universal. Karena bila
simbol-simbol dalam arsitektur hanya terbatas pada kondisi sosial tertentu saja
maka arsitektur belum dapat menjadi ilmu yang universal. Selajutnya
diungkapkan bahwa “simbol terkait dengan arsitektur adalah pemaknaan dari
suatu benda, konsep, atau peristiwa yang membawa dampak pada bentukan
arsitektur”. Dengan demikian telaah lebih jauh simbol ini melalui ilmu
komunikasi.
Untuk mulai memahami pengertian dari simbol, kita perlu mengupas beberapa
pendapat ahli dalam mendefinisikan simbol. Salah satu definisi symbolism
disampaikan oleh A.N. Whitehead dalam bukunya “Symbolism”, sebagai
berikut “pikiran manusia berfungis secara simbolis manakala beberapa
komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan,
dan gambaran mengenai komponen komponen lain dari pengalamannya.

[93]
Perangkat komponen yang awal adalah simbol dan perangkat komponen yang
selanjutnya membentuk/memberikan makna dari simbol. Keberfungsian
organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu
dinyatakan sebagai referensi”. Makna merupakan pesan yang akan
disampaikan dalam setiap simbol, dengan demikian terdapat unsur persepsi
manusia terhadap sesuatu yang bersifat benda maupun bukan kebendaan.
Deskripsi Simbol sementara dapat disimpulkan sebagai sebuah kata atau benda
yang mewakili atau mengingatkan pada suatu entitas yang lebih besar. Kata
yang terdiri dari beberapa untaian hurup akan memberikan makna, seperti kata
“MAKAN” dan “MAKNA”, kedua kata tersebut merupakan komposisi dari
lima buah hurup yang sama, namun dikarenakan susunan hurup-hurup tersebut
berbeda, maka kedua susunan tersebut memberikan makna yang berbeda,
meskipun perbedaan susunannya hanya pada hurup terakhir antara hurup A dan
N. Demikian juga makna dapat dihadirkan oleh tanda, dalam tata bahasa kita
kenal adanya tanda dalam sebuah kalimat, seperti tanda tanya dan tanda seru,
kedua tanda tersebut dapat memberikan makna yang berbeda apabila
ditempatkan pada kata atau kalimat yang sama, sebagai contoh : “Makan ?”
dan “Makan !” pada kata makan dengan tanda tanya mengandung makna
apakah anda sedang makan, sedangkan pada makan dengan kata seru, lebih
menunjukan kalimat perintah untuk melakukan pekerjaan makan. Selanjutnya
bila kata MAKAN tadi kita kaitkan dengan benda, maka akan memberikan
makna yang berbeda, seperti suatu benda akan dimaknai MAKAN oleh orang
Jawa Barat manaka kala dalam sebuah “piring terdapat nasi” dengan lauk
pauknya yang didominasi dengan daun-daun segar, namun makna makan oleh
suku yang tinggal di Wamena akan diwujudkan dalam bentuk “Ubi Bakar”
pada genggaman tangannya.
Dengan demikian setiap benda atau susunan benda, setiap kata dan kalimat
dapat memberikan makna kepada setiap manusia, namun apakah setiap
manusia dapat menangkap setiap makna dari sebuah atau susunan kata atau
benda dengan makna yang sama ?. seperti pendapat Whitehead, bahwa dalam
pemaknaan tersebut ada unsur experience component, dan setiap suku bangsa,
setiap masyarakat akan memilki pengalaman yang berbeda-beda. Pada uraian
selanjutnya unsur-unsur simbol akan dibahas pada konteks tradisional, artinya
simbol dilihat dari pemahaman universal, belum mengarah pada arsitektural,
melalui nilai-nilai universal dari simbol diharapkan dapat ditarik benang
merahnya untuk mendapatkan nilai-nilai simbol yang menjadi landasan dalam
dunia arsitektur.
Bagaimana simbol tersebut dapat digunakan dan terjadi pada konteks keilmuan
arsitektural. Secara universal unsur simbol terdiri dari lima unsur utama, yaitu:
Tanah, Air, Api, Udara, dan Tubuh. Empat unsur tersebut dikelompok menjadi
dua, yaitu unsur dinamis dan unsur statis. Tanah, air, udara, dan api masuk

[94]
kedalam kelompok statis, karena ketiga unsur tersebut sifatnya tidak bertambah
ataupun berkurang, akan tetapi tersimpan dalam wujud yang berubah-ubah.
Sebagai contoh unsur air dapat berwujud cair, berwujud uap, atau berwujud
padat (es), dan mekanisme siklus hidrologi merupakan alat dalam perubahan
wujud dari air tersebut, demikian juga unsur api tersimpan dalam energi,
sebagai wujud dari hukum kekekalan energi, yang sewaktu-waktu dia dapat
membesar ataupun mengecil, bahkan tidak nampak. Tubuh dikelompokkan
sebagai unsur yang dinamis, karena sifatnya yang selalu diperbaharui, sebagai
contoh tanaman, manusia, hewan, dan mahluk hidup lainnya senantiasa selalu
berganti, berbeda sekali dengan tiga unsur yang tadi.
Melihat pada posisinya maka unsur tubuh dapat dipengaruhi atau memengaruhi
ketiga unsur lainnya, terdapat perbedaan yang mencolok antara tiga unsur api,
air, udara dan tanah, tiga unsur tersebut tidak memiliki insting maupun akal,
sedangkan pada unsur tubuh memiliki insting dan akal, namun setiap mahluk
berbeda tingkat kemampuan insting dan akalnya. Akal sempurna diberikan
kepada manusia sedangkan mahluk lainnya umumnya hanya memiliki insting,
walaupun beberapa penelitian tentang Simpanse yang masih memiliki tingkat
akal yang paling tinggi dari seluruh hewan, manunjukkan bahwa hewan ini
dapat mengembangkan peralatan sederhana untuk kehidupannya, simpanse,
sebagai contoh mampu menggunakan batu untuk memecahkan makanan.
Sedangkan yang lainnya lebih banyak menggunakan insting, seperti kita lihat
bagaimana tanaman pemakan serangga menangkap serangga, menggunakan
insting yang ditanamkan dalam mekanisme tubuh, dimana terdapat serabut-
serabut halus dengan menebar bau tertentu untuk memancing serangga
mendekati, manakala serabut halus tersebut tersentuh oleh tubuh serangga,
maka serabut tersebut memberikan sinyal dan menggerakkan kelopak daunnya
untuk menjepit serangga dan menyerap sari tubuh serangga sebagai bahan
makanan dari tanaman tersebut.
Simbolisasi merupakan sebuah proses dari interaksi antara dua atau lebih unsur
atau sub unsur dalam sistem kehidupan, dan interaksi merupakan bagian dari
proses komunikasi, komunikasi tidak mungkin terjadi manakala tidak terjadi
interaksi, namun dari sebuah sebuah interaksi belum dapat dipastikan terjadi
komunikasi. Komunikasi merupakan unsur utama dalam sistem sosial, manusia
tidak mungkin dapat hidup sendiri, manusia memerlukan mahluk hidup lainnya
termasuk dengan manusia sendiri. Jadi proses simbolisasi merupakan suatu
hasil dari konsekuensi sosial mansyarakat, secara diagramatik proses
simbolisasi dapat dijelaskan oleh Bagan 2 di bawah ini:

[95]
Simbolisasi Makna Tubuh Respon

Nilai makna harus sama


atau mendekati antara
simbul dan tubuh
Pengembangan

Bagan 2. Proses terbentuknya simbolisasi

Proses simbolisasi terjadi manakala makna yang terkandung dalam simbol


tersebut diterima oleh tubuh dengan nilai makna yang sama, dan setiap tubuh
dapat melakukan pengembangan dari simbol tadi, yang mengakibatkan simbol-
simbol semakin hari semakin berkembang.
Simbolismen menurut Frederick A. Jules “merupakan teknik perancangan
utama yang memberi bentuk dan teknik yang dapat diterapkan pada hal-hal
fungsional dan berdasarkan rencana dengan sedikit pertentangan (konflik)”.
Selanjutnya dia menyatakan juga fungsi dari simbolisasi adalah
“Penggunaannya secara luas karena simbol menghimpun semua bagian dari
suatu masalah untuk memperkuat suatu arti dan memberikan keutuhan pada
komposisi yang menyeluruh”. Hal yang menjadi sulit adalah bagaimana
menuangkan simbol-simbol tersebut agar kita tidak terkecoh oleh perwujudan
yang analogis seperti gambar di atas, manakala kita terjebak oleh bentukan
analogis, maka akan terjadi pelanggaran sistem bangunan, pelanggaran tersebut
akan merusak kaidah-kaidah seperti sistem struktur, sistem utilitas, bahkan
sistem ruang, karena fungsi maupun sistem keteknikan tidak dapat mengikuti
bentuk bangunan yang sudah given.
Raymond Firth, dia mengungkap simbolisasi dari sudut pandang manusia, Firth
menyatakan simbol-simbol yang berkaitan dengan tubuh manusia dan rambut
seperti dikuti oleh F.W. Dillistone, “menurut Firth simbol dapat menjadi
sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan
sosial, selain itu, sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi
yang bersifat privat dan individual, meskipun sulit mengakui adanya nilai
dalam sebuah simbol yang tidak memiliki acuan kepada pengalaman sosial
yang lebih luas”. Firth bahwa simbol mencakup dua entitas substansi,
simbolisasi bersifat biner (berpasang-pasangan).
Terdapat perbedaan antara simbolisasi dan tanda-tanda, keduanya memiliki
makna, seperti pada bangunan simbol diungkap tidak dalam bentuk analogis,
maka bentuk-bentuk tersebut dapat memberikan makna yang beragam, tapi
tanda tidak dapat memiliki makna yang beragam, tanda hanya akan memiliki
sebuah makna. Perbedaan antara simbol dan tanda tersebut disampaikan oleh
E. Turner “Dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan (entah berupa
[96]
metafora atau bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan maknannya,
sedangkan tanda-tanda tidak memiliki kemiripan seperti itu …., tanda-tanda
hampir selalu ditata dalam sistem-sistem tertutup, sedangkan simbol-simbol,
khususnya simbol yang dominan, dari dirinya sendiri bersifat terbuka secara
semantik. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap, makna-makna baru
dapatlah ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada wahan-wahana simbolis
yang lama, termasuk juga individu-individu dapat menambahkan makna
pribadi pada makna umum sebuah simbol”.
Cassier berpendapat “Manusia hidup dalam alam semesta simbolis. Bahasa,
kesenian, dan agama adalah bagian-bagian alam semesta, semuanya itu
merupakan berbagi unsur yang membentuk jaring simbolis, jaring kusut
berliku-liku mengenai pengalaman manusia….. segenap kemajuan manusia
dalam berpikir dan berpengalaman, memperhalus, memperkuat jaring ini ….
Dari pada berurusan dengan barang-barang itu sendiri, manusia dapat
dikatakan senantiasa berbicara dengan dirinya sendiri. Hal ini telah
sedemikian rupa melingkupi dirinya sendiri dengan bentuk bahasa, gambar-
gambar seni, simbol-simbol mistis, atau upacara-upacara keagamaan
sehingga ia tidak dapat melihat atau mengetahui apa pun kecuali dengan
pengantar medium buatan”. Disini terlihat bahwa dunia saat ini dilingkupi oleh
jaring-jaring informasi yang telah membentuk simbolis.
Ruang Publik dan Permasalahaan Saat Ini
Tujuan dari sebuah pembangunan adalah terjadinya proses peningkatan
kualitas sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih baik. Demikian halnya
dengan penbangunan rumah susun saat ini, diharapkan tersedianya rumah layak
huni dan terjangkau yang mampu menciptakan kualitas kehidupan dan
penghidupan penghuninya meningkat lebih baik.
Namun fakta menunjukan sebuah fenomena yang lain, dimana peningkatan
kualitas yang terjadi sejauh peningkatan kualitas fisik rumah saja, namun
belum dibarengi dengan peningkatan sosial budaya dan ekonomi manusianya,
sehingga mengakibatkan peningkatan fisik tadi tidak mampu betahan lama,
dalam waktu yang relatif singkat rumah susun yang secara fisik sudah baik itu
lambat laun kembali menjadi kumuh, namun dalam bentuk lain.
Socio spatial lebih mengkritisi secara tajam sebuah prespektif kapitalisme yang
memiliki prespektif pengembangan tata guna lahan lebih banyak diintervensi
oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya yang mengedepankan
kebijakan investasi ekonomi dan eksploitasi sumber daya, seperti kita ketahui,
hal ini pada era Orde Baru banyak lebih dikenal dengan kebijakan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Dalam upaya mendorong
pertumbuhan ekonomi kawasan kurang mempertimbangkan kehidupan sosial
masyarakat, sehingga pada saat sektor ekonomi tersebut tumbuh tidak

[97]
diimbangi dengan pertumbuhan masyarakatnya. Sehingga kita tidak perlu
pempertanyakan lagi mengapa RULI (rumah liar) tumbuh sangat pesat di
Batam, hal ini merupakan salah satu contoh produk kebijakan ekonomi pada
era Orde Baru. RULI merupakan sebagai sebuah hasil dari tata ruang perkotaan
merupakan sebuah produk diskriminatif yang dibentuk oleh system kapitalis.
Berdasarkan pendekatan socio spacial pola pembentukan kota lebih ditunjang
oleh pola sosial masyarakat yang membentuk kehidupan kota, bukan
merupakan sebuah produk dari kekuatan-kekuatan tertentu atau badan-badan
usaha yang memiliki kepentingan individu maupun kelompok sosial tertentu
secara nyata, yang dituangkan dalam membangun sebuah sistem kehidupan
yang dibentuk oleh kepentingan tertentu tadi dan kota menjadi bagian dari
konsumsi bagi masyarakatnya. Hal ini merupakan sebuah produk dari sistem
kapitalis industri, dimana masyarakat dibawa dalam pemikiran konsumtif. Sifat
konsumtif saat ini menjadi perhatian khusus setelah mekanisme industri
terkendali, baik yang menyangkut kualitas, ketepatan, serta tenaga kerjanya,
perhatian para kapitalis bergeser pada konsumen, bagaimana memelihara
konsumen.
Dalam lingkungan perkotaan yang merupakan sebuah produk kapitalis banyak
menumbuhkan permasalahan ketidak-adilan hak masyarakat dan distribusi
kesejahteraan masyarakat tidak seimbang. Demikian juga seperti pengamatan
dari Friedrich Engels (1973), menyatakan bahwa kota-kota saat ini
memperlihatkan gap yang sangat tinggi antara kaya dan miskin, walaupun
beberapa pendapat berusaha melakukan pembelaan, dengan menyatakan bahwa
kelompok masyarakat yang termarjinalkan tersebut merupakan sebuah
konsekuensi dari ketidak berdayaan seseorang atau masyarakat tersebut
terhadap perubahan dan keengganannya ditentukan oleh harga dirinya dan
bekerja-keras, hal tersebut sudah menjadi bagian pemikiran yang melekat pada
pola kapitalisme.
Telaah yang dapat ditarik dalam pendekatan arsitektural, tidak jauh dari
pendekatan Gottiener dalam pendekatan perkotaan, bahwa perencanaan sebuah
bangunan arsitektural harus mempertimbangkan dimensi sosial, dimana salah
satu unsur dalam dimensi sosial tersebut adalah perilaku pengguna, baik
pengguna langsung maupun penggguna tidak langsung. Bahwa sebuah objek
arsitektur harus dapat merepresentasikan penggunannya bukan arsitekya.
Estetika tumbuh dari keharmonisan antara manusia dalam berperilaku sebagai
pengguna dengan perwujudan fisik masa dan ruang, sehingga perwujudan fisik
dapat membangun manusia (pengguna bangunan) tahap demi tahap mengalami
peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupannya.

[98]
Rujukan Arsitektur Rumah Susun
Rumah susun di Indonesia saat ini yang sudah terbangun baru sekitar 30 ribu
unit, yang dibangun sejak tahun 1974, dan umumnya untuk lima kota yang
dikategorikan sebagai kota-kota besar di Indonesia telah memiliki rumah
susun, kelima kota tersebut, DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan
Makassar, dengan rata-rata jumlah lantai berkisara antara 4 sampai dengan 5
lantai.
Karakteristik rumah susun tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan periode
pembangunannya, karena setiap periode meunjukan spirit masa yang berbeda,
periode awal adalah dimulai sekitar tahun 1974, yang merupakan rumah susun
model yang dikembangkan oleh lembaga penelitian, selanjutnya era tahun 80-
an, yaitu pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh beberapa pemerintah
daerah dengan spirit untuk menyelesaikan masalah kawasan kumuh yang pada
tahun tersebut meunjukan gejalan perkembangan kawasan kumuh yang cukup
pesat, selanjutnya era 2000-an yaitu era persoalan kota yang semakin
kompleks, dimana diawali oleh krisis keuangan serta pertumbuhan masyarakat
kota yang semakin pesat dan kota-kota semakin luas akibat pembangunan
kearah horizontal.
Penelitian yang berkaitan dengan rumah susun umumnya sudah cukup banyak
akan tetapi masih sejauh kajian dan penelitian yang berkaitan dengan fisik
yang berupa teknis teknologi, selanjutnya kajian kelembagaan dan pembiayaan,
sedangkan kajian yang berkaitan dengan socio-spatial pada rumah susun
melalui pendekatan disain arsitektur masih belum dilakukan, karena persoalan
saat ini kita masih difokuskan pada penyelesaiaan fisik yang berkaitan dengan
efisinsi disain serta kelembagaan dan pembiayaan untuk mempertemukan
antara harga jual (sisi supply) dan daya beli masyarakat (sisi demand).
Penelitian-penelitian tersebut belum masuk pada ranah pembangunan manusia,
yaitu rumah susun mampu menciptakan kualitas manusia yang lebih baik dari
sisi kehidupan dan penghidupannya.

[99]
[6] Manajemen Hunian Vertikal
Dalam Prespektif Sosial

6.1. Latar Belakang


Ledakan jumlah penduduk perkotaan serta kemiskinan saat ini menjadi
permasalah kota-kota besar di Indonesia. Menurut laporan dari Word Bank,
jumlah penduduk miskin di Indonesia sudah mencapai 126 juta jiwa, lebih dari
separuh jumlah penduduk nasional, sedangkan jumlah penduduk yang tinggal di
perkotaan mencapai 42%. Pesatnya pertambahan penduduk perkotaan belum
diimbangi dengan penyediaan infrastruktur permukiman, hal ini ditandai
dengan 47.393 ha merupakan kawasan kumuh yang tersebar lebih dari 10.065
lokasi. Tingginya investasi bangunan dan penyediaan lahan menimbulkan gap
yang semakin dalam dengan daya beli masyarakat untuk mengakses perumahan
yang layak huni di perkotaan. Sehingga persoalan pembangunan perumahan di
perkotaan bukan hanya semata teknologi, akan tetapi bagaimana melakukan
pembangunan kehidupan masyarakat melalui penyediaan perumahan yang
handal. Untuk itu target dari pembangunan hunian di perkotaan adalah
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Rumah merupakan kebutuhan pokok manusia setelah sandang dan pangan,
pertumbuhan rumah baru saat ini sebesar 800.000 unit pertahun, Program
Pemerintah yang di mulai sejak diterbitkannya Keputusan Presiden No. 22
Tahun 2006, diikuti dengan pemancangan pertama pembangunan rusunami
oleh Bapak Presiden pada tanggal 5 April 2007 di Pulogebang, Terkurasnya
sumber daya dan kemiskinan merupakan faktor yang saling bertolak belakang
dalam pembangunan saat ini, dari kedua aspek tersebut dalam kupasan ini akan
dititik beratkan pada penanganan penyediaan perumahan dan permukiman.
Target pembangunan 1000 tower, perlu disikapi dengan bijak, manakala
sumber daya alam yang semkin terkuras akan tetapi belum dapat mengangkat
masyarakat dari kemiskinan.
[100]
Pembangunan kawasan perkotaan tidak lepas dari kepentingan pembangunan
rumah dan perumahan dalam satu sistem permukiman yang handal, yaitu upaya
mewujudkan kawasan permukiman yang memiliki tingkat produktifitas yang
tinggi serta kawasan yang menjamin aspek kesehatan, kenyamanan,
keselamatan, dan kemudahan bagi masyarakatnya. Umumnya kota-kota besar
di Indonesia sudah tidak memiliki jaminan keempat aspek kehandalan kawasan
di atas, hal ini disebabkan oleh pola perkembangan kota yang tidak
berlandaskan pada rencana tata ruang kota maupun rencana detail kota.
Pembangunan kota lebih banyak mengakomodasi kepentingan ekonomi
kelompok tertentu, yaitu kelompok kecil dari sejumlah masyarakat, disamping
itu sekelompok yang termarjinalkan berperan dalam pembangunan kota tanpa
mengindahkan ketentuan yang ada. Tumbuhnya bangunan-bangunan liar untuk
perumahan maupun untuk usaha mendominasi sebagian kawasan kota,
sehingga telah mencapai 47.000 Ha kawasan kota merupakan kawasan kumuh.
Ironisnya kawasan kumuh selalu berdampingan dengan kawasan kota yang
dibangun di atas kepentingan ekonomi.
Pembangunan kawasan-kawasan mewah di perkotaan umumnya juga akan
mendorong tumbuhnya kawasan kumuh, hal ini disebabkan karena
perencanaan kawasan masih cenderung melihat pembangunan dari satu sisi
saja, penyediaan sarana kota seharusnya juga dilengkapi dengan sarana hunian
bagi setiap kelompok masyarakat yang akan menjalankan fungsi sarana kota
tersebut. Sebagai satu gambaran pembangunan pusat-pusat perbelanjaan saat
ini, tidak pernah memikirkan tempat tinggal bagi para pekerjanya, justru dalam
penambahan mapun pengembangan sarana kawasan kota akan memerlukan
tenaga kerja, selain itu juga akan mendorong tumbuhnya fungsi-fungsi
pendukung lain. Selain hunian yang diperlukan bagi pekerja tadi juga perlu
disediakan sarana perdagangan yang melayani kebutuhan sehari-hari dari
pekerja, hal ini lah yang mendorong di samping Super Mall yang mewah pasti
tumbuh pedagang kaki lima yang menyediakan makanan maupun kebutuhan
pokok lainnya.
Tipologi kawasan perkotaan demikian selalu kita temui di kota-kota besar di
Indonesia, baik di Jakarta, Medan, Surabaya, Makasar maupun Bandung. Kota
menyimpan permasalahan yang suatu saat nanti dapat menjadi bom masalah
yang lebih besar, adanya gap sosial, gap ekonomi, dan gap pelayanan kota
dalam wujud sarana dan prasarana kota. Pada satu sisi sekelompok kecil
masyarakat mendapatkan fasilitas lebih dari kota disisi lain sebagian besar kota
kurang atau bahkan tidak mendapatkan fasilitas kota yang memadai, seperti air
bersih, listrik, komunikasi, transportasi. 30 juta masyarakat Indonesia masih
berada di bawah garis kemiskinan, dan ironisnya jumlah masyarakat yang
miskin tersebut hidup di suatu negara yang kaya dengan sumber daya alamnya.
Hal ini jauh berbeda dengan beberapa negara miskin sumber daya alam namun
rakyatnya makmur, seperti negara Korea Selatan maupun Jepang, hal ini
[101]
menjadi bahan renungan dalam penelaahan buku ini, tentunya kunci
kesejahteraan masyarakat bukan pada kekayaan sumber daya alamnya akan
tetapi pada pola sosial masyarakatnya. Sebagai dugaan awal sistem sosial kota
merupakan kunci keberhasilan pembangunan kawasan. Namun yang menjadi
pertanyaan dalam telaah ini adalah, sistem sosial kota seperti apa ? yang dapat
membangun ekonomi masyarakatnya ?, sehingga bangsa yang kaya dengan
sumber daya alam tidak menjadi miskin dengan berlimbah kekayaan. Ibarat
tikus mati di lumbung padi.
Pada saat tertentu diperlukan perubahan sistem sosial khususnya bagi
masyarakat perkotaan, untuk mencapai kondisi tersebut perlu dilakukan telaah
mendalam yang menghasilkan suatu metoda mengubah sistem sosial yang ada
kedalam sistem sosial baru, yang mampu mengubah masyarakat kota yang
lebih produktif. Ungkapan reformasi sosial atau ungkapan hijrah merupakan
rujukan yang dapat digunakan sebagai referensi awal dalam melakukan telaah
ini. Melalui konsep hijrah pada masa awal perkembangan Islam telah
membentuk suatu masyarakat madani.
Apapun bentuk ungkapannya, hijrah atau reformasi sosial perlu segera
dilakukan dengan diawali oleh perubahan fisik kawasan, karena tanpa
dukungan fisik kawasan sebagai suatu wadah kehidupan dan penghidupan yang
memadai, perubahan sosial tersebut tidak akan tercapai. Sebagai gambaran
umumnya ruang terbuka hijau kota-kota besar di Indonesia kurang dari 12%,
sedangkan Undang-undang Penataan Ruang No. 26/2007 mengamanatkan
ruang terbuka hijau perkotaan tidak kurang dari 30%. Bila kawasan kumuh
menjadi fokus telaahan ini, maka kawasan tersebut tidak berkontribusi
sedikitpun terhadap pembentukan ruang terbuka hijau, kawasan tersebut
memiliki 0% untuk ruang terbukanya. Sedangkan ruang terbuka hijau memiliki
fungsi yang strategis dalam sistem fisik kota, fungsi tersebut dalam bentuk
paru-paru kota yang dapat menciptakan kesehatan bagi warganya, kesehatan
bagai suatu masyarakat merupakan sarat utama dalam menciptakan masyarakat
yang produktif, fungsi lain dari ruang terbuka hijau adalah fungsi rekreasi dan
sarana bermain bagi masyarakat, khususnya generasi muda sangat memerlukan
ruang terbuka hijau bagi pertumbuhan kejiwaannya, ruang terbuka hijau
merupakan sarana pembentukan pendewasaan seorang anak. Dapat
dibayangkan generasi muda Indonesia tidak pernah merasakan ruang yang
memadai, mereka cenderung kumpul-kumpul di mulut gang (menjadikan anak
gang bukan genk) dan meraka adalah generasi penerus yang akan memimpin
dan membawa masa depan negara ini, tumbuh dalam lingkungan yang tidak
sehat.
Menurut kajian awal, bahwa kota-kota besar di Indonesia pada titik tertentu
akan kehilangan kemampuannya dalam melayani masyarakat, bilamana pola
pembangunan permukiman masih seperti saat ini, kemacetan akan terus

[102]
meningkat dan semakin hari semakin parah, penyediaan infrastruktur
transportasi dan moda transportasi yang dibangun saat ini bukan menjadi solusi
akan tetapi menjadikan kawasan kota yang semakin besar namun kropos/rapuh
yang dapat mengakibatkan kelumpuhan pada kota tersebut, fenomena
kelumpuhan tersebut dapat dilihat dari sebagian besar masyarakat kota seperti
di Jakarta. Masyarakat kota akan menghabiskan sebagian waktunya di jalan.
Para pekerja produktif masyarakat ibu Kota Jakarta harus tinggal jauh di
Bekasi, Tanggerang, Depok, atau Bogor, sehingga waktu yang diperlukan
untuk menuju tempat kerja pulang pergi sekitar 3 sampai dengan 4 jam,
artinya 50% dari waktu produktifitas dihabiskan di jalan raya dengan
kemacetan, menurut WHO jam kerja ideal bagi pekerja adalah 8 jam, lebih dari
itu sisanya untuk waktu istirahat. Bila waktu transportasi 3 – 4 jam maka, akan
banyak waktu yang terkurangi dari istirahat atau produktifitas, bila waktu
istirahat juga dikurangi untuk memenuhi waktu kerja maka dengan kekurangan
istrahat juga akan mengakibatkan menurunnya produktifitas. Penurunan masal
tersebut mengakibatkan penurunan produktifitas kawasan dari sisi
masyarakatnya.
Kawasan permukiman kota seharusnya dirancang sebagai satu sistem yang
komprehensif antar berbagai aspek; baik fisik, sosial, maupun ekonomi.
Keterkaitan antara persoalan di atas menunjukkan bahwa sistem fisik kawasan
permukiman dan sistem sosial kawasan merupakan aspek penentu tingkat
produktifitas kawasan permukiman tersebut, pada akhirnya ketiga akan saling
berkaitan. Pada bahasan ini akan dicari keterkaitan-keterkaitan tersebut,
sehingga ke depan dapat digunakan sebagai acuan dalam pembangunan
kawasan permukiman yang lebih sesuai dengan karakter budaya bangsa
Indonesia, penanganan kawasan permukiman tidak hanya diangkat dari
konsep-konsep barat saja akan tetapi digali dari potensi bangsa yang ada, dan
pengamatan sementara kegagalan dalam pembangunan kawasan permukiman
kota selama ini disebabkan pemaksaan konsep penanganan kawasan
permukiman dengan pendekatan konsep dan teori yang dicuplik dari barat,
tanpa ada upaya penggalian yang lebih dalam terhadap karakter budaya lokal.
Apakah ini merupakan indikasi dari awal kehancuran kota-kota besar di
Indonesia, melalui kajian yang telah dilakukan memperlihatkan daya dukung
kawasan yang semakin menurun dan timbulnya gap yang semakin besar
terhadap daya dukung kawasan permukiman kota dan kebutuhan masyarakat.
Kajian awal yang dilakukan dari sumber data tahun 1985 (data sekunder), data
2004 dan 2007 (data primer) menunjukan titik-titik kawasan kota menjadi
beban bagi kawasan lainnya, yang pada akhirnya kawasan kota akan menjadi
beban bagi kawasan disekitar kota, atau perdesaan, bilamana kawasan kota dan
desa sudah tidak memiliki produktifitas lagi, maka kota dan desa menjadi
beban nasional, maka negara ini akan menjadi negara yang menjadi beban
negara lain. Negara akan hidup di atas dukungan negara lain, tentunya kita
[103]
tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Upaya penanganan harus segera
dilakukan agar Negara ini terhindar dari kebangkrutan.
Dalam kupasan ini disajikan suatu konsep pembangunan hunian vertikal
melalui pendekatan kemasyarakat (sosiologi arsitektural), seperti kita ketahui
bahwa antara bangunan sebagai lingkungan binaan selalu berinteraksi dengan
masyarakat penghuninya. Menurut ilmu sosial interaksi antara lingkungan
binaan dan manusia dapat tercipta pengembangan masyarakat, seperti
disampaikan oleh seorang sosiolog Perancis Frederik Le Play, bahwa
pengembangan sosial budaya itu dipengaruhi oleh lingkungan fisik. Melalui
rekayasa sosial dalam pembangunan hunian dapat membentuk kawasan
permukiman yang produktif dan handal.
Perkembangan kota-kota besar saat ini, menunjukkan suatu fenomena
terjadinya degredasi daya dukung, sebagai gambaran dari kasus kawasan
Cigugur Tengah Cimahi pada tahun 1985 memiliki daya dukung untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bahkan kawasan tersebut surplus yang
akhirnya mampu memberikan pelayanan untuk kawasan di luarnya, hasil
pertanian pada kawasan tersebut didistribusikan pada kawasan lain, namun
tahun demi tahun kemampuan kawasan untuk mendukung penghuninya
semakin menurun, dan sekitar awal tahun 1990 an, kawasan tersebut mulai
deficit sampai dengan tahun 2002 ternyata kawasan tersebut tidak mampu lagi
mendukung penghuninya, beberapa kebutuhan dasar semakin hari semakin
berkurang, air bersih manjadi antrian sepanjang hari, bahkan kawasan tersebut
semakin hari diserang polusi yang datang dari pabrik dan kendaraan yang
mengantri dengan kemacetannya. Tidak ada ruang yang berfungsi menetralkan
CO2 yang ditimbulkan oleh kawasan, CO2 menjadi bagian yang mengikis
kesehatan masyarakatnya. Melangkah pada tahun 2008 ini, dapat dikatakan
bahwa kawasan tersebut menjelang sekarat. Bila fenomena ini terus berlanjut
pada tingkat kota, maka akan menjadikan kota mati, dan meningkat lagi pada
tingkat negara maka negara ini mati/bangkrut (nauzubillah minzalik).

6.2. Konsep Penanganan


Sebagaimana amanat Undang-undang Dasar Negara tahun 1945, cita-cita luhur
bangsa dan negara ini adalah menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan
demikian ojek dari seluruh pembangunan adalah masyarakat. Rumah susun
hanyalah output dari pembangunan sedangkan outcome dari pembangunan
tersebut adalah masyarakat. Untuk itu penyediaan fisik hanyalah sebagai
trigger dalam mendorong peningkatan sosial masyarakat. Untuk itu beberapa
konsep kunci dalam dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas lingkungan permukiman melalui keswadayaan,
lahan mampu membangkitkan modal sosial masyarakat.

[104]
2. Intensifikasi kawasan, membangkitkan nilai kawasan untuk meningkatkan
produktifitas kawasan melalui infrastruktur permukiman yang handal.
Kedua poin konsep di atas dapat diilustrasikan ibarat ayam bertelur emas, maka
masyarakat sebaiknya memelihara ayamnya agar dapat menghasilkan telur
emas yang baik, telurnya yang dijual bukan ayamnya. Ayam bertelur emas ini
ibarat tanah masyarakat diperkotaan, namun kondisinya yang tidak tertata
dengan baik, bahkan cenderung menurun terus kualitasnya.
Peluang keberhasilan konsep tersebut dilihat dari akar budaya masyarakat
Indonesia yang lebih mengedepankan konsep gotong-royong, diharapkan
dengan terciptanya kawasan permukiman yang handal, mampu mendorong
kawasan yang lebih produktif, kawasan produktif menciptakan lahan yang
produktif, dan pada akhirnya membangun masyarakat produktif.
Konsep penataan kembali Perumahan Kumuh di perkotaan, melalui
peningkatan ekonomi rakyat merupakan kunci dalam penanganan yang
berkesinambungan, baik sebelum, saat sampai dengan sesudah penanganan.
Pola ekonomi kawasan adalah kawasan tersebut mampu menciptakan peluang
usaha baik dalam bentuk usaha perumahan, sebagai rumah sewa, atau fungsi
komersial lain. Sehingga penanganan kawasan tersebut tidak hanya mewadahi
perumahan sebatas tempat tinggal saja, namun harus sinergi dengan aktifitas
lainnya yang mewadahi pemenuhan kehidupan dan perikehidupan. Tingginya
nilai lahan pada kawasan kumuh perkotaan, harus mampu dikelola secara
optimal. Perencanaan Mix use kawasan merupakan tuntutan dasar dalam
penanganan kawasan kumuh, yaitu melalui penggabungan dan kombinasi
diantara Perumahan, Ruang Usaha Perdagangan maupun Perkantoran, serta
fungsi sosial lainnya (dalam hal ini termasuk fasilitas pendidikan). Konsep
Perbaikan perumahan kumuh tanpa harus mengsusur penduduk lama, masih
merupakan isu yang masih relevan, namun penanganan yang telah dilakukan
saat ini masih belum optimal, bahkan hasil dari pembangunan kawasan kumuh
lebih terlihat pada aspek fisik saja, belum mampu mengangkat kesejahteraan
masyarakat.
Tahap awal dalam penanganan model Penataan Kembali Kawasan Kumuh
melalui Keswadayaan Masyarakat (KM) adalah upaya melembaga
masyarakat dengan menyatukan masyarakat yang menguasai lahan, yaitu
kelompok penghuni lama dalam suatu wadah/lembaga yang memiliki aset
kawasan, aset lahan masyarakat yang telah disatukan sebagai aset bersama
(community asset), selanjutnya dipegang oleh satu badan yang dibentuk
bersama, Badan ini kelak dapat diperankan oleh masyarakat profesional badan
ini dinamakan sebagai Badan Penyerta Modal (BPM). Dalam pembentukan
badan ini tentunya peran besar dari Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten)
memegang peran besar sebagai fasilitator. Penyatuan lahan masyarakat sebagai
modal pada prinsipnya masih sejalan dengan aturan yang ada, yaitu PP No.
[105]
80/99 tentang Kasiba dan Lisiba BS, dimana pada pasal 20, dinyatakan
“konsolidasi lahan masyarakat untuk selanjutnya diganti dengan lahan baru,
atau unit rusun”. Dalam konteks pendekatan model Keswadayaan Masyarakat
istilah “penggantian” (diganti; dalam konteks PP tersebut) diganti dengan
Lembaran Saham, yang memiliki nilai sesuai dengan pengaturan tersendiri,
dimana surat ini merupakan surat berharga yang nantinya dapat diagunkan ke
Bank maupun dapat diperjual-belikan termasuk dapat diwariskan, dengan
harapan surat ini mampu berperan seperti sertifikat Hak Milik Atas Tanah.
Penggalangan potensi ekonomi masyarakat tersebut harus mampu dengan
mudah dan secara rutin memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat, dalam kajian ini banyak pendekatan yang dapat dilakukan,
baik melalui cara Konvensional maupun Syariah. Menarik untuk diterapkan
dan berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut yaitu dengan menerapkan
“Likuiditas Saham Syariah” yang sangat bergantung kepada fluktuasi bagi
hasil, tiga kriteria sah-nya Saham Syariah, yaitu:
1. Dikeluarkan oleh lembaga yang bersih, sehat, dan transparan baik itu oleh
Perseroaan Terbatas, Bank/Lembaga Keuangan Konvensional, atau
Koperasi.
2. Saham syariah dijual at maturity par value-nya (harga nominal pelunasan
jatuh tempo) dipasar perdana
3. Pengembaliaannya didukung dengan penetapan aktiva produktif spesifik
perusahaan yang mengeluarkan saham.
Dalam penggalangan usaha disektor perumahan dan sarana komersial
dikawasan kota, tentunya sangat diperlukan untuk mengantisipasi kekuatan-
kekuatan pesaing yang juga berkembang disekitar kawasan. Pola penyatuan
modal masyarakat dalam bentuk lahan di satu hamparan kawasan strategis
diperlukan suatu mekanisme yang harus berkenan diseluruh masyarakat serta
mekanisme yang menjamin keamanan usaha masyarakat, karena akan
melibatkan banyak masyarakat dalam satu kawasan dalam satu lembaga akan
berhadapan dengan konsumen, baik itu calon penyewa unit rumah maupun
penyewa unit toko atau kantor, diperlukan suatu perangkat dalam bentuk
perjanjian, yang mengatur jelas hak dan kewajiban masing-masing. Menurut
Martono Mardjono (Republika), seorang praktisi hukum Perbankan Syariah,
ada sembilan syarat substansial agar perjanjian yang dibuat memiliki nilai
ibadah. meliputi:
1. Niatkan perbuatan kita sebagai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Dalam membuat perjanjian, kedua belah pihak harus memandang
keduanya setara kedudukannya
3. Perjanjian itu harus dipandang sebagi wujud kerjasama (ta’awun)
[106]
4. Objek yang diperjanjikan harus jelas dan halal
5. Para pihak harus lebih saling mendahulukan kewajiban
6. Isi perjanjian harus benar-benar adil dan para pihak terkait tidak boleh
saling menekan satu sama lain
7. Para pihak terkait harus saling ridho
8. Terjadinya resiko diluar kesalahan para pihak menjadi tanggungan
bersama
9. Apabila dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terdapat sengketa,
penyelesaian harus dilakukan berdasarkan syariat Islam.
Sedangkan berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata menetapkan empat syarat
bagi syahnya suatu perjanjian, yaitu:
1. Adanya kesepakatan
2. Para pihak terkait yang berkemampuan secara hukum untuk melakukan
hukum
3. Ada objek yang jelas diperjanjikan
4. Perjajian dibuat karena adanya sebab yang dibenarkan menurut undang-
undang.
Dalam menjalankan saham di atas, baik yang berbasis Syariah maupun
Konvensional, harus dilakukan perjanjian antara masyarakat yang saling
melakukan penyatuan modal dalam bentuk lahan dengan memenuhi
persyaratan substansial yang dibungkus dengan sarat formal menurut KUH
Perdata 1320. Melalui pendekatan ini diharapkan perbaikan perumahan kumuh
tidak saja hanya meningkatkan fisik lingkungan akan tetapi lebih dari pada itu
untuk lebih meningkatkan ekonomi masyarakat yang akan diikuti oleh
peningkatan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Target fisik penataan Rumah Susun Sederhana Sewa merupakan suatu tujuan
antara, yang justru target utamanya adalah membangun masyarakat dalam
bentuk peningkatan ekonomi masyarakat secara nyata. Alternatif pembangunan
pengadaan perumahan susun, bagi penduduk berpenghasilan rendah di
lingkungan perkotaan sudah mutlak adanya, karena tidak dapat dipaksakan
pola perdesaan diterapkan di perkotaan, dimana harga lahan sangat tinggi,
selain itu juga ketersediaan lahan sangat terbatas. Hal ini akibat dari
ketimpangan antara kebutuhan rumah yang meningkat sangat pesat, sedangkan
lahan di perkotaan semakin hari semakin sangat terbatas dan mahal. Sehingga
apabila pembangunan perumahan murah dilaksanakan jauh dari pusat kota
merupakan juga suatu kendala bagi penduduk yang berpenghasilan rendah
dengan biaya transportasi yang mahal serta waktu tempuh yang cukup lama.
[107]
Gambar 1. Model penangannan kawasan kumuh Cigugur Tengah Cimahi

6.3. Penutup
Fokus penanganan hunian vertikal adalah masyarakat, berbagai permasalahan
dalam penyediaan hunian vertikal sampai saat ini belum terselesaikan
manakala tujuan pembangunan, yaitu masyarakat sudah sesuai dengan target
dan terjadi peningkatan ekonomi dengan indikator kesejahteraan masyarakat.
[108]
Kompleksnya permasalahan hunian vertikal khususnya bagi kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah, menuntut dilakukan rekayasa sosial terlebih
dahulu sebelum berangkat pada aspek teknologi. Hingga saat ini teknologi
dalam penanganan fisik sudah jauh lebih maju dari pada penanganan
masyarakatnya.
Kegagalan dalam penataan kawasan kumuh utamanya adalah pembangunan
kawasan yang tidak diarahkan langsung dalam membangun masyarakat.
Padahal jika kita pahami lebih dalam, kawasan kumuh merupakan lahan
potensial perkotaan yang penggunaannya belum optimal.
Solusi pembangunan perumahan dengan memilih lahan dipinggiran kota
bukanlah satu solusi yang baik untuk masa mendatang, karena pendekatan
demikian pada akhirnya kurang memberikan kesejahteraan masyarakat, dimana
pada akhirnya mereka harus membayar dengan mahal. Mereka harus
mengeluarkan biaya hidup yang lebih tinggi, karena sarana transportasi dan
infrastruktur yang kurang memadai. Belum lagi akibat menjauhkan hunian
dengan pusat aktivitas menimbulkan kemacetan, yang pada akhirnya
membutuhkan energi dan waktu yang lebih besar.
Filosofi gotong-royong, yang telah tumbuh dalam akar budaya masyarakat,
ditransformasikan dengan pola Konsolidasi Lahan, dapat membuka peluang
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan dukungan. PP 80/99
tentang Kasiba dan Lisiba BS, lahan masyarakat disatukan dan dijadikan modal
dalam pengembangan ekonomi kawasan, merupakan konsep dasar dari model
Keswadayaan Masyarakat.

[109]
[7] Rumah Susun
Sebagai Solusi Perumahan Rakyat

7.1. Latar belakang


Rumah adalah salah satu hak dasar rakyat, oleh karena itu setiap warga negara
berhak untuk bertempat tinggal dalam lingkungan hidup yang baik dan sehat,
maka penyediaan rumah bagi masyarakat terutama yang berpenghasilan
rendah, merupakan kebutuhan dasar selain berfungsi sebagai hunian juga
berfungsi sebagai sarana pembinaan keluarga yang mendukung peri kehidupan
dan penghidupan. Disamping itu rumah juga mempunyai fungsi sebagai
wahana pendidikan keluarga, persemaian nilai budaya bangsa dan penyiapan
generasi muda, sehingga penyediaan rumah dengan lingkungan yang layak dan
sehat, merupakan sarana pengembangan sumber daya manusia bangsa
Indonesia yang sangat dibutuhkan, agar generasi mendatang mampu unggul
dalam berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.
Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju
urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di
perkotaan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan menjadi
semakin langka. Kelangkaan ini menyebabkan semakin mahalnya harga lahan
di pusat kota, sehingga mendorong masyarakat berpenghasilan menengah-
bawah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi
ini menyebabkan peningkatan biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada
akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat. Sedangkan
sebagian masyarakat memaksanakan tinggal di kawasan yang tidak jauh dari
pusat aktivitas ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata ruang
kota dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru.
Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah-bawah ke
pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di
perkotaan, maka harus direncanakan suatu pembangunan hunian secara
[110]
vertikal, berupa rumah susun sederhana. Pembangunan rumah susun sederhana
di pusat-pusat kota, dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat
mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan PSU yang lebih efisien dan
efektif.

7.2. Rumah Susun Sebagai Solusi


RPJM Nasional Tahun 2004 - 2009 menetapkan target penyediaan Rumah
Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) sebesar 60.000 satuan rumah susun dan
Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) dengan peran serta swasta sebesar
25.000 satuan rumah susun. Namun semenjak Gerakan Nasional
Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) dicanangkan pada tahun 2003,
pencapaian pasokan Rumah Susun bagi masyarakat berpenghasilan menengah-
bawah masih bejalan lambat. Untuk itu diperlukan upaya percepatan
pembangunan rumah susun sederhana, baik milik maupun sewa, yang tidak
jauh dari pusat aktivitas masyarakat, khususnya di kawasan perkotaan dengan
jumlah penduduk lebih dari 1,5 jiwa.
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 22 tahun 2006 mengamanatkan
untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan
menengah bawah dengan mengedepankan efisiensi penggunaan tanah dan
penataan permukiman di kawasan perkotaan melalui pembangunan rumah
susun, dipandang sudah sangat mendesak. Pembangunan rumah susun yang
layak, sehat dan terjangkau khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah
di kawasan perkotaan masih berjalan lambat, sehingga diperlukan langkah-
Iangkah percepatan untuk pembangunannya. Diharapkan percepatan
pembangunan rumah susun sederhana ini dapat mempercepat pemenuhan
kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat, peningkatan
efisiensi penggunaan tanah sesuai peruntukan dan tata ruang, serta dapat
meningkatkan daya tampung, mobilitas, produktivitas, dan daya saing kota.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 Badan Pusat Statistik,
menyebutkan bahwa: terdapat 55,0 juta keluarga dari jumlah penduduk
Indonesia sebesar 217,1 juta jiwa. Sebanyak 5,9 juta keluarga belum memiliki
rumah. Sementara setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat
penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah.
Pesatnya urbanisasi di kota-kota besar dan metropolitan telah menyebabkan
permasalahan ketersediaan lahan bagi perumahan. Akibat langka dan semakin
mahalnya tanah di perkotaan, pembangunan perumahan baru layak huni bagi
masyarakat berpenghasilan rendah cenderung menjauh dari tempat kerja
(urban sprawl). Keadaan ini menimbulkan ketidakteraturan penataan ruang dan
kawasan, permasalahan mobilitas manusia dan barang, beban investasi dan
operasi dan pemeliharaan PSU, penurunan produktifitas kerja, serta berdampak
buruk terhadap kondisi sosial dan lingkungan.
[111]
Terbatasnya lahan perkotaan menyebabkan pemerintah kota dituntut untuk
dapat memanfaatkan lahan secara efisien dengan meningkatkan intensitas
penggunaannya. Tuntutan akan penggunaan lahan perkotaan cenderung
semakin meningkat seiring diterapkannya otonomi daerah. Hal ini antara lain
disebabkan Pemerintah Kota dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber daya
ruang dan tanah secara maksimal bagi peningkatan pendapatan daerah, di sisi
lain adanya tuntutan masyarakat yang semakin kritis dalam mendapatkan
pelayanan umum, termasuk penyediaan sarana dan prasarana sosial, budaya,
taman dan ruang terbuka hijau.
Selain langka dan mahalnya harga tanah/lahan di pusat kota untuk
pembangunan perumahan serta keterbatasan pasokan dikarenakan beberapa
permasalahan mendasar berupa: beban biaya yang tinggi dalam pengurusan
proses perizinan (ijin pemanfaatan ruang, ijin lokasi, sertifikasi tanah, dan ijin
mendirikan bangunan); beban pajak; keterbatasan dukungan prasarana, sarana,
dan utilitas (PSU); serta masih tingginya beban bunga pinjaman. Sedangkan
dari sisi permintaan, masih terkendala antara lain: terbatasnya daya beli
masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, terbatasnya penyediaan uang
muka, rendahnya kemampuan meminjam akibat tenor pinjaman yang pendek,
serta permasalahan sosial dan budaya.
Pemenuhan kebutuhan tersebut hanya dapat mencapai sekitar 15%, baik dari
pemerintah maupun swasta. Hal ini dapat diduga bahwa sebesar 85%
kekurangannya dipenuhi oleh masyarakat secara swadaya atau tanpa
menggunakan fasilitas pendanaan formal. Pembangunan yang tidak terfasilitasi
ini berdampak pada tumbuhnya dan berkembangnya permukiman-permukiman
yang tidak terkendali dan terintegrasi dalam suatu perencanaan permukiman
sesuai dengan arah pengembangan ruang kota.
Di sisi lain kemampuan pemerintah untuk menangani perumahan dan
permukiman kumuh melalui APBN sangatlah terbatas. Sampai dengan tahun
2004, ada sekitar 47.125 Ha area perumahan dan permukiman kumuh, luasan
yang ditangani pemerintah melalui APBN dan APBD sampai tahun anggaran
2004 hanya seluas 2.875 Ha, sehingga masih tersisa 44.250 Ha area perumahan
dan permukiman kumuh/tidak teratur yang belum tertangani. Sehingga untuk
mewujudkan "Cities Without Slum" pada tahun 2010 pemerintah harus mampu
menangani area perumahan dan permukiman kumuh/tidak teratur sebesar 7.375
ha per tahun.
Sampai saat ini sudah banyak investor yang menyatakan berminat untuk
bekerjasama dengan Kementerian Negara Perumahan Rakyat dalam rangka
pemenuhan target RPJM Nasional dibidang penyediaan rumah susun sederhana
untuk masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya di perkotaan. Akan tetapi
sampai saat ini masih belum ditetapkan mekanisme yang jelas dan

[112]
menguntungkan semua pihak, terutama agar dapat tercapai penyediaan rumah
susun sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang layak huni.
Penyediaan rusunami merupakan suatu proses yang memiliki pertimbangan
kedapan yang lebih panjang dibandingkan dengan rusunawa, mengingat tingkat
waktu hunian dari pemilik lebih lama, dibandingkan di rusunawa, dimana pada
rusunami sangat dimungkinkan pemilik/penghuni pengalami pertumbuhan dan
perkembangan keluarga, baik dari fisik maupun dari jumlah anggota keluarga,
namun sesara ruang sarusun tidak dapat dikembangkan, untuk itu perlu ditinjau
kembali luasan minimal dari sarusun, dan bila mengacu pada ketentuan
kebutuhan ruang untuk rumah sehat dalam kepmen Kimpraswil No. 403/2002
maka luas minimal rumah sederhana sehat adalah 36 m2, bahwa sarusunami
adalah merupakan rumah sederhana sehat yang dibangun secara vertikal.
Sehingga penyediaan rusunami seyogyanya, melalu beberapa proses yang
berbeda dengan penyediaan rusunawa, adapun proses secara global dari
penyediaan rusunami adalah sebagai berikut:
 Melakukan studi kelayakan, yang menggali terhadap potensi pasar,
apakah keberadaan pasar untuk menjangkau rusunami sudah ada,
apakah masih terdapat kompetiter yang menyangkut pasar tersebut.
Selanjutya bila seluruh kajian sudah memenuhi persyaratan , maka
tahap berikutnya adalah tahap penentuan lokasi yang sesuai dengan
kebutuhan pasar.
 Penyusunan proposal pengembangan rusunami, yang disampaikan
kepada Pemerintah Pusat maupun Daerah, dan bila memenuhi kriteria
yang disyaratkan maka berbagai insentif dapat diberikan kepada
penyediaan rusunami tersebut.
 Penyusunan perencanaan dan perancangan, yang disampaikan juga
dalam proposal, agar terdapat kesesuaian.
 Menindak lanjuti dengan pengurusan perizinan dan permohonan
insentif yang berkaitan dengan perizinan dan perpajakan.
 Melaksanakan pembangunan fisik melalui proses pengadaan barang
dan jasa secara benar.
 Melaksanakan proses penjualan dan penghunian
 Membentuk lembaga pengelola yang menyangkut oparsionalisasi da
perawatan bangunan saat penghuniaan.

[113]
[8] Peranan Dukungan Fiskal dan
Pembiayaan Rusuna

8.1. Latar Belakang


Pemberian insentif dalam proses penyediaan perumahan susun milik bertujuan
untuk menurunkan gap antara investasi dalam penyediaan bangunan dengan daya
beli masyarakat, untuk itu ada dua peluang insentif yang dapat dilakukan dalam
penyediaan rumah susun sederhana milik, yaitu melalui :
1. Insentif terhadap investasi fisik penyediaan rusunami, dari tahap awal
sampai dengan tahap akhir, yang meliputi; tahap survai untuk
mengidentifikasikan kelayakan pasar dan kelayakan lokasi yang tepat
sampai dengan dampak pembiayaan pada tahap operasionalisasi dan
perawatan bangunan pasca penghunian, insentif pada bagian ini dapat
diuraikan berdasarkan tahap pembangunan yaitu SIDCOM (Survai,
ivestigasi, disain, konstruksi/Construction, operasionalisasi dan
perawatan/Maintenace);
2. Insentif terhadap masyarakat target grup, dalam upaya untuk menaikkan
daya beli, misalnya melalui subsidi selisi bunga dan subsidi uang muka yang
sudah dijalankan melalui Permen Pera.

Insentif terhadap Investasi Rusunami


Konsekuensi biaya yang ditimbulkan dalam proses pembangunan merupakan
sebuah investasi yang berdampak pada harga jual dalam rumah susun sederhana
milik. Biaya yang diperlukan sebagai bagian dari investasi mulai dari tahap
perencanaan umum, tahap kelayakan, tahap perolehan lahan, tahap perencanaan
teknis, tahap konstruksi, tahap penguasasaan dan pengelolaan, tahap
pemanfaatan dan pemeliharaan serta tahap pengembangan atau penghapusan.
[114]
Kedelapan tahap tersebut secara umum dikenal dengan istilah SIDCOM. Bila
seluruh komponen biaya tadi diperhitungkan maka harga jual rumah susun
sederhana milik menimbulkan gap yang lebih besar dengan daya beli masyarakat
yang menjadi target grup. Untuk itu diperlukan insentif dalam proses
pembangunan rusunami, umumnya insentif yang dapat dirasakan langsung
bahkan diperhitungkan adalah insentif yang dikeluarkan pada tahap Design dan
Construction, tahap sebelum dan sesudah belum menjadi pertimbangan dalam
perhitungan investasi pada rusunami.
Proses penyediaan rusunami yang identifikasi sebagai delapan tahapan dalam
penyediaan rumah susun, merupakan aktivitas yang memberikan konsekuensi
biaya produksi rusunami. Pada setiap penanganan tersebut akan menentukan
tingkat keberhasilan dari program penyediaan rusunami. Tingkat keberhasilan
penyediaan dan pembangunan rusunami, tidak hanya diukur dari
terselenggarakannya sejumlah program pembangunan fisik dari rusunami, namun
ketepatan penyediaan dengan indikator tercapainya sasaran, dalam hal ini
kelompok sasaran yang menjadi target pembangunan, juga terpenuhinya
kebutuhan akan perumahan perkotaan yang langsung disikapi oleh masyarakat
secara positive. Insentif pada fisik bangunan masih merupakan komponen
pembiayaan yang menentukan yerhadap besaran harga jual dari rusunami.

Insentif pada Tahap Survey dan Investigation


Manfaat dari penyediaan perumahan susun dengan sistem milik di perkotaan
adalah suatu uapaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia pada sektor papan,
setelah sandang dan pangan. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar
backlog perumahan berada di perkotaan. Artinya sekitar 2,4 juta kepala keluarga
di perkotaan belum memiliki tempat tinggal serta 3,1 juta kepala keluarga tingga
dikawasan tidak layak huni. Permasalahan utama adalah biaya untuk
mendapatkan tempat tinggal yang layak huni di kota-kota besar, bukanlah
sesuatu yang murah dan mudah akibat dari rendahnya daya beli masyarakat
secara umum serta ketersediaan lahan untuk pembangunan yang semakin mahal
dan semakin terbatas. Untuk itu upaya penyediaan percepatan penyediaan
perumahan di perkotaan melalui rusunami adalah suatu kebijakan dalam rangka
memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Rusunami ditujukan bagi penyediaan tempat tinggal bagi kelompok masyarakat
yang berpenghasilan rendah, yaitu mengacu pada Permen Pera No. 7/07, bahwa
kelompok sasaran yang berpenghasilan antara Rp. 2,5 juta sampai dengan Rp.
4,5 juta, yang mana dalam Permen tersebut dibagi dalam dua kelompok sasaran
yaitu kelompok sasaran 1 dan kelompok sasaran 2. Dengan batas angka
pendapatan per bulan sekitar Rp. 3,5 juta. Artinya kemampuan cicilan atau daya
beli masyarakat yang menjadi target adalah Rp. 800.000,- sampai dengan Rp.
1.500.000,-, dengan batas tengah Rp. 1.100.000,- per bulannya. Besaran tersebut

[115]
adalah untuk kebutuhan perumahan, termasuk didalamnya untuk biaya-biaya
operasionalisasi dan maintenance bangunan, aspek biaya ini dalam rumah susun
menjadi komponen yang harus diperhitungkan karena terdapat bagian-bagian
bersama, system bangunan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu
kesatuan.
Apakah daya beli tersebut sesuai dengan besarnya biaya investasi dalam
penyediaan rusunami, untuk menjawab hal tersebut tentunya tidak cukup dengan
membandingkan antara biaya konstruksi yang diperlukan dalam proses
pembangunan dari proses perencanaan sampai dengan biaya konstruksi, ada
beberapa komponen biaya yang diperlukan dan menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dengan nilai investasi rusunami, yaitu biaya yang diperlukan pada
saat proses penyusunan rencana umum, kelayakan serta perolahan lahan. Tahap
ini sangat menentukan tingkat keberhasilan pasar dari program penyediaan
rusunami. Sebagian besar pengembang tahapan ini menjadi kunci keberhasilan
dalam sistem pemasaran.
Kunci pada tiga tahapan awal tersebut merupakan bagian dari studi kelayakan
apakah pasar sudah betul-betul memerlukan rusunami, apakah ada kompetiter
lain yang memungkinkan keberadaan rusunami tersisihkan, dikarenakan pasar
masih mampu menyediakan perumahan dengan memiliki nilai ekonomis yang
lebih tinggi. Sebagai gambaran pembangunan rusunami dapat mengalami
kegagalan besar bilamana disekitar rusunami terdapat pembangunan RSH, maka
RSH merupakan faktor kompetiter utama, karena dengan harga yang relative
lebih rendah dibandingkan dengan rusunami sekalipun tersubsidi, maka
masyarakat akan lebih memilih untuk mengakses RSH dibandingkan dengan
rusunami.
Faktor lokasi memegang peran penting terhadap keberhasilan dari pasar
rusunami, dan lokasi yang diminati umumnya harga lahannya pun tinggi, hal ini
yang dapat memebrikan nilai tambah dari pendekatan harga, pada rusunami bila
dibandingkan dengan pembangunan RSH, pembangunan rusunami untuk setiap
unit tipe 36 pada rusunami 20 lantai hanya mengkonsumsi sekitar 8 – 9 m2 luas
lahan, dibandingkan dengan pendekatan RSH yang mengkonsumsi lahan per unit
minimal 60 m2. Atau dengan luas lahan yang sama antara RSH 36 dan Rusunami
36, perbandingan daya dukung lahannya adalah 1 : 7, satu RS untuk 7 Rusunami.
Hal lain yang didapat tentunya adalah luas ruang terbuka pada kawasan rusunami
akan lebih besar, hal ini akan lebih sejalan dengan amanat Undang-undang No.
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana setiap kota disyaratkan memiliki
ruang terbuka hijau minimal 30%.
Namun untuk mencapai proses tersebut memerlukan suatu penelaahan pasar
yang tidak sedikit membutuhkan biaya, bila dilakukan oleh pengembang
tentunya biaya tersebut akan dibebankan kepada konsumen atau harga jual.
Namun bila komponen biaya tersebut tidak pernah diperhitungkan kedalam biaya
[116]
investasi penyediaan perumahan susun milik, maka pengembang enggan dan
ragu untuk memulai, karena kondisi pasar yang tidak terdefinisi, dua hal yang
mungkin terjadi pada kondisi pasar tidak terdefinisi, yaitu rendahnya peminat
rusunami dikarenakan ketidak sesuaian antara pasar dan rumah. Ketidak sesuai
tersebut dapat berupa gap antara harga rusunami dan daya beli masyarakat, masih
tumbuhnya kompetiter RSH dengan harga yang lebih menjanjikan dibandingkan
dengan harga Rusunami, sehingga pasar lebih memilih RSH, atau adanya gap
sosial ekonomi, dimana tinggal di rusunami menjadikan biaya hidup lebih mahal,
dan hal ini tidak pernah terdefinisikan, sebagai gambaran bahwa ketentuan
perbankan bahwa daya beli masyarakat sebesar 1/3 pendapatan adalah besarnya
cicilan atau sewa. Faktanya bahwa biaya OM untuk tinggal di rumah susun
meningkat lebih besar dibandingkan di RSH, sehingga biaya untuk perumahan
akan lebih dari 1/3 dari pendapatan, dan hal ini yang menjadikan terjadinya
pergeseran penghuni pada rusun secara umum. Dengan beban 1/3 ditambah
dengan biaya OM tersebut, umumnya kehidupan kelompok sasaran menjadi
lebih berat. Hal ini perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, sehingga akan
didapatkan angka target kelompok sasaran yang lebih tepat dengan
memperhitungkan seluruh aspek pembiayaan dalam penyediaan rusunami.
Delapan tahapan secara umum dapat dirumuskan menjadi enam yaitu: survai,
investigasi, disain, konstruksi, operasionalisasi, dan maintenance/perawatan
(SIDCOM).
Pada tahap pra-pembangunan beberapa alternative insentif yang mungkin
dilakukan, melalui pertimbangan sumber daya yang ada perlu dilakukan dengan
pendekatan sebagai berikut:
1. Penyediaan peta kebutuhan perumahan perkotaan, yang digunakan oleh
pengembang dalam pembangunan rusunami, sehingga pengembang tidak
perlu lagi melakukan studi kelayakan berkaitan dengan pembangunan,
karena pemerintah sudah menjamin dengan adanya peta kebutuhan
perumahan tersebut. Peta kebutuhan tersebut agar memiliki power tentunya
perlu ditidak lanjuti menjadi Peraturan Daerah yang disahkan oleh DPRD.
Pada proses penyediaan peta kebutuhan perumahan perkotaan tersebut, perlu
dilakukan pengkajian secara komprehensif dan digunakan sebagai Road
Map pembangunan rusunami kota. Konsekuensi pembiayaan tersebut
menjadi nilai insentif dalam proses penyediaan rusunami.
Pada tahap ini pelu dukungan rugulasi yang tegas, sehingga mendorong
masyarakat kota menerima untuk tinggal di rumah susun karena tidak ada
alternative lain. Pendekatan seperti ini, merupakan salah satu metoda dalam
sosialisasi membangun dan mengubah pola struktur budaya masyarakat
perkotaan, karena untuk tinggal di perkotaan nilai lahan sudah banyak
bergeser, tanah di perkotaan bukan lagi menjadi barang investasi untuk
produksi pertanian, akan tetapi menjadi investasi untuk produksi jasa,

[117]
dimana bila dibandingkan antara aktivitas jasa dan pertanian, peran lahan
menjadi tidak langsung, sehingga untuk menampung kegiatan jasa sebanyak
mungkin diupayakan mengkonsumsi lahan seminimal mungkin, hal ini
bertolak belakang dengan fungsi lahan untuk pertanian, dengan menguasai
lahan sebesar mungkin membuka peluang memperbesar produsi
pertaniannya.
Melalui peta kebutuhan perumahan kota, diharapkan setiap bagian dan
wilayah kota sudah memiliki status, yang menyangkut peruntukan,
ketinggian, jenis rusun, luas rusun, serta sarana dan prasarana yang
mendukung terbentuknya satuan sistem permukiman yang memungkinkan
tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang lebih madani, yaitu kawasan
perumahan yang memberikan peluang pertumbuhan mendasar dari manusia
yaitu sosial, ekonomi, dalam menyongsong masa depan yang lebih gemilang
dan sejahtera.
Disadari atau tidak bahwa peyediaan peta kebutuhan perumahan akan
menjadi kendali sistem ruang (spatial sistem), yang mampu membangun
sistem perekonomian yang lebih seimbang, dan hal ini akan berangsung-
angsung terbentuknya sistem ruang kota yang lebih tertata, serta sebagian
dari aspek untuk mengendalikan harga tanah di perkotaan, yang cenderung
terus meningkat dan tidak terkendali, tanah di perkotaan saat ini menjadi
santapan empuk bagi spekulan-spekulan tanah dalam mencari keuntungan,
yang tentunya merugikan pada sektor penyediaan perumahan, dan hal yang
menjadikan rumah di perkotaan saat ini semakin mahal dan jauh
meninggalkan daya beli masyarakat.
2. Tidak lanjut dalam proses penyediaan Peta kebutuhan perumahan adalah,
terciptanya blok-blok kawasan perumahan yang menjadi prioritas
penanganannya, penciptaan blok-blok tersebut akan mendorong kebutuhan
penyusunan rencana kawasan perumahan yang lebih tertata secara sehat dan
estetik. Namun sebagaimana diketahui bahwa blok-blok kawasan perkotaan
yang akan menjadi kawasan rusun tersebut, fakta dilapangan sebagiannya
merupakan kawasan yang sudah terbangun dan di bawah penguasaan
masyarakat. Pada tahap ini mendorong regulator untuk menindak lanjuti
menjadi pembentukan KASIBA dan LISIBA, yang akhirnya bahwa
KASIBA dan LISIBA tersebut harus juga dijadikan Peraturan Daerah. Pada
tahap ini sangat dimungkinkan untuk berkembang pada pendekatan Land
Sharing dan Konsolidasi Tanah. Peran berbagai lembaga dan stakeholder
dalam menyiapkan program ini diperlukan, dalam bentuk lintas instansi
perlu ditindak lanjuti, agar penyediaan rusunami kelak tidak menjadi
monumen dari gerakan 1000 Tower. Untuk itu perlu segera disiapkan
pembentukan lembaga dan regulasi baru yang lebih mendukung, yang
diperkuat oleh sumber daya yang professional. Pada pendekatan ini beberapa

[118]
izin dalam penyediaan perumahan susun milik sekaligus dapat dipangkas,
seperti izin prinsip dan izin lokasi, karena mekanisme dalam KASIBA dan
LISIBA sudah dapat tercover.

3. Kebijakan pasar lahan perlu dipersiapkan sebagai bagian dari insentif dalam
penyediaan rusunami. Seperti pada uraian di atas bahwa seluruh komponen
pada tahap awal bermuara pada penyediaan lahan yang tepat lokasi dan tepat
pasar. Suatu kondisi lahan yang sudah terdefinisi pada akhirnya akan
mendorong pertumbuhan lahan yang diminati oleh para spekulan tanah.
Untuk itu perlu dibentuk mekanisme yang mengatur pasar lahan untuk
perumahan.
Bentuk insentif pada tahap awal ini lebih menentukan terhadap tingkat
keberhasilan dalam penyediaan perumahan susun, ukuran keberhasilan tersebut
dicapai bilamana, antara rumah yang disediakan sesuai dengan daya beli
masyarakat, bahwa rumah yang disediakan merupakan satu-satunya solusi yang
tepat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak huni, sehingga tidak
menumbuhkan kembali alternative lain yang memiliki kekuatan sama sehingga
menciptakan distorsi pasar. Dalam pasar property nilai komersialisasi menjadi
kekuatan besar dalam keberhasilan bagi pengembang maupun masyarakat
pemiliknya. Artinya bahwa pengembang akan mendapatkan keuntungan yang
besar dalam proses penyediaan perumahan tersebut juga masyarakat akan
merasakan keuntunganya, demikian pula dengan memiliki dan meninggali rumah
tersebut, pada tahap tersebutlah tingkat keberhasilan property dicapai.
Pada proses awal, pasar umumnya tidak memahami keuntungan atau
konsekuensi biaya yang ditimbulkannya. Gambaran secara umum, bahwa proses
awal dalam dunia produksi dapat digolongkan sebagai biaya maketing, dimana
proses marketing itu dilakukan tidak hanya pada saat barang itu jadi, tapi pada
saat barang itu diciptakan, dimana produsen akan terlebih dahulu membaca
kebutuhan pasar terhadap produksi kedapan. Seperti pada penggunaan Hand
Phone, bahwa upaya marketing dengan pengiklanan tidak cukup, akan tetapi
kebutuhan masyarakat akan hand phone tersebut pada awalnya dilakukan
pengkajian. Dan tentunya biaya proses pengkajian awal ini bila harus dilakukan
oleh pengembang akan sangat berat, untuk itulah peran Pemerintah menjadi
sangat dominan karena perumahan masyarakat berpenghasilan rendah
merupakan sektor public, yang menuntut peran Pemerintah lebih utama
dibandingkan dengan swasta.
Bila penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini
diserahkan swasta sepenuhnya tanpa intervensi Pemerintah, maka harga rumah
akan menjadi lebih mahal dan jauh dari keterjangkauan. Seperti keberadan hand
phone sudah melalui studi kelayakan pasar yang cukup panjang, demikian halnya
keberadaan rusunami apakah diperlukan proses kajian pasar seperti produk lain

[119]
dan bila diperlukan siapa yang harus melakukan, tentu kajian awal tersebut tidak
hanya menyangkut soft ware akan tetapi hard ware diperlukan juga kajian,
penentuan luasan atau tipe unit, penetuan jumlah lantai bangunan, penentuan
jumlah unit maksimum perlantai, penentuan kepadatan penghunian tiap lantai
dan blok bangunan, harus melalui suatu pengkajian diawal.

Insentif pada Tahap Design dan Construction


Pada tahap rancang bangun rusunami merupakan aspek pembiayaan yang sangat
terukur karena bersentuhan dengan fisik, untuk itu agar mendapatkan suatu hasil
yang memenuhi ketentuan kehandalan bangunan; keselamatan, kesehatan,
kenyaman dan kekuatan bangunan maka pada tahap perencanaan dan
perancangan bangunan harus dilakukan dengan mengacu pada ketentuan-
ketentuan yang berlaku seperti SNI, baik yang menyangkut SNI kekuatan
structural, utilitas, maupun bagian pengisi (infill wall), demikian halnya
pengaturan tentang ventilasi, pencahayaan serta pengaturan orientasi bangunan
agar tetap memenuhi ketentuan kehandalan bangunan.
Sektor yang memungkinkan diberikan insentif pada tahap ini adalah insentif pada
aspek administrasi dan aspek fisik. Aspek administrasi meliputi insentif
perpajakan, BPHTB, sertifikasi lahan atau hunian sarusun, akad kredit, PPAT
(insentif fiskal). Sedangkan pada aspek fisik meliputi insentif pada biaya
perencanaan, perizinan, bangunan dan PSU serta lahan. Dari hasil kajian terlihat
bahwa insentif pada komponen biaya adminstrasi lebih kecil pengaruhnya
dibandingkan dengan insentif yang diberikan pada sektor perencanaan dan
perancangan. Insentif yang diberikan pada aspek administrasi mampu
menurunkan harga jual sebesar 15% sedangkan insentif yang diberikan pada
aspek fisik mampu menurunkan biaya sampai dengan 34% dari biaya real
pembangunan rusunami, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh insentif terhadap biaya investasi
Aspek Biaya Komponen Biaya Prosentase Pengurangan biaya (%)
pada Unit Harga KPR Target Grup Besarnya
Sarusunami Rp. 163.123.343,- Rp. 7.140.359,- Insentif
T.36
Administrasi 1. PPN 15% 20% 15%
2. BPHTB Rp. 138.120.734,- Rp. 5.692.989,- Rp. 25.002.609,-
3. Sertifikat/HM Angsuran per Sama dengan
4. Akad Kredit bulan Rp. uang muka
5. PPAT 1.897.663,-
Fisik 1. Perencanaan 34% 47% 34%
2. Perizinan Rp. 107.712.833,- Rp. 3.770.319,- Rp. 55.410.510,-
3. PSU Angsuran per Uang Muka lebih
4. Lahan bulan rendah
Rp. 1.256.773,- Rp. 16.305.305,-

[120]
Melihat pada table hasil analisa di atas terlihat bahwa, insentif dalam bentuk fisik
yang meliputi perencanaan, perizinan, PSU dan lahan lebih banyak membantu
masyarakat, dengan penurunan harga KPR mencapai 34% dibandingkan
penurunan KPR akibat subsidi adminstrasi yang hanya mencapai 15% artinya
kurang dari 50% dampak insentif pada fisik bangunan. Selain itu insentif yang
diberikan pada fisik bangunan dapat juga meringankan uang muka dan angsuran
bagi masyarakat, yaitu besarnya penurunan uang muka hanya 64% dari
pembayaran normal tanpa subsidi maupun pada uang muka bangunan yang
diberi insentif pada aspek administrasi.
Uang muka yang dikeluarkan pada bangunan yang tidak mendapatkan insentif
sebersar Rp. 47.000.000,- sedangan uang muka yang dikeluarkan pada bangunan
yang mendapatkan insentif administrasi sebesar Rp. 25.000.000,- dan uang
muka yang dikeluarkan pada bangunan yang mendapatkan insentif pada sektor
fisik uang muka yang dikeluarkan sebesar Rp. 16.000.000,-. Jelas bahwa
dukungan insentif pada fisik bangunan memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap daya beli masyarakat. Namun timbul pertanyaan, bagaimana
sumsidi tersebut dapat diberikan tanpa harus membebani anggaran Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Dalam sektor perencanaan insentif tidak langsung dapat diberikan tanpa harus
mengabaikan aspek-aspek perencanaan inti, yaitu melalui penyediaan Disain
Prototipe, tentunya dengan penyediaan Disain Prototipe ini tidak mengabaikan
aspek keselamatan serta aspek kesesuaian dengan kondisi lokal seperti
penyelidikan tanah yang berkairan erat dengan kekuatan pondasi bangunan serta
penyesuaian disain dengan koteks lokal. Artinya biaya perencanaan tidak perlu
dipangkas total, akan tetapi tetap disediakan sejauh untuk penyiapan site dan
mengsingkronkan dengan kondisi budaya.
Tampaknya Prototype Disain merupakan solusi yang akan berbenturan dengan
daerah, mengingat daerah menginginkan keunikan dari bangunan yang didirikan
di daerahnya, namun demikian, bilamana kita masih harus membangun sambil
menyediakan perencanaan, pada saat ini masih kurang tepat berkaitan dengan
besarnya kebutuhan rumah di perkotaan, karenan proses perencanaan yang sama
sekalipun memerlukan sumber daya dan waktu yang tidak sedikit.
Komponen kegiatan perencanaan dan perancangan dalam penyediaan rusunami,
memberikan kontribusi pembiayaan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 3% – 4%
dari nilai investasi fisik bangunan, atau rata-rata biaya perencanaan untuk satu
blok bangunan rusunami 20 lantai, tipe 36 m2 dalam satu blok dengan jumlah
hunian 228 unit membutuhkan biaya perencanaan sekitar Rp. 600 juta sampai
dengan Rp. 700 juta, angka ini setara dengan 6 unit hunian, atau 2% dari nilai
jual rusunami. Bilamana subsidi perencanaan dapat dilakukan maka dari target
pembangunan rumah susun sampai dengan 2011 sebanyak 249.926 unit akan

[121]
bertambah sebanyak 5.000 unit, tentunya jumlah yang cukup besar dari total
target pembangunan dan percepatan pembangunan rumah susun 1000 tower.
Insentif pada aspek perzinan lebih membutuhkan peran daerah untuk
melaksanakannya. Fungsi perizinan memiliki landasan dalam menegakkan
keteraturan dan ketertiban dalam pembangunan, yang sekaligus memiliki nilai
ekonomis terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun perlu ditekankan
bahwa perizinan seyogyanya berfungsi sebagai alat kendali dalam pembangunan,
dan aspek ini harus dapat digunakan sebagai landasan utama dalam
pembangunan rusunami. Kontribusi izin terhadap nilai total investasi fisik
bangunan mencapai 2.7% dari total biaya.
Insentif yang cukup besar dalam pembangunan rusunami adalah insentif untuk
memenuhi PSU, yaitu sebesar 22% dari nilai investasi rusunami yang memenuhi
kehandalan bangunan. Dampak dari nilai investasi PSU ini adalah meningkatkan
daya beli masyarakat, dampak insentif pada PSU menyebabkan harga bangunan
sarusun meningkat 15% dari harga jual bangunan yang PUS nya diberikan
insentif.
Lahan merupakan pada rumah susun memiliki nilai kontribusi sebasar 5% untuk
menurunkan harga jual sarusun, nilai tambah dari lahan pada rusunami adalah
efektifitas konsumsi lahan yang lebih tinggi dimana rata-rata setiap unit sarusun
tipe 36 m2 hanya mengkonsumsi lahan seluas 8 m2, dengan ketentuan Building
Coverage mencapai 30%, artinya efisiensi lahan tersebut juga diimbangi dengan
terbukanya pengembangan ruang terbuka hijau perkotaan.
Bila ditinjau dari aspek konsumsi lahan rusunami 20 lantai dengan tipe 36
dibandingkan dengan RSH tipe 36 lahan 60 m2, pendekatan rusunami jelas
memiliki keunggulan, namun demikian kunci keunggulan tersebut dapat saja
sirna bilamana pendekatan perencanaan kawasan Rusunami memiliki tata
rancangan site yang buruk. Untuk itu peran pengembangan rusunami pada
pengembangan kawasan yang lebih luas merupakan aspek yang mendukung
keberhasilan pembangunan rusunami.
Walaupun kontribusi terhadap reduksi harga KPR rusunami hanya 5%, namun
dalam proses penyediaan lahan merupakan aspek yang paling kompleks. Hal ini
perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dalam aspek penyediaan lahan,
mengingat lahan di perkotaan semakin hari semakin langka dan harganya teruis
meningkat.
Kembali pada pembahasan dimuka bahwa penyediaan lahan melalui KASIBA
dan LISIBA dapat merupakan solusi yang efektif dalam penyediaan rusunami,
sekaligus penataan ruang perkotaan yang umumnya pada sebgian besar
perkotaan di Indonesia belum tertata secara baik, ruang kota umumnya tumbuh
secara spontan bukan dari perencanaan yang komprehensif.

[122]
Insentif terhadap Daya Beli Masyarakat
Daya beli masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kendalan dalam
merealisasi pembangunan rusunami, dimana menurut Peraturan menteri
Perumahan Rakyat No. 7/Pemen/M/2007 kelompok sasaran untuk rumah susun
milik adalah masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp. 2,5 juta sampai
dengan Rp. 4,5 Juta, dengan angka rata-rata penghasilan adalah Rp. 3,5 juta.
Dibandingkan dengan harga jual rusunami tanpa subsidi mencapai Rp.
160.000.000,- per unit artinya, kelompok sasaran yang dapat menjangkau
rusunai adalah kelompok masyarakat berpenghasilan di atas Rp. 7.000.000,-
per bulan, dengan anggsuran per bulan lebih dari Rp. 2,3 juta. Besarnya
angsuran hampir mendekati angka penghasilan kelompok sasaran terendah
yaitu Rp. 2,5 juta.
Sebagaimana uraian di atas, berbagai formula mencari bentuk subsidi
dilakukan, seperti pemberian insentif pada aspek fisik dan administrasi, namun
dengan insentif administrasi yang dilakukan melalui perhitungan didapat angka
target grup masyarakat adalah Rp. 5,6 juta per bulan artinya melampaui target
grup maksimum yang telah ditentukan dalam Permen yaitu sebesar Rp. 4,5
juta.
Peluang rusunami masih terbuka lebar bilamana kita lihat pada analisa insentif
pada fisik bangunan, melalui insentif ini target grup yang cocok adalah
masyarakat yang berpenghasilan Rp. 3,7 juta per bulan, angka ini mendekati
angka tengah dari target grup yang dituangkan dalam Permen Pera 7/07. Perlu
kiranya dilakukan kajian ulang terhadap prosentase kelompok sasaran yang
ditargetkan dalam penyediaan rusunami, hal ini dikarenakan prosentase
kelompok masyarakat berpenghasilan redah, jumlahnya masih sangat tinggi
yaitu lebih dari 70%.
Tabel 2. Analisa efektifitas bentuk insentif

komponen Nilai
sat ALTERNATIF bentuk subsidi Regulasi
biaya dasar
insentif Insentif
1 50% Bunga
adm fisik

Uang Muka 8,206,532 rp 8,206,532 12,309,798 11,575,606 11,942,702 12,309,798 Permen Pera No.
- -

03/PERMEN/M/2
PPN - rp - - - - - 007
administrasi

BPHTB 4,103,266 rp 4,103,266 - 4,103,266 2,051,633 4,103,266


srtfk 2,500,000 rp 2,500,000 - 2,500,000 1,250,000 2,500,000
Akad kredit 820,653 rp 820,653 - 820,653 410,327 820,653
PPAT 820,653 rp 820,653 - 820,653 410,327 820,653
anggsuran I 856,557 rp 856,557 794,438 747,055 770,747 794,438
Disain Prototipe
Perencanaan 378,000 rp 378,000 378,000 - 189,000 378,000 Kepmen
investasi fisik

Kimpraswil No.
Perizinan 4,516,611 rp 4,516,611 4,516,611 - 2,258,306 4,516,611 403/2002
Bangunan 44,770,710 rp 44,770,710 44,770,710 4,770,710 44,770,710 44,770,710 perlu kajian lanjut
Lahan 32,400,000 rp 32,400,000 32,400,000 32,400,000 2,400,000 32,400,000 harga lahan
Suku bunga Subsidi selisih
bank 12 % 0 0 0 0 5 Bunga
Sumber Analisis oleh Arief Sabaruddin, tahun 2013

[123]
Bahwa dari Tabel 2 di atas tidak terdapat perbedaan penurunan target grup
pada insentif adminstrasi, yang terjadi hanyalah bantuan dalam upaya menekan
biaya awal yang harus dikeluarkan oleh konsumen. Dukungan insentif pada
biaya-biaya administrasi lebih banyak memberikan bantuan pada skala pendek,
sedangkan bantuan pada insentif fisik bangunan lebih banyak memberikan
bantuan pada skala yang lebih panjang. Karena dapat menurunkan besarnya
angsuran serta biaya pembayaran di muka.
Selain itu subsidi uang muka serta selisih bunga dapat memberikan bantuan
yang Pemberian insentif pada semua komponen perpajakan dan perizinan
secara konseptual dapat diberikan kepada MBR. Tetapi pendekatan ini
memerlukan pengujian komposisi kontribusi tiap komponen terhadap harga
jual rumah, agar dapat diperoleh hasil yang bermanfaat, baik bagi masyarakat
maupun bagi penerimaan negara.
Alternatif insentif dimulai dan diutamakan pada komponen perpajakan yang
kontribusinya paling besar terhadap harga rumah. Alternatif besar insentif
dikembangkan secara gradual untuk dinilai manfaatnya. Peringkat perpajakan
menurut kontribusinya kepada harga jual rumah adalah :
1. Pajak Pertambahan Nilai
2. BPHTB
3. Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan juga dikenakan kepada pengembang selama
menguasai tanah, yaitu sejak pembelian tanah sampai rumah laku terjual.
Dilihat dari nilainya, rata-rata besar PBB hanya 0,2% dari harga jual rumah,
sehingga tidak signifikan untuk dihitung manfaatnya. Kecuali jika ingin
langsung dihapus dengan pertimbangan lebih kepada kepraktisan dalam proses
bisnis pengembang.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% adalah dua kali dari besar BPHTB yang
ditetapkan 5% dari NJOP. BPHTB lebih kecil jumlahnya, tetapi seperti halnya
perizinan, memerlukan pelayanan yang lebih lama, rumit dan keahlian
lapangan dengan mengeluarkan biaya lebih banyak dari pada pelayanan Pajak
Pertambahan Nilai. Dengan demikian pemberian insentifnya memiliki
keterbatasan lebih banyak dari pada pemberian insentif untuk Pajak
Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, pemberian insentif dalam persentase
tunggal secara bersama dengan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu,
pemberian insentif dalam persentase tunggal secara bersama dengan Pajak
Pertambahan Nilai dipandang kurang tepat.
Selain beban pajak yang dihitung dengan pendekatan di atas, sebenarnya masih
terdapat pajak yang kurang tepat sasaran, antara lain karena dipungut secara
berantai atau dipungut secara tidak proporsional, sehingga menjadi beban
berlebih bagi pembeli rumah dari pengembanga. Bagi MBR beban ini menjadi
[124]
salah satu sumber biaya tinggi yang memberikan dan membuat mereka
semakin sulit untuk menjangkau harga akhir rumah sederhana sehat.
Pajak yang secara berantai atau secara tidak proporsional menjadi beban bagi
pembeli rumah dari pengembang antara lain terjadi pada :
1. Pajak Pertambahan Nilai atas tanah yang dipungut pada saat
pengembang membeli dari pemilik tanah sebelumnya. Pajak ini oleh
pengembang secara bisnis dihitung sebagai biaya penyediaan rumah dan
pada akhirnya menjadi beban bagi pembeli. Pajak Pertambahan Nilai
untuk tanah yang akhirnya menjadi lahan untuk prasarana dan sarana
pelayanan umum serta fasilitas sosial dan fasilitas umum seluas 40%
dari lahan yang dibebaskan juga menjadi beban pembeli, pada hal
pembeli rumah tidak memilikinya secara pribadi meskipun dapat
menikmati secara tidak terus menerus melalui penggunaan fasilitas
sosial dan fasilitas umum serta prasarana lainnya.
2. Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa yang dipungut pada saat
pengembang membeli untuk kepentingan penyediaan rumah. Pajak ini
oleh pengembang secara bisnis juga dihitung sebagai biaya penyediaan
rumah dan pada akhirnya menjadi beban pembeli. Pajak Pertambahan
Nilai juga akan dipungut lagi pada saat pengembang menjual rumah
kepada MBR.
3. PBB selama masa menganggur sejak pembelian tanah oleh pengembang
sampai dengan transaksi penjualan. Pajak ini oleh pengembang secara
bisnis dihitung sebagai biaya penyediaan rumah dan pada akhirnya
menjadi beban pembeli. PBB untuk tanah yang akhirnya menjadi lahan
untuk prasarana dan sarana pelayanan umum serta fasilitas sosial dan
fasilitas umum seluas 40% dari lahan yang dibebaskan juga menjadi
beban pembeli yang masuk dalam kategori MBR.
4. BPHTB yang diatur oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
dikenakan kepada pengembang dihitung atas dasar seluruh luas lahan
yang dibebaskan, padahal pengembang hanya akan menjual kembali
seluas 60% dari luas lahan. Sisa luas lahan 40% tidak dapat dijual, tetapi
diserahkan kepada publik dalam bentuk lahan untuk prasarana dan
sarana pelayanan umum serta fasilitas sosial dan fasilitas umum.

8.2. Pemilihan Alternatif Insentif


Melihat pada hasil analisa berbagai bentuk insentif, maka bentuk bentuk insentif
pada aspek fisik bangunan lebih mampu menjebatani antara besarnya investasi
dengan daya beli masyarakat sehingga Permen Pera No. 7/2007 dapat lebih
oprasional.

[125]
Tabel 3. Target grup terhadap daya beli dikaitkan dengan pola insentif
Nilai Alternatif Pola Insentif
Komponen Biaya Dasar Sat 1 2 Fisik Total DP Regulasi
Harga dasar 82,065,321 82,065,321 82,065,321 77,170,710 79,618,015 82,065,321 masukan Permen
Harga KPR 73,858,789 73,858,789 69,755,523 65,595,103 67,675,313 9,755,523 batas maksimum
terhadap daya beli

anggsuran I penghasilan
dampak insentif

856,557 rp/bln 841,170 794,438 747,055 770,747 794,438


Bunga/subsidi 12 % 7 7 7 7 7
menurut Permen
Pera No.
Target grup/msy 2,569,670 rp 2,523,509 2,383,314 2,241,166 2,312,240 2,383,314 07/Permen/M/2007
Uang muka 8,206,532 rp 14,823,703 12,309,798 11,575,606 11,942,702 12,309,798
pembayaran dimuka 17,307,661 rp 17,307,661 13,104,236 20,567,234 16,835,735 21,348,808 Subsidi uang muka
Subsidi langsung 0 rp - 8,244,572 4,894,611 6,997,870 -
Sumber : Analisis Arief Sabaruddin, tahun 2013

Mengacu pada Tabel 3, terlihat bahwa insentif finasial terhadap aspek fisik lebih
besar memberikan dukungan bagi tercapainya penyediaan rusunami yang layak
huni dan terjangkau, untuk itu bentuk-bentuk insentif finasdial tersebut yang
harus dikembangkan lebih lanjut adalah :
1. Insentif perancangan bangunan, pada program pembangunan rusunami
ditahap awal ini harus dapat menggunakan prototype disain, dimana
Pemerintah harus menjadi pemegang hak cipta, agar penggunaan disain
prototype tersebut, sehingga konsekuensi biaya yang akan dikeluarkan
dikemudian hari hanya biaya untuk penyesuaian disain berkaitan denfgan
karakter arsitektur lokal serta penyesuaian terhadap disain pondasi.
Sedangkan disain bagian utama merupakan prototype yang dapat digunkan
langsung. Untuk menyiasati berbagai kekhasan lokasi dan daerah dapat
disaranka idsain prototype tersebut dibuat lebih dari satu pola (mis: pola
blok memanjang/linier, pola cluster/radial, atau pola lainnya).
2. Insentif PSU, insenti ini merupakan kelengkapan yang menunjang
keberfungsian dari bangunan, sepertihalnya bagian-bagaian milik bersama
dari rumah susun, termasuk bagian lantai dasar yang dikosongkan, dem8kian
juga dengan koridor. Untuk lebih berkesinambungan fungsi-fungsi besama
biaya OM sebaiknya juga diberikan insentif, dengan membebankan kepada
fasilitas umum, seperti penerangan koridor dan taman dimasukkan dalam
kategori PJU (penerangan Jalan Umum), yang dibaiaya oleh masyarakat
secara luas dan sudah terkelola oleh PLN.
3. Insentif Lahan dan sarana dan prasarana lingkungan, penyediaan lahan
secara terorganisasi dan terencana akan mampu memberikan nilai positive
terhadap daya jual bangunan sarusunami, mengingat pembangunan
rusunami tidak dapat dilakukan secara parsial akan tetapi dapat berhasil
bilamana dibangun secara komprehensi yang membentuk kawasan
permukiman yang terpadu pada skala kawasan. Dalam mewujudkan
masyarakat perkotaan dengan pola tinggal dikawasan perumahan secara
bersusun, perlu diciptakan terlebih dahulu kawasan yang mendukung dengan
memiliki suasana kawasan dengan pembangunan vertical. Akan sulit sekali
bila keberadaan rusunami berada pada kawasan yang didominasi oleh
lingkungan perumahan yang dibangun secara horizontal. Hal ini akan
[126]
menimbulkan keunikan dan pusat perhatian yang kurang menguntungkan
bagi penghuni rumah susun.
Berbeda bilamana keberadaan rumah susun tersebut dapat mendominasi
lingkungan perumahan sekitar, sehingga keberadaan rumah-rumah susun
tersebut menjadi bagian yang biasa. Dapat kita perhatikan keberadaan
kelompok rumah susun Perumna di Kemayoran yang keberadaannya
disekitar kawasan adalah kumpulan dari rumah-rumah susun lainnya serta
bangunan rumah tinggal susun menengah atas (apartemen), tidak
menciptakan suatu gap, akan tetapi menciptakan keharmonisan lingkungan
sebagai wujud dari lingkungan kota. Keharmonisan lebih dilengkapi lagi
dengan keberadaan bangunan-bangunan gedung yang rata-rata dibangun
secara vertical.
Sejalan dengan harmonisasi kawasan rumah susun tersebut, maka peran
Pemerintah sangat besar, dalam hal penyediaan lahan yang siap bangun,
dalam hal ini program KASIBA dan LISIBA, dapat merupakan wujud dari
insentif bagi penyediaan rumah susun. Kesulitan lahan untuk pembangunan
rusunami juga dapat dikurangi bila program pembangunan KASIBA dan
LISIBA digalakkan kedepan. Jadi program penyediaan rusunami harus
disejalankan dengan program pembangunan KASIBA dan LISIBA.
4. Insentif Perizinan, insentif pada proses perizinan nilainya tidak terlalu
signifikan terhadap harga jual, kurang labih sekitar 3% saja. Namun
komponen perijinan turut juga berpengaruh pada bentuk bantuan yang lebih
berkelanjutan, dimana komponen perizinan melekat pada harga investasi
bangunan. Hal ini berdampak pada pengurangan besarnya cicilin per bulan.
5. Insentif Adminstrasi, dukungan administrasi ini meliputi perpajakan,
BPHTB, sertifikat/HM sarusun, proses kredit dan transaksi PPAT. Insentif
yang diberikan disini lebih banyak membantu pada aspek pembiayaan yang
dikeluarkan dimuka pada saat kredit/ pembelian. Dapak keberlanjutanya
kurang dapat dirasakan oleh masyarakat, karena pada akhirnya besar cicilan
akan tetap tinggi.

8.3. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Insentif


Kebijakan insentif yang patut untuk direkomendasikan adalah :
1. Insentif finansial lebih efektif bila diberikan pada aspek perencanaan, dan
PSU serta lahan, ketiga komponen fisik tersebut memiliki peran yang
sangat signifikan diberikan mengingat kontribusi terhadap pencapaian
daya beli serta beban angsuran dan biaya uang dimuka yang harus
ditanggung oleh masyarakat cukup besar. Adapun dampak dari dari
insentif finasial terhadap fisik bangunan dapat menurunkan harga sampai
dengan 34%, selain itu sifat bantuan tersebut dapat lebih keberlajutan
karena juga berpengaruh besar terhadap besarnya cicilan yang dapat
[127]
ditekan sampai dengan 52%, berbeda dengan insentif finasial yang
diberikan pada proses administrasi perizinan maupun perpajakan,
dampaknya tidak terlalu besar serta kurang berkesinambungan karena
pasca akad kredit masyarakat akan tetap terbebani oleh cicilan per
bulannya serta biaya-biaya operasional dan maintenance bangunan.
2. Insentif finansial lebih baik tidak diberikan pada biaya perizinan, karena
tidak signifikan kontribusinya (kurang dari 3% harga jual) dan pelayanan
perizinan biasanya memerlukan sejumlah biaya pelaksanaan. Oleh karena
itu insentif finansial tidak terlalu penting dalam perizinan, tetapi yang
lebih diperlukan adalah adanya ketentuan umum bagi seluruh daerah
mengenai besar maksimum biaya perizinan yang dibolehkan bagi
perumahan RSH agar tidak menjadi beban berlebih.
3. Insentif Pajak Bumi dan Bangunan bagi MBR tidak diberikan, karena
tidak signifikan kontribusinya (kurang dari 0,2% harga jual). Lebih tepat
Pajak Bumi dan Bangunan selama masa pembangunan diberi insentif
100% (dihapus), bukan hanya dimaksudkan untuk mengurangi beban
MBR yang membeli rumah, tetapi untuk menghapus beban tugas
administrasi perpajakan dan menghilangkan akses negatif yang dapat
ditimbulkan dalam pengurusan dan pembayarannya.
4. Pemerintah sebaiknya juga menetapkan batas bawah, selain batas atas
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) agar MBR
secara nyata dapat menikmati insentif. Jika hanya batas atas yang
ditentukan, pemerintah daerah cenderung menetapkan angka NPOPTKP
serendah mungkin untuk memperbesar Pendapatan Asli Daerah.
5. Insentif Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan rumah kepada MBR juga
diterapkan, karena signifikan kontribusinya (10% harga jual) dan
berpotensi meningkatkan daya beli. Insentif pada Pajak Pertambahan Nilai
diberikan pada kisaran angka moderat 50% dari tarif pajak yang berlaku
sampai 100% untuk bagian harga di atas Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sampai batas atas tertentu.
6. Insentif Pajak Pertambahan Nilai diberikan 100% atas pembelian tanah
yang akan diperuntukan bagi rumah bagi MBR. Pemberian insentif ini
perlu pengawasan ketat agar tidak disalah gunakan oleh pengembang
untuk membangun perumahan bukan RSH atau bahkan peruntukan
lainnya.
7. Insentif Pajak Pertambahan Nilai diberikan 100% atas pembelian barang
dan jasa yang akan diperuntukkan dalam pembuatan rumah untuk MBR.
Pemberian insentif ini perlu pengawasan ketat agar tidak disalah-gunakan
oleh pengembang untuk kepentingan lainnya.

[128]
8. Insentif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga
diberikan, karena signifikan kontribusinya (5% harga jual) dan berpotensi
meningkatkan daya beli. Insentif BPTHB diberikan pada kisaran angka
konservatif 25% sampai 75% dari bea yang berlaku untuk bagian harga di
atas Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
9. insentif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diberikan
100% atas tanah dan bangunan yang dijadikan fasilitas sosial dan
prasarana umum, agar tidak menjadi mempertinggi harga jual rumah bagi
MBR.
10. Nilai finansial insentif perpajakan dan perizinan formal untuk MBR secara
nominal sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi sangat bermanfaat bagi
mereka.

[129]
[9] Kebutuhan Luas Minimum
Hunian pada Rumah Susun

9.1. Latar belakang


Pembangunan rumah susun di kota-kota besar di Indonesia telah menjadi
tuntutan yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan
lahan kian terbatas. Lalu mengakibatkan dari sisi supply harga rumah susun
sangat tinggi , dan tidak mampu diimbangi oleh sisi demand yang memiliki
daya beli yang rendah.
Pendekatan yang dilakukan saat ini adalah dengan menurunkan standar ruang
pada unit rumah susun, lalu mengoptimalkan subsidi, untuk mendongkrak
daya beli. Unit rumah susun merupakan sebuah tempat tinggal, yang memiliki
fungsi sebagai satu wadah tempat tumbuh dan berkembangnya sebuah keluarga
yang sehat.
Keluarga sehat adalah keluarga yang senantiasa terjadi proses peningkatan
kualitas kehidupan dan penghidupannya Proses perubahan sebuah keluarga
dimungkinkan terjadi bilamana seluruh aktifitas keluarga dapat terselenggara
dengan baik, dan sebagian besar waktu kehidupan manusia berlangsung dalam
tempat tinggal. Khususnya pertumbuhan seorang anak, dimana sebagian besar
waktu pertumbuhan seorang anak terjadi dalam sebuah rumah, di dalam rumah
dimungkinkan terjadi interaksi yang cukup besar antara anak dengan orang tua.
Maka rumah yang sehat dapat menjamin terciptanya keluarga yang sehat.
Kesehatan sebuah rumah ditentukan oleh kualitas kesehatan sebuah ruang
hunian, keseimbangan antara individus ditentukan oleh pemenuhan individu
tersebut terhadap ruang.
[130]
Kebutuhan ruang minimum setiap individu pada unit rumah tinggal ,
ditentukan oleh keadaan psikologis dan fisik penghuni. Ruang unit hunian
harus memenuhi ketentuan minimal ruang sosial pada bangunan , serta
ketentuan minimal ruang terbuka, yang harus dihitung berdasarkan kebutuhan
psikologis dan fisik ruang minimal per jiwa. Selain itu standar ruang minimal
pada unit hunian dengan kasus rumah susun, juga ditentukan oleh pola ruang
sosial, yang dibentuk oleh model disain rumah susun, yakni terdapat perbedaan
antara pola linier dan pola ruang memusat pada jenis ruang sosial rumah susun.
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah sandang dan pangan.
Rumah merupakan sebuah wadah tempat tumbuh dan berkembangnya sebuah
keluarga,. Ini telah diatur oleh Undang-undang Dasar 45. pasal 28 h ayat (1)
yaitu; ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan”.
Menurut undang-undang tersebut, bahwa setiap warga negara berhak atas
sebuah tempat tinggal, yang dapat memberikan kesejahteraan lahir dan bathin,
dalam sebuah lingkungan hidup yang sehat. Dengan demikian bahwa
pemenuhan sebuah tempat tinggal tidak hanya sebatas fisik dari sebuah rumah,
akan tetapi rumah yang di dalamnya terjadi sebuah proses kehidupan lahir dan
batin. Seorang individu maupun sebuah keluarga, bahkan pada tingkat
komunitas.
Persoalan rumah tidak hanya selesai pada tingkat penyediaan fisik semata,
akan tetapi menyangkut pembinaan dalam pembentukan sebuah keluarga yang
kuat. Untuk menguatkan visi nasional dalam penyediaan perumahan dan
permukiman seperti diatur Undang-undang No. 1 tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman, BAB II pasal 3 (f) yaitu; ” menjamin
terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.”.
Pengaturan tersebut memberikan peluang bagi masyarakat untuk menempati,
menikmati, dan atau memiliki rumah beserta lingkungan perumahan dan
permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur.
Rumah merupakan bagian dari bangunan gedung. Maka diatur oleh Undang-
undang Bangunan Gedung No. 28 tahun 2002, yang menekankan empat aspek
kehandalan bangunan. Empat aspek tersebut adalah: keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan. Dengan demikian aspek kesehatan dan
kenyamanan merupakan unsur utama dalam pembangunan nasional yang
mengarah pada pembangunan masyarakat yang kuat dan produktif. Untuk itu
kunci keberhasilan dalam penyediaan perumahan dan permukiman nasional
ditentukan oleh aspek kesehatan pada rumah. Rumah Sehat dipengaruhi oleh
aspek kesehatan internal maupun eksternal.

[131]
Dengan demikian, isu yang diangkat pada telaah ini adalah konflik ruang pada
unit hunian, dengan kasus rumah susun di Indonesia. Mengingat isu ini
merupakan persoalan pokok dari penyelenggaraan perumahan, yang masih
terkendala oleh keterbatasan daya beli, serta keterbatasan kemampuan
pemerintah untuk mengintervensi lebih jauh dalam mendongkrak daya beli.
Telaah ini memberikan sebuah peluang, sebagai jalan tengah dalam mengurai
penyediaan ruang bagi setiap jiwa, yang memenuhi kebutuhan minimal ruang,
dengan keterbatasan daya beli.
Pemenuhan aspek kesehatan adalah terpenuhinya kebutuhan ruang bagi setiap
jiwa, dalam sebuah keluarga maupun dalam sebuah komunitas. Kualitas ruang
-baik ruang dalam maupun ruang luar, ruang individu maupun ruang sosial,
ruang terbuka maupun ruang tertutup- adalah merupakan kebutuhan dari
keberlangsungan kehidupan manusia. Daimana dimungkinkan terjadi interaksi
, yang membawa pengaruh pada peningkatan kualitas hidup dari manusia.
Untuk menjawab berbagai persoalan ruang kota, maka rumah susun merupakan
alternatif yang tidak dapat dihindari. Untuk itu upaya-upaya percepatan
dilakukan oleh pemerintah, melalui pembentukan tim percepatan dan jargon
1000 tower. Namun persoalan klasik gap supply dan demand masih menjadi
kendala. Keputusan berani diambil oleh pemerintah dengan pengaturan luas
unit hunian yang sangat kecil bagi sebuah keluarga.
Tipe 18, 21, 27, 30 dan 36 merupakan gambaran luas unit hunian yang berada
di bawah standar, baik acuan pada standar nasional maupun internasional.
Persoalan selanjutnya tampak ketika luasan unit tersebut digunakan oleh tipe
rumah milik pada rumah susun (rusunami). Berdasarkan Kepmen Kimpraswil
No. 403/2002, luas minimum kebutuhan ruang adalah 9 m2 per jiwa, sedangkan
standar Internasional adalah 12 m2 per jiwa. Ketika merujuk pada kedua
ketentuan tersebut, maka kebutuhan luas unit hunian adalah 36 m2 sampai
dengan 45 m2, bila dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga 4 – 4,5 jiwa.
Berapa kebutuhan ruang setiap individu pada sebuah hunian yang mampu
membangun sebuah keluarga yang sehat, berkualitas dan produktif ?. Persoalan
luas ruang belum dikaitkan terhadap pemaknaan ruang oleh penghuni unit
rumah tinggal pada kasus rumah susun, selain itu sampai saat ini masih belum
ada dukungan telaah yang mendalam mengenai penetapan luas ruang unit
hunian. Bila ada, itupun tampak ditetapkan dengan sangat emosional, serta
masih jauh dari cita-cita dan visi nasional yang dituangkan dalam undang-
undangnya.
Masalahnya kini, adalah belum terpenuhinya kebutuhan ruang bagi setiap
individu dalam sebuah hunian rakyat, khususnya pada rumah susun. Secara
akademis, penetapan luas unit hunian yang diperhitungkan berdasarkan
kebutuhan ruang per jiwa, masih mengacu pada bangunan landed house. Cara

[132]
tersebut tidak dapat diterapkan pada perhitungan luas unit hunian bersusun,
mengingat terdapat perbedaan parameter disain diantara keduannya.
Akibatnya masyarakat yang tinggal pada unit rumah bersusun, mendapatkan
ruang (space), tapi belum mendapatkan tempat (place). Sehingga keluarga
yang tinggal di rumah susun saat ini, belum banyak memperoleh sebuah
proses perkembangan dan pertumbuhan keluarga sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian rumah susun baru berfungsi sebagai ruang
tinggal, fungsi rumah susun bagi masyarakat saat ini hanya sebatas memiliki “a
house” belum berfungsi sebagai “a home”. Dengan demikian untuk
mengfungsikan sebuah rumah sebagai tempat tinggal yang mampu mewadahi
aktifitas sosial budaya keluarga maka harus dilihat dari aspek fungsi ruang
hunian untuk ditelaah terhadap interaksi kehidupan sebuah keluarga, baik
secara individu maupun secara komunitas.

9.2. Fenomena Ruang Pada Rumah Susun


Fasilitas Ruang dalam Rumah Susun
Definisi sebuah rumah harus dipandang pada dua sisi. Pertama sisi rumah
secara fisik yang terdiri dari : struktur, konstruksi, bahan bangunan yang
digunakan, dan wujud bentuk arsitektural yang tercipta (“a house”). Definisi
ke dua, dilihat pada sisi lain, yaitu melihat rumah sebagai wujud fungsi yang
di dalamnya terjadi proses interaksi keluarga, yang menempati rumah tersebut
(“a home”). Ungkapan yang tepat dalam bahasa Inggris akan mudah
membedakan antara rumah sebagai “a house” atau “a home”. Melalui dua
ungkapan kata asing tersebut dapat dirasakan perbedaannya. Dengan demikian,
bahwa persoalan rumah perlu dibedakan pada fungsi rumah sebagai ruang
(space) dan rumah sebagai tempat (place).
Wujud fisik sebuah rumah, belum tentu dapat dinyatakan sebagai sebuah
tempat tinggal yang mewadahi keluarga untuk tumbuh dan berkembang, jika
rumah dimaknai sebagai “ a house”. Fenomena yang terjadi pada saat ini pada
rumah susun adalah adanya gejala dimana sebuah keluarga memiliki sebuah
ruang tinggal (space) akan tetapi belum memiliki tempat untuk tempat tinggal
keluarga (place). Mengapa hal ini terjadi, karena rumah yang ditinggali hanya
sebuah ruang yang tidak memberikan makna, sedangkan sebuah tempat tinggal
diharapkan terjadi proses pertumbuhan sosial budaya sebuah keluarga di
dalamnya.
Fungsi tempat tinggal sebagai tempat perubahan budaya, pertumbuhan
keluarga serta peningkatan kedewasaan bagi setiap individu, yang tinggal dan
menempati rumahnya, akan dimaknai sebagai “a home”. Dan juga memiliki
makna yang lebih luas yaitu “home is the rich set of evolving cultural,
demographic, and psychological meanings” Gifford (2002). Perubahan
[133]
perilaku sebuah keluarga terbentuk akibat interaksi antara orang tua dengan
anak-anaknya, demikian juga perubahan pada pasangan suami istri, berubah
dikarenakan adanya interaksi dan adaptasi saling menyesuaikan diri terhadap
perbedaan latar belakang keluarga masing-masing.
Ruang pada rumah susun tidak diterjemahkan sebagai ruang dalam atau ruang
luar semata, akan tetapi lebih dari itu. Ruang dalam rumah susun harus
diuraikan menjadi dua skala ruang, yaitu pada bangunan dan pada unit hunian
bangunan rumah susun, sebagai urban space.
Urban Space menurut Biddulp (2007) dapat dibedakan berdasarkan empat
tingkatan ruang, yaitu:
Public space, ruang publik mengacu pada ruang lingkungan perumahan,
berupa ruang akses masyarakat pada rumah susun. Ruang yang dapat
digunakan setiap saat dan bersifat 24 jam, baik siang maupun malam.
Dalam rumah susun, ruang-ruang ini diakomodasi dalam bentuk akses menuju
bangunan, tempat parkir, sampai dengan ruang penerima, yang berada pada
lantai dasar bangunan.
Terdapat tingkatan pengelolaan dan pengontrolan ruang publik ini, yaitu diatur
melalui pengaturan formal, yang disusun oleh pengelola rumah susun. Selain
itu juga, terdapat aturan yang tumbuh dan dibentuk dari nilai-nilai sosial
budaya masyarakat penghuni rumah susun tersebut.
Fungsi utama ruang publik ini adalah sebagai sarana ruang sosial (social space)
dimana sebuah komunitas dapat berinteraksi dengan komunitas lainnya yang
berada di luar komunitasnya.
Pada tingkat density yang teramat tinggi maka wilayah public-space termasuk
wilayah semi-public space pada rumah susun, dapat menimbulkan keadaan
crowded. Keadaan ini terutama ketika pada wilayah ini terjadi konflik ruang,
antara ruang sosial (social space) berhadapan dengan ruang individu (personal
space). Banyak penghuni rumah susun yang menjadikan ruang-ruang sosial
milik sebuah komunitas digunakan sebagai ruang individu, seperti koridor
digunakan sebagai ruang tamu keluarga, koridor digunakan sebagai ruang
service, atau sebagai ruang usaha, bahkan banyak juga yang menggunakan
sebagai gudang dari rumahnya.
Sebaliknya juga, bahwa banyak ruang-ruang individu yang terganggu oleh
ruang sosial milik komunitas. Dimana budaya kumpul-kumpul warga pada
koridor, sampai dengan tengah malam bahkan sampai pagi sering juga terjadi,
hal ini tentunya juga mengganggu ruang individu, fenomena ini sering terjadi
terutama pada disain rumah susun dengan sistem koridor memanjang (sistem
blok).

[134]
Pada kondisi ini, pengendalian jumlah penghuni dalam sebuah blok rumah
susun harus dapat dikendalikan. Proses pengendalian jumlah hunian ini tidak
dapat dilepaskan dari pengaturan kebutuhan ruang per jiwa pada rumah susun.
Pengaturan ruang tersebut meliputi ruang individu maupun ruang ruang sosial.
Artinya bahwa pada bangunan rumah susun, haruslah dibuat ketentuan standar
ruang individu, di dalam satuan unit rumah susun dan di luar satuan unit
rumah susun, namun masih tetap dalam bangunan rumah susun tersebut.
Kebutuhan ruang-ruang sosial dalam rumah susun sangat ditentukan oleh pola
disain dari rumah susun itu sendiri, dimana disain rumah susun dengan sistem
koridor memanjang memberi peluang terjadi interaksi antara komunitas lebih
intensif, dibandingkan dengan dengan pola ruang rumah susun dengan sistem
terpusat. Namun demikian bahwa apapun bentuk dan pola ruang dalam rumah
susun, bahwa kebutuhan ruang sosial tersebut sangat ditentukan juga oleh
perilaku penghuni, yang dibentuk oleh sosial budaya yang melatar-belakangi
penghuninya.
Perilaku sosial budaya tersebut, ditentukan oleh status sosial, dalam hal ini
bentuk pekerjaan, tingkat pendapatan, serta faktor usia, yang sangat
menentukan bentukan aktivitas sosial yang dilakukan oleh komunitas penghuni
rumah susun.
Kehidupan sosial pada rumah susun terjadi tidak saja hanya dalam bangunan,
akan tetapi pada ruang luar bangunan. Untuk itu tingkat crowded pada rumah
susun, juga akan ditentukan oleh ketersedian ruang terbuka di sekitar
bangunan rumah susun tersebut. Dengan demikian ketentuan menyangkut
koefisien dasar bangunan (KDB) memiliki peran yang tinggi pada
pembentukan kualitas hunian pada rumah susun.
Semi-public space, dibandingkan dengan ruang publik, ruang semi publik ini
memiliki tingkat kontrol yang kuat terhadap pembatasan akses, melalui
pembatasan waktu penggunaan yang dibatasi sampai dengan jam-jam
tertentu.Misalnya tangga atau elevator, hanya digunakan sampai dengan jam
10.00 malam. Untuk selanjutnya pengguna harus melalui pengontrolan yang
ketat setelah melampaui jam tersebut.
Selain itu pada ruang semi publik ini biasanya pengelola dapat menentukan
siapa-siapa saja yang dapat menggunakan ruang ini. Ruang semi publik dalam
rumah susun diidentifikasikan berupa ruang hall, tangga dan atau elevator,
serta koridor yang terdapat pada setiap lantai menuju unit hunian. Ruang semi
publik pada rumah susun ini memiliki fungsi sebagai penyangga terhadap
tindakan dan ancaman kriminalitas yang datang dari luar.
Pada umumnya rumah susun di Indonesia saat ini, cukup mumpuni akan
keberadaan ruang semi-publik ini, dimana koridor dan tangga sebagai ruang
yang mewakili keduannya. Namun yang menjadi persoalan adalah keberadaan
[135]
koridor yang senantiasa diintervensi oleh ruang individu, dan tentunya dengan
hadirnya individu-individu yang memiliki tingkat tekanan yang tinggi, selalu
melakukan intervensi ruang yang mengganggu kegiatan sosial pada rumah
susun saat ini.
Beberapa fakta yang terjadi adalah setiap penghuni selalu melakukan
pengurangan ruang koridor sebagai fungsi aksesibilitas, dari lebar
minimal dan rata-rata 1,20 m, menjadi berkurang.
Hal ini tentunya sangat mengurangi
kenyamanan bagi pengguna
koridor tersebut.
Dan yang
juga
cukup
penting,
adalah bila
terjadi keadaan
darurat seperti
kebakaran, sisa ruang
koridor tidak memenuhi
persyaratan lagi sebagai sarana
aksesibilitas untuk melakukan
evakuasi penghuni keluar dari
bangunan.
Semi-private space, ruang semi privat pada rumah susun saat ini sulit untuk
didefinisikan maupun diidentifikasikan, mengingat amat jarang sekali sebuah
rumah susun yang dilengkapi dengan teras, hall, atau patio, yang berfungsi
sebagai ruang penerima sebelum masuk pada unit satuan rumah susun.
Private space, ruang akhir sebagai ruang privat bersifat tertutup, yang
digunakan sebagai unit satuan rumah susun oleh pengguna, dalam hal ini
pemilik satuan rumah susun tersebut.
Ruang privat juga dapat hadir dalam bentuk ruang pengelola, dan ruang lainnya
yang mendukung fungsi bangunan rumah susun. Pada tingkat ini, pembagian
ruang dapat diuraikan lebih lanjut menurut timgkatan yang sama, yaitu ; public
space, semi-public space, semi-private space, dan private space. Ruang privat
pada tingkat sebuah hunian merupakan eksistensi dari pembentukan ruang
personal.
Bagaimana proses pembentukan ruang privat dan ruang publik dalam rumah
susun, hal tersebut diawali oleh keberadaan ruang individu dari penghuni
rumah susun (personal space).

[136]
Pengertian sederhana dari personal space menurut Gifford (2002) bahwa
“personal space refers to an area with invisible boundaries surrounding a
personal’s body into which intruders may not come”. Sehingga personal space
dapat dinyatakan sebagai batas-batas ruang pribadi yang memiliki nilai privacy
tinggi, semakin dekat dengan dirinya semakin besar nilai privacy tersebut,
bahkan nilai privacy tersebut dapat masuk pada tingkat psikologi, semakin
dalam tingkat psikologisnya semakin besar nilai privacy-nya. Sehingga kualitas
ruang sangat ditentukan oleh kemampuan mewadahi ruang individu, agar
senantiasa terjaga. Kondisi ini sangat bertentangan sekali dengan fakta ruang
dalam rumah susun, dimana kondisi crowded akibat dari tingginya density
akibat terbatasnya ruang, menjadi persoalan utama.
Ruang-ruang privacy atau personal space ini dapat dimasuki oleh individu
lainnya, ketika antara individu yang saling memiliki personal space saling
berhubungan, maka akan terjadi interaksi yang membangun ruang publik,
semakin banyak individu yang berinteraksi maka semakin besar nilai
kepublikannya. Meskipun demikian personal Space dipandang oleh Robert
Gifford (2002) sebagai komponen geografis, dari hubungan antar personal
yang saling berinteraksi, yang pada akhirnya akan membentuk ruang publik.
Gifford juga menjelaskan bagaimana tingkatan pembentukan kualitas ruang
tersebut diuraikan berdasarkan tingkat kedekatan antara personal, dalam bentuk
jarak dan orientasi diantara individu-individu yang berinteraksi. Tiga aspek
personal space memurut Robbert Gifford;
 A personal, Portable territori, yaitu sebuah tempat dimana berada pada
wilayah kontrol dari personal tersebut, beberapa unsur luar diperkenankan
masuk pada wilayah personal ini.
 A Spacing Mechanism, mekanisme pengaturan ruang sebagai batasan jarak
antara individul berlangsung secara natural, bahwa setiap individu secara
alamiah memiliki batasan ruang, ketika antara individu berkesempatan
bergerak atau bersama dalam sebuah tempat, maka akan secara otomatis
mengatur jaraknya antara satu individu dengan individu yang lain.
 A Communication Channel, pada tingkat personal space terjadi interaksi
berupa komunikasi verbal maupun non verbal, maka akan terbentuk
kualitas ruang yang bergradasi, dalam hal ini Edward Hall membagi empat
jarak interaksi personal yang didasari oleh interaksi sosial antara dua
individu atau lebih, yaitu; jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan
jarak publik.
Pada tingkatan sarusun ruang publik dapat diterjemahkan pada ruang penerima
berupa teras, walau pada kasus rumah susun nasional kita sangat langka kita
temui sebuah unit rumah susun memiliki teras, selanjutnya ruang semi-publik
ditampung pada ruang tamu, yang keberadaan dari ruang tamu ini juga
[137]
terkadang bergabung dengan ruang keluarga yang berada pada level ruang
semi-privat, sehingga keberadaan ruang semi-publik dan ruang semi-privat
pada satuan rumah susun keberadaanya menjadi tidak jelas.
Selanjutnya ruang privat pada rumah susun terdapat pada ruang tidur orang tua
maupun ruang tidur anak, termasuk ruang dapur, serta fasilitas servis lainnya
yang dapat dikategorikan sebagai ruang semi-privat.
Pada tingkat rumah yang fungsinya merupakan sebuah wadah, dimana proses
tumbuh kembang sebuah keluarga, memungkinkan terjadinya peningkatan
kualitas kehidupan dan penghidupannya. Peran orang tua mendidik seorang
anak, proses pertumbuhan seorang anak, sangatlah berperan dalam sebuah
rumah. Anak adalah masa depan bangsa. Seorang ibu memiliki peran dalam
proses pendidikan seorang anak selain di sekolah. Keberlangsungan fungsi
rumah sebagaimana uraian tersebut dapat berjalan ketika pembagian ruang
yang jelas dapat terbentuk dari sebuah rumah.
Persoalan utama dalam rumah susun adalah pembagian tingkatan ruang-ruang
di atas sangat tidak jelas, bahkan sangat tipis. Lalu pada tingkatan tertentu
dapat dinyatakan terjadi pembauran, sehingga kualitas ruang privat terganggu
kualitasnya, yang mengakibatkan penurunan kualitas ruang. Hal ini
disebabkan oleh interferensi ruang dan kebocoran dari ruang yang tingkat
kepublikannya lebih tinggi.
Pada beberapa kasus, ruang tidur yang memiliki kualitas ruang privat sangat
tinggi mengalami penurunan kualitas ruang, karena ruang ini sangat terbuka
dari ruang tamu yang bersifat semi-publik. Demikian juga satuan rumah susun
yang seharusnya secara keseluruhan memiliki kualitas ruang privat, akhirnya
terganggu oleh ruang semi-publik pada koridor. Secara umum setiap satuan
unit rumah susun berada langsung di muka koridor bangunan tanpa ruang
perantara yang berfungsi sebagai ruang semi-privat, bahkan pada beberapa
sarusun dibuat bukaan ke arah koridor berupa jendela dan pintu masuk.
Koridor pada rumah susun merupakan daerah terjadinya konflik ruang, antara
tuntutan ruang semi-privat dan ruang semi-publik. Hal ini disebabkan oleh
sikap penghuni satuan rumah susun yang menjadikan koridor sebagai ruang
semi-privat dan komunitas rumah susun menjadikan koridor sebagai ruang
semi-publik. Satuan unit rumah susun merupakan wilayah ruang privat bagi
sebuah keluarga, harus senantiasa terjaga kualitas privacy dari sarusun tersebut,
hal ini untuk menjaga proses pembentukan sebuah keluarga yang kuat, sehat
dan produktif.
Siklus Kehidupan Manusia
Rumah merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan kehidupan
manusia, yang diawali oleh pembentukan sebuah keluarga. Rata-rata
[138]
pertumbuhan keluarga baru di Indonesia setiap tahun adalah 1.400.000
keluarga baru (BPS 2000). Perubahan sebuah keluarga selanjutnya mulai
diterjadi setelah lima tahun dari pembentukan keluarga, dimana pada masa ini
sebuah keluarga telah bertambah seorang anggota keluarga yang dikategorikan
sebagai anak balita (bayi di bawah lima tahun). Tahap-tahap daur hidup
manusia menurut Heimsath yang dikutip dari Petra (2003), terdapat tujuh
tahapan, yang meliputi : tahapan bayi, tahapan anak-anak, tahapan remaja,
tahapan perkawinan, tahapan reproduksi – merawat anak, tahapan usia
pertengahan, dan tahapan dewasa – lanjut usia.
Selanjutnya tahapan tersebut dikaitkan dengan kebutuhan rumah, maka dapat
dibagi berdasarkan, tahapan pasangan muda, tahapan pasangan dengan anak
balita, tahapan pasangan dengan anak dewasan, dan tahapan lansia dimana
orang tua kembali pada kondisi semula yaitu pasangan suami istri dimana
anak-anak telah lepas dari orang tua.
Berdasarkan data BPS yang telah diolah maka komposisi kebutuhan rumah
berdasarkan empat tingkatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Mengikat pada
tahapan pertumbuhan sebuah keluarga tersebut, bahwa tahapan dimana sebuah
keluarga yang telah memiliki anak dewasa antara usia 5 sampai dengan 24
tahun merupakan sebuah potret dimana kebutuhan rumah bagi keluarga
tersebut harus utuh, yaitu memiliki ruang privat berupa ruang tidur milik orang
tua, serta ruang anak minimum satu buah, namun bila komposisi anak terdiri
dari anak laki-laki dan wanita maka minimal ruang tidur anak harus berjumlah
dua buah. Pemisahan antara anak laki-laki dan wanita tersebut
dipertimbangkan terhadap pertumbuhan sosial yang lebih sehat bagi keduanya.
Tabel 4. Prosentase kebutuhan rumah berdasarkan komposisi jumlah anggota
keluarga

No Jenis Keluarga % Keterangan

1 Pasangan Muda 8,98 Batas usia anak kurang dari 5


tahun
2 Pasangan dengan anak 38,61 Batas usia anak dari sampai
balita dengan 5 tahun
3 Pasangan dengan anak 41,78 Batas usia anak dari 5 sampai
dewasa dengan 24 tahun
4 Pasangan lansia 10,63 Batas usia anak lebih dari 24
tahun, ada peluang membangun
keluarga baru dan lepas dari orang
tua
Sumber. BPS 2005 diolah oleh Arief Sabaruddin
[139]
Melihat pada Tabel 4 di atas, maka jumlah terbesar kebutuhan akan rumah
lengkap adalah 41,78%, dan rumah peralihan antara rumah pasangan muda dan
lansia mencapai 38,61%, sisanya adalah rumah yang dihuni oleh pasangan
tanpa anak, baik itu pasangan muda maupun pasangan lansia, mencapai
19,62%. Jumlah ini dapat digunakan untuk mengukur komposisi penyediaan
rumah lengkap secara nasional pada saat ini.
Pada tahap selanjutnya yang menjadi prioritas utama adalah bagaimana
menyediakan rumah susun perkotaan yang memenuhi ketentuan kesehatan,
khususnya menyangkut kebutuhan ruang minimal. Setelah perkotaan mampu
menyediakan perumahan untuk keluarga muda (tahap awal) diharapkan
pasangan muda ini setelah tidak lebih dari 5 tahun dan umumnya pada tahun
tersebut tingkat kesejahteraan keluarga muda sudah lebih baik, untuk itu
mereka sudah harus pindah ketempat yang lebih besar, tentunya dengan tinggal
di rumah susun yang sehat pada tahap awal akan mendorong kehidupan yang
semakin baik dari waktu ke waktu, sehingga setelah 5 tahun diharapkan
pasangan muda tersebut mampu meningkatkan ekonominya untuk tinggal di
rumah susun yang lebih besar. Efek domino dari penyediaan rumah susun bagi
pasangan muda diperkotaan tentunya akan mendorong perekonomian bangsa
kedepan.
Rumah susun sebagaimana rumah tunggal, memiliki fungsi yang sama bagi
anggota keluarga yaitu sebagai fungsi sosial. Sehingga mau tidak mau rumah
harus memenuhi ketentuan kesehatan, kenyamanan, keselamatan dan
kemudahan. Rumah susun di perkotaan idealnya dikelola sebagai rumah sewa,
karena kebutuhan akan rumah masyarakat perkotaan akan selalu berkembang.
Saat membutuhkan rumah baru sebagai pasangan muda umumnya luas 21 m2
sudah memadai, akan tetapi suatu keluarga terus berkembang. Hal ini terasa
setelah rumah tangga memasuki usia 5 tahun dimana telah memiliki satu atau
dua balita. Pada saat ini pasangan tersebut sudah membutuhkan rumah dengan
luas yang lebih besar. Tentunya untuk bangunan rumah susun hal demikian
sulit untuk direalisasikan, sehingga pasangan tersebut harus pindah ke rumah
yang lebih besar, dengan sistem sewa tentunya akan lebih mudah untuk
melakukan perpindahan tersebut, pertumbuhan tersebut tidak berhenti pada
luasan yang lebih besar akan tetapi akan bergerak pada luasan yang kecil
kembali, setelah memasuki usia tua, dimana, anak-anak telah melepaskan diri
karena telah membangun keluarga baru. Orang tua akan kembali tinggal berdua
dan rumah yang diperlukan juga akan kembali pada ukuran-ukuran yang lebih
kecil. Tentunya dengan sistem sewa pola demikian dapat diselenggarakan.
Melihat pada kondisi di atas tentunya setiap perkotaan sudah mempersiapkan
mekanisme perumahannya dengan sistem luasan yang bervariasi serta
mempertimbangkan usia, karena adanya perbedaan kebutuhan terhadap jenis
fasilitas yang diperlukan. Misalkan rumah susun tipe studio yang disediakan

[140]
untuk pekerja serta pasangan muda, rumah susun mahasiswa, rumah susun
keluarga kecil, rumah susun keluarga besar, serta rumah susun lansia.
Selanjutnya rumah susun-rumah susun demikian dikelola dengan sistem sewa,
agar memudahkan sistem penghuniannya.
Perilaku Manusia
Kecenderungan perkembangan perumahan di perkotaan terus menyebar kearah
horizontal, sehingga kota terus berkembang menjadi megapolitan. Namun
perkembangan perkotaan tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan antara
komposisi perumahan, dengan sarana dan prasarana permukiman. Akibatnya
timbul kecenderungan masyarakat yang tinggal di pinggiran kota setiap harinya
senantiasa masuk keperkotaan, karena fasilitas kerja, serta prasarana
permukiman lainnya masih terkonsentrasi diperkotaan.
Kondisi demikian menimbulkan pergerakan manusia setiap harinya, pada pagi
hari dari pinggiran ke pekotaan, dan pada sore hari dari perkotaan ke
pinggiran, rata-rata total waktu yang diperlukan oleh masyarakat diperjalanan
mencapai paling sedikit 3 – 4 jam per hari. Hal ini selain dapat mengurangi
waktu kerja, juga dapat mengurangi waktu berkumpul dengan keluarga di
rumah.
Intensitas pertemuan keluarga di rumah bagi sebagian masyarakat perkotaan
menjadi sangat minim, sebagaimana kita ketahui, rata-rata masyarakat di
perkotaan setiap harinya harus sudah meninggalkan rumah pada jam 6.00 pagi,
baik untuk pelajar maupun pekerja, dan baru sampai rumah rata-rata jam 8.00 –
9.00 malam atau lebih. Menurut salah satu sumber dari Depag sebagian besar
perceraian disebabkan oleh minimnya intensitas pertemuan dalam pasangan
tersebut, dan umumnya perceraian terjadi pada pasangan muda yang baru
melangsungkan pernikahan beberapa tahun.
Keluarga merupakan sebuah komunitas terkecil dalam masyarakat, di
dalamnya terjadi interaksi sosial antara orang tua dengan anak. Rata-rata
jumlah anggota keluarga di Indonesia menurut BPS adalah 4,5 jiwa sedangkan
di perkotaan 4 jiwa, walaupun angka tersebut mulai mengalami pergeseran saat
ini. Sebuah keluarga secara alamiah akan mengalami pertumbuhan dengan
hadirnya satu persatu anak-anak dari sepasang suami istri. Lalu pada
perkembangan selanjutnya akan kembali pada pasangan suami istri, setelah
anak-anak menginjak dewasa dan membangun keluarga baru.
Sebuah keluarga senantiasa memiliki ruang privatnya sendiri, yaitu dalam
bentuk rumah. Rumah bagi keluarga dapat memberikan ruang privat, ketika
rumah tersebut memiliki batas-batas yang kuat yang memisahkan antara teritori
keluarga tersebut, dengan teritori keluarga yang lainnya, dan juga terhadap
ruang publik.

[141]
Sejauhmana rumah susun memiliki batas-batas sebagai penunjuk teritori saat
ini, umumnya sangat lemah. Batas-batas teritori sebuah rumah susun
umumnya mengalami interferensi ruang dari ruang publik, sehingga
sekelompok unit rumah pada rumah susun mengalami gangguan. Akibatnya
rumah sebagai fungsi pembinaan sebuah keluarga akan berkurang nilai
fungsinya tersebut, bahkan dapat hilang sama sekali. Pada kondisi demikian
fungsi rumah pada rumah susun hanya sekedar tempat bernaung, yaitu wadah
yang terbentuk secara fisik, dan tidak berfungsi sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya sebuah keluarga.
Kondisi ketika teritori rumah pada rumah susun dalam bentuk batas yang
bergeser masuk kedalam wilayah teritori, maka fungsi rumah susun tersebut
hanya sekedar sebuah house bukan sebuah home.
Perubahan setiap individu itu senantiasa terjadi sebagai bagian dari sistem
kehidupan yang hakiki. Perubahan terjadi dikarenakan tumbuhnya sebuah
persepsi pada setiap individu, dan persepsi setiap individu ini terbentuk dari
latar-belakang serta pengalaman hidup yang berbeda.
Ruang memberi makna, nilai makna berkembang sejalan dengan pengalaman
serta latar belakang yang berbeda, perbedaan makna menghasilkan sebuah
persepsi baru dan kesepakatan baru terhadap nilai-nilai ruang.
Ruang-ruang dalam rumah susun terdiri dari ruang living street, ruang unit
hunian, ruang-ruang penunjang, dan ruang luar. Sedangkan pada ruang dari
setiap unit hunian terdiri dari ruang keluarga yang dirangkap sebagai ruang
penerima tamu serta aktifitas keluarga secara bersama, ruang tidur, ruang dapur
serta ruang servis yang meliputi ruang mandi, cuci, dan jemur. Living street
merupakan ruang koridor rumah susun yang menghubungkan unit-unit hunian
rumah susun.

9.3. Ruang Dalam Rusun


Kebutuhan ruang dalam rumah susun dibagi berdasarkan kebutuhan ruang
minimum satuan unit rumah susun serta berdasarkan kebutuhan ruang
minimum blok bangunan rumah susun, karena didalamnya terdapat ruang
individu dan ruang komunitas, dimana kedua ruang tersebut dapat berfungsi
sebagai ruang sosial, yaitu ruang yang mawadahi proses interaksi antara sebuah
keluarga dalam satuan unit rumah susun atau sebuah komunitas dalam satu
blok rumah susun.
Pada tingkat satuan unit rumah susun, rumah dapat dinyatakan berfungsi
sebagai tempat dan wadah sosialisasi sebuah keluarga, ketika fungsi individu
dan fungsi sosial terwadahi. Dengan demikian wilayah ruang individu yang
sangat bersifat privat harus terpenuhi. Diantaranya ditampung dalam aktivitas
pribadi yang dilakukan di dalam kamar tidur (berias, ganti pakaian, aktivitas
[142]
reproduksi pada orang tua, belajar, menyimpan peralatan pribadi dsb) serta
kamar mandi (membersihkan tubuh serta buang air besar dan kecil). Kualitas
ruang privat merupakan wujud dari pemenuhan kebutuhan manusia
berinteraksi dengan dirinya sendiri.
Ruang sosial merupakan ruang dimana sebuah keluarga melakukan interaksi.
Interaksi berlangsung antara anak dengan orang tua, suami dengan istri, atau
diantara anak-anak. Proses keberlangsungan interaksi diantara anggota
keluarga memungkinkan keluarga tersebut tumbuh sehat. Kualitas interaksi
yang berlangsung antara anggota keluarga merupakan sarana pemenuhan
fungsi rumah sebagai sarana edukasi, dimana orang tua berkesempatan
memberikan pendidikan kepada anak-anak. Untuk itu diperlukan kualitas ruang
yang nyaman dan sehat, sehingga menyenangkan bagi seluruh anggota
keluarga untuk tinggal berlama-lama dalam ruang ini. Pada umumnya waktu
terbanyak dihabiskan pada ruang sosial ini oleh sebuah keluarga, sebagai
contoh ketika keluarga melakukan aktivitas melihat televisi maka orang tua
dapat melakukan bimbingan langsung terhadap anak-anak.
Ruang sosial dalam sebuah rumah tinggal umumnya dilakukan pada ruang
keluarga dan ruang makan, sedangkan ruang sosial yang mungkin terjadi ketika
sebuah keluarga melakukan interaksi dengan orang lain, maka kegiatan
tersebut dilakukan pada ruang tamu. Yang menjadi persoalan adalah antara
ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarga pada satuan unit rumah susun
menjadi satu kesatuan ruang, hal ini secara tidak langsung telah menimbulkan
konflik ruang sosial dalam satuan unit rumah susun.
Sebagai sebuah tempat tinggal tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan fungsi
servis, yang meliputi ruang memasak, mencuci, dan menjemur pakaian.
Bahkan pada budaya masyarakat Indonesia pada umumnya fungsi gudang
memegang peran yang sangat penting, dan masih sebagian besar masyarakat
Indonesia kehidupannya masih dikuasai oleh benda. Maksudnya selalu
menyimpan benda-benda lama yang dimilikinya, walaupun benda tersebut
secara keseharian tidak banyak digunakan atau bahkan tidak berguna lagi,
namun keterikatan dirinya dengan benda-benda tersebut tidak dapat
dipisahkan. Kelompokan masyarakat demikian oleh Van Peursen dikategorikan
sebagai masyarakat yang berbudaya mistis.
Umumnya kegiatan manusia di ruang koridor pada rumah susun sangat tinggi,
dimana ruang koridor digunakan sebagai ruang-ruang sosial antara komunitas,
sedangkan standar ruang koridor ini tidak lebih dari 1.20 meter lebarnya,
dengan lebar tersebut fungsi koridor hanya dapat digunakan sebagai fungsi
aksesibilitas dari dan ke unit hunian.
Di sisi lain setiap unit hunian tidak dilengkapi dengan ruang penerima,
sehingga ruang koridor digunakan sebagai ruang penerima. Hal ini telah

[143]
menimbulkan interfensi ruang publik dan ruang privat. Melihat pada uraian-
uraian di atas maka dalam penentuan luas minimal ruang hunian rumah susun
ditentukan oleh lima tingkatan ruang Tabel 5., yang meliputi;

Tabel 5. Model penentuan kebutuhan ruang minimal dihitung berdasarkan sifat


ruang

TINGKATAN KEGIATAN INTI DALAM RUMAH SUSUN


RUANG Satuan unit rumah susun Rumah susun
1. Ruang Privat Ruang tidur orang tua dan anak, Satuan unit rumah susun
serta kamar mandi
2. Ruang semi-privat Ruang makan, ruang keluarga Koridor, tangga, elevator
3. Ruang semi-publik Ruang tamu Lobby, hall, ruang bersama
pada lantai dasar
4. Ruang publik Ruang teras, patio Entrance, jalan masuk, ruang
terbuka/halaman
5. Ruang servis Dapur, cuci, jemur, gudang Ruang utilitas

Secara garis besar kedua pengelompokan di atas selanjutnya dipisahkan


kembali berdasarkan fungsi ruang-ruang sosial pada ruang individu dan pada
ruang komunitas, luas ruang efektif pada rumah susun harus memiliki teritori
yang jelas, sebagai wilayah tempat tinggal sebuah keluarga.
Teritori rumah pada rumah susun harus dapat didefinisikan batas yang jelas
yang memisahkan antara teritori rumah dan teritori ruang publik, dan persoalan
ini hanya dapat diselesaikan oleh sebuah disain. Persoalan kebutuhan ruang
minimum per jiwa pada rumah susun berada pada penentuan teritori sebuah
unit hunian, bahwa secara hitungan kebutuhan ruang dapat saja sudah
terpenuhi akan tetapi ketika teritori sebuah unit hunian terinterfensi oleh teritori
ruang publik, maka secara otomatis ruang unit hunian akan berkurang.

9.4. Penutup
Kebutuhan ruang minimum harus mempertimbangkan kebutuhan ruang
personal, kebutuhan ruang sosial, kebutuhan ruang komunitas yang ditandai
melalui keberadaan teritorial dalam setiap pemenuhan ruang tersebut.
Ruang privat merupakan faktor penentu utama terbentuknya sebuah keluarga
yang sehat, dimana proses sosial sebuah keluarga dapat berlengsung dan tidak
mengalami interferensi ruang dari ruang publik di luar unti hunian rumah
susun. Rumah harus memiliki teritori yang membentuk batas. Semakin kuat
batas yang membentuk teritori tersebut, semakin utuh kualitas ruang rumah
tersebut. Kenyataan pada rumah susun, batas teritori ini terkadang samar,
dibandingkan dengan rumah landed.

[144]
Dapat disimpulkan bahwa kondisi penyediaan satuan unit rumah susun saat ini
secara umum, dapat dinyatakan belum memenuhi syarat kesehatan rumah
sesuai dengan yang ditargetkan dalam tujuan pembangunan perumahan dan
permukiman nasional. Mengingat ruang-ruang yang tersedia dalam sarusun
belum mampu mewadahi kehidupan sebuah keluarga secara utuh, khususnya
rumah susun milik dengan luasan antara 30 sampai dengan 36 m2. Dengan
demikian disarankan untuk menangani persoalan keterjangkauan,
pembangunan rumah susun saat ini difokuskan pada pembangunan rumah
susun sewa. Dengan demikian dimungkinkan terjadi pergeseran penghuni,
antara penghuni pasangan muda, pasangan dengan anak dan pasangan lansia.
Persoalan ruang pada rumah susun bukan pada tingginya kepadatan rumah
susun, akan tetapi terjadi akibat terbatasnya ruang dalam bangunan rumah
susun yang tersedia. Kekacauan ruang (crowded) akibat standar penyediaan
ruang pada rumah susun berada pada angka yang jauh dari ketentuan minimal.
Ketentuan minimal dalam hal ini tidak terdapat pada Keputusan Menteri
Kimpraswil no. 403/2002, karena standar ruang tersebut diperuntukkan bagi
rumah landed. Yang menjadi persoalan bahwa kebutuhan luas satuan rumah
susun tidak dapat disamakan dengan kebutuhan luas bangunan landed house,
hal ini disebabkan terdapat perbedaan yang cukup signifikan, dimana
keberadaan ruang semi-privat pada landed house masih dapat diperoleh
melalui keberadaan halaman depan bangunan, sedangkan pada rumah susun
keberadaan ruang-semi privat ini tidak diperoleh.
Bila luasan kebutuhan ruang akan disamakan antara luasan rumah susun
dengan rumah landed, maka persyaratan ruang menyangkut: tingkatan ruang
privat, semi-privat, semi-publik dan publik, harus dapat dipenuhi oleh disain.
Pada pendekatan disain rumah susun dengan sistem terpusat, sangat membuka
peluang terbentuknya tingkatan ruang-ruang tersebut, sehingga standar
kebutuhan luas ruang per jiwa dapat saja disamakan dengan standar ruang
rumah landed.

[145]
[10] Pemaknaan Ruang Hunian

10.1. Latar Belakang


Telaah ini menggali proses pemaknaan ruang hunian oleh penghuni, pada
rumah susun sederhana. Telaah dilandasi teori proses perubahan perilaku
penghuni terhadap lingkungan hunian, sebagai upaya manusia untuk
mempertahankan kelangsungan hidup. Proses tersebut merupakan bentuk
adaptasi penghuni rumah susun, terhadap keterbatasan ruang yang
dikuasainya. Proses pembentukan persepsi ruang dari masyarakat dalam suatu
komunitas di rumah susun, telah mengakibatkan pergeseran makna ruang. Hal
ini disebabkan oleh kontak visual dan brain system, yang terjadi pada
penghuni.
Kondisi sosial ekonomi yang membatasi segala lini kehidupan masyarakat,
membuat keterbatasan ruang makin hari makin diterima oleh masyarakat,
sebagai sesuatu yang ‘mereka anggap’ wajar. Masyarakat kehilangan makna
ruang hakiki terhadap ruang private. Terutama pada generasi yang tumbuh dan
terlahir, dari suatu komunitas yang tidak pernah mendapatkan hak ruang-nya.
Akibatnya muncul kelompok masyarakat ( pada level ekonomi terendah),
sanggup tinggal dalam sebuah gerobak kios , walau dengan ukuran kurang dari
dua meter persegi.
Telaah ini dilatar-belakangi oleh menguatnya persepsi penerimaan masyarakat
akan ruang terbatas, sebagai bagian yang standardized (kondisi normal).
Dengan kata lain terdapat penurunan tingkat kebutuhan ruang pada masyarakat.
Hal tersebut akibat proses kebiasaan yang sangat panjang. Apakah dengan
keadaan seperti ini, masyarakat bakal mampu menjalani kehidupan secara
wajar? Atau justru mengakibatkan penurunan kualitas kehidupan yang terus
belanjut? Hingga akhirnya justru menciptakan persoalan multi dimensi dari
kehidupan masyarakat perkotaan.

[146]
Telaah ini ditujukan untuk mengenali dinamika pemaknaan ruang serta
konsekuensi dari persepsi penghuni tersebut terhadap pola kehidupan dan
penghidupan masyarakat di perkotaan, khususnya yang tinggal dalam rumah
susun sederhana milik.
Akhir telaah ini menunjukkan adanya penurunan kualitas ruang, yang malahan
diterima masyarakat sebagai sebuah kewajaran, dalam kehidupannya. Padahal
akibat langsung dari keadaan tersebut, telah menyebabkan kehidupan
masyarakat jauh lebih berat. Dan berakibat penurunan kualitas kehidupan serta
penghidupan. Telaah ini merupakan penggalian isu-isu proses pemaknaan
ruang, pada arsitektur rumah susun dengan status hak milik. Dengan
peruntukan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah. Rumah
susun tipe ini dikenal dengan istilah Rusunami (rumah susun sederhana milik).
Keterlibatan pemerintah dalam penyediaan tipe hunian ini adalah pada bentuk
bantuan fiskal maupun finansial lansung. Untuk itu pemerintah memberikan
beberapa ketentuan yang terkait dengan spesifikasi teknis, maupun terkait
kriteria target sasaran calon penghuni. Ketentuan-ketentuan tersebut ditetapkan
berdasarkan pada kemampuan pemerintah dalam penyediaan sumber daya,
serta daya beli masyarakat, yang menjadi target sasaran.
Penyediaan perumahan dengan pola bersusun di perkotaan saat ini, sudah tidak
dapat dihindari. Kerusakan lingkungan akibat konversi lahan, merupakan isu
utama yang menjadi landasan dalam penyediaan perumahan vertikal di
perkotaan. Pembangunan kota secara compact, dapat mengurangi kerusakan
lingkungan. Yaitu dalam bentuk mengurangi konsumsi lahan untuk hunian,
mengurangi konsumsi energi akibat berkurangnya kemacetan, dan
memperpendek jarak tempuh. Dan juga berbagai persoalan lingkungan
lainnya, yang dapat terselesaikan berkat penyediaan hunian vertikal, sebagai
bagian dari konsep compact city.
Salah satu ketentuan teknis terkait di atas, adalah pembatasan luas unit hunian.
Yang mana hal tersebut , justru mengakibatkan belum/tidak terpenuhinya
kebutuhan ruang, walau bagi sebuah keluarga inti sekalipun. Maksudnya,
ruang yang diperlukan untuk menjalankan aktifitas kehidupan dan
penghidupan, yang lebih baik bagi sebuah keluarga. Keterbatasan ruang tidak
saja terjadi pada ruang-ruang sebuah unit hunian, akan tetapi juga terjadi pada
ruang-ruang yang menjadi fasilitas bersama, di dalam mapun di luar bangunan.
Salah satu langkah kebijakan pemerintah (dalam upaya melakukan percepatan
penyediaan perumahan), adalah pencanangan gerakan pembangunan 1000
tower, yang dicanangkan pada awal tahun 2007, ditandai dengan peluncuran
pembangunan Rusunami, dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi di
beberapa kota besar, yakni Rusunami dengan karekteristik jumlah lantai yang
lebih banyak, dan disepakati di atas delapan lantai sampai dengan dua puluh

[147]
lantai. Luas unit hunian kurang dari 36 m2 dengan rata-rata luas yang dibangun
adalah 21 m2, dengan peruntukan bagi sebuah keluarga rata-rata empat anggota
keluarga.
Mengenai ketentuan teknis rusunami di atas, masih terdapat beberapa
pertentangan dengan regulasi teknis, yang selama ini diberlakukan. Salah
satunya menyangkut kebutuhan ruang minimum per jiwa. Baik ruang luar
maupun ruang dalam. Hal tersebut telah menimbulkan konflik ruang, pada
tingkat ruang personal maupun ruang sosial.
Sejalan dengan hal tersebut, bisa dilakukan kajian yang mengacu kepada
literatur, yaitu tentang sejarah perumahan pada abad pertengahan di Eropa,
serta era tahun 1965-an di Amerika Serikat. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ali Madanipour dan Oscar Newman, bahwa telah terjadi
berbagai persoalan konflik ruang pada lingkungan perumahan. Kedua penulis
tersebut mengisyaratkan, bahwa antara manusia dengan bangunan maupun
lingkungan terjadi interaksi yang sangat kuat. Proses interaksi terjadi akibat
adanya aktivitas manusia di dalam lingkungannya. Dilanjutkan oleh
pembentukan persepsi oleh manusia yang membangun makna dalam
pikirannya. Antara keduanya terjadi interaksi timbal balik, yang
mengakibatkan dinamika pemaknaan ruang yang selalu berubah.
Dinamika yang terjadi dalam proses pemaknaan, selanjutnya ditelaah melalui
ekplorasi teori makna ruang, pada sebuah disain arsitektur perumahan. Disain
yang dibangun melalui perwujudan arsitektur, yaitu; form - structure, meaning
- context dan function – mores.
Berangkat dari titik acuan bentuk (form) yang digali dari disain-disain prototipe
Rusunami, dapat digunakan sebagai variabel tetap untuk penelaah selanjutnya.
Dari variabel tetap tersebut, penghuni akan membangun persepsi ruang yang
menghasilkan pemaknaan ruang. Dalam pembentukan makna ruang, seseorang
juga akan dipengaruhi oleh nilai-nilai makna ruang yang telah dimiliki
sebelumnya (environmental cognition).
Pembentukan makna ruang akan diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai sosial
yang memengaruhi perilaku dalam beraktivitas. Aktifitas keluarga juga terjadi
akibat tuntutan kebutuhan (need), yang umumnya akan mengalami pergeseran
menjadi keinginan (want) yang sulit dibatasi. Sehingga fungsi ruang harus
dapat mewadahi minimal kebutuhan dasar manusia dalam hunian.
Namun yang menjadi persoalan adalah keterbatasan luas ruang, yang
disediakan pada unit Sarusun, ternyata belum dapat mewadahi seluruh aktifitas
keluarga dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan terjadi konflik ruang.
Sehingga memengaruhi proses pemaknaan ruang oleh penghuni. Selanjutnya
penghuni berusaha melakukan adaptasi terhadap ruang tersebut.

[148]
Masyarakat sebagai sebuah komunitas - yang terdiri dari individu-individu
heterogen, akan berupaya mempertahankan keberlangsungan hidup pada
keterbatasan ruang. Namun manusia memiliki kemampuan untuk melakukan
adaptasi terhadap kondisi lingkungan tempat mereka tinggal. Proses adaptasi
tersebut timbul sebagai sebuah konsekuensi dari adanya konflik pemaknaan
ruang, pada individu maupun komunitas.
Isu-isu di atas, merupakan potret penyediaan perumahan bersusun di Indonesia
saat ini. Bahkan beberapa kajian rumah susun yang telah dibangun pada era 85-
an di beberapa kota besar, telah menunjukkan gejala yang sama dengan sejarah
perumahan di belahan dunia. Yang telah lebih dahulu menerapkan pola rumah
vertikal. Namun kajian-kajian tersebut belum banyak memberikan kontribusi
terhadap kebijakan teknis menyangkut penyediaan Rusunami pada saat ini.
Dibandingkan dengan era 80-an, tampak bahwa kompleksitas disain dan sosial
era kini lebih besar tantangannya.
Keterbatasan ruang pada sebuah blok, termasuk unit rumah susun, akan
mendorong penghuni untuk tetap mengupayakan penyediaan ruang-ruang dasar
(need) yang diperlukan.
Bentuk upaya-upaya penyediaan ruang tersebut disikapi oleh masyarakat
secara beragam. Kemudian menghasilkan variasi ruang, yang dapat digunakan
sebagai acuan, dan titik tolak dalam proses disain sebuah rumah susun. Telaah
ini mengangkat bentuk upaya adaptif manusia terhadap ruang, melalui
dinamika pemaknaan ruang, oleh seorang individu sampai dengan komunitas.
Persoalan lainnya yang juga akan memengaruhi proses pemaknaan ruang
hunian, adalah pergeseran fungsi rumah di perkotaan. Mulai dari needs menjadi
wants, yang mengarah pada rumah sebagai komoditas ekonomi (investasi dan
komersil). Hal ini terjadi karena adanya peluang komersialisasi rumah di kota-
kota besar, yang kian hari harga per unitnya semakin tinggi. Sehingga terjadi
penurunan (pergeseran) nilai-nilai rumah sebagai fungsi sosial. Rumah tak lagi
utama sebagai fungsi sosial. Fungsi sosial maksudnya, bahwa rumah
merupakan sarana dalam pengaktualan diri penghuni, sebagai wadah interaksi
sosial, antara penghuni dalam sebuah keluarga, serta interaksi antara satu
keluarga dengan keluarga lainnya.
Telaah ini merupakan sebuah upaya mengungkap dinamika pemaknaan
terhadap rumah, pada masyarakat perkotaan yang tinggal di Rusunami.
Fenomena adaptasi penghuni Rusunami terhadap keterbatasan ruang, dalam
menciptakan ruang sesuai dengan nilai pemaknaan ruang hunian yang
dianutnya. Proses pembentukan ruang pada satuan unit rumah susun,
berdasarkan luas ruang yang belum memenuhi kebutuhan ruang minimal,
dalam memenuhi aktifitas keluarga.

[149]
Pada komponen arsitektur perumahan, yang menjadi fokus telaah adalah
proses pemaknaan ruang oleh penghuni, yang nantinya berimplikasi pada
modifikasi disain, untuk memenuhi kebutuhan aktifitas dalam sebuah hunian,
sesuai dengan persepsi yang dibawa dari pengalaman tinggal sebelumnya.
Isu Pemaknaan Ruang
Proses pemaknaan ruang oleh individu maupun keluarga atau masyarakat,
terhadap sebuah hunian, merupakan sebuah peristiwa sosial yang berlangsung
secara almiah. Di situ seseorang akan selalu mempertahankan atau membentuk
ruang individu, sampai dengan ruang sosial dalam sebuah kelompok. Mulai
pada tingkat keluarga, sampai dengan pada tingkat komunitas. Pembentukan
komunitas tersebut dilakukan melalui penentuan wilayah, yang disampaikan
melalui pembentukan teritorialitas, yang berupa batas fisik maupun batas
psikologis.
Pada tingkat keluarga dalam satu unit hunian, terjadi pula pembentukan batas-
batas ruang. Sebagai perwujudan pemaknaan ruang individu, yang memiliki
sifat private. Dan ruang komunitas, yang memiliki sifat public. Hal tersebut
merupakan sebuah tuntutan dari sebuah kehidupan manusia, yang merupakan
unsur sebuah keluarga.
Namun bagaimana upaya-upaya tersebut terwujud, ketika sebuah unit hunian
memiliki keterbatasan luas ruang, dalam menampung aktifitas keluarga?.
Bagaimana keberadaan ruang dalam sebuah blok, dan satuan unit rumah
susun, dimaknai oleh penghuni menjadi ruang-ruang minimal yang tetap dapat
memenuhi kebutuhan dasar akan ruang?. Apakah upaya-upaya tersebut dapat
menghasilkan elemen ruang arsitektur sebagaimana seharusnya? Lalu bila
tidak, tentunya terdapat elemen arsitektur yang hilang dalam sebuah hunian di
Rusunami?
Unit hunian tetap dimaknai oleh penghuni secara simbolis dan membangun
persepsi pada tingkat individu, maupun kelompok masyarakat. Hal tersebut
akan membangun kebiasaan baru penghuni rumah susun. Tentunya sebagai
konsekuensi dari dinamika pemaknaan ruang, yang dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang tempat tinggal sebelumnya (environmental cognition dan
environmental perception). Kemudian dikondisikan pada disain rumah susun
itu sendiri. Proses selanjutnya adalah interaksi antara manusia dengan
bangunan sebagai bentuk penyatuan lingkungan spasial hunian baru.

10.2. Elemen-Elemen Hunian


Elemen sebuah hunian tersusun dalam sebuah komposisi yang harmonis.
Dalam proses interaksi antara manusia dan lingkungannya. Baik manusia
sebagai individu, keluarga atau masyarakat, serta lingkungan mulai dari rumah,
perumahan, permukiman berlanjut sampai dengan skala kota.
[150]
Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan hidup, oleh John S Nimpoeno
(1992) didefinisikan sebagai “life space” yang memperlihatkan bagian-bagian
sebagai sistem, yaitu; “sistem lingkungan hidup, sebagai sistem biofisik atau
sistem ekologik; sistem sosial, yaitu keseluruhan tata kehidupan masyarakat
termasuk hubungan-hubungan eksternal dan internal; sistem konsep, ataupun
orientasi budaya berikut kondisi rasionalitas yang ada pada masyarakat di
suatu wilayah, sebagai unsur-unsur imperatif maupun normatif yang sudah
berlaku turun temurun”. Selajutnya ketiga sistem tersebut terjalin saling
ketergantungan yang membentuk jalur adaptasi, pengembangan dan integratif.
Sedangkan Soekanto (1982) membedakan lingkungan hidup berdasarkan
kategori-kategori yang meliputi tiga bagian yaitu; “lingkungan fisik, yaitu
semua benda mati yang berada di sekeliling manusia; lingkungan biologis,
yaitu segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup
di luar manusia itu sendiri; dan lingkungan sosial yang terdiri dari orang-
orang baik individu maupun kelompok sosial yang berada di sekitar manusia”.
Terjadi proses interaksi antara manusia dengan lingkungan, yang merupakan
rangsangan pada manusia, guna melakukan proses adaptasi terhadap
lingkungannya dan lingkungan memiliki kemampuan untuk melakukan
akomodasi terhadap perubahan alam.
Adaptasi menurut Soekamto (1982), adalah suatu proses ketika mahluk-mahluk
hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar, agar dapat tetap
mempertahankan diri. Sedangkan akomodasi, adalah suatu cara untuk
menyelesaikan pertentangan tanpa harus menghancurkan pihak lawan,
sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Akomodasi juga merujuk
pada suatu keadaan untuk mencapai keseimbangan kembali.
Elemen-elemen arsitektur perumahan terdiri dari bentuk, fungsi dan makna.
Elemen bentuk diterjemahkan dalam tata lingkungan, dan tata bangunan,
termasuk di dalamnya tata ruang unit satuan rumah tinggal di dalam rumah
susun. Sedangkan elemen fungsi seperti diuraikan dalam Undang-undang
perumahan dan permukiman, bahwa “rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga,
sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
sarana dan prasarana lingkungan”.
Selanjutnya permukiman memiliki fungsi bagian dari lingkungan hidup, di
luar kawasan lindung. Baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun
perdesaan. Yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal, atau lingkungan
hunian, dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Dengan demikian, ketiga komponen lingkungan tempat tinggal manusia
tersebut, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mulai dari rumah,
[151]
perumahan, sampai dengan permukiman. Sedangkan ketiga komponen tempat
tinggal manusia tersebut, tidak terlepas dari makna. Makna dalam hal ini tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang dianut oleh seorang individu, ataupun
sebuah komunitas. Sebagai bentuk pemahaman terhadap lingkungannya
(environmental cognition). Yang juga tidak terlepas dari aspek sosial budaya.
Sebuah bentukan arsitektur perumahan akan memberikan makna yang baik,
ketika bentukan perumahan tersebut memiliki tingkat kecocokan (unsuitable)
dengan nilai-nilai yang dikandung. Kualitas lingkungan yang dapat diterima
sebagai suatu kebaikan dan kebenaran tersebut, pada akhirnya akan dituangkan
dalam bentuk sebuah norma. Dalam bentuk peraturan tertulis maupun tidak
tertulis. Peraturan tertulis, di dalamnya termasuk peraturan teknis maupun
peraturan non teknis (kelembagaan, keuangan, dsb).
Quality of life
Tercapainya kondisi masyarakat yang sejahtera, sejalan dengan tujuan nasional
bangsa Indonesia dituangkan dalam undang-undang dasar. Kesejahteraan sosial
adalah tercapainya sebuah kondisi kualitas hidup individu, kelompok dan
masyarakat dalam kondisi baik, menurut UU No. 6/1974, tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial “suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial, material maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan,
dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan setiap warga negara
untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.
Menurut Lessy yang dikutip oleh Suisyanto (2007), kesejahteraan sosial
diartikan sebagai kondisi sejahtera. Yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala
bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar. Seperti makanan,
pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Hal-hal tersebut
digunakan sebagai indikator keberhasilan sebuah disain rumah tinggal, dalam
memenuhi tingkat kualitas hidup yang lebih baik, di dalam sebuah hunian.
Hubungan rumah dengan penghuninya memiliki kekuatan simbolis, yang
diwujudkan ke dalam susunan elemen-elemen ruang bangunan. Standar
kualitas kehidupan mengacu pada tingkat pemenuhan kebutuhan hidup
manusia. Yang meliputi kebutuhan psikologis dalam bentuk sandang, pangan
dan papan.
Tingkat kebutuhan setiap manusia berbeda, seperti diuraikan oleh Abraham
Maslow (id.wikipedia.org). Dia percaya bahwa manusia tergerak untuk
memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya tentang Hierarchy
of Needs, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki hirarki, yang meliputi :
Kebutuhan fisiologis/ dasar; Kebutuhan akan rasa aman dan tentram;
[152]
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi; Kebutuhan untuk dihargai; dan
Kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Melalui telaah fungsi hunian, maka dari kelima hirarki tersebut, dua urutan
pertama sangat erat kaitannya dengan pembentukan aspek mendasar dari fisik
hunian. Yaitu menyangkut pemenuhan kebutuhan fisiologis dan rasa
aman/tentram. Secara fisiologis kebutuhan yang harus dipenuhi meliputi;
ketersediaan air, makanan, pakaian, dan selter (perlindungan) sebagai tempat
untuk memenuhi kebutuhan tidur, istirahat, biologis, dsb. Sedangkan
kebutuhan akan rasa aman dan tentram juga didapat dari rumah dan
lingkungannya, rasa aman dari ancanam yang datang dari lingkungan luar
maupun dalam rumah.
Menurut Oscar Newman (1978) menguraikan keselamatan tersebut melalui
teori defensible space, yaitu “defensible space is surrogate term for the range
of mechanisms – real and symbolic barriers, strongly defined area of influence,
and improved opportunities for surveillance – that combine to bring an
environment under the control of its residents. A defensible space is living
residential environment which can be employed by its inhabitants for the
enhancement of their lives while providing security for their families,
neighbors and friends”.
Selanjutnya menurut Newman, untuk menghasilkan defensible space,
diperlukan kejelasan hirarkis dari teritorial. Yang menyangkut ruang-ruang
publik, semi-publik, semi-privat dan privat. Sejalan dengan itu, Maslow
menggarisbawahi bahwa security adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
Walaupun pada tingkat kebijakan nasional saat ini security tersebut juga
dikaitkan dengan aspek teknis (seperti keamanan terhadap ancaman bencana
khususnya gempa), namun kebutuhan akan rasa aman, juga harus
diterjemahkan terhadap rasa aman dari ancaman kejahatan dan vandalisme,
yang berasal dari manusia.
Dengan demikian, kualitas hidup yang berkaitan dengan lingkungan dan
bangunan, berimplikasi terhadap manusia secara normatif. Segala ukuran
sangat ditentukan oleh norma-norma yang diatur dan disepakati dalam bentuk
kebijakan teknis.
Namun demikian, secara konseptual, rumah merupakan simbol privacy
penghuni, sebagaimana hal tersebut dikemukakan oleh Madanipour (2003)
“Home is the spatial unit that combines a number of traits of private sphere,
…. . it provide personal space, a territory, a place for being protected from the
natural elements, ….. it provide a small group with territory, which has
historically been essential for the reproduction of the species, to accommodate
biological life processes, as well as a place which is meaningful and satisfying
to the psychological needs of individuals”.

[153]
Rumah merupakan sebuah tempat yang memberikan nilai-nilai sosial, serta
memberikan makna kuat terhadap individu penghuni. Rumah sebagai sebuah
unit yang memberikan nilai privacy terhadap keluarga dan individu. Privacy
merupakan sebuah kebutuhan dasar dari setiap manusia.
Kualitas kehidupan tercapai ketika seseorang atau keluarga dapat memenuhi
kebutuhan psikologis dan rasa aman dari rumahnya. Kondisi tersebut tercapai
ketika tingkat privacy dari sebuah rumah tercapai. Tingkat ke-privacy-an
sebuah rumah sangat tergantung pada kemampuan proteksi tempat tersebut
terhadap keadaan crowding dari lingkungan dimana tempat tersebut terletak.
Melalui telaah sejarah, perumahan pada abad pertengahan di Jazirah Eropa.
Rumah pada saat itu, memiliki konsep sebagai wadah sosial dari sebuah
komunitas yang sangat besar. Di situ tidak terdapat batasan yang kuat antara
tempat kerja, dengan kehidupan private pemiliknya. Bekerja dan tinggal dalam
rumah, tanpa pembagian ruang yang jelas. Yaitu tinggal dalam sebuah ruang
besar, dengan sedikit perabotan, yang menampung seluruh aktifitas keluarga,
termasuk aktifitas kerja.
Pada saat itu juga rumah menjadi sebuah public space menurut Madanipour
(2003). Sampai akhirnya terjadi tuntutan perubahan konsep rumah. Hal itu
disebabkan oleh adanya perubahan sikap dari anak-anak pada masa tersebut.
Ketika keberadaan anak-anak bercampur dengan orang dewasa, mengakibatkan
anak-anak lebih cepat dewasa sebelum waktunya. Bahkan hubungan antara
orang tua dan anak menjadi lebih jarang, sehingga pembentukan moral dan
sosial tidak terjadi dalam rumah. Kondisi tersebut berlangsung sampai dengan
abad ke-17, dimana kondisi anak-anak yang sangat memprihatinkan menjadi
perhatian dalam kehiduopan berkeluarga. Terutama yang menyangkut;
kesehatan, pendidikan, dan kehidupannya di masa depan.
Hal tersebut telah mendorong perubahan konsep rumah. Fungsi rumah dari
pusat kehidupan publik , menjadi pusat pengembangan kehidupan private dari
individu dan keluarga inti.
Namun, fenomena kehidupan pada unit hunian rumah susun, khususnya rumah
susun milik, saat ini tidak terlepas dari analogi kondisi perumahan di Eropa
pada abad pertengahan tadi. Ketika unit-unit rumah susun kehilangan fungsi
rumah sebagai simbol ruang private. Kualitas privasi dari sebuah rumah saat
ini banyak yang menurun, karena menjadi ruang publik. Rumah-rumah
tersebut, selain menjadi tempat berkumpulnya sebuah komunitas, juga menjadi
tempat kerja oleh sebagian penghuninya.
Bila ditelaah kembali, bahwa sejarah perumahan di Eropa telah mencatat
dampak sosial yang sangat berat. Keberadaan anak-anak di rumah susun saat
ini, tampak juga terabaikan. Anak-anak telah kehilangan hak hidup-nya,

[154]
padahal perubahan signifikan perumahan di Eropa difokuskan pada penguatan
keberadaan anak-anak tersebut.
Menjadi catatan penting dalam telaah ini, adalah fokus konsep hunian
didudukkan kembali pada eksistensi anak-anak yang tinggal di dalam-nya.
Ketika kesehatan, pendidikan, serta masa depan menjadi perhatian utama, agar
supaya proses kedekatan hubungan antara orang tua dan anak lebih baik.
Artinya bahwa kesehatan anak tergantung orang tua. Tentang pendidikan anak,
orang tua juga menentukan, walau pendidikan formal turut membentuk.
Namun jumlah waktu yang dilewati anak-anak, nota bene justru sebagian
besarnya adalah di rumah. Ini menjadi sebuah dasar dan alasan kuat, mengapa
rumah memiliki peran begitu penting, dalam proses pendidikan. Khususnya
melalui learning by doing. Selain itu peran orang tua dalam menyiapkan masa
depan anak sangat besar sekali.
Pada bangunan atau rumah, aspek kesehatan berkaitan erat dengan sistem air
bersih dan sistem sanitasi. Di samping juga penting kebutuhan akan
pencahayaan, udara, serta suara-suara gaduh yang dijamin berada minimum,
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Peran pendidikan tentunya tidak hanya dibebankan pada pendidikan formal
yang disampaikan oleh sekolah. Pendidikan dalam hal ini peran orang tua
dalam berinteraksi dengan anak-anak. Bahwa interaksi yang baik, merupakan
proses pendidikan dalam pembentukan karakter anak-anak. Yang pada
akhirnya, ketika kedua aspek tadi tercapai, maka orang tua secara tidak
langsung telah mempersiapkan masa depan anak dengan baik. Seluruh
aktifitas tadi terjadi dalam rumah, oleh karena itu fungsi rumah sebagai simbol
privacy menjadi sangat penting.
Kualitas Lingkungan Fisik
Pola disain rumah susun yang dikembangkan saat ini adalah pola linier dengan
sistem koridor tunggal (single loaded). Dengan tata masa dua buah blok yang
saling berhadapan, pola tata masa tersebut diberi istilah twin block. Sehingga
pada bagian koridor yang saling berhadapan akan membentuk ruang yang
membatasi antara dua koridor tersebut. Akibatnya antara kedua koridor
tersebut masih dimungkinkan terjadi interaksi visual, namun tidak
dimungkinkan terjadi interaksi fisik.
Hal ini sedikit berbeda dibandingkan dengan pola lingkungan permukiman
sebelumnya (landed house), dimana koridor sebagai ruang publik mengalami
pergeseran kualitas ruang sebagai ruang interaksi sosial secara fisik maupun
non fisik.
Koridor sebagai ruang publik, memiliki fungsi utama sebagai ruang sirkulasi.
Yang menghubungkan akses terhadap unit-unit hunian. Dan merupakan satu-
[155]
satunya akses yang dimiliki penghuni bangunan. Ini berbeda dengan pola
sirkulasi pada perumahan yang dibangun di atas tanah, yang memiliki beberapa
alternatif pencapaian.
Akibatnya kualitas ruang sirkulasi pada koridor bangunan rusuna lebih
memiliki nilai private dibandingkan dengan ruang sirkulasi pada perumahan di
atas tanah. Ketika ruang publik menjadi lebih private, maka akan sangat mudah
diintervensi oleh ruang private, hal ini didorong juga oleh keterbatasan ruang
private yang dimiliki oleh sistem hunian.
Rumah sebagai sistem hunian merupakan simbol privacy, perlu dipahami pada
tingkat individu, keluarga, maupun komunitas. Dalam mengkonstruksikan
ruang privacy diperlukan proses pemahaman terhadap ruang-ruang dari sebuah
unit hunian, yang meliputi: halaman, ruang tamu, ruang keluarga, ruang
makan, dapur, ruang tidur orang tua, ruang tidur anak, ruang tidur tamu, kamar
mandi, gudang, ruang cuci, ruang jemur, halaman belakang.
Keterbatasan ruang pada sistem hunian vertikal rusunami, menjadi faktor
utama yang menurunkan kualitas lingkungan fisik dari sebuah sistem hunian.
Hal ini disebabkan oleh upaya-upaya penghuni untuk mempertahan kehidupan,
dengan melakukan beberapa modifikasi lingkungan, disertai pembentukan
pemaknaan ruang yang dipersepsikan oleh penghuni secara kolektif.

10.3. Pembentukkan Ruang pada Rumah Susun


Pembentukan ruang pada rumah susun menjadi sebuah ruang hunian sangat
dipengaruhi oleh pengguna ruang. Pembentukan persepsi ruang tersebut
dipengaruhi oleh pengalaman individu terhadap ruang, hal tersebut meliputi
pengalaman ruang secara vertikal, dan pengalaman ruang secara horizontal.
Persepsi tumbuh pada manusia dikarenakan manusia memiliki nalar dan
pikiran yang tidak dimiliki oleh hewan. Manusia maupun hewan sama-sama
memiliki insting. Akibat keberadaan akal pada manusia, hal tersebutlah yang
menjadikan insting manusia tidak terlalu berkembang, namun akalnya yang
berkembang.
Perkembangan akal tersebut mengakibatkan manusia menguasai ilmu
pengetahuan. Sehingga rumah bagi manusia dari sejak Adam sampai dengan
saat ini mengalami revolusi yang cukup besar dibandingkan dengan rumah-
rumah hewan. Sebagai contoh sarang laba-laba dari sejak diciptakan sampai
dengan saat ini bentuknya tetap, bahkan NASA telah melakukan penerbangan
menuju luar angkasa dengan membawa seekor laba-laba. Mereka mengamati
perilaku laba-laba tersebut ketika membuat sarangnya di luar angkasa.
Ternyata mereka memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan tidak adanya
gravitasi yang sempat mengacaukan pola sarang. Tetapi selanjutnya, dalam

[156]
waktu singkat, akhirnya setelah menemukan orientasinya, laba-laba tersebut
membangun sarang laba-laba yang tidak berbeda dengan di bumi.
Bagaimana proses pembentukan pemaknaan manusia terhadap sebuah ruang,
tidak dapat dilepaskan dari proses pengalaman. Pengalaman individu
memengaruhi persepsi pada diri manusia. Pengalaman sangat erat kaitannya
dengan dunia spiritual yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dianutnya kelak.
Dunia spiritual sangat erat hubungannya dengan hal-hal gaib yang diyakini
oleh manusia, sebagai contoh hubungan manusia dengan Tuhan-nya (pada sisi
positif) atau hal-hal yang tidak berwujud seperti kehidupan mahluk halus, roh
nenek moyang, dsb (sisi negatif). Juga pengalaman horizontal berkaitan dengan
masa lalu dan masa kini yang erat kaitannya dengan dunia fisik. Seperti
bentukan ruang artifisial masa lalu, yang telah berubah dengan ruang artifisial
saat ini.
Contohnya ketika kelompok masyarakat memaknai ruang halaman rumah
sebagai ruang milik yang memungkinkan diintervensi oleh ruang private. Maka
ketika persepsi tersebut dibawa kedalam hunian vertikal, maka batas-batas
hunian sebagai ruang private tidak dapat dikembangkan lagi. Atas alasan
tersebut, penghuni pada rusun melakukan intervensi ruang privat pada ruang-
ruang publik, seperti koridor, tangga, atau hall.
Pengalaman berbeda pada setiap waktu akan memberikan/membentuk persepsi
yang berbeda pada setiap manusia yang berbeda generasi. Sehingga generasi
selanjutnya akan memaknai ruang-ruang publik tersebut menjadi ruang private.
Pembentukan persepsi pada manusia tahap demi tahap, akan membentuk nilai-
nilai yang dianut sebagai nilai-nilai kebenaran. Sehingga tidak heran, ketika
seorang anak yang lahir dan dibesarkan di kawasan padat dan kumuh, kelak
setelah besar dia akan merasakan bahwa nilai-nilai sosial dan kesehatan yang
berada pada kawasan padat dan kumuh tersebut merupakan hal yang normal.
Dalam proses tersebut telah terjadi pergeseran nilai baik yang terukur (standar)
maupun nilai-nilai yang tidak terukur. Hal ini sejalan dengan tingkatan unsur-
unsur budaya yang disampaikan oleh Koentjaraningrat. Bahwa ketika teknologi
merupakan unsur budaya yang paling mudah berubah, dibandingkan dengan
nilai-nilai agama yang merupakan unsur budaya paling sulit berubah.
Nilai privacy dapat menjadi sebuah petunjuk dari sebuah kepemilikan atau
penguasaan ruang, yang berlaku pada tingkat individu, keluarga, atau
kelompok yang lebih besar. Pada sebuah rumah tinggal di atas tanah, rumah
menjadi simbol privacy. Maka ketika penghuni akan melakukan
pengembangan ruang privacy tersebut, masih dimungkinkan dilakukan secara
horizontal, pada daerah halaman maupun pada arah vertikal.

[157]
Berbeda pada rumah susun, ruang privacy tidak dimungkinkan untuk dapat
dikembangkan lagi. Dalam kondisi demikian, penghuni harus dapat
mempertahankan kehidupannya sesuai dengan tata nilai yang dianut. Ketika
nilai-nilai kehidupan tidak terwadahi oleh sistem hunian yang ada, maka
penghuni akan melakukan modifikasi ruang, untuk memastikan
keberlangsungan hidup manusia dapat dilaksanakan.
Pada tahap ini, tumbuh makna-makna baru terhadap ruang yang ada dalam
sistem rumah susun. Bagaimana koridor dimaknai oleh penghuni sebagai
ruang private, dengan menempatkan sebuah sofa, yang merupakan sebuah
penandaan penguasaan ruang public menjadi private. Tentunya kondisi
demikian dapat menimbulkan konflik pada ruang public.
Begitu juga bagaimana penghuni melakukan pemaknaan ruang-ruang public
menjadi ruang-ruang servis. Misalnya seperti memfungsikan atap teritis
sebagai tempat jemur pakaian, menempatkan gudang pada bagian langit-langit
dari koridor. Atau daerah utilitas bangunan seperti ruang panel listrik, meter
air, dan tempat box hidrant yang dianggap tidak bertuan, menjadi ruang yang
diperebutkan untuk digunakan sebagai gudang.
Demikian juga pada unit hunian, bahka konflik ruang private – public juga
terjadi. Hal tersebut lebih disebabkan oleh peran individu-individu dalam
sebuah keluarga, juga membutuhkan ruang private.
Unit hunian merupakan sebuah wadah sosialisasi keluarga, untuk itu
membutuhkan ruang-ruang bersama yang tidak mengganggu ruang private.
Yang memiliki intensitas penggunaannya dari sisi kualitas waktu lebih lama,
namun ketersediaannya sangat minim. Keterbatasan ruang interaksi keluarga
ini, yang menyebabkan kontak sosial antara orang tua dan anak intensitasnya
menjadi sangat rendah. Anak-anak cenderung tak betah di rumah, lalu mencari
kenyamanan udara dan ruang di luar rumah. Dan menjadi unsur utama yang
mendorong persoalan sosial dalam hunian vertikal, seperti vandalisme,
kriminalitas, yang akhirnya menurunkan produktifitas penghuni.
Dengan demikian telaah ini merupakan sebuah langkah menuju pembuktian
bahwa melalui penguatan fungsi rumah sebagai simbol privacy, maka akan
menciptakan sebuah bangsa yang kuat dan produktif.
Pembentukan ruang yang dilakukan oleh penghuni ditandai/disimbolkan
melalui penempatan perabot, menggunakan partisi sederhana dalam bentuk
tirai atau dinding kayu lapis. Juga dengan membedakan bahan dan warna pada
dinding, lantai maupun plafond. Fenomena yang cukup dominan pola
pembatasan ruang-ruang tersebut, banyak menggunakan perabot. Selain itu
juga, penempatan perabot pada ruang public dianggap sangat jitu dalam upaya
untuk menyatakan kepenguasaan yang cederung pada kepemilikan secara tidak
formal.
[158]
Makna Ruang
Dalam pembentukan ruang, seorang perencana akan menentukan terlebih
dahulu bagaimana ruang itu digunakan. Dalam sebuah perencanaan kebutuhan
ruang, dimensi ruang serta hubungan ruang, dipertimbangkan terhadap aktifitas
pengguna. Hal tersebut terjadi pada kondisi ideal, ketika seorang perencana
tidak dibatasi oleh persoalan keterjangkauan dari pengguna. Ketika perencana
sangat dibatasi oleh biaya, maka ruang-ruang diupayakan memiliki fungsi
ganda (multy functions). Dengan harapan pengguna akan melakukan adaptasi
terhadap ketersediaan ruang.
Hal ini adalah fenomena proses disain rumah susun saat ini, dan telah
mendorong pengambil kebijakan untuk menetapkan luasan satuan unit rumah
susun, yang berada di bawah kebutuhan ruang minimum untuk hidup layak.
Gap yang belum ditemukan penyelesaiannya.
Adanya keterbatasan ruang pada satuan unit rumah susun, tidak menjadikan
begitu saja dengan mudah penghuni akan kehilangan makna rumah. Makna
rumah tetap kuat pada penghuni yang menempatkan rumah sebagai fungsi
sosial, yaitu wadah untuk melakukan sosialisasi antara anggota keluarga,
rumah juga sebagai ungkapan jati diri di samping sebagai tempat berlindung
dari gangguan ekternal.
Makna dalam arsitektur merupakan komunikasi non verbal, sehingga objek
yang dimaknai oleh perencana dapat saja mengubah makna yang diterima oleh
pengguna bangunan. Kemungkinan tersebut sangat tinggi, ketika terdapat
perbedaan latar belakang antara perancang dan pengguna. Hal tersebut
mengakibatkan perbedaan sudut pandang, sehingga menghasilkan persepsi
yang berbeda. Dengan demikian terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara
kutub makna dan kutub persepsi. Antara makna dan persepsi berada pada dua
kutub yang berbeda, makna disampaikan oleh tampilan arsitektural
(transmiter) dan persepsi disusun oleh penghuni (receiver). Komunikasi yang
benar bila antara makna dan persepsi memiliki nilai yang sama, maka proses
komunikasi itu dianggap benar.
Dalam rumah susun , proses komunikasi yang terjadi tidak seperti apa yang
diharapkan. Berangkat dari spatial cognition dari penghuni, yang dibawa dari
pengalaman ruang sebelumnya, kemudiabn dibawa ke dalam rumah susun.
Namun setelah melalui identifikasi dan melakukan relevansi, tata nilai ruang
yang dianut sebelumnya tidak dapat ditemukan secara utuh dalam lingkungan
hunian barunya. Pada level ini, penghuni secara kolektif akan membangun
nilai-nilai baru, melalui proses adaptasi dengan melakukan modifikasi aktifitas,
yang bermuara pada perubahan sosial-budaya, maupun modifikasi ruang-ruang
fisik.
[159]
Apakah sama antara makna dengan nilai dalam arsitektur? Makna merupakan
pesan-pesan arsitektur yang sarat dengan nilai. Yakni nilai yang memengaruhi
psikologis si penerima pesan. Pesan yang baik akan menghasilkan respon yang
baik, hal ini lah yang melahirkan karya-karya yang besar dan abadi. Karena
dalam karya tersebut sarat dengan muatan pesan-pesan nilai yang luhur.
Dalam konteks ini karya arsitektur tidak jauh berbeda dengan karya puisi atau
sastra, yang dapat menyentuh perasaan manusia penerima pesan terhadap
batinnya. Hal tersebut belum dapat diwujudkan dalam arsitektur rumah susun
saat ini.
Sebuah karya sastra yang sarat dengan nilai, senantiasa selalu dikumandangkan
dan dikenang sepanjang masa. Walaupun kondisi psikologis penyairnya
berbeda dengan kondisi psikologi masyarakat penikmat sastra, tentunya
kondisi psikologi masyarakat penikmat sastra tersebut sangat heterogen.
Keberhasilan mengkondisikan suasana psikologi masyarakat heterogen
terhadap penerimaan yang sama terhadap karya sastra tersebut, menjadi sangat
penting dikuasai oleh seorang perencana bangunan.
Makna itu penting, tapi yang lebih penting adalah kemampuan mengenali
makna yang dianut oleh calon penghuni untuk dileburkan ke dalam sebuah
rancangan. Tentunya dengan mempertimbangkan kondisi psikologis pengguna
yang heterogen. Untuk itu seorang perencana harus memahami nilai-nilai
makna yang dianut oleh calon penghuni, yang menjadi bagian pertimbangan
dalam penyelesaian disain hunian. Tentunya telaah ini diharapkan akan
membantu perencana dalam memahami nilai-nilai sebuah hunian.
Simbolisasi Ruang
Untuk mulai memahami pengertian simbol, kita perlu mengupas beberapa
pendapat ahli dalam mendefinisikan simbol. Salah satu definisi symbolism
menurut A.N. Whitehead dalam bukunya “Symbolism”, sebagai berikut
“pikiran manusia berfungsi secara simbolis manakala beberapa komponen
pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan
gambaran mengenai komponen komponen lain dari pengalamannya.
Perangkat komponen yang awal adalah simbol dan perangkat komponen yang
selanjutnya membentuk/memberikan makna simbol. Keberfungsian organis
yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu
dinyatakan sebagai referensi”. Makna merupakan pesan yang akan
disampaikan dalam setiap simbol, dengan demikian terdapat unsur persepsi
manusia terhadap sesuatu yang bersifat benda maupun bukan kebendaan.
Deskripsi Simbol sementara dapat disimpulkan sebagai sebuah kata atau benda,
yang mewakili atau mengingatkan pada suatu identitas yang lebih besar. Ketika
sebuah keluarga menempatkan sebuah keset pada sisi depan pintu masuk utama
ke dalam unit hunian, maka penampatan keset itu merupakan sebuah simbol
[160]
terhadap wilayah penguasaan. Demikian juga ketika menempatkan sebuah
kursi pada koridor, maka kursi digunakan juga sebagai simbol penguasaan
wilayah. Dengan demikian simbol-simbol sebagai penanda batas penguasaan
ruang dalam rumah susun menjadi sangat penting.
Bagaimana fenomena pembentukan simbol yang membedakan antara ruang
private dan ruang publik di dalam unit hunian? Penghuni biasanya
membedakan, dengan simbolisasi bahan yang digunakan. Misalkan untuk
menandai daerah private sebagai ruang tidur pada ruang utama, menggunakan
bahan karpet halus seperti karpet berbulu. Sedangkan pada ruang publik cukup
dengan menggunakan karpet plastik, atau dibiarkan bahan apa adanya, sesuai
dengan spesifikasi lantai yang disediakan pengembang. Fenomena ini pun
menunjukkan bahwa untuk membangun ruang private menggunakan bahan-
bahan yang dianggap mahal dan memiliki nilai prestisius.
Demikian juga makna dapat dihadirkan oleh tanda atau simbol. Simbol dapat
terlihat melalui ruang maupun tempat. Dalam unit hunian, manusia pada
umumnya sangat peduli terhadap pemaknaan ruang-ruang dan tempat yang
dihadirkan dengan membangun simbol. Beberapa hal yang menjadi syarat
pembentukan ruang dan tempat adalah adanya batas-batas, yang dapat dibentuk
secara fisik maupun non fisik. Setelah kehadiran batas dari ruang tersebut,
ruang selanjutnya didefinisikan berdasarkan fungsi dan pemakainya, yang
ditandai oleh ruang personal, ruang sosial, dan ruang komunitas.
Bahwa sebuah ruang hunian bagi penghuninya harus dapat memberikan
stimulus, keamanan serta identitas . Hal ini yang memberikan kejelasan akan
perlunya teritorial dari penghuni maupun individu. Bagaimana sebuah ruang
memberikan stimulus bagi penghuni untuk melakukan, mendapatkan dan
merasakan satu kehidupan yang lebih baik. Di samping itu, bahwa unit hunian
juga dapat memberikan rasa aman bagi penghuninya dari ganguan lingkungan.
Selanjutnya sebuah hunian juga mampu menunjukkan identitas dari penghuni
dan individu penggunanya.
Upaya-upaya untuk menerjemahkan sebuah hunian, banyak dilakukan oleh
penghuni rumah susun dengan berbagai keterbatasan ruang, dan ketersediaan
tempat dari sebuah hunian ideal. Upaya-upaya tersebut telah melahirkan
berbagai bentuk yang diterjemahkan dalam wujud simbol keberadaan ruang.
Walaupun berbagai konflik pada awalnya dapat terjadi. Hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan persepsi ruang, yang dibawa oleh setiap keluarga, terdapat
perbedaan dalam proses pemaknaan.
Dengan demikian setiap benda atau susunan benda, setiap kata dan kalimat,
dapat memberikan makna kepada setiap manusia. Namun apakah setiap
manusia dapat menangkap setiap makna sebuah atau susunan kata atau benda
dengan makna yang sama? Seperti pendapat Whitehead, bahwa dalam

[161]
pemaknaan tersebut ada unsur experience component, dan setiap suku bangsa,
setiap masyarakat akan memiliki pengalaman yang berbeda-beda.
Makna akan hunian yang diperjuangkan oleh penghuni untuk mendapatkan
kualitas ruang hidup dari sebuah hunian, akan meliputi beberapa proses
pencarian/pengenalan. Proses tersebut adalah: Liveablity, yaitu upaya
menciptakan ruang yang relatif nyaman bagi setiap penghuninya. Indentity and
control, yaitu upaya membangun identitas dari batas-batas kepemilikannya,
serta kontrol yang mana miliknya dan yang mana bukan bagiannnya, atau
bagian bersama; Access to opportunities, imagination, and joy, yaitu upaya
mencari peluang-peluang dalam pengembangan keluarga dan individunya,
serta mendapatkan kesenangan dari tempat tinggalnya; Authentical and
meaning, yaitu penghuni segera mencari dan mengenali rumah dan
lingkunganya terhadap hal-hal apa saja yang dapat memberikan peluang untuk
dikembangkan; Private life, yaitu upaya untuk menciptakan rumah sebagai
simbol privacy dan ruang-ruang di dalamnya, yang mampu mewadahi privacy
setiap anggota keluarga.
Persepsi Ruang
Rumah merupakan sebuah simbol privacy sebuah keluarga, termasuk individu-
individu di dalam-nya. Rumah merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya
seorang manusia, sejak lahir, menjadi balita, anak-anak, remaja, dewasa,
sampai dengan tua. Seseorang membutuhkan tempat dimana di dalamnya
mendapatkan rasa aman, nyaman, terlindung akan kepentingan-kepentingan
pribadinya. Rumah menjadi identitas tempat bagi seseorang terhadap
keberadaannya di dunia ini. Keberadaan rumah bagi masyarakat Indonesia
secara umum sangat kuat, hal ini yang telah mendorong suatu fenomena pulang
kampung halaman. Ketika musim hari raya keagamaan, hari besar nasional,
bahkan pada saat pencontrengan dalam pemilihan anggota legislatif yang lalu,
fenomena pulang kampung halaman sangat melekat pada sebagai besar
masyarakat Indonesia.
Sebuah keluarga atau individu, memiliki kebutuhan mendasar untuk sekedar
‘tarik nafas’ (dalam satu ruang dan waktu privacy ) di antara kesibukan dan
kesehariannya. Hal ini berarti menikmati ‘kebebasan’ merdeka diantara
aktifitasnya menjalani hidup. Utamanya berupa ruang (dan waktu), dimana
seseorang bisa menemukan ‘kebebasan’. Merasa merdeka dalam keleluasaan,
istirahat yang nyaman, dan ‘kebebasan’ ini bisa ditemukan di rumah sendiri.
Kebutuhan tadi cukup vital dan mendasar, sebagai alat refreshing psikologis
dan fisik. Penting bagi sesosok individu dan keluarga, sebagai unsur
masyarakat, dan sumber daya manusia.
‘Kebebasan’ tersebut hanya dapat di peroleh dari ruang-ruang pribadi dan
waktu di rumah sendiri. Ketika seorang individu keluar dari rumah, maka

[162]
kebebasan itu akan hilang, dan dia harus patuh pada aturan sosial yang berlaku
secara normatif, untuk itu fungsi rumah sebagai tempat dan ruang yang
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi seorang individu ini
menjadikan rumah sebagai simbol dari kemerdekaan, simbol dari privacy.
Ketika nilai-nilai kebebasan dan privacy tersebut terganggu maka kualitas
kemerdekaan dan privacy tersebut secara otomatis berkurang.
Rumah yang merupakan private space akan berhubungan dengan dunia luar
yang merupakan public space. Dunia luar yang terdiri dari kelompok-
kelompok hunian yang dibangun oleh manusia yang heterogen. Sebuah hunian
saling berhubungan, yang dihubungkan oleh jalan, ruang terbuka, dan sarana
serta prasarana yang ada dalam lingkungan permukiman. Hal tersebut
membentuk sebuah layout lingkungan permukiman, yang memungkinkan
terbentuknya tingkat kualitas ruang private-public yang tegas.
Rumah dapat dilihat sebagai ruang khusus, tempat setiap individu bergabung
bersama membangun hubungan yang lebih dekat. Lalu melakukan kendali
terhadap ruang untuk mendapatkan privacy dan kenyamanan. Kontrol ruang
privat sebuah keluarga dilakukan oleh keluarga itu sendiri. Sedangkan kontrol
ruang privat individu dikontrol oleh individu bersangkutan. Seperti pada ruang
tidur orang tua, kontrol privasi tersebut dilakukan oleh orang tua itu sendiri.
Sementara kontrol ruang privat anak, dalam hal ini ruang tidur anak, dilakukan
oleh anak itu sendiri. Semakin dewasa seorang anak semakin besar peran
kontrol ruang tersebut. Jadi kontrol privacy sebuah ruang sangat tergantung
pada tingkat usia pengguna-nya.
Kontrol ruang public private menurut Madanipour (2003) sangat tergantung
dari budaya dan pola perilaku dari keluarga tersebut. Selanjutnya, syarat
rumah agar memiliki fungsi sebagai tempat hunian, yang mampu membangun
keluarga menuju kehidupan yang lebih baik, maka haruslah memiliki tingkatan
hirarki teritori, sebagaimana Newman nyatakan, yaitu:
1. Pembentukan Ruang Publik, ruang publik dalam rumah susun meliputi
sarana dan prasarana yang dimiliki bersama mulai dari jalan menuju
bangunan, lahan tempat bangunan itu berdiri serta prasarana yang
menyangkut fasilitas sosial.
2. Pembentukan Ruang Semi-publik, pembentukan ruang semi publik pada
rumah susun , adalah ruang-ruang yang merupakan fasilitas sosial akan
tetapi berada dalam bangunan, seperti ruang bersama yang terletak pada
lantai dasar, tangga, lift bagi bangunan yang lebih dari lima lantai serta
koridor yang menghubungkan satuan rumah susun.
3. Pembentukan Ruang Semi-privat, ruang ini sulit dicapai pada sistem rumah
susun di Indonesia saat ini. Ruang semi publik ini merupakan wilayah yang
menjadi sekat antara area semi publik dengan area private pada hunian.
[163]
Pada hunian dengan sistem landed house maka ruang ini difasilitasi oleh
halaman. Sedangkan pada sistem rumah susun saat ini, yang telah
dibangun, kita sulit untuk menemukannya. Dari koridor langsung masuk ke
dalam hunian.
4. Pembentukan Ruang Privat, Pembentukan ruang inti yang memiliki tingkat
penguasaan personal yang tinggi. Ruang ini didominasi oleh kegiatan
individu, yang sifatnya sangat pribadi/private. Kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan tingkat ketenangan yang sangat tinggi, yang meliputi
kegiatan keluarga inti, kegiatan tidur, kegiatan interaksi suami istri, dan
kegiatan lainnya. Yang menyangkut rumah sebagai simbol dari privacy.
5. Pembentukan Ruang Servis, Merupakan kegiatan yang bersifat penunjang
kegiatan keluarga, maupuan kegiatan lingkungan. Ruang-ruang servis ini
diperlukan pada tingkat unit hunian , maupun tingkat komunitas sebagai
urban space.

10.4. Penutup
Keberlangsungan kehidupan masyarakat dalam rumah susun merupakan suatu
perjuangan. Antara konflik kebutuhan, yang didasarkan pada nilai-nilai sebuah
hunian, serta keterbatasan ruang yang ditentukan oleh kebijakan teknis. Yang
dituangkan dalam bentuk standar hunian bagi masyarakat berpenghasilan
rendah. Bahwa standar-standar tersebut disusun berdasarkan pertimbangan
kemampuan dari pemerintah serta masyarakat, yang sampai saat ini dinilai
sangat rendah. Dalam menghadirkan penghuni pada sisi kemanusiaan (human
being) dalam rusunami, dimana penghuni senantiasa memiliki kehendak-
kehendak yang selalu bergerak dari upaya memenuhi kebutuhan (need), sampai
dengan keinginan (want), senantiasa terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan
yang ada (constraints) pada bangunan rusun tersebut.
Namun dalam keterbatasan (constraint) dan konflik di atas, rata-rata penghuni
rumah susun melakukan suatu adaptasi, dan memperjuangkan agar
kebutuhannya dapat terealisasi melalui upaya-upaya adaptasi, yang
diterjemahkan dalam bentuk pemaknaan ruang, serta memberikan simbolisasi.
Namun demikian, upaya simbolisasi tersebut belum juga dapat dirasakan
optimum. Sebab kualitas ruang yang seharusnya tercapai, amat sangat sulit
sekali dalam keterbatasan ruang. Hal ini dapat ditunjukkan pada hilangnya
beberapa fungsi tempat dari sebuah rumah tinggal, dalam sebuah unit rumah
susun, maupun pada bangunan rumah susun itu sendiri.
Implikasi dari telaah ini tentunya dapat memberikan sumbangsih pada telaah
lebih lanjut. Terkait dengan kriteria disain minimal berdasarkan kemampuan
masyarakat dalam pengembangan unit hunian, yang tersedia menjadi sebuah
rumah tinggal, yang mampu membangun pengembangan kualitas hidup dan
[164]
penghidupan bagi seluruh anggota keluarga. Khususnya bagi anak-anak, untuk
mendapatkan hak kesehatan, pendidikan dan masa depan yang lebih baik.
Dinamika pemaknaan ruang pada rusunami terjadi akibat perbedaan persepsi
ruang terhadap pesan yang disampaikan oleh lingkungan hunian. Lalu
dihadapkan pada ekspektasi tata nilai-nilai yang dianut oleh penghuni, yaitu
tata nilai yang dibawa oleh pengalaman ruang sebelumnya.
Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kemampuan untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup, melalui tindakan modifikasi sosial-budaya maupun
modifikasi ruang arsitektural. Sifat adaptif telah menghasilkan rekayasa pesan
lingkungan, untuk mencapai kesesuaian dengan tata nilai yang juga mengalami
pergeseran. Selanjutnya bahwa telaah proses adaptasi dalam rumah susun
tersebut, perlu dilakukan telaah lebih lanjut, untuk mampu menjawab persoalan
dasar disain rumah susun agar lebih memiliki nilai, khususnya pada sisi
kemanusiaan.

[165]
[11] Adaptasi dan Perubahan
Perilaku Penghuni
11.1. Latar Belakang
Telaah ini, merupakan kajian tentang cara manusia mengatasi tekanan
lingkungan rumah susun milik, agar dapat mempertahankan keberlangsungan
hidup. Sebagaimana diketahui dalam dunia ekologi, suatu organisme ketika
tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya, maka akan mengakibatkan
kepunahan atau kelangkaan. Pada konteks rumah susun sederhana milik
(Rusunami), luas ruang sangat terbatas. Karenanya mengharuskan penghuni
untuk melakukan adaptasi. Baik adaptasi pada penghuninya (asimilasi),
maupun adaptasi perubahan fisik unit huniannya (akomodatif).
Ketika kemampuan asimilatif dari penghuni tidak juga mencapai titik temu
dengan upaya-upaya akomodatif dari unit sarusun (satuan rumah susun), maka
hukum mendel akan berlaku. Dimana akan terjadi seleksi alam, yang mampu
bertahan akan tetap tinggal, sedangkan yang tidak mampu bertahan akan
mengalami pergeseran (gentrifikasi). Bentuk pergeseran tersebut dapat
berlangsung secara fisik atau non fisik. Secara fisik penghuni tersebut akan
meninggalkan unit huniannya, sedangkan secara non fisik akan terjadi
pergeseran sosial-budaya dari penghuninnya.
Dari telaah ini dapat disimpulkan bahwa unit sarusunami (satuan rumah susun
sederhana milik) perlu ditangani kembali pada tingkat konsep hunian, yakni
dimana penyediaan unit hunian harus mampu mewadahi perkembangan
penghuni. Tentunya dalam memenuhi fungsi kehidupan dan penghidupan yang
layak. Dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu kemampuan manusia dalam
berasimilasi dengan lingkungan hunian baru, serta sifat akomodatif dari unit
hunian. Sehingga telaah ini dapat digunakan sebagai acuan dalam proses disain
rusunami (rumah susun sederhana milik).
[166]
Lingkup telaah ini, meliputi penggalian isu-isu, seputar proses modifikasi
ruang unit hunian, yang merupakan proses adaptasi penghuni, terhadap
lingkungan fisik unit hunian di rumah susun sederhana milik.
Kebijakan penyediaan rusunami tidak terlepas dari persoalan lahan di
perkotaan yang semakin hari semakin terbatas. Padahal kebutuhan akan rumah
terus meningkat, karenanya pembangunan Rusunami merupakan salah satu
solusi yang tidak dapat dihindarkan.
Rusunami dikelompokan menjadi dua tipe, yaitu rusunami bersubsidi dan
rusunami tidak bersubsidi. Telaah ini dibatasi hanya pada bangunan rusunami
bersubsidi, dengan beberapa batasan teknis dan administratif.
Aspek teknis diatur dengan Spesifikasi Teknis Bangunan, yang menyangkut
pengaturan dalam penggunaan bahan bangunan serta ketentuan luas bangunan
yang dibatasi. Pembatasan selanjutnya adalah target grup, yaitu kelompok/grup
yang diperkenankan memiliki serta mendapatkan akses fasilitas subsidi. Grup
tersebut ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan. Selanjutnya ketentuan
tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan teknis rusunami tersebut meliputi:
- Jumlah lantai rumah susun lebih dari 6 lantai, dari sisi pengembang
menginginkan jumlah lantai lebih dari 15 lantai untuk menekan investasi,
dikarenakan harga lahan untuk rusunami sangat mahal.
- Luas lantai unit hunian antara 27 m2 sampai dengan 36 m2, namun rata-
rata pengembang membangun rusunami dengan luas 30 m2.
- Diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah atas, yaitu
mereka yang berpenghasilan antara Rp. 1,2 juta sampai dengan Rp. 4,5
juta per bulan.
- Dengan harga Rusunami dipatok tidak lebih dari Rp. 144 juta rupiah per
unit (patokan harga tahun 2007).
- Insentif diberikan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, yang
disampaikan melalui pengembang maupun masyarakat calon penghuni
rusunami.
Terlepas dari persoalan insentif, fakta di lapangan menunjukkan adanya gejala
penyimpangan target grup. Nyatanya unit-unit hunian bersubsidi merupakan
rumah kedua atau lebih bagi pembelinya. Bahkan terjadi kepemilikan beberapa
unit hunian oleh seseorang. Rusunami dilihat sebagai sebuah komoditas
ekonomi yang menguntungkan bagi seseorang. Baik sebagi investasi masa
depan, maupun usaha sewa menyewa tempat tinggal yang sangat
menguntungkan di perkotaan.

[167]
Telah terjadi pergeseran nilai esensial dari rusunami. Rumah tidak lagi
dipandang sebagai asepek untuk pemenuh kebutuhan dasar akan tempat
tinggal, akan tetapi sebagai benda investasi, yang dikuasai oleh para spekulan,
yang bukan merupakan orang yang betul-betul membutuhkan rumah. Fakta-
fakta tersebut menunjukkan adanya persoalan disain yang dipengaruhi kuat
oleh kebijakan, yang mempertimbangkan daya beli masyarakatnya. Akibatnya,
pembatasan-pembatasan disain tersebut mendatangkan persoalan, yaitu
masalah kesesuaian antara kebutuhan pengguna dengan disain hunian dan
lingkungannya.
Gejalanya dapat dijelaskan sebagai berikut, misalkan pada luas unit hunian
dengan ukuran di bawah 30 m2, dengan harga Rp. 144 juta, bahwa kelompok
masyarakat dengan tingkat daya beli yang mampu menjangkau harga tersebut,
biasanya memiliki kriteria tersendiri soal luas bangunan. Umumnya, bagi
kelompok tersebut, luas bangunan 30 m2 dianggap terlalu kecil. Sedangkan bila
luas unit hunian ditambah, maka harga per unit bangunan menjadi naik. Begitu
juga ketika target grup diturunkan (daya belinya lebih rendah), maka harga
tersebut tidak dapat terjangkau.
Persoalan utama rumah susun adalah mahalnya harga sebuah rumah susun serta
rendahnya daya beli masyarakat. Harga sebuah rumah susun saat ini masih
lebih mahal dibandingkan dengan harga rumah landed, sehingga rumah tipe ini
masih menjadi kompetitor bagi rumah susun untuk dapat berkembang.
Sebagai perbandingan, dengan harga yang sama masyarakat akan mampu
mendapatkan satu unit hunian di atas kapling dengan spesifikasi bangunan di
atas rumah sederhana sehat (RSH). Hal tersebut yang menjadikan alasan
beberapa rusunami tingkat penghuniannya sangat rendah. Sehingga diperlukan
peran kebijakan yang lebih berpihak kepada pengembang sekaligus juga
kepada penghuni, hal tersebut merupakan suatu posisi yang sulit untuk dapat
dijalankan.
Geliat pembangunan rusunami dimulai sejak tahun 2007 dengan
dicanangkannya pembangunan 1000 tower, hal tersebut ditandai dengan
diputuskannya Kepres No. 22/2006, ditetapkan pada tanggal 6 Desember 2006.
Merupakan konsep baru dalam sektor penyediaan perumahan yang memiliki
tingkat kepadatan tinggi serta bangunan hunian dengan jumlah lantai lebih dari
enam. Ini merupakan sesuatu yang baru bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia, sekaligus merupakan isu seksi untuk dapat diangkat dalam berbagai
forum seminar maupun lokakarya.
Berkaitan dengan penyediaan perumahan ini, adalah pola-pola modifikasi
ruang dan modifikasi perilaku penghuni, yang disebabkan oleh adanya proses
interaksi antara manusia dengan lingkungan, dalam hal ini lingkungan hunian
rusunami. Proses modifikasi tersebut berlangsung dalam upaya manusia untuk

[168]
mempertahankan keberlangsungan hidup, pada lingkungan baru di rumah
susun, yang memiliki berbagai keterbatasan.
Metoda yang digunakan untuk menggali bentuk modifikasi tersebut adalah
teori adaptasi yang terjadi pada individu maupun kolektif. Proses adaptasi
merupakan juga suatu proses yang dinamis. Hal itu disebabkan oleh unsur-
unsur manusia dan alam yang senantiasa mengalami perubahan. Baik
perubahan manusia maupun lingkungannya tidak ada yang bersifat konstan.
Pandangan penulis yang diangkat pada telaah ini adalah adanya ketidak
cocokan (unsuitable) antara disain arsitektur rusunami dengan kebutuhan
penghuni. Dengan tesa bahwa antara manusia dengan lingkungan terjadi proses
interaksi, yang memungkinkan manusia melakukan upaya penyesuaian diri
(adaptasi). Guna mempertahankan keberlangsungan hidup.
Melalui telaah ini, diharapkan menemukan kembali kaidah disain pada sistem
perumahan bersusun di Indonesia, yang berimplikasi pada peningkatan kualitas
desaian rusunami, melalui perkuatan kebijakan dan standar teknis di masa
depan.

11.2. Isu Utama Adaptasi pada Rumah Susun Milik


Titik acuan telaahan ini berangkat dari ketidak sesuaian (unsuitable) antara
disain rusunami dengan kebutuhan penghuni, sebagaimana telah dibahas pada
uraian sebelumnya. Kondisi tersebut mendorong upaya-upaya penghuni
melakukan proses adaptasi terhadap lingkungan hunian. Proses adaptasi
tersebut serentak dilakukan oleh individu maupun komunitas, yang
mengakibatkan perubahan-perubahan perilaku masyarakat serta perubahan
lingkungan fisik. Mekanisme yang terjadi di dalamnya adalah proses
modifikasi lingkungan fisik dengan memanfaatkan dan mengembangkan
teknologi.
Tumbuhnya upaya-upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup pada
lingkungan baru di rusunami, merupakan isu yang dapat ditelaah untuk
menghasilkan teori-teori disain hunian vertikal. Setidaknya tinggal dalam
sistem hunian vertikal merupakan hal yang baru bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia, dengan demikian isu penerimaan oleh masyarakat dapat
dijadikan akar persoalan yang memengaruhi pada tingkat konsepsi disain.
Sebagaimana diketahui, bahwa pola disain hunian vertikal untuk masyarakat
berpenghasilan rendah masih meninggalkan persoalan, yang belum dapat
diselesaikan sepenuhnya oleh disain bangunan. Hal tersebut merujuk pada
perjalanan sejarah perumahan era modernism. Yangmana kebenarannya
dipertanyakan kembali pada era post-modernism, dan sebagai simbol
kehancuran era tersebut ditandai oleh demolisasi perumahan-perumahan
vertikal. Contohnya seperti perumahan masal di Perancis yang dikenal dengan
[169]
“le Grande Ensemble” akhirnya harus didemolis karena telah menimbulkan
persoalan sosial yang sangat kompleks.
Peristiwa serupa terjadi di Singapura, Korea, maupun Jepang yang telah
mempelajari kegagalan di Eropa maupun Amerika Serikat, sehingga kondisi
hunian vertikal mereka hanya mengalami remodeling. Akar persoalannya
adalah tingkat kepadatan hunian yang terlalu tinggi, namun berakibat pada
persoalan lain yang lebih kompleks.
Kegagalan yang tercatat dalam sejarah arsitektur perumahan menunjukkan
terjadinya tekanan psikologis (stress) pada penghuni. Ini muncul akibat
bentukan lingkungan yang tidak memiliki kecocokan dengan karakter nilai-
nilai kemanusiaan. Hal tersebut membuktikan bahwa penghuni belum dapat
melakukan adaptasi dengan baik terhadap disain hunian.
Persoalan utama adalah konsep disain hunian vertikal belum mampu
memenuhi kebutuhan manusia sepenuhnya. Selain itu juga masih menyisakan
persoalan daya beli dan biaya investasi, yang penyelesaiannya belum tuntas.
Kegagalan seperti pada uraian di atas dapat digunakan sebagai acuan dalam
menyusun konsep penyediaan rusunami di Indonesia - yang baru dimulai pada
saat ini-. Sementara kegagalan negara lain perlu menjadi pertimbangan dalam
penyusunan kebijakan.

11.3. Proses Adaptasi


Metoda yang digunakan dalam proses penelaahan lebih lanjut, adalah melalui
penggalian fenomena-fenomena penghuni rumah susun, dalam melakukan
adaptasi terhadap disain yang tersedia. Proses adaptasi dapat digunakan dalam
melakukan telaah arsitektur rusunami yang telah ada.
Adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk bertahan hidup. Organisme dinyatakan mampu beradaptasi
terhadap lingkungannya bila ia mampu untuk: memperoleh air, udara dan
nutrisi (makanan); mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur,
cahaya dan panas; mempertahankan hidup dari musuh alaminya; bereproduksi;
merespon perubahan yang terjadi di sekitarnya (id.wikipedia.org). Sedangkan
adaptasi menurut Roy Ellen (internet) terjadi pada level phylogenetic yang
bekerja melalui adatasi genetik individu serta melalui seleksi alam, adaptasi
melalui modifikasi fisik dari phenotype (ciri-ciri fisik), proses belajar dan
modifikasi cultural/budaya.
Telaah ini difokuskan pada adaptasi yang terjadi melalui proses belajar yang
menghasilkan perubahan lingkungan yang disertai oleh modifikasi budaya.
Adaptasi terjadi ketika ditemukan kondisi lingkungan yang sangat extreme,
dimana adaptasi merupakan respon kultural. Atau proses modifikasi, dimana
[170]
penanggulangan dengan kondisi untuk keberlangsungan kehidupan sebagai
indikator adaptasi, adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Adaptasi juga dilihat sebagai usaha untuk memelihara kehidupan dalam
menghadapi perubahan. Sehingga dinamika adaptasi mengacu pada perilaku
yang didisain pada pencapaian tujuan dan kepuasan kebutuhan dan keinginan
yang berkonsekuensi pada perilaku untuk individu, masyarakat dan
lingkungan.
Proses adaptasi terjadi dalam upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan,
yang merupakan sifat dasar kemanusiaan sebagai manusia (human being).
Manusia berusaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan agar mampu
bertahan hidup, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi
kepunahan atau kelangkaan jenis (id.wikipedia.org).
Proses adaptasi pada manusia tidak mengandalkan perubahan genetik, akan
tetapi melalui pengolahan akal dan pikir manusia. Sehingga menghasilkan
teknologi, dalam bentuk peralatan yang membantu kehidupannya. Dalam
telaah ini akan dijelaskan bagaimana proses adaptasi terjadi pada sebuah objek
arsitektur perumahan. Arsitektur perumahan sebagai sebuah benda memiliki
tiga dimensi yang meliputi dimensi fungsi, bentuk dan makna. Dimana diantara
ketiganya terjadi interaksi yang saling memengaruhi, seperti dijelaskan pada
Diagram 4. Konteks
Pembentukan Pesepsi
Bentuk Makna

ARSITEKTUR
PERUMAHAN
Pembentukan Simbol Pembentukan Perilaku

Perilaku Struktur

Fungsi

Keterangan :
Jalur adaptif :
Jalur pengembangan :

Diagram 4. Alur proses adapatasi dalam arsitektur perumahan, dikembangkan dari


konsepsi lingkungan total (Jhon S. Nimpoeno, 1981)

[171]
Pada telaah wawasan lingkungan total menurut John S. Nimpoeno (1992),
sistem-sistem lingkungan terdiri dari sistem lingkungan hidup, sistem sosial
dan sistem konsep. Hal ini dapat disejalankan dengan pengetahuan dasar
arsitektur dalam ordering system menurut Capon, yang dikutip dari Purnama
Salura, yaitu bahwa arsitektur memiliki tiga dimensi yang terdiri dari form,
meaning, dan function.
Ketiga aspek tersebut memiliki kesetaraan dengan lingkungan total John S.
Nimpoeno. Yaitu, sistem lingkungan sebagai wujud dari bentuk, sistem konsep
sebagai wujud meaning serta sistem sosial sebagai fungsi, ketiga elemen
tersebut digerakkan oleh adanya kehendak dari sistem masyarakat. Dalam
ketika sistem tersebut menurut Nimpoeno kembali terjalin suatu
interdependensi. Yang memperlihatkan dua jalur arah proses, yaitu jalur
adaptif dan jalur pengembangan.
Selanjutnya dimensi arsitektur tersebut, fungsi, makna dan bentuk menurut
Capon yang dikembangkan oleh Purnama Salura, memiliki pasangan primary –
secondary, yaitu; fungsi berpasangan dengan konteks, makna berpasangan
dengan tampilan pesan, serta bentuk berpasangan dengan struktur. Dalam
telaah ini sebagaimana telaah arsitektur perumahan yang diuraikan dalam
bahasan ini sebatas pada kasus arsitektur rusunami.
Dengan isu utama fungsi-fungsi dasar sebuah hunian belum terwadahi secara
utuh dalam ruang arsitektur rusunami. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
keterbatasan ruang (form), yang diperuntukkan sebagai wadah aktifitas
manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Yaitu aktifitas (function)
yang digerakkan sesuai dengan tata nilai (meaning) yang dianut oleh
masyarakat. Atas dasar tersebut penghuni akan melakukan berbagai upaya
modifikasi perilaku dengan mengubah tata nilai (meaning) maupun modifikasi
ruang sebagai representasi dari bentuk (form). Sehingga antara bentuk dan
makna terjadi dinamika , yang disebabkan oleh pergeseran persepsi, yang
dibangun antara bentuk serta makna.
Dinamika pengaruh bentuk terhadap perubahan sistem makna, terjadi
dikarenakan antara kedua elemen arsitektur ini terjadi pembentukan persepsi.
Dimana persepsi bentuk akan menghasilkan makna. Demikian juga dengan
makna, akan dipersepsikan juga terhadap bentuk, melalui proses relevansi
bentuk terhadap makna.
Proses-proses tersebut, menghasilkan penormaan atau pembentukan tata nilai
.Yang akan di tempatkan terhadap bentuk (form), sebagai simbol dari tata nilai
yang diterima secara kolektif.
Proses pemaknaan bentuk arsitektur dilakukan melalui dua tahapan. Yaitu
tahap identifikasi bentuk dan tahap relevansi bentuk. Dalam proses relevansi
penghuni akan membandingkan (merelevankan) dengan pengetahuan
[172]
lingkungan sebelumnya (spatial cognition). Pada saat proses identifikasi
belangsung spatial cognition dari penghuni sudah mulai memengaruhi, dimana
kejadiannya senantiasa bersamaan dengan proses relevansi dengan tata nilai
yang dibawa.
Dinamika yang terjadi dalam proses pemaknaan akan berpengaruh terhadap
aktifitas, sebagai wujud dari sistem fungsi. Proses-proses antara kedua sistem
ini merupakan proses sosiokultural. Yaitu ketika pemaknaan yang dihasilkan
dari proses identifikasi-relevansi di atas tidak ditemukan adanya kecocokan
dengan tata nilai yang dianut.
Maka tahap adaptasi dimulai dengan melakukan modifikasi perilaku (aktifitas)
dalam wujud pola kegiatannya. Proses perubahan tersebut berlangsung sebagai
proses sosialisasi yang terjadi pada diri seseorang sebagai individu sampai
dengan tingkat kolektif, dan berlangsung juga pada skala waktu yakni dari
generasi ke generasi melalui proses sosialisasi di atas.
Proses sosialisasi bila mengusung suatu objek yang benar, maka akan
menghasilkan generasi yang lebih baik. Namun bila objek sosialisasi itu
memiliki kekeliruan, maka akan terjadi degradasi sosial budaya.
Dampak dari persoalan tersebut adalah menurunnya kualitas sumber daya
manusia di kemudian hari, yang terlahir dari lingkungan demikian. Selanjutnya
tampak bahwa peran rumah sebagai tempat hunian, harus memiliki wadah yang
cocok dengan tata nilai. Yang juga ditentukan oleh pemenuhan minimum dari
kebutuhan dasar manusia, dalam melakukan aktifitas-aktifitas kehidupan dan
penghidupan . Dalam sebuah keluarga di antara komunitas perumahan.
Kegiatan-kegiatan dasar manusia sangat ditentukan oleh adanya kebutuhan
(need) dalam dirinya. Pemenuhan kebutuhan tersebut akan menjelma dalam
bentuk aktifitas manusia, yang direpresentasikan dalam pemenuhan kebutuhan
ruang. Kebutuhan manusia memiliki sifat dinamis, sehingga pada titik tertentu
kebutuhan tersebut akan berubah menjadi keinginan (want). Ketika hal tersebut
terjadi pada sistem hunian, maka rumah sebagai pemenuhan kebutuhan
mengalami perubahan menjadi keinginan, maka fungsi rumah akan bergeser
menjadi wadah ekspresi jati diri pemiliknya.
Dimensi arsitektur perumahan yang meliputi fungsi, bentuk, dan makna
mengalami pergeseran sangat dinamis dibandingkan dengan fungsi-fungsi lain.
Hal ini disebabkan oleh adanya sifat pertumbuhan dari pengguna. Ini dapat
dijelaskan sebagai berikut; “Sebuah rumah yang pada awalnya dihuni oleh
sebuah pasangan muda. Selanjutnya beberapa tahun kemudian pasangan
tersebut akan berkembang menjadi pasangan muda dengan satu atau beberapa
balita. Demikian selanjutnya, tumbuh menjadi pasangan dengan beberapa anak
remaja sampai dewasa, dan pada akhirnya kembali menjadi pasangan lansia
dengan komposisi dua anggota saja”.
[173]
Dinamika perubahan tersebut disebabkan diikuti oleh kebutuhan yang juga
bergerak dinamis. Sehingga perubahan tata nilai yang terjadi, akan mengubah
aktifitas, yang diikuti dengan perubahan lingkungan, agar kebutuhan yang
berkembang tersebut dapat terwadahi. Proses perubahan tersebut berlangsung
dengan diikuti oleh pembentukan persepsi, intepretasi, pemaknaan, dan adanya
adaptasi.
Persepsi
Persepsi merupakan proses penerimaan seseorang terhadap sebuah tanda,
sebagai bagian dari sebuah pesan, yang dalam hal ini disampaikan oleh
bangunan atau lingkungan. Persepsi berlangsung dikarenakan kemampuan
manusia , untuk menangkap sebuah tanda melalui media inderawi manusia.
Persepsi menurut Giffond yang dikutip dari Helen Ross, menyatakan bahwa
“we know a great deal about the perception of one-eyed man with his head in a
clamp whaching glowing lights in a dark room, but surprisingly little about his
perceptual abilities in a real-life situation”.
Persepsi lingkungan, meliputi kumpulan informasi , yang diproses secara
bertahap, dan dimaknai secara cognitif melalui media inderawi. Persepsi dapat
timbul berbeda terhadap suatu objek , ketika sebelumnya mengalami suatu
pengalaman yang lain. Seperti dapat dilihat pada theori Gestalt, akibat latar
belakang yang berbeda seseorang akan mempersepsikan sesuatu berbeda
dengan umumnya.
Demikian halnya pada penghuni rusunami, dimana sejumlah penghuni
berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebagai sebuah karakter
masyarakat perkotaan, maka pada tahap awal kelompok masyarakat tersebut
akan masuk secara bersamaan ke dalam bangunan bersama. Lalu perbedaan
persepsi pada tahap awal akan terjadi. Selanjutnya perbedaan persepsi individu
tersebut akan berinteraksi antara sesama, sebagai proses sosialisasi, yang akan
berakhir pada pembentukan persepsi kolektif. Peristiwa tersebut merupakan
tahap awal dalam proses adaptasi sosial-budaya, dimana akan terjadi proses
asimilasi maupun akulturasi diantara berbagai bentuk persepsi yang berbeda-
beda tadi.
Pada tahap selanjutnya, ketika persepsi kolektif terbentuk, maka akan
membangun tata nilai bersama, yang memengaruhi perilaku kolektif sebagai
wujud budaya. Hal ini sangat memungkinkan budaya yang terbentuk dalam
lingkungan rumah susun merupakan perwujudan dari budaya rumah susun.
Budaya rumah susun yang dilandasi oleh tata nilai kolektif di atas, akan
memengaruhi perwujudan lingkungan rumah susun itu sendiri. Baik pada skala
ruang dalam maupun ruang luar. Dikarenakan adanya ketidak cocokan tata
nilai yang dibangun secara kolektif dengan ketersedian ruang yang ada, maka

[174]
masyarakat akan melakukan modifikasi terhadap arsitektur rusunami, yang
disediakan oleh pengembang.
Proses modifikasi elemen-elemen arsitektur juga disampaikan oleh Simon
Unwin, tentang elemen arsitektur dan mengelola serta mengolah elemen
arsitektur. Bahwa elemen arsitektur terdari dari dua aspek utama yaitu, wujud
fisik dan wujud non fisik. Wujud fisik yang dijelaskan dalam bentuk tempat,
yang memiliki batas-batas yang jelas dalam bentukan fisik, yang terdiri wujud
masa dan ruang. Selanjutnya elemen arsitektur non fisik diwujudkan dalam
bentuk energi. Keduanya saling berinteraksi membentuk sebuah proses
pengolahan dan pembentukan wujud fisik dan saling berinteraksi satu dengan
yang lainnya, sehingga terciptanya sebuah atau beberapa persepsi.
Syarat utama terbentuknya persepsi adalah adanya interaksi, dan proses
interaksi yang benar adalah ketika terjadi proses komunikasi. Komunikasi
antara receiver ( dalam hal ini penghuni ) dan hunian beserta lingkungannya
sebagai transmiter harus memiki pesan. Kemudian pesan itu yang akan
diterima oleh penghuni dalam bentuk persepsi. Ketika persepsi yang diterima
penghuni memiliki kecocokan dengan pesan yang disampaikan oleh bangunan,
maka wujud arsitektur tersebut telah membuat proses adaptasi berjalan dengan
baik. Namun kenyataan yang kerap terjadi adalah, pesan dari rumah susun
tidak memiliki kecocokan dengan persepsi yang dibangun oleh penghuni.
Wujud fisik arsitektur dalam bentuk tempat memiliki batas-batas yang
membentuk ruang. Batas-batas tersebut dapat berupa batas fisik maupun non
fisik. Batas fisik dari suatu material tertentu, yang memiliki tekstur. Dengan
karakter masif atau transparan. Sebuah ruang yang terbentuk akibat adanya
batas-batas yang dibentuk oleh elemen pembagi tersebut, yang akan memiliki
kualitas ruang , yang dipengaruhi oleh faktor cahaya, warna, temperatur, suara,
dan pergerakan udara.
Dalam proses komunikasi arsitektur, wujud masa dan ruang yang memiliki
tekstur dan sifat transparan masif tersebut, dinyatakan pengolah pesan sebagai
sumber komunikasi.
Sedangkan cahaya, warna, temperatur, suara, dan pergerakan udara merupakan
media komunikasi, pesan tersebut diterima oleh panca indera manusia dan
membangun persepsi pada manusia. Proses komunikasi dalam arsitektur dapat
jelaskan melalui Bagan 3.
Identifikasi tempat sebagai sebuah pesan dalam komunikasi arsitektur,
dibentuk oleh elemen-elemen dasar arsitektur yang bersifat fisik. Seperti unsur
masa (berat/ringan), unsur ruang yang dibentuk oleh batasan fisik (dinding,
tanaman, dsb), tekstur (kasar/halus), elemen-elemen tersebut merupakan
elemen dasar yang memberikan identitas sebuah tempat. Selanjutnya melalui
media, pesan tersebut disampaikan kepada penerima , dan diterima melalui
[175]
inderawi manusia. Media utama dalam penyampai pesan arsitektur adalah,
unsur visual melalui media cahaya, pendengaran melalui unsur udara, dan rasa
melalui media kulit/tubuh.

Masa: tekstur, warna, Media :


transparansi, bobot 1. Cahaya
2. Warna
3. Temperatur
4. Udara
Pesan 5. Suara
6. Penciuman
Ruang: skala,
dimensi,

Bagan 3. Komunikasi melalui pengolahan elemen arsitektur

Inderawi manusia memiliki peran penting dalam penerimaan pesan. Pesan yang
diterima tersebut akan dipersepsikan oleh manusia. Setiap individu memiliki
kemampuan penerimaan persepsi yang berbeda-beda. Dan persepsi tersebut
dapat berkembang pada setiap individu dengan tingkat perkembangan yang
berbeda-beda. Perbedaan persepsi tersebut memancing interaksi antara
manusia. Proses interaksi tersebut mendorong ilmu pengetahuan berkembang.
Hal ini lah yang memungkinkan pengembangan ilmu arsitektur terjadi.
Pemaknaan
Menurut KBBI, makna adalah “menekankan arti/meaning, sebagai maksud
yang dikandung”. Ketika arsitektur membahas kata makna, terdapat beberapa
pandangan akan makna, antara pro dan kontra terhadap pemaknaan dalam
arsitektur, karena sifat makna tersebut dapat dipersepsikan berbeda-beda oleh
pengguna bangunan. Bahkan makna yang ditanamkan ke dalam bangunan oleh
perancangnya , dapat dipersepsikan berbeda oleh pengguna bangunan. Para
pendukung aliran makna seperti Ferdinand de Saussure, Roland Barthes,
Jaques Derrida, dll makna banyak dikaitkan dengan bahasa. Dalam pengertian
bahasa makna terdapat pada komunikasi verbal maupun non verbal.
Makna dilihat dari sudut psikologi lingkungan, menurut Gifford “meaning is
used broadly to characterize research on environmental perception,
description, evaluation, or emotion, ….. that place meaning is intricatetly
connected to an individuall’s planned activities”. Selanjutnya Giffond
menjelaskan terdapat empat perbedaan berdasarkan proses, yaitu:
 Place attachment, pengalaman yang luar biasa (ekstrem) pada
keadaan suatu tempat, terjadi setelah berjalan lama, seseorang akan
memberikan penilaian suatu tempat akan memberikan pengalaman
ruang yang berupa kualitas, keindahan, atau memberikan perubahan
dan pilihan untuk mendapatkan manfaatnya.
[176]
 Ideological communication, terjadi melalui bangunan atau tempat
yang memberikan arti dalam tingkat filosofi, arsitektur, politik
terhadap siapa saja yang melihat objek bangunan atau ruang tadi.
 Personal communication, apa yang dikatakan bangunan untuk diamati
terhadap penggunaan
 Architectural purpose, penilaian terhadap suatu fungsi bangunan
dalam hubungan terhadap bentuk atau penampilan.

Proses tersebut dapat dijelaskan pada Bagan 4.

Bagan 4. Dinamika pemaknaan ruang dalam arsitektur

Pada tahap ini tingkat kesamaan antara makna dan persepsi tidak menjadi
sangat penting. Bahwa seorang perencana tidak perlu memaksakan pesannya
diterima sama oleh si penerima. Yang terpenting adalah bahwa setiap pesan
yang disampaikan dalam bangunan dapat memberikan respon sesuai dengan
yang diharapkan oleh si perencana.
Sebuah nilai-lah yang membuat wujud arsitektur akan menjadi bagian bagi
pengguna bangunan. Seolah-olah bahwa pengguna bangunan tersebut tidak
dapat melepaskan dari bangunannya. Hal ini seperti tahapan Mitis yang
disampaikan oleh Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan. Ketika wujud
arsitektur sangat memiliki keterikatan yang kuat dengan penggunannya, hal ini
menunjukkan bahwa wujud arsitektur tersebut memiliki nilai-nilai positif, yang
dapat memberikan pengaruh positif terhadap pengguna bangunan tersebut.
[177]
Adaptasi
Terdapat dua macam perubahan yang terjadi pada manusia. Pertama adalah
perubahan yang terjadi dari sebuah konsekuensi manusia sebagai mahluk
hidup, yang mengalami pertumbuhan secara genetik. Mulai dari embrio,
tumbuh menjadi bayi yang siap lahir, setelah lahir tumbuh menjadi anak-anak,
kemudian remaja, dewasa, lansia dan akhirnya kematian. Perubahan kedua
adalah perubahan yang berkaitan dengan psikologi, yaitu perubahan yang
disebabkan oleh kebutuhan untuk mempertahan kehidupan. Dalam proses
mempertahankan kehidupan tersebut, manusia akan berusaha untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Seperti kebutuhan akan
nutrisi, air, udara, maupun perlindungan.
Dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, manusia melakukan
upaya-upaya penyesuaian /adaptasi dengan alam. Demikian halnya pada saat
ini, ketika sebuah masyarakat memasuki lingkungan hunian baru, maka akan
melakukan proses adaptasi pada dirinya dan lingkungannya .Melalui perubahan
perilaku maupun intervensi manusia untuk mengubah lingkungannya , sesuai
dengan kondisi fisik manusia-nya. Jadi perubahan-perubahan tersebut terjadi
pada lingkungan fisik, disertai dengan lingkungan sosial-budaya
masyarakatnya.

11.4. Dinamika Perubahan


Modifikasi Ruang
Satuan unit hunian pada rumah susun secara fisik tidak dimungkinkan untuk
dapat dikembangkan lebih lanjut. Baik ke arah horizontal maupun ke arah
vertikal. Akibatnya untuk sebuah unit hunian dengan luas tertentu, hanya akan
mampu mendukung aktifitas dengan sejumlah anggota keluarga tertentu pula.
Hal tersebut bertentangan dengan konsep sebuah keluarga.
Anggota keluarga yang tinggal dalam unit hunian tersebut mengalami
pertumbuhan, baik secara fisik maupun secara sosial. Pertumbuhan fisik dalam
bentuk penambahan jumlah anggota keluarga maupun pertumbuhan sifat
kedewasaan (muda – tua) yang menjadi landasan dalam proses pertumbuhan
sosial-budaya. Namun kenyataannya pertumbuhan sosial-budaya tersebut tidak
dapat diwadahi oleh pertumbuhan fisik hunian, sehingga menimbulkan peluang
penurunan kualitas ruang fisik unit hunian. Penurunan tersebut disebabkan oleh
peningkatan kepadatan serta, yang berakibat pada penurunan pemenuhan ruang
per jiwa.
Seperti diuraikan di atas, manusia sebagai mahluk sosial memiliki kemampuan
untuk melakukan adaptasi. Karena manusia memiliki akal. Kemampuan
tersebut tumbuh dalam upaya untuk mempertahankan keberlangsungan
hidupnya. Kemampuan manusia untuk beradaptasi dalam rumah susun
[178]
,ditunjukkan oleh fenomena-fenomena dalam proses pembentukan ruang.
Tentunya pada unit rumah susun yang dihuni oleh keluarga inti, yaitu keluarga
yang terdiri dari orang tua dan dua orang anak.
Ketika pertama kali sebuah keluarga menghuni sebuah hunian baru, maka pada
tahap awal akan melakukan identifikasi ruang private. Ruang privacy pertama-
tama dibentuk dengan memberikan penyekatan ruang dengan menggunakan
tirai dari bahan kain (Gambar 2). Ruang private merupakan juga simbol dari
penguasaan akan ruang. Dalam komposisi keluarga umumnya orang tua
memiliki posisi tertinggi dalam penguasaan, sehingga tahap awal ruang private
yang dibangun adalah ruang tidur orang tua. Pola pembentukan ruang tersebut
dibangun dengan membuat batas fisik yang jelas, seperti tirai, perabot yang
memiliki ukuran tinggi yang memadai untuk penyekat ruang (devider), atau
membangun partisi permanen dengan bahan kayu lapis.

Private: ruang tidur


anak laki-laki atau
perempuan

Private tinggi: ruang


tidur orang tua

Gudang :
penyimpanan barang-
barang memiliki nilai

Gambar 2. Proses adaptasi pembentukan ruang privat pada kondisi ekstrim


Ruang private selanjutnya adalah ruang tidur anak. Pada beberapa unit hunian
dengan ukuran ruang yang lebih kecil, cukup sulit bagi masyarakat untuk
membangun ruang private kedua ini. Beberapa upaya pembentukan ruang yang
dilakukan, adalah dengan memanfaatkan tempat tidur susun. Dimana tempat
tidur susun oleh penghuni dipersepsikan menjadi dua buah ruang yang berbeda.
Hal ini ditunjukkan dengan mem-fungsikan tempat tidur bawah menjadi kamar
tidur anak perempuan, dan tempat tidur di atasnya menjadi tempat tidur anak
laki-laki. Kondisi tersebut berlaku untuk keluarga yang memiliki anak yang
terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pada kasus komposisi anak berjenis

[179]
kelamin sama, maka tempat tidur susun ini juga sering digunakan sebagai
ruang tidur orang tua di bawah dan tempat tidur anak di atas.
Modifikasi ruang pada ruang-ruang private ini banyak yang mengabaikan
aspek kesehatan maupun kenyaman. Karena volume ruang yang tersedia bagi
setiap jiwa menjadi sangat minim, selain itu juga aspek pencahayaan serta
sirkulasi udara tidak dapat berlangsung dengan baik.
Bagi orang tua yang merasakan kenyamannya tergganggu akibat pembagian
ruang secara vertikal pada tempat tidur susun, akhirnya membiarkan anak-anak
untuk menempati ruang private-nya pada ruang duduk. Sehingga anak-anak
tidur di atas sofa atau menggelar karpet/tikar di atas lantai.
Namun berbeda perlakuan pada anak perempuan, orang tua ada upaya untuk
menempatkan ruang yang lebih private, terutama bagi anak perempuan yang
sudah remaja. Hal ini menunjukkan sifat anak perempuan yang lebih
membutuhkan privacy tinggi. Dengan demkian terdapat perbedaan kebutuhan
ruang yang cukup signifikan antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
Pembentukan ruang private pada pasangan muda, memiliki pola penanganan
yang lebih sederhana. Yaitu cukup dengan menempatkan bahan-bahan lapisan
lantai yang memiliki sifat lembut, seperti karpet berbulu, lampit, kasur, sampai
dengan menempatkan tempat tidur di atas lantai. Penempatan tempat tidur oleh
masyarakat digunakan juga sebagai pembentukan ruang secara vertikal, bila di
atas tadi tempat tidur susun dapat membagi ruang menjadi dua bagian, yaitu
ruang tidur atas dan ruang tidur bawah, juga pada bagian kolong tempat tidur
masih dipersepsikan sebagai ruang gudang (tempat penyimpanan bara-barang).
Sehingga dengan ketinggian ruang rata-rata 2.80, penghuni mampu
memanfaatkan menjadi tiga lapisan ruang. Dalam persepsi penghuni tentunya
luas ruang menjadi lebih luas, namun volume ruang tetap. Kecenderungan arah
modifikasi ruang pada unit hunian bergerak pada arah vertikal, sedikit sekali ke
arah horizontal , yang memiliki resiko konflik tinggi bila dilakukan.
Pemilihan perabot rumah tangga pada masyarakat yang tinggal dalam rumah
susun, sudah banyak yang mampu memilih dengan perabot-perabot yang lebih
kecil tapi muatan besar. Serta bahan-bahan yang ringan serta praktis, seperti
perabot yang dapat dibongkar pasang baik dari bahan plastik maupun dari
bahan partikel board. Pada sisi ini banyak penghuni yang mengeluhkan
ketersediaan perabot di pasaran yang cocok dengan rumah susun.
Membangun semi-private space, ruang ini adalah ruang-ruang yang
menampung aktifitas keluarga inti. Seperti makan-minum bersama, rekreasi
rumah dalam hal ini menonton televisi atau sekedar berbincang antara anggota
keluarga. Atau menerima tamu dari keluarga dekat. Ruang-ruang ini pada
umumnya masih diperjuangkan keberadaannya oleh penghuni, karena pada
ruang tersebut jumlah waktu tinggal-nya lebih lama. Walaupun nilai privacy-
[180]
nya lebih rendah dari ruang tidur, namun peran ruang ini oleh penghuni
dimaknai lebih tinggi dibandingkan dengan ruang tidur.
Pada ruang tidur akhirnya penghuni bersikap pasrah, sudah merasa cukup
apabila ruang tersebut dapat menampung aktifitas dalam posisi merebahkan
diri, meskipun hal ini menurunkan makna akan ruang tidur secara umum,
dimana ruang tidur juga dapat digunakan sebagai ruang yang menampung
aktifitas manusia dalam posisi duduk atau berdiri, seperti berhias, ganti
pakaian, dsb.
Akibat dari aktifitas private yang tertampung dalam ruang tidur hanya kegiatan
dengan posisi merebah, maka kegiatan private lainnya dilakukan di ruang
semi-private. Untuk itu, ruang tengah memiliki nilai yang lebih bermakna bagi
penghuni. Ruang tengah mengalami transpormasi menjadi ruang multi fungsi.
Dimana selanjutnya akan menjadi ruang tamu, juga merupakan bagian dari
ruang semi-publik. Karakteristik ruang multi fungsi ini juga ditandai dengan
pola aktifitas manusia yang terjadi di dalam-nya, yaitu aktifitas berdiri, aktifitas
duduk, sampai dengan aktiftas rebah.
Membangun semi-public space diterjemahkan sebagai teras dan ruang tamu
pada unit hunian yang lebih besar. Umumnya ruang-ruang ini tidak ditemukan
pada rusunami. Hal ini mengakibatkan konflik ruang. Akibatnya ruang tamu
menjadi sangat tidak penting maknanya bagi penghuni rumah susun. Apabila
diperlukan, maka tamu akan ditempatkan di ruang semi-private (ruang
keluarga), atau pada teras imaginer, yaitu koridor sebagai ruang publik yang
diintervensi menjadi ruang private sebuah rumah. Dengan demikian ruang
semi-publik pada rumah susun memiliki dimensi yang sangat tipis, sulit untuk
didefinisikan, bahkan dapat dinyatakan hilang (hidden space) , karena tidak
memiliki batas yang jelas. Bahkan perwujudannya kadang ada kadang tidak
ada.
Membangun public space, teras dan halaman pada sistem hunian landed
merupakan area yang didefinisikan sebagai ruang publik. Pada kasus rumah
susun, umumnya tidak ditemukan teras, dan tidak memiliki halaman pribadi
tentunya.
Hilangnya public space pada unit hunian rumah susun, menuntut penghuni
untuk tetap membangunnya dalam skala persepsi ruang. Maka koridor yang
berada pada batas ruang semi-public diintervensi menjadi ruang publik hunian,
sehingga para penghuni mempersepsikan koridor sebagai milik. Hal ini
bertentangan dengan fungsi koridor sebagai ruang miliki bersama.

[181]
Gambar 3. Bentuk intervensi ruang
privat terhadap ruang publik

Walapun penghuni memiliki


persepsi sebagai ruang milik ,
namun pada skala komunitas, tetap
menuntut koridor sebagai ruang
sirkulasi bersama . Yang
menghubungkan unit-unit hunian.
Sehingga area koridor ini sering
menjadi daerah konflik ruang
diantara penghuni rumah susun.
Pola-pola pembentukan ruang
publik hunian tersebut, penghuni
tidak segan-segan melakukan
penguasaan dengan menempatkan
perabot seperti kursi, pot bunga, meja, dsb. Penempatan berbagai penandaan
penguasaan tersebut telah mengakibatkan semakin tipis fungsi koridor sebagai
fungsi sirkulasi. Tentunya hal ini sangat berbahaya pada kondisi keadaan
darurat , yang akan menggangu proses evakuasi penghuni.
Membangun service space, meliputi ruang dapur, ruang mandi cuci dan kakus,
gudang serta jemur. Budaya masak memasak buat sebagian besar masyarakat
Indonesia merupakan kegiatan yang belum dapat dikurangi, dan intensitasnya
sangat tinggi. Karenanya kebutuhan dapur bagi masyarakat sangat penting
,dan memerlukan ruang yang cukup luas. Hal ini dapat dilihat pada pola dapur
pada perumahan tradisional. Dimana dapur dikaitkan dengan peran seorang ibu
dalam sebuah keluarga.
Namun akibat keterbatasan ruang dapur dalam unit hunian, maka kegiatan
masak memasak ini mengintervensi ruang jemur serta ruang keluarga. Bahkan
sampai dengan kamar mandi, sehingga faktor kesehatan menjadi terabaikan.
Demikian juga dengan fungsi jemur, hampir sebagian besar penghuni
melakukan intervensi pada ruang-ruang bersama. Dan menjadi sebuah
pemandangan yang cukup mengganggu lingkungan. Sama halnya dengan
ruang gudang, yang tidak tersedia dalam rumah susun. Padahal sebagian besar
masyarakat kita masih sangat dipengaruhi oleh unsur benda-benda, keterikatan
jiwa antara individu dengan benda masih cukup tinggi (mitik – Van Peursen).
Bagi seseorang sangat sulit sekali melepaskan barang-barang miliknya ,
sekalipun tidak lagi berguna. Sehingga gudang masih sangat penting
keberadaannya.

[182]
Modifikasi ruang untuk membentuk gudang, ditempatkan pada bagian kolong
tempat tidur atau kursi tamu. Selain itu banyak pembentukan ruang gudang ini
pada bagian langit-langit. Seperti menggantungkan pada pipa-pipa utilitas
bangunan atau membuat rak. Penempatannya tidak saja di dalam unit hunian
yang berada dalam penguasaannya, akan tetapi di tempatkan pada ruang-ruang
bersama. Misalkan di koridor, bordes tangga, tangga darurat, atau ruang
utilitas bangunan seperti tempat meter air, panel listrik dsb.
Keterbatasan ruang dalam rumah susun tidak menghentikan upaya penghuni
untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Kemudian untuk itu penghuni tetap
membangun ruang-ruang tersebut pada skala persepsi, artinya ruang
didefinisikan dengan batas yang tidak jelas. Bahkan dapat dinyatakan tidak
berwujud, akan tetapi ruang tersebut ada ketika penghuni membutuhkannya.
Ruang-ruang pada rumah susun seperti bunglon, akan selalu beradaptasi sesuai
dengan kebutuhan. Warna ruang akan ditentukan oleh aktifitas yang
berlangsung pada skala waktu. Ketika malam ruang keluarga akan menjadi
ruang tidur, dan pada saat siang ruang tersebut juga akan menjadi ruang setrika
atau kegiatan dapur.
Juga pada saat sore ketika seluruh anggota keluarga berkumpul, maka akan
menjadi ruang keluarga. Jadi pola-pola ruang pada rumah susun dengan
keterbatasan ruang tidak sepenuhnya dinyatakan sebagi ruang multi fungsi,
akan tetapi terjadi perubahan pada level persepsi.

Modifikasi Aktivitas dan Perilaku


Keterbatasan ruang juga pada akhirnya akan disikapi oleh penghuni dengan
memodifikasi aktifitas atau perilaku. Biasanya masyarakat bila melakukan
aktifitas makan dengan duduk di meja makan, maka pada rumah susun
kegiatan tersebut dilakukan dengan duduk di sofa sambil memegang piring
atau duduk dilantai dan menempatkan piring di atas meja tamu. Sehingga pada
generasi yang lahir dan tumbuh pada lingkungan demikian akan menjadi kaku
ketika harus makan di meja makan dengan menggunakan sendok dan garpu,
kerena kegiatan makan dan kegiatan-kegiatan lainnya dibuat lebih simpel.
Pegeseran pada aktifitas masak memasak yang menjadi kebiasaan masyarakat
juga terpengaruhi. Sebagai akibat keterbatasan luas dapur, serta kedekatan
jarak antara satu unit hunian dengan hunian lainnya semakin rapat. Masyarakat
jadi enggan melakukan kegiatan masak yang berlebihan. Bahkan fenomena
baru , banyak penghuni rumah susun yang mengurangi atau bahkan tidak
melakukan sama sekali kegiatan memasak. Sebagai gantinya adalah dengan
membeli makanan jadi. Maka tidak heran, fenomena tersebut ditangkap
sebagai peluang usaha baru, sehingga masyarakat membuka warung-warung
masakan jadi.
[183]
3 3
2
2
1
Gambar 4 . Tiga pola aktifitas dasar manusia yang mengalami perubahan dalam
ruang rumah susun sederhana milik, mengalami transformasi dari aspek
kuantitas terhadap fungsi ruang

Perubahan perilaku yang tidak diharapkan adalah apa yang terjadi pada anak-
anak. Akibat keterbatasan ruang private bagi anak-anak, maka mereka tidak
kerasan tinggal berlama-lama dalam rumah. Ini mengakibatkan komunikasi
antara anak dan orang tua semakin jarang. Anak akan mencari tempatnya di
luar rumah, yang lambat laun hal tersebut dapat menimbulkan kenakalan pada
anak-anak dan remaja. Tentunya perubahan-perubahan yang demikian tidak
diharapkan terjadi pada lingkungan rumah susun.
Telaah modifikasi perilaku ini merupakan ranah telaah sosial, sehingga
pembahasan perubahan perilaku ini perlu dikebangkan lebih lanjut dengan
pendekatan sisi sosial. Perubahan perilaku yang berlangsung dalam waktu
tertentu akan membentuk kebiasaan kolektif yang menjadi budaya.
Pembentukan Budaya pada Rumah Susun
Walaupun telaah ini lebih difokuskan pada telaah ruang, namun
konsekuensinya tidak terlepas dari perubahan perilaku, yang merupakan dasar
pembentukan sebuah budaya baru, yaitu budaya rumah susun. Budaya tersebut
terbentuk dikarenakan oleh lingkungan fisik rumah susun.
Pola-pola budaya seperti apa yang terbentuk dalam lingkungan rumah susun di
Indonesia, diperlukan telaah lebih lanjut. Namun pada telaah ini, hanya dapat
ditarik sebuah hipotesa. Bahwa dalam keterbatasan rumah susun, akan
terbangun sebuah budaya baru, budaya rumah susun, yang merupakan hasil
dari sebuah proses adaptasi.

[184]
Upaya-upaya mempertahankan keberlangsungan hidup masyarakat dalam
keterbatasan ruang rumah susun, dilakukan melalui modifikasi ruang serta
modifikasi perilaku. Proses modifikasi tersebut akan berlangsung terus secara
dinamis. Kemudian akan berlangsung dari generasi ke generasi. Namun pada
tahap awal dinamika adaptasi tersebut, akan terjadi sangat intensif (cepat).
Sampai dengan menemukan titik kecocokan, antara perilaku pengguna dengan
kondisi ruang. Untuk selanjutnya dinamika adaptasi tersebut akan berlangsung
lebih lambat.
Wujud ruang rumah susun dapat menghasilkan nilai-nilai kehidupan baru pada
penghuni. Manakala penghuni berada pada posisi ruang sirkulasi antara unit
hunian, maka kualitas ruang yang terlalu intim antara ruang sirkulasi dengan
unit hunian, akan membangun suatu kedekatan antara kedua ruang tersebut. Ini
dapat mengakibatkan ruang unit hunian terganggu privacy-nya, juga ruang
koridor yang terganggu oleh ruang-ruang private, dari unit hunian yang
dilaluinya.
Beberapa pola dasar aktifitas yang dapat menjadi landasan perubahan budaya,
selain dipengaruhi oleh interaksi antara penghuni yang hererogen, juga
disebabkan oleh pola ruang. Hal tersebut dapat menimbulkan suatu kebiasaan
baru pada penghuni rusunami. Kebiasan baru yang berlaku pada suatu
komunitas akan membentuk suatu nilai-nilai yang menjadi landasan dalam
berperilaku. Proses tersebut yang merupakan embrio dari pembentukan budaya
dalam rusunami. Pembentukan budaya tersebut akan semakin kuat mengakar,
bila prosesnya berlangsung lama dan turun temurun. Khususnya pada generasi
berikutnya yang terlahir di lingkungan rusunami, dimana pada generasi
berikutnya nilai-nilai yang telah diadaptasikan oleh generasi sebelumnya
menjadi nilai-nilai kehidupan yang berlaku pada lingkungan tersebut.
Walaupun pada sisi lain , nilai-nilai tersebut juga dapat dipengaruhi oleh nilai-
nilai yang dibangun di atas regulasi, yang dibuat oleh pengelola ataupun oleh
pemerintah.
Pengalaman ruang yang berbeda antara unit hunian bersusun dengan tidak
bersusun, mengakibatkan terjadinya proses pemaknaan-pemaknaan baru.
Pemaknaan yang dihasilkan oleh pengalaman mengalami ruang, yang terjadi
berulang-ulang, serta berlangsung lama. Keterbatasan ruang merupakan sebuah
tantangan kehidupan manusia, untuk dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi
lingkungan yang cukup statis. Dimana keterbatasan fisik menurunkan
kemampuannya untuk dikembangkan.
Aspek-aspek tersebut yang merupakan landasan pembentukan sebuah budaya
rumah susun. Pembentukan budaya tersebut erat kaitannya dengan pengaruh
wujud disain. Sehingga telaah ini dapat digunakan sebagai landasan dalam
penggalian konsep disain rusunami, yang mampu memberikan peluang

[185]
pengembangan budaya yang lebih baik, dalam menghadapi tantangan dunia
yang lebih kompleks.

11.5. Penutup
Keterbatasan ruang pada rumah susun, tidak menjadikan begitu saja penghuni
pasrah terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi penghuni
akan senantiasa menghadirkan ruang-ruang yang diperlukan, sebagaimana
untuk memenuhi kebutuhan dasar akan ruang.
Ruang sebagai sarana dalam memenuhi aktifitas dasar manusia untuk
mempertahankan hidup. Adaptasi adalah sebuah proses perubahan yang
dilakukan oleh manusia terhadap diri dan lingkungan, perubahan tersebut
dilakukan melalui pola perilaku serta modifikasi lingkungan dengan
memanfaatkan teknologi.
Proses adaptasi yang dilakukan oleh penghuni pada rumah susun pada akhirnya
menghasilkan dua buah ruang esensial, yaitu ruang private yang menampung
aktifitas tidur/istirahat, serta ruang interaksi keluarga, di luar ruang servis.
Sedangkan untuk ruang-ruang lainnya cenderung diabaikan oleh penghuni,
artinya unit hunian cukup dikelompokkan menjadi dua kelompok saja,
sedangkan sisanya dikembangkan pada ruang-ruang milik bersama.
Dari fenomena proses adaptasi yang terjadi pada rumah susun, dapat
disimpulkan untuk sementara bahwa kebutuhan akan ruang pada rumah susun
belum dapat memenuhi kebutuhan manusia untuk menjalankan kehidupan yang
lebih layak, yaitu kebutuhan ruang yang mampu meningkatkan produktifitas
manusia. Terbangunnya kualitas manusia yang lebih baik, masih jauh untuk
dicapai . Hal ini mengingat pola adaptasi ruang yang dilakukan oleh penghuni,
cenderung mengabaikan aspek kesehatan secara fisik, maupun psikologis.
Keterbatasan ruang, selain menghasilkan pola ruang yang cenderung tidak
sehat, juga tingkat kepadatan yang terlalu tinggi untuk sebuah lingkungan
mengakibatkan seseorang dapat kehilangan ruang private. Hilangnya ruang
private pada tingkat individu maupun tingkat keluarga, akan mengakibatkan
keluarga atau individu tersebut stress, yaitu mengalami tekanan psikologis
yang terus menerus, pada rumah susun, akan menimbulkan persoalan sosial
dan kejiwaan. Hal ini perlu ditelaah lebih lanjut.

[186]
[12] Tata Nilai Sistem Hunian
Vertikal
Pada Permukiman Kota

12.1. Latar Belakang


Tata nilai hunian adalah norma-norma dalam suatu hunian yang dianut oleh
masyarakat dan dianggap baik, benar, serta indah, yang diterapkan pada konsep
arsitektur hunian oleh seuatu kelompok masyarakat. Hunian adalah sebuah
tempat di mana terjadi interaksi antara anggota keluarga. Nilai-nilai hunian
tersebut memengaruhi sistem kehidupan masyarakat, yang diwujudkan dalam
cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat. Nilai-nilai hunian dapat diukur
secara kualitatif maupun kuantitatif. Ketika nilai-nilai dapat diukur secara
kuantitatif, maka nilai-nilai dituangkan dalam bentuk standar, sedangkan untuk
nilai-nilai yang bersifat kualitatif biasanya bersifat dogma atau norma, tertulis
maupun tidak tertulis.
Telaah ini merupakan eksplorasi dari sebuah proses saling memengaruhi antara
adaptasi dan tata nila. Dinamika pembentukan tata nilai hunian, tidak dapat
dilepaskan dari perubahan lingkungan fisik yang direspon oleh manusia dalam
bentuk adaptasi, hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kehidupan dan
penghidupannya. Selanjutnya tata nilai yang dianut oleh masyarakat
berpengaruh terhadap perwujudan arsitektur tidak terlepas dari sistem
kehidupan dan penghidupan masyarakat-nya.
Pola-pola tata nilai hunian dapat dibaca melalui tata cara, kebiasaan, tata
kelakuan dan adat istiadat dalam proses penyediaan perumahan, mulai dari
tahap rencana membangun, pelaksanaan membangun, sampai dengan
pemeliharaan dan penghunian. Nilai-nilai tersebut memengaruhi pola kawasan
perumahan serta pada setiap rumah dan halaman, yang merupakan bagian dari
[187]
perumahan tersebut, termasuk sarana dan prasarana lingkungan perumahan
terbentuk dari pola tata nilai yang dianut oleh masyarakatnya.
Tata nilai hunian adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia mengenai
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau tidak indah,
dan benar atau salah yang berkonsekuensi pada bentukan arsitektur hunian.
Perwujudan tata nilai menurut Soekanto [1982] dalam sistem kehidupan
manusia tampil dalam bentuk; cara (usage), kebiasaan (folkways), tata
kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom). Dalam konteks arsitektural,
keempat unsur tersebut memberikan pengaruh terhadap bentukan arsitekturnya,
mulai dari tahap cara membangun, cara tinggal, dan berbagai tata cara lainnya
yang menyatu dalam sebuah pola dan menjadi sebuah tradisi.
Hunian vertikal merupakan istilah yang ditujukan pada sistem hunian yang
dibangun secara bersusun pada arah vertikal, dimana antara satu hunian pada
setiap lantainya berbeda pemilik. Pada konteks hunian vertikal, termasuk
rumah bersusun yang dihuni oleh berbagai kelompok sosial-ekonomi, dengan
sistem penguasaan dalam bentuk hak milik, hak sewa, maupun hak sewa-beli.
Permukiman adalah kelompok perumahan yang dilengkapi dengan satuan
wilayah usaha. Wilayah usaha dapat dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan
dan perdesaan, wilayah usaha pada lingkup perkotaan meliputi; perdagangan,
jasa serta industri. Sedangkan wilayah usaha di perdesaan berbentuk agraris,
pertanian maupun perikanan.
Intensitas kehidupan masyarakat kota yang begitu tinggi, sering kali
mengabaikan nilai-nilai kehidupan, yang bersumber dari agama, sosial-budaya,
termasuk nilai-nilai ideologi negara. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya
degradasi sosial pada kehidupan masyarakat perkotaan.

12.2. Tingkat Kebutuhan Hunian Vertikal


Ledakan penduduk di kota-kota besar di Indonesia saat ini, merupakan faktor
utama penyebab berbagai persoalan kota. Daya dukung lingkungan kota untuk
mewadahi penduduknya tidak memadai, sehingga menjadikan kota sebagai
episentrum kemiskinan, dimana tidak kurang dari 30 juta masyarakat berada
pada garis kemiskinan.
Luas wilayah perkotaan adalah 2% dari luas wilayah daratan, namun jumlah
penduduk yang tinggal di perkotaan adalah 60% penduduk dunia (dimana
Indonesia menjelang 50%), disamping itu, kota merupakan penyumbang
terbesar dalam hal emisi, yaitu 85% emisi berasal dari perkotaan. Saat ini, dua
dari tiga penduduk perkotaan di Indonesia tinggal di kawasan kumuh.
Pada akhirnya, kota menjadi beban bagi lingkungan hidup, karena tingkat
produktifitas kota-kota besar di Indonesia menjadi sangat rendah. Tingkat
[188]
konsumsi kota terhadap berbagai kebutuhan hidup berasal dari sumber daya
alam, yang di supplai sebagai besar dari sumber daya alam di perdesaan, yang
berada di lingkungan sekitarnya. Jadi persoalan utama perkotaan saat ini,
adalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan, keduanya mengakibatkan
berbagai persoalan sosial, seperti; vandalisme, kriminalitas, polusi yang terjadi
pada berbagai sumber kehidupan seperti air, udara maupun tanah. Sehingga
berdampak pada gangguan kesehatan masyarakat, yang membuat menurunnya
produktifitas manusia.
Kondisi tersebut menuntut dilakukannya efsiensi pemanfaat sumber daya yang
berada di dalam perkotaan maupun di luar perkotaan. Pendekatan efisiensi
tersebut tentunya dengan melakukan intensifikasi pada perencanaan
pengelolaan lingkungan kota, dengan mengkonsumsi sekecil-kecilnya sumber
daya untuk mendapatkan hasil yang diperlukan untuk memenuhi kehidupan
yang sebaik-baiknya.
Dengan demikian fungsi kota dimasa depan, tidak hanya sebatas fungsi
penggerak ekonomi saja akan tetapi juga harus menjadi pelopor dalam
penyediaan lingkungan hunian yang sehat dan produktif, sebagaimana
disampaikan oleh Mike Biddup [2007], dalam konsep kota masa depan harus
mengandung kaidah “kualitas lingkungan menjamin kehidupan masyarakat
yang lebih menuju arah kesinambungan; bentuk pergerakan yang lebih efisien;
dapat menerima kehidupan dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi dalam
upaya penghematan lahan, kebebasan anak-anak dalam bermain, ….
Menyiapkan ruang terbuka hijau”.
Faktanya di Indonesia saat ini, pengelolaan sumber daya masih sebatas sumber
daya air dan tanah, sedangkan udara belum menjadi perhatian besar dalam
pengelolaan sebagai salah satu unsur sumber daya. Sistem hunian vertikal
merupakan bentuk pengelolaan sumber daya udara, artinya bagaimana ruang
udara menjadi bagian kehidupan yang memberikan nilai-nilai sosial-ekonomi
bagi manusia.
Ketika nilai-nilai hunian tercapai pada suatu bangunan tempat tinggal, maka
tempat tinggal tersebut akan memberikan jiwa bagi penghuninya, sehingga
bangunan tersebut dapat menjadikan home bagi penghuninya, sebaliknya bila
nilai-nilai tesebut tidak hadir dalam bangunan maka bangunan tersebut sekedar
selter tidak bermakna (house).
Untuk membentuk sebuah masyarakat kota yang sehat dan produktif, perlu
diawali oleh penyediaan perumahan yang memiliki nilai-nilai kemanusian. Di
dalamnya terdapat simbol-simbol nilai kehidupan sekaligus tata kehidupan dan
pergaulan dari suatu komunitas.

[189]
12.3. Tinjauan Historis Hunian Vertikal
Embrio Hunian Vertikal
Sejarah perumahan mencatat bahwa hunian vertikal telah dimulai sejak jaman
Romawi, ketika Romawi mengalami puncak kejayaan, yang menjadi faktor
penarik untuk masyarakat lain pindah ke Romawi, hal tersebut mendorong
pertumbuhan penduduk sangat pesat. Pertumbuhan penduduk tersebut
mengakibatkan kekurangan perumahan, air bersih. Sampai dengan abad ke-3
SM telah dibangun 45.000 blok rumah-rumah secara bersusun dan 4.000 rumah
pribadi.
Perjalanan peradaban terus bergerak saling bergantian, terjadi pasang-surut
peradaban, sampai dengan ditemukannya mesin cetak, yang mendorong
penemuan berikutnya, yaitu mesin uap, sebagai pemicu terjadinya revolusi
industri. Dengan ditemukannya mesin uap, telah mendorong ditemukannya
berbagai peralatan mekanik yang digunakan pada bangunan, seperti mesin lif
oleh Otis, penemuan mensin lif ini mendorong pembangunan rumah bersusun
menjadi lebih tinggi. Selain itu teknologi bangunan terus berkembang pada
berbagai komponen bangunan yang memungkinkan membangun gedung
menjadi lebih tinggi lagi.
Untuk menalaah permasalahan tersebut, dapat dimulai dari perjalanan sejarah
perubahan-perubahan sosial-budaya yang cukup ekstrim, diantaranya ditandai
oleh perjalanan revolusi yang dimulai dari revolusi Gutenberg, Revolusi
Industri dan mungkin Revolusi Informasi saat ini. Dimulai pada abad ke –15
merupakan tanda dimulainya revolusi Gutenberg, dengan dimulainya
penemuan mesin pencetakan tulisan kedalam bentuk buku, Johannes
Gutenberg dianggap sebagai pelopornya.
Revolusi Gutenberg ini membuka peluang baru dalam penyebaran ilmu
pengetahuan termasuk pengembangan teknologi bangunan, banyak ilmu
pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya, pada akhirnya dapat
diterbitkan dalam bentuk buku dengan jumlah besar untuk disebar luaskan
keseluruh pelosok. Perkembangan teknologi bangunan melalui penyebarluasan
ini memungkinkan ditemukannya berbagai metoda dan peralatan bangunan
yang memungkinkan dibangunnya hunian vertikal.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan telah memungkinkan ilmu pengetahuan itu
dibaca dan dikembangkan oleh orang lain, karena ilmu pengetahuan itu sendiri
telah berkembang jauh sebelum revolusi gutenberg, seperti buku aljabar
pertama ditulis oleh Diophantus di Alexandria pada tahun 250 M, bahkan
ketinggian matahari telah dihitung di Cina sebelum kelahiran Kristus.
Abad ke –18 merupakan masa yang memisahkan cara dan gaya kehidupan,
pemisahan tersebut diawali di Inggris yang selanjutnya diikuti oleh daerah-
[190]
daerah lain, tepatnya pada abad ke-18 pada tahun 1769 telah ditemukan mesin
Uap sebagai awal dari Revolusi Industri. Sebelum revolusi industri manusia
mengerjakan pekerjaannya dengan alat-alat sederhana yang merupakan
kepanjangan dari anggota tubuhnya. Setelah revolusi industri semua pekerjaan
dikerjakan oleh mesin, yang mampu melakukan pekerjaan dengan lebih efisien
dan efektif.
Pada sisi perumahan, dampak sosial yang paling menonjol dari revolusi
Industri adalah ledakan penduduk. Sehingga pada saat itu dibangun kota-kota
industri, yang mengakibatkan perubahan dalam sistem mata pencaharian, dari
agraris menjadi industri dan jasa. Sehingga keberadaan lahan menjadi unsur
yang tidak terlalu penting dalam menunjang kehidupan masyarakatnya.
Urbanisasi merupakan dampak yang sangat menonjol dari periode revolusi
industri, akibat adanya jaringan-jaringan jalan baru, umumnya pelaku
urbanisasi ini adalah para buruh, mereka meninggali pusat-pusat kota yang
padat penduduk. Sehingga banyak melahirkan kawasan slum di pusat kota
yang dihuni oleh kelompok buruh.
Revolusi industri ini telah melahirkan industri perumahan yang dibuat secara
masal. Industrialisasi perumahan saat itu lebih memprioritaskan percepatan
pembangunan, agar supaya para buruh mendapatkan perumahan yang layak
dengan segera. Setara dengan kondisi di Indonesia saat itu, melalui percepatan
pembangunan rusuna, melalui program pembangunan 1000 Tower.
Dibidang arsitektur revolusi industri juga telah memengaruhi gaya arsitektur
yang selama itu dianut berubah, arsitektur menjadi suatu karya mesin, dengan
produksi masal yang mementingkan kecepatan dalam produksi. Era ini
merupakan era kejayaan arsitektur modern, yang dipelopori oleh Mies van der
Rohe dengan “less is more” yang menekankan pada fungsi, kesederhanaan dan
abstrak. Masa ini berlangsung cukup lama, yaitu antara abad ke-16 sampai
dengan awal abad ke-20. Ironisnya di Indonesia era modernisme ini masih
berlangsung.
Kehancuran era modernisme ditandai dengan kondisi yang menimbulkan
kejenuhan suatu kota maupun karya arsitektural, dimana segala sesuatu
menjadi tidak manusiawi yang memperlihatkan penurunan kesehatan,
kesenjangan sosial, kenyamanan dari kehidupan buruh pada umumnya.
Pembongkaran apartemen Pruitt-Igoe, St Louis karya Minoru Yamasaki (1952-
1955) telah dibongkar pada tahun 1972, yang disiarkan oleh beberapa stasiun
TV. Charles Jenck menyatakan bahwa arsitektur modern telah memiskinkan
bahasa arsitektur pada tingkat form (bentuk) serta memiskinkan arsitektur pada
level content (isi) dari tujuan sosial dibangunya karya arsitektur. Arsitektur
modern dianggap gagal berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Venturi juga akhirnya memathkan teori modernism dengan “less is bore”.

[191]
Tahapan Kehidupan menuju Hunian Vertikal
Tata nilai hunian terbentuk dari pola-pola beradaban, menurut HM Boodish
terdapat lima tahap proses pembentukan masyarakat, yang meliputi; (1) tahap
hunting and fishing, dimana pada tahapan ini kebutuhan manusia masih
dipenuhi oleh alam sepenuhnya, kegiatan memanen, memburu masih
merupakan kegiatan utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. (2) tahap
pastoral, yaitu tahap dimana manusia mulai tinggal menetap pada suatu daerah
untuk memanfaatkan sumber daya alam di tempatnya dalam memenuhi
kebutuhan. (3) tahap agricultural dimana manusia mulai mengulah lahan untuk
menuhi kebutuhan hidup, (4) tahap handicraft, yaitu ketika manusia
mengembangkan peralatan untuk melakukanan eksploitasi sumber daya alam.
(5) tahap industrial, merupakan tahap dimana kelebihan hasil sumber daya
alam sangat berlimpah dan manusia perlu peralatan untuk mengolah sumber
daya alam tersebut, pada tahap ini mendorong kegiatan pasar, dimana
kelebihan sumber daya tersebut dipertukarkan dengan kelompok lain yang
memeliki sumber daya yang berbeda.
Merujuk pada fenomena budaya yang terjadi dari perjalanan sejarah
kebudayaan, maka saat ini, dapat dinyatakan sebagai kelanjutan tahapan-
tahapan pembentukan karakter budaya tadi, yaitu; pada tahap postindustrial,
dimana produk industri melebihi kebutuhan, maka pada tahap ini diciptakanlah
pasar, yang membawa pada Tahap consumption, dimana kebutuhan manusia
bergeser menjadi keinginan-keinginan, yang mengakibatkan tingkat konsumsi
tinggi terhadap sumber daya alam. Pada akhirnya budaya instan menjadi
fenomena disetiap lini kehidupan, yang membentuk tata nilai kepraktisan
(hidup prakatis), kecepatan, kemudahan, dan sebaginya.
Pola kehidupan demikian memiliki kecocokan dengan kehidupan masyarakat
di perkotaan, tentunya untuk mendapatkan segala kebutuhan dan keinginannya
dengan cepat, dengan mudah, dan praktis, akan mudah didapat pada suatu
lingkungan perumahan yang compact. Pola-pola perumahan campuran dalam
suatu kawasan atau dalam sebuah blok lebih memberikan sarana tata nilai saat
ini.

12.4. Dinamika Perubahan Tata Nilai


Tata nilai secara umum dikenal sebagai norma, “norma sosial adalah
kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring
dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut
dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas
dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam
masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak
sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma
[192]
disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat
berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.”[Wikipedia.com]. sehingga
tata nilai adalah suatu aturan yang mengatur tata kehidupan manusia dalam
suatu kelompok masyarakat, telaah ini melihat keterkaitan antara tata nilai
dengan bentukan arsitektur, sebagaimana diketahui bahwa antara manusia
dengan lingkungan binaan terjadi interaksi (sesuai dengan berbagai teori yang
disampaikan oleh Lang; Gifford; Comte; dsb).
Sebuah tata nilai senantiasa mengalami perubahan-perubahan dari masa ke
masa, perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yang
meliputi faktor alam atau lingkungan fisik, faktor manusia itu sendiri atau
lingkungan fisiologis serta faktor teknologi atau lingkungan ilmu
pengetahuan. Dari ketiga faktor tersebut terjadi proses interaksi secara dinamis,
yang ditunjukkan pada Diagram 5 Proses tersebut dapat dijelaskan seperti dalam
uraian berikut;
Tahap awal (alam memengaruhi manusia)
Keberadaan alam merupakan sebuah sistem yang terdiri daris sistem-sistem
yang membentuk sebuah persyaratan dari sebuah kehidupan. Keberadaan
sistem alam tersebut dapat dilihat pada proses siklus hidrologi, dimana proses
pengolahan air yang telah digunakan oleh manusia akan dilakukan filtering
oleh alam melalui proses hidrologi, mulai dari pembentukan awan melalui
penguapan sampai dengan terjadinya hujan, selajutnya air hujan akan
menyerap ke dalam tanah dan sebagian dilewatkan melalui permukaan (run
off).
Proses alamiah demikian memengaruhi manusia dalam menjalani kehidupan
dan penghidupannya, sehingga terbentuk berbagai bentukan lingkungan binaan
yang berbeda-beda tergantung pada lingkungan tempat manusia itu berada. Hal
tersebut sebagai wujud dari pengaruh terbentuknya keragaman arsitektur pada
berbagai lingkungan yang berbeda, maka lahirlah arsitektur Iglo, arsitektur
Inca, arsitektur Tropis, arsitektur Lumpur, dan wujud arsitektur lainnya, yang
memperlihatkan bagaimana lingkungan alam berperan dalam pembentukan
arsitekturnya.

[193]
Keterangan :
LA, lingkungan alamiah
LB, lingkungan binaan
P, perilaku
T – t, teknologi
e, ekonomi; p, politik; s, standar; no, norma
n, kebutuhan; f, fear; w, want; am, amazed
ilm, ilmu pengetahuan
A – a, akal
ist, insting

Diagram 5. Dinamika perubahan perilaku dalam pembentukan tata nilai

Tahap awal pembentukan tata nilai pada sebuah masyarakat, diawali oleh
perasaan takut yang menyelimuti kehidupan sebuah kelompok, rasa takut
tersebut ditimbulkan oleh fenomena alam, seperti petir, hujan, gunung merapi,
gempa bumi dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa alam tersebut dimaknai
oleh masyarakat sebagai sebuah kekuatan yang timbul dari luar dirinya (makro
kosmos).
Tahap respon terhadap fenomena alam
Perasaan takut (fear) merupakan aspek pertama yang membentuk perilaku
manusia, mahluk hidup seperti halnya manusia memiliki insting yang
merupakan alat yang menjadi bagian dari tubuh, yang juga digunakan dalam
upaya untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupannya. Kecuali satu
hal yang membedakan manusia dengan mahluk hidup lainnya, yaitu manusia
dilengkapi dengan akal, yang memungkinkan manusia mengembangan ilmu
[194]
pengetahuan dan teknologi dalam upaya mempertahakan kehidupan dan
penghidupannya.
Tahap modifikasi terhadap lingkungan (pembentukan lingkungan binaan tahap
awal)
Upaya mahluk hidup untuk dapat mempertahankan kehidupan dan
penghidupan adalah melalui proses adaptasi terhadap lingkungan fisik. Proses
adaptasi pada manusia dengan mahluk hidup lainnya dibedakan pada akal dan
insting. Variabel-variabel alam dan pengembangan ilmu pengetahuan termasuk
pengembangan teknologi telah memengaruhi tata nilai manusia dalam proses
kehidupan dan penghidupan. Proses adaptasi demikian tidak terlepas dari
lingkungan fisik, lingkungan psikologis manusia, serta teknologi sebagai
produk dari ilmu pengetahuan, dinamika proses adaptasi yang memengaruhi
pembentukan tata nilai.
Tahap pengembangan teknologi untuk memudahkan kehidupan
Perilaku merupakan produk dari perpaduan antara teknologi dengan kebutuhan
manusia, teknologi berkembang selain disebabkan oleh kebutuhan manusia
untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan kehidupan ini,
juga disebabkan oleh tuntutan ekonomi, atau kehidupan yang lebih ekonomis
dalam arti efisien. Pada tahap perkembangan peredaban manusia, rasa takut
akan mengalami pergeseran menjadi kebutuhan, ketika manusia telah mempa
menangani rasa takut tersebut dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dikembangkannya. Oleh kerena itu teknologi diciptakan untuk memudahkan
manusia hidup.
Terdapat dua sisi yang saling memengaruhi dalam pembentukan lingkungan
binaan, yaitu sisi perilaku manusia serta sisi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua sisi tersebut dikategorikan sebagai pengaruh internal dan pengaruh
ekternal. Pada pendekatan ini, menempatkan manusia menjadi unsur utama
dalam pembentukan lingkungan binaan.
Beberapa variabel yang selalu melengkapi dalam proses pembentukan
lingkungan binaan, yaitu sisi teknologi dan sisi perilaku. Pada sisi perlaku tidak
terlepas dari sub variabel rasa takut (fear), insting (instinct) dan akal,
kebutuhan (need) , keinginan (want) serta ketakjuban (amazed). Sedangkan
pada sub variabel lain dari sisi teknologi adalah; adanya ilmu pengetahuan,
norma, standar, ekonomi dan politik.
Proses berkembangnya sebuah akal dan penggunaan insting dalam
pembentukan lingkungan binaan tidak terlepas dari proses dinamis yang terjadi
dalam lingkungan psikologis manusia diantar sub variabel, rasa takut,
kebutuhan, keinginan dan rasa takjub. Empat sub variabel tersebut memiliki
nilai yang berbeda-beda diantara kelompok masyarakat. Demikian juga dengan
[195]
variabel teknologi, dimungkinkan berkembang karena terjadi proses dinamis
antara sub variabel yang saling memengaruhi, yaitu norma, standar, ekonomi
dan politik. Kedua kutub sub variabel tersebut yang membentuk lingkungan
binaan beserta tata nilai-nya.
Pada proses perkembangan tata nilai pada diagram di atas, secara bersamaan
membentuk sebuah tata cara, kebiasaan, tata kelakuan serta adat istiadat.
Keempat komponan tata nilai tersebut berkembang sesuai dengan tiga faktor
utama di atas. Salah satu arah pertumbuhan tata nilai tersebut adalah tata nilai
yang terbangun akibat pola lingkungan hunian vertikal.
Pertumbuhan dua variabel utama tersebut di atas berbeda, seperti dijelaskan
oleh Soekamto [1982], bahwa teknologi berkembang secara linier sedangkan
perilaku manusia tumbuh secara anguler dan lingkungan tumbuh secara
angular bercabang (yang mengakibatkan terbentuknya keragaman arsitektur).
Perbedaan ketiga pola pertumbuhan tersebut mengakibatkan perilaku manusia
selalu mengikuti pertumbuhan teknologi dan lingkungan. Walaupun teknologi
dan lingkungan binaan merupakan sebuah produk dari pengembangan ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia.

12.5. Pola Tata Nilai Hunian


Nilai-nilai Sosial-budaya Masyarakat
Tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan, telah mengakibatkan kota
tumbuh pada arah horizontal, hal tersebut berakibat pada pertumbuhan kota
yang tidak efisien. Konsekuensi dari pertumbuhan kota secara horizontal
mengakibatkan biaya tinggi pada penyediaan infrastruktur, selain itu juga
mengakibatkan biaya tinggi hidup di perkotaan yang harus dibayar oleh
masyarakat kota, maupun lingkungan kota.
Karakteristik kota sebagai pusat penyedia jasa, perdagangan dan industri
merupakan cerminan pada kota-kota saat ini. Untuk mendukung kebutuhan
kota dalam menunjang kehidupan industri serta kelangsungan kehidupan
perkotaan. Seluruh kebutuhan tersebut dipenuhi dari luar lingkungan kota,
sehingga kota-kota saat ini lebih bersifat konsumtif. Berbagai kebutuhan kota
disupplai dari luar kota; seperti air bersih, konsumsi kebutuhan pokok manusia,
termasuk energi.
Ironisnya pertumbuhan perkotaan tersebut nyaris mengorbankan peran
perdesaan, perdesaan sebagai pendukung perkotaan dalam bentuk
produktifitas, sedikit demi sedikit mulai menurun daya dukungnya, hal tersebut
disebabkan oleh pergeseran penduduk perdesaan menjadi perkotaan,
pergeseran tersebut tidak saja berlangsung secara fisik akan tetapi bergeser
secara social, ekonomi dan budaya.

[196]
Pertumbuhan perkotaan, yang tidak mempertimbangkan daya dukung
lingkungan, pada akhirnya kembali menjadi beban sosial masyarakat kota,
dimana masyarakat kota menjadi cenderung mendapat tekanan yang sangat
tinggi dari lingkungnya. Dengan demikian fungsi rumah mengalami degradasi
akibat perubahan dari perilaku penghuninya. Belum lagi dari sisi penyediaan
perumahan di perkotaan yang mengakibatkan rumah hanya sekedar ruang fisik
tanpa makna.
Kondisi tersebut seperti disampaikan oleh John Ruskin yang dikutip dari
Gifford (2002) , “This is the true nature of home – it is the place of peace; the
shelter, not only from injury, but from all terror, doubt, and division. In so far
as it is not this, it is not home ….. it is then only a part of the outer world which
you have roofed over”.
Bagaimana sebuah hunian vertikal dapat memberikan nilai sebagai Home,
ketika berbagai kebutuhan hidup manusia tidak sepenuhnya terpenuhi, akibat
dari keterbatasan ruang pada sistem hunian vertikal di rumah susun. Rumah
sebagai tempat yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Memiliki peran
besar dalam membantu proses pertumbuhan penghuninya serta mengatasi
ancaman dari luar untuk menjamin kelangsungan hidup penghuninya. Kata
rumah dalam rusuna diartikan sebagai suatu ruangan, yang terdiri dari satu atau
beberapa ruang yang membentuk sebuah shelter tanpa halaman.
Peran tanah bagi sebuah hunian pada sebagian besar masyarakat memiliki nilai
penting dalam pembentukan ruang privat. Ruang privat pada sebagian besar
masyarakat diartikan sebagai sebuh bentuk penguasaan, besarnya penguasaan
terhadap sebuah tempat menunjukkan nilai privacy yang lebih besar, begitu
juga sebaliknya, bila penguasaan terhadap sebuah tempat rendah maka tingkat
privacy-nya pun menjadi rendah. Pada sistem hunian vertikal tanah merupakan
milik bersama, sehingga terdapat perubahan pola tata nilai terhadap lahan/tanah
pada rumah susun.
Pola-pola demikian telah muncul sejak pertama kehidupan manusia, perilaku
demikian juga terlihat pada kehidupan dunia binatang, yang akan memiliki
wilayah penguasaan, bila wilayah tersebut dimasuki oleh kelompok binatang
lainnya, maka akan terjadi pertahan maupun perlawanan dalam
mempertahakan wilayah kekuasaannya.
Sehingga tidak heran ketika sebagian besar masyarakat, senantiasa akan
mengaktualisasikan dirinya dalam indentitas tempat yang ditandai dengan
keberadaan lahan. Tanah sebagai simbol, Secara universal simbolisasi banyak
dikaitkan dengan unsur tanah, air, udara, dan api. Kekuatan tanah sebagai
simbol dapat dirasakan sampai saat ini, unsur tanah lebih diperkuat oleh
teritorialisme sebagai batas dari kekuasaan dan kepemilikan. Sehingga menjadi
sangat penting dalam membangun sistem hunian vertikal saat ini, adalah

[197]
bagaimana menciptakan teritorialisme pada sebuah unit hunian yang tidak
diberi buffering halaman, merupakan sebuah kunci dari keberhasilan sebuah
sistem hunian vertikal.
Pada beberapa masyarakat pedalaman atau daerah-daerah yang belum terlalu
berkembang, tanah yang masih berbentuk hutan belantara atau pun padang
rumput banyak yang dikuasai sebagai tanah adat, meskipun sebagian dari
masyarakat tersebut belum dapat dieksploitasi tetap dipertahankan. Sebagai
contoh, pada saat penulis menangani perumahan bagi pengungsi eks
masyarakat Timor Timur pasca jajak pendapat, masalah tanah adalah yang
paling kompleks, sekalipun tanah yang kita hadapi adalah tanah yang hanya
ditumbuhi oleh padang rumput yang gersang, masyarakat tidak dengan mudah
melepas status penguasaan tanahnya.
Tanah bagi masyarakat tertentu menjadikan simbol kelompoknya, manakala
tanah tersebut dikuasai oleh masyarakat lain, masyarakat merasa kehilangan
kekuatan dari wilayahnya. Pada masyarakat perkotaan, tanah pun memberikan
simbol dari status sosial. Pada kasus perkotaan, tanah lebih dilihat dari sudut
nilai ekonomis lokasi, manakala seseorang menujukkan penguasaan tanah di
daerah Pondok Indah, Cendana, Dago, atau Cipaganti, maka ada satu
pemahaman pada setiap individu, pemahaman mengenai status sosial dari
pemilik. Dalam dunia hewan, bahwa tanah di hutan belantara dikuasai dalam
bentuk wilayah-wilayah kelompok binatang. Dalam dunia hewan tanah juga
sebagai simbol dari kekuasaan.
Dengan demikian, persoalan lahan merupakan persoalan esensial dalam
kehidupan sebuah mahluk. Demikian juga persoalan ini mengemuka pada
masyarakat perdesaan terpencil, sekalipun masyarakatnya melakukan sistem
pertanian beringsut, bahwa lahan yang digunakan senantiasa bergerak pada
lahan-lahan tertentu, dan setiap kelompok masyarakat memiliki wilayah
penguasaan-nya masing-masing. Dengan demikian bila kelompok masyarakat
dengan tipologi seperti ini, maka akan terjadi lompatan tata nilai yang terlalu
ekstrim, sehingga kelompok ini sangat berat bila harus menghuni rusuna.
Pada masyarakat perdesaan yang miliki pola kehidupan sebagai masyarakat
agraris, lahan juga sangat penting, lahan menjadi indikator utama dalam
perwujudan sebuah kemapanan, demikian juga lahan merupakan bentuk
penguasaan yang menunjukkan wilayah privacy yang lebih tinggi. Pola tata
nilai kepemilikan lahan ini masih cukup besar terbawa oleh masyarakat urban,
dimana orientasi kehidupan masyarakat urban di Indonesia, selalu berorientasi
kepemilikan sebuah lahan. Hal ini membuka peluang dalam hal penguatan
sistek hunian vertikal, karena sebagian masyarakat berorientasi hidup di kota
bersifat temporal, maka ada kecenderungan hunian di perkotaan dimungkinkan
terjadi pengurangan nilai rasa kepemilikan, yang selama ini cukup tinggi.

[198]
Sehingga terdapat kecenderungan pada sebagian besar masyarakat urban
memiliki orientasi hidup di atas tanah, pada kondisi penguasaan tanah di
perkotaan sangat mahal sehingga tidak terjangkau, maka masyarakat urban
ketika memasuki usia non produktif, rata-rata di atas 56 tahun, akan kembali ke
kampung halaman, dimana dia menempatkan kepemilikan lahannya di
perdesaan.
Dengan demikian terdapat kecenderungan perkotaan di Indonesia sebagian
besar penduduknya adalah usia-usia produktif, yaitu antara 25 – 56 tahun.
Berbeda dengan perdesaan yang menunjukkan pertumbuhan usia non produktif
lebih tinggi dibandingkan dengan usia produktif. Tentunya karekteristik
penduduk demikian menunjukkan proses industrialisasi yang masih
berlangsung.
Hal tersebut di atas, yang menyebabkan terjadinya perbedaan tata nilai antara
masyarakat perkotaan dan perdesaan, perbedaan tersebut seperti disampaikan
oleh Soekanto, pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbedaan tata nilai masyarakat perdesaan dan perkotaan

Masyarakat Perdesaan Masyarakat Perkotaan

Warga memiliki hubungan yang lebih erat Jumlah penduduknya tidak tentu

Sistem kehidupan biasanya berkelompok Bersifat individualitas


atas dasar kekeluargaan

Umumnya hidup dari pertanian Pekerjaan lebih bervariasi, lebih tegas batasnya
dan lebih sulit mencari pekerjaan

Golongan orang tua memegang peranan Perubahan sosial terjadi secara cepat,
penting menimbulkan konflik antara golongan muda
dengan golongan orang tua

Dari sudut pemerintahan, hubungan antara Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan
penguasa dan rakyat bersifat informal daripada faktor pribadi

Perhatian masyarakat lebih pada Perhatian pada gpenggunaan kebutuhan hidup


keperluan utama kehidupan yang dikaitkan dengan masalah prestise

Kehidupan keagamaan lebih kental Kehidupan keagamaan lebih longgar

Banyak berubanisasi ke kota karena ada Banyak migran yang berasal dari daerah dan
faktor yang menarik dari kota berakibat negatif di kota, yaitu pengangguran,
naiknya kriminalitas, persoalan rumah, dan lain-
lain

Sumber : soekanto [ 1982]


Komunitas dalam lingkungan perdesaan sifatnya sangat homogen dengan
tikatan kekerabatan yang sangat tinggi, berbeda dengan perkotaan, dalam
[199]
sebuah masyarakat kota biasanya tingkat pergantian komposisi masyarakatnya
sangat mudah berubah. Sehingga sifat masyarakat perdesaan lebih bersifat
kekeluargaan dibandingkan dengan masyarakat kota yang sangat individual.
Masyarakat perdesaan sangat didominasi oleh golongan tua dibandingkan
dengan masyarakat kota, sedangkan masyarakat perkotaan lebih umumnya
adalah kelompok usia produktif, dengan jenis pekerjaan yang bervariasi.
Sehingga orientasi kehidupan masyarakat di perdesaan lebih pada pemenuhan
kebutuhan dasar dibandingkan dengan masyarakat perkotaan yang lebih
mengutamakan dalam pengungkapan jati diri.
Tata Nilai pada Sistem Hunian
Adanya filosofi kepala, badan dan kaki, pada sistem hunian masyarakat
perdesaan di hampir seluruh wilayah Indonesia, bahkan beberapa filosofis ada
yang melarang penempatan bahan-bahan berbahan tanah di tempatkan pada
bagian atap, sebagai penutupnya. Seperti pantang hidup terkubur sebelum mati.
Namun nilai-nilai seperti ini untuk masyarakat perdesaan sudah banyak
mengalami pergeseran, sehingga penggunaan bahan genteng dari tanah liat
maupun dari genteng beton menjadi tidak terdapat konflik nilai.
Pada bangunan rumah susun secara keseluruhan simbolisme kepala, badan dan
kaki masih dapat diwujudkan, akan tetapi secara unit hunian dapat merusak tata
nilai tersebut, karena beberapa unti hunian berada di bawah unit hunian
lainnya, demikian juga unit hunian yang memiliki kepala akan tetapi tidak
berkaki, serta unit hunian berkaki tanpa kepala. Sehingga tata nilai pada arah
vertikal mengalami pergeseran secara total.
Secara horizontal, sistem hunian vertikal masih dapat memiliki tata nilai yang
mendekati dengan tata nilai pada hunian tidak bersusun. Sistem hunian pada
perumahan disebagian besar masyarakat Indonesia, memiliki susun ruang-
ruang sebagai berikut; halaman; teras; ruang tamu; ruang keluarga; ruang
makan; dapur; tempat menyimpan makanan dan barang-barang berharga; ruang
tidur yang terdiri ruang tidur orang tua dan ruang tidur anak; serta dapur dan
juga kamar mandi. Satu aspek yang berubah, yaitu hilangnya halaman pada
hunian vertikal, sejauh mana masing-masing tata nilai itu terjadi proses
pergeseran tata nilai, diuraikan sebagai berikut;
Halaman; pada tata nilai masyarakat perdesaan merupakan suatu ruang yang
dapat memberikan sarana hiburan serta bagian yang dapat memberikan sumber
kehidupan dan penghidupan, pada ruang halaman, masyarakat dapat bercocok
tanam berbagai kebutuhan makanan pelengkap, demikian juga pada halaman
masyarakat memelihara ternak yang dapat diambil telur maupun mengembang
biakkan untuk dikonsumsi dagingnya.

[200]
Sedangkan halaman pada masyarakat kampung kota nyaris tidak tersedia, hal
ini disebabkan oleh terbatasnya penguasaan lahan oleh masyarakat di
perkotaan, selain keterbatasan lahan juga harga lahan di perkotaan sangat
tinggi, sehingga masyarakat cukup mencari lahan sebatas kebutuhan memeuhi
ruang dalam saja. Hal ini menyebabkan beberapa tata nilai masyarakat
terhadap pekarangan mengalami pergeseran. Sehingga kegiatan berkebun dan
beternak bergeser menjadi kegiatan berdagang, atau waktua luang pada
akhirnya banyak digunkan untuk kegiatan sosial, kumpul-kumpul antara
masyarakat lebih ditingkatka waktunya.
Berbeda dengan lingkungan perumahan vertikal, keberadaan halaman yang
hilang di kampung kota, akhirnya dapat dihadirkan kembali dalam bentuk
halaman bersama, walaupun keberadaan halaman dapat diwujudkan dalam pola
hunian vertikal, akan tetapi kegiatan berkebun dan beternak tentunya tidak
dapat dilakukan. Akan tetapi halaman sabagai sarana mengisi waktu luang
tetap eksis.
Teras; Peran teras dalam sistem hunian memiliki peran penting dalam
kaitannya dengan kontak sosial diantara komunitas sebuah masyarakat. Teras
juga digunakan oleh penghuni sebagai tempat untuk menerima tamu yang
berasal dari komunitasnya. Peran teras sangat penting bagi tokoh masyarakat,
dalam hal ini, tokoh masyarakat yang berasal dari perdesaan adalah sesepuh
karena usiannya, atau tokoh agama, atau tokoh adat. Keberadaan teras para
tokoh masyarakat ini menjadi sangat penting karena intensitas penerimaan
tamu dari warganya sangat tinggi.
Pada masyarakat perkotaan, seperti halnya masyarakat di kampung kota, pola-
pola ketokohan masih sangat kental, dimana peran ketokohan banyak
diperankan oleh pimpinan lembaga kemasyarakat secara administratif, seperti
ketua RT, ketua RW, atau seorang lurah. Kedekatan diantara tokoh-tokoh
tersebut pada lingkungan kampung kota masih sangat kuat, sehingga peran
ruang kebersamaan yang mampu menampung pertemuan warga sangat penting.
Berbeda sekali dengan kondisi di perdesaan pertemuan warga dengan para
tokoh tersebut dapat dilakukan di rumah seorang tokoh, karena kondisi rumah
seorang tokoh sangat memungkinkan dapat menerima tamu, hal ini disebabkan
oleh ketersediaan ruang, dimana lahan pekarangan dan ruang bangunan yang
sangat mumpuni.
Berbeda dengan kondisi masyarakat perkotaan, karena keterbatasan ruang, baik
itu lahan maupun ruang-ruang dalam unit hunian, maka setiap pertemuan
dilakukan pada setiap ruang terbuka yang mungkin ada, bahkan dapat
dilakukan di warung-warung kopi, atau pos jaga RT/RW. Beruntung bagi RT
atau RW tersebut memiliki ruang serba guna, maka pertemuam tersebut
dilakukan di gedung serba guna tersebut.

[201]
Ruang Tamu; fungsi ruang tamu pada sistem hunian di perdesaan pada
umumnya kurang memiliki makna, karena tamu pada masyarakat desa adalah
yang berasal dari warga satu desa, dan bagi mereka dianggap menjadi bagian
keluarga-nya, sehingga tamu tersebut dapat datang kapan saja dan langsung
memasuki ruang teras. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tingkat kekerabatan
antara warga sangat kuat. Sedangkan tamu yang datang dari luar desa biasanya
adalah kerabat yang dekat yang tinggal tidak dalam satu desa, sehingga tipe
keluarga ini biasanya juga turut menginap, dan diterima di ruang keluarga.
Pola-pola demikian yang menjadikan rumah-rumah di perdesaan tidak
memiliki ruang tamu secara spesifik akan tetapi ruang tamu tersebut bergabung
dengan ruang keluarga.
Ruang tamu hanya ditemui pada masyarakat perkotaan yang telah tumbuh sifat
individualis-nya. Namun, pada lingkungan kota yang masyarakatnya masih
memegang pola-pola tradisi perdesaan maka keberadaan ruang tamu sering
dihilangkan sama sekali atau digabung dengan ruang keluarga. Tata nilai
demikian biasanya masih dapat kita temui pada masyarakat Batak, dimana
tingkat kekerabatannya sangat tinggi walaupun sudah menjadi masyarakat
perkotaan. Juga demikian pada masyarakat kota yang masih memegang tata
nilai perdesaan yang dibawanya, kebiasaan masyarakat melakukan acara
kenduri, pada berbagai even, mendorong masyarakat untuk menginginkan
ruang keluarga yang besar. Pola tata nilai seperti ini bagi kelompok masyarakat
yang masih memegangnya, biasanya keberadaan ruang tamu memiliki
intensitas penggunaan sangat rendah.
Pada hunian vertikal, dengan alasan keterbatasan ruang, maka ruang tamu pada
akhirnya sama sekali hilang, penerimaan tamu pada hunian vertikal
ditempatkan pada ruang keluarga. Atau pada koridor yang banyak mengalami
pergeseran fungsi, dari fungsi publik menjadi fungsi privat. Pada sistem hunian
vertikal sederhana, keberadaan ruang publik seperti bordes tangga, koridor, hall
tangga biasanya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu.
Ruang keluarga; ruang ini dalam sistem tata nilai sebuah hunian adalah
merupakan ruang inti bagi sebuah rumah, dimana pada ruang ini seluruh
aktifitas keluarga ditampung. Ruang keluarga pada berbagai kelompok
masyarakat senantiasa memiliki nilai utama, sehingga pada lingkungan
perdesaan, perkotaan, maupun pada sistem hunian vertikal ruang keluarga
selalu ada.
Pemahaman kosmologi yang sangat kuat bagi sebagian besar masyarakat,
menjadikan banyaknya acara-acara yang berkaitan dengan keyakinan, baik itu
yang bersumber dari religi maupun dari keyakinan yang mengakar pada sistem
budaya masyarakat secara turun temurun, sehingga banyak even-even
upacara/kenduri yang dilakukan oleh masyarakat. Pelaksanaan kenduri tersebut

[202]
dapat berlangsung pada berbagai tingkatan, baik itu tingkatan keluarga maupun
komunitas.
Peran ruang keluarga sangat penting artinya untuk mewadahi aktifitas-aktifitas
tersebut. Namun pada masyarakat perkotaan, akibat keterbatasan ruang
termasuk lahan, mengakibatkan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan pada
fasilitas publik, dan paling banyak adalah dengan menggunkan fasilitas jalan
raya, baik itu di atas trotoar sampai dengan menutup sebagian atau seluruh
badan jalan. Berbeda dengan masyarakat perdesaan kegiatan terwsebut
dilakukan di halaman atau ruang terbuka. Peristiwa tersebut dapat dilihat pada
berbagai upacara adat atau tarian-tarian umumnya dilakukan pada ruang
terbuka.
Ruang makan; ruang ini bagi sebagian besar masyarakat tidak terlalu banyak
memberikan arti, karena kegiatan ini banyak dilakukan pada ruang keluarga,
keberadaan ruang makan secar khusus hadir pada kelompok masyarakat
dengan tingkat sosial yang lebih tinggi, sedangkan pada sebagian besar
masyarakat keberadaanya bergabung dengan dapur. Peran dapur memiliki arti
yang lebih kuat dibandingkan dengan ruang makan.
Dapur; dapur merupakan hal yang sangat penting pada kelompok masyarakat
perdesaan, dimana pada dapur ini peran wanita sebagai penguasa sangat
dominan, dapur juga menjadi sarana interaksi antara kaum wanita di perdesaan.
Dapur bagi kelompok masyarakat khusus di lingkungan para wanita dijadikan
sebagai simbol kemakmuran. Yang ditunjukkan melalui berbagai jenis
peralatan masak yang dimiliki sampai dengan jenis masakan yang dibuat setiap
harinya.
Dapur sebagai lambang kemakmuran secara tidak langsung dapat dilihat dari
para wanita yang sudah berkeluarga pada kelompok masyarakat melayu,
dimana postur tubuh gemuk bagi seorang wanita yang sudah berkeluarga
melambangkan kemakmuran.
Lambang kemakmuran dapur ini, secara kosmologi juga diimbangi dengan
penyediaan ruang persembahan bagi kekuatan yang telah memberikan
kemakmuran tersebut, ruang Goah pada masyarakat sunda misalnya, atau
masyarakat melayu yang menjadikan dapur didekatkan dengan lumbung.
Pergeseran tata nilai dapur pada masyarakat perdesaan terjadi, seiring dengan
tingkat aktifitas keseharian yang semakin meningkat, menyebabkan peran
dapur menjadi berkurang, masyarakat perkotaan bahkan mulai enggan
menggunakan dapur, karena penyediaan makan didapat dengan membeli
masakan jadi atau mengkonsumsi makanan-makanan jadi (instan). Sehingga
ketika terjadi pembatasan ruang maka menjadikan bagian yang tersisihkan.
Namun lain halnya pada kelompok masyarakat perkotaan dengan tingkat sosial
yang lebih tinggi, maka keberadaan dapur juga menjadi simbol keluarga. Pada
[203]
beberapa tata nilai masyarakat barat, ketika sebuah keluarga memperkenalkan
keluarganya kepada tamunya, dapur menjadi bagian yang selalu diperlihatkan.
Sehingga perkembangannya dapur terbagi menjadi dua dapur kering dan dapur
basah.
Gudang; keberadaan gudang dalam sistem hunian di sebagian besar
masyarakat Indonesia sangat penting, dimana masyarakat masih memiliki
keterikatan yang sangat kuat dengan benda-benda yang dimilikinya. Manusia
demikian oleh Van Peursen dikategorikan sebagai masyarakat dengan tingkat
budaya mitik, dimana kehidupannya masih dikuasai oleh benda-benda yang
berada disekitarnya, tentunya pada skala yang lebih luas, benda-benda tersebut
termasuk tanah dan bangunannya serta lingkungan tempat tinggal, pada skala
mikro benda-benda yang dimiliki seperti meuble, oleh masyarakat dianggap
memiliki nilai bangi kehidupannya, sehingga masyarakat selalu tetap
menyimpan barang-barang-nya walaupun sudah tidak terpakai.
Penguasaan barang-barang terhadap kehidupan individu tersebut berlangsung
sangat lama, sampai dengan barang tersebut musnah dimakan usia. Sehingga
kebutuhan akan tempat penyimpanan barang-barang ini sangat diperlukan
dalam sebuah tata nilai keluarga baik itu di perkotaan maupun di perdesaan.
Ruang basah, kamar mandi, cuci, dan kakus; fungsi-fungsi ruang basah pada
masyarakat desa biasanya jauh dilepaskan dari bangunan utama, kegiatan
tersebut dilakukan di luar bangunan dan juga dapat dilakukan secara komunal.
Pada lingkungan perdesaan ruang basah juga dapat menjadi sarana berinteraksi
antara anggota masyarakat. Ruang basah ini ditempatkan di jalur sungai yang
memallui wilayahnya atau membangun kolam bersama sebagai tempat mandi,
cuci, dan kakus.
Kondisi demikian juga pernah terjadi di belahan Eropa, dimana banyak
bangunan yang tidak dilengkapi dengan kamar mandi, namun akibat
pertimbangan kesehatan maka di Eropa sekalipun pernah dilakukan program
kamar-mandi-sasi (dibangunkan kamar mandi pada hunian). Demikian halnya
denga masyarakat kita kesadaran akan kesehatan membuat kamar mandi
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan bangunan. Tentunya
dengan pertimbangan kesehatan pula keberadaan kamar mandi komunal pada
bangunan hunian vertikal perlu ditinjau kembali karena jaminan kesehatan
sangat rendah.
Namun demikian, keberadaan kamar mandi komunal juga banyak terjadi pada
permukiman kampung kota, dimana kondisi demikian terjadi akibat tekanan
keterbatasan ruang di perkotaan, sehingga masyarakat menyiapkan kamar
mandi dan kakus secara komunal.

[204]
12.6. Penutup
Kota telah menjadi episentrum kemiskinan, serta kontribusi kerusakan
lingkungan banyak terjadi diperkotaan, sehingga keberadaan rumah susun di
perkotaan tidak dapat dihindarkan lagi. Fenomena perubahan pola tata nilai
juga mendukung bagi sebagian masyarakat perkotaan untuk bergeser pada
sistem hunian vertikal. Walaupun secara psikologis dan budaya bagi sebagian
besar masyarakat merasakan belum siap.
Adaptasi merupakan unsur dalam kehidupan yang memungkinkan manusia
dapat bertahan hidup dengan berbagai perubahan dan tekanan yang terjadi.
Didalam proses adaptasi tersebut tidak terlepas dari tiga aspek pembentuk,
yaitu lingkungan fisik, lingkungan psikologis manusia serta ilmu pengetahuan.
Tata nilai pada sistem hunian dapat dilihat pada wujud arsitektur dalam bentuk
tata nilai yang berpengaruh pada bentukan arsitektur secara vertikal, yaitu;
adanya kepala, badan dan kaki, serta sejauh mana tata nilai tersebut masih kuat
dianut oleh sebagian besar masyarakat. Selanjutnya tata nilai bentukan
arsitektur secara horizontal, pada level tapak, dan denah bangunan. Pada arah
horizontal ini masih banyak tata nilai yang masih dipegang oleh masyarakat,
termasuk pengaruhnya pada sistem kelembagaan, sistem sosial, sistem
ekonomi masyarakat.
Tata nilai sebuah hunian sangat dipengaruhi oleh sistem mata pencaharian
masyarakatnya. Sebuah masyarakat dapat melakukan proses adaptasi terhadap
lingkungannya untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupannya,
sehingga sistem mata pencahariaan suatu masyarakat merupakan pengaruh
pertama dalam sistem tata nilai kehidupan yang juga diwijudkan dalam
bentukan arsitektur huniannya termasuk pola lingkungan hunian.
Rasa takut terhadap kemampuan untuk menguasai sumber daya kehidupan,
telah membangun kepercayaan (kosmologi) yang berpengaruh terhadap pola
tata lingkungan perumahan serta bangunanya, serta dalam pemilihan bahan-
bahan bangunan yang digunakan, akibat dari pemilihan bahan bangunan
tersebut berpengaruh pada eujud arsitektur, sehingga dalam telaah ini tampak
bahwa tata nilai itu ada dalam sebuah hunian pada berbagai kelompok
masyarakat.

[205]
[206]
Daftar Pustaka

Adimihardja, K., Salura, P. (2004), : Arsitektur dalam Bingkai Budaya, CV


Architecture & Communication, Bandung
Baker Susan, 2006, Sustainable Development, Routledge, Londong and New
York
Balchim, P and Rhoden, M (1998) : Housing the Essential Foundation,
Environmental health and housing, Londong and New York, Routledge,
209 - 226.
Bell, P.A., Fisher, J.D., Loomis, R.J (1978) : Environmental Psychology,
Philadelphia, London, Toronto, W.B. Saunders Company, 282 – 285.
Biddulp, M., (2007), : Introduction to Residential Layout, Linacre House,
Jordan Hill, Oxford OX2, Elseiver, 41 – 66.
Branch C Melville, (1995), Perencanaan Kota Komprehensif, Gajah Mada
University Press
Brian Edwards and David Turrent, (2000), Sustainable Housing, principles and
practice, E & FN Spon.
Cangara Hafied, (2008), Pengantar Ilmu Komunikasi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Carmona Matthew, Heath Tim, Oc Taner, Tiesdell Steve, (2003), Public Place,
Urban Space, The Dimensions of Urban Design, Architecture Press.
D.K. Ching. Francis, penterjemah Ir. Paulus Hanoto Adji, (1985), Arsitektur:
bentuk , ruang, dan Susunannya, Penerbit Erlangga.

[207]
Data Statistika, BPS (2009), http://www.datastatistik-
indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,112/Itemid,16
5/ , diunduh pada 9 Maret 2009.
Deutschman Alan, (2007), Change or Die, tiga kunci untuk perubahan dalam
pekerjaan dan kehidupan, Momentum
Dillistone F.W, Daya Kekuatan Simbol, THE POWER OF SYMBOL, Penerbit
Kanisius
Dillistone, F.W., (1986), : The Power of Symbols, London, SCM Press.
Faisal Sanapiah, (2007), Format-format Penelitian Sosial, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Fu Tuan, Y. (1989) : Space and Place, the Perspective of Experience,
Minneapolis, University of Minnesota Press.
Giffond Robert, (2002), Environmental Psichology Principles and Practice,
Optimal Books
Gilbert, A. dan Gugler, J. (1987) : Urbanization in the Third World
dalam“Cities, Poverty, and Developmen”, Great Britain, Oxford
University Press, 116 - 127.
Gottdiener M & Budd Leslie, (2005), Key Concepts in Urban Studies, SAGE
Publication, Londong, New Delhi
Habraken, J.N. (1980) ; Design for Adaptability, Change, and User
Participation, dalam Housing Process and Physical Form, Riaz Hasan,
Aga Khan Award for Architecture.
Hall, T.E. (1966), The Hidden Dimension, London, Doubleday & Company,
Inc.
Hasan, R. (1980) ; Housing and Society: Some Thoughts on the Role of
Housing in Social Reproduction, dalam Housing Process and Physical
Form, Riaz Hasan, Aga Khan Award for Architecture.
Hutagalung, S.H (2007) : Kondominium Permasalahannya, Edisi Revisi,
Kampus UI Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonmesia, 9 - 18.
Jenks, M., Burton, E., Williams, K. (2002) ; The Compact City, a Sustainable
Urban Form ?, Oxford Bookes University, Oxford, UK.
Kuntowijoyo, (2008), Penjelasan Sejarah, Tiara Wacana

[208]
Lang Jon, (1987), Creating Architectural Theoty, the role of the behavioral
Sciences in environmental design, Van Nostrand Reinhold Company,
New York.
Lawson, B. (2001) : The Language of Space, Great Britain, Architectural Press,
14 – 35
Madanipour Ali, (2003), Public and Private Space of the City, Routledge,
Londong and New York
Madanipour, A. (2003), : Public and Privat Space, “Chapter 3 Intimate Space
of the Home”, London & New York, Routledge Taylor & Francis
Group, 71 – 106.
Monto, M., Ganesh, L.S. & Vargese, K. (2005) : Sustainability and Human
Settlements, Fundamental Issues, Modeling and Simulations, New
Delhi, Sage Publications.
Nelkon M & Parker P, (1966), Advance Level Physics, Heinemann Educational
Book LTD, London.
Newman, O. (1978), : Defensible Space, Crime Prevention through Urban
Design, New York, Collier Books,
Petra. (2002) : Rumah Susun di Surabaya, Universitas Kristen Petra,
http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ars4/2003/jiunkpe-ns-s1-2003-
22499020-5764-rumah_susun-chapter3.pdf., diunduh pada 9 Maret 2009
Pitts Andrian, (2004), Planning and Design Strategies for SUSTAINABILITY
AND PROFIT, Elsevier
Rapopot, A. (1969); House Form and Culture, Foundation of Culture
Geography Series, Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J.
Ridwan Muzir Inyiak, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, Ar-Ruzz
Media Group
Salura Purnama, (2001), ber-arsitektur, membuat, menggunakan, mengalami,
dan memahami arsitektur, Architecture & Communication
Salura, Purnama. (2001), : Ber-Arsitektur, Membuat, Menggunakan,
Mengalami dan Memahami Arsitektur, Bandung, Architecture &
Communication, 51 – 56.
Snodgrass Andrian & Coyne Richard, (2006), Interpretation in Architecture
design as a way of thinking, Routledge, Londong and New York
Soekamto,S. (1982) ; Sosiologi, Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.

[209]
Stanislav Kolenicov, (1998) : The Methods of the Quality of Life Assessment,
http://www.komkon.org/~tacik/science/skolenik_nes_thesis.pdf ,
diunduh 7 April 2009
Suisyanto, Suhud, M.A, & Waryono. (2007), :, “kedilan sosial dan
kesejahteraan sosial dalam Islam” dalam Model-model Kesejahtrean
Sosial Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 29 – 49
Susilo Rachman K. Dwi, (2008), Sosiologi Lingkungan, Radjawali Press,
Jakarta
Syafei Inu Kencana, (2004), Pengantar Filsafat, Refika Aditama
Unwin, Simon (1997), : Analysing Architecture, Routledge, London.
Ward, B. (1976) ; The Home of Man, Andre Deutsch Limited, Great Britain.

[210]
INDEKS

30, 31, 32, 33, 34, 35, 40, 41, 43,


44, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,
1 55, 56, 57, 58, 59, 62, 63, 64, 66,
1000 tower, 7, 17, 27, 46, 86, 87, 100, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 76,
122, 132, 148, 168 77, 78, 79, 81, 82, 83, 87, 91, 92,
93,94, 98, 99, 126, 210
Arsitektur, 171, 191, 208, 210
A Auguste Comte, 31
A.N. Whitehead, 93
adaptasi, 134, 146, 149, 151, 159, 160, B
164, 165, 166, 167, 169, 170, 171,
173, 174, 175, 178, 185, 186, 187, backlog, 15, 16, 26, 27, 86, 115
195, 205 bahan tegakan, 9, 41, 80
agricultural, 192 Bandung, 18, 22, 36, 41, 51, 53, 63,
akulturasi, 38, 39, 55 69, 71, 76, 99, 101
Al Badii, 66 Barito, 42
al Farabi, 45 Barry Poyner, 20, 52
Al Ghazali, 45 basic needs, 15
Al Jazerra, 39 Batam, 37, 49, 98
al Kindi, 45 Belanda, 21, 22, 23, 38
Alexandria, 48 Betawi, 38
amazed, 195 BPHTB, 120, 124, 125, 127, 129
Amerika Serikat, 26 BPS, 49, 86
AMI, 75, 77, 78 brain system, 146
Antonio Maroni, 37 BTN, 24, 25
antropologi, 31 budaya, 4, 8, 9, 12, 13, 14, 19, 26, 30,
Aristoteles, 43 31, 32, 33, 34, 38, 39, 40, 44, 46,
arsitek, 9, 10, 12, 28, 30, 31, 34, 35, 47, 55, 57, 62, 67, 68, 69, 71, 72,
36, 42, 50, 51, 52, 56, 57, 58, 59, 73, 76, 83, 84, 85, 86, 88, 89, 90,
60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 91, 93, 97, 103, 104, 105, 109, 110,
69, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 112, 117, 121
79, 80, 81, 82, 83, 84 Building Code, 59
arsitektur, viii, ix, 1, 2, 4, 5, 6, 8, 9, 10, Bung Hatta, 22
11, 18, 20, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
[211]
C F
Cina, 48, 67 F.W. Dillistone,, 96
CNN, 39 façade, 51, 52
compact city, 147 faktor alam, 193
construction, 2 faktor manusia, 193
Consumers Satisfaction, 18 faktor teknologi, 193
consumption, 192 fear, 194, 195
context, 148 fiskal, 120
Copernicus, 44, 45 folkways, 188
crowded, 134, 135, 137, 145 form, 148, 172, 191
custom, 188 Frederic Le Play, 20
function, 148, 172
fungsi, ix, 1, 8, 9, 10, 14, 15, 17, 21,
D 34, 40, 43, 44, 47, 50, 52, 54, 56,
David Ficher, 2 57, 72, 74, 76, 78, 80, 81, 88, 90,
Degradasi, 3, 4, 5 92, 96, 101, 102, 105, 110, 118,
demand, 15, 28, 99, 130, 132 126
Departemen Pekerjaan Umum, ix, 23, Fungsi, 133, 134, 149, 154
59
des Grands Ensembles, 27 G
Descrates, 44, 45
development, 2 galian C, 9, 18, 41, 80
Dimensi sosial, 1 Gelileo Galilei, 44
diskriminasi, 72 gempa, vi
Dynamic Tower, 2 global, 5, 15, 26, 33, 40, 46, 54, 57,
80, 113
globalisasi, 15, 47, 54, 55, 59
E GN-PSR, 16, 26, 46
Edward Buckel, 20 Guthenberg, 39, 47
ekosistem, 1, 80, 91
eksekutif, 78 H
embrio, viii
emosional, ix, 65, 66, 84 Habil, 43
enabler, 23 Hafid Cangara, 92
environmental cognition, 148, 150, HAKI, 78
152 handicraft, 192
era modernisasi, 27 Hierarchy of Needs, 153
Eropa, 21, 22, 26, 27, 28, 44, 45, 46, hijrah, 102
47, 49, 50, 86 holistik, 9, 34, 63, 84
estetika, 46, 52, 66, 68, 71 home, 133, 142, 189, 197
etika, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, house, 133, 142, 145, 189
67, 69, 72, 75, 76, 81, 82, 92 Housing, 23, 52, 208
experience component,, 162 human being, 164, 171
human space, 51, 52
humaniora, 10, 30, 34, 36

[212]
hunian, 130, 131, 132, 133, 134, 135, J
136, 142, 143, 144, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, Jakarta, 17, 38, 60, 81, 82, 87, 88, 101,
156, 157, 158, 160, 161, 162, 163, 103, 208, 209, 211
164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, Jean Beaman, 31, 32, 36
172, 173, 175, 178, 179, 180, 181, Jepang, 27, 101
182, 183, 185, 186, 187, 188, 189, John Locke, 45
190, 192, 196,197, 198, 200, 201,
202, 204, 205
Hunian, 130, 146, 187, 188, 190, 192, K
200 kapitalisme, 19, 56, 72, 73, 74, 97, 98
KASIBA, 118, 122, 127
I kawasan, 6, 8, 18, 20, 22, 23, 26, 36,
41, 45, 48, 49, 63, 68, 69, 71, 76,
IAI, 59, 61, 62, 69, 71, 75, 77, 78, 79 80, 86, 87, 97, 99, 100, 101, 102,
Ibnu Siena, 45 103, 104, 105, 106, 109, 110, 111,
Immanuel Kant, 45, 62, 65 116, 118, 122, 126, 127
India, 82 kawasan kumuh, 188
individu, 130, 131, 132, 133, 134, 135, KDB, 135
136, 137, 142, 144, 149, 150, 151, keluarga, 5, 6, 7, 8, 14, 15, 16, 17, 21,
152, 154, 156, 157, 158, 161, 162, 28, 33, 44, 49, 86, 110, 111, 113,
163, 164, 169, 170, 171, 173, 174, 115
176, 182, 186, 192, 198, 204 kemudahan, 21, 76, 101, 131, 140,
Indonesia, i, v, vii, ix, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 192, 195
8, 9, 13, 16, 21, 23, 24, 26, 33, 34, kenyamanan, 21, 48, 51, 52, 58, 90,
35, 37, 38, 39, 40, 44, 47, 49, 50, 101, 131, 136, 140, 158, 163, 191
53, 54, 55, 56, 59, 61, 62, 65, 74, kepadatan, 18, 46, 49, 120
76, 78, 79, 80, 82, 83, 86, 87, 99, kesehatan, 2, 13, 14, 16, 21, 28, 48, 50,
100, 101, 102, 103, 105, 110, 111, 80, 85, 101, 102, 104, 120, 130,
122 131, 132, 140, 145, 152, 154, 155,
industrial, 192 157, 165, 180, 182, 186, 189, 191,
industrialisasi, 27, 35, 38, 45, 46, 50, 204
53, 68 kesejarahan, 35, 67
infrastruktur, 6, 17, 18, 33, 45, 49, 86, keselamatan, 21, 60, 101, 120, 121,
100, 103, 105, 109 131, 140, 152, 153
INKINDO, 78 kode etik, 59, 61, 62, 64, 65, 67, 68,
insentif, 113, 114, 115, 117, 119, 120, 69, 70, 71
121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, Kolonialisme, 21, 38
128, 129 komunikasi, 11, 12, 32, 78, 91, 92, 93,
instinct, 195 95, 101, 137, 159, 160, 175, 176,
intelegensia, ix, 65, 66, 84 184
interferensi ruang, 138, 142, 144 komunitas, 131, 132, 133, 134, 135,
investasi, 6, 17, 19, 21, 22, 33, 86, 97, 138, 141, 142, 143, 144, 146, 149,
100, 111, 114, 116, 117, 121, 122, 150, 152, 154, 155, 156, 161, 164,
125, 127 169, 173, 182, 185, 189, 201, 203
konservasi, 4
konstruksi, 16, 34, 43, 56, 59, 70, 80,
114, 116, 117
[213]
Korea Selatan, 28, 47, 101 157, 160, 162, 163, 164, 165, 167,
Korea Utara, 39 168, 169, 171, 172, 174, 175, 178,
koridor, 134, 135, 136, 138, 142, 143, 179, 180, 182, 183, 185, 187, 188,
155, 156, 157, 158, 161, 164, 181, 189, 190, 191, 192, 194, 195, 196,
182, 183, 185, 202 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203,
KPR, 25, 120, 121, 122 204, 205
kriminalitas, 20, 27, 46, 53, 86, 90 materialistik, 41, 50
kumuh, 7, 9, 16, 18, 26, 27, 45, 48, 49, MBR, 124, 125, 128, 129
51, 68, 86, 87, 97, 99, 100, 101, meaning, 148, 162, 172, 176
102, 105, 107, 109, 110, 112 Merauke, vii
Miangas, vii
Michelle Angelo, 82
L miskin, 1, 7, 9, 49, 51, 53, 63, 72, 98,
la cite Industrielle,, 50 100, 101
landed house, 133, 145, 156, 164 modifikasi, 150, 156, 158, 160, 165,
landed., 145 167, 168, 169, 170, 172, 173, 175,
layak huni, 6, 7, 15, 18, 26, 49, 85, 86, 180, 184, 185, 186, 195
97, 100, 111, 113, 115, 119, 126 mores, 148, 188
Le Corbusier, 46
Le Monde, 45 N
Lee Kuan Yeu, 26
legislatif, 73, 78 N.V. Volkshuisvesting, 22
lingkungan, 131, 134, 146, 147, 148, Nabi Adam a.s, 43
149, 150, 151, 152, 153, 154, 156, need, 148, 149, 164, 173, 195
160, 161, 163, 164, 165, 166, 167, needs, 149, 154
168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, neo-liberalisasi, 15
176, 178, 182, 183, 184, 185, 186, Neolitikum, 37
187, 188, 189, 192, 193, 195, 196, New York, 46, 208, 210
197, 200, 201, 202, 203, 204, 205 NKRI, 13
lingkungan binaan, 1, 3, 5, 6, 28, 32, norma sosial, 192
35, 36, 37, 40, 41, 56, 74, 80, 81,
83, 91, 104
lingkungan hidup, 131, 151, 152, 172,
O
188 Orde Baru, 21, 25, 97
LISIBA, 118, 122, 127 Orde Lama, 21
living street, 142 ordering system, 32
London, 46, 68, 72, 210 ornamen, 68
Louis XVI, 53 Oscar Newman, 20, 27
Lyon, 50 ozon, 80

M P
maison individuelle, 27 P2BPK, 25
makna, 1, 4, 8, 10, 27, 32, 34, 40, 51, P2KP, 33
92, 93, 94, 96 Paris, 46
Malaysia, 37 patio, 136, 144
masyarakat, 131, 133, 134, 140, 141, peneliti, vi, vii
143, 146, 147, 149, 150, 151, 152,
[214]
Perancis, 27, 46, 53, 83, 104 R
permukiman, viii, 6, 9, 14, 16, 17, 18,
20, 22, 49, 68, 69, 85, 87, 90, 100, Reformasi, 21, 25, 46
101, 102, 103, 104, 105, 111, 112, Regional Housing Centre, 23
118, 126 regulator, 74, 78, 83, 118
persepsi, 142, 146, 147, 148, 150, 156, REI, 24
157, 159, 161, 162, 165, 172, 174, Reinaissance, 53
175, 176, 177, 180, 181, 182, 183 Rene Descrates, 44
Persepsi, 156, 162, 174 revolusi, 21, 27, 37, 39, 47, 48, 49, 50,
personal space, 10, 11, 12 53
personal Space, 137 revolusi industri, 190, 191
Personal Space, 10 Romawi, 190
perumahan, viii, ix, 6, 14, 15, 16, 17, RSH, 25, 116, 117, 122, 128
18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, RTRWN, 6
27, 28, 29, 33, 41, 42, 45, 46, 47, ruang publik, 134, 135, 136, 137, 141,
48, 49, 50, 54, 59, 63, 85, 86, 87, 142, 144, 153, 154, 156, 157, 161,
88, 90, 100, 101, 105, 106, 107, 163, 181, 182, 202
109, 110, 111, 112, 114, 115, 116, Ruang sosial, 143
117, 118, 119, 126, 127, 128, 131, Rumah, viii, 6, 14, 15, 16, 19, 21, 24,
132, 134, 140,141, 145, 147, 148, 25, 26, 85, 87, 88, 99, 100, 104,
149, 150, 151, 152, 154, 155, 156, 107, 110, 111, 130, 131, 133, 138,
168, 169, 170, 171, 173, 182, 187, 140, 141, 144, 147, 149, 154, 156,
188, 189, 190, 191, 192, 197, 198, 162, 163, 168, 184, 197, 210
200, 201, 205 Rumah Inti Tumbuh, 25
PJU, 126 rumah sederhana sehat, 7, 113, 124
place, 133, 154, 176, 197 Rumah sehat, 131
Plato, 43, 52, 57, 72 rumah susun, 3, 7, 17, 19, 27, 85, 87,
politik, 5, 7, 23, 39, 47, 55, 67, 68, 70, 88, 89, 90, 97, 99, 111, 112, 114,
73, 74 115, 117, 121, 122, 123, 126, 127,
post modern, 34 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,
postindustrial, 192 137, 138, 140, 142, 143, 144, 145,
privacy, viii, 10, 11, 12, 137, 138, 153, 146, 147, 149, 150, 151, 154, 155,
154, 155, 156, 158, 162, 163, 164, 156, 158, 159, 160, 161, 163, 164,
179, 180, 185, 197, 198 165, 166, 167, 168, 170, 174, 175,
privat space, 8 178, 180, 181, 182, 183, 184, 185,
properti, 26, 34, 42 186, 197, 200, 205
provider, 23 Rumah Susun, 130, 133, 184, 210
PSAI, 75, 77, 78, 79 rusunami, 132, 156, 164, 165, 167,
psikologis, 10, 32, 35 168, 169, 170, 172, 174, 175, 181,
PSU, 111, 112, 120, 121, 122, 126, 185, 186
127 Rusunami, 19, 87, 111, 114, 115, 116,
Pulo Rote, vii 117, 122
RUSUNAMI, 17
Rusunawa, 87, 111
Q
Qabil, 43 S
Sabang, vii
[215]
scuptural, 52 tempat tinggal, 6, 7, 17, 18, 22, 26, 43,
selter, 153, 189 49, 50, 89, 101, 105, 115, 119, 130,
simbol, 35, 38, 73, 92, 93, 94, 96, 97, 131, 133, 143, 144, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156, 158, 160, 161, 167, 168, 189, 204
162, 163, 164, 169, 172, 179, 189, teritori, 141, 142, 144, 163
197, 198, 203 Timor Leste, 39
simbolis, 150, 152, 160 Tokyo, 46
Singapura, 26, 27, 37 Tony Garnier, 50
slum, 9, 18, 48 twin block, 87
SNI, 76, 120
social space, 134
Socrates, 43, 57, 58
U
Soekarno, 35 Undang-undang Bangunan Gedung,
Sosial, 152, 196, 211 21, 59, 79, 131
sosial,, 131, 132, 135, 137, 142, 144, unsuitable, 152, 169
149, 151, 152, 159, 161, 184, 189, urbanisasi, 21, 38, 45, 48, 68, 86, 110,
191, 201, 205 111
sosiologi, 10, 30, 31, 32, 36, 104 Urbanisasi, 38, 48
space, 133, 134, 135, 136, 137, 151, usage, 188
153, 154, 163, 164, 180, 181, 182 UUBG, 59, 60, 61, 79
spiritual, ix, 62, 64, 65, 66, 71, 84 UUD’45, 13
St. Sitine, 82
standar, 6, 7, 8, 16, 17, 18, 22, 25, 27,
28, 49, 58, 60, 63, 64, 69, 71, 75, V
79 Van Peursen, 93
structure, 148 vandalisme, 27, 46, 51, 53, 86, 90,
struktur, 1, 53, 56, 96, 117 153, 158, 189
subsidi, 19, 25, 33, 114, 121, 123, 124 Voltaire, 45
supply, 130, 132
Supply, 15
sustainability, 32 W
sustainability design, 32
want, 148, 164, 173, 195
swasembada, 17, 54
wants, 149
WHO, 6, 16, 17, 27, 103
T wilayah, 134, 137, 138, 142, 144, 150,
151, 161, 164, 188, 192, 197, 198,
TABG, 61 200
Taj Mahal, 82 Winston Churchill, 36, 58
Tata nilai, 187, 188, 192, 202, 205
teknologi, 4, 10, 13, 14, 16, 39, 40, 45,
46, 53, 73, 76, 83, 99, 100, 109 Y
Yunani, 14, 31, 43, 45, 58

[216]
[217]
[218]
[219]
ARSITEKTUR
PERUMAHAN

di Perkotaan

ARIEF Sabaruddin

[220]

Anda mungkin juga menyukai