Anda di halaman 1dari 5

Berpisah Bukan Berarti Berakhir

Siang itu, jalanan lumayan sepi. Doni mengayuh sepedanya dengan cepat, diikuti oleh Rahma
yang sedikit tertinggal di belakang, namun berusaha agar posisinya sejajar dengan Doni, hingga
akhirnya mereka bersebelahan. Dengan perasaan bangga, karena lulus dengan nilai yang sangat
memuaskan, kedua orang sahabat ini berteriak kegirangan sambil sesekali tertawa dengan sepeda
yang masih melaju tidak terkendali, dan..
Brukkk!
Rahma tidak sengaja menabrak sebuah kayu yang tergeletak di jalan hingga membuat sepedanya
tidak seimbang dan malah membelok ke arah Doni yang membuat mereka berdua jatuh
tersungkur.

Doni meringis kesakitan. Tadi mereka terjatuh cukup parah. Doni mendapati lecet di kedua
kakinya, dan seragam sekolahnya sedikit berlepotan merah, lengannya mengeluarkan darah,
terluka. Sambil berusaha bangkit, matanya tertuju pada Rahma yang masih tergeletak di
depannya.

“Kamu baik-baik saja?” Doni bertanya khawatir.


“Oh, hanya lecet” Jawab Rahma, seraya menunjukkan lengannya. “Maaf, aku ceroboh. Kamu..
Hah lenganmu mengeluarkan darah!” Lanjutnya kaget melihat lengan kiri Doni.
“Hanya luka kecil” Jawab Doni enteng sambil membantu Rahma untuk berdiri.
“Tidak, kita harus segera mengobatinya” Tegas Rahma.

Doni merasa geli melihat wajah Rahma yang berubah panik. Ini bukan sepenuhnya salah Rahma
yang menabraknya, tapi juga karena dirinya yang membuat Rahma ikut mengayuh sepeda
dengan kencang. Tentu saja juga karena mereka bersepeda tidak memperhatikan jalan karena
sedang tertawa kegirangan.

“Aaau.. Perih.. Jangan kasar!” Ringis Doni yang sedang dibersihkan lukanya oleh Rahma ketika
mereka sampai di rumahnya.
“Diam, Bawel. Lukamu ini cukup dalam, bisa infeksi” Katanya sok tahu tetapi dengan tampang
serius.
“Dan aku akan menyalahkanmu, Cerewet” Balasnya.
“Aku? Bukankah kamu yang mengajakku ngebut?” Protes Rahma.
“Tapi, kamu yang menabrakku” Protes Doni balik.
“Hehee.. Oke, maaf. Aku tadi terlalu lepas, sangking bahagianya bisa lulus dengan nilai IPA
yang wow. Dan.. Tentu saja, sebentar lagi akan menjadi seorang mahasiswa” Ucap Rahma
dengan bangga.
Doni tidak menanggapi. Dia terdiam. Ada yang aneh dengannya saat mendengar Rahma
menyebut akan menjadi seorang mahasiswa. Tentu saja dia juga senang, tapi sesuatu seperti
mengganjal perasaannya. Doni melamun.
“Hei, Kenapa? Bukankah nilai matematika kamu juga wow? Bahkan nilai lainnya cukup
memuaskan?” Tanya Rahma heran melihat sahabatnya ini menjadi seperti orang patah semangat.
Tidak ada jawaban dari Doni. Dia masih melamun, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Wajahnya jadi muram. Dia memang lulus dengan nilai yang memuaskan, bahkan sangat-sangat
memuaskan. Namun, justru karena itulah masalahnya. Tapi, entahlah.

Rahma telah selesai membalut luka Doni, namun bingung masih menggeliat ketika melihat Doni
yang sedari tadi hanya diam. Akhirnya, Rahma memutuskan untuk..
“Aaauuu..” Teriak Doni meringis lebih kencang dari ringisan sebelumnya. “Sakit, Bawel nakal!”
Lanjutnya tetap dengan suara yang kencang karena kaget. Rahma telah memukul pelan lukanya,
tapi menimbulkan sakit yang luar biasa.
“Hahaha..” Rahma terbahak melihat reaksi Doni yang tidak disangkanya akan kesakitan
berlebihan seperti itu. “Siapa suruh, orang ngomong tidak dihiraukan?” Lanjutnya ketika
tawanya sudah reda.
“Tapi tidak perlu memukul lukaku, Bawel nakal!” Kesalnya.
“Dasar, Cerewet payah!” Rahma membalas. “Sore nanti, kutunggu di taman. Kita merayakan
kelulusan ini” Lanjutnya. “Aku pulang dulu ya, bye” Lanjutnya lagi dan berlalu keluar.
Doni menurut saja dengan ajakan sahabatnya itu. Mereka sangat akrab dan memang sudah
menjadi sahabat baik sejak kecil karena rumah mereka yang dekat, berhadapan. Orangtua mereka
juga saling kenal baik.

“Kamu yang mengajak, kamu yang telat. Dasar, Bawel payah!” Cetus Doni kesal saat Rahma
datang, ketika mereka sudah bertemu di taman.
“Payah? Itu kan gelarmu?” Ralat Rahma sambil memarkirkan sepedanya di samping kursi
tempat Doni duduk menunggunya. Doni hanya tertawa kecil.
“Oh, iya. Kamu.. Hmm.. Uhhh” Ucapan Rahma terputus, dia sibuk dengan matanya yang tiba-
tiba kelilipan.
“Jangan dikucek, nanti matamu malah merah. Sini!” Sergah Doni.
Doni meraih tangan Rahma yang masih sibuk mengucek matanya. Kemudian kedua tangannya
berpindah ke kepala Rahma dan mendekatkan ke depan wajahnya. Dekat sekali. Kemudian, Doni
meniup mata Rahma pelan, beberapa kali hingga Rahma merasa matanya sudah normal.
“Bagaimana?” Tanya Doni akhirnya.
“Su-sudah enakan, terimakasih” Jawabnya sedikit terbata.
Rahma jadi salah tingkah. Dia mengucek matanya kembali yang sudah tidak kenapa-napa untuk
menutupi kecanggungannya. Baru kali ini dirinya merasa canggung pada Doni yang merupakan
sahabatnya sendiri, bahkan sudah sejak kecil.
“Jangan dikucek lagi, Bawel nakal!” Sergah Doni kembali. Kali ini, dengan mencubit kedua pipi
Rahma, gemas.
“Sakit, Cerewet payah!” Kesal Rahma.
“Eh, Tadi mau bilang apa? Tanya Doni kemudian.
“Oh, iya. Hampir lupa” Ucap Rahma. “Aku cuma mau nanya, kamu mau lanjutin sekolah
kemana?” Lanjutnya mulai serius.
Doni seketika terdiam, lagi-lagi sesuatu sedang dipikirkan olehnya. Pertanyaan Rahma membuat
perasaannya kacau. Entah apa, tapi terasa berat bagi Doni untuk menjawab pertanyaan ini.
“A-aku..” Suara Doni keluar, tapi terbata.
“Kenapa?” Tanya Rahma merasa aneh.
“Aku.. Tidak bi-bisa.. Lagi” Jawabnya pelan masih terbata. Doni menunduk.
“Tidak bisa apa?” Rahma sama sekali tidak mengerti. “Cerewet Payah, ada apa? Kok kamu jadi
aneh gitu?” Desak Rahma, sementara Doni masih membisu namun berusaha menyusun kata-
katanya yang berserakan.
“Kita tidak.. Tidak bisa lagi.. Bersama. Maafkan aku, Cerewet Payah-mu ini” Jawab Doni
akhirnya, lirih.
“Apa maksudmu? Aku.. Aku masih belum mengerti” Rahma bingung.
“Maafkan aku, Bawel Nakal. Aku.. Aku telah mengambil keputusan menerima beasiswa untuk
melanjutkan sekolah ke Amerika. Dan dua hari lagi, keberangkatanku” Jawabnya berat, masih
dengan nada lirih yang dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, tatapnya kosong entah kemana.

Hening, tidak bergeming. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Doni merasa bersalah
dan sangat berat meninggalkan sahabatnya, sulit untuk mereka nantinya. Bahkan, tidak dalam
cakupan yang mudah untuk selalu bersama lagi.
Sementara, Rahma, tidak tahu kenapa, perasaannya seperti dirampas. Dia tidak menyangka
kegembiraannya setelah lulus SMA dan akan menjadi seorang mahasiswa, akan berubah menjadi
sesuatu yang amat sulit dia terima. Ternyata, inilah kenyataan pahit dibalik diamnya Doni yang
mengganjal sedari siang tadi, sebuah perpisahan.

Sejak kejadian itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Rahma memilih untuk mengasingkan diri
dari Doni yang akan meninggalkannya. Dia selalu berusaha untuk tidak memikirkan hal yang
akan membuatnya kehilangan itu. Bahkan, mungkin, dia berusaha untuk lupa dan meyakinkan
hal itu tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi padanya.
Kenyataannya, itu semua bertolak belakang dengan apa yang akan tetap harus Rahma tempuhi.
Sungguh dirinya tidak bisa. Tidak sanggup.

Doni sendiri tidak merasa aneh dengan reaksi Rahma yang tentu saja sedikit menyiksa ini. Tidak
terlalu banyak bertindak seakan tidak peduli. Tapi, bukan itulah maksudnya. Hanya saja, Doni
mengerti sahabatnya itu, sangat paham. Pikirnya, dia tidak ingin menambah tekanan rasa kecewa
itu pada Rahma.

Hingga akhirnya tibalah saat dimana Doni, akan meninggalkan kepingan-kepingan cerita
bersama Rahma yang kini sudah jatuh berserakan diterpa hembusan kehilangan. Dari awal
kejujurannya yang ternyata tindakan salah itu, hingga sekarang, Doni tengah mendapati dirinya
yang hanya sendirian di antara gemuruh pinggiran jauh bibir landasan pesawat yang akan
membawanya meninggalkan kepingan cerita bersama Rahma itu.

Beberapa orang mulai sibuk berlalu melintasinya yang masih berdiri tegak merendam diri dalam
kenyataan pahit ini. Sebelum berangkat ke Bandara, Doni tidak menampakkan dirinya pada
Rahma yang sudah terlanjur kecewa padanya. Masih pada alasan yang sama, dia tidak ingin
menambah tekanan rasa kecewa itu. Dia ingin rasa kecewa itu tidak akan lama melekat pada jiwa
Rahma, dia ingin rasa kecewa itu mendarat hilang bersamaan dengan mendaratnya pesawat yang
akan membawanya menjauh dari kebersamaan yang mungkin tidak akan terjadi lagi.

Beberapa orang masih berlalu melintasinya. Namun, Doni masih tidak bisa menggerakan
kakinya untuk melangkah meninggalkan bercak kepedihan ini. Rasanya, tidak ingin dirinya
beranjak, membiarkan semua berlalu, agar dirinya dapat memungut kepingan cerita bersama
Rahma yang sudah jatuh berserakan itu.
Masih dalam kesendirian diri yang didapatinya hingga saat ini, Doni terlarut. Pandangannya
kosong lurus menatap ke depan. Pikirannya entah kemana. Perasaannya remuk, hancur.
“Wet..”
Panggilan lirih membuyarkan pikiran Doni yang sempat melayang. Suara itu, suara yang tidak
asing lagi baginya, suara yang selama ini mengalun bersama hidupnya, suara orang yang sudah
menjadi belahan jiwanya. Pemilik suara itu, tentu saja sungguh dikenalnya.
“Bawel? Benarkah itu kamu?” Sontak, Doni segera menuju sumber suara. Kakinya terhenti
dengan segera pula dalam jarak yang terjaga di hadapan seseorang yang terlihat tengah berat
memikul perih hati.
“Maafkan.. Akuuu..” Suara itu terdengar pasrah. Rahma menunduk lemah, tidak kuat menatap
seseorang yang akan jauh meninggalkannya.
Ucapan itu seakan menggores dinding pertahanan Doni. Didekapnya segera dalam pelukan,
orang yang sedari tadi tidak disangkanya akan hadir di tengah kegelisahannya yang sedang
seorang diri mengahadapi kenyataan berat ini. Rahma terisak-isak dalam dekapannya. Tidak kuat
lagi dirinya menyembunyikan air mata yang sudah membendung.
“Aku memang egois, tidak seharusnya aku begini” Sesal Rahma, mulai melepas dekapannya dari
pelukan hangat kasih sayang seorang sahabat.
“Maafkan aku, Bawel Nakal. Aku memang seorang sahabat yang jahat, aku..”
“Sudahlah” Potong Rahma. “Akulah yang nyata jahatnya, menghalangi sahabatnya sendiri untuk
memilih jalan hidup. Memang gila, egois” Lanjutnya.
“Bawel..” Desis Doni lemah.
“Sudah! Jangan cemaskan aku. Aku tidak akan menjadi penghalangmu lagi. Kejarlah mimpimu
disana. Aku akan baik disini” Rahma mulai mengembangkan senyumnya.
“Inilah Bawel Nakal-ku!” Balas Doni juga tersenyum. “Kamu memang terbaik bagiku”
Lanjutnya sambil menyeka air mata yang masih tersisa di kedua pipi Rahma.
“Pergilah! Hingga aku tidak bisa bernafas sekalipun, aku akan selalu setia menunggumu untuk
membawa mimpimu itu” Tutur Rahma meyakinkan. Doni merekahkan senyum lega.

Pesawat akan segera berangkat. Dengan setengah berlari, Doni meninggalkan Rahma yang masih
tersenyum padanya. “Aku pegang janjimu, Bawel Nakal” Teriaknya sebelum benar-benar
menghilang dari pandangan Rahma. Tentu, Cerewet Payah! Berpisah bukan berarti berakhir..
Kita akan bersama lagi suatu saat nanti, entah dimana. Hati Rahma berucap.

Cerpen Karangan: Melinda Rahmasari


Facebook: Melinda Rahmasari
Nama: Melinda Rahmasari
TTL: Kuala Pembuang, Kalimantan Tengah. 06 Desember 1997
Sekolah: SMAN 1 Kuala Pembuang, kelas XI IPA 1

Ini merupakan cerita pendek karangan Melinda Rahmasari, kamu dapat mengunjungi halaman
khusus penulisnya di: Melinda Rahmasari untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan
penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen
Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 8 October, 2014 Masuk ke dalam kategori Cerpen Perpisahan,
Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja

Anda mungkin juga menyukai