Anda di halaman 1dari 21

A.

Definisi STEMI
STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten
ST elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac
troponin merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark
miokard. (AHA, 2013).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu
ST- elevation infark miocard (STEMI) dan non ST- elevation infark miocard
(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi
segmen ST pada EKG.

B. Faktor Risiko
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus,
terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI,
antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit
dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2
(dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor
resiko yang dapat diubah.
1. Faktor yang tidak dapat dirubah:
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ
pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia
antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat
lima kali lipat (Kumar, et al., 2007).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali
jika terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah
menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan
atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan
dengan pria.
c) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang
kulit putih.
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50
tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

2. Faktor resiko yang dapat dirubah:


a) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita (Kumar, et al., 2007). Efek rokok adalah
menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau
dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi
pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat
menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin
banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar HDL kolesterol makin
menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL
kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok
juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai
obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung
lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan
perokok.
b) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida
serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180
mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan
peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi
240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan
meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar
kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung
terhadap penyakit ini.
c) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan
darah systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi
dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%
dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan,
sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung
kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke
(Kumar, et al., 2007).
d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard
dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes
daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada
seseorang yang menderita diabetes mellitus.
e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung
koroner.
f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

C. Faktor Etiologi
Penyebab infark miokard secara umum, antara lain:
1. Thrombus dan/atau embolus yang menyebabkan aterosklerosis dan
aklusis di arteri coroner
2. Vasospasme (vasokonstriksi atau penyempitan mendadak) pada
arteri coroner
3. Penurunan suplai oksigen (tekanan darah rendah, kehilangan darah
yang akut atau anmeia).
4. Penyempitan aterorosklerotik
5. Plak aterosklerotik
6. Lambatnya aliran darah di daerah plak atau oleh viserasi plak
7. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
8. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
9. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot
D. Patofisiologi

E. Manifestasi Klinis
1. Keluhan utama klasik
Nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang
berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat.
Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina
pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan
berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah
dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.
Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung,
rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai dengan kelemahan,
berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2007).
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard
berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga
sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama
beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan
suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada
infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang
disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara
jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung
dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda
disfungsi ventrikel jantung.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
Angina Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak meningkat
Pectoris istirahat/ aktivitas Inversi gelombang T
Stabil ringan (ICS III-IV). Tidak ada gelombang
Hilang dengan nitrat Q
NSTEMI Lebih berat dan lama Depresi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak Inversi Gelombang T minimal 2 kali
hilang dengan nitrat, dalam nilai batas atas
perlu opium normal
STEMI Lebih berat dan lama Elevasi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak inversi gelombang T minimal 2 kali
hilang dengan nitrat, nilai batas atas
perlu opium normal

2. Respiratory
a. Nafas yang memendek, dispnea, takipnea
b. Krakles dapat terdengar jika ada kongesti pulmonary
c. Dapat pula disertai edema paru
3. Gastrointestinal
Mual dan muntah
4. Urinary
Penurunan keluaran urin dapat mengindikasikan syok kardiogenik
5. Integumen
Dingin, berkeringat, diaforesis, dan pucat, dapat muncul karena
stimulus dari kurangnya kontraktilitas yang dapat mengindikasikan
adanya shock kardiogenik. Oedema dapat muncul karena kurangnya
kontaktilitas.

F. Pemeriksaan Penunjang
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI
dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac
imaging, dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard
infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner
menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa
elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q.
Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI
inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.
Tabel 2. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan
3 Anterolateral
I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan
4 Lateral inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan
aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF,
5 Inferolateral
dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan
6 Inferior
aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF,
7 Inferoseptal
V1-V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi
8 True posterior
di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
9 RV Infraction
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama
infark.

2. Serum Cardiac Biomarker


Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan
protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat
molekul, dan aliran darah dan limfatik local. Biomarker kardiak dapat
dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk
membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan sehingga ikut
beredar bersama sirkulasi.
a. Cardiac Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan
jantung. Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI),
troponin T (TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC
pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada
perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform
TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan
immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini
menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac troponin. Troponin
bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji troponin
menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip
dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi
selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif,
kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik untuk pasien
dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan
tingkat mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS.
b. Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk
diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan
digunakan untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff
diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal.
Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15%
dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas
CKMB tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul pada beberapa
keadaan klinis seperti trauma atau miopati. CK-MB pertama muncul pada
4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24 jam, dan kembali
normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan spesifik
untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan tidak
mempunyai nilai prognostik.
c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100]
dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive
peningkatan CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten
dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot
jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-
MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB
untuk MI. Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya
memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab
itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot
rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis), sensitifitas
akan jatuh secara signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya
pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada
keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks
relatif hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya
mengalami peningkatan.
d. Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2.
CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium
setelah MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini
terjadi segera setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis
menggunakan elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1
juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih dominan
sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika
CK-MB2 meningkat dan rasionya >1,7. Pelepasan isoform CK-MB
termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di serum pada 2-4 jam setelah
onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah marker awal dari AMI.
Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92%
pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB
dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif
sulit dilakukan oleh laboratorium.
e. C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara
langsung pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai
pada awal 1990an menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat
menunjukkan adverse cardiac events, baik pada prevensi primer maupun
sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi profil risiko jantung
pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai
indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP
memprediksi kematian jantung dan AMI.
Tabel 3. Cardiac marker pada Miokard Infark

Waktu Awal Waktu Puncak Waktu Kembali Nilai Rujukan


Marker
Peningkatan (jam) Peningkatan (jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam 10-13 units/L
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam < 110 ng/mL
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari < 1,5 ng/mL
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari < 0,1 ng/mL

Cardiac Imaging
a) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat
akut dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena
keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI,
deteksi awal akanada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan
echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti
apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi
echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi
prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi
dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark
pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus
pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat
mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi
STEMI.
b) High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac
MRI.
c) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis
in myocardial infarction (TIMI) grading system:
 Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
 Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
 Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
 Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.

3. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi


Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan
leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali
mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara
lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama
minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu.

G. Penatalaksanaan
Menurut American Heart Ascossiation (2013) Tujuan utama tatalaksana IMA
adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi
strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi
antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA .
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump
failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi
dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah
sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke
rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu
iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
 JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien
memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai
dalam 30 menit sejak EMS tiba.
 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI,
hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang
mempunyai indikasi fibrinolitik.
 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-
door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.
3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi perfusi.
Tatalaksana STEMI
a. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke
ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat
pasien dengan STEMI.
b. Tatalaksana Umum
 Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
 Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5
menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena
juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark
ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih
dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam
sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena
nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
 Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-
15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan
arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi
tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin
juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropine 0,5 mgIV.
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan
A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg
di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
 Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang
biasadiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total
3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
 Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle
(atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik
dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen medis dicapai
dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA
(percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat
dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI
(Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang
direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu
oleh tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan
STEMI dan gejala iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI
dilakukan untuk membuka hambatan pada arteri koroner dan
menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya
dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring.
Gambar. Pemasangan PCTA atau PCI
Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi
antara lain:
1. Waktu onset gejala
- Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting
luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam
menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi
fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis
menurunkan angka kematian.
- Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark
menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang
menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh
keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.
- The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the
European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target
medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90
menit.
2. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai
risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan
fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis
menunjukkan strategi PCI lebih baik.
3. Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis
harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.
4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI
dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite
end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis,
superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal
berkurang.

H. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan
dengan ukuran dan lokasi infark.
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
dijumpai kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung
kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran
setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel
dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi
koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic,
dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui
dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat
berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan
diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru
menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat
masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
7. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan
parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan
massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat
berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan
jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung
ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
8. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi
kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan
thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi
sistemik

.
9. Perikarditis
Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan
menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan
menimbulkan reaksi peradangan.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN ST- ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)

1. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama,
suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No.RM, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias
dihubungi, status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
b. Keluhan utama
nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
1) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang
dengan istirahat.
2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
3) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri
di atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat
terjadi nyeri serta ketidakmampuan bahu dan tangan.
4) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan
rentang 0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan. Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-
5 skala (0-5).
5) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri
oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya
lebih parah dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang
menyertai infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas,
dan pingsan.
c. Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM,
dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien
pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang terjadi
di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.
d. Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada
anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
e. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap,
jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.
f. Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung
koroner, masalah hipertensi, DM.
Tanda:
1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk/berdiri
2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin
terjadi.
3) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal
jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.
4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
5) Friksi; dicurigai perikarditis.
6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
7) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal
jantung/ventrikel.
8) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
g. Integritas ego
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat,
marah pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga,
pekerjaan dan keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
h. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
i. Makanan/cairan
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda:penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan
perubahan berat badan
j. Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri
k. Neurosensori
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun
(duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan

l. Pernapasan
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak
produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda:peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih
atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
m. Interaksi sosial
Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping
dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi). Tanda: kesulitan istirahat
dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri dari keluarga

A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
oklusi arteri koroner
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan
paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari
edema paru akut
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler
sistemik, otot infark, kerusakan struktural
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,
misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik
jaringan miokard, efek obat depresan jantung
6. Distress spiritual berhubungan dengan bedrest total akibat intoleransi
aktivitas
DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction :


A Report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2013.
Djohan, Anwar Bahri. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Sumatera
Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies,
Inc.
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Schreiber, Donald. Use of Cardiac Markers in The Emergency Department.
Available at. http://emedicine.medscape.com/article/811905-overview .
DeMoranville, Victoria E. Cardiac Marker Tests. Available at.
http://www.surgeryencyclopedia.com/A-Ce/Cardiac-Marker-Tests.html

Anda mungkin juga menyukai