Anda di halaman 1dari 35

Materi Pengayaan Dokter Muda

MANAJEMEN DIABETIK NEUROPATI

Oleh :

Fadlan Adima Adrianta

0810710043

Pembimbing :
dr. Shahdevi N, Sp.S

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD DR.SAIFUL ANWAR MALANG
2013
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan 3
2.Tinjauan Pustaka 6
2.1. Diabetes Melitus 6
2.1.1 Definisi, Etiologi, dan Klasifikasi 6
2.1.2 Patofisiologi Diabetes Melitus 7
2.1.3 Komplikasi Diabets Melitus 7
2.2. Neuropati pada DM 8
2.2.1 Definisi 8
2.2.2 Klasifikasi 8
2.2.3 Patofisiologi 12
2.2.4 Diagnosis 13
2.3 Manajemen Neuropati pada Diabetes 13
2.3.1 Prinsip Terapi 14
2.3.2 Daftar Obat untuk Terapi Neuropati 16
2.3.3 Algoritma Terapi 18
2.3.4 Deskripsi Obat 20
2.3.5 Efek Samping pada Terapi Neuropati DM 25
2.3.6 Perbandingan Aksesibilitas dan Harga Obat 26
3. Ringkasan 27
4.Tanya Jawab 30
5.Daftar Pustaka 33

2
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu sindroma


hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh defisiensi insulin,
resistensi insulin, atau keduanya. Lebih dari 120 juta
penduduk di seluruh dunia menderita DM dan diperkirakan
jumlah ini akan meningkat menjadi 370 juta penduduk
menjelang tahun 2030. Diabetes Mellitus (DM) merupakan
penyakit yang insidensinya terus meningkat secara
eksponensial dari tahun ke tahun. Indonesia sendiri
menempati urutan keempat dari 10 negara dengan penderita
DM terbanyak di dunia). DM biasanya ireversibel, walaupun
pasien masih bisa menjalani hidup secara normal, tetapi
komplikasi akhir dari penyakit DM ini bisa menurunkan
harapan hidup (Abbas, 2000).

Menurut American Diabetes Association (ADA) (2005),


dalam perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
(2006), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia kronik dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat
dari defek sekresi indulin, aksi insulin, ataupun keduanya.
Peningkatan insidensi DM yang eksponensial ini tentu akan
diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi
dari DM baik akut maupun kronis. Komplikasi akut dapat
berupa Ketoasidosis diabetik (KAD), Koma hiperosmolar

3
hiperglikemik, dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronis
bisa berupa retinopati, nefropati, penyakit jantung koroner,
penyakit pembuluh darah perifer, neuropati, diabetic foot
(Guyton, 2002).

Neuropati diabetik merupakan kompikasi yang sering


terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita
DM. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris,
motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya
progresif yaitu di mana terjadi degenerasi serabut-serabut
saraf dengan gejala-gejala nyeri bahkan mati rasa. Yang
terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan
(Donath, 2003).

Mengingat terjadinya diabetik neuropati merupakan


rangkaian proses yang dinamis dan bergantung pada banyak
factor, maka pengelolaan dan pencegahan diabetik neuropati,
pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan Diabetes
secara keseluruhan. Untuk mencegah diabetik neuropati tidak
berkembang menjadi ulkus pada kaki, diperlukan berbagai
upaya, khususnya, pentingnya perawatan kaki. Bila diabetik
neuropati disertai dengan nyeri diberikan berbagai jenis obat
sesuai dengan nyeri dengan harapan untuk menghilangkan
keluhan, hingga kualitas hidup dapat diperbaiki.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah definisi, etiologi dan klasifikasi
neuropaty pada diabetes?
2. Bagaimanakah patofisiologi dari neuropaty pada
diabetes?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan dari neuropaty pada
diabetes?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi, etiologi dan klasifikasi neuropaty
pada diabetes
2. Mengetahui patofisiologi dari neuropaty pada
diabetes
3. Mengetahui penatalaksanaan dari neuropaty pada
diabetes
1.4 Manfaat Penulisan
1. Dapat dijadikan sebagai referensi meningkatkan
khasanah ilmu pengetahuan dalam proses neuropaty
pada diabetes melitus tipe II beserta prinsip
manajemennya.
2. Membuka kesempatan untuk diadakannya penelitian
mengenai pengembangan manajemen yang efektif
dan efisien untuk penatalaksanaan neuropaty pada
diabetes

5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi, Etiologi, dan Klasifikasi
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang
secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
manifestasi berupa hilangnya toleransi glukosa. Diabetes
melitus adalah keadaan hiperglikemia (peningkatan glukosa
darah) kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat
gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai
lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan
mikroskop elektron (Mansjoer, 2007). Jika diabetes telah
berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial,
aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan
neuropati (Resnick, 2001).
Sesuai dengan anjuran American Diabetes
Association (ADA) 2007, DM bisa diklasifikasikan secara
etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe II, diabetes
dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Mansjoer, 2007). DM
tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Melitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel beta
pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah
mencapai 90% maka gejala DM mulai muncul. Selain itu ada
yang karena autoimun dan idiopatik DM tipe II merupakan
90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin

6
dependent Diabetes Melitus (NIDDM) dan mempunyai pola
familial yang kuat. DM tipe II seringkali terjadi resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin (ADA, 2007).

2.1.2 Patofisiologi Diabetes Melitus


Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II sangat
kompleks, pada awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin dalam
upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel ß
pankreas akan mensekresikan insulin lebih banyak untuk
mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini toleransi
glukosa dapat normal tetapi suatu saat akan terjadi gangguan
dan menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan
belum terjadi diabetes. Apabila keadaan resistensi insulin
bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus,
sel ß pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak
mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula
darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang
mempengaruhi kadar gula darah puasa dan pospandrial yang
sangat karakteristik pada Diabetes Melitus Tipe II. Akhirnya
sekresi insulin oleh sel ß pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia yang bertambah berat dan terus menerus
berlangsung (Cohen, 2001).

7
2.1.3 Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi DM terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi
kronis. Komplikasi akut dari diabetes mellitus adalah diabetic
ketoacidosis (DKA), hyperglicemic hyperosmolar state (HHS)
dan hipoglikemi. Sedangkan komplikasi kronik dapat dibagi
menjadi 2 yaitu komplikasi vaskular dan non vaskular. Pada
komplikasi vaskular, dibagi lagi menjadi mikrovaskular
(retinopathy, neuropathy, nephropathy) dan makrovaskular
(coronary artery disease (CAD), peripheral artery disease
(PAD), cerebrovascular disease). Komplikasi non vascular
yaitu berupa gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit
(Fauci et al., 2008)

2.2 Neuropati Pada Diabetes


2.2.1 Definisi, dan Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakit, neuropati diabetik
muncul sebagai akibat perubahan biokimiawi dimana belum
terdapat kelainan patologik dan masih reversible. Fase itu
dikenal dengan neuropati fungsional (subklinis). Selanjutnya,
ketika gejala sudah dapat dikeluhkan oleh pasien berarti
kerusakan sudah melibatkan struktur serabut saraf, namun
masih terdapat komponen yang reversible. Fase itu disebut
neuropati struktural (klinis).

Kerusakan struktural yang dibiarkan begitu saja lama


kelamaan akan mencapai tahap akhir yaitu kematian neuron

8
yang sifatnya irreversible. Di sisi lain, berdasarkan serabut
saraf yang terkena, neuropati diabetik dibagi 2 yaitu neuropati
sensorimotor dan neuropati otonom.

 Neuropati Sensorimotor  Kerusakan pada saraf sensori


biasanya pertama kali mengenai akson terpanjang,
menimbulkan pola kaos kaki dan sarung tangan
(stocking-and-glove distribution). Kerusakan pada serabut
saraf kecil akan mengganggu persepsi pasien terhadap
sensasi suhu, raba halus, pinprick, dan nyeri. Sedangkan
pada serabut saraf besar, pasien dapat kehilangan
sensasi getar, posisi, kekuatan otot, diskriminasi tajam-
tumpul, dan diskriminasi dua titik. Di samping itu, pasien
dapat mengeluh nyeri paha bilateral disertai atrofi otot
iliopsoas, quadriceps dan adduktor. Secara objektif, kita
dapat menilai adanya gangguan sensori sesuai segmen
L2, L3, dan L4. Sementara itu, elektromiografi (EMG)
memperlihatkan gambaran poliradikulopati.

 Neuropati otonom  umumnya ditemukan pada pasien


yang menderita diabetes jangka lama. Neuropati otonom
terjadi pada 40% kasus setelah menderita DM lebih dari
10 tahun. Pada ekstremitas bawah, neuropati otonom
dapat menyebabkan arteriovenosus shunting, dan dapat
menyebabkan vasodilatasi di arteri-arteri kecil.
Anormalitas pada neuropati otonom juga bertanggung
jawab terhadap penurunan aktivitas kelenjar keringat di

9
kaki. Perubahan ini akan menyebabkan kulit kering dan
timbul fisura yang menjadi predisposisi terhadap infeksi
kaki. Neuropati motorik di kaki menyebabkan lemahnya
otot-otot intrinsik kecil, yang secara klasikal disebut
“intrinsicminus” kaki. Hal ini akan memicu adanya
ketidakseimbangan muskular dengan tanda yang khas
yaitu fleksi pada plantar kaki. Kepentingan gangguan otot-
otot instrinsik pada caput metatarsal dan digiti berperan
sebagai titik tekanan pada kaki dengan kemungkinan
iritasi dari sepatu atau peralatan lain yang dipakai dikaki,
sebagai salah satu penyebab ulkus kaki diabetik. Pasien
diabetik mengalami kerentanan terhadap abnormalitas
musculoskeletal kaki, seperti neuropati atropi (kaki
charcot’s). Neuropati artropi ditandai dengan kronik,
progresif, proses degeneratif dari 1 atau lebih sendi dan
ditandai dengan pembengkakan, perdarahan,
peningkatan suhu, perubahan tulang dan instabilitas
sendi. Polineuropati simetrikal pada bagian distal
merupakan sebuah komplikasi dari diabetes dan berperan
sebagai penyebab utama ulkus kaki diabetes dan
berdampak pada bagian sensorik dan motorik sistem
saraf tepi.

Menurut Brushart, (2002) Lesi pada saraf perifer akan


menimbulkan enam tingkat kerusakan yaitu :
a. Grade 1 (Neuropraksia)

10
Kerusakan yang paling ringan, terjadi blok fokal
hantaran saraf, gangguan umumnya secara fisiologis, struktur
saraf baik. Karena tidak terputusnya
kontinuitas aksoplasmik sehingga tidak terjadi degenerasi
wallerian. Pemulihan komplit terjadi dalam waktu 1 – 2 bulan.
b. Grade II (aksonometsis)
Kerusakan pada akson tetapi membrana basalis
(Schwann cell tube), perineurium dan epineurium masih utuh.
Terjadi degenerasi wallerian di distal sampai lesi, diikutu
dengan regenerasi aksonal yang berlangsung 1
inch per bulan. Regenerasi bisa tidak sempurna seperti pada
orang tua.
c. Grade III
Seperti pada grade II ditambah dengan terputusnya
membrana basalis (Schwann cell tube). Regenerasi terjadi
tetapi banyak akson akan terblok oleh skar endoneurial.
Pemulihan tidak sempurna.
d. Grade IV
Obliterasi endoneurium dan perineurium dengan skar
menyebabkan kontinuitas saraf berbagai derajat tetapi
hambatan regenerasi komplit.
e. Grade V
Saraf terputus total, sehingga memerlukan operasi
untuk penyembuhan.
f. Grade VI

11
Kombinasi dari grade II-IV dan hanya bisa didiagnosa
dengan pembedahan.

2.2.2 Patofisiologi
Proses patologi
Menurut Adam, (2005) ada tiga proses patologi dasar
yang bisa terjadi pada saraf perifer yaitu :

a. Degenerasi Wallerian
Terjadi degenerasi sekunder pada mielin oleh karena
penyakit pada akson yang meluas ke proksimal dan distal dari
tempat akson terputus. Perbaikan membutuhkan waktu
sampai tahunaan, oleh karena pertama terjadi regenerasi
kemudian baru terjadi koneksi kembali dengan otot, organ
sensoris, pembuluh darah.

b. Demielinisasi segmental
Terjadi destruksi mielin tanpa kerusakan akson, lesi
primer melibatkan sel Schwann. Demielinisasimulai dari
nodus ranvier meluas tak teratur ke segmen-segmen
internodus lain. Perbaikan fungsi cepat karena tidak terjadi
kerusakan akson.

c. Degenerasi aksonal

12
Degenerasi pada bagian distal akson saraf perifer
dan beberapa tempat ujung akson sentral kolumna posterior
medulla spinalis.

2.2.3 Diagnosis
Diagnostik neuropati ditegakkan berdasarkan adanya
gejala dua atau lebih dari empat kriteria dibawah ini :
(Sjahrir,2006)
1. Kehadiran satu atau lebih gejala
2. Ketidakhadiran dua atau lebih refleks ankle atau lutut
3. Nilai ambang persepsi getaran/vibration-abnormal.
4. Fungsi otonomik abnormal (berkurangnya heart rate
variability (HRV) dengan rasio RR kurang dari 1,04
postural hypotension dengan turunnya tekanan darah
sistolik 20 mmHg atau lebih, atau kedua-duanya).
Evaluasi yang perlu dilakukan, diantaranya :
1. Refleks motorik
2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi
sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer)
dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono
Semmes-Weinstein)
3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu
untuk mengetahui dengan lebih awal adanya
gangguan
4. Hantar saraf dapat dikerjakan elektromiografi.

13
5. Uji untuk diabetic autonomic neuropathy (DAN),
diantaranya :
a) Uji komponen parasimpatis dilakukan dengan :
- Tes respon denyut jantung terhadap maneuver
Valsava
- Variasi denyut jantung (interval RR) selama
nafas dalam (denyut jantung maksimum-
minimum)
b) Uji komponen simpatis dilakukan dengan :
- Respons tekanan darah terhadap berdiri
(penurunan sistolik)
- Respons tekanan darah terhadap genggaman
(peningkatan diastolik).
2.3 Manajemen Neuropati pada Diabetes
2.3.1 Prinsip Terapi
Prinsip dalam penatalaksanaan nyeri
Seringkali penderita neuropati pada diabetes tidak
mendapatkan terapi, dengan prevalensi sebanyak 39% (Bril
et al., 2011). Pada dasarnya, terapi neuropati pada diabetes
meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis. Prinsip
terapi yang harus diperhatikan yakni bukan hanya efektivitas,
tetapi juga efikasi, akses terhadap obat tersebut dan harga
obat.

14
Gambar 2.1 Prinsip dasar dalam terapi neuropati pada
diabetes (Troels et al., 2006).
Prinsip dalam pengambilan keputusan perawatan pasien
Dalam memutuskan model keperawatan yang
diberikan pada pasien, diperlukan beberapa macam
pertimbangan menurut NHS (2010) yakni:
1. Pertimbangkan merujuk orang ke layanan spesialis
syaraf maupun center nyeri, termasuk pada awal
presentasi dan review klinis rutin. Jika pasien
memiliki sakit parah atau rasa sakit mereka secara
signifikan membatasi kegiatan sehari-hari mereka
atau kondisi kesehatan yang memburuk.

15
2. Lanjutkan perawatan yang telah dilakukan untuk
orang-orang yang neuropatik nyeri sudah efektif
dimanajemen
3. Penjelasan mengenai prognosis ketika menyetujui
perawatan yang akan dilakukan guna mengetahui
manfaat maupun efek samping yang mungkin timbul
dari masing-masing pengobatan beserta alasan
digunakannya strategi coping untuk rasa sakit.
2.3.2 Daftar Obat untuk Terapi Neuropati
Jenis Obat
Dalam manejemen neuropati, digunakan beberapa subkelas
obat sebagai berikut:

16
Tabel 1. Jenis obat untuk manajemen neuropati pada
diabetes (NHS, 2010)
Meskipun demikian, namun tidak semua obat
mendapatkan lisensi untuk digunakan untuk manajemen nyeri
diluar center manajemen nyeri. Menurut NHS (2010). Jenis
obat yang diberikan lisensi untuk neuropati pada diabetes
yakni:

Tabel 2. Status lisensi obat untuk manajemen neuropati pada


diabetes (NHS, 2010)

17
2.3.3 Algoritma Terapi
Pengobatan lini pertama
Menurut NHS (2010), terapi lini pertama yang dapa
digunakan untuk manajemen pada neuropati yakni:
1. Penggunaan amitriptyline atau pregabalin merupakan
pengobatan lini pertama bagi penderita neuropati
diabetes yang menyakitkan. Untuk amitriptilin,
dosisnya mulai dari 10 mg per hari, dengan bertahap
ke atas titrasi dengan dosis efektif yang maksimal dan
ditoleransi pasien. Dosis tidak boleh lebih tinggi dari
75 mg per hari (dosis tinggi bias dipertimbangkan
dalam konsultasi dengan layanan spesialis nyeri).
2. Penggunaan pregabalin: mulai dari 150 mg per hari
(dibagi menjadi dua dosis) dengan atas titrasi dengan
dosis efektif atau dosis yang ditoleransi. Dosis tidak
lebih tinggi dari 600 mg per hari (dibagi menjadi dua
dosis).
3. Untuk orang dengan neuropati diabetes yang
menyakitkan, duloxetine juga merupakan pengobatan
lini pertama. Jika duloxetine merupakan
kontraindikasi,maka dapat digunakan
amitriptyline. Untuk duloxetine: mulai dari 60 mg per
hari dengan titrasi atas ke efektif dosis atau
maksimum dosis yang ditoleransi. Dosis tidak boleh
lebih tinggi dari 120 mg per hari.

18
4. Berdasarkan evaluasi klinis awal dan teratur: Perlu
dilihat apakah ada perbaikan yang memuaskan
sehingga didapatkan keputusan untuk meneruskan
pengobatan, secara bertahap mengurangi dosis dari
waktu ke waktu jika ada perbaikan yang kontinyu.
Pengobatan lini kedua
Menurut NHS (2010), apabila tidak tercapai
manajemen nyeri dengan terapi ini pertama, maka dapat
dipertimbangkan penggantian obat setelah pemberian
consent pada pasien, yakni
1. Jika lini pertama terapi menggunakan amitriptilin,
maka terapi dirubah ke pregabalin
2. Jika terapi pertama menggunakan pregabalin, ganti
atau kombinasikan dengan amitriptilin oral
3. Jika terapi pertama menggunakan duloxetine, ganti
dengan amitriptilin atau pregabalin atau kombinasikan
dengan pregabalin
Pengobatan lini ketiga
Menurut NHS (2010), apabila terapi untuk
mengurangi nyeri tidak dicapai dengan terapi lini kedua, maka
perlu dilakukan rujukan pada spesialisasi penanganan nyeri
pada center yang khusus. Dalam proses menunggu rujukan,
tramadol oral merupakan pertimbangan yang bagus untuk
manajemen sementara, dapat ditammbahkan lidokain topical
pada bagian yang nyeri yang terlokalisasi ataupun yang tidak
bias meminum obat oral

19
1. Penggunaan tramadol sebagai monoterapi dimulai
dari 50-100mg tidak lebih dari 4 jam. Dengan dosis
maksimal 400mg per hari.
2. Dilarang menggunakan opioid (morfin, oxycodone)
untuk terapi tanpa assessment dari spesialis
manajemen nyeri
2.3.4 Deskripsi Obat
1. Antikonvulsan
Beberapa jenis antikonvulsan direkomendasikan
untuk terapi pada neuropati di diabetes dan telah dibuktikan
efektivitasnya dan keamanannya. Terapi lini pertama yang
dianjurkan yakni dengan menggunakan pregabalin sebagai
agen lini pertama karena efektivitasnya dalam mengurangi
rasa nyeri pada pasien, kemampuannya dalam meningkatkan
kualitas kehidupan dan mengurangi gangguan tidur (Bril et al.,
2011; Argoff et al., 2006). Rekomendasi ini telah
mendapatkan evidens level A. sedangkan untuk rekomendasi
dengan evidens level B dapat digunakan gabapentin sebagai
salah satu terapi yang lebih terjangkau dan mudah
didapatkan. Dimana pregabalin sendiri tidak menyebar ke
semua Negara sehingga susah untuk didapatkan. Efek
samping dari pregabalin yakni sedasi, bingung, konstipasi,
pusing dan kenaikan berat badan (Lindsay et al.,2010,3)
sedangkan efek samping gabapentin yakni pusing, somnolen,
mulut kering dan lelah pada tubuh (Argoff et al., 2006).

20
2. Antidepresan
Antidepresan merupakan salah satu rekomendasi
dengan level evidens B sebagai terapi pada neuropati di
diabetes. Amitriptyline sebagai triyclic antidepresan (TCA)
merupakan obat yang menjadi lini pertama dengan efektivitas
dan harga yang lebih terjangkau. Selain itu, beberapa Negara
telah memproduksi amitriptyline sebagai obat generic yang
tersebar dan mudah didapat. Amitriptyline dapat
dikombinasikan dengan pregabalin untuk meningkatkan
efikasinya, namun idak boleh dikombinasikan dengan
duloxetine karena mampu meningkatkan efek toksisitasnya
dalam mengakibatkan sindrom serotonin (Lindsay et
al.,2010), Efek samping yang sering didapatkan yakni bibir
kering dan somnolen (Argoff et al., 2006). Terapi
antidepresan lain seperti venlafaxine dan duloxetine
merupakan serotonin norepinephrine reuptake inhibitors
(SNRIs). Duloxetine memiliki onset yang cepat dan efektif
untuk digunakan pada nyeri yang muncul di malam hari
dengan perbaikan gejala seminggu setelah terapi. Efek
sampingnya yakni mual, somnolen, pusing, penurunan nafsu
makan dan bibir kering (Bril et al., 2011). Venaflaxine sebagai
pilihan lain untuk dikombinasikan dengan pregabalin untuk
meningkatkan efektivitas pada terapi (Bril et al., 2011). Efek
sampingnya yakni mual dan somnolen. Meskipun demikian,
tidak ada rekomendasi lebih baik penggunaan duloxetine dan
venaflaxine karena kurangnya evidence based medicine

21
research dalam pemakaian obat tersbut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa SNRIs lebih ditoleransi dibandingkan
dengan TCA dengan reaksi antar obat yang lebih rendah
(Lindsay et al.,2010).
3. Opioids dan obat Opioid-Like
Opioid merupakan salah satu pilihan untuk terapi
neuropati, namun penggunaan jangka panjang dapat
meningkatkan toleransi sekaligus berpotensi mengakibatkan
ketergantungan (Bril et al., 2011; Argoff et al., 2006). Opioid
juga digunakan untuk pasien yang telah tidak memiliki respon
terhadap terapi lain (Bril et al., 2011). Dextromethorphan,
morphine sulfate,oxycodone dan tramadol terbukti mampu
menurunkan nyeri pada neuropati diabetes sebanyak 27%.
Tramadol merupakan pilihan dengan resiko ketergantungn
yang rendah namun tidak boleh digunakan pada pasien
epilepsy (Bril et al., 2011, Argoff et al., 2006)
4. Agen Topikal
Menurut AAN (2012), evidence based dengan
menggunakan kapsaicin topical mampu menurunkan rasa
nyeri pada neuropati diabetes dengan evidens kelas I dan II.
(Lindsay et al.,2010; Bril et al., 2011). Efek samping yang
diakibatkan yakni sensasi seperti terbakar pada saat kontak
dengan air hangat atau panas. Terapi menggunakan krim
lidokain juga dapat digunakan untuk terapi neuropati pada
diabetes dengan evidens kelas III.

22
5. Terapi Supportif
Pengunaan ALA merupakan salah satu pilihan terapi
pada neuropati yang sedang dikembangkan. ALA merupakan
zat yang bersifat antioksidan yang mampu meningkatkan
glutation intraseluler sehingga mencegah kerusakan sel.
Ringkasan uji klinik yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut:

Tabel 3. Uji Klinik penggunaan ALA (Sjahrir., 2006)

23
6. Terapi Kombinasi
Pada terapi neuropati diabetes, seringkali antara satu
pasien dengan pasien lain memiliki respon yang berbeda
beda terahadap terapi yang diberikan. Bisa jadi pasien tidak
memiliki perbaikan gejala dengan pemberian agen single
(Argoff et al., 2006).oleh akrena itu, kombinasi merupakan
salah satu pilihan yang baik untuk terapi pada neuropati di
diabetes. Salah satu rekomendasi yang dianjurkan yakni
kombinasi antara penggunaan agen topical diikuti dengan
terapi oral (Lindsay et al.,2010,; Bril et al., 2011). Selain itu,
dapat digunakan terapi dengan kombinasi dari obat neuropati
diabetes dengan dua mekanisme yang berbeda seperti
penggunaan gabapentin dan morfin sulfat yang mampu
meningkatkan absorbs gabapentin dan menurunkan
eliminasinya. Namun perlu diperhatikan untuk penggunaan
pada pasien dengan komorbiditas lainnya dengan obat
statins, beta blockers, sulfonylureas, levothyroxine,warfarin
and loop diuretics (Lindsay et al.,2010; Argoff et al., 2006).

24
2.3.5 Efek Samping pada Terapi Neuropati DM
Penggunaan terapi farmakologis, maupun tanpa
terapi pada neuropati diabetes mampu mengakibatkan
terjadinya beberapa efek samping. Secara garis besar
dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 4. Perbandingan efek samping obat pada neuropati


diabetes (Troels et al., 2006)
Efek samping yang paling membahayakan pada
neuropati yang tidak diterapi yakni amputasi dari ekstrimitas
bawah pasien (Lowe et al., 2008; Deshpande et al.,2008).
Amputasi biasanya dilakukan pada kondisi penyakit sekunder
yakni penyakit vaskuler perifer akibat gangrene, ulserasi pada
kaki. Fenomena amputasi kaki 60%-nya dilakukan pada
pasien dengan diabetes (Lowe et al., 2008). Resiko dilakukan
amputasi meningkat apabila pasein dengan hipertensi,
kolestrol tinggi, merokok dan usia tua (Lowe et al., 2008,
Deshpande et al.,2008).

25
2.3.6 Perbandingan Aksesibilitas dan Harga Obat
Dalam pemilihan terapi, aspek aksesibilitas pasien
terhadap obat merupakan salah satu factor yang perlu untuk
dipertimbangkan. Berikut merupakan ringkasan perbandingan
perkiraan harga dan aksesibilitas obat pada neuropati
diabetes

Tabel 5. Perbandingan aksesibilitas dan harga pada obat


neuropati diabetes (Bril et al., 2011)

26
RINGKASAN
Komplikasi DM terdiri dari komplikasi akut dan
komplikasi kronis. Komplikasi akut dari diabetes mellitus
adalah diabetic ketoacidosis (DKA), hyperglicemic
hyperosmolar state (HHS) dan hipoglikemi. Sedangkan
komplikasi kronik dapat dibagi menjadi 2 yaitu komplikasi
vaskular dan non vaskular. Pada komplikasi vaskular, dibagi
lagi menjadi mikrovaskular (retinopathy, neuropathy,
nephropathy) dan makrovaskular (coronary artery disease
(CAD), peripheral artery disease (PAD), cerebrovascular
disease). Komplikasi non vascular yaitu berupa gastroparesis,
infeksi, dan perubahan kulit.
Patogenesis terjadinya neuropati pada diabetes
yakni: a) Degenerasi Wallerian, dimana terjadi degenerasi
sekunder pada mielin oleh karena penyakit pada akson yang
meluas ke proksimal dan distal dari tempat akson terputus; b)
Demielinisasi segmental, dimana terjadi destruksi mielin
tanpa kerusakan akson, lesi primer melibatkan sel Schwann;
c). Degenerasi aksonal, dimana degenerasi pada bagian
distal akson saraf perifer dan beberapa tempat ujung akson
sentral kolumna posterior medulla spinalis.
Pada terapi neuropati diabetes, prinsip dasar yang
harus diperhatikan yakni tujuan terapi itu sendiri, meliputi 1)
Mengurangi sensitisasi perifer; 2) Mengurangi aktivitas
ektopik; 3) Menurunkan sensitisasi sentral; 4) Menurunkan
proses fasilitasi sentral; dan 5) Meningkatkan inhibisi sentral.

27
Secara garis besar, manajemen neuropati pada
diabetes ,menjadi : 1) Pengobatan lini pertama, dengan
menggunakan amitriptyline atau pregabalin. Dengan dosis
amitriptilin, 10 mg, maksimum 75 mg per hari dan dosis
pregabalin mulai dari 150 mg per hari hingga 600 mg per hari.
Duloxetine: mulai dari 60 mg hingga 120 mg per hari.
2) Pengobatan lini kedua dilakukan jika terapi lini pertama
gagal, jika lini pertama terapi menggunakan amitriptilin, maka
terapi dirubah ke pregabalin. Jika terapi pertama
menggunakan pregabalin, ganti atau kombinasikan dengan
amitriptilin oral. Jika terapi pertama menggunakan duloxetine,
ganti dengan amitriptilin atau pregabalin atau kombinasikan
dengan pregabalin; 3) Pengobatan lini ketiga, dilakukan jika
terapi lini kedua gagal, yakni penggunaan tramadol sebagai
monoterapi dimulai dari 50-100mg tidak lebih dari 4 jam
dengan dosis maksimal 400mg per hari. Setelah itu, rujuk ke
center manajemen nyeri.
Ringkasan level evidens maupun rekomendasi obat
neuropati ialah sebagai berikut:

28
Tabel 2 Ringkasan rekomendasi terapi pada neuropati
diabetes (Vera et al., 2011)

29
TANYA JAWAB

1. Apa saja terapi non farmakologis pada neuropati


diabetes beserta keuntungannya?
a. Fisioerapi Mengurangi nyeri dalam pada kaki serta
tangan dan ketergantungan dari obat anti nyeri.
Mencegah terjadinya kram, kelemahan otot, disfungsi
seksual dan diabetic foot.
b. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
dan interferential current (IFC)menggunakan
rangsangan elektrik untuk menghilangkan stiffness,
meningkatkan mobilitas, mengurangi nyeri, mengurangi
edema dan mencegah trrjadinya foot ulcer,
c. Latihan gaitMencegah komplikasi pada kaki
penderita diabetes.
2. Sebutkan jenis manajemen yang sedang
dikembangkan untuk neuropati pada diabetes!
a. Pengunaan C Peptide telah dibuktikan pada fase 1
dan clinical trial mampu digunakan untuk terapi
neuropati pada diabetes
b. Photo Energy Therapy yang memancarkan infrared
light (NIR Therapy) dengan wavelength 880 nm. Terapi
ini memicu pelepasan Nitric Oxide, sebagai factor
relaksasi endothelium pada sirkulasi dan
mengakibatkan vasodilatasi kapiler dan vena pada
system mikrovaskuler,

30
3. Jelaskan mekanisme pregabalin dalam manajemen
nyeri pada diabetes neuropati!
Seperti gabapentin, pregabalin berikatan
pada α2δ (alpha2delta) subunit dari voltage-
dependent calcium channel di central nervous system.
Pregabalin menurunkan neurotransmitter glutamate,
norepinephrine, substance P dan calcitonin gene-
related peptide.
4. Apa saja komplikasi neuropati diabetes dan
bagaimana pendekatan yang tepat?
Masalah urologi.
Obat antispasmodic (antikolinergik), dan
cincin dimasukkan ke dalam vagina untuk mencegah
kebocoran urin - dapat membantu dalam mengobati
hilangnya kontrol kandung kemih.
Masalah pencernaan.
Gastroparesis biasanya dapat dibantu
dengan perubahan pola makan ,yakni konsumsi
makanan yang lebih kecil, lebih-sering makan,
mengurangi serat dan lemak dalam diet, dan, bagi
banyak orang, makan sup dan makanan bubur.
Disfungsi seksual.
Dapat digunakan sildenafil (Revatio, Viagra),
tadalafil (Adcirca, Cialis), dan vardenafil (Levitra,
Staxyn) dapat meningkatkan fungsi seksual pada
beberapa pria, tetapi obat ini tidak efektif atau aman

31
bagi semua orang. Bila obat tidak bekerja, banyak pria
menggantinya dengan ke perangkat vakum, atau, jika
ini gagal, dipertimbangkan untuk implan penis.
Sedangkan perempuan dapat turut membantu dengan
menggunakan pelumas vagina.
5. Apa saja KIE yang penting pada terapi neuropati pada
diabetes?
Prinsip informasi yang harus diingat dalaam neuropati
pada diabetes yakni
 Secara ketat kontrol gula darah: Mulai dari intake,
penggunaan obat diabetes, olahraga teratur
 Mencegah komplikasi yang dapat terjadi: Khususnya
terjadinya diabetic foot dengan cara memakai alas
kaki yang protektif, menghindari terjadinya luka dan
infeksi
 Mengkontrol nyeri akibat neuropati: meningkatkan
kualitas hidup pasien

32
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. K., A. H. Lichtman, and J. S. Pober. 2000. General


Properties of the Immune Response. In : Cellular and
Molecular Immunology 4th ed, WB Saunders Co.
Philadelphia. 3-16
American Diabetes Association, 2007. Clinical practice
recommendations 2007, Diabetes Care 30:S4, USA
Argoff CE, et al. Diabetic peripheral neuropathic pain.
Consensus guidelines for treatment. J Fam Pract.
2006;(Suppl):S1-S19.
Beniczky S, Tajti J, Timea VE et al. (2005) Evidence-
based pharmacological treatment of neuropathic pain
syndromes. Journal of Neural Transmission 112: 735–
49
Bril V, et al. Evidence-based guideline: Treatment of painful
diabetic neuropathy: report of the American Academy
of Neurology, the American Association of
Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and
the American Academy of Physical Medicine and
Rehabilitation. Neurology. 2011;76(20):1758-1765.
Cohen, R. A., 2001. Nitric Oxide Bioavaibility and Endothelial
Cell Dysfunction; Vascular Disease in Diabetes,
Servier, UK.
Deshpande AD, et al. Epidemiology of diabetes and diabetes
related complications. Phys Ther. 2008;88(11):125-
1264.

33
Donath, M.Y., Gross, D.J., Cerasi, E., and Kaiser, N. 2003.
Diabetes. 48:738
Fauci, A. S. et al., 2008. Harisson’s Principle for Internal
Medicine 17th ed, McGraw-Hill Companies, USA.
Goldin, J. A. Beckman, A. M. Schmidt, and M. A. Creager:
Circulation 114:597– 605, 2006
.
Guyton dan Hall. 2004. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta : EGC
Huang Y, 2011, Pathogenesis of Diabetic Neuropathy. The
Rochester Diabetic Neuropathy Study: reassessment of
tests and criteria for diagnosis and staged severity.
Neurology.
King, H., Aubert, R.E., and Herman, W.H. 2003. Diabetes
Care. 21:1414
Lindsay TJ, et al. Treating diabetic peripheral neuropathic
pain. Am Fam Physician. 2010;82(2):151-158.
Lowe J, Tariman J. Lower extremity amputations. Black men
with diabetes overburdened. J Adv Nurse Pract.
2008;16(11):28.
NHS.2010. Neuropathic pain The pharmacological
management of neuropathic pain in adults in non-
specialist settings. www.nice.org.uk/guidance/CG96 .
Diakses 29 Januari 2013
Roglic. 2006. Diabetes mortality. In: Gan D, ed.
Diabetes atlas. 3rd ed. (Belgium: International Diabetes
Federation, 2006) pp. 219–36

34
Suyono, S. 2004. Kecendrungan Peningkatan Jumlah
Penyandang Diabetes. In: Soegondo S., Soewondo P.,
Subekti I., editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. 4th Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p.1-6
Troels S Jensen, Misha-Miroslav Backonja, Sergio Hernández
Jiménez, Solomon Tesfaye, Paul Valensi, Dan Ziegler.
New perspectives on the management of diabetic
peripheral neuropathic pain. Diabetes Vasc Dis Res
2006;3:108–19 Neurology 76 May 17, 2011
Vlassara H, Cai W, Crandall J, Goldberg T, Oberstein R,
Dardaine V, Peppa M, Rayfield EJ 2002. Inflammatory
mediators are induced by dietary glycotoxins, a major
risk factor for diabetic angiopathy. Proc Natl Acad Sci
USA 99:15596 –15601
Wautier MP, Chappey O, Corda S, et al. 2001. Activation of
NADPH oxidase by AGE links oxidant stress to altered
gene expression via RAGE. Am J Physiol Endocrinol
Metab. 280:E685–94

35

Anda mungkin juga menyukai