Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

Anak-anak memiliki kerentanan terhadap penyakit-penyakit infeksi


diantaranya penyakit-penyakit infeksi berupa pneumonia. Pneumonia adalah
infeksi akut parenkim paru meliputi alveolus dan jaringan interstisial. Walaupun
banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi,
namun sangat sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal.
Pneumonia adalah sindrom klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan
tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi klinis klasik
menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk,
sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada foto rontgen
toraks. Pneumonia digolongkan atas dasar anatomi seperti : lobar atau lobuler,
alveolar atau interstisial. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi: (1) Pneumonia
lobaris, (2) Pneumonia interstisial, (3) Pneumonia lobularis atau
Bronkopneumonia.1,2,3
Bronkopneumonia adalah radang dari saluran pernafasan yang terjadi pada
bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai
pada anak kecil dan bayi dan biasanya sering disebabkan oleh bakteri Streptokokus
pneumonia dan Haemofilus influenza. Bronkopneumonia adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit
peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan
sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non - infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia
hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak-anak di
negara berkembang.3,4
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia dibawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
didunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Insiden pneumonia di negara
berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak dibawah usia 5 tahun, 16-22% per 1000

1
anak pada usai 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada anak yang lebih tua.
Menurut WHO, diperkirakan 70 % kematian anak balita akibat pneumonia di
seluruh dunia terjadi di Negara berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara
dengan angka kematian balita di atas 49 per 1000 kelahiran hidup (15- 20 %),
distribusi penyebab kematian pada anak balita sebesar 22% diantaranya disebabkan
oleh pneumonia Berdasarkan data WHO, kejadian pneumonia di Indonesia pada
balita diperkirakan antara 10-20% pertahun. Menurut Kementrian Kesehatan
(Kemenkes) Pneumonia menduduki peringkat kedua penyebab kematian bayi
(12,3%) dan balita (13,2%) setelah diare.4,5,6
Penyakit Bronkopneumonia sering terjadi pada anak-anak. Penyakit yang
secara spesifik menyerang jaringan parenkim paru ini umum ditemukan di praktik
klinik sehari-hari dan biasanya dapat didiagnosis secara klinis dengan adanya
takipnea (napas cepat), demam, serta batuk, dan apabila tidak segera ditangani akan
mengakibatkan berbagai komplikasi. Tatalaksana dari penyakit ini dibagi atas 2
yaitu dengan farmakologi dan nonfarmakologi. Tatalaksana pneumonia harus
sesuai dengan etiologi penyakitnya. Namun karena berbagai kendala diagnostik
etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara empiris.
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium
dan radiologi memiliki peran dalam mempertegas diagnosis, dan memberikan
gambaran terhadap lokasi infeksi dan kemungkinan dari penyebabnya.4,5

2
BAB II
KASUS

2.1 Identitas
1. Identitas Penderita:
Nama penderita : An. F
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Palangka Raya, 8/3/2018. Umur: 12 bulan
2. Identitas Orang Tua/Wali:
Ayah : Nama : Tn. A
Umur : 30 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Jalak V
Ibu : Nama : Ny. L
Umur : 28 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Jalak V

2.2. Anamnesis
Kiriman dari: :-
Alloanamnesis dengan : Ibu pasien
Tanggal/jam : 14 Maret 2018 pukul 15.00 WIB.
1. Keluhan utama : Sesak Nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan
hilang timbul dan memberat sejak pagi sebelum SMRS. Sesak dirasakan
Kemudian pasien dibawa ke IGD pada malam harinya. Sesak tidak disertai
bunyi “ngik-ngik”. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, posisi maupun aktivitas.
Ibu pasien mengatakan 3 hari sebelumnya pasien mengalami demam.
Demam sejak 3 hari SMRS. Demam tidak terlalu tinggi, demam naik turun,

3
turun setelah diberi obat kemudian naik lagi, demam tidak disetai kejang,
menggigil, mimisan, gusi berdarah, muntah darah, dan BAB hitam. Menurut
ibunya, pasien juga mengeluh batuk semenjak demam muncul, batuk terus
menerus, berdahak, dengan dahak putih kekuningan tetapi sulit untuk
dikeluarkan.
Saat sakit nafsu makan pasien berkurang Buang air kecil normal,
lancar, banyak, berwarna kuning muda, dan tidak ada nyeri saat berkemih.
Buang air besar normal 1 kali sehari, konsistensi lunak, warna coklat
kekuningan, tidak ada darah dan lender

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.
Campak (-) TBC (-) diare (-) hepatitis (-) kejang (-) demam tifoid (-) sesak
(-) sakit tenggorokan (-) malaria (-).

4. Riwayat pengobatan
Pasien belum pernah dibawa berobat sebelumnya.

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Riwayat antenatal : Rutin periksa kehamilan setiap bulan ke
puskesmas, paparan terhadap zat kimia dan
radiasi disangkal, alkohol disangkal, dan tidak
ada penyakit selama kehamilan.
Riwayat natal : Setelah lahir bayi segera menangis, tidak biru dan
tampak kemerahan, bergerak aktif, segera BAB
dengan feses berwarna hitam kehijauan, dan
tidak ada penyulit atau komplikasi.
Spontan/tidak spontan : SC
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu
Berat badan lahir : 2.900 gram
Panjang badan lahir : Lupa
Lingkar kepala : Lupa

4
Penolong : Dokter Spesialis Obstetri Gynekologi
Tempat : Di RSUD dr. Doris Sylvanus
Riwayat neonatal : Tidak ada sakit

Riwayat Perkembangan
Tiarap : 7 Bulan
Merangkak : 8 Bulan
Duduk : 8 Bulan
Berdiri : 10 Bulan
Berjalan : 11 Bulan
Saat ini : Berjalan sendiri

Riwayat Imunisasi
Tabel 1. Jadwal Imunisasi Pasien
Jenis Umur waktu pemberian (dalam Ulangan
hari/bulan) (umur dalam bulan)
Hep B Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan
BCG 1 bulan
Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Hib 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan

Kesan : Imunisasi dasar dan ulangan lengkap sesuai usia.

Riwayat Makanan :

- 0 - 6 bulan : ASI eksklusif. Frekuensi pemberian sering dan semau anak,


biasanya menyusu setiap 2-3 jam. Pemberian ASI ± 15 menit atau sampai
anak tertidur.
- 7 bulan – 12 bulan : selain ASI semau anak, makan bubur sun atau bubur
saring isi bervariasi (campuran ikan/telur/sayur yang dihaluskan) frekuensi
3x sehari dengan 1x pemberian makan sebanyak 1 mangkok kecil dan
habis. Diselingi buah yang diserut.

5
Riwayat Penyakit Keluarga
Di dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama atau
keganasan lainnya, tidak ada riwayat penyakit keturunan pada keluarga.

= Perempuan

= Laki-laki

= An.F
Gambar 2.1 Skema Riwayat Penyakit
Keluarga

Susunan keluarga:
Tabel 2. Susunan Keluarga
No. Nama Umur L/P Jelaskan:
Sehat/Sakit (apa)/
meninggal (umur/sebab)
1. Tn. A 33 th L Sehat
2. Ny. L 22 th P Sehat
3. An. F 1 th P Sakit saaat ini (batuk, sesak
nafas)

Riwayat Sosial dan Lingkungan


Pasien tinggal dirumah yang terbuat dari beton dan atap dari bahan
tanah liat dengan ukuran 30x10 meter. Rumah memiliki 2 kamar tidur, 1 ruang
tamu, 1 ruang keluarga, dapur dan kamar mandi yang terletak di dalam rumah.
Di dalam rumah berisi 3 anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan
pasien. Rumah pasien terletak di daerah perumahan (barak kos). Jarak kos
dengan jalan terletak dekat. Tempat mandi dibersihkan setiap 1 bulan dan
sampah di buang di tempat pembuangan sampah. Sumber air minum berasal
dari air isi ulang. Air sumur bor digunakan untuk kegiatan mandi dan mencuci.
Lingkungan sekitar kos orang tua dan tetangga memelihara ungags dan
binatang peliharaan.

6
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada Sabtu, 16 Maret 2019, perawatan hari ke 2.

Keadaan umum : Tampak sesak, dan tampak lemas


Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5
Pengukuran
a. Tanda Vital:
 Frekuensi nadi : 122x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
 Frekuensi napas : 46x/menit, regular
 Temperatur : 36,8 0C
b. Berat badan : 9 kg
c. Tinggi Badan : 76 cm
d. Status gizi : WHO Z Score +2SD (Normal)
e. Lingkar Kepala : 48 cm (Normocephal)

Gambar 2.2 Hasil Pengukuran Antropometri Lingkar Kepala Menurut Nellhaus

7
PB / U :

< 2 < 2 < -2 SD

Gambar 2.3 Panjang Badan Sesuai Umur Menurut WHO

BB / U :

< 2 < 2 < -2 SD

Gambar 2.4 Berat Badan Sesuai Umur Menurut WHO

8
BB / TB:

< 2 < 2 < -2 SD

Gambar 2.5 Berat Badan / Tinggi Badan Sesuai Umur Menurut WHO

1. Kulit : Warna kuning langsat, Sianosis (-),


Hemangioma (-), Pucat (-), Turgor cepat
kembali, Kelembapan cukup.

2. Kepala : Bentuk Normocephal (LK = 48 cm), UUB/UUK


sudah menutup, Rambut warna hitam distribusi
merata.

Mata : Edema Palpebra (-/-), Mata cekung (-/-),


Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-),
Produksi air mata cukup, Diameter pupil 3 mm/3
mm, Pupil simetris (+/+), Refleks cahaya
langsung (+/+), Kornea jernih.

Telinga : Simetris kanan-kiri, Sekret tidak ada, Serumen


minimal

Hidung : Simetris, Deviasi (-), Pernapasan cuping hidung


(+), Sekret tidak ada.

Mulut : Bentuk normal, Mukosa basah (+), Sianosis (-),

9
Perdarahan gusi (-)

Mulut : Bentuk normal, Kotor (-), Warna merah muda,


Tremor (-)

Faring : Hiperemis (-), Edema (-),

Membran/pseudomembran (-)

Tonsil : Warna merah muda, T1-T1

3. Leher : Tidak terlihat peningkatan vena jugularis, Tidak


teraba pulsasi, Tekanan JVP tidak meningkat,
Tidak ada pembesaran KGB, Tidak ada
pembesaran tiroid (-), Tidak ada massa.

4. Thoraks

a. Dinding dada/paru

Inspeksi: Bentuk : Simetris kanan-kiri, Ketinggalan gerak


(-), Bentuk dada dalam batas normal.

Retraksi : (+) Chest in-drawing

Dispnea : Ada

Pernapasan : Thorakoabdominal

Palpasi: Fremitus fokal : Sama kanan-kiri

Perkusi : Sonor (+/+)

Auskultasi: Suara napas dasar : Vesikuler (+/+)

Suara napas tambahan: Rhonki basah halus di kedua basal


paru (+/+) Wheezing (-/-)

b. Jantung

Inspeksi: Ictus cordis : Tidak terlihat

10
Palpasi: Apeks : Teraba di ICS V linea midclavicula
sinistra

Perkusi: Batas kanan : ICS II linea midclavicula dextra

Batas Kiri : ICS III linea midclavicula sinistra

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Auskultasi: Frekuensi : 122 x/menit, irama: reguler

Suara dasar : S1-S2 Reguler, Thrill (-),

Bising : Gallop (-) Murmur (-)

7. Abdomen : Distensi (-), Hati dan lien tidak teraba


membesar, Tidak ada massa, Timpani
(+), Tidak ada asites, Bising usus (+)
normal.

8. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edem (-),


Ikterik (-), Pucat (-),

Clubbing finger (-), Sianosis (-)

Tabel 2.1 Pemeriksaan Neurologis

Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan + + + +
Tonus + + + +
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus - -
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis - - - -
Sensibilitas + + + +
Tanda meningeal - -

11
9. Susunan saraf : Nervus kranial I – XII dalam batas normal
10. Genitalia : Laki-laki, Benjolan skrotum (-/-), fimosis, Dalam
batas normal
11. Anus : (+) Dalam batas normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thorak (13-03-2019)

Gambar 2.6 Foto Thorak

Thorak : Cor tidak membesar. Sinuses dan diafragma normal

Pulmo : Hili normal, corakan bronkovaskuler bertambah.

Tampak bercak infiltrate di kedua perihiler dan parakardial

Jaringan lunak dan tulang dinding dada tidak tampak kelainan

Kesan: Bronkopneumonia.

Hasil Laboratorium
1. Hasil laboratorium tanggal 13 Maret 2019
Tabel 3. Hasil Laboratorium Tanggal 13 Maret 2019
Parameter Hasil Nilai normal
Hemoglobin 11,4 gr/dl 11,0 – 16,0 gr/dl
Trombosit 297 x 103/ul 150 – 400 x 103/ul
Leukosit 12.42 x 103/ul 4,0 – 10,0 x 103/ul
Eritrosit 4,32 x 106/ul 3,5 – 5,5 x 106/ul

12
Diagnosa

Diagnosa Banding:

Non Asma Bronkopneumonia

Sesak Nafas
Bronkiolitis

Asma

Pneumonia Bronkopneumonia

Batuk

Non
Pneumonia

Gambar 2.7 Diagnosis Banding

Diagnosa Kerja:

- Bronkopneumonia

Penatalaksanaan
- Oksigen nasal 1 L/menit
- IVFD D5% + ¼ Ns 8 tpm
- Cefotaxime 3 x 300 mg IV

13
- Gentamicin 2x 25 mg IV
- Methyl Prednisolon 3 x 6,25 mg
- Nebulisasi combivent 1/2 respul + 3 cc NaCl/12 jam
- Puyer Batuk 3 x 1
- Cetirizine syr 1 x ½ cth
- Ataroc syr 2 x ½ cth

Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau
tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium. Salah satu definisi
klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai
dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada
foto rontgen toraks.4
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis dinyatakan dengan
adanya daerah infeksi yang berbecak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm yang
mengelilingi dan melibatkan bronkus. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru
pada bagian lobularis yang ditandai dengan adanya bercak-bercak.4,5

3.2 Klasifikasi

WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut :

Tabel 3.1 Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.4


Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
 bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu 15nfiltrate, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

15
Tabel 3.2 Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.4
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
 bila ada sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
 bila tidak ada sesak napas
 ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
 tidak perlu dirawat, diberikan 16nfiltrate oral
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu 16nfiltrate, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat


dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:7
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat
napas cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. Pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. Pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal
salah satu hal berikut ini:
a. Head bobbing
b. Pernapasan cuping hidung
c. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Chest in drawing)
d. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (16nfiltrate luas,
konsolidasi, dll. )

Selain itu 16nfi didapatkan pula tanda berikut ini:


 Napas cepat

16
o Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
o Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
 Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
 Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
 Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya
 Kejang, Letargi, atau tidak sadar
 Sianosis
 Distress pernapasan berat7

3.3 Epidemiologi

Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas


anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan 70 % kematian anak
balita akibat pneumonia di seluruh dunia terjadi di Negara berkembang,
terutama Afrika dan Asia Tenggara dengan angka kematian balita di atas 49
per 1000 kelahiran hidup (15- 20 %) Insiden pneumonia di 17nfilt
berkembang yaitu 30- 45% per 1000 anak di bawah usia 5 tahun, 16-22% per
1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada yang lebih tua.
Di Indonesia Pneumonia menduduki peringkat kedua penyebab kematian
bayi (12,3%) dan balita (13,2%) setelah diare.4,5,6

3.4 Etiologi

Etiologi pneumonia pada anak yaitu disebabkan Streptococcus pneumoniae,


Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B,

17
Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Respiratory Syncytial
Virus (RSV), Rhinovirus dan Parainfluenza Virus.8
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan
sampai 2 tahun, pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan
distribusi umur pasien.9

Tabel 3.3 Etiologi Sesuai Umur9


Umur Bakteri Patogen
Neonatus E. Coli, Streptococcus group B, Listeria
monocytogenes
Klebsiella sp, Enterobacteriaceae
1-3 bulan Chlamydia trachomatis
Usia Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
prasekolah pneumoniae
Haemophillus influenzae B, Streptococcus
pneumoniae
Staphylococcus aureus
Usia sekolah Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae
Streptococcus pneumoniae9

3.5 Patogenesis & Patofisiologi

Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi,


aspirasi, hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi
infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang
sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif
menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan
bakteri dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh
paru menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-
sisa sel.9

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :9

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

18
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup 19nfiltrat dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan 19nfiltrat dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang


interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen 19nfiltrate19.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.9

19
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari
infeksi intra abdomen.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan 20nfilt epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui 20nfilt limfatik.9,10

3.6 Diagnosis

Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia


pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis bisa
sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala dan tanda
pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam, batuk, pernapasan dan
disertai dengan pernapasan cuping hidung, retraksi, dapat terdengar suara napas
tambahan seperti rhonki basah halus, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit
perut.1

1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan keluhan utama. Pasien bronkopneumonia
biasanya datang dengan keluhan batuk atau sesak napas. Maka perlu ditelusuri
batuk dan kesulitan bernapas telah dialami berapa lama (hari), sesak napas dengan
pola seperti apa (apakah saat aktivitas berat, setelah terpapar debu, mengikuti batuk,
lebih sering malam hari atau siang hari, disertai bunyi tiap bernapas), dan pencetus
sesak napas (aktivitas, makanan, batuk) serta apakah disertai dengan whoops atau
muntah atau sianosis sentral.11

20
Gejala infeksi umum yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, mual dan muntah, keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau
diare
Gejala respiratorik yang timbul mendadak, seperti batuk (batuk yang awalnya
kering kemudian menjadi produktif), sesak napas pada anak, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, penggunaan otot pernafasan tambahan. 4

2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting,
dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Pada anak
sering ditemukan demam, batuk, rhonki basah halus, retraksi dinding dada dan
dehidrasi.1 Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi
dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk
(non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.9,12,13
Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan
iritabel.9
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada 21nfiltra dan bayi kecil, gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak jelas terlihat. Pada perkusi dan
auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan fisik pada akan
diperoleh temuan klinis khususnya pada pemeriksaan thorax. Pada pemeriksaan
pandang atau inspeksi pasien bronkopneumonia, terutama yang sedang mengalami
sesak akan ditemukan pernapasan cuping hidung, retraksi otot epigastrik,
intercostal dan suprasternal. Tanda objektif yang merefleksikan adanya distress
pernapasan adalah retraksi dinding dada; seperti yang disebutkan sebelumnya
merupakan tanda adanya penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, orthopnea;
dan pergerakan pernapasan yang berlawanan. Retraksi lebih mudah dilihat pada
bayi baru lahir yang jaringan ikat intercostalnya lebih tipis dan lebih lemas
dibandingkan anak yang lebih besar. Pemeriksaan auskultasi pada
bronkopneumonia ditemukan ronkhi. Ronkhi nyaring khas ditemukan pada

21
bronkopneumonia. Ronkhi terjadi akibat gelembung-gelembung udara melewati
22nfilt pada jalan napas atau jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka. Ronkhi
dideskripsikan sebagai bunyi non-musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang. Ronkhi kasar maupun halus terjadi tergantung dari mekanisme
terjadinya.14

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium berupa laboratorium darah pada pneumonia


umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 mengarahkan pada infeksi
bakteri. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Pemeriksaan radiologi
dengan menggunakan Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,
terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat
didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan
oleh Staphylokokus pneumonia.4

b. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,
terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat
didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya
disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.15

Radiografi dada dapat menegaskan diagnosis, membantu dalam diagnosis


banding kuman pathogen dan deteksi penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
paru. Pemeriksaan tersebut juga dapat mambantu mengetahui keparahan dan respon
terhadap terapi dari waktu ke waktu.16
Kelainan foto rontgen toraks tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Biasanya dilakukan pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Foto rontgen
toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik

22
distres pernapasan seperti takipnea, batuk dan ronki, dengan atau tanpa suara napas
yang melemah.16

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :16,17


 Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram..
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambar 3.1 Bronkopneumonia pada lobus bawah posterior17

23
Gambar 3.2 Patchy Apperance pada bronkopneumonia17
3.7 Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut:
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
2. Panas badan
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

3.8 Tatalaksana

Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.


Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :

1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring.


2. Pemberian cairan mengandung gula dan elektrolit yang cukup.dan nutrisi yang
adekuat.
3. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana rutin
yang harus diberikan.

24
4. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
5. Mengatasi penyakit penyerta.19,20

Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun


karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia
diberikan antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak
memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan
membedakan infeksi virus dengan bakteri. 1
Tabel 3.3. Tatalaksana Pneumonia Berdasarkan Usia Dan Etiologinya19

Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen


0-2 minggu 1. Ampisillin + - E. Coli
Gentamisin - Streptococcus B
2. Ampisillin + - Nosokomial
Cefotaksim enterobacteria
>2-4 minggu 1. Ampisillin + - E. Coli
Cefotaksim atau - Nosokomial
Ceftriaxon Enterobacteria
2. Eritromisin - Streptococcus B
- Klebsiella
- Enterobacter
- C. trachomatis
>1-2 bulan 1. Ampisillin + - E. Coli and other
Gentamisin Enterobacteria
2. Cefotaksim atau - H. influenza
Ceftriaxon - S. pneumonia
- C. trachomatis
>2-5 bulan 1. Ampisillin 1. Ampisillin - H. influenza
2. Sefuroksim 2. Ampisillin + - S. pneumonia
sefiksim Kloramfenikol
Sefuroksim
Ceftriaxon
>5 tahun 1. Penisillin A 1. Penisillin G - S. pneumonia
2. Amoksisilin 2. Sefuroksim - Mycoplasma 9
Eritromisin Seftriakson
Vankomisin
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,
dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab
pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi
terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama
pengobatan untuk stafilokokkus adalah 3-4 minggu. Idealnya tata laksana
pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena berbagai kendala
diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara
empiris. Pneumonia viral seharusnya tidak diberikan antibiotik, namun pasien dapat

25
diberi antibiotik apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus dengan
bakteri; di samping kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat
disingkirkan.2,19
Streptokokus dan pneumokokus sebagai kuman Gram positif dapat dicakup
oleh ampisilin, sedangkan hemofilus suatu kuman gram negatif dapat dicakup oleh
kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotik lini
pertama untuk pneumonia anak tanpa komplikasi. Secara umum pengobatan
antibiotik untuk pneumonia diberikan dalam 5-10 hari, namun dapat sampai 14 hari.
Pedoman lain pemberian antibiotik sampai 2-3 hari bebas demam.
Berdasarkan panduan WHO 2014, pemberian antibiotika pada anak
yang menderita pneumonia, sebagai berikut :21
 Rekomendasi 1
Anak-anak dengan pernapasan cepat tanpa adanya retraksi dinding dada
atau tanda bahaya umum harus diberikan amoksisilin oral setidaknya
40mg/kg/dosis dua kali sehari (80mg/kg/hari) selama lima hari. Anak-
anak dengan pernapasan cepat yang gagal dengan pengobatan lini pertama
dengan amoksisilin harus memiliki pilihan untuk rujukan ke fasilitas
untuk mendapatkan pengobatan lini kedua.

 Rekomendasi 2
Anak usia 2-59 bulan dengan adanya retraksi dinding dada harus diberikan
amoxicillin oral 40mg/kg/dosis dua kali sehari selama lima hari.

 Rekomendasi 3
Anak-anak berusia 2-59 bulan dengan retraksi dada atau pneumonia berat
harus diberikan ampisilin parenteral (atau penisilin) dan gentamisin
sebagai pengobatan lini pertama.

- Ampisilin: 50 mg / kg, atau benzyl penisilin: 50 000 unit per kg IM/IV


setiap 6 jam selama lima hari.

- Gentamisin: 7,5 mg / kg IM / IV sekali sehari selama lima hari.

Ceftriaxone digunakan sebagai pengobatan lini kedua pada anak dengan


pneumonia berat setelah gagal pada pengobatan lini pertama.

26
 Rekomendasi 4
Ampisilin (atau penisilin apabila ampisilin tidak tersedia) ditambah
gentamisin atau ceftriaxone direkomendasikan sebagai lini pertama
antibiotik untuk bayi yang terinfeksi HIV dan untuk anak di bawah usia 5
tahun dengan pneumonia berat.

Untuk bayi yang terinfeksi HIV dan untuk anak-anak dengan pneumonia
berat yang tidak merespon pengobatan dengan ampisilin atau penisilin
ditambah gentamisin, ceftriaxone dianjurkan untuk digunakan sebagai
pengobatan lini kedua.

 Rekomendasi 5
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumocystis jirovecii
(sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP) direkomendasikan
sebagai pengobatan tambahan untuk bayi yang terinfeksi HIV dan berusia
2 bulan hingga 1 tahun dengan retraksi dada atau pneumonia berat.
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumocystis jirovecii
pneumonia (PCP) tidak rekomendasikan untuk anak-anak yang terinfeksi
HIV dan usia lebih 1 tahun dengan pneumonia berat.21

3.9 Diagnosis Banding

Berikut ini merupakan diagnosa banding anak umur 2 bulan-5 tahun yang
datang dengan batuk dan atau kesulitan bernapas:7

27
Tabel 3.4 Perbandingan Diagnosis7
Pneumonia - Demam
- Batuk dengan napas cepat
- Crackles (ronki) pada auskultasi
- Kepala terangguk-angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam
- Merintih (grunting)
- Sianosis
Bronkiolitis - Episode pertama wheezing pada anak umur
< 2 tahun
- Hiperinflasi dinding dada
- Ekspirasi memanjang
- Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
- Kurang/tidak ada respons dengan
bronkodilator
Asma - Riwayat mengi (wheezing) berulang
- Ekspirasi memanjang
- Terdengar mengi atau suara napas menurun
- Membaik dengan pemberian bronkodilator
Tuberkulosis (TB) - Riwayat kontak positif dengan pasien TB
dewasa
- Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm, pada
keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
- Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan
menurun
- Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- Batuk kronis (≥ 3 minggu)
- Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang spesifik. Pembengkakan
tulang/sendi punggung, panggul, lutut,
falang
Benda asing - Riwayat tiba-tiba tersedak
- Stridor atau distres pernapasan tiba-tiba
- Wheeze atau suara pernapasan menurun
yang bersifat fokal

3.10 Faktor Resiko

Menurut literatur faktor risiko pada bronkopneumonia adalah:3


1. Usia dibawah 2 tahun atau manula
2. Ada penderita lain dalam satu rumah
3. Imunisasi tidak lengkap
4. Kurang gizi

28
5. Terekspos debu atau sejenisnya dalam jangka waktu lama dan berkali-
kali
6. Lingkungan tidak bersih

Menurut literatur lain faktor risiko yang meningkatkan kejadian, beratnya penyakit,
dan kematian karena pneumonia yaitu :
1. Status gizi yang kurang dan gizi buruk
2. Tidak adanya pemberian ASI Eksklusif
3. Tidak adanya suplementasi vitamin A
4. Kurang nya suplementasi Zinc
5. Bayi berat lahir rendah (BBLR)
6. Tidak menjalankan vaksinasi dan imunisasi
7. Polusi pada udara sekitar rumah seperti asap rokok dan asap bakaran
dapur pada dapur tradisional.

3.11 Prognosis

Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil
berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%.
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang
datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.3,22

Prognosis bergantung pada cepat atau lambatnya penanganan yang dilakukan.


Faktor penentu lain pada prognosis anak adalah staus gizi. Mortalitas dapat lebih
tinggi didapatkan pada anak-anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan
yang datang terlambat untuk pengobatan. Dengan keadaan malnutrisi energi protein
dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan
infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui
asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya
malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan
infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar.23

29
3.12 Komplikasi

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam


rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.15

3.13 Pencegahan

Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian


imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah
pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai jenis
vaksinnya. Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat mencegah
pneumonia :17

1. Vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus


(Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia
adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia
2. Vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. Vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. Vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. Vaksin influenza untuk mencegah influenza17

Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan


pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-
imunisasi. Imunisasi terhadap pathogen yang bertanggung jawab terhadap
pneumonia adalah strategi pencegahan spesifik. Pada saat ini di Negara
berkembang direkomendasikan vaksin Hib dan vaksin pneumokokus sebagai
vaksin yang dianjurkan, dengan angka pencegahan pada Hib berkisar 15 - 30%
kasus pneumonia Hib dan pada pneumokokus mencegah 20 – 35% kasus
pneumonia pneumokokus. Imunisasi sebagai pencegahan spesifik, adapun
pencegahan non-imunisasi sebagai komponen pencegahan non-spesifik seperti
kebiasaana mencuci tangan dan hidup bersih sehat; perbaikan gizi dengan pola
makan sehat; mencegah polusi udara dalam-ruang yang berasal dari bahan
bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah.24

30
31
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah dilaporkan an. F perempuan 12 bulan dengan berat badan 9 kg berobat


di IGD RSUD dr.Doris Sylvanus pada tanggal 13 Maret 2019 dengan diagnosa
bronkopneumonia. Diagnosa ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai penegakan
diagnosa, penatalaksanaan, prognosis dan tindak lanjut terhadap pasien tersebut.

4.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Sesak
dirasakan hilang timbul dan memberat sejak pagi hari. Sesak tidak disertai bunyi
“ngik-ngik”. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, posisi maupun aktivitas. Ibu pasien
mengatakan 3 hari sebelumnya pasien mengalami demam. Demam tidak terlalu
tinggi, demam naik turun, turun setelah diberi obat kemudian naik lagi, demam
tidak disetai kejang, menggigil, mimisan, gusi berdarah, muntah darah, dan BAB
hitam. Menurut ibunya, pasien juga mengeluh batuk semenjak demam muncul,
batuk terus menerus, berdahak, dengan dahak sulit untuk dikeluarkan.
Berdasarkan literatur, anamnesis pada bronkopneumonia mempunyai
gejala infeksi umum yaitu demam, kadang ditemukan gejala umum lain yaitu sakit
kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, mual dan muntah. dan gejala
gangguan respiratorik yaitu batuk dan sesak napas. Pada anamnesis tersebut
didapatkan gejala yang mengarah ke bronkopneumonia dengan ditemukan keluhan
sesak, batuk dan demam.4
a. Sesak Nafas
Menurut literatur, sesak napas terjadi saat seluruh lobus mengalami infeksi
dan mulai konsolidasi. Konsolidasi tersebut diakibatkan karena berpindahnya
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di daerah tersebut
menyebabkan terganggunya jarak tempuh perpindahan oksigen dan
karbondioksida. Jika hal ini berlanjut tanpa ditangani maka saturasi oksigen
hemoglobin turun dan tubuh akhirnya melakukan kompensasi dengan

32
meningkatkan frekuensi napas agar dapat mendapatkan oksigen lebih banyak lagi
dari luar tubuh.15
Pada pasien, pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Alloanamnesis
dengan ibu pasien didapatkan keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk RS
dan memberat mulai siang harinya. Dari keluhan ini dapat dipikirkan adanya
kelainan pada paru-paru atau jantung. Dari alloanamnesis tidak didapatkan riwayat
terlihat biru saat lahir ataupun menangis serta riwayat menetek terputus, sehingga
kemungkinan kelainan jantung dapat disingkirkan. Pada kasus didapatkan gejala
sesak nafas tidak berhubungan dengan aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak nafas
tidak disertai adanya suara nafas berbunyi “ngik-ngik” (mengi) atau mengorok, ini
menggambarkan bahwa sesak nafas akibat penyakit asma dapat disingkirkan.
b. Demam
Demam yang dikeluhkan, menurut literatur demam yang terjadi pada pasien
merupakan respon tubuh terhadap infeksi. Saat bakteri masuk melalui saluran
pernapasan dan menginfeksi alveolus maka sel-sel tubuh di jaringan tersebut mulai
bereaksi dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi. Mekanisme demam
yaitu mikroorganisme yang masuk ke dalam jaringan atau darah akan difagositosis
oleh leukosit darah, makrofag, dan sel mast. Setelah memfagositosis, sel ini akan
mengeluarkan IL-1 ke dalam cairan tubuh disebut sebagai pirogen endogen. IL-1
menginduksi pembentukan prostaglandin akan menstimulus hipotalamus sebagai
pusat termoregulator, sehingga ambang batas suhu tubuh dinaikkan dan akhirnya
tubuh merespon dengan meningkatkan suhu tubuh.9
Pada pasien didapatkan keluhan demam. Demam tidak terlalu tinggi,
demam naik turun, turun setelah diberi obat kemudian naik lagi, demam tidak
disetai kejang, menggigil, mimisan, gusi berdarah, muntah darah, dan BAB hitam.
c. Batuk
Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun
bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring
dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup.
Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan
pembersihan yang efektif. Batuk adalah salah satu mekanisme perlindungan tubuh
pada saluran pernapasan. Jika terdapat benda asing ataupun mukus-mukus yang

33
menempel di saluran napas maka refleks batuk akan muncul untuk mengekspulsi
benda asing ataupun mukus tersebut.19
Pada pasien didapatkan keluhan batuk ynag muncul bersamaan dengan
munculnya demam. Batuk berdahak berwarna bening yang tidak bercampur darah
dan tidak berbau, tidak ada penurunan berat badan, tidak ada riwayat kontak dengan
orang dewasa yang menderita batuk lama ataupun yang sedang menjalani
pengobatan tuberkulosa, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa kearah tuberkulosa.

4.2 Faktor Resiko


Faktor risiko yang ditemukan pada pasien yaitu usia pasien dibawah 2 tahun,
terdapat unggas dan hewan peliharaan di sekitar rumah dan lingkungan rumah yang
tidak bersih.
Menurut literatur faktor risiko pada bronkopneumonia adalah3:
1. Usia dibawah 2 tahun atau manula
2. Ada penderita lain dalam satu rumah
3. Imunisasi tidak lengkap
4. Kurang gizi
5. Terekspos debu atau sejenisnya dalam jangka waktu lama dan
berkali-kali
6. Lingkungan tidak bersih
Berdasarkan teori didapatkan jika faktor risiko yang ada pasien masuk dalam faktor
risiko yang dapat menyebabkan bronkopneumonia.

4.3 Pemeriksaan Fisik


Pada pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan sesak nafas,
kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital, heart rate 122x/menit, suhu 36,8 0C,
pernafasan 46x/menit. Pernafasan cuping hidung (-), mukosa bibir tidak sianosis.
Thoraks : Inspeksi simetris, didapatkan retraksi dinding dada (+); pola pernafasan
thorakoabdominal, suara napas vesikuler normal, Rhonki +/+ halus, Wheezing -/-,
S1S2 tunggal, reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop.
Berdasarkan literatur tentang bronkopneumonia, pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan takipneu, pernafasan cuping hidung, retraksi, dan suara napas

34
tambahan rhonki basah halus. Takipnea terjadi jika oksigen yang didapatkan kurang
sehingga tubuh memberikan respon untuk meningkatkan frekuensi napas. Hal ini
bertujuan agar tubuh dapat mengambil oksigen lebih banyak lagi.4
a. Tanda – Tanda Vital
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital pasien tekanan darah pasien tidak
diperiksa, ditemukan suhu pasien 36.8 ̊ C. Suhu normal berkisar antara 36,50C-
37,50C sehingga pasien didapatkan suhu normal.
Pemeriksaan nadi 122 x/menit reguler, kuat angkat dan isi cukup. Pada
anak 12 bulan frekuensi nadi antara 70 – 110 kali per menit. Pada pasien tidak ada
riwayat penyakit jantung, dan pasien mengalami sesak sehingga takikardi yang
terjadi adalah akibat adaptasi tubuh dalam memenuhi kebutuhan nutrisi tubuhnya.
Pada kondisi sesak napas pasien kekurangan oksigen sehingga oksigen yang
dialirkan ke seluruh tubuh dalam frekuensi nadi yang normal tidak mencukupi.
Tubuh meningkatkan frekuensi nadi agar semakin banyak darah yang dialirkan ke
seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen.3
Pemeriksaan frekuensi napas 46 x/menit. Menurut kriteria takipneu
berdasarkan usia, menurut WHO sebagai berikut :
Tabel. 4.1 Kriteria Takipnea WHO7
- usia kurang dari 2 bulan : ≥ 60 kali per menit
- usia 2 bulan -1 tahun : ≥ 50 kali per menit

- usia 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali per menit.


·

Berdasarkan literatur tersebut pasien dapat disimpulkan mengalami


takipnea (napas cepat). Takipnea terjadi jika oksigen yang didapatkan kurang
sehingga tubuh memberikan respon untuk meningkatkan frekuensi napas. Hal ini
bertujuan agar tubuh dapat mengambil oksigen lebih banyak lagi.3
Pada literatur pemeriksaan fisik pasien dengan bronkopneumonia akan
ditemukan adanya dan retraksi dinding dada, ronki pada kedua sisi paru namun
jarang ditemukan wheezing.3 Ronki ditemukan menunjukkan adanya tahanan pada
jalan napas terutama daerah bronkus, tahanan bisa berupa cairan sehingga
menyebabkan suara ronki.3 Ronkhi terjadi akibat gelembung-gelembung udara
melewati sekret pada jalan napas atau jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

35
Ronkhi dideskripsikan sebagai bunyi non-musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek
dan berulang. Tahanan itu menyebabkan tubuh pasien berkompensasi dan berusaha
untuk mendapatkan udara yang dibutuhkan salah satu bentuk usahanya adalah
munculnya pernapasan cuping hidung. Jika sesak napas semakin parah bisa juga
timbul retraksi otot pernapasan.3 Pada pasien didapatkan adanya retraksi otot
pernapasan. Hal ini menandakan pasien sudah mengalami dispneu. Retraksi
didapatkan pada daerah suprasternal dan interkosta tetapi tidak sampai daerah
subkosta. Hal ini menandakan dispneu pada pasien sudah parah dan memerlukan
bantuan terapi oksigen. Retraksi otot-otot pernapasan terjadi karena adanya tahanan
pada saluran napas menyebabkan pasien membutuhkan usaha lebih keras untuk
mendapatkan oksigen.3 Salah satu caranya adalah dengan menggunakan otot-otot
pernapasan tambahan yang berada di daerah suprasternal, interkosta dan subkosta.3
Pada pasien ditemukan adanya takipneu, retraksi, dan suara napas tambahan rhonki
basah halus yang menunjang penegakan diagnosis bronkopneumonia

4.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium Darah
Parameter Hasil Nilai normal
Hemoglobin 11,4 gr/dl 11,0 – 16,0 gr/dl
Trombosit 297 x 103/ul 150 – 400 x 103/ul
Leukosit 12.42 x 103/ul 4,0 – 10,0 x 103/ul
Eritrosit 4,32 x 106/ul 3,5 – 5,5 x 106/ul

Pada pemeriksaan penunjang yaitu darah lengkap didapatkan Leukosit =


12,42 x 103/ul yang memberikan kesan leukositosis dan foto thoraks didapatkan
corakan bronkovaskuler bertambah dan tampak bercak infiltrat di kedua perihiler
dan parakardial.
Berdasarkan literatur tentang bronkopneumonia, pemeriksaan penunjang
didapatkan pada hasil laboratorium darah didapatkan leukosit > 15.000
mengarahkan pada infeksi bakteri, trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia
bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Pada pasien
ditemukan adanya leukositosis yang mengarahkan pada infeksi bakteri.4

36
b. Pemeriksaan Radiologi

Interpretasi:

• Thorak : Cor tidak membesar. Sinuses dan diafragma normal


• Pulmo : Hili normal, corakan bronkovaskuler bertambah.
• Tampak bercak infiltrate di kedua perihiler dan parakardial
• Jaringan lunak dan tulang dinding dada tidak tampak kelainan
• Kesan : Bronkopneumonia

Pemeriksaan radiologi dengan foto Thoraks pada bronkopneumonia


merupakan penunjang utama penegakkan diagnosis dengan ditemukannya bercak
infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus.4
Berdasarkan teori, pemeriksaan foto toraks dapat menunjukkan beberapa
gambaran, misalnya: 3
 Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory
Distress Syndrome).
 Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang


melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada
paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab noninfeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan

37
gangguan pertukaran gas setempat. Peradangan paru, biasanya dimulai di
bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat
mukopurulen membentuk bercakbercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan.
Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran nafas atas,
demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem pertahanan
tubuh.3,5
Penyebab pasti pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu
beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati. Sehingga penegakkan diagnosis
berdasarkan gejala klinis dan penatalaksanaan awal pneumonia diberikan
antibiotika secara empiris.3

4.5 Diagnosis Banding


Bronkiolitis adalah suatu infeksi sistem respiratorik bawah akut yang
ditandai dengan pilek, batuk, distress pernapasan dan ekspiratorik effort (usaha
napas pada saat ekspirasi). Umumnya bronkiolitis menyerang pada anak di bawah
umur 2 tahun dengan kejadian tersering kira-kira usia 6 bulan. Penyebab tersering
adalah RSV (lebih dari 50%) diikuti oleh virus parainfluenza 3, dan adenovirus.
Umumnya anak pernah terpajan dengan anggota keluarga yang menderita
infeksi virus beberapa minggu sebelumnya. Gejala awal yang mungkin timbul
adalah tanda-tanda infeksi respiratorik atas akut berupa demam, batuk, pilek, dan
bersin. Setelah gejala di atas timbul biasanya diikuti oleh adanya kesulitan bernapas
(sesak) yang umumnya pada saat ekspirasi. Pada pemeriksaan fisis didapatkan
frekuensi nafas yang meningkat (takipnu), disertai adanya ekspirasi yang
memanjang bahkan mengi. Pada kasus yang berat mengi dapat terdengar tanpa
stetoskop. Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis dijumpai
gambaran hiperinflasi, dengan infiltrat yang biasanya tidak luas. Bahkan ada
kecenderungan ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran radiologis.
Berbeda dengan pneumonia bakteri, gambaran klinis yang berat akan menunjukkan
gambaran kelainan radiologis yang berat pula, sementara pada bronkiolitis
gambaran klinis berat tanpa gambaran radiologis berat.

38
Tabel 4.2 Perbandingan Diagnosis
Pneumonia Bronkiolitis
Sesak nafas tanpa disertai mengi Sesak nafas disertai mengi
Episode pertama wheezing pada anak
umur < 2 tahun
Etiologi sesuai usia Etiologi RSV ( > 50%) diikuti oleh
Dapat berupa bakteri, virus virus parainfluenza dan adenovirus
Gambaran klinis yang berat akan Gambaran radiologis dijumpai
menunjukkan gambaran kelainan gambaran hiperinflasi, dengan infiltrat
radiologis yang berat pula yang biasanya tidak luas. Bahkan ada
kecenderungan ketidaksesuaian antara
gambaran klinis dan gambaran
radiologis.

4.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien ini antara lain pemberian Oksigen nasal kanule
dengan aliran 1 L/menit, IVFD D5% ¼ NS 8 tpm, Cefotaxime 3 x 300 mg IV,
Gentamicin 2 x 25 mg IV, Metil Prednisolon 3 x 6,25 mg IV, Puyer Batuk 3 x 1
cth, Cetirizine dan Nebulisasi combivent 4 tetes + 1 cc NaCl/12 jam. Menurut teori,
inti dari tatalaksana bronkopneumonia adalah supportif dan kausatif.
a. Non Medika Mentosa
Berdasarkan teori terapi nonmedikamentosa yang diberikan pada pasien adalah
terapi suportif yang menunjang proses penyembuhan pasien seperti pemberian
oksigen dan cairan yang adekuat. Berdasarkan literatur terapi suportif yang
diberikan pada penderita pneumonia adalah:19,20

1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan
terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.

39
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian nebulisasi merupakan tata laksana rutin yang tidak harus
diberikan, tergantung kondisi pasien.19,20
Penatalaksanaan pada pasien ini, yaitu terapi suportif berupa pemberian O2
1 L/menit sudah tepat. Oksigen diberikan untuk mengatasi hipoksemia,
menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen
penting diberikan kepada anak yang menunjukkan gejala adanya tarikan dinding
dada (retraksi) bagian bawah yang dalam; SpO2 <90%; frekuensi napas 50 x/menit
atau lebih; merintih setiap kali bernapas dan adanya head bobbing.1 Berdasarkan
literatur oksigen 2 lpm untuk menjaga saturasi pasien karena pada pasien
bronkopneumonia saturasi oksigen berada dibawah 90%, sedangkan saturasi
normal berada pada nilai 95%-100%. Pemberian oksigen 2 lpm dapat diberikan
pada saturasi oksigen dibawah 95%.3
Pemberian nutrisi diperlukan mengingat nafsu makan pasien menurun,
maka dibutuhkan terapi cairan. Pada pasien ini diberikan infus IVFD D5% + ¼ NS
8 tpm karena dapat memenuhi kebutuhan cairan pasien. Kebutuhan cairan pada
pasien ini menggunakan rumus holiday segar berdasarkan berat badan (9 kg) adalah
kebutuhan cairan anak dihitung per 10 kg, pada 10 kg pertama dari berat badan bayi
dikalikan 100 ml/kgBB.:
* 9 kg x 100 cc/kgBB/hari = 900 cc/hari

Berdasarkan literatur terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia


adalah:19,20

1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan
terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian nebulisasi merupakan tata laksana rutin yang tidak harus
diberikan, tergantung kondisi pasien.19,20

40
b. Medika Mentosa
Lini pertama pengobatan pneumonia pada pasien rawat inap adalah
ampisilin 25 mg/kgBB/8 jam secara IV dan bila pasien datang dalam keadaan
klinis berat diberikan pengobatan kombinasi ampisilin-gentamisin. Pada pasien
diterapi dengan pemberian antibiotik injeksi cefotaxime 3 x 350 mg yang
merupakan lini kedua pengobatan hanya berdasarkan ketersediaan antibiotik di
rumah sakit tersebut. Berdasarkan etiologi dari bronkopneumonia akibat
bakteri, bakteri yang cukup banyak menyebabkan bronkopneumonia pada usia
4 bulan-5 tahun adalah bakteri kokus gram positif seperti streptococcus
pneumonia, dan pneumococcus. Cefotaxime adalah antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga Cefotaxime adalah antibiotik broad spectrum
yang memilki aktifitas baik terhadap bakteri gram positif dan memilki
cakupan gram negatif yang lebeih luas serta aktif melawan S. Pneumonia,
mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat sintesis
mukopeptida pada dinding sel bakteri. Dosis cefotaxime yaitu 25-50
mg/kgBB/dosis, dalam tiga dosis pemberian.10,11 Pada pasien diberikan dengan
dosis Cefotaxime 3x300 mg/kgBB/hari dalam bentuk IV.
Gentamisin adalah antibiotik golongan aminoglikosida. Penggunaan
antibiotik ini diindikasikan karena mempunyai spektrum luas terutama terhadap
infeksi kuman aerob gram negatif, dan berefek sinergis terhadap gram positif
bila dikombinasikan dengan antibiotik lain (misalnya β-laktam). Dosis
gentamicin yaitu 3-7,5 mg/dosis pemberian, diberikan dalam dua dosis
pemberian.10 Pada pasien diberikan dengan dosis Gentamicin 2 x 25 mg dalam
bentuk IV.
Dosis maksimal untuk pneumonia dari gentamisin adalah 5 mg/kgBB dan
dosis maksimal sefotaksim 200 mg/kgBB.4,8 Selama pemberian keadaan pasien
membaik sehingga berdasarkan literatur terapi dilanjutkan.4,10
Berdasarkan konsensus pneumonia berikut pedoman penatalaksanaan
penumonia.

41
Tabel 4.3 Pedoman Penataaksanaan Medikamentosa5

Methyl Prednisolonon adalah kelompok obat kortikosteroid, merupakan


obat anti inflamasi yang memiliki fungsi mengurangi atau menekan proses
peradangan yang terjadi pada tubuh dengan mengkontrol atau mencegah inflamasi
dengan mengatur migrasi polimorfonuklear leukosit (PMN). Efek anti inflamasi
dan immunosupresi kortikosteroid adalah efek farmakologik utama yang banyak
digunakan dalam pengobatan.8

42
Combivent mengandung kombinasi albuterol dan ipratoprium. Albuterol
dan ipratoprium merupakan bronkodilator yang berfungsi mengendurkan otot-otot
di saluran pernafasan atau mencegah bronkospasme. Terapi ini digunakan sebagai
terapi simptomatik pada pasien untuk mengurangi gejala. Dosis pemberiannya yaitu
0.1-0.15mg/kg.13 Pasien juga mendapatkan nebulisasi combivent 4 tetes + 1 cc
NaCl/12 jam.

c. Dietetik
Pada anak usia 12 bulan didapatkan nasi tim campur, adalah campuran
bubur dari beras dan lauk dengan tambahan sayur cincang dengan frekuensi 3 kali
sehari. Pada pasien didapatkan anak masih minum ASI. Sehingga pasien dapat
dilakukan pemberian ASI secara langsung.
Kebutuhan gizi pada pasien berdasarkan kebutuhan RDA (Recommended
Dietary Allowance) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:1
Tabel 4.4 Recommended Dietary Allowance Table1

Berdasarkan RDA (Recommended Dietary Allowance) kebutuhan kalori


anak usia 0,5 – 1,0 tahun adalah 98 kkal/kgBB/hari, kebutuhan protein berkisar
20%, kebutuhan lemak 25% dari total kalori, kebutuhan karbohidrat 55%. Berat
badan pasien saat ini merupakan berat badan anak ideal seusianya.
 Berat badan ideal pasien adalah 9 kg.
 Kebutuhan kalori pasien 98 kkal x 9 kg = 882 kkal/hari
 Protein 20 % x 882 = 176,4 kkal : 4 = 44,1 gram
 Lemak 35% x 882 = 308,7 kkal : 9 = 34,3 gram
 Karbohidrat 55 % x 882 = : 4 = 485,1 gram

43
4.7. Edukasi
Edukasi pada pasien meliputi :
 Edukasi tanda kegawatdaruratan
Tanda kegawatdaruratan pada pasien bronkopneumonia adalah jika
ditemukan adanya tanda distres napas salah satunya adalah jika ada
ditemukannya tanda-tanda retraksi otot pernapasan dan adanya sianosis.
Jika tanda-tanda ini ditemukan orang tua pasien harus cepat membawa
pasien kepada dokter sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat.5,7
 Edukasi perawatan pasien
 Orang tua pasien diedukasi mengenai rentannya pasien mengalami
kondisi yang makin parah jika tidak ditangani dengan tepat.4
 Orang tua diedukasi untuk menjaga kondisi higienitas karena
lingkungan tidak bersih merupakan salah satu faktor risiko
bronkopneumonia.4
 Orang tua pasien diedukasi tentang pentingnya vaksin karena beberapa
etiologi bronkopneumonia dapat dicegah dengan pemberian vaksin.4

4.8 Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan
pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi.
Imunisasi terhadap pathogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia adalah
strategi pencegahan spesifik. Pada saat ini di negara berkembang direkomendasikan
vaksin Hib dan vaksin pneumokokus sebagai vaksin yang dianjurkan, dengan angka
pencegahan pada Hib berkisar 15 - 30% kasus pneumonia Hib dan pada
pneumokokus mencegah 20 – 35% kasus pneumonia pneumokokus. Imunisasi
sebagai pencegahan spesifik. Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk
mencegah pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai
jenis vaksinnya.24 Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat
mencegah pneumonia7,9,10 :

44
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus
(Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia
adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia
2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. vaksin influenza untuk mencegah influenza
Adapun pencegahan non-imunisasi sebagai komponen pencegahan non-
spesifik seperti kebiasaana mencuci tangan dan hidup bersih sehat; perbaikan
gizi dengan pola makan sehat; mencegah polusi udara dalam-ruang yang berasal
dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah

4.9 Komplikasi
Pada pasien ini tidak didapatkan adanya komplikasi penyakit. Berdasarkan
literatur komplikasi yang terjadi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran
bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau
penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.4,10

4.10 Prognosis
Bronkopneumonia pada kasus ini memiliki prognosis yang baik karena
didiagnosis secara dini dan ditangani secara adekuat. Prognosis bergantung pada
cepat atau lambatnya penanganan yang dilakukan. Pada pasien penangan dilakukan
secara cepat dan adekuat yaitu sudah dilakukan pengobatan antibiotik kombinasi
sehingga dapat menurunkan terjadinya mortalitas. Pada era sebelum ada antibiotik,
angka mortalitas pada bayi dan anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada
anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%. Dengan pemberian antibiotik yang tepat
dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%.13,23
Faktor penentu lainnya pada prognosis anak adalah staus gizi. Mortalitas
dapat lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat untuk pengobatan. Anak dalam keadaan
malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang
lebih tinggi. Dengan keadaan malnutrisi energi protein dan datang terlambat untuk

45
pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar. Pada pasien status gizi didapatkan gizi baik, pada anak dengan
status gizi baik pertahanan terhadap infeksi lebih baik daripada yang mengalami
malnutrisi sehingga pengobatan yang dini serta kondisi gizi yang baik menunjang
proses penyembuhan pada anak di kasus ini.5,23,

46
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan an. F berjenis kelamin Perempuan berusia 12 bulan
berobat di IGD RSUD dr.Doris Sylvanus sejak 2 hari yang lalu sebelum
dianamnesis dengan Diagnosis Bronkopneumonia. Diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, Pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, serta akan dibahas
mengenai diagnosis, penatalaksanaan, prognosis pasien dan tindak lanjut pasien.
Pasien didiagnosis bronkopneumonia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan pasien sesak napas
sejak 1 hari SMRS, memberat pada siang harinya. Sesak napas disertai demam dan
batuk-batuk.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital pasien, ditemukan suhu
pasien 36.8 ̊ C, tekanan darah tidak dinilai, nadi 122 x/menit reguler, kuat angkat
dan isi cukup, frekuensi napas 46x/menit. Pada pasien juga ditemukan adanya
retraksi suprasternal serta interkosta dan ronki basah halus.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis pada
pemeriksaan laboratorium. Terdapat corakan meningkat dan kasar pada area hillus
pada hasil foto toraks.
Pada pasien diberikan Oksigen nasal kanule dengan aliran 1 L/menit, IVFD
tatalaksana cairan D5% ¼ NS 8 tpm; tatalaksana medika mentosa Cefotaxime 3 x
300 mg IV, Gentamicin 2 x 25 mg IV, Metil Prednisolon 3 x 6,25 mg IV, Puyer
Batuk 3 x 1 cth, Cetirizine 1 x ½ cth, Ataroc Syr 2 x ½ cth dan Nebulisasi combivent
4 tetes + 1 cc NaCl/12 jam.
Pada kasus ini tidak ada komplikasi. Sedangkan prognosis pasien baik,
karena pasien di tatalaksana dini dengan pengobatan antibiotic, didukung keadaan
status gizi pasien yang baik sehingga setelah pengobatan beberapa hari keadaan
pasien membaik.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pedoman Pelayanan Medis Jilid I.


Jakarta, IDAI 2009
2. Bamabng S. Sari Pediatri : Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Vol
6(2) : 100-106, 2006
3. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-15.
Volume 2.Jakarta: EGC; 2000.
4. Rahajoe NN, Supriyatno B dan Setyanto DB. Pneumonia Dalam Buku Ajar
Respirologi Anak. Ed Ke-1. Jakarta : IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia),
2012 : 350-65.
5. World Health Organization. Global Action Plan for the Prevention and
Control of Pneumonia (GAPP). Genewa: WHO Press, 2010
6. Kementrian Kesehatan. Pneumonia Pembunuh Balita No. 1 Di Dunia,
Jakarta, Kemenkes, 2010
7. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah
Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization. 2009. hal. 83 – 113
8. Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired pneumonia in
infants and children. Am Fam Physician, 2009; 70 : 899-908.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.
10. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi 4. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta: 2000. hal 174-176.
11. Rector & Visitors of the University of Virginia.2003. Pneumonia.
www.med-ed.virginia.edu/.../pathology3chest.html
12. Avery’s Neonatology Pathophysiology & Management of the Newborn, 6th
Edition ; hal (2556-57),(2567),(2569),(2572),(2574-75).
13. Alberta Medical Association. 2016. Guideline for The Diagnosis and
Management of Community Acquired Pneumonia Pediatric.
14. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia

48
15. Alsagaff, Hood dkk. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu
Penyakit Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.
16. Bradley J.S., Byington C.L., The Management of Community-Acquired
Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical
Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630,
2011
17. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung:
2015.
18. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2015.
19. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Surabaya, 2016

49
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN
Nama Mahasiswa : Nur Amalia Khairiah
Judul Laporan Kasus : Seorang Anak Usia 12 Bulan Dengan
Bronkopneumonia
Pembimbing : dr. Enny Karyani, Sp. A

Pertanyaan Dokter Muda


1. Apakah indikasi rawat inap; rawat jalan dan pulang pada pasien dengan
Bronkopneumonia?

Rawat Inap
Indikasi rawat inap pada terutama berdasarkan berat-ringannya
penyakit, apabila pasien tersebut menunjukan tanda-tanda pneumonia berat
dan atau disertai adanya komplikasi, seperti yang sudah dijelaskan, yaitu:
Pneumonia berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini:
 Kepala terangguk-angguk
 Pernapasan cuping hidung
 Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
 Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas,
konsolidasi, dll.
Mempertimbangkan umur pasien  neonatus dan bayi kecil dengan
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap
Adanya penyakit lain yang mendasar
Terdapat juga indikasi pasien dirawat inap dari sumber lain, yaitu:
Untuk bayi :
- Saturasi oksigen < atau sama dengan 92 %
- Frek napas > sama dengan 60 kali permenit
- Distress pernapasan, apnue intermitten atau gruntting
- Tidak mau minum atau menetek

50
- Keluarga tidak bisa merawat dirumah
Untuk anak
- Saturrasi oksigen < 92 persen
- Frek napas > 50 kali/menit
- Distress pernapasan
- Gruntting
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak dapat merawat dirumah

Rawat Jalan
Indikasi rawat jalan pada terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit.
Rawat jalan pada pasien dengan Bronkopneumonia adalah didapatkan gejala
pneumonia ringan :
3. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat
napas cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. Pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. Pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit

Indikasi Pulang
Indikasi pulang pada pasien rawat inap bronkopneumonia adalah:
- Apabila gejala klinis sudah membaik (tampak perbaikan klinis) seperti
pada pasien bronkopneumonia:
* Bernapas tidak cepat
* Tidak ada retraksi arau penarikan dinding dada
* Batuk sudah berkurang
* Bebas demam
- Asupan oral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (per oral)
- Kondisi dirumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah

Sumber:

51
 Calistania C. Pneumonia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi
4. Jakarta: Media Aesculapius, 2014
 WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit Jakarta: World Health Organization; 2009.

2. Apakah perbedaan Bronkopneumonia yang berat dan ringan? Pada pasien


ini termasuk klasifikasi yang mana?
Menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ),
pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
1) Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya
terdapat napas cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. Pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. Pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit

2) Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah


minimal salah satu hal berikut ini:
c. Head bobbing
d. Pernapasan cuping hidung
e. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Chest in drawing)
f. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas,
konsolidasi, dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
 Napas cepat
o Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
o Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
 Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
 Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial

52
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
 Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya
 Kejang, Letargi, atau tidak sadar
 Sianosis
 Distress pernapasan berat
Sumber :
 Calistania C. Pneumonia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4.
Jakarta: Media Aesculapius, 2014
 WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Jakarta:
World Health Organization; 2009.

3. Antibiotik apa yang lebih spesifik pada pasien ini?


Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman
penyebabnya. Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk
semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Pneumonia
viral seharusnya tidak diberikan antibiotik, namun pasien dapat diberi
antibiotik apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus dengan
bakteri; di samping kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat
disingkirkan. Streptokokus dan pneumokokus sebagai kuman Gram positif
dapat dicakup oleh ampisilin, sedangkan hemofilus suatu kuman gram
negatif dapat dicakup oleh kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat
dipakai sebagai antibiotik lini pertama untuk pneumonia anak tanpa
komplikasi. Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia
diberikan dalam 5-10 hari, namun dapat sampai 14 hari. Pedoman lain
pemberian antibiotik sampai 2-3 hari bebas demam.
Berdasarkan panduan WHO 2014, pemberian antibiotika pada anak
yang menderita pneumonia, sebagai berikut :
 Rekomendasi 1
Anak-anak dengan pernapasan cepat tanpa adanya retraksi dinding dada
atau tanda bahaya umum harus diberikan amoksisilin oral setidaknya
40mg/kg/dosis dua kali sehari (80mg/kg/hari) selama lima hari. Anak-

53
anak dengan pernapasan cepat yang gagal dengan pengobatan lini pertama
dengan amoksisilin harus memiliki pilihan untuk rujukan ke fasilitas
untuk mendapatkan pengobatan lini kedua.
 Rekomendasi 2
Anak usia 2-59 bulan dengan adanya retraksi dinding dada harus diberikan
amoxicillin oral 40mg/kg/dosis dua kali sehari selama lima hari.
 Rekomendasi 3
Anak-anak berusia 2-59 bulan dengan retraksi dada atau pneumonia berat
harus diberikan ampisilin parenteral (atau penisilin) dan gentamisin
sebagai pengobatan lini pertama.
- Ampisilin: 50 mg / kg, atau benzyl penisilin: 50 000 unit per kg IM/IV
setiap 6 jam selama lima hari.
- Gentamisin: 7,5 mg / kg IM / IV sekali sehari selama lima hari.
Ceftriaxone digunakan sebagai pengobatan lini kedua pada anak dengan
pneumonia berat setelah gagal pada pengobatan lini pertama.
 Rekomendasi 4
Ampisilin (atau penisilin apabila ampisilin tidak tersedia) ditambah
gentamisin atau ceftriaxone direkomendasikan sebagai lini pertama
antibiotik untuk bayi yang terinfeksi HIV dan untuk anak di bawah usia 5
tahun dengan pneumonia berat.
Untuk bayi yang terinfeksi HIV dan untuk anak-anak dengan pneumonia
berat yang tidak merespon pengobatan dengan ampisilin atau penisilin
ditambah gentamisin, ceftriaxone dianjurkan untuk digunakan sebagai
pengobatan lini kedua.
 Rekomendasi 5
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumocystis jirovecii
(sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP) direkomendasikan
sebagai pengobatan tambahan untuk bayi yang terinfeksi HIV dan berusia
2 bulan hingga 1 tahun dengan retraksi dada atau pneumonia berat.
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumocystis jirovecii
pneumonia (PCP) tidak rekomendasikan untuk anak-anak yang terinfeksi
HIV dan usia lebih 1 tahun dengan pneumonia berat.

54
Sumber :
 Bamabng S. Sari Pediatri : Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada
Anak. Vol 6(2) : 100-106, 2006
 World Health Organization. 2014. Revised WHO classification and
treatment of childhood pneumonia at health facilities: Evidence
Summaries. World Health Organization.

55
DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN
Nama Mahasiswa : Nur Amalia Khairiah
Judul Laporan Kasus : Seorang Anak Usia 12 Bulan Dengan
Bronkopneumonia
Pembimbing : dr. Enny Karyani, Sp. A
Penguji : dr. Arieta Rachmawati Kawengian, Sp. A

1. Apakah dasar diagnosa pada Bronkopneumonia?


Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak sejak 1 hari SMSR. Sesak
dirasakan hilang timbul dan memberat sejak pagi hari SMRS. Sesak tidak
disertai bunyi “ngik-ngik”. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, posisi maupun
aktivitas. Ibu pasien mengatakan 3 hari sebelumnya pasien mengalami demam.
Demam tidak terlalu tinggi, demam turun setelah diberi obat kemudian naik
lagi, demam tidak disertai kejang, menggigil, mimisan, gusi berdarah, muntah
darah, dan bab hitam. Menurut ibunya, pasien juga mengeluh batuk semenjak
demam muncul, batuk terus menerus, berdahak, dengan dahak bening tetapi
sulit untuk dikeluarkan. Berdasarkan literatur, anamnesis pada
bronkopneumonia mempunyai gejala respiratorik yaitu batuk dan sesak, gejala
umum demam, kadang ditemukan gejala umum lain yaitu sakit kepala, gelisah,
malaise, penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Pada anamnesis tersebut
didapatkan gejala yang mengarah ke bronkopneumonia dengan ditemukan
keluhan sesak, batuk dan demam.
Pada pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan sesak nafas,
kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital, heart rate 122x/menit, suhu
36,8oC, pernafasan 46x/menit. Tidak didapatkan pernafasan cuping hidung,
mukosa bibir tidak sianosis. Thoraks : Inspeksi simetris, pola pernafasan
thorakoabdominal, suara napas vesikuler normal, rhonki +/+ halus, wheezing -
/-, S1S2 tunggal, reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop. Berdasarkan
literatur tentang bronkopneumonia, pemeriksaan fisik dapat menunjukkan
takipneu, pernafasan cuping hidung, retraksi, dan suara napas tambahan rhonki
basah halus. Pada pasien ditemukan adanya takipneu, pernafasan cuping

56
hidung, retraksi, dan suara napas tambahan rhonki basah halus yang menunjang
penegakan diagnosis bronkopneumonia.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu darah lengkap didapatkan leukosit =
12,420/uL yang memberikan kesan leukositosis dan foto thoraks didapatkan
corakan bronkovaskuler bertambah dan tampak bercak infiltrat di kedua
perihiler dan parakardial. Berdasarkan literatur tentang bronkopneumonia,
pemeriksaan penunjang didapatkan pada hasil laboratorium darah didapatkan
leukosit > 15.000 mengarahkan pada infeksi bakteri, trombositosis > 500.000
khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada
infeksi virus.1pada pasien ditemukan adanya leukositosis yang mengarahkan
pada infeksi bakteri. Pemeriksaan radiologi dengan foto thoraks pada
bronkopneumonia merupakan penunjang utama penegakkan diagnosis dengan
ditemukannya bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Pada
pasien didapatkan tampak bercak infiltrate di kedua perihiler dan parakardial.

Sumber : Rahajoe NN, Supriyatno B dan Setyanto DB. Pneumonia Dalam Buku
Ajar Respirologi Anak. Ed Ke-1. Jakarta : IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia),
2012 : 350-65.

2. Perbedaan diagnosis banding pada Bronkopneumonia?


Pneumonia Bronkiolitis Asma
Peradangan pada Infeksi virus akut saluran Penyakit inflamasi
parenkim paru yang napas bawah yang kronis saluran napas
terlokalisir yang biasanya menyebabkan obsturksi yang timbul secara
terdapat pada bronkiolus inflamasi bronkiolus episodik.
dan alveoli disekitarnya
Sesak nafas tanpa disertai Sesak nafas disertai mengi Sesak napas dengan
mengi Episode pertama wheezing riwayat mengi
pada anak umur < 2 tahun (wheezing)
Etiologi sesuai usia Etiologi RSV ( > 50%) Akibat pajanan
Dapat berupa bakteri, virus diikuti oleh virus faktor pencetus
seprti infeksi virus

57
parainfluenza dan dan cuaca dingin,
adenovirus kegiatan jasmani dan
ketidakstabilan
emosi.

Gambaran klinis yang Gambaran radiologis Gambaran radiologis


berat akan menunjukkan dijumpai gambaran umumnya tampak
gambaran kelainan hiperinflasi, dengan infiltrat hiperaerasi.
radiologis yang berat pula yang biasanya tidak luas.
Bahkan ada kecenderungan
ketidaksesuaian antara
gambaran klinis dan
gambaran radiologis.

Sumber :

3. Apa saja yang ditemukan pada gambaran radiologis pada pasien dengan
Bronkopneumonia?
Radiografi dada dapat menegaskan diagnosis, membantu dalam
diagnosis banding kuman pathogen dan deteksi penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan paru. Pemeriksaan tersebut juga dapat mambantu
mengetahui keparahan dan respon terhadap terapi dari waktu ke waktu.
Kelainan foto rontgen toraks tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Biasanya dilakukan pemeriksaan rontgen toraks posisi AP.
Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan
tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea, batuk dan ronki,
dengan atau tanpa suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :
 Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram..

58
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Bronkopneumoni pada lobus bawah posterior

Patchy Apperance pada bronkopneumoni

59
Sumber :
 Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64
 Betty JT. Viral Pneumonia & Bacterial Pneumonia. Chest Radiography.
2002. USA: Department of General Surgery College of Medicine University
of Kentucky

4. Bagaimana pencegahan yang disarankan pada pasien?


Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan
pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-
imunisasi. Imunisasi terhadap pathogen yang bertanggung jawab terhadap
pneumonia adalah strategi pencegahan spesifik. Pada saat ini di Negara
berkembang direkomendasikan vaksin Hib dan vaksin pneumokokus
sebagai vaksin yang dianjurkan, dengan angka pencegahan pada Hib
berkisar 15 - 30% kasus pneumonia Hib dan pada pneumokokus mencegah
20 – 35% kasus pneumonia pneumokokus. Imunisasi sebagai pencegahan
spesifik, adapun pencegahan non-imunisasi sebagai komponen pencegahan
non-spesifik seperti kebiasaana mencuci tangan dan hidup bersih sehat;
perbaikan gizi dengan pola makan sehat; mencegah polusi udara dalam-
ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di
lingkungan rumah.

Sumber : Kartasasmita, Prof. dr. Sp.A (K) M.Sc., Pneumonia Pembunuh


Balita. Buletin Jendela Epidemioloti. Vol 3(3),2010

5. Apakah Apakah semua pasien Bronkopneumonia harus diberikan anti-


alergi?
Cetirizine merupakan antihistamin, H1 reseptor antagonis.
Antihistamin dapat membantu mengurangi batuk dengan menghalangi efek
histamin, cetirizine akan menghambat reseptor histamine (H1) pada sel
efektor di pembuluh darah, dan saluran pernafasan. Penggunaanya dapat
menunjang terapi pada kasus Pneumoia karena, pneumonia adalah suatu

60
proses inflamasi yang merilis sel – sel inflamatorik seperti prostaglandin
dan histamin.

Sumber : Idris Z. Studi Kasus Pediatrik : Bronkopneumonia. Universitas Ahmad


Dahlan. Yogyakarta, 2018

6. Bagaimana prognosis pada pasien ini?


Bronkopneumonia pada kasus ini memiliki prognosis yang baik
karena didiagnosis secara dini dan ditangani secara adekuat. Prognosis
bergantung pada cepat atau lambatnya penanganan yang dilakukan. Pada
pasien penangan dilakukan secara cepat dan adekuat
Faktor penentu pada prognosis anak adalah staus gizi. Mortalitas
dapat lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dalam keadaan malnutrisi
energi protein dan yang datang terlambat untuk pengobatan. Dengan
keadaan malnutrisi energi protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan
infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar. Pada pasien status gizi
didapatkan gizi baik, pada anak dengan status gizi baik pertahanan terhadap
infeksi lebih baik daripada yang mengalami malnutrisi sehingga pengobatan
yang dini serta kondisi gizi yang baik menunjang proses penyembuhan pada
anak di kasus ini.

Sumber :
 Permana dkk. The Disease and Diagnosis & Terapi. Fakultas Kedokteran
Gadjah Mada. Yogyakarta, 2010
 WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Jakarta:
World Health Organization; 2009.

61
62

Anda mungkin juga menyukai